The Impact of Covid-19 Pandemic for Startup Business in Indonesia

The government appeal to working from home and recommend physical distancing related to the Covid-19, especially in Jakarta area, has an impact on three centaur startup in Indonesia, Blibli.com, Modalku, and TaniHub Group.

TaniHub Group’s CEO, Ivan Arie Sustiawan said the agriculture e-commerce service is getting customers’ increase up to 20,000. The rise has impacted 15%-20% of transaction orders.

Not only vegetables, fruits, and harvested goods, the high demand also applies to herbs and other ingredients to improve body immune.

In anticipating the increase, he said, TaniHub has applied some new terms regarding food sofety to protect the safety and health of employees, partners, and customers without affecting the service quality. The food safety initiative actually exists since the beginning of TaniHub Group.

Capex evaluation plan

On the other hand, due to the unstable situation, TaniHub will re-evaluate all the ongoing capex [capital expenditures] in 2020. He said the initiative is for TaniHub can focus more on the investment with a direct impact on product availability for the public.

“Therefore, we allocated capex to add up on items availability, infrastructure, and some more delivery fleets,” he told DailySocial.

The same phenomenon occurs at Blibli.com. The marketplace which was established in 2010 experienced a surge in transactions for certain products such as hand sanitizers, health products, and fresh food. In fact, after the government announced a call to work from home, its services experienced a significant jump in transactions in utilities, cooking oil, milk and baby food products.

“Since the first COVID-19 case occurred in China, Blibli has anticipated by compiling several business scenarios with consideration if this case goes to Indonesia,” Blibli.com CEO Kusumo Martanto told DailySocial.

One of the business scenarios includes determining the focus of the business and allocation of funds for business development in 2020. As he said, the call to conduct social distancing is considered to have an effect on how companies allocate marketing spend.

When it was intended for company activities under normal circumstances, this allocation will later be used according to the needs of the latest conditions in Indonesia.

“To date, Blibli has not revised our business targets for 2020,” he said.

Currently, he continued, Blibli is focused on adjusting operational services with the current situation. Some of the strategies are shipping without contact (contactless shipping) where Blibli Express Service (BES) couriers are required to use masks and gloves when sending goods. This procedure is applied to all Blibli logistics partners.

Moreover, they also maintain product availability by applying order limitation procedures at merchant partners. In order to comply with the government’s appeal, this strategy applied to avoid irresponsible parties to hoard goods.

The impact on loan distribution

Also, the WFH and social distancing issue have affected the P2P lending Modalku. The company said some borrowers submit for rescheduled payment. It was due to Modalku’s segment that targets SMEs which had a major impact on the current situation.

“However, we will discuss further to the borrowers for solution related to the sustainability of SMEs businesses,” Modalku’s Co-Founder and CEO, Reynold Wijaya told DailySocial.

The centaur startup is in the middle of the mitigation process, one is to adjust loan services both limit and tenor. Therefore, the more comprehensive selection on the existing potential borrowers.

The team also guarantee the “responsible lending” principal by making assessment towards borrower’s financial ability to pay off their debt.

“In terms of target revision, we’re still on internal discussing since we’re currently focused on supporting SMEs which business has been affected by Covid-19 issue,” he added.

Per March 2020, Modalku has channeled around 1,750,506 loans worth of Rp13.49 trillion. The bad credit (default) is around 1.31 percent.

Back to the equilibrium state

As Mark Ventura Liman Rahardja said as the VP of Investor Relations & Strategy of BRI Ventures, this situation will trigger imbalances between sectors. Some sectors will be affected by the spread of COVID-19, otherwise other sectors will gain profits.

According to his hypothesis, social distancing will automatically change the way people shop. Especially since the government urged people to work from home, public space has no longer crowded. The government also began to close some tourist areas.

“In this case, e-commerce services and online healthcare will rise. On the other hand, it’ll be very hard for OTA players due to travel bans. Fortunately, instead of having only one vertical, some players have other business verticals to put on compensation. Hopefully, one or two quarters, the situation will return to the equilibrium state,” he told DailySocial back then.

Previously, the giant VC company Sequoia Capital had warned that the spread of COVID-19 would have a turbulent effect on business and investment climate in the startup industry. Sequoia even referred to Covid-19 as “The Black Swan in 2020”.

Sequoia warned the entire startup ecosystem and its derivatives to rethink a number of aspects of its business throughout this year. Some of these important aspects are capital management and expenditure, fundraising, sales predictions, talent acquisition, increased productivity, and marketing strategies.

“Even though your business may not directly be affected by this pandemic, you need to anticipate for consumers’ changing spending habits,” Sequoia said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kedai Sayur, Startup Agritech yang Bertumpu pada Kehadiran Tukang Sayur

Tidak ada kebutuhan yang lebih fundamental dibanding kebutuhan pangan. Dengan jumlah penduduk dan luas wilayah yang begitu besar, ekosistem agritech terus berkembang dan memunculkan pemain baru.

Kedai Sayur adalah salah satu agritech yang bertekad mengisi potensi pasar produk segar di Indonesia. Berdiri sejak 2018 dengan CEO & Co-founder Adrian Hernanto, Kedai Sayur berupaya membuat rantai suplai sayur-mayur dari petani ke pedagang jadi lebih efisien.

Dibuat untuk tukang sayur

Melalui jawaban tertulis, Adrian menjelaskan layanan Kedai Sayur menargetkan para tukang sayur. Layanan mereka yang berbasis aplikasi mobile dibuat untuk memudahkan tukang sayur mendapatkan produk segara tanpa repot-repot meninggalkan rumah. Nantinya tukang sayur yang sudah tergabung sebagai mitra dapat memesan produk dari para petani yang sudah bekerja sama dengan Kedai Sayur lalu mengambilnya di lokasi drop-off terdekat.

