Akulaku Peroleh Investasi Strategis 1,4 Triliun Rupiah dari Siam Commercial Bank

Akulaku mengumumkan perolehan investasi strategis senilai $100 juta atau lebih dari Rp1,4 triliun dari Siam Commercial Bank (SCB), bank umum terkemuka di Thailand. Kesepakatan ini mengikuti keberhasilan pendanaan yang diterima Akulaku sebesar $125 juta pada tahun lalu dipimpin oleh investor Akulaku sebelumnya Silverhorn Group, yang sekaligus menjadi mitra pembiayaan (financing partner) sejak 2018.

Anak usaha Akulaku, yakni Bank Neo Commerce (BNC), juga menyelesaikan penawaran umum hak publik di Bursa Efek Indonesia dengan nilai sekitar $175 juta (lebih dari Rp2,5 triliun) pada kuartal IV 2021. Dikabarkan, pendanaan yang diterima Akulaku ini merupakan penutupan penggalangan dana pra-IPO melalui jalur SPAC. Menurut pemberitaan di DealStreetAsia, Akulaku akan melantai di bursa pada 2022.

Dalam keterangan resmi, CEO Akulaku William Li menyampaikan, dana segar memungkinkan perusahaan untuk melanjutkan visinya memperluas jangkauan geografis produk dan layanannya ke seluruh Asia Tenggara dan terus berinovasi. “Kami mendirikan Akulaku untuk memenuhi kebutuhan keuangan sehari-hari dari pelanggan yang kurang terlayani di pasar negara berkembang,” ucap Li, Selasa (15/2).

Presiden Siam Commercial Bank Dr. Arak Sutivong mengatakan, langkah investasi yang diambil SCB ini menandai komitmen berkelanjutan dan keyakinan kuatnya terhadap prospek jangka panjang Indonesia sebagai salah satu ekonomi digital dengan pertumbuhan tercepat di kawasan ini. Ia melihat Akulaku memiliki posisi pasar yang dominan dan memiliki posisi yang baik dengan teknologi inovatif dan penawaran produk unggulannya.

“Kami sangat antusias dengan investasi di perusahaan ini dan berharap dapat memanfaatkan keahlian mendalam kami di sektor jasa keuangan Thailand untuk mendukung ekspansinya. Investasi di Akulaku cocok dalam tesis regional kami untuk melayani pasar yang kurang terlayani menggunakan inovasi digital. Kami berharap dapat bermitra dengan Akulaku seiring dengan pertumbuhan perusahaan,” kata Sutivong.

Telah menyalurkan kredit ke 6 juta nasabah

Didirikan pada tahun 2016, Akulaku telah berkembang menjadi platform Buy Now Pay Later (BNPL) dan pembiayaan konsumen di Indonesia, mengklaim telah menyalurkan kredit lebih dari $2,2 miliar pada 2021 ke lebih dari 6 juta pengguna. Cakupan layanan Akulaku tidak hanya Indonesia, tapi juga Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

Berangkat dari kesuksesan itu, BNC meluncurkan layanan mobile digital banking pada Maret 2021, dan kini menjadi bank digital dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia dengan lebih dari 13 juta pengguna saat ini. Perusahaan juga memiliki grup anak usaha keuangan lain yang bergerak di lending, yakni Asetku yang beroperasi di Indonesia, dan layanan BNPL sejenis yang hadir di Eropa bernama Wisecart.

Dengan lebih dari 80% konsumen yang sekarang berpartisipasi dalam e-commerce, pasar ritel digital Asia Tenggara tumbuh secara eksponensial. Layanan kredit digital Akulaku siap untuk lebih dipercepat transformasi digital ritel di Asia Tenggara, menyediakan pasar baru akses konsumen ke layanan perbankan yang fleksibel.

Akulaku sendiri disebut-sebut sudah mencapai status unicorn sejak 2019 dengan valuasi lebih dari $1,1 miliar, menurut laporan yang disusun Credit Suisse bertajuk “ASEAN Unicorn, Scaling the New Height”. Perusahaan sendiri belum menyampaikan statusnya tersebut hingga kini ke publik.

BNPL melesat semenjak pandemi

Laporan khusus mengenai ekosistem paylater di Indonesia yang dirilis DSInnovate yang mengemukakan, paylater menjadi layanan favorit peringkat kedua pada tahun 2020 (72,5%) atau sedikit di bawah platform dompet digital yang memiliki rekognisi sebesar 82,2%.

Di sisi lain, tren positif e-commerce yang kian terakselerasi oleh pandemi turut menjadi pemicu tingginya adaptasi produk paylater di masyarakat. Bukan tanpa alasan, riset yang dirilis oleh ResearchAndMarkets di penghujung 2020 kemarin menyatakan, prediksi pertumbuhan Gross Merchandise Value (GMV) yang bakal mencapai angka US$8,5 miliar di 2028 diperkirakan bakal turut mendongkrak fasilitas paylater sebesar kira-kira 76,7% setiap tahunnya.

Pun dengan halnya riset terbaru yang dirilis oleh Kredivo dan Katadata Insight Center berjudul “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021”, juga menunjukkan peningkatan pengguna paylater, yakni terdapat 55% pengguna baru yang menggunakan fitur paylater Kredivo.

Tingginya penggunaan paylater juga memberikan dampak positif dari sisi supply, di mana fitur tersebut mampu membantu merchant dalam peningkatan AoV (average order value), meningkatkan penjualan dengan menawarkan kredit tanpa kartu kredit, dan juga meningkatkan konversi penjualan dengan mengurangi friksi selama proses belanja.

Sementara paylater sendiri memiliki dua klasifikasi, yaitu: paylater yang dimiliki oleh startup digital (e-commerce, OTA, ride-hailing service, dan lainnya) dan yang kedua adalah layanan paylater yang dimiliki oleh startup fintech. Di Indonesia sudah banyak perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater, implementasinya tidak terbatas, paylater besutan fintech umumnya menjadi platform kredit “online” yang dapat digunakan di mana saja, mulai dari e-commerce, hingga gerai ritel.

 

Konsep Beli Sekarang Bayar Nanti di Indonesia Semakin Marak, Risiko Masih Tinggi

Dalam era gaya hidup digital-first, berbelanja tidak pernah semudah ini, berkat e-commerce dan fintech. Ketika melihat barang yang diinginkan di media sosial atau di pasar, Anda dapat membelinya dan langsung mengirimkannya dengan beberapa ketukan di ponsel pintar. Lalu, jika kekurangan uang tunai, Anda bahkan dapat membayarnya nanti dengan menggunakan metode BNPL.

BNPL adalah singkatan dari buy now pay later atau dalam bahasa Indonesia “beli sekarang, bayar nanti.” Hal ini memungkinkan pelanggan berkomitmen untuk pembelian dan melakukan pembayaran sebagian dari waktu ke waktu sampai saldo diselesaikan. Konsep BNPL bukanlah hal baru, karena mirip dengan produk pembiayaan angsuran yang sudah ada. Namun, penawaran BNPL berbasis aplikasi mendapatkan momentum di kalangan pembeli milenial dan Gen Z di Asia Tenggara di balik ledakan e-commerce, berkat kemudahan dan kepraktisannya.

Kesenjangan pinjaman di Indonesia masih signifikan, sementara penetrasi kartu kredit masih rendah di angka 5%. Ini menjadi peluang bagi BNPL untuk mengisi celah ini dan memberikan pinjaman pribadi untuk pelanggan yang kurang terlayani.

“Dengan meningkatnya adopsi smartphone di seluruh wilayah, layanan berbasis aplikasi seperti BNPL membuat akses ke layanan keuangan menjadi sangat mudah. Banyak orang Indonesia yang tersisih secara finansial, jadi BNPL menawarkan cara bagi mereka untuk mengakses kredit,” Zennon Kapron, direktur perusahaan riset dan konsultan fintech Kapronasia, mengatakan kepada KrASIA.

Saat ini, hampir semua platform e-commerce di Indonesia mengadopsi metode checkout BNPL dengan bermitra dengan berbagai penyedia fintech. Kredivo yang berkantor pusat di Jakarta telah menjadi salah satu pionir di segmen fintech BNPL sejak 2016, sementara pemain BNPL besar lainnya di tanah air termasuk Akulaku, Home Credit, Traveloka PayLater, dan Shopee PayLater.

Meningkatkan transaksi e-commerce

BNPL membawa banyak manfaat bagi merchant. Hal ini membantu vendor meningkatkan tingkat konversi dan nilai transaksi add-to-cart, serta menjangkau calon pelanggan baru. Pada tahun 2020, 55% pengguna e-commerce baru di Indonesia memilih untuk menggunakan opsi BNPL saat melakukan pembelian di platform e-commerce, menurut survei yang dilakukan oleh Kredivo dan Katadata Insights Center. Survei tersebut didasarkan pada 10 juta transaksi di enam platform e-commerce yang dilakukan antara Januari dan Desember 2020.

“Penyedia BNPL mengendarai gelombang e-commerce, yang merupakan perkembangan alami karena kredit akan meningkatkan daya beli konsumen pada platform e-commerce,” ujar Kenneth Li, mitra di MDI Ventures, pendukung beberapa perusahaan fintech, termasuk Kredivo. Dengan bermitra dengan platform e-commerce, penyedia BNPL dapat melacak kebiasaan belanja pengguna, yang selanjutnya akan menambah wawasan ke mesin penilaian kredit mereka untuk mengevaluasi potensi risiko saat meminjamkan uang atau memberikan kredit, tambahnya.

Platform online dan operator fintech telah melaporkan pertumbuhan yang stabil dalam transaksi BNPL selama setahun terakhir. Traveloka—perusahaan non-fintech pertama yang menawarkan layanan ini di Indonesia sejak 2018—mendapatkan peningkatan pengguna PayLater sebesar 750% sejak program diluncurkan.

Pada saat yang sama, di Tokopedia, transaksi BNPL meningkat dua kali lipat pada tahun 2020. Platform e-commerce ini bermitra dengan pemain seperti GoPay, Ovo, Kredivo, dan Indodana untuk program BNPL-nya. Blibli, yang juga bekerja sama dengan Indodana untuk layanan BNPL-nya, melaporkan pertumbuhan bulanan 63% antara Mei dan Oktober tahun lalu. KrASIA tidak dapat menemukan data tentang transaksi BNPL di platform e-commerce lain seperti Shopee, Bukalapak, dan Lazada.

Adapun Kredivo, total basis penggunanya telah berlipat ganda dalam sepuluh bulan terakhir, dan pendapatan tahunannya juga berlipat ganda selama tujuh bulan sebelumnya, VP pemasaran dan komunikasi perusahaan, Indina Andamari, mengatakan kepada KrASIA. Kredivo saat ini bermitra dengan sepuluh platform e-commerce dan memiliki hampir 4 juta pelanggan. “Kami menawarkan batas saldo hingga Rp 30 juta (USD 2.105), yang merupakan tertinggi di antara pemain BNPL di negara ini,” kata Indina.

Sisi lain paylater: Meningkatkan konsumerisme dan potensi terjebak hutang

Ide untuk membeli suatu produk tanpa langsung mengeluarkan uang sangat menggiurkan bagi banyak orang. Konsumen mungkin mendapatkan rasa aman yang salah, yang dapat menyebabkan belanja impulsif, dan mereka mungkin menghabiskan uang yang tidak mereka miliki.

Penelusuran cepat di Media Konsumen, situs yang membantu konsumen menyuarakan pendapatnya, menunjukkan banyak keluhan terkait penawaran BNPL. Beberapa pelanggan menulis surat terbuka di situs web yang meminta pengurangan tingkat bunga atau biaya keterlambatan, karena mereka tidak dapat melunasi hutang mereka. Beberapa pengguna bahkan menggambarkan praktik penagihan utang yang tidak etis oleh penyedia BNPL, sementara yang lain melaporkan transaksi misterius dan tidak sah pada rekening pembayaran mereka nanti.

