Alami Fintech Raised Equity and Debt Funding Worth of 283 Billion Rupiah

The sharia fintech lending startup, Alami, announced $20 million (over 283 billion Rupiah) in equity and debt funding led by AC Ventures and Golden Gate Ventures. Quona Capital is also participating in this round.

Both AC Ventures and Golden Gate Ventures were the previous investors that led Alami’s seed funding worth $1.5 million in late 2019. The arrival of Quona Capital has placed Alami in its Indonesian portfolio list after investing in KoinWorks, BukuWarung, Ula, and Julo.

“We believe that players in the Islamic finance industry have only just tapped a fraction of its potential. Social finance, for example, can be explored further,” Alami’s Founder & CEO Dima Djani said, quoting from the AC Ventures website.

Dima aims that this year Alami can increase the loan disbursement up to four times or worth more than IDR1 trillion for the health, agriculture, logistics, and food sectors. In addition, the company plans to explore opportunities for synergies with Islamic banking financial institutions such as Islamic Commercial Banks (BUS), Sharia Business Units (UUS), and Sharia Rural Banks (BPRS).

One of these plans has been successfully realized. At the same time, through an official statement on the same day, Alami launched a financial channeling partnership with BRI Syariah targeting IDR40 billion this year.

“Through this financial channeling collaboration, it is expected to accelerate the recovery process of small and medium enterprises affected by the pandemic, as well as revive the Indonesian economy,” Dima said.

BRI Syariah’s  Head of Retail Banking Division, Elvera Melladiana stated the one factor that considered the company solid in establishing partnerships with Alami was because it had a positive track record, both in terms of funding, and the potential projects in it.

“BRI Syariah has served SME customers from various levels of capital, and we are aware that in order to achieve an exponential distribution of financing targets, collaboration with fintech companies must begin. This is in order to realize easy, fast, and safe access to Islamic finance,” Elvera said.

As of December 2020, Alami claims to have distributed around Rp. 300 billion to thousands of MSMEs throughout Indonesia from around 20 thousand lenders registered on the Alami platform.

Sharia lending market

Alami is several lending startups focusing on the sharia segment. In addition, there are Ammana, Bsalam, Duha Syariah, Dana Syariah, Finteck Syariah, Qazwa, Ethis, and Investree (sharia business unit). However, its popularity is quite far behind compared to conventional services.

Referring to OJK’s data, the accumulation of fintech lending grew 113.05% YoY to Rp128.7 trillion in September 2020. The new sharia fintech donations contributed around Rp1.2 trillion of the total.

Chairman of the AFPI’s Sharia Funding Fintech Cluster, Lutfi Adhiansyah, stated that there are some factors that make conventional lending run faster than sharia. One of them is in terms of quantity, there are more conventional players and the different nature of the product and business model.

“Many sharia fintech lending targets the productive sector. Therefore, the process is more selective and takes longer to verify. It’s different from multipurpose fintech lending, where online loans are relatively fast and the nominal is quite small,” Lutfi said as quoted from Kontan.co.id.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Fintech Alami Peroleh Pendanaan Ekuitas dan Debt Senilai 283 Miliar Rupiah

Startup fintech lending syariah Alami mengumumkan pendanaan senilai $20 juta (lebih dari 283 miliar Rupiah) berbentuk ekuitas dan debt yang dipimpin AC Ventures dan Golden Gate Ventures. Quona Capital turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Baik AC Ventures dan Golden Gate Ventures, merupakan investor sebelumnya yang memimpin pendanaan tahap awal di ALAMI senilai $1,5 juta pada akhir 2019. Masuknya Quona Capital, otomatis menempatkan ALAMI ke dalam jajaran portofolionya di Indonesia setelah berinvestasi ke KoinWorks, BukuWarung, Ula, dan Julo.

“Kami percaya bahwa pemain yang ada di industri keuangan syariah baru saja memanfaatkan sebagian kecil dari potensinya. Social finance, misalnya, dapat dieksplorasi lebih jauh,” kata Founder & CEO Alami Dima Djani, mengutip dari laman AC Ventures.

