The Trade Desk Umumkan Kemitraan Strategis dengan RCTI+ dan IndiHome

The Trade Desk (TTD) mengumumkan kemitraan strategis dengan dua platform OTT lokal, yakni RCTI+ dan IndiHome. Melalui kemitraan ini, pihaknya berupaya untuk mendorong pengembangan ekosistem OTT lokal di Indonesia melalui layanan programmatic advertising.

Sekadar informasi, The Trade Desk merupakan perusahaan teknologi berbasis di Amerika Serika yang menawarkan layanan inventory iklan untuk berbagai situs web, aplikasi, podcast, dan platform streaming Over The Top (OTT). Selain menjangkau cakupan audiens lebih luas, layanan ini juga memungkinkan marketer untuk mendapatkan laporan dan insight dari campaign yang dilakukan.

Country Manager The Trade Desk Indonesia Florencia Eka mengatakan, saat ini belum banyak layanan yang menawarkan layanan serupa di Indonesia. Dapat dikatakan, The Trade Desk menjadi pionir dengan model ini. “Kami ingin mengedukasi pentingnya [pemasaran melalui] Connected TV (CTV) bagi marketer,” ujarnya dalam konferensi pers virtual.

Florence mengakui perkembangan teknologi telah mengubah cara masyarakat berperilaku digital. Perubahan ini juga berdampak pada cara masyarakat mengonsumsi konten dari offline ke online. Dengan terjadinya shifting ini, pihaknya melihat peluang bagi pengiklan untuk menjangkau audiens melalui perangkat dan terhubung dengan journey mereka di platform digital.

Menurutnya, pemasaran dengan model linear TV, dinilai memiliki kelemahan dalam menentukan target pasar yang presisi. Linear TV merupakan konsep tradisional beriklan di mana audiens menonton program TV terjadwal saat disiarkan dan disalurkan lewat channel aslinya.

Sementara, pemasaran melalui Connected TV (CTV) dapat menjangkau penonton berdasarkan preferensi konten, profil audiens, dan tidak hanya ketika acara disiarkan. Pemasaran via CTV dinilai lebih presisi karena ditunjang dengan kekuatan data.

Selain itu, ia juga menilai tren pemasaran global mulai mengarah ke OTT dan VTC di mana adopsinya tumbuh secara signifikan saat pandemi Covid-19. Mengadopsi model ini akan mempercepat akselerasi pemasaran dari TV tradisional ke TV internet.

“Kemitraan ini menawarkan akurasi dan presisi sehingga marketer bisa menghindari pemborosan budget. Layanan ini juga lebih efisien karena mereka tidak perlu menghubungi, melakukan negosiasi, atau mendapatkan invoice satu per satu. Marketer dapat melewatkan peluang baru jika hanya fokus pada model lama dan terpaku pada media sosial saja,” ujarnya.

Seperti diketahui, RCTI+ merupakan platform OTT milik MNC Group, yang memiliki jaringan televisi free-to-air MNC, RCTI, Global TV, dan iNews. Sementara, IndiHome merupakan penyedia IPTV milik operator telekomunikasi pelat merah, Telkom Group.

“Layanan kami dapat membantu pengiklan untuk menjangkau 3,6 juta pengguna IndiHome dan 14 juta pemirsa potensial di lebih dari 300 kota di Indonesia, serta lebih dari 30,5 juta pengguna aktif bulanan RCTI+.” Tambahnya.

Indonesia gemar streaming

Dalam kesempatan ini, The Trade Desk sekaligus memaparkan hasil riset yang dilakukan bersama Kantar. Laporan ini menyebutkan, masyarakat Indonesia streaming konten OTT hampir tiga miliar jam per bulan. Temuan ini menjadikan Indonesia sebagai negara terbanyak menonton OTT di kawasan Asia Tenggara.

Tak hanya itu, laporan ini mengungkap bahwa konsumen Indonesia paling toleran terhadap iklan. Sebanyak 95% responden pemirsa menonton iklan untuk dapat menikmati konten gratis, dan 66% mengaku mengingat merek, produk, dan iklan yang mereka lihat.

Hal ini juga turut diperkuat temuan Integral AD Science (IAS), pionir penyedia verifikasi iklan digital, yang mengungkap bahwa mayoritas konsumen Indonesia pengguna CTV menunjukkan perilaku baru, yaitu terbiasa menonton konten gratis diselingi iklan.

Ini menandakan adanya peluang besar pada OTT/CTV bagi marketer. Pasalnya, laporan ini mengungkap, peluang untuk menjangkau audiens secara lebih cepat justru terjadi di platform open internet (62%). Contoh platform open internet antara lain CTV/OTT (Viu, Vidio, Iflix), Video (dailymotion), Audio (Spotify, JOOX), Display (detiknetworl. KLY), Native (triplelift). Sedangkan, 38% dari platform sosial, seperti Facebook, YouTube, dan Instagram.

Masa Depan Teknologi Iklan Luar Ruang di Indonesia

Kegiatan kampanye pemasaran saat ini sudah menjadi salah satu peluang menarik yang dijajaki solusi teknologi. Salah satu cara yang mulai marak di Jabodetabek adalah kehadiran iklan bergerak memanfaatkan mobil (car advertising) dan motor.

Dalam waktu tiga tahun terakhir DailySocial mencatat ada beberapa startup yang mencoba menyasar layanan car advertising dan iklan luar ruang di Indonesia. Termasuk di antaranya adalah Stickearn, Adroady, UBiklan, PayRide, Promogo yang diakuisisi Gojek dan baru saja meluncurkan GoScreen, dan IDN Media melalui IDN Programmatic Out-of-Home (IDN POOH).

Seperti apa perkembangan model bisnis Digital OOH berlangsung saat kondisi pandemi? Apakah teknologi yang dimiliki masing-masing platform memiliki efektivitas yang sesuai ke target pasar?

Peluang bisnis iklan luar ruang

Meskipun terlihat mudah untuk dipahami, konsep iklan luar ruang memanfaatkan mobil, motor, dan medium lainnya memerlukan strategi dan teknologi yang tepat.

Platform adtech yang didirikan Daniel Tumiwa, Adsvokat, mengusung konsep O2O (online-to-offline) dan beroperasi sejak Juli 2017. Adsvokat memanfaatkan stiker di mobil, helm, smartphone, pakaian sebagai medium.