Termasuk juga kurangnya pendidikan seputar BNPL, yang dapat menyebabkan konsumsi berlebihan. Mengajukan akun BNPL itu mudah—pada sebagian besar platform, hanya membutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk diverifikasi, dan kemudian akun pengguna diaktifkan. BNPL tidak memerlukan laporan gaji atau pendapatan, sehingga lebih sederhana daripada aplikasi kartu kredit. Namun, BNPL dapat memberi konsumen akses ke kredit yang tidak mampu mereka bayar, yang dapat menyebabkan jebakan utang yang semakin sulit untuk dilepaskan dengan setiap keterlambatan pembayaran.

“Secara global, regulasi seputar BNPL sangat sedikit, hal ini memastikan adanya risiko dalam model yang ada. Masih harus dilihat apa dampaknya bagi konsumen yang mungkin atau mungkin tidak terbiasa dengan model jenis ini dan mungkin terjebak oleh biaya tersembunyi atau sulit dipahami,” kata Zennon.

Sumber pendapatan terbesar bagi penyedia BNPL adalah biaya transaksi yang diperoleh dari pengecer atau pasar digital. Biaya ini cenderung lebih tinggi daripada transaksi kartu kredit atau debit biasa, dengan biaya pemrosesan mulai dari 2% hingga 8% per transaksi, dibandingkan dengan 1,3% hingga 3,5% pada mobil kredit biasa. Pemotongan yang lebih besar sering kali datang dengan janji nilai transaksi yang lebih tinggi untuk pedagang.

Namun, perusahaan juga memperoleh pendapatan tambahan dari penalti yang diterapkan pada pembayaran yang terlambat, sesuatu yang mungkin tidak disadari oleh pelanggan. Opsi bayar kemudian dari Shopee dan Traveloka membebankan biaya keterlambatan sebesar 5% per bulan dari total tagihan. Sementara itu, Kredivo mengenakan tarif 6%.

“Mirip dengan perusahaan kartu kredit, kami membebankan bunga kepada pelanggan kami, tetapi tarif kami termasuk yang terendah di negara ini. Kami menawarkan paket 0% untuk pembayaran nanti dalam 30 hari atau tiga bulan cicilan. Biaya merchant kami juga rendah,” kata Indina dari Kredivo, tanpa mengungkapkan jumlah pastinya. Dia menambahkan, rasio kredit bermasalah pada platform saat ini rendah, sekitar 2,5% hingga 3%.

Terlepas dari beberapa risiko yang disebutkan, Kenneth dari MDI Ventures berpendapat bahwa manfaat BNPL lebih besar daripada ancamannya, karena layanan ini memungkinkan pelanggan yang tidak memiliki rekening bank dan yang tidak memiliki rekening bank untuk mengakses kredit. Ini dapat membantu pelanggan menjaga arus kas mereka tetap terkendali dan pada akhirnya meningkatkan mata pencaharian mereka.

“Penyedia jasa BNPL tentunya harus bertanggung jawab dalam memberikan limit saldo kepada pelanggan. Mereka dapat melakukannya dengan melatih mesin penilaian kredit dengan benar agar tidak membebani individu dengan pengeluaran yang berlebihan,” pungkas Kenneth.

Perbandingan antar penyedia layanan di Indonesia

 

Data selengkapnya dapat dilihat melalui tautan terkait

Pertumbuhan berkelanjutan

Sepertinya BNPL ada untuk tinggal. Pembayaran “Beli sekarang, bayar nanti” di negara ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 72,8% per tahun mencapai USD 1,537 miliar pada tahun 2021, menurut sebuah laporan oleh PayNXT360, platform intelijen bisnis yang berfokus pada pembayaran. Nilai barang dagangan bruto BNPL di dalam negeri diproyeksikan meningkat dari USD 889,7 juta pada tahun 2020 menjadi USD 9,2 miliar pada tahun 2028.

Penyedia BNPL juga bekerja sama dengan bank untuk memberikan pinjaman kepada lebih banyak pelanggan. Pada bulan September, Traveloka bermitra dengan Bank Negara Indonesia untuk meluncurkan “nomor kartu bayar nanti virtual”, yang pertama di Asia Tenggara. Pelanggan dapat menggunakan nomor kartu virtual untuk berbelanja di berbagai platform e-commerce seperti Shopee, Lazada, JD.id, Bukalapak, dan Tokopedia. Perusahaan juga bermitra dengan pemberi pinjaman milik negara BRI dan Bank Mandiri untuk Traveloka PayLater Card dan Traveloka Mandiri Card, dua penawaran yang memungkinkan pengguna bertransaksi dengan pedagang offline dan online yang didukung oleh jaringan Visa.

Bank-bank besar di seluruh negeri juga mengejar pangsa pasar yang lebih besar dan telah mulai mengembangkan produk bayar nanti mereka sendiri untuk menjangkau pelanggan baru, terutama mereka yang tidak memiliki kartu kredit. Namun, Kenneth berharap untuk melihat lebih banyak kolaborasi antara fintech dan bank tradisional serta lembaga keuangan lainnya dalam waktu dekat. “Pasar BNPL masih dalam tahap awal di Indonesia. Karena adopsi pembayaran digital terus tumbuh, BNPL juga akan berkembang,” katanya.

Saat pasar matang, pihak berwenang kemungkinan akan memberlakukan pedoman yang lebih ketat untuk segmen ini. Misalnya, Otoritas Moneter Singapura saat ini sedang mengkaji pendekatan regulasi yang tepat untuk BNPL di tengah kekhawatiran atas utang konsumen. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menetapkan aturan yang harus dipatuhi oleh para pelaku fintech BNPL untuk beroperasi. Belum diketahui apakah organ tersebut akan merevisi kerangka tersebut dalam waktu dekat.

“Kami mengharapkan regulator untuk lebih memperhatikan segmen di masa depan, yang kemungkinan akan membatasi keuntungan bagi penyedia BNPL dalam jangka panjang,” kata Kapron.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Akulaku Jadi Pemegang Saham Pengendali Bank Neo Commerce

Akulaku (PT Akulaku Silvrr Indonesia) resmi melakukan pengambilalihan Bank Neo Commerce (PT Bank Neo Commerce Tbk – BBYB). Aksi strategis ini memungkinkan BBYB memanfaatkan teknologi yang dimiliki Akulaku dalam melakukan transformasi digital.

Sesuai ketentuan POJK 41/2019, pengambilalihan saham bank dianggap mengakibatkan beralihnya pengendalian bank apabila kepemilikan menjadi yang terbesar. Saat ini porsi kepemilikan Akulaku terhadap BBYB adalah 24,98% dan menjadi pemegang saham terbesar.

Porsi kepemilikan saham di Bank Neo Commerce

Sebelumnya dalam kesempatan wawancara dengan Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan, sejak akhir 2020 perusahaan mulai menggenjot pengembangan produk dan fitur baru serta kemitraan strategis dengan ekosistem digital. Tujuannya tak lain untuk memberikan pengalaman bank digital baru kepada nasabahnya.

Secara khusus juga disampaikan, dengan aplikasi neo+ pihaknya secara spesifik membidik segmen mass market, terutama anak muda yang mendominasi jumlah populasi Indonesia.

Peran Akulaku dalam transformasi

Seperti diketahui, Akulaku saat ini menyajikan layanan fintech berbasis pinjaman, baik dalam bentuk tunai maupun cicilan pembelian barang. Menurut statistik yang disampaikan, saat ini aplikasinya aktif digunakan oleh lebih dari 5 juta pengguna dengan lebih dari 150 juta transaksi yang berhasil difasilitasi.

Di sisi lain, Akulaku juga sajikan layanan B2B, salah satunya terkait solusi perbankan digital. Platformnya mampu melakukan serangkaian kapabilitas, termasuk e-KYC, skoring kredit, pengelolaan akun, hingga manajemen transaksi.

Ekosistem digital yang luas ini menurut Tjandra dapat secara signifikan memberikan sumbangsih untuk Bank Neo Commerce. Sejumlah integrasi juga mulai dilakukan, seperti pembukaan rekening lewat aplikasi Akulaku. Kemudian, perusahaan juga akan memanfaatkan ekosistem Akulaku untuk menyalurkan pinjaman ke pengguna.

Keduanya juga tengah mengembangkan loan origination system dan online financing yang ditargetkan komersial pada semester II 2021. Loan origination system merupakan sistem untuk memproses persetujuan kredit, khususnya untuk direct loan/online financing.

Dengan mengadopsi model sinergi dengan ekosistem terbuka, pihaknya tak menutup kemungkinan untuk menambah kemitraan strategis di luar ekosistem Akulaku, baik itu fintech, e-commerce, dan lini bisnis digital lainnya.

Bank dan platform digital

Gojek melalui GoPay (PT Dompet Karya Anak Bangsa) pada Maret 2021 ini juga menambah kepemilikannya di PT Bank Jago Tbk (ARTO) menjadikan total persentase saham yang dimiliki menjadi 21,40%. Sinergi kedua perusahaan pun sudah mulai terealisasi, salah satunya terkait integrasi Bank Jago di aplikasi Gojek sebagai salah satu opsi pembayaran.

Tak berhenti di sana, Bank Jago juga mulai mengeksplorasi sinergi dengan layanan digital lain, salah satunya Bibit untuk memboyong fitur investasi reksa dana ke dalam aplikasi.

Bank Digital lain juga lakukan konsolidasi serupa, misalnya blu dengan ekosistem yang dimiliki oleh Blibli. Diketahui keduanya terhubung sebagai satu keluarga di grup Djarum. Di dalamnya juga ada Cermati Fintech Group yang mungkin berkonsolidasi karena juga tengah fokus mengembangkan platform berbasis BaaS — peran mitra perbankan sangat dibutuhkan untuk perluasan kapabilitas platform.

Sejauh ini sudah ada beberapa perbankan yang cukup erat dengan platform digital populer, di antaranya:

Bank Platform Digital
Neo Commerce Akulaku
Jago Gojek
BCA Digital Blibli
Bank BKE (Sea Bank) Shopee
KEB Hana (Line Bank) LINE
Motion Vision+ dan ekosistem digital MNC

Perbankan lain seperti AGRO (calon bank digital milik BRI) juga tengah bersiap. Konsolidasi yang mungkin dilakukan ialah melalui portofolio unit CVC yang dimiliki. Beberapa kerja sama juga mulai diinisiasi, misalnya dengan Modal Rakyat, Investree, Payfazz, Modalku, dan Tanihub.

Selain fitur, layanan digital yang disebutkan di atas juga memiliki basis pengguna yang besar untuk memungkinkan dikonversi menjadi nasabah baru di masing-masing bank. Sebagai layanan perbankan juga akan lebih leluasa dalam pengelolaan finansial; misalnya untuk menangani keterbatasan floating money yang dimiliki e-money.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bank Neo Commerce Bidik Lima Besar “Top of Mind” Bank Digital Indonesia

Aksi transformasi sejumlah bank konvensional menjadi bank digital ramai mewarnai industri perbankan Indonesia di 2020. PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) merupakan salah satu yang berganti identitas baru dari nama sebelumnya, PT Bank Yudha Bhakti Tbk.

Menilik singkat perjalanannya, rebranding ini dilakukan satu tahun usai perusahaan dicaplok oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang menggenggam mayoritas sahamnya sebesar 24,98%. Perkembangan dan adopsi teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari menjadi alasan utama rebranding ini.

Bank Neo Commerce akhirnya merealisasikan salah satu produk transformasinya, yakni aplikasi mobile banking Neo+. Meski belum diluncurkan secara resmi, aplikasi ini sudah dapat diunduh secara terbatas di Android dan iOS pada akhir Maret 2021. Saat ini, Neo+ mengantongi rating 3.7 dengan lebih dari 1 juta unduhan di Play Store dan 4.1 di App Store.

Menjelang paruh kedua 2021 ini, Bank Neo Commerce mempersiapkan sejumlah produk dan fitur baru demi menyempurnakan pengalaman perbankan yang fully digital kepada nasabah.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan untuk memahami strategi perusahaan lebih lanjut.