Dima menargetkan pada tahun ini Alami dapat meningkatkan nominal penyaluran pinjaman hingga empat kali lipat atau senilai lebih dari Rp1 triliun untuk sektor kesehatan, pertanian, logistik, dan makanan. Selain itu, berencana untuk mengkaji peluang sinergi dengan institusi keuangan syariah perbankan seperti Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).

Salah satu rencana tersebut ada yang berhasil terealisasi. Pada saat yang bersamaan, melalui keterangan resmi yang diumumkan pada hari yang sama, Alami meresmikan kerja sama channeling pembiayaan dengan BRI Syariah dengan target penyaluran sebesar Rp40 miliar pada tahun ini.

“Melalui kerja sama channeling pembiayaan ini, mudah-mudahan bisa mempercepat proses pemulihan usaha-usaha kecil menengah yang terkena pandemi, serta membangkitkan perekonomian Indonesia,” kata Dima.

Kepala Divisi Ritel Banking BRI Syariah Elvera Melladiana menyatakan salah satu faktor yang membuat perusahaan mantap menjalin kemitraan dengan Alami karena punya track record yang positif, baik dari sisi pendana, maupun potensi proyek-proyek yang berada di dalamnya.

“BRI Syariah telah melayani nasabah UMKM dari berbagai tingkat permodalan, dan kami menyadari, untuk bisa mencapai target penyaluran pembiayaan yang eksponensial, kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan fintech harus mulai dilakukan. Hal ini demi mewujudkan akses pembiayaan syariah yang mudah, cepat, dan aman,” tutur Elvera.

Hingga Desember 2020, Alami mengklaim sudah menyalurkan sekitar Rp300 miliar kepada ribuan UMKM di seluruh Indonesia dari sekitar 20 ribu pendana yang terdaftar di platform Alami.

Pasar lending syariah

Alami adalah beberapa startup lending yang bermain di segmen syariah. Selain itu ada Ammana, Bsalam, Duha Syariah, Dana Syariah, Finteck Syariah, Qazwa, Ethis, dan Investree (unit bisnis syariah). Kendati demikian, pamornya masih jauh tertinggal dibandingkan layanan konvensional.

Merujuk dari data OJK akumulasi fintech lending tumbuh 113,05% yoy menjadi Rp128,7 triliun pada September 2020. Sumbangsing fintech syariah baru senilai Rp1,2 triliun dari total tersebut.

Ketua Klaster Fintech Pendanaan Syariah AFPI Lutfi Adhiansyah menyatakan ada beberapa faktor yang membuat lending konvensional lari lebih cepat dibandingkan syariah. Salah satunya dari segi kuantitas, pemain konvensional lebih banyak dan nature dari produk dan model bisnis yang berbeda.

Fintech lending syariah banyak yang menyasar sektor produktif. Jadi proses lebih selektif dan membutuhkan waktu lebih lama untuk verifikasi. Berbeda dengan fintech lending multiguna yang pinjaman online relatif prosesnya lebih cepat dan nominalnya kecil,” kata Lutfi mengutip dari Kontan.co.id.

Application Information Will Show Up Here

Startup Fintech Syariah Alami Bukukan Pendanaan 20 Miliar Rupiah

PT Alami Teknologi Sharia Group (Alami) berhasil mengantongi pendanaan terbaru dalam putaran seed. Investasi dipimpin oleh Golden Gate Ventures dengan keterlibatan RHL Ventures, Agaeti Ventures, dan Aamir Rahim melalui Zelda Crown.

“Karena ini masih MoU kami belum bisa disclose jumlahnya, tapi nilainya di atas 20 miliar Rupiah,” ujar Founder & CEO Alami Dima Djani dalam acara 6th Indonesia Sharia Economic Festival.

Dima mengatakan, dana segar tersebut seluruhnya akan dipakai untuk pengembangan teknologi, optimasi operasional, dan pemasaran produk. Seperti yang diketahui, Alami menyediakan produk keuangan berbasis syariah.

Alami sendiri fokus sebagai platform p2p lending untuk pelaku usaha kecil menengah (UKM) sebagai pasarnya. Namun dengan pendanaan baru ini, Alami membuka kemungkinan untuk merambah permodalan bagi pelaku usaha yang lebih kecil.