Setelah berjalan selama beberapa bulan, pada akhir tahun 2018, Adsvokat memutuskan untuk tidak meneruskan bisnis dan menutup perusahaan sepenuhnya. Daniel Tumiwa mengungkapkan, kegagalan terbesar Adsvokat adalah timing. Terlalu cepat. Yang kedua kurang memperhitungkan permainan cash flow.

“Saya melihat ide Adsvokat lebih dekat dan relevan pada masanya pada waktu itu, karena sebelum-sebelumnya saya pernah menjalankan beberapa startup dan mereka sangat too advance dari zamannya dan Adsvokat ini lebih real,” terang Daniel.

Kegagalan yang terjadi pada Adsvokat tidak menurunkan minat pemain lain untuk menawarkan konsep serupa. Pemain-pemain lain pun bermunculan dan mencoba adaptif agar tetap relevan dengan tren.

CEO UBiklan Glorio Yulianto mengungkapkan, konsep hybrid advertising saat ini menjadi pedoman UbIklan.

“Media offline sebagai media iklan, sedangkan analytic-nya berbasis online. We called it hybrid advertising media. Kami bisa ambil budget [pengiklan] dari dua divisi, yakni online dan offline,” ujar Glorio.

Di tahun 2020 muncul dua platform baru dengan klaim teknologi Digital Out of Home terbaru. Mereka adalah IDN Programmatic Out-of-Home (IDN POOH) dan GoScreen. Yang terakhir adalah produk Promogo yang memanfaatkan integrasi ekosistem dan data Gojek.

Pandemi dan pertumbuhan bisnis

Saat pandemi banyak startup yang mengalami kendala dan terhambat pertumbuhan bisnisnya. Adanya aturan PSBB dan semakin banyak pegawai yang beraktivitas dari rumah membuat kondisi jalan lebih lengang dan menyulitkan segmen teknologi periklanan luar ruang berfungsi dengan baik.

Salah satu startup yang masih bertahan di segmen ini adalah StickEarn. Akhir tahun 2019 lalu StickEarn mengumumkan layanan baru yang diberi nama StickTron (kini menjadi MobileLED). Perusahaan juga mengantongi pendanaan seri A dengan nilai $5,5 juta atau setara 77,6 miliar Rupiah.

“StickEarn mengerti pembatasan yang pemerintah lakukan dan kami mendukung kebijakan tersebut supaya kondisi bisa kembali membaik. Dampak pandemi terasa bagi semua bisnis, termasuk StickEarn yang memang memanfaatkan kemacetan lalu lintas menjadi peluang bagi brand untuk memperkenalkan iklan mereka,” ujar Co-Founder StickEarn Archie Carlson.

Menurut CEO IDN Media Winston Utomo, selama pandemi berlangsung, tidak bisa dipungkiri industri OOH terkena dampaknya, termasuk IDN POOH. Namun, perusahaan sangat percaya dengan potensi dan masa depan sektor ini.

“Jadi, selama 6 bulan terakhir, kita menambah jumlah unit IDN POOH sebanyak 2x lipat atau 100%. Kita juga memperbanyak jumlah tim Sales dan Engineering untuk IDN POOH. Kita juga melakukan beberapa penyempurnaan dari sisi hardware dan software. Contohnya, teknologi IDN POOH sekarang dapat memberikan kebebasan bagi pengiklan untuk merencanakan, mengganti [konten] kreatif, maupun memonitor iklan yang sedang jalan secara real time,” kata Wiston.

Pandemi juga tidak menghambat rencana Gojek (melalui Promogo) menghadirkan GoScreen. Setelah diakuisisi Gojek, Promogo mencoba menghadirkan teknologi yang relevan menggunakan data dan ekosistem terpadu Gojek. Memanfaatkan kendaraan roda dua milik mitra pengemudi, tidak hanya brand besar yang bisa menikmati teknologi iklan luar ruang ini, namun juga merchant Gojek dan pelaku UKM lainnya. Meskipun baru terbatas di wilayah Jakarta, GoScreen memiliki target memperluas wilayah jangkauan hingga ke kota tier 2 dan tier 3.

“Tantangan utama pengguna iklan luar ruang saat ini adalah mengukur efektivitas dan kinerja iklan. GoScreen menjawab ini melalui teknologi yang mampu mengukur kinerja iklan berdasarkan lokasi dan waktu secara tepat sehingga memberikan pengiklan laporan yang lengkap,” kata Chief Commercial Officer Gojek Antoine de Carbonnel.

Data road analytics TomTom menunjukkan penurunan tingkat kemacetan hingga lebih dari 60% saat awal PSBB. Hal ini membuat brand menahan diri untuk melakukan aktivitas iklan luar ruang. Namun, dengan kebijakan yang cukup longgar, tingkat kemacetan kembali meningkat hingga 30% dan masyarakat kembali beraktivitas di luar rumah. Hal ini membuat demand untuk beriklan kembali meningkat.

Efektivitas dan masa depan iklan luar ruang

Teknologi iklan luar ruang car advertising dan Digital OOH diprediksi termasuk salah satu dari 12 tren teknologi periklanan yang telah dan akan terus berkembang.

Hingga Q3 2020, secara rata-rata, seluruh solusi Digital OOH Promogo diklaim mengalami peningkatan pertumbuhan bisnis sebesar 40% dan lebih dari 50 ribu mitra driver tergabung. Menghasilkan impresi sebesar 15 miliar kali penayangan.

“Layanan yang kami tawarkan ini memberikan brand solusi periklanan yang lebih terukur secara data dengan harga kompetitif. Brand dapat mengoptimalkan iklan mereka secara real time dan memonitor performanya melalui online dashboard khusus yang transparan dan jelas,” kata Direktur Promogo Kiranjeet Purba.

Konsep real time juga ditawarkan IDN POOH. Pihaknya mengklaim menggunakan teknologi khusus yang telah dipatenkan untuk menampilkan iklan secara real time dan terukur. IDN POOH menawarkan beragam output iklan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

“Dengan teknologi terbaik di industri OOH, tim yang kompeten, dan ekosistem IDN Media yang lengkap, kita sangat yakin IDN POOH akan menjadi pilihan terbaik untuk iklan Out-of-Home (OOH),” kata Winston.

Sementara bagi StickEarn, penggunaan real time dashboard, memberikan kemudahan bagi pengiklan bisa mengakses jalannya kampanye iklan.