Bidik lima besar bank digital Indonesia

Sejak akhir 2020, perusahaan mulai menggenjot pengembangan produk dan fitur baru serta kemitraan strategis dengan ekosistem digital. Menurut Tjandra, ini semua untuk memberikan pengalaman perbankan digital yang baru kepada nasabah. Secara jangka panjang, Bank Neo Commerce menargetkan dapat menjadi bank digital yang punya cakupan layanan dan produk yang lengkap.

Saat ini, Bank Neo Commerce masih membidik segmen mass market, terutama anak muda yang mendominasi jumlah populasi Indonesia. Mengacu data Sensus Penduduk 2020 oleh BPS, generasi Z di Indonesia mencapai 74,49 juta jiwa atau 27,9%, sedangkan generasi milenial tercatat sebanyak 69,38 juta jiwa atau 25,8% terhadap total populasi.

“Kami belum dapat mengungkap target pengguna di tahun ini. Namun tahun ini kami menargetkan dapat masuk lima besar bank digital secara top of mind di Indonesia. Fokus kami tetap melayani perorangan dan korporasi untuk mempercepat pertumbuhan Bank Neo Commerce,” paparnya.

Untuk mendukung pemerataan akses finansial, Bank Neo Commerce juga akan melayani kalangan unbanked dan underbanked di daerah sub-urban maupun luar pulau Jawa, termasuk pelaku UMKM yang belum memanfaatkan layanan digital banking.

Per 31 April 2021, Bank Neo Commerce memiliki total aset sebesar Rp5,91 triliun, total penyaluran kredit Rp3,76 triliun, dan total ekuitas Rp1,07 triliun. Adapun, komposisi pemegang saham per 27 Mei 2021 adalah PT Akulaku Silvrr Indonesia (24,98%), PT Gozco Capital (20,13%), PT Asabri (16,3%), Yellow Brick Enterprise Ltd. (11,1%), dan publik (27,49%).

Sinergi dengan Akulaku

Keterlibatan startup teknologi menjadi strategi kunci yang banyak diadopsi  bank yang bertransformasi menjadi bank digital. Beberapa di antaranya hanya sebatas berkolaborasi, tetapi ada juga yang masuk sebagai pemegang saham. Selain kawin silang teknologi, bank akan mudah mengakselerasi pertumbuhan dengan ekosistem layanan terbuka, termasuk Akulaku masuk ke dalam ekosistem Bank Neo Commerce dan sebaliknya.

Tjandra menyebut, Akulaku memiliki ekosistem digital yang mapan, dan perannya sangat signifikan dalam membantu transformasi perusahaan menjadi bank digital.

Saat ini Akulaku menawarkan produk P2P, marketplace, dan pembiayaan di empat negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Di Indonesia, Akulaku telah bekerja sama dengan sejumlah merchant online dan offline, juga dengan 120 ribu UMKM.

Pada sinergi tahap awal, Bank Neo Commerce akan merealisasikan pembukaan rekening Neo+ melalui platform Akulaku. Kemudian, perusahaan juga akan memanfaatkan ekosistem Akulaku untuk menyalurkan pinjaman ke pengguna.

Keduanya tengah mengembangkan loan origination system dan online financing yang ditargetkan komersial pada semester II 2021. Loan origination system merupakan sistem untuk memproses persetujuan kredit, khususnya untuk direct loan/online financing.

“Kami sedang menunggu persetujuan OJK, tetapi direct loan ini sudah masuk proses pengembangan tahap akhir. Untuk tahap awal, direct loan ini akan terhubung dengan marketplace Akulaku,” ungkapnya.

Dengan mengadopsi model sinergi dengan ekosistem terbuka, pihaknya tak menutup kemungkinan untuk menambah kemitraan strategis di luar ekosistem Akulaku, baik itu fintech, ecommerce, dan lini bisnis digital lainnya.

Pengembangan produk dan fitur baru

Selain sinergi Akulaku, perusahaan tengah mempersiapkan sejumlah produk dan fitur baru untuk memperkuat pengalaman perbankan digital di Neo+. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, direct loan akan tersedia di platform Neo+ dan terintegrasi di ekosistem marketplace di luar Akulaku.

Kedua, Bank Neo Commerce akan terus menambah kemitraan P2P untuk penyaluran pinjaman dengan skema channeling. Di 2021, Bank Neo Commerce menargetkan penyaluran sebesar Rp500 miliar yang didistribusikan ke 20 fintech. Saat ini, pihaknya baru menggandeng lima platform P2P dengan ticket size berkisar Rp20-50 miliar.

“Saat ini kami sudah bekerja sama dengan Crowdo, Danamart, Eska Kapital, Modal Rakyat, dan Restock.id. Kami sedang berdiskusi dengan beberapa fintech yang akan kami umumkan dalam waktu dekat,” tambahnya.

Startup Nilai Pembiayaan
Crowdo Rp30 miliar
Danamart Undisclosed
Eska Kapital Rp20 miliar
Modal Rakyat Rp50 miliar
Restock.id Rp20 miliar

Sumber: Kontan

Ketiga, Bank Neo Commerce akan melengkapi produk dan fitur di Neo+ secara bertahap, seperti proses onboarding secara fully digital dan e-KYC dengan biometric. Rencananya, semua ini akan komersial setelah pihaknya mengantongi persetujuan dari Otoritas Jasa keuangan (OJK). Neo+ juga nantinya bisa digunakan untuk melayani pembayaran, seperti Payment Point Online Bank (PPOB).

“Secara bertahap kami akan bertransformasi sepenuhnya digital. Ini semua sesuai dengan tujuan kami menjadi sebuah neobank, tidak hanya secara produk, tetapi juga dari back-end sampai front-end,” tuturnya.

Sementara untuk melayani kebutuhan transaksi tunai, pihaknya telah bekerja sama dengan jaringan ATM Bersama dan Alto di seluruh Indonesia. Cakupan ini akan ditambah lagi melalui berbagai convenience store atau minimarket untuk transaksi tarik tunai di kasir.

Memperkuat aspek keamanan

Teknologi dan keamanan menjadi aspek penting ketika bertransformasi menjadi bank digital. Ini juga menjadi salah satu alasan utama mengapa OJK mengatur kebijakan modal inti minimal Rp10 triliun untuk mendirikan bank digital. Komitmen investasi sangat penting dalam menunjang pengembangan teknologi.

Tjandra mengungkap, pihaknya telah bekerja sama dengan berbagai perusahaan teknologi untuk memperkuat sistem keamanan di server serta jaringan perangkatnya, antara lain Tencent Cloud, Huawei, dan Sunline.

Dari aspek keamanan dan privasi nabasah, perusahaan memanfaatkan teknologi berbasis database management system alias Tencent Distributed Database (TDSQL) dari Tencent Cloud. Bank Neo Commerce juga menggandeng Sangfor untuk melindungi keamanan dari tindak kejahatan akibat social engineering.

“Kami pastikan untuk mengedukasi pentingnya menjaga keamanan data pribadi kepada para nasabah. Kebiasaan cyber-hygiene mulai harus dikenalkan lebih umum kepada masyarakat luas Indonesia, yaitu menggunakan two-authentication factor atau biometric login untuk masuk ke aplikasi mobile banking miliknya.”

Application Information Will Show Up Here

Collaboration of Startup and Digital Bank to Ramp up Innovation and Financial Inclusion

There was a time when corporations saw startups as a challenge. However, as years passed by, this assumption is getting hazier when the two parties are now collaborating with each other, to complete each other out in winning the market.

In the banking sector, a new phenomenon has occurred, that large startups have started to invest and become majority shareholders in banks that have just transformed into digital banks. For example, Akulaku joined Bank Neo Commerce (BNC), then Gojek invested in Bank Jago, and Sea Group, Shopee’s holding company, which reportedly entered the Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Currently, Akulaku, through PT Akulaku Silvrr Indonesia, is trying to extend ownership in BNC through the rights issue scheme. Therefore, Akulaku’s ownership is to increase from 24.98% to 27.25%. Akulaku has been a shareholder of BNC since 2019.

Moreover, in mid-December 2020, Gojek Group through its subsidiary GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) has invested into Bank Jago in the form of  22% equity at the end of 2020.

Meanwhile, there has not been any confirmation regarding the involvement of Sea Group in BKE. However, there is already strong evidence based on information from the recruitment website which says there is a new placement at “Sea Money-Bank BKE”.

Overseas, the dynamics of digital banks are escalated quickly. For instance, the Monetary Authority of Singapore (MAS) has issued digital bank operating licenses to four corporate groups. The four companies receiving these licenses are (1) Ant Group, a subsidiary of Alibaba Group, (2) the Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel) consortium, (3) the parent Sea Group of Shopee, and (4) a consortium consisting of companies from China, including Greenland Financial Holdings.

Thus, what is the meaning of this synergy between startups and digital banks? How can the synergy between the two be mutually beneficial without breaking the existing rules? The banking sector is a highly regulated sector with high-risk management when it comes to product and service development.

Strong capital and innovation development

Although the terminology for digital banking and the supporting regulations is still unclear, the sign for digital banks has occurred when BTPN launched Jenius. This step was followed by DBS through Digibank. It’s just that Jenius and Digibank are not quite legitimate as digital banks as their business processes are still under the owner’s company.

Therefore, digital banks such as Bank Jago and BNC are experiencing a massive transformation by changing faces and new branding in order to strengthen their position as a digital bank. Bank Jago is a new identity (previously Bank Artos), while BNC was previously named Bank Yudha Bhakti (BYB).

Bank Jago changed the name in June 2020 following its acquisition by a group of investors led by Jerry Ng and Patrick Waluyo through PT Metamorfosis Indonesia (MEI) and Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng is the former President Director of BTPN for a decade and also the person behind the development of Jenius, while Patrick Waluyo is the Co-Founder of Northstar Group, one of the former BTPN owners.

Next, Akulaku became a shareholder in BNC for the first time in March 2019 with 8.9% ownership of the current controlling shareholder, PT Gozco Capital. This fintech platform continues to increase its share ownership to become the controlling shareholder.

In previous reports, Bank Yudha Bhakti’s President Director, Tjandra Gunawan emphasized that his team is transferring the entire work process and business model from a conventional bank to digital, including the existence of branch offices with limited numbers.

In developing internal human resources, BNC recruited many talents in the technology sector, assisted by the collaboration of two giant technology companies, namely Huawei and Sunline.

In recent contact with DailySocial, Gunawan highlighted that BNC is trying to come up with a different positioning through its collaboration with Akulaku. It will target the retail and MSME segments through a number of digital banking products.

“Akulaku as one of the shareholders in BNC is a fintech company that focuses on e-commerce, B2B financing, and other digital financings, therefore, BNC and Akulaku is to combine market segments in the future,” said Tjandra.

Meanwhile, it is still unclear why Sea Group entered through BKE. If it is true, it is possible that BKE will have the same fate as the two banks mentioned above, coming with a new identity. It seems difficult to move forward without a new identity for legacy companies looking to undertake a major transformation.

Product development and integration to the ecosystem

The involvement of Gojek, Akulaku, and Shopee (Sea Group) has the same common thread, namely efforts to integrate innovation into a digital service ecosystem for people who are yet to be exposed to banking services.

Banks are a business of trust, while digital platforms have the strength in technological innovation. In this case, banks can push financial services into a broader platform services ecosystem with a large customer base.

Gojek already has an A to Z service ecosystem. Likewise, Shopee, according to iPrice data, is the e-commerce with the largest monthly visitors in Indonesia in the first quarter of 2020. Meanwhile, Akulaku is targeting a comprehensive financial ecosystem, from marketplaces, P2P lending, to financing.

Quoting KrAsia, Akulaku’s CEO, William Li said that the potential of digital banking in Southeast Asia is enormous. “There are 400 million workers, but only 5% -10% are using digital banking services. That means, we have 300 million potential customers,” Li said. He thought, if Akulaku can work on around 5% -10% of the market share, the company could potentially reap greater achievements.

In terms of technology, Tjandra also said that his team would optimize technology development and digitization of the loan origination system and online financing related to granting approval and lending. In the future, this coordination and integration can become a pilot ecosystem that can be replicated to other marketplaces.