“Saat ini kita masih fokus di UKM tapi justru dengan pendanaan ini akan eksplorasi produk-produk baru salah satunya mungkin masuk ke pendanaan mikro,” imbuh Dima.

Langkah lain yang akan diambil oleh Alami adalah mengembangkan kembali layanan agregator mereka. Dalam riwayat Alami, layanan agregator diperkenalkan lebih dulu dengan tujuan memudahkan UKM mendapatkan pinjaman dari institusi keuangan syariah.

Selain itu Dima juga menuturkan, seluruh proses pendanaan dilakukan secara syariah, sehingga diklaim sebagai kesepakatan pendanaan berbasis syariah dengan modal ventura yang pertama di Asia Tenggara.

Dima melihat faktor keterbukaan masih luput sebagai pertimbangan para pelaku bisnis syariah di dalam negeri. Ia mencontohkan bagaimana bisnis syariah sulit berkembang karena begitu selektif dengan investor yang ingin bekerja sama.

“Karena pada akhirnya Islam itu kan untuk semuanya. Siapa saja yang mau, asalkan ikut struktur syariah kita OK,” tutur Dima.

Alami mengklaim sudah menyalurkan pembiayaan sekitar Rp50 miliar di periode Mei-Oktober 2019. Jumlah pemberi dana yang bergabung dengan sekitar 1.500 orang. Dengan pendanaan baru ini, Alami berharap dapat mengembangkan layanannya untuk setahun ke depan.

Bagaimana Sejatinya Sebuah Perusahaan Fintech Syariah?

Asia mendorong pertumbuhan bisnis jenis baru dalam dunia fintech. Dengan perkiraan dana senilai $22,7 miliar yang disalurkan pada akhir 2018, industri keuangan di kawasan ini telah mengalami perubahan signifikan dalam hal teknologi.

Hal ini termasuk dalam industri finansial syariah yang kian menjadi fokus di negara Asia Tenggara dengan jumlah populasi umat muslim terbanyak, seperti Indonesia dan Malaysia. Sejatinya, finansial islami atau berbasis syariah mengacu pada aktivitas finansial yang dijalankan sesuai dengan syariat Islam. Terdapat sekitar 1,6 miliar umat Islam di Asia – mayoritas bertempat di Indonesia – yang menuntut solusi finansial berbasis syariah yang inklusif dan efektif, memungkinkan segmen lain yang jangkauannya lebih luas dalam masyarakat, termasuk mereka yang belum terjamah layanan bank atau underbanked.

Menurut sebuah perusahaan akuntansi global, KPMG, terdapat sekitar 438 juta orang yang belum terjangkau layanan bank di Asia Tenggara, dengan mayoritas konsumen pada ekonomi layaknya Indonesia, Malaysia, atau Filipina memiliki akses sangat sedikit terhadap layanan finansial. Bagi 240 juta umat Islam di Asia Tenggara, perusahaan fintech berbasis syariah menjadi alternatif solusi finansial, seperti platform P2P dan urun dana, dengan proses penerimaan yang cepat dan aksesnya luas.

Berbasis syariah

Dari penuturan Shabana M Hasan, seorang ahli dari Akademi Riset Syariah Internasional pada Finansial Islami di Malaysia (ISRA), finansial Islam adalah sistem finansial yang diteruskan dari kitab suci Islam (Qur’an) dan tradisi nabi (Sunnah). Prinsip dasar sistem finansial Islam adalah penegakan keadilan dan kesetaraan dalam semua kesepakatan dan transaksi. Hal ini diwujudkan melalui empat larangan fundamental: riba, spekulasi (qimar), pendapatan di muka (masyir), ketidakpastian (gharar).

Singkatnya, riba mengacu pada semua bentuk bunga yang melipatgandakan pengembalian pada pinjaman. Dalam finansial Islam, hal ini tidak diperkenankan karena dapat menimbulkan ketidaksetaraan kekayaan, peningkatan jumlah hutang, dan mengarah pada eksploitasi. Spekulasi (qimar) sama dengan istilah zero-sum game dimana dalam transaksi keuangan, pemenang akan mendapat kekayaan dari jumlah pengeluaran yang kalah. Islam melarang spekulasi finansial karna merepresentasikan sebuah tindakan persuasif yang tak bermoral. Pendapatan di muka (maysir) mengacu pada jenis pendapatan yang dihasilkan sesuai peruntungan. Ketidakpastian (gharar) meliputi setiap transaksi yang memiliki unsur ambiguitas, ketidakpastian, dan beresiko. Misalnya, penjualan dengan harga atau barang yang sifatnya tidak jelas dan dianggap tidak valid. Hal ini juga yang menjadi dasar pelarangan berbagai instrumen keuangan yang sifatnya diteruskan – seperti futures dan options – dalam finansial Islam.