Terkait efektivitas kegiatan kampanye memanfaatkan teknologi Digital OOH, baik IDN Media, StickEarn, maupun GoScreen mengklaim saat ini masih menunjukkan pertumbuhan yang baik. Meskipun kondisi pandemi sempat mengganggu jalannya bisnis, hal ini tidak menjadi kendala untuk mengembangkan produk dan bisnis OOH.

“Saat ini kami sedang dalam tahap Research & Development (R&D) untuk hyperlocal targeting. Dengan teknologi ini diharapkan dapat melakukan targeting secara lebih tepat dan akurat, sehingga industri UKM juga dapat memanfaatkan teknologi dari IDN POOH karena ROI-nya lebih bagus dan optimal,” kata Winston.

GoScreen sendiri sebelum diluncurkan telah melakukan sekitar 50 proyek. Salah satunya dengan Disney+ Hotstar. GoScreen menargetkan hingga akhir tahun 2021 bisa mencapai 20 ribu screen di Indonesia.

“Melalui GoScreen, mitra kami berkesempatan mendapatkan peluang penghasilan tambahan hingga 20% dari pendapatan normalnya. Selain itu, solusi GoScreen dengan harga yang terjangkau juga dapat dimanfaatkan oleh pelaku bisnis UKM untuk mulai meningkatkan visibilitas merek, serta mengembangkan bisnisnya ke level lebih tinggi melalui pemanfaatan data, sehingga mereka mampu memutuskan strategi bisnis yang lebih efektif,” ujar Kiran.

Sesuai dengan misi perusahaan, StickEarn ingin menjadikan platform beriklan lebih efektif, canggih, dan lebih mudah diakses, dan membuat iklim iklan luar ruang lebih bergairah.

“Dengan harga yang kompetitif dan sangat customisable, kini OOH bisa diakses brand dari segala level, mulai dari perusahaan multinasional, hingga UKM. Kami mencatat 20% dari klien kami adalah UKM. Ini adalah kabar baik bagi industri ini,” kata Archie.

IDN Media Rambah Bisnis Iklan Luar Ruangan

Setelah sebelumnya meluncurkan aplikasi baru, hari ini (24/6) IDN Media meluncurkan produk IDN Programmatic Out-of-Home (IDN POOH). IDN POOH merupakan sebuah platform media luar ruangan atau out-of-home yang terkoneksi dengan internet. Pihaknya mengklaim menggunakan teknologi khusus yang telah dipatenkan untuk bisa menampilkan iklan secara real-time dan terukur.

IDN POOH hadir untuk memberikan solusi bagi keterbatasan yang selama ini dimiliki OOH tradisional. Contohnya, harga yang tinggi per lokasi pemasangan, terbatasnya exposure, tidak adanya laporan performa iklan, durasi pemasangan yang tidak fleksibel, lokasi OOH yang ilegal, hingga pengaturan konten yang tidak dapat diubah.

IDN POOH menawarkan beragam output iklan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk fase pertama, IDN POOH akan fokus kepada format layar LED yang terkoneksi dengan internet dan terpasang di bagian atas mobil.

“Menggunakan teknologi terkini, IDN POOH menghadirkan layanan iklan OOH yang optimal serta terukur secara online dan real-time. Kami percaya IDN POOH akan menjadi game-changer di industri iklan out-of home,” kata CEO IDN Media Winston Utomo.

Telah diperkenalkan sebelum pandemi

Sejak bulan Februari produk ini sudah diluncurkan oleh IDN Media, namun baru diresmikan akhir bulan Juni 2020. Menurut Winston kepada DailySocial, melihat kondisi saat pandemi berlangsung, menunda IDN Media untuk meresmikan produk terbaru tersebut.

Saat liputan #DStour awal bulan Februari 2020 lalu, Winston mengklaim, produk tersebut merupakan “the first real-time” out-of-home advertising. Fungsinya sebagai LED Advertising yang bisa diaplikasikan di manapun. Tidak hanya di mobil, namun juga atas mobil, ada juga yang ditempatkan di warung tradisional yang disebut Retail LED.

“Yang membedakan produk IDN POOH dengan produk lainnya adalah, semua ditayangkan secara real-time. Jadi bisa langsung diganti tanpa harus menggunakan USB, dengan menggunakan dasbor semuanya dikontrol secara online. Untuk monitoring juga bisa dilakukan secara real-time via dasbor, contohnya iklan akan berubah jika mobil berada di kawasan tertentu. Semua bisa dilakukan dan dikontrol secara langsung.”

Selain menghadirkan inovasi dalam iklan out-of-home, IDN POOH juga memiliki visi untuk berperan dalam pembangunan smart city. Data yang terkumpul melalui teknologi IDN POOH dapat menjadi sumber informasi penting bagi pemerintah lokal dalam membangun kotanya.

“Kami sudah mengembangkan teknologi ini selama bertahun-tahun. Pemasang iklan tidak hanya dapat mengubah atau mengoptimasi iklan mereka secara real-time, namun juga dapat memonitor performa iklan mereka melalui sebuah dasbor online khusus yang transparan dan jelas. Kami sangat bersemangat untuk membantu brand dalam iklan mereka melalui IDN POOH,” kata Head of IDN Programmatic OOH Alfian Lumanto.

Application Information Will Show Up Here

Adplus Ganti Nama Jadi FSN Indonesia, Upaya Mendukung Perusahaan Induk IPO Tahun Ini

Pengembang platform pemasaran digital Adplus hari ini (17/2) mengumumkan rebranding menjadi FSN Indonesia. Kepada DailySocial, CEO Yazid Faizin menceritakan rencana strategis di balik aksi ini.

Seperti diketahui, pada tahun 2015 lalu Adplus diakuisisi oleh perusahaan pemasaran berbasis di Seoul, Yello Digital. Kemudian saat ini Yello Digital juga telah diakuisisi oleh FSN (Future Stream Network), membuat merek “Yellow Digital Marketing” berubah jadi FSN Asia.

FSN Asia berencana untuk melakukan IPO tahun ini di Singapura. Untuk mendukung aksi perusahaan tersebut, Adplus pun diputuskan untuk berganti nama jadi FSN Indonesia. Selain di sini, jaringan FSN juga sudah ada di beberapa negara lainnya, termasuk Korea Selatan, Tiongkok, Thailand, Vietnam, Singapura dan Taiwan.

Yazid juga menegaskan, pasca-pergantian nama perusahaan, operasional dan jajaran tim FSN Indonesia tidak berubah. Pun dengan manajerial, masih berjalan seperti sediakala.