In addition, BNC will develop open banking in the payment system through the formulation of Open API Standards, therefore, the transaction and identification process will be more seamless. “This is a piloting project of the digital product on Akulaku platform as well as the use of the BNC Virtual Account to make it easier for customers to make payments,” Gunawan added.

Platform Category Service Ecosystem User/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 million (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 million (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 million (2020)

Meanwhile, Gojek’s Chief Corporate Affairs, Nila Marita revealed that Gojek and Bank Jago are currently preparing a synergy for digital banking services. This is in line with the company’s efforts to increase financial inclusion at all levels of society.

Based on reports from Google, Temasek, and Bain & Company, as many as 52% or around 95 million adults in Indonesia do not have bank accounts and more than 47 million adults do not have adequate access to credit, investment, and insurance. On the other hand, smartphone penetration in Indonesia has reached up to 70% -80%. This indicates that the Indonesian people are ready to accept digital banking services.

“The number is quite large of people who do not have a bank account in Indonesia. Therefore, Gojek and Bank Jago will provide digital banking services on the Gojek platform to facilitate access to financial services,” she told DailySocial.

Referring to this, collaboration between startups and digital banks can encourage penetration of financial inclusion. One use case is that the digital platform can be a front-end channel for opening an online account. This is what Gojek and Bank Jago are currently preparing as their initial synergy plan. A number of banks in Indonesia have implemented a similar concept, such as opening a BRI online account on the Grab platform.

By utilizing the platform as an entry point, the public can be exposed to the integrated platform service ecosystem. Bank Jago can take advantage of the Gojek service ecosystem to increase its service penetration, as well as BNC-Akulaku and Sea Group-BKE. This means that the government’s efforts to encourage financial inclusion at all levels of society can be realized more quickly.

The next step is technology transfer. This is an expensive price to pay to leverage the technological innovations that have been built by Gojek, Shopee, and Akulaku. It will be free to develop innovations than to work together without investment commitments.

However, considering the current regulations have not accommodated digital banks, financial innovation players are still waiting and wondering about the limitations and potentials for future business development.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kolaborasi Startup dan Bank Digital untuk Memperkuat Inovasi dan Inklusi Keuangan

Ada masa di mana korporasi sempat menganggap eksistensi startup sebagai sebuah tantangan. Namun, dari tahun ke tahun, anggapan ini makin kabur tatkala kedua pihak kini saling berkolaborasi, mengisi satu sama lain untuk memenangkan pasar.

Di sektor perbankan, fenomena baru yang terjadi adalah startup besar mulai berinvestasi dan menjadi pemegang saham mayoritas di bank-bank yang baru bertransformasi menjadi bank digital. Misalnya, Akulaku masuk ke Bank Neo Commerce (BNC), lalu Gojek berinvestasi ke Bank Jago, dan Sea Group, induk usaha Shopee, yang kabarnya masuk ke Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Saat ini Akulaku, melalui PT Akulaku Silvrr Indonesia, tengah berupaya meningkatkan kepemilikan sahamnya di BNC lewat skema right issue. Dengan aksi ini, kepemilikan Akulaku bakal naik dari 24,98% menjadi 27,25%. Adapun Akulaku telah masuk menjadi pemegang saham BNC sejak 2019.

Kemudian, pada pertengahan Desember 2020, Gojek Group melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) menyuntikkan investasi ke Bank Jago berupa penyertaan saham sebesar 22% pada akhir 2020.

Sementara itu, belum ada konfirmasi apapun mengenai keterlibatan Sea Group di BKE. Namun, sudah ada bukti kuat berdasarkan informasi dari laman perekrutan yang menyebutkan ada penempatan baru di “Sea Money-Bank BKE”.

Di luar negeri, dinamika bank digital sudah berjalan cepat. Ambil contoh, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) telah menerbitkan izin operasi bank digital kepada empat kelompok perusahaan. Keempat perusahaan penerima lisensi ini adalah (1) Ant Group anak usaha Alibaba Group, (2) konsorsium Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel), (3) Sea Group induk dari Shopee, dan (4) konsorsium yang terdiri dari perusahaan asal Tiongkok, termasuk Greenland Financial Holdings.

Lalu, apa arti dari sinergi antara startup dan bank digital ini? Bagaimana sinergi keduanya bisa saling menguntungkan tanpa menerobos aturan yang ada? Sektor perbankan adalah high regulated sector yang memiliki manajemen risiko tinggi jika bicara pengembangan produk dan layanan.

Permodalan kuat dan pengembangan inovasi

Meski belum jelas terminologi bank digital dan regulasi yang mendukung, cikal bakal menuju bank digital sebetulnya sudah muncul ketika BTPN meluncurkan Jenius. Langkah ini kemudian diikuti DBS melalui Digibank. Hanya saja, Jenius dan Digibank belum sahih dikatakan sebagai bank digital karena proses bisnisnya masih berada di atap perusahaan empunya.

Untuk itu bank-bank digital seperti Bank Jago dan BNC melakukan transformasi besar-besaran dengan berganti wajah dan branding baru demi mengokohkan posisinya sebagai bank digital. Bank Jago adalah identitas baru dari nama sebelumnya Bank Artos, sedangkan BNC sebelumnya bernama Bank Yudha Bhakti (BYB).

Pergantian nama Bank Jago pada Juni 2020 menyusul aksi akuisisinya oleh grup investor yang dipimpin Jerry Ng dan Patrick Waluyo lewat PT Metamorfosis Indonesia (MEI) dan Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng adalah eks Direktur Utama BTPN selama satu dekade yang juga orang di balik pengembangan inovasi Jenius, sedangkan Patrick Waluyo merupakan Co-Founder Northstar Group, salah satu mantan pemilik BTPN.

Kemudian, Akulaku masuk menjadi pemegang saham di BNC pertama kali pada Maret 2019 dengan kepemilikan 8,9% dari pemegang saham pengendali saat itu PT Gozco Capital. Platform fintech ini terus menambah kepemilikan sahamnya untuk menjadi pemegang saham pengendali.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan telah menegaskan bahwa pihaknya mengalihkan keseluruhan proses kerja dan model bisnis sebagai bank konvensional menjadi digital, tak terkecuali keberadaan kantor cabang yang jumlahnya bakal dibatasi.

Untuk memperkuat SDM di internal, BNC bahkan merekrut banyak talent di bidang teknologi dan turut dibantu kerja sama oleh dua perusahaan teknologi raksasa, yakni Huawei dan Sunline.

Dihubungi DailySocial baru-baru ini, Tjandra kembali menegaskan bahwa BNC berupaya hadir dengan positioning yang berbeda melalui kolaborasinya dengan Akulaku. Pihaknya akan menyasar segmen ritel dan UMKM melalui sejumlah produk digital banking.

“Akulaku sebagai salah satu pemegang saham di BNC adalah perusahaan fintech yang berfokus pada e-commerce, financing B2B, dan pembiayaan digital lainnya, sehingga ke depannya BNC dan Akulaku akan melakukan kombinasi segmen pasar,” ujar Tjandra.

Sementara itu, belum diketahui alasan Sea Group masuk melalui BKE. Jika ini benar, bisa jadi BKE akan bernasib sama seperti dua contoh bank di atas, yakni hadir dengan identitas baru. Tampaknya, akan sulit untuk maju tanpa identitas baru bagi perusahaan legacy yang ingin melakukan transformasi besar-besaran.

Pengembangan produk dan integrasi ke ekosistem layanan

Keterlibatan Gojek, Akulaku, dan Shopee (Sea Group) memiliki benang merah yang sama, yakni upaya untuk memadukan inovasi terhadap ekosistem layanan digital bagi masyarakat yang masih banyak belum terpapar layanan perbankan.

Bank merupakan bisnis kepercayaan, sedangkan platform digital memiliki kekuatan pada inovasi teknologi. Dalam hal ini, bank bisa mendorong layanan keuangan masuk ke dalam ekosistem layanan platform yang lebih luas dengan basis pelanggan besar.

Gojek telah memiliki ekosistem layanan dari A sampai Z. Demikian juga Shopee yang menurut data iPrice merupakan e-commerce dengan pengunjung bulanan terbesar di Indonesia pada kuartal pertama 2020. Sementara Akulaku membidik ekosistem keuangan yang komprehensif, mulai dari marketplace, P2P lending, hingga pembiayaan.

Mengutip KrAsia, CEO Akulaku William Li mengatakan bahwa potensi perbankan digital di Asia Tenggara sangat besar. “Kami melihat ada 400 juta pekerja, tetapi hanya 5%-10% yang menggunakan layanan perbankan digital. Artinya, kami punya 300 juta pelanggan potensial,” tutur Li. Menurutnya, apabila Akulaku dapat menggarap sekitar 5%-10% dari pangsa pasar tersebut, perusahaan dapat berpotensi meraup pencapaian yang lebih besar.

Dari sisi teknologi, Tjandra juga menyebutkan bahwa pihaknya akan mengoptimalkan pengemba ngan teknologi dan digitalisasi loan origination system dan online financing terkait pemberian persetujuan dan penyaluran kredit. Ke depannya, kordinasi dan integrasi ini dapat menjadi percontohan ekosistem yang bisa direplikasi ke marketplace lain.

Selain itu, BNC akan mengembangkan open banking di sistem pembayaran melalui perumusan Standar Open API sehingga proses transaksi dan identifikasi akan lebih seamless. “Ini merupakan piloting project produk digital di platform Akulaku serta untuk penggunaan BNC Virtual Account guna yang memudahkan customer melakukan pembayaran,” tambah Tjandra.

Platform Kategori Ekosistem Layanan Pengguna/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 juta (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 juta (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 juta (2020)

Sementara itu, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengungkap bahwa Gojek dan Bank Jago saat ini tengah mempersiapkan sinergi layanan perbankan digital. Hal ini sejalan dengan upaya perusahaan untuk meningkatkan inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, and Bain & Company, sebanyak 52% atau sekitar 95 juta penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening bank dan lebih dari 47 juta penduduk dewasa tidak memiliki akses memadai kepada kredit, investasi, dan asuransi. Di sisi lain, penetrasi smartphone di Indonesia telah mencapai hingga 70%-80%. Ini menandakan masyarakat Indonesia sudah siap untuk menerima layanan perbankan digital.

“Jumlah penduduk yang belum memiliki rekening bank masih sangat banyak di Indonesia. Maka itu, Gojek bersama Bank Jago akan menyediakan layanan perbankan digital di platform Gojek untuk memudahkan akses terhadap layanan keuangan,” ujarnya kepada DailySocial.

Mengacu pada hal tersebut, kolaborasi startup dan bank digital dapat mendorong penetrasi inklusi keuangan. Salah satu use case-nya adalah platform digital bisa menjadi front-end channel untuk pembukaan rekening online. Inilah yang tengah disiapkan Gojek dan Bank Jago sebagai rencana sinergi awal mereka. Konsep serupa sebetulnya sudah diterapkan sejumlah bank di Indonesia, seperti pembukaan rekening online BRI di platform Grab.

Dengan memanfaatkan platform sebagai jalan masuk, masyarakat dapat terpapar oleh ekosistem layanan platform yang terintegrasi. Bank Jago dapat memanfaatkan ekosistem layanan Gojek untuk meningkatkan penetrasi layanannya, demikian juga berlaku pada BNC-Akulaku dan Sea Group-BKE. Ini berarti upaya pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat bisa semakin cepat terealisasi.

Langkah selanjutnya adalah transfer teknologi. Ini merupakan harga mahal yang harus dibayar untuk me-leverage inovasi teknologi yang telah dibangun oleh Gojek, Shopee, dan Akulaku. Akan lebih leluasa mengembangkan inovasi ketimbang bersinergi tanpa komitmen investasi.

Namun, mengingat regulasi yang ada saat ini belum mengakomodasi bank digital, pemain inovasi keuangan masih wait and see tentang limitasi dan potensi-potensi pengembangan bisnis di masa mendatang.