Dalam rangka menghindari riba serta berbagai larangan, finansial berbasis syariah kini memanfaatkan kesepakatan berbasis aset dan ekuitas demi mempromosikan pembagian resiko. Alasannya untuk menyelaraskan kepentingan semua pihak dengan adil dan sama rata.

Kehadiran industri fintech, menurut Shabana, akan membawa dampak besar bagi pelanggan, terutama dalam hal inklusi finansial dan kenyamanan. “Startup fintech Syariah telah membuka sebuah sumber pendanaan baru bagi UKM [usaha kecil dan menengah], yang nyatanya akan mengalami kesulitan untuk meraih pendapatan berbasis syariah dari bank. Jadi, dengan layanan fintech syariah, mereka yang belum terjangkau layanan bank bisa memulai riwayat kreditnya demi mencapai inklusi finansial.”

Perusahaan fintech syariah juga mencanangkan aktifitas keuangan yang lebih sederhana, nyaman dan ramah pengguna bagi pelanggan yang menginginkan transaksi berjalan selaras dengan prinsip-prinsip di keyakinan mereka. “Efisiensi dan transparansi yang dilakukan fintech tidak hanya memberi kenyamanan, tapi juga membangun kepercayaan publik terhadap sistem secara keseluruhan.”

Hingga kini fintech telah mentransformasi banyak area dalam finansial syariah di Asia. Jenis layanan utama yang ditawarkan oleh perusahaan fintech syariah adalah pinjaman peer-to-peer (P2P) , crowdfunding, transfer uang, pembayaran mobile, platform perdagangan, manajemen kekayaan, dan asuransi.

Foto oleh Jonas Leupe di Unsplash
Foto oleh Jonas Leupe di Unsplash

Perkembangan Lanskap

Dengan persyaratan khusus syariah, apa yang menjadi tantangan dalam perkembangan fintech syariah? Menurut lanskap fintech syariah IFN – inisiatif internasional yang memetakan pasar perusahaan fintech syariah – terdapat banyak bisnis yang terjun ke dalam industri ini. Pada akhir 2018, terdapat total 113 perusahaan aktif atau dalam tahap peresmian; 46% nya berada di Asia.

Alami, sebuah perusahaan yang menawarkan marketplace untuk pendanaan UKM berbasis syariah, berhasil menyalurkan dana senilai Rp17 miliar (USD 1.2 juta) melalui platformnya ke berbagai UKM di  Indonesia pada Agustus 2019. Menurut pendiri dan CEO Alami, Dima Djani, ada permintaan pasar yang signifikan terhadap solusi fintech berbasis syariah di negara ini.

“Indonesia memiliki populasi Muslim terbanyak di dunia, terdapat lebih dari 200 juta orang dengan penetrasi industri perbankan Islam hanya 8%,” kata Dima. “Kami percaya potensi pasar keseluruhan bisa mencapai setidaknya dua kali lipat dari jumlah itu dalam waktu lima tahun, mengikuti rencana pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penetrasi pasar menjadi 15% pada tahun 2023. Sementara permintaan UKM untuk solusi finansial syariah kian meroket, pergerakan bank cenderung lambat dari yang diperkirakan. Inilah yang menjadi alasan Alami untuk mengadopsi pendekatan finansial P2P untuk akselerasi.”

Finansial P2P, yang juga dikenal dengan crowdfunding syariah, adalah solusi fintech yang umum ditawarkan dalam pendanaan syariah. Menggunakan format ini, investor mulai berkontribusi pada proyek-proyek yang sesuai dengan syariah yang ada dalam platform perusahaan fintech, sebagai imbalan untuk pembayaran pokok dengan profit.