Hal ini yang membedakan Kedai Sayur dengan agritech lainnya. Beberapa startup lain punya layanan yang menghubungkan langsung antara petani dengan lender seperti halnya iGrow, ritel seperti yang dilakukan TaniHub, atau langsung ke konsumen akhir seperti Chilibeli.

“Perbedaan yang bisa dilihat adalah kami adalah perusahaan startup pertama yang menyasar ke Tukang Sayur. Selain itu, kami bisa masuk untuk semua model bisnis, B2B dan B2C,” tukas Adrian.

Monetisasi

Bisnis Kedai Sayur saat ini memang bersifat B2B. Namun seperti yang Adrian utarakan, mereka akan merambah ke B2C. Ia menargetkan tahun ini mereka sudah bisa meluncurkan platform untuk rumah tangga. “Secepatnya akan dibuka aplikasi khusus untuk end customer yang tentunya tetap melibatkan Tukang Sayur, yang merupakan tujuan utama bisnis Kedai Sayur,” imbuhnya.

Adapun keuntungan yang diambil Kedai Sayur berasal dari selisih harga yang mereka bayarkan kepada petani dengan yang mereka jual ke para tukang sayur. Hal itu dimungkinkan karena mereka membeli hasil panen dalam kuantitas besar sehingga harga beli yang mereka peroleh dan harga jual yang mereka berlakukan dapat bersaing dengan harga di pasar.

Kedai Sayur punya standardisasi produk yang memudahkan mereka menyortir dan mengontrol kualitas produk yang mereka distribusikan ke tukang sayur. Untuk sejumlah produk, mereka memberlakukan penanganan khusus agar kesegaran produk hasil panen tetap terjaga hingga tiba di gudang dan konsumen.

Pendanaan

Sejak berdiri dua tahun lalu, Kedai Sayur tercatat sudah dua kali mengumumkan dua kali mendapat pendanaan. Yang pertama adalah pendanaan awal senilai US$1,3 juta (Rp18,7 miliar dengan kurs saat itu) pada akhir Mei tahun lalu dengan East Ventures yang memimpin babak pendanaan tersebut.

Berselang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Oktober 2019 kemarin, Kedai Sayur mendapat tambahan pendanaan sebesar US$4 juta (Rp57 miliar dengan kurs saat itu). East Ventures kembali memimpin pendanaan tambahan itu dengan sokongan dari SMDV, Triputra Group, dan Multi Persada Nusantara.

Suntikan modal itu mereka pakai untuk menarik lebih banyak tukang sayur dan pedagang sebagai mitra. Sesuai targetnya, Kedai Sayur kini sudah punya lebih dari 5 ribu mitra di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang bergabung di platform mereka, bertambah pesat dibanding pertengahan tahun lalu yang masih sekitar dua ribuan mitra.

Angka itu diperkirakan akan terus tumbuh seiring rencana mereka untuk memperluas jangkauan layanannya. “Juga kami ada target untuk ekspansi ke beberapa kota besar lainnya di Indonesia,” pungkas Adrian.

Application Information Will Show Up Here

Di Masa Covid-19, Penggunaan Layanan Agritech Alami Lonjakan

Demi mencegah penyebaran wabah Covid-19 pemerintah menghimbau untuk masyarakat tetap di rumah. Ini berdampak bagi beberapa layanan digital, salah satunya adalah layanan pembelian hasil pertanian. Kepada DailySocial, Etanee, TaniHub, dan Kedai Sayur mengaku mengalami lonjakan, baik dari sisi transaksi maupun pengguna.

Pihak Etanee, melalui Co-Founder & COO Herry Nugraha, menceritakan bahwa peningkatan penggunaan aplikasi dan layanan mereka naik tajam. Terlebih sejak pemerintah menghimbau untuk masyarakat tetap di rumah. Gerak yang dibatasi ini mengubah pola masyarakat di beberapa wilayah cenderung berbelanja online. Kenaikan yang diterima Etanee hingga 3 kali lipat dibandingkan dengan kondisi normal, khususnya untuk produk buah, sayuran, daging ayam, dan beras.

“Ini efek pembatasan gerak dan aktivitas masyarakat yg menyebabkan konsumen beralih ke channel pembelian online. Bahan pangan dalam kondisi apapun akan dibutuhkan. Dalam kondisi wabah seperti saat ini, konsumen lebih memilih memasak sendiri di rumah dibanding membeli makanan siap santap (ready to eat),” jelas Herry.

Hal yang senada disampaikan VP of Corporate Services TaniHub Astri Purnamasari. Tidak hanya hasil pertanian, tanaman herbal dan produk-produk yang dipercaya bisa meningkatkan imun tubuh juga mengalami lonjakan sekitar 20%. Pengguna TaniHub juga tercatat mengalami pertumbuhan. Ada lebih dari 20.000 pengguna baru di masa Covid-19 ini.

Kedai Sayur juga mengalami hal serupa. Hanya saja bagi Kedai Sayur saat ini yang banyak terjadi adalah perubahan pola konsumen. Kebutuhan konsumen B2B, seperti hotel dan restoran mengalami penurunan. Di sisi lain permintaan konsumen rumahan atau individu melonjak.

“Barang-barang yang demand-nya tinggi seperti bawang, cabe, tomat, dan buncis. Tapi di antara itu semua paling tinggi adalah bawang bombay dan jahe, selalu out of stock. Untuk menanggapi permintaan customer yang tinggi untuk barang tersebut kami selalu stock barang lebih banyak dari biasanya. Kami ingin tetap bisa memenuhi kebutuhan pelanggan, apalagi dengan wabah Covid-19, kami harap bisa memberikan peran penting untuk pelanggan,” ujar CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto.