Studi Layanan Paylater di Platform E-commerce Indonesia

Layanan cicilan tanpa kartu kredit untuk pembelian barang di platform e-commerce atau akrab disebut dengan paylater makin marak ditemui. Sederhananya, layanan tersebut memungkinkan konsumen untuk membeli barang melalui angsuran dengan tenggat waktu tertentu. Peminatnya terus bertambah, seiring makin masifnya penggunaan e-commerce untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan. Menurut data Fintech Report 2019 yang dirilis DSResearch, paylater (56,7%) jadi layanan favorit peringkat ketiga setelah dompet digital (82,7%) dan aplikasi investasi (62,4%).

Ditinjau lebih dalam, ada dua faktor utama yang membuat penetrasi layanan paylater makin tinggi. Pertama, tren pertumbuhan konsumen e-commerce Indonesia dari tahun ke tahun. Menurut laporan McKinsey, industri e-commerce di Indonesia diproyeksikan bernilai $40 miliar di tahun 2022 mendatang. Sementara per tahun 2019, nilai kapitalisasi pasar bisnis dagang online itu sudah menyentuh $21 miliar atau setara 294 triliun Rupiah. Hal ini diperkuat temuan WeAreSocial yang menyebutkan 90% pengguna internet di Indonesia pernah berbelanja online.

Faktor kedua terkait rendahnya kepemilikan kartu kredit dari perbankan. Menurut data Bank Indonesia, per Februari 2020 tercatat 17,61 juta kartu kredit yang beredar. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan total populasi. Kartu kredit memang cenderung tidak mudah didapatkan, karena persyaratan yang lebih sulit dipenuhi kebanyakan masyarakat.

Penyedia layanan paylater

Saat ini di Indonesia sudah ada beberapa perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater. Implementasinya muncul di banyak aplikasi, mulai dari dompet digital, pemesanan tiket, sampai yang paling populer di platform e-commerce dan/atau online marketplace. Masing-masing penyedia memiliki spesifikasi dan cakupan yang berbeda. Variabel yang membedakan di antaranya batas nilai pinjaman, bunga, tenor, syarat peminjaman, cakupan area, hingga integrasinya ke layanan pihak ketiga.

Di studi ini, DailySocial mencoba mendalami berbagai layanan paylater yang terintegrasi di 15 situs e-commerce terpopuler di Indonesia sepanjang kuartal kedua (Q2) 2020, yang ditinjau dari statistik kunjungan ke situs terkait dan peringkat layanan di toko aplikasi. Dari pemetaan yang dilakukan, ditemukan 7 layanan paylater yang saat ini menemani konsumen untuk berbelanja online. Berikut ini daftarnya:

Tabel 1. Integrasi layanan paylater di e-commerce populer Indonesia

Layanan Paylater Platform E-commerce yang Terintegrasi
Kredivo Bukalapak, Lazada, Tokopedia, Blibli, Elevenia, JD.id, Ralali, iLotte, Jakmall, Bhinneka, Matahari.com, Fabelio, Sociolla
Akulaku Bukalapak, Blibli, JD.id, Alfacart
Home Credit Tokopedia, Bukalapak, Blibli, Bhinneka
Kreditmu Elevenia, JD.id, Bhinneka
Indodana Blibli, Elevenia
Shopee Paylater Shopee
Atome JD.id

Masing-masing layanan umumnya menjadi opsi pembayaran yang bisa ditemui pengguna ketika melakukan checkout barang belanjaannya di layanan e-commerce yang digunakan. Untuk mendapatkan manfaat kredit, pengguna harus terlebih dulu mendaftarkan diri di platform paylater yang dipilih, melakukan verifikasi, hingga mendapatkan limit kredit yang diberikan berdasarkan skoring kredit.

Terkait syarat pengajuan pinjaman, masing-masing platform juga menyuguhkan kriteria berbeda. Meskipun demikian, jika ditarik benang merah, semua layanan mengisyaratkan dokumen identitas dan pendukung, seperti KTP elektronik, NPWP, atau dokumen bukti lainnya. Berkas-berkas tersebut tentu dijadikan salah satu variabel dalam menentukan skoring kredit nasabah — biasanya berujung pada besaran limit pinjaman yang diberikan. Beberapa platform lainnya mensyaratkan batas minimum penghasilan bulanan, karena mereka menawarkan kredit dengan limit maksimal yang cukup besar.

Tabel 2. Berbagai syarat pengajuan layanan paylater

Platform Paylater Syarat Pengajuan
Akulaku Minimal 23 tahun, KTP-el + dokumen lain (NPWP, Rekening Koran, atau Slip Gaji)
Atome Usia 18-55 tahun, KTP-el, NPWP
Home Credit Minimal 21 tahun atau 19 tahun jika sudah menikah, penghasilan minimal Rp1.500.000 per bulan, KTP-el + dokumen lain (NPWP, Rekening Koran, Slip Gaji, atau BPJS TK)
Indodana Usia 17-55 tahun, memiliki penghasilan tetap dengan penghasilan minimum Rp3.500.000 per bulan dan telah bekerja minimal 3 bulan, KTP-el
Kreditmu Fotokopi KTP dan asli, slip gaji, fotokopi cover buku tabungan dan isi buku tabungan yang menunjukkan transaksi 3 bulan terakhir (untuk pengusaha)
Kredivo Minimal usia 18 tahun, memiliki penghasilan tetap minimum Rp3.000.000 per bulan, KTP-el, NPWP
Shopee Paylater Akun Shopee harus sudah terverifikasi dan minimal berusia 3 bulan, KTP-el

Kendati diperuntukkan untuk pembelian di platform e-commerce, semua proses administratif transaksi dilakukan melalui aplikasi atau situs penyedia paylater. Saat proses pembayaran, pengguna akan diarahkan menuju aplikasi atau situs terkait. Persetujuan sepenuhnya dilakukan di sisi penyedia paylater. Proses validasinya sendiri rata-rata memakan waktu hitungan menit atau maksimal 2×24 jam.

Spesifikasi kredit paylater

Variabel lain yang biasa diperhitungkan calon pengguna adalah soal limit kredit yang diberikan. Takarannya berbeda-beda untuk masing-masing platform. Dari studi yang dilakukan, dengan melihat informasi yang tertera di situs penyedia paylater dan e-commerce yang terintegrasi, temuan yang didapat batas minimum yang bisa diajukan saat ini adalah Rp750.000, sementara batas maksimal yang diberikan adalah Rp30.000.000.

Tabel 3. Batasan maksimal dan minimal kredit yang bisa diajukan di layanan paylater

Platform Paylater Rentang Kredit yang Diberikan
Kredivo Rp1.000.000 s/d Rp30.000.000
Indodana Rp1.000.000 s/d Rp25.000.000
Akulaku Rp1.000.000 s/d Rp20.000.000
Kreditmu Rp1.250.000 s/d Rp20.000.000
Home Credit Rp1.000.000 s/d Rp10.000.000
Atome Rp1.000.000 s/d Rp8.000.000
Shopee PayLater Rp750.000 s/d Rp1.800.000

Terkait bunga pinjaman, banyak dari platform paylater mengenakan persentase yang disesuaikan dengan tenor dan jumlah pinjaman. Hanya 2 pemain yang mengenakan bunga tetap — jika diurutkan dari yang terkecil adalah Kredivo dan Atome. Adapun rentang bunga pinjaman yang dibebankan di berbagai platform antara 0% s/d 6%. Berikut ini daftar lengkapnya:

Tabel 4. Kisaran bunga yang dikenakan layanan paylater

Platform Paylater Bunga yang Dikenakan
Kredivo 0% (tetap, untuk 30 hari) 2,6% (tetap)
Kreditmu Mulai 1,5%
Indodana 2% s/d 4%
Shopee PayLater Mulai 2,95%
Atome 3,33% (tetap)
Home Credit 2,49% s/d 3.99%
Akulaku 3,2% s/d 4,5%

Tenor atau jangka waktu pinjaman opsinya pun cukup variatif, dengan rentang periode dari 1 s/d 12 bulan.

Tabel 5. Tenor pinjaman yang disuguhkan layanan paylater

Platform Paylater Pilihan Tenor Pinjaman
Akulaku 1, 2, 3, 6, 9, dan 12 bulan
Kredivo 1, 3, 6, dan 12 bulan
Indodana 1, 3, 6, dan 12 bulan
Shopee PayLater 1, 2, 3, dan 6 bulan
Home Credit 3, 6, 9, dan 12 bulan
Kreditmu 3, 6, dan 12 bulan
Atome 3 dan 6 bulan

Sampai saat ini, layanan paylater atau platform pinjaman online pada umumnya masih membatasi diri untuk mengakomodasi pengguna di kota-kota tertentu. Kendati, jika menyimak pemberitaan yang ada, semua perusahaan terus melakukan ekspansi dan memperluas kehadiran bisnis. Ada banyak faktor yang mendasari hal ini. Salah satunya dibutuhkan adanya kantor perwakilan di tiap kota, baik untuk operasional maupun mitra, terutama bagi mereka yang memiliki ukuran pinjaman yang besar.

Dari informasi yang dijabarkan masing-masing platform di laman ketentuan pinjaman, kami merangkum masing-masing jangkauan area pengembang platform paylater. Beberapa tidak menginformasikan secara spesifik. Kami mencoba menghubungi masing-masing melalui email, tapi sejauh ini belum mendapatkan jawaban.

Tabel 6. Cakupan kota layanan paylater

Platform Paylater Jangkauan Area
Kredivo Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Semarang, Palembang, Medan, Bali, Yogyakarta, Solo, Makassar, Malang, Sukabumi, Cirebon, Balikpapan, Batam, Purwakarta, Padang, Pekanbaru, Manado, Samarinda, Kediri
Indodana Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
Akulaku Jabodetabek, Bandung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Medan, Padang, dan Palembang
Kreditmu Jabodebek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi (cakupan kota terbatas di tiap provinsi)
Shopee PayLater Tidak diinfokan secara spesifik
Atome Tidak diinfokan secara spesifik
Home Credit Tidak diinfokan secara spesifik

Ketentuan lainnya

Proses pendaftaran dan kelengkapan berkas kebanyakan dilakukan melalui aplikasi yang dikembangkan masing-masing penyedia platform paylater. Beberapa platform juga memberikan pelayanan melalui formulir yang tersedia di situs e-commerce rekanan.

Pendataan terkait sistem keamanan juga menjadi konsentrasi kami dalam studi ini. Masyarakat saat ini masih dihadapkan dengan kehadiran pemain-pemain fintech lending ilegal yang mencoba menawarkan pinjaman instan, kendati satgas OJK juga melakukan pengawasan dan penindakan secara terus menerus. Selain itu, banyak kejahatan yang mulai mengintai masyarakat, misalnya adanya oknum yang memanfaatkan data curian untuk mendaftarkan diri di platform-platform pembiayaan online. Setidaknya opsi pengamanan yang semakin lengkap akan meminimalisir terjadinya risiko penyalahgunaan akun atau kebocoran data.

 Tabel 7. Sistem keamanan yang diaplikasikan dalam layanan paylater

Platform Paylater Medium Transaksi Sistem Keamanan
Akulaku Aplikasi SMS OTP
Atome Situs rekanan e-commerce, Aplikasi SMS OTP
Home Credit Aplikasi SMS OTP
Indodana Aplikasi SMS OTP
Kreditmu Situs rekanan e-commerce SMS OTP dan PIN
Kredivo Aplikasi SMS OTP, PIN, Pertanyaan Keamanan
Shopee PayLater Aplikasi PIN, Sidik Jari

Pada dasarnya ada kewajiban pengembalian dana oleh konsumen. Untuk itu mereka juga menyediakan kanal pembayaran seluas-luasnya. Sebagian besar aplikasi memiliki fitur virtual account yang memungkinkan pengguna membayar dengan mentransfer sejumlah nominal ke nomor rekening bank yang sudah disiapkan. Tak sedikit yang menyuguhkan layanan pembayaran lewat minimarket dan dompet digital. Ada juga yang bermitra dengan POS Indonesia dan layanan pembayaran di platform e-commerce.