Adplus (PT Adplus Digital Solusindo) didirikan sejak tahun 2012. Selain Yazid ada juga co-founder lainnya yakni Pandu Wirawan yang kini menjabat sebagai COO. Mereka telah mengakomodasi lebih dari 5 miliar impressions melalui ribuan campaign dan mengklaim terus berkembang secara finansial.

Kenalkan produk baru

Kendati potensi nilai pemasaran digital di Asia Tenggara akan capai US$2,6 miliar pada 2023, tim FSN Indonesia menyadari bahwa lanskap bisnisnya sudah berubah. Saat ini inovasi teknologi sangat perlu dikedepankan, untuk bisa memberikan performa baik yang diminta klien — tidak lagi sekadar awareness dan engangement.

“Adplus selama ini dikenal sebagai perusahaan ad-network yang berfokus pada pasar lokal, hari ini kami memutuskan untuk melakukan penyegaran dengan brand baru sebagai perusahaan global dengan beberapa produk  teknologi periklanan yang mutakhir” ungkap Pandu Wirawan.

Dengan merek barunya, FSN Indonesia juga memperkenalkan beberapa produk terbarunya antara lain Adfluencer, sebuah data driven platform untuk melakukan perencanaan dan monitoring kampanye dari Key Opinion Leader (KOL). Kemudian ada juga Cooan, untuk menjawab permintaan brand yang menginginkan performa kampanye yang dijalankan menggunakan crowd-sourcing dari micro influencers.

Ada juga beberapa produk periklanan lainnya seperti SociAR dan Game Streamer Network. Keduanya adalah teknologi dan jaringan yang difokuskan untuk memaksimalkan brand experience di media sosial.

“Kami ingin dikenal sebagai perusahaan yang memimpin inovasi di digital marketing yang berafiliasi dengan perusahaan global,” ujar Yazid.

Adtech di Indonesia belum membuahkan hasil optimal

Di Indonesia, dalam lanskap advertising technology (adtech), Adplus berhadapan langsung dengan beberapa pemain seperti Adskom, AdAsia, AnyMind, SpotX dan sebagainya. Walaupun dari berbagai statistik potensi bisnis tersebut selalu terpampang tinggi, namun menurut tim Tagtoo yang juga berkecimpung di lanskap serupa, sektor tersebut penuh dengan tantangan dan belum cukup optimal secara bisnis sejauh ini.

Ada tiga hal yang menjadi penyebabnya. Pertama soal adtech di Indonesia yang masih terfragmentasi. Kemudian yang kedua, adanya gap tentang pemasaran digital di kancah praktik. Dan yang ketiga infrastruktur yang belum matang masih menahan kemajuan industri. Di Indonesia belum terlihat adanya pemain adtech utama dalam bidang programmatic advertising yang mendapatkan pangsa pasar yang signifikan karena Indonesia mengalihkan fokus pertumbuhannya ke arah ekonomi digital.

Rangkul The Trade Desk, Gojek Ingin Beri “Insight” Mendalam untuk Pengiklan

Gojek mengumumkan kemitraan dengan perusahaan iklan asal Amerika Serikat “The Trade Desk” untuk membuat tautan antara iklan programmatic dan transaksi nyata yang terjadi secara offline. Tujuannya untuk memahami dampak terdalam dari iklan digital terhadap penjualan offline. Selama ini sebenarnya sudah ada banyak metodologi yang diterapkan, tapi masih menyisakan pertanyaan yang tidak terjawab.

VP Merchant Research & Analytics Gojek Pulkit Khanna menjelaskan, pemahaman ini dinilai dapat meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan pemasaran untuk mendorong pertumbuhan bisnis yang pesat. Sejalan dengan misi perusahaan mengatasi friksi (hambatan) di kehidupan sehari-hari dengan menghubungkan konsumen kepada penyedia barang dan jasa terbaik di pasar.

“Melalui kerja sama ini, pengiklan di platform TTD (The Trade Desk) bisa memanfaatkan pemahaman yang didapat dari platform Gojek untuk mengukur dan meningkatkan efektivitas kampanye pemasarannya,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Lebih jauh dijelaskan, Gojek akan mengukur dampak iklan online menggunakan transaksi aktual di dalam gerai, bukan data berbasis cookie. Lalu mengaitkan transaksi online maupun offline dalam aplikasi Gojek dengan solusi iklan yang disediakan TTD.

Dampak yang dilihat dari solusi ini adalah pembelian di dalam aplikasi Gojek, seperti layanan pesan-antar makanan GoFood, dan transaksi di merchant yang menerima pembayaran GoPay.

Dari situ, pemasar dapat menghubungkan korelasi antara penjualan dengan kampanye iklan yang bersangkutan. Kemudian memanfaatkan atribusi offline untuk mendapatkan analisis terkait efektivitas kampanye tersebut.

Kemitraan ini diklaim sebagai solusi yang revolusioner karena belum pernah dipakai oleh pihak manapun dalam pengukuran O2O di Asia Tenggara.

SVP South East Asia, Australia and New Zealand The Trade Desk Mitch Waters menambahkan, dampak dari solusi pengukuran O2O ini sangat luas karena mengisi kekosongan antara iklan online dan offline.

“Menganalisis atribusi offline telah menjadi aspirasi bagi pemasar di mana pun. Dengan cara pandang Gojek yang inovatif, kami sekarang dapat mewujudkan tujuan tersebut.”

Mengutip dari The Drum, Waters memberikan contoh terdekat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam restoran cepat saji, pemilik usaha menggunakan GoFood untuk pengiriman makanan dan menerima GoPay untuk pembelian di toko. Dengan kesepakatan ini, brand dapat menautkan pesanan yang benar-benar terjadi ini dengan kampanye iklan mereka secara anonim.

“Kami percaya restoran dan brand konsumer dapat menangkap peluang itu karena fungsi ini meningkatkan utilitas dan nilai iklan online. Kami percaya ini akan menginspirasi lebih banyak pemain untuk berinvestasi data, yang terpenting menciptakan riak gelombang yang mengangkat semua kapal,” ujarnya.

Waters melanjutkan, masa depan didorong oleh pentingnya peranan data dalam mengukur iklan digital yang dibaur dengan strategi pemasaran. Dia pun berharap perusahaan lain yang kaya dengan data dapat meniru apa yang saat ini kita lakukan di Indonesia dengan Gojek, terutama kemampuan dalam mengukur dan mengoptimalkan anggaran dengan cara ini.

