eFishery Resmikan Kehadiran di India

eFishery meresmikan kehadirannya di India dengan badan hukum eFishery Aqua Techworks Private Limited. Informasi ini pertama kali disampaikan oleh Co-founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah dalam unggahannya di platform X.

“Setelah berada dalam stealth mode selama 12 bulan terakhir, hari ini [26/10] kami secara resmi meluncurkan operasi kami di India. Yang membuat saya bersemangat adalah bagaimana kami meningkatkan keuntungan petani per m2 sebanyak 16 kali lipat di sini. Dampak yang lebih besar untuk menyelesaikan masalah kelaparan dunia,” tulisnya.

Dikonfirmasi oleh DailySocial.id, Gibran membenarkan bahwa perusahaan sudah meresmikan kehadirannya di Indonesia. “Yes [sudah publik], tapi belum  resmi terkait info detail dan etc-nya,” kata Gibran.

Kantor pusat eFishery India berada di kota Kakinada, Andra Pradesh. Andra Pradesh merupakan negara bagian di wilayah pesisir selatan India dengan terluas ketujuh dan terpadat kesepuluh di India. Menurut Gibran, Kakinada adalah tempat produksi ikan terbesar di India yang menyuplai 85% dari total produksi.

“Kami mendekatnya ke pembudidaya, bukan ke tech talents. Sekarang 90% yang kami kerjain di India di ikannya sih,” ucapnya.

eFishery India / eFishery

Proyek pilotnya juga sudah dilakukan selama 12 bulan sejak September 2021. Beberapa waktu lalu, Gibran sempat menjelaskan alasannya untuk masuk ke India tak lain karena industri akuakultur di sana punya banyak kesamaan dengan Indonesia. Di antaranya, petani ikannya sama-sama dimulai dari skala kecil dan pangsa pasarnya juga mirip, sekitar $9-10 miliar per tahunnya.

Lokasi petani di sana terpusat di satu lokasi yang luasnya mirip dengan Pulau Jawa. Sekitar 85% produksi nasional berasal dari lokasi tersebut. Juga, produktivitas pembudidaya India baru setara 1/5 dari Indonesia. Artinya, pembudidaya Indonesia lebih piawai menggunakan teknologi baru.

“Jika kita bawa teknologi [eFishery] untuk menaikkan produktivitasnya, dampak yang diberikan akan lebih besar. Belum lagi dampak ke sektor lainnya, seperti konsumsi ritel.”

Kondisi di atas berbanding jauh dengan negara tetangga Indonesia, seperti Thailand dan Vietnam. Di kedua negara tersebut, industri akuakulturnya didominasi oleh pemain besar yang pada akhirnya membuat para pembudidayanya untuk menempel ke magnet tersebut.

Setelah India, perusahaan akan mencari kandidat berikutnya. Namun pihaknya tidak ingin terburu-buru saat ekspansi. “Konsepnya one country at the time biar fokus, mau lihat impact-nya bagaimana, karena kita pengennya sustainable. Enggak banyak negara sekaligus, lalu tutup ketika gagal.”

Sejak berdiri di Indonesia pada 2013, perusahaan telah menjaring lebih dari 200 ribu pembudidaya ikan dan petambak udang dengan 1,1 juta kolam aktif yang tersebar di 280 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.

Hingga 2022, perusahaan telah memfasilitasi 1,1 triliun transaksi penjualan ikan air tawar dan 1,12 triliun transaksi penjualan udang. Bila dinominalkan, setara dengan Rp8 triliun total transaksi penjualan ikan dan udang, serta Rp4 triliun total transaksi penjualan pakan ikan dan udang.

Kontribusi terbesar disumbangkan dari Jawa Barat dengan persentase hampir 40%. Sementara untuk ekspor, disebutkan angkanya mencapai 20 juta kilo per bulannya untuk 10 komoditas di eFishery ke Amerika Serikat dan Tiongkok.

Solusi finansialnya, Kabayan, telah didukung oleh belasan perusahaan finansial, seperti Bank OCBC NISP, Amartha, Investree, dan Kredivo. Total dana yang disalurkan mencapai Rp1,07 triliun untuk 24 ribu pembudidaya ikan dan petambak udang. Realisasi program Kabayan meningkat 2,5 kali tiap tahunnya, memungkinkan pembudidaya bisa mendapat akses ke dukungan finansial sampai dengan Rp45 juta per orang.