Etanee, TaniHub, Kedai Sayur dan layanan sejenis yang beroperasi saat ini menjadi tumpuan masyarkat tempat mereka beroperasi untuk mendapatkan kebutuhan pangan mereka. Sebagian besar karena menghindari kerumunan di pasar. Bagi para petani dan peternak, platform ini adalah salah satu kanal penjualan yang bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penjualan barang.

Kebijakan dan antisipasi

Lonjakan pengguna sekaligus penyebaran virus yang semakin luas membuat perusahaan mengambil beberapa sikap dan kebijakan. TaniHub misalnya, selain memberlakukan kebijakan work from home bagi karyawan di kantor pusat dan sistem shift untuk karyawan yang berada di cabang dan distribution center karyawan juga diperiksa suhu tubuh dan meliburkan mereka yang sakit. Termasuk melakukan disinfeksi dan pembersihan di kantor pusat dan DC.

Selain itu Astri juga menambahkan, “Kami juga meniadakan same day delivery untuk sementara waktu. Hal ini kami lakukan untuk mengurangi adanya interaksi langsung antara orang per orang. Meski begitu, kami tetap melakukan proses pengantaran sesegera mungkin. Kami juga menambahkan pilihan pengantaran tanpa kontak langsung. Pesanan akan diletakkan di depan pintu dengan konfirmasi terlebih dahulu kepada pembeli, sehingga pembeli bisa mengambil pesanan setelah kurir kami meninggalkan rumah.”

Untuk Etanee, Herry menjelaskan, efek langsung yang dirasakan petani dan peternak adalah turunnya demand dari segmen hotel, restoran, dan swalayan. Sebaliknya, order dari marketplace digital mengalami lonjakan yang signifikan.

Semua transaksi konsumen via aplikasi akan langsung diantarkan melalui armada dan tim Etanee Delivery. Untuk memastikan kualitas layanannya terjaga Etanee merekrut armada dan kurir tambahan dari driver ojek online. Ini dilakukan untuk tetap membuat pelanggan Etanee bisa dilayani sekaligus memberikan tambahan penghasilan bagi driver yang lesu orderan.

Sementara itu, untuk Kedai Sayur, di tengah meningkatnya permintaan dari pengguna rumahan atau end user, mereka saat ini tengah berusaha mengembangkan aplikasi khusus. Mengingat selama ini pesanan selalu diambil ke Mitra (tukang sayur) yang bekerja sama dengan Kedai Sayur.

“Kita juga secepatnya akan launching aplikasi untuk end customer, sehingga para customer seperti ibu rumah tangga, para pekerja yang WFH dapat memenuhi kebutuhan pangan mereka dari rumah dengan mudah dan cepat. Sehingga kita mengikuti shifting demand yang terjadi karena wabah ini,” terang Adrian.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Imbas Pandemi Covid-19 Bagi Sejumlah Startup di Indonesia

Imbauan pemerintah untuk bekerja dari rumah dan menerapkan social distancing terkait penyebaran Covid-19, terutama di Jakarta, rupanya memberikan pengaruh bagi tiga startup centaur Indonesia, yakni Blibli.com, Modalku, dan TaniHub Group.

Disampaikan CEO TaniHub Group Ivan Arie Sustiawan, layanan e-commerce hasil pertanian ini mengalami peningkatan pengguna sehingga kini jumlahnya mencapai lebih dari 20.000. Kenaikan turut mendongkrak transaksi pemesanan sekitar 15-20 persen.

Tak hanya penjualan buah, sayur, dan hasil tani, permintaan tinggi juga terjadi pada produk tanaman herbal dan produk lain yang bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh.

Dalam mengantisipasi lonjakan permintaan ini, ujarnya, TaniHub menerapkan beberapa kebijakan baru terkait food sofety untuk melindungi keselamatan dan kesehatan karyawan, mitra, dan pelanggan tanpa mengurangi tingkat pelayanan. Prosedur food sofety ini sendiri sebetulnya sudah dijalankan sejak awal TaniHub Group berdiri.

Evaluasi rencana capex

Di sisi lain, karena ketidakpastian situasi sekarang, TaniHub mengevaluasi kembali seluruh rencana penggunaan modal (capex – capital expenditures) yang sedang maupun yang belum berjalan di 2020. Menurutnya, langkah ini diambil agar TaniHub bisa lebih fokus pada investasi yang memberikan dampak langsung terhadap ketersediaan produk kepada masyarakat.

“Jadi, kami mengalokasikan capex untuk menambah kapasitas persediaan barang, infrastuktur, serta menambah armada pengantaran kami,” tambahnya kepada DailySocial.

Fenomena sama terjadi pada Blibli.com. Markeplace yang berdiri di 2010 ini mengalami lonjakan transaksi untuk produk tertentu seperti hand sanitizer, produk kesehatan, dan makanan segar. Malahan, pasca pemerintah mengumumkan imbauan bekerja dari rumah, layanannya mengalami lonjakan transaksi yang signifikan pada produk utilities, minyak goreng, susu, dan makanan bayi.

“Sejak kasus COVID-19 pertama terjadi di Tiongkok, Blibli telah melakukan antisipasi dengan menyusun beberapa skenario bisnis dengan pertimbangan jika kasus ini masuk ke Indonesia,” ujar CEO Blibli.com Kusumo Martanto kepada DailySocial.

Salah satu skenario bisnis yang dimaksud mencakup penentuan fokus bisnis dan alokasi dana untuk pengembangan bisnis di 2020. Menurutnya, imbauan untuk melakukan social distancing dinilai bakal berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan mengalokasikan marketing spending.

