Powerbeats Generasi Keempat Hadir dengan Desain yang Lebih Nyaman dan Chip Apple H1

Apple meluncurkan earphone wireless baru di bawah brand Beats by Dre, yaitu Powerbeats generasi keempat. Namanya tak lagi diikuti angka di belakangnya seperti sebelum-sebelumnya, dan ia bukanlah pengganti Powerbeats Pro yang diluncurkan tahun lalu.

Berbeda dari Powerbeats Pro yang bertipe true wireless (benar-benar tanpa kabel), Powerbeats mengadopsi model neckband dengan seuntai kabel yang menghubungkan kedua earpiece-nya. Dibandingkan generasi sebelumnya, desain barunya lebih apik sekaligus lebih nyaman, sebab kabelnya yang menyatu dengan earhook diposisikan di belakang daun telinga.

Powerbeats 4

Secara estetika, perangkat ini sebenarnya sangat mirip dengan Powerbeats Pro. Ketahanan airnya pun sama-sama bersertifikasi IPX4, dan earpiece sebelah kanannya turut dilengkapi sebuah tombol multi-fungsi (pada logo “b”). Tersedia pula tombol untuk mengatur volume, dan perangkat juga mendukung aktivasi Siri via instruksi suara “Hey Siri”.

Dukungan “Hey Siri” ini tak akan terwujud tanpa partisipasi chip Apple H1 warisan dari AirPods, yang sendirinya juga mewujudkan fitur pairing cepat dengan perangkat iOS. Dalam sekali pengisian, Powerbeats bisa beroperasi sampai 15 jam pemakaian. Charging-nya pun cepat; 5 menit pengisian sudah cukup untuk menenagai perangkat hingga 1 jam penggunaan.

Powerbeats 4

Dibanderol $150, Powerbeats merupakan alternatif yang lebih terjangkau ketimbang Powerbeats Pro. Kebetulan baterainya lebih tahan lama, dan ia tentu lebih cocok buat konsumen teledor seperti saya yang berpeluang besar menghilangkan true wireless earphone.

Sumber: The Verge.

Apple Kabarnya Akan Merilis Keyboard Eksternal untuk iPad yang Dilengkapi Trackpad

Salah satu pertanyaan yang umum dilontarkan saat berbicara mengenai iPad adalah, bisakah tablet bikinan Apple itu menggantikan laptop? Kalau menurut saya, jawabannya tergantung siapa yang menggunakannya, sebab kebutuhan tiap konsumen pasti berbeda-beda.

Buat saya yang kerjanya hanya mengetik artikel misalnya, iPad bisa saja menggantikan laptop sepenuhnya. Namun untuk seorang video editor, mereka mungkin tetap harus bergantung pada laptop karena software yang digunakannya, Adobe Premiere atau Final Cut Pro, tidak tersedia di iPad.

Bagi sebagian lain, faktor pertimbangannya mungkin hanya sesimpel masalah input; mereka merasa lebih produktif menggunakan kombinasi keyboard dan trackpad (atau mouse), dan ini tidak bisa mereka dapatkan dari sebuah iPad. Well, ke depannya mungkin ini bisa berubah.

Dilaporkan oleh The Information, Apple sedang menyiapkan aksesori baru untuk iPad Pro, yakni sebuah keyboard eksternal yang dilengkapi trackpad layaknya milik laptop. Aksesori ini kabarnya akan segera diproduksi massal, dan Apple berniat meluncurkannya bersamaan dengan iPad Pro generasi baru.

Kabar lain yang memperkuat rumor ini adalah, iPad sebenarnya sudah bisa dioperasikan dengan mouse maupun trackpad eksternal. Dukungan atas mouse eksternal ini tersembunyi sebagai salah satu fitur di menu Accessibility, dan sejauh ini belum bisa dibilang proper karena bentuk kursornya bukan berupa anak panah seperti yang sudah familier dengan kita.

Apple pada dasarnya hanya perlu menyempurnakan fitur ini di iPadOS, sehingga pada akhirnya mouse atau trackpad eksternal bisa langsung digunakan layaknya keyboard eksternal iPad sekarang. Idealnya, fitur baru ini akan datang bersama hardware besutan Apple sendiri, sebelum akhirnya produsen periferal lain ikut menyusul.