Dana Syariah, perusahaan fintech lain yang berbasis syariah di Indonesia, juga menjalankan crowdfunding berdasarkan prinsip syariah. Perusahaan ini mengakhiri tahun 2018 dengan RP80 miliar yang disalurkan melalui platform urun dana dengan target Rp500 miliar di akhir 2019.

Atis Sutisna, pendiri dan CEO Dana Syariah menjelaskan bahwa untuk memastikan semua proyek dalam platform sudah sesuai dengan prinsip syariah, perusahaan mengawasi secara ketat selama proses seleksi hingga selesainya. “Misalnya, sebelum membiayai proyek properti, analis kami akan lebih dulu menganalisis kelayakan proyek tersebut untuk pendanaan. Saat semua persyaratan sudah terpenuhi, tim kami akan menentukan biaya untuk bahan bangunan, serta biaya operasional yang membutuhkan dana. Kami pun akan memantau seluruh proyek pengembangan untuk memastikan semuanya sesuai kontrak dan syariah.

Atis juga mengatakan bahwa setiap transaksi dalam platform harus berdasarkan hukum syariah dan atas persetujuan Dewan Pengawas Syariah. Di Indonesia, dewan penasihat ditunjuk oleh Majelis Ulama Indonesia.

Dima Djani dari Alami menegaskan persyaratan dari peraturan ini “Produk dan bisnis model kami harus terlebih dulu disaring oleh Dewan Pengawas Syariah dilanjutkan ke divisi syariah Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK). CEO dan kepala divisi produk kami juga mengikuti pelatihan produk finansial syariah yang ditawarkan Majelis Ulama Indonesia. Di Alami, kami tidak hanya fokus pada kepatuhan syariah, tetapi juga prinsip-prinsipnya.”

Di Indonesia, untuk mendapatkan lisensi, OJK dan Majelis Ulama Indonesia mengharuskan setiap perusahaan fintech syariah untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah sendiri.

Isu Kepercayaan

Kendati permintaan atas finansial syariah tidaklah sulit, untuk mendapatkan kepercayaan pasar adalah suatu perjuangan bagi perusahaan fintech syariah. Atis Sutisna dari Dana Syariah mengatakan bahwa kredibilitas adalah sesuatu yang penting dalam sektor ini. “Permintaan pasar atas finansial syariah kian meningkat, mereka sedang mencari alternatif investasi tanpa riba. Namun, tantangan terbesarnya adalah ketika menyinggung kredibilitas brand.

“Ada stigma yang beredar di sekitar bisnis terkait Islam. Dahulu, banyak kasus penipuan bisnis yang mengatasnamakan agama, hal ini menciptakan persepsi negatif di kalangan masyarakat yang mengaku patuh pada hukum syariah. Inilah alasan mengapa penyuluhan publik itu penting bagi kami, “Kami mencoba mendidik masyarakat tentang perusahaan kami melalui keterlibatan masyarakat, pemasaran digital, talkshow di radio, dan penampilan di TV,” tambah Dima.

Dima Djani dari Alami sependapat. “Kami menanggapi kredibilitas dengan sangat serius. Alami pun telah memenangkan beberapa penghargaan bergengsi seperti Kompetisi Ventura INSEAD dan Taqwatech di Malaysia Tech Week. Tim kami juga adalah mantan pekerja bank, yang memahami bisnis dan pasar.”

“Bagaimanapun juga, ada isu kredibilitas terkait bisnis syariah di Indonesia yang dijalankan oleh orang-orang non-profesional. Hal ini terkait dengan pemahaman publik atas konsep finansial syariah itu sendiri. Kami merasa bahwa kurangnya edukasi pasar untuk model P2P dan keuangan syariah,” ujar Dima. “Indonesia adalah  negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, tetapi sistem finansial Islam tidak diajarkan di sekolah, dan kami melihat ini sebagai tantangan yang signifikan ketika datang untuk mengenalkan masyarakat dengan layanan kami.”