Jika awalnya diperuntukkan pada kegiatan perusahaan dengan situasi normal, alokasi ini nantinya akan digunakan sesuai kebutuhan kondisi terkini di Indonesia.

“Sejauh ini, Blibli tidak melakukan revisi target bisnis kami untuk tahun 2020,” ungkapnya.

Untuk saat ini, lanjutnya, Blibli fokus untuk menyesuaikan layanan operasional sesuai dengan kondisi saat ini. Beberapa strateginya adalah melakukan pengiriman tanpa kontak (contactless shipping) di mana kurir Blibli Express Service (BES) diwajibkan menggunakan masker dan sarung tangan pada saat mengirim barang. Prosedur ini diterapkan ke seluruh mitra logistik Blibli.

Kemudian, pihaknya juga berupaya untuk menjaga ketersediaan produk dengan melakukan prosedur pembatasan stok pada mitra merchant. Sesuai imbauan pemerintah, strategi ini dilakukan untuk menghindari para pihak tidak bertanggungjawab untuk menimbun barang.

Mulai berimbas ke penyaluran pinjaman

Di sisi lain, kebijakan WFH dan social distancing berimbas terhadap bisnis P2P lending milik Modalku. Menurut perusahaan, sejumlah peminjam mulai mengajukan rescheduling pembayaran utang. Imbas ini karena Modalku bermain di segmen UMKM yang cukup terpukul situasi sekarang.

“Namun, kami akan berdiskusi dengan para peminjam untuk menemukan solusi terkait untuk mendukung keberlangsungan perkembangan bisnis UMKM,” ungkap Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya dalam pernyataannya kepada DailySocial.

Startup centaur ini tengah menyiapkan sejumlah langkah mitigasi, seperti melakukan penyesuaian dalam pemberian pinjaman, baik limit dan tenor pinjaman. Kemudian, melakukan seleksi lebih komprehensif terhadap calon peminjam maupun peminjam existing.

Pihaknya juga menjamin untuk tetap menerapkan prinsip “responsible lending”  dengan melakukan penilaian terhadap kemampuan finansial peminjam dalam melunasi pinjamannya.

“Soal revisi target, kami masih lakukan diskusi di internal mengingat saat ini kami masih fokus untuk mendukung UMKM yang bisnisnya terdampak oleh Covid-19,” tambahnya.

Per Maret 2020, Modalku telah menyalurkan sebanyak 1.750.506 jumlah pinjaman yang senilai Rp13,49 triliun. Tingkat gagal bayar (default) Modalku berkisar di angka 1,31 persen.

Kembali ke titik ekuilibrium

Menurut VP of Investor Relation & Strategy BRI Ventures Markus Liman Rahardja, situasi seperti ini bakal memicu terjadinya ketidakseimbangan antar sektor. Beberapa sektor akan terdampak penyebaran COVID-19, sebaliknya sektor lain bakal mendulang keuntungan.

Menurut hipotesisnya, social distancing otomatis akan mengubah cara orang berbelanja. Apalagi sejak pemerintah mengimbau masyarakat untuk bekerja dari rumah, ruang publik mulai sepi. Pemerintah juga mulai menutup kawasan wisata di sejumlah daerah.

“Dalam hal ini, layanan e-commerce dan online healthcare bakal naik. Di sisi lain, pemain OTA akan hit hard karena travel ban. Untungnya, beberapa player tidak main di satu vertikal, jadi vertikal bisnis lain bisa compensate. Hopefully, one or two quarter situasinya bakal kembali ke titik ekuilibrium,” jelasnya kepada DailySocial beberapa waktu lalu.

Sebelumnya, perusahaan VC raksasa Sequoia Capital telah memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 bakal memberikan efek turbulensi terhadap bisnis dan iklim investasi di industri startup dunia. Sequoia bahkan menyebut Covid-19 sebagai “The Black Swan di 2020”.

Sequoia memperingatkan seluruh ekosistem startup dan turunannya untuk memikirkan ulang sejumlah aspek bisnisnya di sepanjang tahun ini. Beberapa aspek penting ini adalah pengelolaan dan pengeluaran modal, penggalangan dana, prediksi penjualan, penambahan karyawan, peningkatan produktivitas, hingga strategi marketing.

“Meskipun mungkin bisnis Anda belum akan terdampak langsung dari kasus ini, Anda perlu mengantisipasi bahwa konsumen bisa saja mengubah spending habit mereka,” menurut Sequoia.

Chilibeli Kantongi Pendanaan Seri A 160 Miliar Rupiah yang Dipimpin Lightspeed Ventures

Lightspeed Ventures memimpin pendanaan seri A senilai US$10 juta (sekitar 160 miliar Rupiah) untuk layanan social commerce Chilibeli. Di pendanaan ini juga berpartisipasi sejumlah investor lain, termasuk Golden Gate Ventures, Sequoia Surge, Kinesys Group, dan Alto Partners.

Penutupan pendanaan ini disampaikan ke publik hari ini. CEO Chilibeli Alex Feng sudah mengabarkan kepastian pendanaan ini sejak awal Maret ini.

Alex mengatakan dana tersebut akan digunakan memperkuat sejumlah lini bisnis mereka. Salah satu prioritas mereka adalah memperkuat jaringan komunitas mereka, yang berada di wilayah Jakarta, Tangerang Selatan, dan Depok, serta memperluas jaringan mereka di Bekasi dan Bogor.

Alex juga menambahkan bahwa dana tersebut juga akan dipakai untuk mempercanggih user interface dan user experience aplikasi mobile mereka, serta meningkatkan fasilitas gudang mereka yang terletak di Depok.