Produk pertama eFishery, eFeeder, merupakan alat pemberi pakan ikan otomatis, mampu mempercepat siklus panen hingga 74 hari dan meningkatkan efisiensi pakan hingga 30%. Produk ini telah melewati berbagai peningkatan fitur hingga yang terbaru mencapai versi ke-5, dilengkapi dengan komponen yang lebih cepat, pintar, dan kuat untuk mendukung pembudidaya yang lebih produktif dan efisien.

Application Information Will Show Up Here

eFishery Bicara Rencana Ekspansi ke India dan Penggalangan Dana

Meluncur pada tahun 2013, eFishery saat ini sudah mengalami transformasi bisnis yang masif dan melahirkan ekosistem yang mengedepankan kebutuhan para petani ikan di Indonesia. Masih memanfaatkan Smart Autofeeder sebagai entry point, kini eFishery tidak hanya dikenal sebagai startup pengembangan teknologi IoT untuk sektor aquaculture, tetapi juga menjadi sebuah koperasi yang membantu petani ikan mendapatkan modal pembiayaan, melakukan pembelian pakan, hingga penjualan ikan.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah menyampaikan rencana ekspansi mereka ke India, fokus mereka memperluas kolaborasi, dan merampungkan pendanaan untuk mendukung pertumbuhan bisnis.

Ekspansi dan kolaborasi

Perusahaan masih konsisten dengan produk andalan mereka yaitu eFishery Smart Autofeeder yang merupakan mesin pemberi pakan ikan otomatis cerdas yang diatur menggunakan smartphone. Alat ini memberi pakan secara otomatis, mencatat data pakan, dan terhubung ke internet. Data-data tersebut dikumpulkan kemudian diutilisasi perusahaan dalam menyediakan solusi berikutnya, yakni eFarm dan eFisheryKu. Ke depannya perusahaan masih menyediakan penyewaan eFeeder kepada petani ikan.

Entry point masih di Smart Autofeeder dan aplikasinya. Hal tersebut akan selalu menjadi bagian dari teknologi kita, karena untuk membangun ekosistem end to end basisinya harus dari data dan teknologi. Hal tersebut yang membedakan kita dengan trader biasa atau tengkulak,” kata Gibran.

Di sisi lain, perusahaan juga melihat sudah banyak petani ikan yang memanfaatkan eFishery sebagai sebuah koperasi yang bisa menjadi wadah  membeli pakan dengan harga terjangkau, mendapatkan modal usaha, hingga sebagai platform menjual ikan dengan mudah dan nyaman.

“Awalnya sektor seperti ini tidak ada sentuhan teknologi. Fokus kita adalah menyediakan teknologi untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Dengan mengurangi kesenjangan ekonomi melalui teknologi, [eFishery] bisa meningkatkan kehidupan mereka. Meskipun tidak fully driven dari kita, tapi jika ada solusi yang tepat impact-nya bisa masif,” kata Gibran.

Salah satu layanan yang lahir dari umpan balik para petani ikan adalah program PayLater yang disebut Kabayan (Kasih, Bayar Nanti), di mana pembudidaya pengguna eFishery bisa membeli pakan dengan bayar nanti.

Setelah melakukan pilot run di Thailand, Vietnam, Bangladesh, dan India, eFishery memiliki rencana fokus ekspansi ke satu negara saja, yaitu India. Tahun ini fokus mereka akan melancarkan commercial pilot dan ekspektasi tahun depan commercial roll out bisa dilakukan.

“Di sisi lainnya selama 3 tahun terakhir kita juga masih fokus melakukan perluasan area layanan di Indonesia. Pasarnya masih besar, tapi sambil jalan kita juga mau melihat apakah ada peluang yang perlu kita mulai dari sekarang, agar kita mendapatkan pemahaman terkait pasar,” kata Gibran.