Sumber: The Information dan The Verge.

Apple Bakal Perbolehkan Pengguna iOS Mengganti Aplikasi Email dan Browser Bawaan?

Kalau Anda sudah lama menggunakan iPhone seperti saya, besar kemungkinan Anda pernah frustasi karena tidak bisa menetapkan aplikasi pihak ketiga, semisal Gmail, sebagai default. Perkara ini sudah sejak lama menjadi salah satu kelemahan terbesar iOS, terutama jika dibandingkan dengan Android.

Lebih mengesalkan lagi, aplikasi email bawaan iOS tidak mendukung push notification untuk akun Gmail. Singkat cerita, masih banyak aplikasi email yang lebih bagus daripada bawaan iOS – Outlook salah satunya – dan saya berharap suatu saat saya dapat menjadikannya sebagai opsi default untuk semua tautan email di iPhone.

Andai yang dilaporkan Bloomberg baru-baru ini benar, sepertinya harapan saya itu bisa terkabulkan. Dijelaskan bahwa Apple tengah mempertimbangkan fitur baru iOS yang memungkinkan pengguna untuk menetapkan browser atau aplikasi email pihak ketiga sebagai default. Lebih lanjut, fitur ini bisa hadir di iOS 14 yang akan dirilis tahun ini seandainya disetujui.

Ya, ternyata bukan cuma email, dan Anda yang sehari-harinya menggunakan browser Chrome, Firefox, atau Opera di iPhone atau iPad tentunya juga akan ikut tersenyum mendengar kabar ini. Tautan yang Anda klik tidak harus dibuka di Safari, tapi juga bisa di browser pilihan masing-masing.

Juga ikut dipertimbangkan adalah integrasi layanan streaming musik pihak ketiga, semisal Spotify, pada smart speaker Apple HomePod. Perangkat itu memang bisa memutar musik dari Spotify, tapi harus dengan iPhone atau iPad sebagai perantaranya. Sebaliknya, hampir semua smart speaker lain dapat mengakses Spotify secara langsung, dan ini pada dasarnya menjelaskan mengapa HomePod kurang begitu diminati meski kualitas suaranya terbukti bagus.

Sumber: Bloomberg.

Apple Dilaporkan Bakal Merancang Antena 5G-nya Sendiri untuk iPhone

Kalau melihat perkembangan terkini di industri smartphone, Apple semestinya bakal merilis iPhone pertamanya yang mengemas konektivitas 5G tahun ini. Sejumlah smartphone kelas menengah sudah mendukung 5G, jadi jelas mengecewakan apabila iPhone terbaru yang dirilis tahun ini masih belum juga mendukungnya.

Beruntung Apple sudah berbaikan dengan Qualcomm, yang berarti mereka dapat menggunakan modem Snapdragon X55 pada iPhone terbarunya demi mendukung 5G. Selain modem, 5G juga membutuhkan antena khusus. Dalam konteks Qualcomm, modul antena 5G terbaru mereka adalah QTM525.

Masalahnya, kalau menurut laporan dari Fast Company, adalah Apple menilai ukuran fisik antena ini terlalu besar untuk iPhone 12 (atau apapun namanya nanti). Jadi seandainya Apple tetap memilih menggunakan antena 5G pasokan dari Qualcomm, berarti mereka harus merancang iPhone 12 sedikit lebih tebal ketimbang rencana aslinya.

Opsi lain yang dimiliki Apple adalah merancang antenanya sendiri. Namun sejarah mencatatkan bahwa Apple kurang berbakat dalam merancang antena, seperti dibuktikan oleh kasus “Antennagate” yang melanda iPhone 4. Singkat cerita, jangan sampai kasus ini terulang kembali hanya karena Apple terobsesi menciptakan iPhone yang lebih tipis daripada yang bisa diwujudkan seandainya mereka menggunakan antena 5G buatan Qualcomm.

Selain perihal ukuran, faktor lain yang membuat Apple enggan bergantung pada Qualcomm adalah perkara uang. Narasumber Fast Company bilang bahwa Apple merasa mereka membayar royalti yang kelewat mahal kepada Qualcomm. Alasan ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Apple mengakuisisi bisnis modem smartphone Intel tahun lalu.