 Tabel 8. Biaya administrasi yang menyertai layanan paylater

Platform Paylater Kanal Pembayaran Biaya Lain-lain
Akulaku Melalui aplikasi (Virtual Account), Minimarket, GoPay Ada biaya penanganan dan DP. Tergantung barang, merchant dan platform e-commerce nya.
Atome Melalui aplikasi (VA) Di JD.id biaya layanan setara 11% untuk admin fee.
Home Credit Pembayaran uang muka melalui: Minimarket atau POS Indonesia. Pembayaran cicilan melalui: Minimarket, BCA, BNI, BRI, ATM Bersama, Mandiri, POS Indonesia, GoPay Biaya administrasi Rp199.000, biaya pembayaran cicilan bulanan Rp5.000, biaya pelunasan awal Rp150.000.
Indodana Melalui aplikasi (VA), Minimarket Admin fee 1% atau minimum Rp1.000.
Kreditmu Melalui aplikasi (VA), Tokopedia, Pos Indonesia, kantor cabang KreditPlus Rp50.000 per transaksi
Kredivo Melalui aplikasi (VA), Minimarket, Tokopedia, Bukalapak, Shopee 0%-1,5% per transaksi
Shopee PayLater Melalui aplikasi (VA) Biaya penanganan 1% per transaksi.

Hal lain yang kadang tidak disadari baik oleh peminjam ketika mengajukan atau melakukan kalkulasi di awal adalah biaya lain-lain. Umumnya biaya tersebut diperuntukkan untuk admin fee dipatok setiap kali pengguna melakukan transaksi pengembalian. Jumlahnya bermacam-macam, menyesuaikan kebijakan yang diusung oleh pengembang platform paylater.

Simulasi Perhitungan Cicilan

Untuk mendapatkan gambaran secara penuh tentang jumlah yang harus dibayarkan oleh konsumen, berikut ini merupakan simulasi perhitungannya. Mengasumsikan bahwa semua penyedia layanan menawarkan tenor pinjaman  6 bulan dengan nominal transaksi Rp10.000.000 tanpa adanya uang muka,  biaya admin dan biaya lain-lain. Simulasi dilakukan dengan melakukan check out melalui e-commerce yang menyediakan platform paylater terkait untuk menentukan besaran bunga yang dikenakan

 Tabel 9. Simulasi perhitungan layanan paylater

Penyedia Layanan Bunga Tenor Nominal Transaksi Cicilan per Bulan Total Tagihan 6 Bulan
Kredivo 2,60% 6 bulan  Rp      10.000.000 Rp 1.926.660 Rp 11.559.960
Shopee PayLater 2,95% 6 bulan  Rp      10.000.000 Rp 1.961.667 Rp11.770.000
Indodana 3% 6 bulan  Rp      10.000.000 Rp 1.966.667 Rp11.800.000
Akulaku 3,05% 6 bulan  Rp      10.000.000 Rp 1.973.000 Rp11.838.000
Home Credit 3,31% 6 bulan  Rp      10.000.000 Rp 1.997.879 Rp11.987.273
Atome 3,33% 6 bulan  Rp      10.000.000 Rp 1.999.666 Rp 11.998.000
Kreditmu 4,76% 6 bulan  Rp      10.000.000 Rp 2.142.179 Rp12.853.077

Kesimpulan

Dari ulasan di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. Sebagian besar layanan e-commerce yang memiliki traksi besar telah menyematkan paylater sebagai opsi pembayaran. Kredivo menjadi platform yang memiliki jangkauan terluas, baik dari sisi integrasi maupun kota pelayanan. Terkait rentang pinjaman, Shopee PayLater tawarkan nilai terendah mulai Rp750 ribu untuk tiap pengajuan, sementara rentang tertinggi dimiliki oleh Kredivo, yakni pengguna bisa mendapatkan limit sampai Rp30 juta.

Untuk bunga, dari statistik yang didapatkan Kredivo menawarkan persentase paling rendah, dimulai 0% (tetap) untuk pinjaman dengan tenor 30 hari. Sementara untuk cicilan di kisaran 3 -12 bulan, dapat dilihat dari simulasi transaksi bahwa Kredivo masih memiliki presentase terendah dengan bunga tetap 2,60% per bulan, lalu diikuti oleh Shopee Paylater dan Indodana. Platform paylater lainnya mengenakan bunga tidak tetap tergantung pada besaran, status pengguna baru/terdaftar, jenis barang dan tenor yang diajukan, dimulai dari yang terendah 1,5% sampai yang paling tinggi 6%. Simulasi ini diambil dengan melakukan check out melalui e-commerce yang menyediakan platform paylater terkait tanpa memasukkan biaya lain-lain seperti uang muka, biaya layanan dan biaya admin, sehingga ada kemungkinan beberapa pemain paylater mengenakan biaya yang lebih tinggi dibanding yang ditampilkan simulasi di atas.

Terkait syarat pengajuan, rata-rata setiap platform memiliki beberapa variabel yang sama, seperti usia, kepemilikan KTP elektronik, dan dokumen pendukung lainnya. Beberapa juga memiliki spesifikasi khusus untuk mengurangi risiko gagal kredit, misalnya terkait pemasukan bulanan atau umur akun e-commerce yang digunakan.

Sistem keamanan juga layak menjadi konsiderasi untuk memastikan keamanan transaksi. Sebagian besar aplikasi paylater menggunakan mekanisme SMS OTP untuk verifikasi akun, sebagian lain memiliki opsi tambahan seperti PIN atau autentikasi sidik jari seperti yang diimplementasikan Shopee PayLater. Di luar bunga, platform juga mengenakan biaya administrasi yang umumnya dibebankan pada saat pengguna melakukan transaksi.

Opsi layanan yang beragam tentu akan memanjakan pengguna. Dengan tahu detail dan spesifikasi masing-masing platform, diharapkan pengguna bisa mendapatkan manfaat yang lebih baik untuk memfasilitasi transaksi pinjaman tanpa kartu kredit untuk belanjanya di e-commerce.

*Marsya Nabila berkontribusi dalam studi penyusunan artikel ini

Cengkram Akulaku Membawa Bank Yudha Bhakti Menuju Bank Digital

Bank Yudha Bhakti (BBYB) sudah ada di depan mata untuk bertransformasi menjadi bank digital. Perubahan identitas menjadi Bank Neo Commerce adalah salah satu strateginya.

Kepada DailySocial, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan mengatakan, dalam transformasi ini perseroan mengalihkan keseluruhan proses kerja dan model bisnis sebagai bank konvensional menjadi digital. Tak terkecuali keberadaan kantor cabang yang jumlahnya bakal dibatasi dan ditransformasi menjadi spot menarik untuk menarik nasabah merasakan pengalaman perbankan digital seperti apa dan bagaimana.

Dalam mempersiapkan keseluruhan itu, dia menuturkan internal menyiapkan tim profesional yang solid dan terbuka untuk merekrut lebih banyak talenta baru di berbagai keahlian di bidang teknologi. Dibantu juga lewat kerja sama dengan dua perusahaan teknologi tersohor asal Tiongkok, yakni Huawei dan Sunline.

“Kami percaya dengan kerja sama ini, BBYB dapat lebih berinovasi dalam menciptakan produk-produk digital terutama dengan penyediaan infrastruktur serta integrasi sistem yang lengkap. Sehingga ke depannya dapat memberikan dukungan yang baik bagi perkembangan digital BBYB, serta dapat menjamin pertumbuhan di masa mendatang,” kata Tjandra.

Dia mengaku, proses transformasi ini bukan perkara mudah apalagi buat bank yang sudah berusia 30 tahun dan melayani segmen pensiunan TNI. Meski digitalisasi sebenarnya adalah hal yang positif, tapi dalam perubahan selalu menjadi tantangan tersendiri.

“Kami menyikapi dengan pikiran terbuka dan dengan suatu perencanaan yang matang. Gap demografi, golongan, dan generasi adalah yang terpenting yang harus dijembatani. Oleh karenanya kami terus mengadakan sosialisasi, komunikasi, dan evaluasi secara berkesinambungan.”

Sedari awal, sambungnya, visi awal perseroan adalah menjadi bank ritel yang solid, tumbuh, dan berkembang secara berkelanjutan. Adapun misinya adalah mengkreasi suatu nilai yang optimal bagi pemegang saham dan stakeholder pada umumnya.

“Visi dan misi ini masih sejalan dengan rencana BBYB menjadi bank digital, yaitu pengembangan teknologi yang berkesinambungan dan berkelanjutan dalam meningkatkan produk-produk ritel yang ada serta meningkatkan acquisition user yang lebih luas.”

Butuh permodalan kuat

Bermain di bisnis digital, tentunya membutuhkan kapital yang tidak sedikit. Akulaku memainkan peran di dalam tubuh perseroan untuk menginjeksinya agar visi dan misi terwujud.

BBYB sudah naik kelas menjadi bank BUKU II (modal inti Rp1 triliun-Rp5 triliun) setelah melakukan rights issue atau Penarawan Umum Terbatas III (PUT) dengan raihan dana sebesar Rp150 miliar pada Juli 2020. Penambahan modal ini melenggangkan rencana ekspansi bisnis yang berkaitan dengan teknologi digital.

Per Juni kemarin modal inti BBYB masih berada di angka Rp936,43 miliar. Secara berangsur-angsur modal inti BBYB terus menanjak naik dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp702,75 miliar.

Setiap pergelaran rights issue dilakukan, selalu diikuti oleh Akulaku sebagai pembeli siaga untuk meningkatkan kepemilikan sahamnya. Akulaku pertama kali menggenggam saham BBYB pada Maret 2019 dengan kepemilikan 8,9% yang dibeli dari pemegang saham pengendali pada saat itu PT Gozco Capital.

Adapun per Juli 2020, struktur kepemilikan saham di BBYB terdiri atas PT Akulaku Silvrr Indonesia (24,98%), PT Gozco Capital (20,13%), PT Asabri (Persero) (18,62%), Yellow Brick Enterprise Ltd (11,10%), dan publik (25,17%).

Mengutip dari keterbukaan informasi BEI, perseroan kembali menggelar rights issue PUT IV pada September mendatang. Perseroan akan menjual 5 miliar saham baru seharga Rp100 per lembarnya, dana segar yang ditargetkan dari putaran ini sebesar Rp500 miliar.

Tjandra menyebut Akulaku akan kembali masuk sebagai pembeli siaga di sini dan segera menjadi pemegang saham mayoritas. “Rencananya begitu. Memang mereka sangat serius sekali bekerja sama dengan kami membangun BNC (Bank Neo Commerce) untuk jadi The Best Digital Bank in Indonesia. We may not be the 1st Digital Bank in Indonesia, but we are aiming to be the best.”

Pengaruh Akulaku dan pengembangan produk berikutnya

Gelombang bank digital tidak hanya disasar oleh BBYB saja, tapi juga perbankan lainnya dalam waktu yang bersamaan. Tjandra mengaku, perseroan memiliki proposisi yang berbeda dibandingkan yang lainnya, terutama didukung oleh kehadiran salah satu pemegang saham utamanya yakni Akulaku yang bergabung ke dalam ekosistemnya.

Perseroan bersama Akulaku akan melakukan kombinasi segmen pasar, selama ini hanya fokus pada pensiunan dan pegawai saja, akan merambah pada pembiayaan mikro dan ritel. Oleh karenanya, saat ini perseroan sedang dalam persiapan untuk mengoptimalkan pengembangan teknologi dan digitalisasi Loan Origination System dan Online Financing terkait proses pemberian persetujuan dan penyaluran kredit.

“BBYB juga sedang mengembangkan open banking di sistem pembayaran melalui perumusan Standar Open API, maka itu menjadi salah satu competitive advantages kami. Dan tentu, ke depannya proses transaksi dan identifikasi konsumer kami akan jauh lebih seamless dan transaction cost bagi para konsumer akan sangat minim.”

Tak lupa, aplikasi mobile banking juga tengah dipersiapkan. Menurut Tjandra, kehadiran aplikasi ini nantinya akan membuka pintu lebar-lebar sinergi lebih jauh antara perseroan dengan pemegang sahamnya tersebut.