Saat ini eFishery sudah melayani 26 provinsi mulai dari Aceh, Nusa Tenggara Timur hingga Sulawesi Utara, serta sekitar 300 lebih kabupaten dan kota. Yang mereka belum garap adalah kawasan Timur Indonesia, seperti kepulauan Maluku dan Papua. Target eFishery beberapa tahun depan adalah ekspansi ke seluruh Indonesia.

“Fokus dari eFishery adalah tetap fokus di menghadirkan value ke petani dengan operating model yang light asset dan scalable. eFishery juga selalu fokus ke unit economics,” ujar Gibran.

Potensi penggalangan dana baru

Saat ini eFishery sudah berada dalam tahapan Seri C dengan total raihan investasi mencapai setidaknya $115 juta. Tidak termasuk startup yang agresif melakukan penggalangan dana, Gibran menegaskan saat melakukan fundraising fokus mereka adalah bagaimana investor tersebut bisa memberikan nilai lebih (added value) dan sejalan dengan misi dan visi perusahaan.

Disinggung soal potensi penutupan putaran baru yang bisa melambungkan perusahaan ke jajaran unicorn baru, Gibran enggan berkomentar lebih jauh.

“Kalau dari eFishery is about what we want to do. Jadi apa dulu yang mau kita investasikan, butuhnya berapa banyak, kemudian dari siapa dana segar tersebut juga menjadi penting bagi kita. Having said that, ada investor yang kita lagi coba assess, tapi harus kita pastikan sudah sejalan dengan visi kita,” ujarnya.

Ditambahkan Gibran, saat ini juga sudah ada beberapa proyek strategis yang sedang mereka piloting dan masih dalam tahapan awal. Jika sudah berjalan dan ternyata dibutuhkan kapital lebih banyak, kegiatan penggalangan dana bakal mereka lakukan.

“Sejak penggalangan dana Seri A, eFishery sudah mampu mengelola bisnis dengan baik dan telah fokus ke profitability. Jadi ke depannya investor akan mendukung apa yang sudah kita lakukan,” kata Gibran.

Ia melanjutkan “Saat ini ada sekitar 40 startup Indonesia yang menyasar sektor aquaculture sudah mendapatkan dana segar dari investor. Harapannya eFishery bisa memberikan impact kepada mereka sebagai pembuka jalan dan akhirnya membuat beberapa investor tertarik untuk berinvestasi kepada sektor ini.”

FishLog Secures Seed Funding Led by Insignia Ventures Partners

B2B fish marketplace platform “FishLog” announced its seed funding round. This funding was led by Insignia Ventures Partners, however, the total value received was not further stated.

Participated also in this round, Arise, KK Fund, Ango Ventures, a startup from India called Captain Fresh, and several angel investors, including Kopi Kenangan’s Co-founder & CEO, Edward Tirtanata, AwanTunai’s Co-founder Windy Natriavi, Shipper’s CMO Jessica Hendrawidjaja, and several other names.

The company plans to use the fresh money to expand the digital products ecosystem and fisheries services in Indonesia, scale-up regional networks across the country, making it possible for new partners to join the ecosystem, also to build-up teams and capabilities. FishLog had participated in several competitions and acceleration programs, including DSLunchpad ULTRA.

“Through Fishlog, we are building an inbound market driver for all fisheries stakeholders in Indonesia, streamlining their supply chain processes to be more efficient and transparent in a more sustainable way,” the Co-Founder & CEO, Bayu Anggara said.

Similar to other logistics services, such as Ritase to Shipper, FishLog wants to focus on middle-chain logistics. Currently, FishLog has joined partnerships with 25+ supply side savers in coastal areas. The company has served 10+ cities, from Aceh to Papua. There are around 100 fishermen who claim to have been helped by the services offered by FishLog.

Fishery supply chain solution

While some startups already developed solutions that focused on the fisherman or the farmer side of the supply chain, Fishlog wants to bring technology into the fisheries supply chain, providing a robust distribution channel for fishermen, and easy access for B2B to get real-time fish availability.

FishLog is present in terms of logistics and supports the fishery supply chain in Indonesia. The platform is also equipped with applications that can help partners to record warehouse operations, access raw materials, and market access. Since implementing this model, FishLog has increased revenue nearly 20-fold year over year in addition to this unique approach to Indonesia’s fragmented supply chain.