“Dukungan yang kuat dari investor ternama ini krusial dalam memperkuat dan meningkatkan skala pertumbuhan kami di masa depan serta terus memberikan dampak yang berarti untuk masyarakat,” imbuh Alex.

Model bisnis Chilibeli mengandalkan jejaring komunitas, khususnya ibu rumah tangga. Melalui jaringan ini, Chilibeli menjajakan produk sembako mereka, khususnya sayur-mayur dan aneka buah, langsung ke tangan konsumen.

Model ini mengakali tantangan yang kerap dihadapi pelaku agritech dalam mendistribusikan bahan pangan segar. Chilibeli mengklaim hingga saat ini hanya mereka agritech yang memakai model tersebut di Indonesia.

Akshay Bhushan, Partner Lightspeed Ventures, menyebut upaya Chilibeli akan menjadi skala baru bagi platform social commerce di Indonesia dan Asia Tenggara. Keyakinan Lighstpeed memimpin babak pendanaan ini ia sebut datang dari pengalaman mereka berinvestasi di sejumlah startup ternama, seperti Pinduoduo, Snapchat, Udaan, dan Sharechat.

“Kekuatan platform social commerce Chilibeli berasal dari pemberdayaan komunitas lokal di kelas menengah Indonesia melalui akses ke produk yang bernilai dan terjangkau sembari memajukan mata pencaharian petani, ibu rumah tangga, dan UMKM yang ada di ekosistem Chilibeli,” imbuhnya.

Social commerce diyakini banyak pihak sebagai subsektor yang belum banyak dijamah pelaku bisnis. Chilibeli mencatat sekitar 20% penghasilan rumah tanggal habis untuk kebutuhan bahan makan pokok. Itu sebabnya mereka yakin ruang tumbuh mereka masih cukup besar.

Dalam wawancara dengan DailySocial sebelumnya, Alex Feng percaya diri timnya bisa terus mengantongi profit. Alex menargetkan tahun ini Chilibeli mendapat pemasukan hingga Rp1,6 triliun. Selain itu ia juga berniat membuka putaran pendanaan seri B pada kuartal kedua atau ketiga tahun ini. Tahun ini juga mereka berencana melebarkan layanannya ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Babak pendanaan ini resmi menjadikan Chilibeli sebagai perusahaan seri A hanya dalam kurun 7 bulan sejak berdiri. Salah satu startup dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

Startup Agrotech Chilibeli Terapkan Pendekatan “Social Commerce” dan Pemberdayaan Komunitas

Sektor pertanian di Indonesia memiliki potensi bisnis yang sangat besar. Pun bagi startup digital yang menggarap solusi di bidang tersebut. Namun tantangannya, para inovator akan dihadapkan pada isu-isu dengan karakteristik yang unik. Pemain baru yang mencoba peruntungan adalah Chilibeli, mengangkat konsep pemberdayaan komunitas dipadukan dengan platform social commerce.

Konsep bisnis Chilibeli menjembatani produk segar dari petani (sepertisayur-mayur, buah-buahan dll) dengan konsumen akhir. Yang membedakan dengan kanal e-commerce lainnya, pemesanan dilakukan per komunitas, bukan secara individu. Alex Feng selaku founder & CEO mengungkapkan, pendekatan ini diusung dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar berkumpul dan beraktivitas bersama dengan orang lain di sekitar tempat tinggalnya.

Dengan menggunakan model C2M (customer to manufacturer), Alex meyakini cara ini dapat mengakali tantangan menjual produk segar langsung ke tangan pembeli. Ia mengklaim Chilibeli saat ini adalah satu-satunya agritech yang memakai sistem itu di Indonesia.

“Kita harus membuat pemesanan sebelumnya, mengumpulkan permintaan, menginformasikan ke supplier, lalu mengirim produk ke gudang; dan kami akan mengirimnya ke agen. Dengan demikian kita bisa memastikan kesegaran, mendorong efisiensi dan mengurangi kerugian,” imbuh Alex.

Pendanaan dan target

Sebagai platform yang menghubungkan pembeli akhir dengan penyuplai, Chilibeli mengambil keuntungan dari selisih harga yang mereka peroleh. Dengan beragam jenis pangan yang mereka jual, mereka mengakomodir tiga jalur penyuplai yakni petani, pedagang grosir dan pasar.

Dari skema tersebut, pihaknya menargetkan operasional yang selalu profit. Tahun ini mereka menargetkan memperoleh pendapatan US$120 juta atau Rp1,6 triliun.

Soal pendanaan, startup yang berdiri sejak tahun 2019 tersebut kini sudah mengantongi investasi seri A, persisnya pada Desember 2019 dengan nominal US$10 juta atau sekitar Rp137 miliar. Adapun investor yang berpartisipasi meliputi Lightspeed Venture Partners dan Northstar Group. Tak lama lagi, tepatnya kuartal kedua atau ketiga tahun ini, Chilibeli berniat membuka putaran seri B.

Sebelumnya Chilibeli juga masuk dalam program akselerasi Surge yang diinisiasi oleh Sequoia di tahun 2019.

Alex mengatakan visinya menjadi social commerce terbesar di Asia Tenggara untuk produk pertanian. Untuk itu mereka berniat segera melebarkan area pelayanan mereka ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, diikuti dengan penambahan fasilitas gudang di sekitarnya. Seperti diketahui sekarang Chilibeli hanya dapat melayani pelanggan di Jakarta dan sekitarnya.