“Niat kami dengan Gojek adalah untuk pergi ke luar Indonesia pada waktunya tiba,” pungkasnya.

Indonesia akan jadi negara pertama yang mengikuti uji coba, sebelum paralel didistribusikan ke negara lain pada tahun ini.

Kiprah The Trade Desk

Kemitraan dengan Gojek, menandakan dimulainya ekspansi The Trade Desk ke kawasan Asia Tenggara. Sejak tahun lalu, TTD kencang menggaet berbagai mitra. Di Tiongkok misalnya, perusahaan bekerja sama dengan Baidu, iQiyi, Tencent untuk meluncurkan iklan untuk meluncurkan platform pembelian iklan programmatic di negara tersebut.

Mengutip dari Nasdaq, CAGR dari pasar iklan di ASEAN naik 13,9% antara 2019 sampai 2026. Terlebih itu, Indonesia dianggap pasar terpenting buat TTD karena negara ini menjadi pasar periklanan paling dinamis di Asia Tenggara karena tingkat penetrasi smartphone yang tinggi.

Kondisi ini menjadi pertanda baik bagi perusahaan untuk memperoleh pelanggan baru di wilayah ini, yang pada akhirnya, mendorong pertumbuhan top-line. Secara global, TTD menghadapi persaingan yang ketat dengan Google dan Facebook yang mengontrol pasar iklan global hingga 51% sepanjang tahun lalu.

Akan tetapi, kedua perusahaan ini tidak menyediakan insight untuk pengiklan bagaimana performa iklan mereka. Mereka juga berada di bawah pengawasan aturan karena penggunaan data konsumen yang tidak etis.

Strategi TTD dalam menghadapi isu tersebut adalah menjaga transparansi diharapkan membantunya dalam melawan persaingan di pasar iklan digital.

Application Information Will Show Up Here

Ubiklan Luncurkan Konsep “Human Billboard” Berbasis Teknologi UbiMan

Masih besarnya potensi kegiatan pemasaran secara offline, yang dipadukan dengan teknologi, menjadi salah satu alasan Ubiklan untuk memperkenalkan media iklan baru yang disebut UbiMan. Konsep kegiatan pemasaran ini memanfaatkan human billboard atau papan iklan yang dijalankan manusia, yang disebut sebagai Mitra UbiMan.

Didirikan pada tahun 2016, Ubiklan merupakan perusahaan iklan luar ruang (out-of-home advertising) yang berbasis teknologi. Melalui platform, pengiklan dapat memantau promosi yang dijalankan secara online dan memiliki akses ke informasi seperti impresi dan area yang telah terekspos iklan tersebut. Saat ini sudah ada 100 mitra yang bergabung dalam platform dan 400-500 perusahaan yang telah menggunakan layanannya.

Barrier of entry yang lebih rendah

Kepada DailySocial Founder & CEO Ubiklan Glorio Yulianto mengungkapkan, ada alasan kekosongan media iklan luar ruang yang targeted dan bergerak yang mendasari lahirnya Ubiman. Solusi ini diklaim memberikan harga yang terjangkau dan bisa diluncurkan dalam jumlah masif.

“Di sisi lain, kalau selama ini produk yang telah diluncurkan Ubiklan, contohnya vehicle branding, hanya bisa diikuti oleh mitra-mitra yang memang punya kendaraan. UbiMan tidak begitu karena papan iklan dan segala perlengkapannya disediakan oleh kami. Jadi, barrier of entry-nya lebih rendah dan secara otomatis bisa membuka kesempatan kerja bagi lebih banyak orang lagi.”

Konsep human billboard sendiri memang bukan hal yang asing, baik di dalam maupun di luar Indonesia. Meskipun demikian, konsep yang sudah berjalan selama ini hanyalah papan iklan biasa yang tidak bisa dipantau. UbiMan hadir dengan solusi human billboard yang berbasis teknologi.

Memanfaatkan GPS, pengiklan dapat melacak rute apa saja yang sudah dilewati mitra ketika membawa papan iklannya. Pengiklan bisa melakukan verifikasi sendiri apakah rute yang dilewati memang sesuai dengan yang diinginkan. Teknologi Ubiklan akan mengumpulkan impresi data selama perjalanan untuk kebutuhan evaluasi pengiklan di akhir kampanye. Seluruh informasi ini dapat diakses pengiklan secara online melalui dashboard.

“UbiMan bisa melakukan banyak hal bagi brand. Salah satunya sebagai brand ambassador bagi iklan yang dibawanya. Sebelum mulai menjalankan iklan, para UbiMan akan diberikan orientasi terlebih dahulu, di mana pada saat ini mereka akan diberikan product knowledge seputar iklan yang dibawanya. Jadi mereka bukan hanya berjalan membawa iklan, tapi juga sekalian menyebarkan informasi dan menjawab pertanyaan,” kata Glorio.

UbiMan juga bisa melakukan flyering dan brand activation seperti membagikan product sampling atau mendukung event. Meskipun produk paling anyar, Ubiklan mengklaim UbiMan sudah digunakan Blibli untuk melakukan kegiatan pemasaran.

Fokus merekrut mitra

UbiMan terbuka bagi siapa saja yang ingin menjalankan iklan. Saat ini UbiMan baru tersedia di kawasan Jabodetabek. Untuk menambah jumlah mitra, pendaftaran di kota-kota besar lainnya juga mulai dilakukan, termasuk di kota Medan.

Nantinya mereka yang mendaftar menjadi mitra tinggal berkeliling membawa papan iklan dan mendapatkan penghasilan tambahan. Pendaftaran menjadi mitra dapat dilakukan di aplikasi Ubiklan.

“Pemberian komisi kepada personel UbiMan dan pembayaran dari brand dihitung secara per minggu. Karena memang ini layanan baru, jumlah mitra UbiMan sendiri memang belum terlalu banyak. Karena itu, fokus kita saat ini untuk layanan ini adalah terus meningkatkan jumlah mitra UbiMan, tidak hanya di Jakarta tapi juga kota-kota besar lain di Indonesia. Selain itu, kami juga sedang dalam pengembangan fitur-fitur lain yang akan semakin menambah value dari UbiMan,” kata Glorio.