Namun Apple masih butuh waktu untuk mengembangkan modem 5G-nya sendiri, dan setidaknya untuk tahun ini, mereka masih harus bergantung pada modem bikinan Qualcomm. Pertanyaannya hanya tinggal: “Akankah Apple nekat mendesain antena 5G-nya sendiri untuk digunakan pada iPhone 12?”

Sumber: Fast Company.

Microsoft xCloud Tiba di iOS, Dengan Sejumlah Keterbatasan

Sempat di-tease di E3 2018, Microsoft baru mengumumkan Project xCloud secara resmi di bulan Oktober 2018. Lima bulan setelahnya, perusahaan mendemonstrasikan kemampuan layanan cloud gaming mereka itu dengan menjalankan Forza Horizon 4 di smartphone Android sembari memanfaatkan controller Xbox One. Tahap uji coba publik dimulai tak lama sesudahnya – sebelum Stadia meluncur.

Dan di pertengahan minggu ini, raksasa teknologi asal Redmond itu akhirnya mengekspansi akses xCloud ke perangkat Apple. Versi beta xCloud dirilis melalui TestFlight, memperkenankan pengguna untuk menjajalnya dari iPhone ataupun iPad. Hal ini sangat menarik karena xCloud menjadi salah satu layanan cloud gaming pihak ketiga pertama yang tersedia di iOS, mendahului Stadia dan GeForce Now. Dahulu OnLive sempat dijadwalkan buat meluncur di iOS, tapi sayang Apple tak pernah menyetujuinya.

Pendaratan xCloud di iDevice merupakan kabar gembira bagi pengguna, namun peraturan Apple mengakibatkan adanya cukup banyak restriksi. Contohnya, program preview saat ini hanya bisa diikuti oleh user di kawasan Amerika Serikat, Inggris Raya dan Kanada saja. Lalu, cuma ada satu game yang dapat dijajal, yaitu Halo: The Master Chief Collection dan fitur Xbox Console Streaming belum bisa digunakan. Selanjutnya, Microsoft membatasi jumlah tester sebanyak maksimal 10.000 orang.

Director of programming Larry ‘Major Nelson’ Hryb menjelaskan bahwa karena Microsoft berusaha mematuhi kebijakan Apple, tampilan dan pengalaman penggunaan xCloud di iOS berbeda dari Android. Gerbang pendaftaran sudah dibuka, tapi pembagian tiket ke program ini sepenuhnya merupakan keputusan Microsoft, bergantung dari apakah masih ada slot tersedia. Jika developer menyetujuinya, pengguna iDevice akan diberi tahu lewat email.

Untuk berpartisipasi, ada sejumlah kebutuhan teknis yang mesti terpenuhi. Anda harus punya gamertag Xbox, unit controller wireless Xbox One, dukungan internet via Wi-Fi atau data seluler berkecepatan minimal 10Mbps. Jika menggunakan Wi-Fi, Anda disarankan untuk memakai frekuensi 5GHz. Dan terakhir, pastikan perangkat iOS Anda berjalan di iOS versi 13.0 atau yang lebih baru serta menunjang koneksi Bluetooth 4.0.

Walaupun cloud gaming merupakan hal yang cukup baru di iOS, Apple sebetulnya sudah memperkenankan sejumlah layanan game stream third-party  dirilis di platform-nya, misalnya aplikasi Steam Link, Remotr dan Rainway. Namun game stream tak sama seperti cloud gaming tulen, karena layanan ini tetap membutuhkan sistem gaming utama (seperti PC di rumah) buat menjalankan permainan.

Cara kerja Microsoft Project xCloud lebih menyerupai Shadow – yang juga telah tersaji di iOS. Tetapi seperti GeForce Now, Shadow mewajibkan kita buat mempunyai game-nya terlebih dulu, sedangkan xCloud menyuguhkan katalog permainan Xbox dan rencananya akan terintegrasi ke console next-gen Microsoft.

Via The Verge.

Perangkat Mac Kini Dua Kali Lebih Rentan Terinfeksi Adware Dibanding Windows

Beberapa tahun silam, kepopuleran OS Windows menyebabkannya jadi sasaran utama ‘pengembangbiakan’ virus dan segala macam malware. Kompatibilitas ke beragam format file, ditambah lagi jenis pengguna PC yang majemuk membuatnya rentan terinfeksi. Sementara itu, user platform lain, seperti Mac dan Linux, dapat bernafas lebih lega karena kondisi ini mengalihkan perhatian kriminal di dunia maya dari sistem mereka.