Hal ini menyulitkan perusahaan fintech syariah dalam merekrut personilnya, terlebih pada saat konglomerat teknologi mulai menyerap tenaga kerja berbakat. “Sebagai startup fintech tahap awal yang syariah, kami merasa kesulitan untuk bersaing dengan unicorn dalam kompetisi merekrut tim IT profesional,” ujar Atis.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Startup Fintech Syariah Alami Dapatkan Pendanaan Awal dari tryb Group

PT Alami Teknologi Sharia Group (Alami) sebagai platform fintech agregator syariah yang kini juga memulai layanan peer-to-peer (p2p) lending baru saja mendapatkan pendanaan dalam pra-seed round yang dipimpin oleh tryb Group. Tidak disebutkan mengenai besaran pendanaan yang didapatkan. Modal yang didapat akan dialokasikan untuk pengembangan produk dan teknologi agar semakin mudah digunakan oleh masyarakat.

“Kami sangat senang mengumumkan kemitraan kami dengan tryb dan investasi mereka ke Alami. Keahlian fintech di pasar Asia Tenggara yang dimiliki tryb memberikan validasi yang kuat terhadap model bisnis, sekaligus menjadi dukungan bagi pertumbuhan kami,” ujar Founder & CEO Alami Dima Djani.

Sementara itu Principal tryb Group Herston Powers menyampaikan, “Pasar fintech syariah sangat besar dan belum dioptimalkan di Indonesia. Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia, namun sektor keuangan syariah secara historis tertinggal ketimbang yang lain.”.

Dalam operasionalnya sebagai pemain fintech, Alami sudah mendapatkan perizinan dan pengawasan dari OJK. Dima turut menceritakan mengenai alasan Alami hadir di lanskap p2p lending. Di kalangan UKM, akses permodalan menjadi permasalahan yang cukup pelik, terlebih yang menerapkan prinsip-prinsip syariah.

“Kami memiliki tujuan untuk menyediakan akses modal yang diatur oleh prinsip-prinsip syariah bersama dengan pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan literasi keuangan untuk semua pelaku pasar. Dengan meningkatnya adopsi teknologi bagi UKM dan individu,” lanjut Dima.

Fintech Agregator Alami Segera Rambah Bisnis P2P Lending Syariah

Startup fintech agregator Alami segera rambah bisnis p2p lending syariah tahun depan. Potensi bisnis syariah yang masih luas menjadi alasan dibalik perluasan bisnis ini.

“Alami masih explore rencana bisnis [masuk ke p2p lending], kemungkinan dalam waktu dekat. Kami melihat potensi bisnis syariah itu cukup besar, lagipula startup p2p lending yang murni bergerak di syariah itu baru ada dua yang sudah tercatat di OJK,” kata Co-Founder dan CEO Alami Dima Djani, Rabu (21/11).

Dima juga menuturkan saat ini Alami masih dalam proses pendaftaran untuk masuk ke regulatory sandbox sebagai startup agregator, mengikuti aturan POJK Nomor 13 Tahun 2018. Apabila sudah mendapat kepastian dari OJK, maka perusahaan akan merealisasikan rencana tersebut.

Di samping itu, perusahaan juga siap mengembangkan cakupan layanan ke wilayah baru. Ada dua lokasi yang dibidik, yakni Jawa dan Sumatera. Alami juga bakal menambah mitra institusi keuangan agar peminjam bisa memperoleh banyak opsi sumber dana.

“Secara dokumen dan SOP semuanya sudah siap, tinggal tunggu kepastian dari OJK saja kami masuk ke regulatory sandbox atau tidak. Mereka [OJK] bilangnya akan diumumkan serentak bulan depan.”

Alami bergerak di bidang agregator untuk memudahkan UKM mendapatkan pinjaman dari institusi keuangan syariah. Ada lima mitra yang sudah bekerja sama, yakni Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, Bank Mega Syariah, Jamkrindo Syariah, dan Kapital Boost.

Dima menjelaskan Alami melakukan penyaringan calon penerima pembiayaan sebelum bertemu institusi keuangan. Dengan credit scoring yang sudah disusun sesuai standar berlaku, UKM cukup mengisi dokumen yang dibutuhkan. Mulai dari data detail perusahaan, NPWP, kepatuhan syariah, agunan (apabila ada), dan lainnya.