Application Information Will Show Up Here

“Ad Fraud” di Indonesia Bisa Rugikan 1,7 Triliun Rupiah Sepanjang Tahun 2019

Mobile Marketing Association (MMA), bersama Integral Ad Science (IAS) merilis hasil survei bertajuk “Ad Fraud, Brand Safety & Viewability Whitapaper”, mengestimasi potensi ad fraud (penipuan iklan) di sisi pemasaran digital di Indonesia akan mencapai $120 juta (Rp1,7 triliun) sepanjang tahun ini.

Angka estimasi ini berasal dari gabungan data antara IAS dan eMarketer. Indonesia menjadi negara target kedua untuk penipuan iklan di ASEAN, setelah Thailand, lantaran skala dan volume pembelanjaan iklan yang signifikan. Disebutkan belanja iklan digital di Indonesia bakal menyentuh angka $639,9 juta. Satu per lima dari angka ini akan masuk ke kanal pemasaran iklan digital.

Secara global, potensi penipuan iklan diestimasi mencapai $42 miliar dari pengeluaran iklan, di Asia Pasifik sendiri sebesar $17 juta. Adapun anggaran belanja iklan digital akan meningkat dari $280 miliar di 2018 menjadi $330 miliar di 2019.

“Di negara ini, industri yang menjadi target penipuan iklan adalah para pengguna terbesar dalam pemasaran digital dan seluler. Mereka adalah pemain e-commerce, fintech, FMCG, dan gaming,” terang Country Manager MMA Indonesia Shanti Tolani, Kamis (8/8).

Angka taksiran ini pertama kalinya muncul di Indonesia. MMA akan membawa survei yang sama untuk negara lainnya di mana MMA beroperasi, setelah diklaim sukses di India. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran para stakeholder (pengiklan, publisher, agensi) tentang penipuan iklan dan mencari solusinya untuk mengurangi dampak kerugian.

Managing Director Asia Tenggara IAS Laura Quigley menjelaskan, ad fraud adalah segala aktivitas yang disengaja untuk mencegah iklan tersampaikan untuk orang, waktu, dan tempat yang tepat.

Teknik penipuan iklan ini bermacam-macam, ada yang berupa pixel stuffing, ad stacking, location fraud, cookie stuffing, user-agent spoofing, domain spoofing, dan lain-lain. Namun yang paling umum adalah nonhuman traffic dan domain spoofing.

“Hacker menciptakan bot untuk menjelajahi situs, mengklik iklan, memutar video dan melakukan pencarian, yang semuanya untuk meningkatkan traffic agar menghasilkan lebih banyak uang. Bot ini adalah virus yang dipasang tanpa sadar di komputer dengan cara yang tidak diketahui pengguna,” terangnya.

Ad fraud merupakan fenomena kompleks yang melibatkan hacker, pasar gelap software, traffic brokers, dan publisher yang belum teredukasi dengan baik mengenai apa yang terjadi. Biasanya kejadian ini terjadi di negara dengan penegakan kejahatan siber yang lemah.

Akibatnya, harus ada langkah proaktif untuk menghindari penipuan ini daripada mengandalkan hukum pidana. Solusi yang bisa dipakai adalah analisis perilaku dan jaringan dengan menggunakan data science untuk mempelajari user, analisis perangkat, dan pengintaian yang ditargetkan.

Setelah melakukan mitigasi pun, penipuan iklan ini tidak bisa semata-mata hilang sampai 0%. Tolak ukurnya sekitar 0,4%-0,5% mewakili kesuksesan campaign yang dijalankan dengan strategi mitigasi penipuan. Dibandingkan campaign yang tidak didukung tindakan mitigasi, risiko terkena penipuan berkisar di angka 9,5%-14,9%. Ini mencerminkan rata-rata di global.

Kesadaran stakeholder di Indonesia masih minim

Dalam whitepaper ini juga diterangkan bahwa kesadaran para stakeholder di Indonesia mengenai penipuan iklan masih minim. Dari survei yang dilakukan pada kuartal pertama 2019, sebanyak 33% pemasar masih rendah pengertiannya terhadap penipuan iklan untuk pembelanjaan iklan mereka.

Maksudnya, pengetahuan ini mencakup sistem monitoring dari cara brand ditayangkan di media dan bagaimana penayangan tersebut diukur masih rendah. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk meningkatkan transparansi dari mitra media mereka.

“Hal ini penting bagi masing-masing pemangku kepentingan pada ekosistem ini untuk mengedukasi dan terus berusaha mengatasi isu tersebut. Di situlah MMA memberikan kontribusi pada industri periklanan, terkait penipuan iklan dan brand safety, Indonesia baru saja memulai perjalanannya,” ujar Shanti.

Pasalnya, penipuan iklan ini bisa berujung pada terancamnya keamanan nama brand (brand safety) itu sendiri ketika beriklan di konten-konten yang selaras dengan gambar, nilai, dan pesan brand. Halaman situs yang aman buat brand sebenarnya membantu pengiklan mencapai tujuan mereka dalam mengakuisisi konsumen.

Kesalahan tempat beriklan di laman yang tidak patut akan menggangu citra brand, bahkan makin parahnya sampai diboikot oleh konsumen. Kejadian ini biasanya terjadi ketika brand membayar media placement yang tidak sengaja disajikan disamping konten yang kontroversial.

Ada 11 kategori konten utama, menurut Interactive Advertising Bureau (IAB) yang diidentifikasi berisiko buat brand dan perlu dihindari. Mereka diantaranya konten dewasa, memfasilitasi aktifitas ilegal, subjek kontroversial, obat-obatan terlarang, memuat kebencian, dan lainnya.

Perlu ditekankan di sini, dampak dari penipuan iklan ini sebenarnya mengarah langsung kepada para stakeholder, mulai dari brand, publisher, dan agensi. Belanja iklan yang mereka gelontorkan tidak setara dengan hasil yang didapat karena angka impresi yang didapat tidak murni sama sekali.

End user pada umumnya tidak merasakan dampak ini sama sekali. Hanya saja, kemungkinan besar terganggunya perputaran siklus konsumen yang mencakup akuisisi dan engagament/re-engagement. Seringkali, brand hanya fokus pada akuisisi pelanggan saja tanpa memperhatikan cara retensi yang efektif.

Pandangan tentang Adtech di Indonesia Tahun 2019

Industri periklanan digital di Indonesia bertumbuh dengan sangat cepat. Laporan “2019 Global Digital Ad Trends” tidak hanya memprediksikan dana pengeluaran periklanan digital Indonesia akan mencapai $2,6 miliar di tahun 2019, tetapi juga menyatakan akan ada pertumbuhan yang pesat mencapai 26%. Angka tersebut mengalahkan pertumbuhan di negara-negara ASEAN lainnya, termasuk Thailand.