Namun seiring berjalannya waktu, keamanan Windows terus meningkat. OS semakin canggih dalam mendeteksi malware. Kewaspadaan pengguna memang tetap dibutuhkan, tapi cukup berbekal akal sehat, pada dasarnya kita tak perlu memasang software anti-virus pihak ketiga karena Windows sudah memiliki perkakas kemanannya sendiri, misalnya Firewall serta proteksi live terhadap malware. Dan kini, malah Mac yang ternyata lebih rentan terinfeksi adware dibanding Windows.

Berdasarkan laporan State of Malware 2020 yang dipublikasikan oleh Malwarebytes Labs, resiko keamanan di Mac meningkat tajam di tahun 2019, dengan komparasi hampir mencapai 2:1 dibanding Windows. Kita bisa melihat bagaimana ancaman di Mac melojak 400 persen baik bagi konsumen biasa maupun kelas bisnis. Deteksi malware per sistem juga naik secara signifikan: dari 4,8 di 2018 menjadi 11,0 di 2019 – dua kali lipat Windows PC dengan 5,8 di tahun 2019.

Alasan mengapa para kriminal belakangan menyerang Mac secara lebih gencar ialah karena peningkatan jumlah adopsi OS di tahun lalu. Selain itu sistem keamanan built-in OS ini ternyata masih kurang efektif menangani malware berjenis adware dan ‘program-program yang tak diinginkan’ (PUP), sehingga membuka peluang bagi software-software jahat untuk menyusup ke perangkat Mac.

Malwarebytes menjelaskan bahwa tipe resiko di Mac sangat berbeda dari Windows. Ketika Windows harus berhadapan dengan malware tradisional yang sebagian besar ditargetkan pada segmen bisnis, mayoritas ancaman di Mac muncul dari keluarga adware dan PUP. Di sepanjang tahun 2019, hanya ada satu insiden yang melibatkan metode mengelabui pengguna buat mengunduh dan membuka software/program berbahaya.

Daftar malware yang paling mengancam OS Mac di 2019 bisa Anda simak di bawah. Di sini Anda dapat melihat bagaimana adware dan potentially unwanted programs seperti NewTab, PCVARK, MacKeeper menempati daftar lima besar.

Mac adware 1

Meski banyak orang menganggap adware dan PUP tidak seberbahaya malware tradisional – misalnya ransomware, jumlah mereka meningkat pesat dan saat ini sangat mengganggu pengguna Mac. OS tersebut tak lagi bisa dikatakan imun terhadap malware. Menurut Malwarebytes, adware dan PUP di Mac jadi kian agresif dan memperlihatkan ‘tujuan serta perilaku berbahaya’. Mereka juga kian pintar dalam menghindari sistem keamanan Apple yang ketat.

Via PC Gamer.

Pengerjaan Ulang Apple Maps di AS Rampung, Eropa Jadi Target Selanjutnya

Pertengahan 2018 lalu, Apple dilaporkan sibuk merombak platform peta digitalnya secara total. Sebagian besar upayanya mereka kerjakan sendiri dari nol, utamanya proses pemetaan itu sendiri dengan mengutus banyak mobil yang dibekali segudang sensor beserta alat pengukur yang dibutuhkan.

Satu setengah tahun berselang, kerja keras tim Apple Maps sudah membuahkan hasil yang cukup membanggakan; peta digital baru mereka untuk seluruh kawasan Amerika Serikat akhirnya rampung. Seperti yang bisa kita lihat pada gambar di atas, tampilan peta barunya jauh lebih mendetail sekaligus presisi ketimbang sebelumnya.

Apple Maps

Kalau Google Maps punya Street View, maka Apple Maps punya Look Around yang berkonsep serupa. Untuk sekarang, Look Around belum tersedia di seluruh kota di AS, sebab menyajikan fotografi 3D beresolusi tinggi dari suatu lokasi tentunya lebih memakan waktu ketimbang sekadar menyuguhkan gambaran petanya saja.