“Di mana system cross selling antar platform ataupun aplikasi yang dimiliki masing-masing juga akan lebih terintegrasi. Hal tersebut sekaligus menjadi pintu masuk untuk kerja sama BBYB dengan perusahaan-perusahaan sejenis lainnya, sehingga ekosistem kami akan semakin luas.”

Agenda lainnya bersama Akulaku adalah sedang berlangsungnya uji coba sistem untuk produk-produk keuangan BBYB yang nantinya bisa diakses melalui platform Akulaku dalam waktu dekat.

Baik aplikasi maupun open banking API ini rencananya akan dirilis pada kuartal keempat tahun ini. “Tentunya akan ada beberapa fase dalam implementasinya, tapi diharapkan semuanya akan rampung pada kuartal I tahun depan,” tandasnya.

Adapun saat ini, berdasarkan kinerja perseroan per Juli 2020, disebutkan BBYB memiliki produk kredit, antara lain kredit komersial, konsumer, dan UKM. Tidak seluruh kredit konsumer disalurkan ke Akulaku, melainkan dalam bentuk channeling melalui PT Akulaku Finance Indonesia. Kredit channeling ini memperkuat kinerja kredit BBYB. Per Juli mencapai Rp53,67 miliar dengan NPL 0,47%.

Indonesia to Realize Digital Bank Initiative in 2020

We have witnessed various digital banking innovations in the last decade. Mobile and internet banking can be examples of banking digitalization that is most related to daily life. Thanks to this innovation, it is easier for customers to perform financial transactions.

Indonesian banks have also begun to explore service connectivity through the Open API strategy. The digital business growth in this country driven by e-commerce and fintech platforms and to be said as a driven factor for banks to develop these innovations. Currently, cross-platform transactions are very possible.

In recent years, fintech has played a significant role in providing access to efficient and practical financial services. Fintech managed to disrupt the traditional banking business model with a fast onboarding process.

Based on the 2019 Fintech Report, 79.9% of 747 respondents in Indonesia used digital wallet services, followed by investment (31.5%), paylater (30.9%), online multifinance (12%), insurtech (11, 8%), crowdfunding (8.2%), P2P lending (6.2%), and remittance (2.4%).

The role of fintech in the financial ecosystem has become a momentum for banks to innovate. Beyond its mobile banking services, a number of banks in Indonesia are very eager in developing digital financial products, both independent and through collaboration. Also, customers can now open savings accounts through mobile banking applications and digital platforms.

In the context of digitalization, the above efforts are certainly relevant to the demand of today’s users. However, these are not enough in order to reach broader financial inclusion. The population of people who don’t have access to financial services (unbanked) is quite large. The limited number of ATMs and branch offices are an obstacle for banks.

Google, Temasek, Bain & Company report in October 2019 noted that there were 92 million Indonesians in the unbanked segment (50.83%), followed by the banked segment at 42 million people (23.20%), and the underbanked segment 47 million (25.97%).

The Indonesian banking industry is aware of this phenomenon that today’s financial products are not only monopolized by banks. This situation also indicates that banks have not been able to close the gap between the ones with financial literacy and those who are yet to aware of this, with the traditional business model.

Digital bank in Indonesia

After banking digitization, digital bank concept is currently trending in Indonesia. The effort shows banking digital transformation is no longer depend on service digitization, but also to become a separate entity.

In definite, digital banks are different from banking digitalization. Borrowing the current popular term,  the concept of digital banks is generally referred to as neobank, which is popular since 2017. Also, quoting the words “Neo Bank and the Future of Retail Banking in Indonesia“, the term digital bank is often defined as a challenger bank.

Challenger banks in the world have even acquired millions of customers. Some of them are Nubank (Brazil), Monzo (United Kingdom), N26 (Germany), and Chime (United States).

Back to the origin, digital bank or neobank is defined as a bank that operates online-based services without a physical branch office. Digital Bank offers easy access with a user-friendly UI/UX. With an internet connection and smartphone, anyone can open an account and access other financial services.

Digital banks also have the opportunity to be able to leverage the customer’s journey through the development of financial support services and make their products a daily product for customers.

Of course the above concept is inversely proportional to traditional banks where financial services — even though there is already internet and mobile banking — still require face-to-face and physical branch offices. This is understandable considering that banks are a business of trust so physical contact is still needed.

In Indonesia, digital banks are mostly linked to Jenius services (2016) and Digibank (2017). Both are often referred to as the pioneers of the first digital bank. However, there are also those who call it a spin-off product since both are still operating under BTPN and DBS Bank as its main entity.

Jenius and Digibank are examples of application-based services that offer basic banking products, namely savings, online account opening. Both also offer other supporting services, such as financial regulators.

Tabel Jenius dan digibank / DailySocial
Jenius and digibank table / DailySocial

If the root is on the expansion of financial inclusion, Jenius and his staff are considered not a digital bank. This is because both are targeting segments of society that already achieve digital literacy (digital savvy). Meanwhile, the unbanked segment tends not to understand financial literacy.

The next step for digital bank

As the ecosystem and technology is getting mature, 2020 would likely to be the year of the digital banks realization in Indonesia. Some of the plans we have summarized, including Bank Digital BCA, Bank Jago, and Bank Yudha Bakti (BYB). Efforts to become a digital bank as a new entity have all been passed through the acquisition process.

Quoting Kontan, BCA has acquired Bank Royal worth Rp988 billion in 2019. Bank Royal will change its name to Bank Digital BCA targeting some realizations in the second-semester, 2020. The target market is retail and SME segments, different from the main portfolio of its parent company which mostly engaged to corporate. Bank Digital BCA already has a permit from OJK and is ready in infrastructure.

It is known, the company is currently preparing the P2P lending initiative for BCA Digital Bank. However, BCA’s President Director, Jahja Setiaatmadja revealed that he is not to launch the service in the near future. “We wouldn’t dare to enter P2P for the risks are enormous, we are still preparing,” he said as quoted by Katadata.

Tabel Bank Digital / DailySocial
Digital bank table / DailySocial

Furthermore, Bank Artos officially changed its name to Bank Jago after acquired by its seniors, Jerry Ng and Patrick Walujo. According to Bank Jago’s Managing Director, Kharim Siregar, his office is finalizing a business model and perfecting applications targeting to launch before the fourth quarter of 2020. Quoting Bisnis.com, Bank Jago will target the middle segment and mass-market. In addition, Bank Jago will also collaborate with digital platforms in various business verticals, such as e-commerce, ride-hailing, and P2P lending.

DailySocial has in touch with BCA and Bank Jago representations regarding the realization of this digital bank, but their team sre still reluctant to disclose any information. “Our directors are yet to confirm any information to the media because they are currently focusing on preparing applications and everything,” Bank Jago’s Senior Manager Nurul Kolbi said in a short message to DailySocial.

Unlike the two, Bank Yudha Bakti (BYB) started to be controlled by PT Akulaku Silvrr Indonesia which runs Akulaku’s fintech services in 2019. Akulaku’s entrance is expected to accelerate the digital transformation process of BYB, which is to become a digital bank without branch offices and develop mobile applications to increase market penetration.

DailySocial also reached BRI’s Indra Utoyo, Digital Director, Information Technology, and Operations regarding this matter. He commented, BRI did not perform a similar strategy with the above banks. However, BRI is considered to have made a major transformation to become a digital bank.

In order to become a digital bank, Indra ensured that BRI must maximize excellence in physical networks. “The winner is the one who can combine physical and digital excellence. Whatever the entity, both BRI, and its subsidiaries, must be a digital company. There is no need for a dichotomy between digital banks and non-digital banks,” he said.

Without this dichotomy, he said, BRI has provided value from the concept of digital banks with digital-based banking services. BRI became the first bank to launch PINANG and Ceria digital lending products. Then, the first bank to provide account opening services with the entirely digital-based KYC process.

Tabel Produk Digital BRI / DailySocial
BRI’s digital product table / DailySocial

Indra emphasized that digital cannot replace trust, service, and brand. However, without digital, we cannot get all three. It means those with the ‘digital’ label do not necessarily translate into trusted banks than large banks that have transformed digitally.

“To date, I have not seen a successful digital bank or neobank in the world. For me, the winner is the one that combines physical superiority or human touch and digital. The term is phygital,” he said.

Separately contacted, BTPN’s Head of Digital Banking, Irwan Sutjipto Tisnabudi admitted that the emergence of a new digital bank would help create a digital financial ecosystem and encourage education for better financial literacy. In fact, this trend will bring many collaboration opportunities.

Regarding the possibility of Jenius becoming a separate entity, Irwan assured that Jenius currently still supports the BTPN business to expand the current market segments. He also emphasized the main strategy through co-creation and collaboration with like-minded partners to develop products that are relevant to customers.

“In carrying out digital transformation, BTPN believes that digital is the core of the business and value proposition, not an additional channel. Our priority is to build an ecosystem that supports life finance with a broader scope so that the benefits can reach the digital literacy people,” he explained.

Jenius became the result of BTPN transformation which was developed through the process of creation and collaboration with thousands of digital-savvy for 18 months. As of March 2020, Jenius has secured more than 2.5 million users. The company has also just introduced the Bisniskit feature for new business owners and Moneytory to help with financial management.

Regulation and challenges

To date, digital banks still operate under the law of conventional banks. This is regulated in OJK Regulation Number 12 concerning Digital Banking Services Provided by Commercial Banks. There is no separate law to regulate the virtual account opening.

The regulation clearly states that digital banks are different from digital banking services (m-banking, SMS banking, e-banking, etc.). The difference is clear that all digital banking services can be accessed via smartphones.

Beyond that, digital banks cover all banking services from account administration, transaction authorization, financial management, and / or account opening/closing, digital transactions, and other financial product services based on OJK approval.

According to Bhima Yudistira, Institute for Development of Economics (Indef) observer, there is no need yet to draft new regulations to accommodate the law of digital banks. Moreover, existing regulations were only issued in 2018. However, Bhima highlighted that the government needs to pay attention to the high-security aspects and data utilization for third parties.

On the other hand, he also sees that the trend of digital banks is driving a new landscape of banking in the banking sector. According to him, banks that invest in digitalization will obtain a greater market share than banks that continue to operate conventionally.

“The demand for digital banking is greater along with the growth in the number of active internet users in 2020 reaching 175.4 million people. This means that banks are expected to provide faster services at affordable costs, and access anywhere, anytime,” he said.

If a digital bank is realized, the impact will be very large, especially for millennials. However, it is not without obstacles that banks are also deemed necessary to conduct education for other market segments, such as SMEs and rural areas. “The important thing here is developing digital banks must run along with the penetration of internet network access to remote and outermost areas,” Bhima said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

2020 Jadi Tahun Realisasi Bank Digital Indonesia

Kita telah menyaksikan berbagai inovasi digital perbankan dalam hampir satu dekade terakhir. Mobile dan internet banking dapat menjadi contoh digitalisasi perbankan yang paling lekat dalam keseharian. Berkat inovasi ini, nasabah semakin mudah dalam melakukan transaksi keuangan.

Perbankan Indonesia juga mulai merangkul keterhubungan layanan melalui pengembangan Open API. Pertumbuhan bisnis digital di Tanah Air yang dimotori platform e-commerce dan fintech dapat dikatakan sebagai driven factor bagi perbankan untuk mengembangkan inovasi tersebut. Kini, transaksi lintas platform menjadi sangat memungkinkan dilakukan.

Dalam beberapa tahun terakhir, fintech mengambil peran cukup besar dalam memberikan akses layanan keuangan yang efisien dan praktis. Fintech berhasil mendisrupsi model bisnis perbankan tradisional dengan proses onboarding yang cepat.

Berdasarkan Fintech Report 2019, tercatat sebanyak 79,9% dari 747 responden di Indonesia menggunakan layanan digital wallet, diikuti oleh investment (31,5%), paylater (30,9%), online multifinance (12%), insurtech (11,8%), crowdfunding (8,2%), P2P lending (6,2%), dan remittance (2,4%).