Dalam istilah programmatic advertising, kategori yang “unggul” di dunia adtech, pasar Indonesia sudah menunjukkan performa yang luar biasa baik dan pertumbuhanya sudah sesuai dengan alur tren global. Di laporan tadi diperkirakan tingkat pertumbuhan total pengeluaran periklanan segmen programmatic advertising di Indonesia akan mencapai 89% dibandingkan tahun lalu. Hal ini menjadikan negara kepulauan ini sebagai negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia.

Meskipun statistik yang dipaparkan di atas terdengar sangat luar biasa, kenyataannya tidak cukup menarik dan optimal. Setelah kami mengalami langsung periklanan digital di Indonesia selama bertahun-tahun, tim Tagtoo menyimpulkan tiga poin terhadap pandangan aktual adtech di Indonesia tahun 2019.

Sudut pandang tentang adtech di Indonesia masih terfragmentasi

Di Indonesia belum terlihat adanya pemain adtech utama dalam bidang programmatic advertising yang mendapatkan pangsa pasar yang signifikan karena Indonesia mengalihkan fokus pertumbuhannya ke arah ekonomi digital. Persaingan perusahaan adtech asing dan lokal membuat sudut pandang atau gambaran industri adtech masih akan terus terpecah-pecah.

Gambaran yang terpecah nyatanya beralasan. Para perusahaan asing merasa kesulitan untuk mendapatkan posisi yang kuat dan stabil di Indonesia karena adanya budaya bisnis under the table di Indonesia dan ketatnya peraturan dari pemerintah bagi kepemilikan perusahaan asing. Sementara itu, perusahaan lokal masih berjuang untuk mengimbangi perusahaan asing dengan mengembangkan teknologi terkemuka.

Besarnya perbedaan ilmu pengetahuan tentang pemasaran digital

Ketika Indonesia bergerak menuju era digital baru, pemilik bisnis dan wirausahawan menjadi lebih paham dan terbuka terhadap teknologi baru. Kekuatan adtech yang berorientasi pada performa akan sangat diperlukan karena memainkan peran yang sangat penting dalam pengembangan ekonomi digital.

Maka itu Indonesia akan menghadapi kesenjangan yang cukup besar dalam bidang ilmu pengetahuan pemasaran digital. Perusahaan besar dan startup unicorn lokal akan terus dapat mengadopsi produk-produk dan layanan adtech terbaru berkat cadangan modal yang kuat.

Sebaliknya, perusahaan kecil dan menengah masih berjuang untuk bertahan sehingga tidak memiliki kesempatan untuk menguasai pemasaran iklan digital. Mereka akan terus tertinggal dari hari ke hari.

Infrastruktur yang belum matang menahan kemajuan industri

Walaupun Indonesia memiliki 171 juta penduduk yang menggunakan internet pada tahun 2018, menurut Asosiasi Penyedia Layanan Internet di Indonesia, infrastruktur internet yang tidak sempurna akan terus menjadi penghalang utama bagi adtech untuk berkembang dengan performa maksimal.

Contohnya metrik conversion rate, suatu metrik umum yang mengambil tingkat persentase pengunjung website untuk mengukur performa iklan pemasaran digital. Waktu pemuatan halaman yang lambat terkadang menjadi faktor pendorong jatuhnya penilaian conversion rate, alih-alih salah menargetkan pasar.

Masalahnya bukan hanya di seberapa efektifnya adtech dapat membantu mentargetkan pasar, tapi konversi tidak akan terjadi jika user kehilangan kesabaran dan meninggalkan halaman website sebelum kontennya tampil dengan lengkap.

Kesimpulan

Sudut pandang periklanan digital akan terus berubah di Indonesia. Dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan dan startup yang berusaha memperkuat jaringan online dan meningkatkan penjualan online mereka, permintaan akan iklan digital tentu akan jauh lebih besar lagi di tahun-tahun mendatang.

Yang terpenting, setelah mengikuti tren iklan digital, komunitas adtech Indonesia akan menjadi permainan yang menarik untuk disaksikan; siapakah yang akan mampu bertahan sampai akhir dan memenangkan posisi teratas?


Artikel ini ditulis oleh Edison Chen di blog Tagtoo. Diterjemahkan oleh Sherly Venesha

AnyMind Group Kantongi Pendanaan Seri B Plus Rp112 Miliar

Setelah sebelumnya telah mendapatkan pendanaan Seri B senilai $13,4 juta (sekitar 204 miliar Rupiah) dari LINE Corporation dan Mirai Creation Fund akhir tahun 2018 lalu, AnyMind Group kembali mengumumkan perolehan pendanaan Seri B Plus senilai Rp112 miliar. Dengan demikian perolehan dana Seri B perusahaan menjadi lebih dari 316 miliar rupiah. Investor yang terlibat dalam pendanaan kali ini adalah VGI Global Media Plc dan Tokyo Century Corporation.

CEO AnyMind Group Kosuke Sogo menyebutkan, pendanaan kali ini akan difokuskan untuk pengembangan bisnis AnyMind Group di Indonesia dan juga negara-negara lainnya. Berkantor pusat di Singapura, saat ini AnyMind Group memiliki lebih dari 400 staf dari 20 negara, di 13 kantor dan 11 pasar.

“Dengan adanya investor baru, kami sekarang berada di posisi yang kuat untuk mendorong industri periklanan, influencer marketing dan sumber daya manusia di Asia.”

Untuk mendukung pertumbuhan ekosistem influencer marketing, AnyMind Group melalui CastingAsia juga meluncurkan CastingAsia Creators Network. Platform yang nantinya bisa menjadi wadah bagi content creator di semua platform media sosial yang ada, bisa mendapatkan kesempatan untuk menambah wawasan, memperluas jaringan hingga berpotensi untuk mendapatkan sponsorship, jika bergabung dalam jaringan.

Selain di Indonesia, CastingAsia Creators Network juga hadir di Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Ekspansi selanjutnya termasuk ke Singapura, Hong Kong, Taiwan dan jepang.

“Melalui jaringan ini nantinya content creator dari Indonesia bisa melakukan kolaborasi dengan content creator dari negara lainnya. CastingAsia akan membantu mereka mengembangkan kreasi dengan bergabung dalam jaringan CastingAsia Creators Network,” kata Sogo.