Di samping tampilan peta yang lebih komprehensif, yang bahkan juga mencakup peta indoor, daya tarik lain dari Apple Maps generasi anyar ini adalah seputar privasi. Pengguna sama sekali tidak diminta untuk menyambungkan akun apapun, dan semua fitur yang sifatnya terpersonalisasi dijalankan secara lokal di perangkat.

Apple Maps

AS sudah, tujuan Apple selanjutnya adalah Eropa, yang peta barunya dijadwalkan bakal menyusul dalam beberapa bulan ke depan. Sekadar mengingatkan, pengerjaan ulang Apple Maps ini sebenarnya sudah dimulai sejak 2014, dan Apple juga sudah mengutus timnya di sejumlah negara selain AS.

Setelah Eropa, target logis selanjutnya sudah pasti Asia. Prosesnya tentu tidak akan instan dan membutuhkan waktu yang panjang. Selain berusaha sendiri, Apple juga masih melibatkan pihak lain dalam pengerjaan Apple Maps, salah satunya untuk menampilkan data informasi transit (angkutan umum) secara real-time.

Sumber: Apple.

10 Fitur Revolusioner iPad Selama 10 Tahun Usianya

Tepat tanggal 27 Januari kemarin, iPad merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh. Total ada 19 jenis iPad yang pernah dirilis dalam satu dekade ini, mencakup iPad Mini, iPad Air maupun iPad Pro (jujur saya pusing melihat penamaannya dari generasi ke generasi).

Sebagai tablet terpopuler sekaligus terlaris sejagat, iPad tentunya punya banyak keunggulan yang membuatnya bisa bertahan selama ini. Berikut adalah 10 fitur revolusioner iPad selama 10 tahun usianya.

1. Layar multi-touch

iPad 1st generation

Dunia mengenal iPhone sebagai perangkat consumer pertama dengan layar multi-touch, akan tetapi sejarah mencatat yang berbeda. Steve Jobs sendiri mengaku ide mengenai iPad datang lebih dulu ketimbang iPhone. Usai melihat prototipe iPad yang mengemas layar multi-touch, barulah ia sadar bahwa teknologi tersebut juga dapat diterapkan di ponsel.

Dari situ proyek pengembangan iPad pun ditunda, dan Apple memutuskan untuk merealisasikan iPhone terlebih dulu. Cerita ini terdengar semakin lucu setelah mengetahui reaksi publik yang menilai iPad generasi pertama tidak lebih dari sebatas iPhone versi besar.

2. Layar tanpa orientasi native

Apple iPad

Jauh sebelum iPad generasi pertama dirilis, iPhone sudah lebih dulu mengemas layar yang dapat berubah orientasinya sesuai cara pengguna menggenggamnya. Kendati demikian, iPad tetap lebih unik karena layarnya tak punya orientasi native.

Singkat cerita, tidak ada istilah kita menggenggam iPad secara terbalik. Entah posisi tombol Home-nya di bawah, di atas, di kiri ataupun di kanan, orientasi layarnya bakal menyesuaikan sendiri (selama tidak dikunci). iPhone tidak demikian; Anda tak bisa menggunakannya dalam posisi tombol Home-nya di atas.

3. Aplikasi sama tapi lebih fungsional

iPad Pro

Saat pertama dirilis, iPad mengemas hampir semua aplikasi yang sama seperti iPhone. Meski sama, versi iPad-nya lebih fungsional karena tampilannya sudah dioptimalkan untuk layar besar (bukan sekadar dimelarkan begitu saja).

Seiring berjalannya waktu, ekosistem aplikasi iPad terus bertumbuh, dan sekarang bahkan jumlah aplikasi eksklusifnya semakin banyak, Adobe Photoshop contohnya.

4. Baterai tahan lama

iPad Mini

Salah satu kekurangan iPhone selama ini (terkecuali varian Plus atau Max) adalah baterainya boros. iPad tidak demikian. Sejak generasi pertamanya, iPad selalu konsisten menyajikan daya tahan baterai setara 10 jam pemakaian. Cukup mengesankan mengingat layarnya begitu besar dan performanya juga selalu jempolan.