Peran fintech dalam ekosistem keuangan ini justru menjadi momentum bagi perbankan untuk berinovasi. Di luar layanan mobile banking yang dimiliki, sejumlah bank di Indonesia semakin agresif mengembangkan produk keuangan digital, baik sendiri maupun berkolaborasi. Bahkan nasabah kini bisa membuka rekening tabungan melalui aplikasi mobile banking dan platform digital.

Dalam konteks digitalisasi, upaya di atas tentu relevan dengan kebutuhan pengguna saat ini. Namun, upaya tersebut belum cukup jika ingin mencapai inklusi keuangan yang lebih luas. Populasi masyarakat yang tidak tersentuh layanan keuangan (unbanked) masih besar. Keterbatasan ATM dan kantor cabang menjadi salah satu kendala bagi perbankan.

Laporan Google, Temasek, Bain & Company pada Oktober 2019 mencatat ada sebanyak 92 juta masyarakat Indonesia masuk ke dalam segmen unbanked (50,83%), diikuti dengan segmen banked sebanyak 42 juta jiwa (23,20%), dan segmen underbanked 47 juta (25,97%).

Industri perbankan di Indonesia menyadari fenomena ini bahwa produk keuangan kini tak hanya dimonopoli oleh bank saja. Situasi ini juga menandakan perbankan belum mampu menutup gap antara masyarakat melek keuangan dan tidak, dengan model bisnis tradisional.

Bank digital di Indonesia

Setelah digitalisasi perbankan, kini tren bank digital di Indonesia secara perlahan mulai bertumbuh. Upaya ini memperlihatkan bagaimana transformasi bank tak lagi bertumpu pada digitalisasi layanan, tetapi juga menjadi sebuah institusi terpisah.

Secara definitif, bank digital berbeda dengan digitalisasi perbankan. Meminjam istilah populer, konsep bank digital umumnya disebut sebagai neobank yang populer sejak 2017. Sementara mengutip tulisan Neo Bank dan Masa Depan Retail Banking di Indonesia“, istilah bank digital sering didefinisikan sebagai challenger bank.

Challenger bank di dunia bahkan sudah mengantongi jutaan nasabah. Beberapa di antaranya adalah Nubank (Brasil), Monzo (Inggris), N26 (Jerman), dan Chime (Amerika Serikat).

Kembali pada definisi awal, bank digital atau neobank diartikan sebagai bank yang beroperasi berbasis online tanpa ada kantor cabang fisik. Bank digital menawarkan kemudahan akses dengan UI/UX yang ramah pemakaian. Dengan koneksi internet dan smartphone, siapa saja dapat membuka rekening dan mengakses layanan keuangan lainnya.

Bank digital juga memiliki peluang untuk dapat me-leverage journey pelanggan melalui pengembangan layanan keuangan penunjang dan menjadikan produknya sebagai produk keseharian nasabah.

Tentu konsep di atas berbanding terbalik dengan bank tradisional di mana layanan keuangan—meski sudah ada internet dan mobile banking—masih membutuhkan tatap muka dan kantor cabang fisik. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bank adalah bisnis kepercayaan sehingga kontak fisik masih diperlukan.

Di Indonesia, bank digital kebanyakan dikaitkan pada layanan Jenius (2016) dan digibank (2017). Keduanya sering disebut sebagai pelopor bank digital pertama. Namun, ada juga yang menyebutnya sebagai produk spin off mengingat keduanya masih berada dalam naungan BTPN dan Bank DBS sebagai entitas utama.

Jenius dan digibank merupakan layanan berbasis aplikasi yang menawarkan produk dasar perbankan, yakni tabungan, pembukaan rekening online. Keduanya juga menawarkan layanan penunjang lain, seperti pengatur keuangan.

Tabel Jenius dan digibank / DailySocial
Tabel Jenius dan digibank / DailySocial

Jika akarnya adalah perluasan inklusi keuangan, Jenius dan digibank dapat dikatakan belum bisa dilabeli demikian. Hal ini karena keduanya mengincar segmen masyarakat yang sudah melek digital (digital savvy). Sementara, segmen unbanked cenderung belum memahami literasi keuangan.

Realisasi bank digital selanjutnya

Seiring semakin matangnya ekosistem dan teknologi, tahun 2020 tampaknya bakal menjadi tahun realisasi peluncuran bank digital di Indonesia. Beberapa rencana yang kami rangkum antara lain Bank Digital BCA, Bank Jago, dan Bank Yudha Bakti (BYB). Upaya untuk menjadi bank digital sebagai entitas baru ini semuanya dilalui lewat proses akuisisi.

Mengutip Kontan, BCA mencaplok Bank Royal senilai Rp988 miliar pada 2019. Bank Royal akan berganti nama menjadi Bank Digital BCA dengan target realisasi semester II 2020. Target pasarnya adalah segmen retail dan UMKM, berbeda dari portofolio utama induknya yang bermain di korporat. Bank Digital BCA sudah mengantongi izin dari OJK dan siap secara infrastruktur.

Diketahui, perusahaan juga disebut sedang menyiapkan P2P lending untuk Bank Digital BCA. Namun, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengungkap urung untuk meluncurkan layanan tersebut dalam waktu dekat. “Belum berani masuk P2P karena risikonya besar sekali, kami sedang persiapan dulu,” ujarnya seperti dikutip dari Katadata.

Tabel Bank Digital / DailySocial
Tabel bank digital / DailySocial

Selanjutnya, Bank Artos resmi berganti nama menjadi Bank Jago setelah diakuisisi bankir senior Jerry Ng dan Patrick Walujo. Menurut Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar, pihaknya sedang merampungkan model bisnis dan menyempurnakan aplikasi yang ditarget meluncur sebelum kuartal IV 2020.
Mengutip Bisnis.com, Bank Jago bakal membidik segmen menengah dan mass market sebagai target utama. Selain itu, Bank Jago juga bakal berkolaborasi dengan platform digital di berbagai vertikal bisnis, seperti e-commerce, ride hailing, dan P2P lending.

DailySocial telah menghubungi reprenstasi BCA dan Bank Jago terkait realisasi bank digital ini, namun pihaknya masih enggan membuka informasi. “Direksi kami belum dapat menyampaikan informasi ke media karena saat ini sedang fokus menyiapkan aplikasi dan segala sesuatunya,” ungkap Senior Manager Bank Jago Nurul Kolbi dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Berbeda dengan keduanya, Bank Yudha Bakti (BYB) mulai dikendalikan oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang menaungi layanan fintech Akulaku pada 2019. Masuknya Akulaku diharapkan dapat mempercepat proses transformasi digital BYB, yakni menjadi bank digital tanpa kantor cabang dan mengembangkan aplikasi mobile untuk meningkatkan penetrasi pasar.

DailySocial menghubungi Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo terkait hal ini. Menurut Indra, BRI memang tidak melakukan strategi serupa dengan bank di atas. Akan tetapi, BRI dinilai sudah melakukan transformasi besar untuk mejadi bank digital.

Untuk menjadi bank digital, Indra menilai BRI harus memaksimalkan keunggulan pada jaringan fisik. “Pemenangnya adalah yang dapat memadukan keunggulan fisik dan digital. Apapun entitasnya, baik BRI dan anak usaha, harus digital company. Tidak perlu ada dikotomi bank digital dan bank non-digital,” ungkapnya.

Tanpa dikotomi tersebut, ujarnya, BRI sudah memberikan sebuah value dari konsep bank digital dengan layanan perbankan berbasis digital. BRI menjadi bank pertama yang meluncurkan produk digital lending PINANG dan Ceria. Kemudian, bank pertama yang menyediakan layanan pembukaan rekening dengan proses KYC sepenuhnya berbasis digital.

Tabel Produk Digital BRI / DailySocial
Tabel Produk Digital BRI / DailySocial

Indra menekankan bahwa digital tidak bisa menggantikan kepercayaan, layanan, dan brand. Akan tetapi, tanpa digital, kita tidak bisa mendapatkan ketiganya. Artinya, bank dengan label ‘digital’ tidak serta-merta menjadi lebih terpercaya dibanding perbankan besar yang sudah bertransformasi digital.

“Sampai saat ini saya belum lihat ada bank digital atau neobank yang sukses di dunia. Bagi saya, pemenangnya adalah yang memadukan keunggulan fisik atau human touch dan digital. Istilahnya phygital,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Head of Digital Banking BTPN Irwan Sutjipto Tisnabudi mengaku bahwa kemunculan bank digital baru akan membantu menciptakan ekosistem keuangan digital dan mendorong edukasi terhadap literasi finansial lebih baik. Bahkan, tren ini akan memunculkan peluang kolaborasi.

Terkait kemungkinan Jenius menjadi entitas terpisah, Irwan menegaskan bahwa Jenius saat ini tetap mendukung bisnis BTPN untuk memperluas segmen pasar yang telah dimiliki sebelumnya. Ia juga menekankan pada strategi utama melalui kokreasi dan kolaborasi dengan like-minded partner untuk mengembangkan produk yang relevan bagi customer.

“Dalam melakukan transformasi digital, BTPN meyakini digital menjadi inti bisnis dan value proposition, bukan saluran tambahan. Prioritas kami membangun ekosistem yang mendukung life finance dengan cakupan lebih luas sehingga manfaatnya dapat dirasakan bagi masyarakat melek digital,” jelasnya.

Jenius menjadi hasil transformasi BTPN yang dikembangkan lewat proses kokreasi dan kolaborasi dengan ribuan digital savvy selama 18 bulan. Per Maret 2020, Jenius telah mengantongi lebih dari 2,5 juta pengguna. Perusahaan juga baru saja memperkenalkan fitur Bisniskit untuk pembilik bisnis baru dan Moneytory untuk membantu pengelolaan keuangan.

Regulasi dan tantangan

Saat ini penyelenggaraan bank digital masih berada dalam payung hukum bank konvensional. Hal ini diatur dalam Peraturan OJK Nomor 12 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. Belum ada payung hukum tersendiri untuk mengatur pembukaan rekening virtual.

Dalam regulasinya jelas dikatakan bahwa bank digital memiliki perbedaan dengan layanan digital perbankan (m-banking, SMS banking, e-banking, etc). Perbedaannya jelas bahwa seluruh layanan digital perbankan dapat diakses melalui smartphone.

Sementara di luar daripada itu, bank digital mencakup keseluruhan layanan perbankan dari administrasi rekening, otorisasi transaksi, pengelolaan keuangan, dan/atau pembukaan/penutupan rekening, tranksaksi digital, dan pelayanan produk keuangan lain berdasarkan persetujuan OJK.

Menurut pengamat Institute for Development of Economics (Indef) Bhima Yudistira, belum ada kebutuhan untuk merancang regulasi baru untuk mengakomodasi payung hukum bank digital. Terlebih, regulasi yang sudah ada baru diterbitkan pada 2018. Akan tetapi, Bhima menggarisbawahi bahwa pemerintah perlu memperhatikan aspek keamanan dan pemanfaatan data untuk pihak ketiga agar dapat diatur lebih ketat.

Di sisi lain, ia juga melihat bahwa tren bank digital mendorong lanskap persiangan baru di sektor perbankan. Menurutnya, bank yang berinvestasi terhadap digitalisasi akan memperoleh pangsa pasar lebih besar dibandingkan bank yang tetap beroperasi secara konvensional.

“Kebutuhan terhadap digital banking semakin besar seiring dengan pertumbuhan jumlah pengguna internet aktif di 2020 yang mencapai 175,4 juta orang. Artinya perbankan diharapkan memberikan layanan yang lebih cepat dengan biaya terjangkau, dan akses di manapun dan kapanpun,” ujarnya.

Jika bank digital terealisasi, dampaknya akan sangat besar, khususnya bagi kalangan milenial. Namun, bukan tanpa halangan bahwa perbankan juga dinilai perlu untuk melakukan edukasi untuk segmen pasar lain, seperti UMKM dan pedesaan. “Di sini pentingnya pengembangan bank digital harus diiringi oleh penambahan akses jaringan internet ke daerah terpencil dan terluar,” tutur Bhima.