“Tidak ada pemain lain di negeri ini yang memakai sistem komunitas untuk produk segar, tidak ada baik itu B2B ataupun B2C. Kami memberdayakan ibu-ibu dan komunitas dengan mengombinasikan social commerce dan produk segar,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

Ekosis Usung Konsep B2B Marketplace untuk Hubungkan Petani dengan Pebisnis

Di Indonesia sudah banyak startup yang mencari peluang bisnis dengan menghadirkan konsep marketplace, tentunya dengan niche dan pendekatan yang beragam. Satu dari banyak startup itu adalah Ekosis. Dengan konsep marketplace, mereka tengah berusaha menjadi tempat untuk menghubungkan pebisnis mendapatkan berbagai macam produk agribisnis, mulai dari pertanian, kelautan dan perikanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, hingga pertambangan.

Ekosis dimulai sejak awal tahun 2019, persisnya pada bulan Maret. Kendati belum genap satu tahun Co-founder & CMO Ekosis Ranggi Muharam mengklaim mereka sudah berhasil menjangkau 15 perusahaan agribisnis, lebih dari 500 petani dan nelayan, dan sudah aktif di 15 kabupaten kota dan 7 provinsi.

“Posisi Ekosis adalah sebagai jembatan yang menghubungan petani dan nelayan dengan perusahaan. Kami bukan sebagai offtaker yang hanya menambah atau memindahkan mata rantai. Petani dan nelayan menjual langsung hasil panen dan produk mereka kepada perusahaan agribisnis melalui platform ekosis,” jelas Ranggi.

Ranggi menambahkan, transaksi dan negosiasi tawar menawar harga terjadi di chat room Ekosis. Dengan fitur ini perusahaan agribisnis dapat langsung menanyakan harga dan ketersediaan barang kepada petani dan nelayan. Startup yang sudah berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal ini rencananya akan mengambil komisi untuk setiap transaksi yang terjadi, namun hal tersebut baru akan diimplementasikan di tahun ketiga atau keempat.

Suasana kantor Ekosis / Ekosis

Rantai perdagangan yang lebih efektif

Ranggi kepada DailySocial menceritakan bahwa Ekosis bermula dari cita-cita untuk memangkas rantai perdagangan agar lebih efektif. Mengusung misi menyejahterakan petani dan nelayan dengan membantu mereka mendapatkan harga yang pantas untuk hasil yang mereka dapatkan.

Menurutnya selain petani dan nelayan bisa menjual hasil panen, mereka juga bisa mengetahui kebutuhan perusahaan agribisnis, karena platform Ekosis memungkinkan para perusahaan memberikan informasi kebutuhan mereka untuk. Selanjutnya para petani dan nelayan bisa memberikan penawaran ke perusahaan tersebut.

“Selain itu kami juga menghubungkan penyedia jasa angkutan atau logistik, baik perorangan maupun perusahaan, untuk dapat menawarkan jasa melalui platform Ekosis guna mengangkut hasil panen dari petani atau nelayan ke perusahaan, sehingga mereka tidak lagi kebingungan dalam mengirim hasil panen ke perusahaan. Pemilik layanan angkutan pun bisa aktif mencari dan menawarkan jasa ke petani dan nelayan. Pilihaan layanan jasa angkut beragam, mulai dari darat, laut, maupun udara,” jelas Ranggi.

Ranggi dan timnya cukup optimis karena apa yang mereka hadirkan merupakan solusi dari permasalahan yang dikeluhkan petani dan nelayan di Indonesia. Terlebih lagi mereka telah bekerja sama dengan Kemendesa dan KKP untuk membantu memasarkan produk petani dan nelayan yang tinggal di daerah tertinggal dan pesisir.

“Target kami di tahun 2020, kami akan melakukan grand launching platform Ekosis, dapat memberikan dampak positif dan meningkatkan kesejahteraan kepada lebih dari 20.000 petani dan nelayan di 100 kabupaten dan kota di 15 provinsi Indonesia. Sedangkan target besar kami dalam 5 tahun bisa memberikan manfaat dan membantu 7 juta petani dan nelayan di lebih dari 300 kabupaten dan kota di 32 provinsi Indonesia,” tutup Ranggi.

Application Information Will Show Up Here

Peluang Startup Agritech Selesaikan Isu Manajemen Produk Pertanian

Sektor pertanian selalu menjadi perhatian besar di Indonesia, sebagai negara yang kerap mengklaim dirinya sebagai agraris. Kemunculan startup agritech relatif berhasil mengubah lanskap pertanian meskipun di dalamnya masih terdapat banyak sekali masalah belum terpecahkan.

Dalam #SelasaStartup minggu ketiga November 2019, menghadirkan VP of Product TaniHub Zakka Fauzan Muhammad. Ia mengemukakan seluk-beluk peluang dan tantangan agritech dari sudut pandang manajemen produk (product management).

Tantangan dan kesempatan

Sayur dan buah adalah sumber pangan penting yang menjadi salah satu komoditas utama TaniHub. Salah satu masalah besar menurut Zakka untuk komoditas ini adalah hasil panen dengan kualitas terbaik dari petani lokal masih terbilang sedikit. Diperkirakan hasil panen petani lokal yang memiliki grade A hanya sekitar 10-20%, grade B sekitar 20%, grade C sekitar 30-40%, dan sisanya grade D ke bawah.

“Petani kita ada kecenderungan lebih suka panennya dibeli semua dengan harga murah padahal grade A itu harganya bisa dua kali atau tiga kali lipat dari grade C,” ujar Zakka.

Salah satu penyebab kecilnya hasil panen berkualitas itu terkait pengairan dan pemupukan yang tidak merata. Zakka mengakui teknologi pertanian di sini masih jauh dari mapan sehingga ada kemungkinan pengairan dan pemupukan lahan pertanian tidak merata karena sifatnya yang masih manual.

Tantangan berikutnya, menurut Zakka, adalah memperkirakan angka permintaan konsumen dan hasil panen di sisi lain. Mencari titik temu antara supply dan demand ini adalah pekerjaan besar.