Besaran nominal yang bisa diajukan UKM mulai dari Rp200 juta sampai Rp30 miliar. Apabila data sudah terisi semua, Alami akan melakukan rating tingkat risiko mulai dari 1 (terbaik) sampai 6 (terburuk). Rating ini akan dipakai oleh mitra dalam menentukan kupon dan tenor yang sesuai dengan risiko.

“Setelah mitra melakukan penawaran, peminjam bisa membandingkan penawaran mana yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kalau tertarik, nanti mitra akan mendapat notifikasi yang berisi kontak detil peminjam untuk proses akhirnya.”

Diklaim dengan platform Alami, proses screening dapat selesai dalam waktu satu hari, dengan persentase keberhasilan diterima mitra sebesar 80%. Selanjutnya, mitra tersebut akan melakukan verifikasi data calon peminjam sesuai SOP sebelum proses pencairan dana.

Selama enam bulan terakhir, Alami telah membantu 10 UKM di Indonesia dengan total pembiayaan sebesar Rp20 miliar. Selain itu dari 80 UKM yang mendaftar, ada 50 UKM yang lolos screening awal dan berada di tahap analisis pihak mitra.

Umumnya, penerima pembiayaan berasal dari industri halal dengan bidang usaha manufaktur, industri kreatif, perdagangan, jasa kesehatan, dan pendidikan. Dima memastikan seluruh aktivitas usahanya memenuhi prinsip syariah dengan penerapan bisnis model bersifat sharia-driven, satu langkah lebih maju dari penerapan sharia-compliance.

Agregator Pembiayaan UKM “Alami” Sasar Pasar Fintech Syariah

Besarnya antusiasme masyarakat Indonesia terkait dengan layanan financial tehcnology (fintech) berbasis syariah melahirkan berbagai layanan keuangan digital yang mulai menyasar sektor ini.

Salah satu layanan yang mencoba untuk masuk ke segmen tersebut adalah Alami, agregator UKM pembiayaan syariah yang berdiri sejak bulan Desember 2017.

“Kami memiliki teknologi dan credit rating mengikuti proses rating dari perbankan yang sedang dikembangkan untuk UKM. Saat ini credit engine sedang dikembangkan, rencananya akan kami luncurkan bersamaan dengan peluncuran resmi Alami,” kata CEO & Co-founder Alami Bembi T. Juniar kepada DailySocial.

Hingga kini Alami mengklaim telah membukukan pembiayaan melalui mitra bank syariah sebesar Rp13,5 Miliar untuk dua perusahaan. Masih menjalankan proses tersebut secara manual, Alami memanfaatkan jaringan internal untuk end user yang bergabung dengan platform Alami.

“Situs Alami sendiri saat ini masih dalam tahap pengembangan. Rencananya bulan April akan bisa live dan bisa diakses oleh pengguna,” kata Bembi.

Teknologi yang dimiliki Alami diklaim memudahkan UKM untuk mendapatkan akses mudah dan cepat dari bank yang telah bermitra dengan Alami. Saat ini Alami telah bermitra dengan BNI Syariah, Bank Mega Syariah, dan Jamkrindo Syariah.

“Kami juga ingin memberikan social impact yaitu dengan cara mengedukasi baik disisi pelaku UKM maupun dari sisi perbankan syariah sebagai mitra untuk lebih aware dengan keuangan syariah dengan segala kelebihannya,” kata Bembi.

Memperluas kemitraan dengan Kapital Boost

Di awal tahun 2018 ini, Alami kembali menambah kemitraan. Kali ini dengan platform peer-to-peer lending (P2P) Kapital Boost yang membantu UKM mendapatkan pembiayaan dengan investor global yang mencari peluang untuk berinvestasi berbasis syariah.

Kemitraan strategis ini terjalin karena adanya kesamaan visi dan misi dengan Kapital Boost untuk menerapkan dan mendukung ekonomi syariah di Indonesia.

“​Bentuk kerja sama kami adalah menjadikan Alami sebagai partner dalam menyalurkan UKM-UKM yang sedang membutuhkan modal usaha, serta di waktu bersamaan melakukan kualifikasi/penyaringan awal proyek-proyek UKM yang layak untuk didanai oleh para investor Kapital Boost​,” kata Country Head Kapital Boost Indonesia Ronald Wijaya.