5. Performa superior

iPad Pro

Bicara soal performa, iPad sangatlah mumpuni sampai-sampai banyak yang menyayangkan sistem operasinya bukan Windows (atau macOS). Ya, tidak sedikit yang berargumen potensi asli iPad terhambat oleh OS-nya yang kelewat simpel. Di sisi lain, Apple memang tidak pernah berniat menggantikan lini Mac-nya dengan iPad.

6. Serba tipis

iPad Pro

iPad Pro generasi ketiga yang tak lagi mengemas tombol Home memegang titel iPad paling tipis (5,9 mm) sejauh ini, padahal performanya adalah yang paling mengesankan. Begitu tipisnya, tonjolan kameranya sampai kelihatan berlebihan.

Selain bodi yang tipis, bezel iPad juga telah menipis drastis semenjak iPad Mini yang pertama. Menariknya, Apple turut mengoptimalkan software-nya supaya layar tidak tertekan secara tak sengaja oleh sebagian jempol pengguna yang beristirahat di sisi layar.

7. Apple Pencil

Apple Pencil

Saat memperkenalkan iPhone maupun iPad, Steve Jobs bersikeras konsumen tidak memerlukan stylus untuk mengoperasikannya. Namun saat iPad Pro generasi pertama dirilis, publik terkejut melihat salah satu fitur unggulannya adalah sebuah stylus yang harus dibeli secara terpisah.

Untungnya Apple Pencil bukan sembarang stylus, melainkan yang dilengkapi fitur pressure sensitivity dan angle detection sehingga penggunaannya terkesan begitu alami. Generasi kedua Apple Pencil malah semakin menyempurnakan desain sekaligus kinerjanya.

8. Palm rejection

iPad Pro and Apple Pencil

Satu hal yang membuat kombinasi iPad Pro dan Apple Pencil menarik adalah fitur palm rejection. Sederhananya, saat kita menulis atau menggambar menggunakan Pencil, tangan kita tidak perlu melayang di atas layar, sebab iPad cukup cerdik mengabaikan sentuhan yang tidak disengaja.

9. ProMotion Display

iPad Pro

Generasi kedua iPad Pro hadir dengan layar yang cukup istimewa. Istimewa karena layar yang disebut dengan istilah ProMotion Display ini mengemas refresh rate maksimum 120 Hz, dua kali lipat layar perangkat mobile pada umumnya.

Istimewanya, refresh rate-nya bisa berubah-ubah sendiri tergantung jenis konten yang sedang ditampilkan – kalau cuma gambar statis, refresh rate-nya akan turun demi menghemat konsumsi baterai. Seperti yang kita tahu, layar dengan refresh rate tinggi belakangan menjadi salah satu aspek yang dilombakan di segmen smartphone flagship.

10. USB-C

iPad Pro USB-C

iPad Pro generasi ketiga mengemas satu komponen yang tidak akan kita temukan di iPhone: port USB-C. Kehadiran satu port ini langsung meningkatkan fungsionalitasnya secara drastis; pengguna jadi bisa menyambungkan iPad Pro dan kamera secara langsung, memindahkan foto-foto yang diambil dan langsung menyuntingnya di iPad Pro.

Menyambungkan iPad Pro ke layar eksternal juga jauh lebih mudah dan tak lagi membutuhkan adaptor. Saat darurat, iPad Pro bahkan juga dapat dijadikan power bank dadakan berkat port USB-C ini.

Apple Bakal Buat Gaming Mac?

Gamer biasanya menggunakan PC berbasis Windows. Tak heran, mengingat selama ini, gamer memang bukan target pasar Apple. Jika dibandingkan dengan game Windows, jumlah game untuk Mac jauh lebih sedikit. Jika ingin memainkan game AAA, pengguna Mac harus menunggu hingga versi Mac dari game tersebut diluncurkan. Karena itulah, biasanya pengguna Mac harus menunggu lebih lama untuk bisa memainkan game terbaru. Seolah itu tidak cukup buruk, sistem operasi terbaru dari Apple, MacOS Catalina, tak lagi mendukung aplikasi 32-bit. Itu artinya, semua game 32-bit yang telah dibuat untuk Mac tak lagi bisa dimainkan.