“Ini tantangan untuk product development. Caranya kita bisa lihat data beberapa tahun ke belakang agar bisa meminimalkan demand yang tidak terpenuhi dan supply yang berlebih,” ucapnya.

Zakka menambahkan tantangan lain yang tak kalah sulit adalah menghitung waktu pembusukan hasil panen. Faktor ini bisa berpengaruh besar terhadap distribusi.

Di sisi lain, mereka punya kesempatan mencari tahu waktu pembusukan paling akurat. Jika berhasil mereka bisa menentukan waktu penyimpanan dan pengiriman paling akurat agar produk yang dikirim tak akan lebih dari usia matangnya.

“Belum ada teknologi untuk mengukur kecepatan matang buah atau sayur,” pungkas Zakka.

Menurutnya, TaniHub saat ini memiliki sejumlah aplikasi dengan tujuan penggunaan berbeda. Aplikasi pertama untuk konsumen, yang kedua untuk petani, ketiga untuk tim internal, manajemen gudang, dan terakhir TaniFund.

TaniHub kini diklaim sudah merangkul sekitar 35 ribu petani dengan 800 SKU. Mayoritas produk yang mereka hasilkan antara lain buah, sayur, ikan, ayam, dan beras.

TaniHub Introduces a New Business Unit “TaniSupply”, Focused on Supply Chain

An agri-tech startup, TaniHub Group, introduces TaniSupply (PT Tani Supply Indonesia) focused on solving issues related to the supply chain. The firm was established in September, 19th 2019.

As a sidenote, TaniHub (e-commerce platform), TaniFund (p2p lending), and TaniSupply (supply chain) are operated under TaniHub Group. Each of them is working on different focuses with different regulators, yet one vision to accelerate a positive impact on the agriculture industry.

TaniSupply Director, Vincentius Sariyo explained the maneuver under its own entity will be more aggressive in order to develop supply chain business in agriculture. In fact, the license of TaniSupply stands under a different department with TaniFund (Financial) and TaniHub (Communication and Informatics).

In the warehouse, TaniSupply team makes purchasing from farmers. Next, the grading process for fruit and vegetables, measuring sweetness, quality control (QC), and quality assurance (QA). Lastly, a logistics team to ensure product quality until it’s safely delivered to the customers.

“We’re now in the middle, we have TaniHub upfront and TaniHub in the back for online distribution. TaniSupply will take care of purchasing from farmers, and the function of a chain, warehouse, last-mile delivery, quality control, and others,” Sariyo explained on Wed (11/20).

The current warehouses are installed with a certain-standard cooler to keep the product from deteriorating. Warehouses can also be used, in terms of rent, by other parties to store food products for a certain period of time.

Investment in storage machines such as blast freezers will also be prepared to complement market needs. He even mentioned that TaniSupply is applying for certification for ISO 22000 related to food safety and halal warehouses. It is also possible to export to neighboring countries.

As a result, plans are to be developed from TaniSupply in the future, not only for the ecosystem within the group but also for the sustainability of the overall agricultural ecosystem.

The distribution of the TaniSupply warehouse will be focused outside of Java for the more integrated agricultural ecosystem. This includes shortening the distribution chain from farmers before being distributed to consumers.

To date, the company has some warehouses or distribution centers located in four cities (Bogor, Bandung, Yogyakarta, and Surabaya) and some other locations.

TaniSupply is targeting more locations around Bali, Sulawesi, and Balikpapan. The latest one will be located in Cikarang for 10 thousand square meters.

“In 2021, we’re to open new locations in all over the cities throughout Indonesia.”

Last-year issues with the agriculture supply chain in Indonesia

TaniSupply Director Vincentius Sariyo / TaniHub Group
TaniSupply Director Vincentius Sariyo / TaniHub Group

Sariyo explained the first initiative in building TaniSupply is to create an end-to-end agriculture ecosystem. There are more issues on the field to be solved with technology.

Each business unit from TaniGroup has different issues with a red needle to improve the agriculture technology that is currently a mess.

All this time, there’s always been a mismatch in the composition of supply and demand in agriculture. It is due to the crops in different grades, not every off-taker (buyers, including middlemen) wants.

The rest of the low-rated crops forced to be sold way cheaper than the cost of goods sold (COGS). This is causing a loss for the farmers. Many more issues come from the old paradigm that imprisons local farmers, making it very difficult for them to grow.

TaniHub is said to cultivate 35 thousand farmers and agri-communities, providing 800 business certificates more or less. The majority of goods are fruits, vegetables, fish, chicken, eggs, and rice. Only, 90% of those are trading farmers or free trade.

“In order to fulfill the demand for TaniHub, 90% comes from trading farmers. Only 10% comes from TaniFund, so they [TaniFund] still have a lot of homework to do,” TaniHub’s VP of Corporate Services, Astri Purnamasari said.

The offline sales on TaniHub still leading with 80% than the offline service. Most of the offline consumers are supermarkets, Horeca, F&B industries, retails, and startups.

“Previously, TaniHub was directly focused on B2C through an application. As time goes on without scale-up, we finally switch to B2B.”

The company also distributes some private label to the offline partners. For example, SommerVille for fruit-only goods; VIS for fish products; Fowler for chicken, duck, and eggs; GoldFarm for organic vegetables; and Lentik for rice.

With TaniSupply, TaniHub Group is tightening its position as the end-to-end agri-tech service. To date, there is no agri-tech player to serve end-to-end service in the agricultural ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

TaniHub Kenalkan Unit Bisnis Barunya “TaniSupply”, Khusus Tangani Rantai Pasokan

Startup agritech TaniHub Group memperkenalkan TaniSupply (PT Tani Supply Indonesia) yang bergerak khusus mengatasi isu di rantai pasokan. Perusahaan baru berdiri secara resmi pada 19 September 2019.