Secara keseluruhan CastingAsia telah memiliki sekitar 35 ribu lebih influencer mikro dan makro di 17 pasar. Di Indonesia sendiri saat ini telah bergabung sekitar 10 ribu influencer dan targetnya hingga akhir tahun 2019 jumlah tersebut akan bertambah menjadi 15 ribu influencer.

Untuk mendukung rencana tersebut, AnyMind Group telah mengakuisisi Moindy Digital Co.Ltd, yang merupakan jaringan multi-channel terkemuka di Thailand. AnyMind Group akan menampung merek Moindy di bawah portofolio CastingAsia.

“Pendanaan baru yang telah kami dapatkan salah satunya akan kami investasikan untuk mengembangkan CastingAsia Creators Network di pasar yang kami sasar. Kami melihat ke depannya tren influencer marketing memanfaatkan media sosial akan semakin masif dan terus bertambah jumlah hingga demand-nya,” kata Sogo.

Rebranding platform untuk publisher

Untuk mempermudah publisher mempelajari data dan mengolah data yang ada, AdAsia Holdings, penyedia solusi end-to-end periklanan dan bagian dari AnyMind Group, melakukan rebranding perusahaan untuk publisher menjadi AdAsia360 (sebelumnya bernama AdAsia Digital Platform untuk publisher). Turut dirilis gelombang pertama fitur baru yang akan mengubah platform menjadi asisten yang bisa mencakup semua untuk publisher.

AdAsia360 memungkinkan pemilik media online untuk mengelola dan melacak aliran pendapatan situs mereka di berbagai platform dari sisi penawaran dan jaringan iklan melalui marketplace swasta, penawaran secara real time, dan agregat serta optimalisasi permintaan sumber daya dan harga dasar melalui pembelajaran mesin (machine learning) untuk iklan video, native, dan display advertising.

“Alasan utama mengapa kami melakukan rebranding adalah, agar fokus kami tidak hanya melakukan monetisasi namun juga membantu publisher untuk mendapatkan data analytics dan hal-hal terkait lainnya memanfaatkan teknologi kami,” kata Sogo.

Meskipun mulai banyak bermunculan startup lokal hingga asing yang menyasar kepada advertising technology (adtech), tidak menjadikan pertumbuhan AdAsia Holdings menurun. Dengan produk yang dimiliki, diklaim AdAsia Holdings kerap mengalami pertumbuhan yang signifikan. Saat ini, AdAsia Holdings memiliki tim Publisher Engagement lokal di 11 pasarnya di Asia, memberikan publisher kustomisasi onboarding dan dasbor produk, situs, unit iklan, serta analisis, dan konsultasi strategi monetisasi.

“Kami melihat saat ini masih besar demand dan pertumbuhan bisnis kami yang menyasar advertising technology di AdAsia Holdings. Bukan hanya di Indonesia tapi negara lainnya,” kata Sogo.

Platform Marketplace Iklan ADX Asia Berkomitmen Dorong Pertumbuhan UKM Indonesia

Sejak awal tahun ini, ADX Asia telah mengumumkan komitmennya untuk mendorong segmen UKM di Indonesia. Komitmen ini diwujudkan dengan memberikan akses yang lebih mudah bagi UKM untuk beriklan di platform-nya.

Kemudahan yang dimaksud adalah akses untuk beriklan secara end-to-end, dengan harga yang bervariasi, mulai dari Rp10.000. Demikian juga pilihan kategori iklan yang beragam.

Menurut Head of Marketing ADX Asia Frebriansyah Hermansyah, saat ini terdapat 50 juta UKM di Indonesia yang belum mampu memaksimalkan usaha karena keterbatasan biaya dalam mempromosikannya.

Padahal, kata Frebri, UKM sebetulnya lebih membutuhkan impact daripada exposure saat beriklan. Berkebalikan dengan perusahaan atau brand besar. UKM juga memiliki keterbatasan biaya.

“Misi kami adalah membantu semua UMKM di Indonesia untuk memiliki kesempatan beriklan yang sama dengan brand-brand yang sudah besar,” ujar Frebri saat bertandang ke kantor DailySocial.

ADX Asia merupakan platform yang menyediakan marketplace atau spot untuk beriklan. Sebelum menyasar ke segmen UKM, layanan ADX Asia tadinya hanya menyasar korporat dan brand besar saja. ADX Asia telah berdiri selama 2,5 tahun dan baru digunakan oleh 200 perusahaan.

Perusahaan memetakan jasa beriklan ke dalam beberapa kategori, mulai dari billboard, digital screen (SPBU, mol, lifestyle, airport, inFlight, Videotren, dan Cinema), digital advertising (Adwords, Facebook & Instagram, SMS Blast, dan SMS Targeted), dan experience branding.

Selain itu, ADX memiliki jangkauan iklan di sejumlah area atau tempat di berbagai titik lokasi yang tersebar di DKI Jakarta hingga ke Tangerang.

Lebih lanjut, untuk menjangkau target pasar, ADX akan membantu menyiapkan konten iklan agar hasilnya lebih optimal. ADX juga akan mendukung pengembangan bisnisnya melalui edukasi, seperti kelas komunitas setiap bulan, blog, dan beragam jenis konten lainnya yang dapat diakses oleh UKM.

“Kami akan approach komunitas-komunitas bisnis untuk membantu mereka, mulai dari cara membuat konten, copywriting, dan berbagai aspek bisnis. Dengan begitu, mereka bisa membawa bisnisnya ke next level dari sisi branding dan iklan,” tutur Frebri.

Sementara dari sisi ADX, pihaknya akan melakukan pengembangan User Interface (UI) dan User Experience (UX) pada website-nya sesuai kebutuhan pengguna. Frebri menyebut pihaknya tengah menggarap fitur reporting agar pengguna dapat melihat laporan langsung melalui website.

“Teknologinya tetap kami yang sediakan, karena kita seperti Content Management System (CMS). Tetapi inventorinya tetap ada di pengguna,” katanya.

Dengan membidik segmen UKM, ADX Asia membidik pertumbuhan bisnis hingga sepuluh kali lipat dari tahun 2018, baik dari sisi pendapatan maupun jumlah pengguna. Tahun lalu, bisnis ADX Asia mengalami pertumbuhan 15 kali lipat dari tahun 2017.