Feral Interactive, salah satu perusahaan yang membuat versi Mac dari game PC, mengatakan bahwa mereka akan mempertimbangkan untuk membuat versi 64-bit dari sejumlah game mereka. “Proses ini memakan tenaga yang tidak sedikit,” kata juru bicara Feral Interactive pada Digital Trends. “Tidak semua game akan kami update.” Jika game 32-bit dari Mac tidak diubah menjadi 64-bit, berarti game itu tidak lagi bisa dimainkan pada Mac dengan OS terbaru.

Apple Arcade.
Apple Arcade.

Tahun ini, Apple mulai tertarik untuk masuk ke industri gaming dengan meluncurkan Apple Arcade, layanan berlangganan game. Dengan berlangganan Apple Arcade, Anda akan bisa mengakses sejumlah game dan memainkan game itu di berbagai perangkat buatan Apple, mulai dari iPhone, iPad, MacBook, sampai Apple TV.

Minggu ini, muncul kabar bahwa Apple akan meluncurkan Mac PC yang ditujukan khusus untuk pelaku esports, menurut Patently Apple. Dengan spesifikasi ultra high end, gaming Mac tersebut diperkirakan akan dihargai US$5.000 (sekitar Rp70 juta). Sebagai perbandingan, untuk merakit “gaming PC ekstrem”, PC Gamer memperkirakan bahwa Anda memerlukan US$3.000 (sekitar Rp42 juta), sementara PC high end memerlukan biaya sekitar US$2.000 (sekitar Rp28 juta). Walau harga dari gaming Mac ini hampir dua kali lipat dari gaming PC untuk Windows, Patently Apple percaya, akan ada orang yang tertarik dengan gaming Mac buatan Apple.

Menurut narasumber yang bekerja di perusahaan pemasok untuk Apple, perusahaan asal California itu bukan membuat gaming PC, tapi gaming laptop. Satu hal yang pasti, untuk mendesain dan membuat gaming Mac ini, Apple menggandeng semua rekan mereka, termasuk pabrik perakitan Quanta, penyuplai chip TSMC, pembuat power supply Delta dan Lite-On, pabrik kabel Liangwei, dan perusahaan rekan lainnya. IB Times melaporkan, perangkat gaming buatan Apple ini akan dipamerkan dalam Worldwide Developers’ Conference (WWDC) yang diadakan pada Juni 2020.

Sumber header: Pixabay

Google, Amazon dan Apple Berkolaborasi untuk Menciptakan Standar Konektivitas Perangkat Smart Home

Salah satu alasan mengapa tren perangkat smart home terkesan agak terhambat adalah belum adanya satu standar atau protokol yang bisa dijadikan acuan oleh semua produsen. Untuk sekarang, konsumen pada dasarnya diharuskan memilih satu dari sederet ekosistem; Google dengan Nest, Amazon dengan Echo, Apple dengan HomeKit, Samsung dengan SmartThings, dan masih banyak lagi.

Di Amerika Serikat, sebenarnya sudah ada satu protokol yang cukup populer, yakni Zigbee. Namun perusahaan yang memanfaatkannya dan yang tergabung dalam Zigbee Alliance masih belum begitu banyak. Itulah mengapa dinilai perlu ada standar baru yang melibatkan lebih banyak pihak, dan buah inisiatifnya adalah Connected Home over IP.

Di samping Zigbee Alliance, nama-nama besar di industri yang tergabung dalam proyek ini meliputi Google, Amazon, dan Apple. Tujuan dari proyek ini adalah menyederhanakan proses pengembangan di antara para pabrikan, serta meningkatkan kompatibilitas dari sisi konsumen.

Pendekatan yang diambil adalah dengan rute open-source, sehingga hasil akhirnya dapat membuahkan protokol baru yang dapat dimanfaatkan oleh semua produsen perangkat smart home tanpa terkecuali. Buat konsumen, ini berarti ke depannya kita tidak harus ‘terkunci’ dalam satu ekosistem smart home saja.

Masing-masing perusahaan yang tergabung dalam aliansi baru ini akan menyumbangkan sebagian teknologinya untuk diolah lagi menjadi standar konektivitas yang sifatnya universal. Google misalnya, mereka sejauh ini sudah punya dua protokol yang open-source, yakni Weave dan Thread, dan ini nantinya bakal menjadi salah satu fondasi dari standar baru yang ditetapkan.

Sumber: VentureBeat dan Google.