Sebagai catatan, TaniHub (platform e-commerce), TaniFund (p2p lending), dan TaniSupply (supply chain) bernaung di bawah agritech TaniHub Group. Ketiganya bergerak di bidang yang berbeda dengan regulator yang berbeda pula, namun dengan satu visi mempercepat dampak positif dalam pertanian.

Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo menjelaskan, manuvernya di bawah entitas sendiri akan jauh lebih agresif dalam mengembangkan bisnis rantai pasokan pertanian. Pasalnya, izin usaha dari TaniSupply ini berdiri di bawah payung kementerian yang berbeda dengan TaniFund (OJK) dan TaniHub (Kemenkominfo).

Di gudang, tim TaniSupply melakukan proses pembelian dari petani. Lalu memroses grading buah dan sayur, mengukur tingkat kemanisan, melakukan quality control (QC), dan quality assurance (QC). Terakhir, ada tim logistik untuk mengunci kualitas produk yang sampai ke tangan pelanggan tetap terjaga.

“Kita ada di tengah-tengah, di depan ada TaniFund dan di belakang kita ada TaniHub untuk channel penjualan online-nya. TaniSupply akan mengurus pembelian dari petani, ada fungsi chain, gudang, last mile delivery, quality control, dan lainnya,” terang Sariyo, Rabu (20/11).

Saat ini gudang perusahaan diinstalasi dengan pendingin berstandar khusus untuk menjaga produk agar tidak mengalami penurunan kualitas. Gudang juga bisa dipakai, dalam artian sewa, oleh pihak lain untuk menyimpan produk makanan untuk jangka waktu tertentu.

Investasi mesin penyimpanan seperti blast freezer juga bakal disiapkan untuk melengkapi kebutuhan pasar. Bahkan dia menyebut TaniSupply sedang mengajukan sertifikasi untuk ISO 22000 terkait keamanan pangan dan gudang halal. Terbuka juga kemungkinan untuk ekspor ke negara tetangga.

Alhasil, banyak rencana yang bisa dikembangkan dari TaniSupply ke depannya, tidak hanya untuk ekosistem di dalam grup saja, juga buat keberlangsungan ekosistem pertanian secara keseluruhan.

Persebaran gudang TaniSupply akan difokuskan ke luar Jawa untuk perkuat ekosistem pertanian agar semakin terintegrasi. Termasuk di antaranya untuk persingkat rantai distribusi dari petani sebelum didistribusikan ke konsumen.

Saat ini perusahaan memiliki gudang atau distribution center yang terletak di empat kota (Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya), serta sejumlah titik distribusi di berbagai area.

Lokasi tambahan yang akan disasar TaniSupply di antaranya Bali, Sulawesi, dan Balikpapan. Gudang terbaru TaniSupply akan berada di Cikarang seluas 10 ribu meter persegi.

“Tahun 2021 kami targetkan hadir di seluruh kota di seluruh Indonesia.”

Isu lama soal rantai pasokan di pertanian Indonesia

Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo / TaniHub Group
Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo / TaniHub Group

Sariyo menjelaskan inisiasi mendirikan TaniSupply sebenarnya karena keinginan untuk membentuk ekosistem pertanian yang menyeluruh dari hulu ke hilir. Masih banyak isu di lapangan yang bisa diselesaikan dengan teknologi.

Masing-masing unit bisnis dari TaniGroup memiliki permasalahan berbeda dan punya benang merahnya, ingin memperbaiki ekosistem pertanian yang hingga kini belum tertata rapi.

Selama ini komposisi antara supply dan demand di pertanian selalu ada mismatch. Lantaran, hasil tani yang terbagi ke dalam beberapa grade, tidak semuanya mau diserap oleh off taker (pembeli, salah satunya tengkulak).

Hasil tani sisaan dengan grade rendah akhirnya terpaksa dijual jauh dari harga pokok penjualan (HPP). Kondisi ini tentunya membuat petani merugi. Masih banyak isu lainnya yang berkaitan dengan paradigma lama yang masih mengekang petani lokal, sehingga sulit untuk berkembang.

TaniHub terhitung telah membina sekitar 35 ribu petani dan kelompok tani, menyediakan sekitar 800 SKU. Mayoritas adalah buah-buahan, sayur, ikan, ayam, telur, dan beras. Hanya saja, 90% dari petani ini adalah petani trading atau jual lepas.

“Untuk memenuhi demand di TaniHub, 90% disuplai oleh petani trading. Baru 10% datang dari TaniFund, jadi PR-nya di TaniFund masih banyak,” tambah VP of Corporate Services TaniHub Astri Purnamasari.

Penjualan offline lewat TaniHub masih mendominasi sekitar 80%, ketimbang jalur online. Mayoritas konsumen di offline ini adalah supermarket, Horeca, industri F&B, peritel, hingga startup.

“Awalnya bisnis TaniHub itu, diarahkan ke B2C via aplikasi. Tapi seiring waktu tidak scale up, akhirnya kita switch ke B2B.”

Perusahaan mendistribusikan beberapa private label saat mendistribusikan ke mitra offline. Misalnya, SommerVille untuk brand khusus buah; VIS untuk produk ikan; Fowler untuk daging ayam, bebek, dan telur; GoldFarm untuk sayur organik; dan Lentik untuk beras.

Dengan kehadiran TaniSupply, TaniHub Group makin memantapkan diri sebagai layanan agritech end-to-end. Sejauh ini, kebanyakan pemain agritech belum ada yang bermain dari hulu ke hilir dalam ekosistem pertanian.

Application Information Will Show Up Here