They have also provided digital solutions for cold storage warehouses to increase their utility by connecting with more suppliers and buyers, also enabling these suppliers to have easier access to goods.

“With the on-site experience and local network of the founding team, the momentum is just right since its launching, and with its focus on digitizing cold storage distribution, Fishlog is well positioned to take the lead in addressing longstanding inefficiencies in the Indonesian fishing industry,” Insignia Ventures’ Founding Managing Partner, Yinglan Tan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengatasi Tantangan di Industri Peternakan dan Perikanan dengan Teknologi

Butuh waktu delapan tahun bagi e-Fishery membuktikan bahwa industri akuakultur adalah “the sleeping giant” lewat penggalangan dana seri C yang diikuti investor kelas kakap. Produksi akuakultur di Indonesia masih menjadi yang ketiga di dunia setelah China dan India. Pada 2018, produksi akuakultur mencapai 5,4 juta ton senilai $11,9 miliar (FAO 2020).

Tak hanya akuakultur, peternakan pun juga tak kalah besar potensinya. Konsumsi daging ayam di Indonesia pada 2020 mencapai 7,9 kg per kapita atau sekitar 3,5 juta kg per tahun. Diperkirakan pada 2029 nanti konsumsi ayam akan terus meningkat hingga 9,32 kilogram per kapita. Kendati begitu, menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.

Di samping itu, industri ini masih ditimpa sejumlah isu klasik. Mulai dari akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang). Hal tambahan lainnya, seperti infrastruktur dan kebijakan yang tidak tepat, juga menjadi tantangan.

Meski demikian, budidaya hewan tetap menjadi sektor yang menarik, seiring dengan meningkatnya permintaan protein hewani dan banyak startup yang mencoba mengurai berbagai masalah yang ada di setiap segmen. Para pendiri startup ini, datang dari multi disiplin, tidak hanya dari bidang akuakultur atau perunggasan. Mereka adalah Chickin Indonesia, Fistx, Delos, dan Pitik.

Bersama DailySocial.id, mereka berbagi pandangan mengapa inovasi di di sektor ini cenderung lambat di Indonesia dan bagaimana menyelesaikan tantangan tersebut dengan teknologi.

Co-founder dan CEO Chickin Indonesia Tubagus Syailendra Wangsadisastra mengatakan, inovasi digital di sektor ini lambat karena lanskap rantai pasoknya yang masih terfragmentasi dan banyak tengkulak yang membuat tidak adanya transparansi data. Hal ini mendorong ketidakcocokan antara permintaan dan ketersediaan stok.

Inovasi di segmen ini lambat, karena berinteraksi dengan petani dan peternak yang secara umum belum adaptif.

“Dari sisi market adoption, belum semasif di industri lain. Wave-nya baru-baru ini akan jadi emerging industri ke depannya. Saya yakin ini akan besar setelah melewati fase-fase tertentu. Fasenya e-commerce, fintech sudah lewat. Orang-orang di tier 3 dan 4 sudah pakai teknologi, baru kita mudah masuk ke budidaya,” kata Tubagus.

CEO Delos Guntur Mallarangeng menambahkan dari perspektif lain. Ia menjelaskan, sebenarnya jawabannya sederhana namun rumit. Sederhana, karena tidak banyak petambak yang memiliki kemampuan finansial untuk investasi di bidang teknologi budidaya atau pengertian teknis tentang teknologi budidaya, sehingga akhirnya ketinggalan dengan petambak-petambak di negara lain.

Jawaban rumitnya berkaitan dengan masalah sistemik yang perlu dilihat secara makro. Mereka adalah kurangnya perkembangan dan aplikasi sains pertambakan di Indonesia, kurangnya inklusi finansial, kurangnya adopsi teknologi terkini, dan tenaga ahli dan keahlian yang berkembang di industri perikanan.

“Gabungan dari ke-4 poin di atas merupakan faktor-faktor yang memengaruhi kurangnya kemajuan industri pertambakan kita. Kurangnya financial inclusion dari institusi-institusi finansial di negeri kita berkontribusi kepada seretnya investasi yang bisa diperoleh industri pertambakan, sehingga membuat harga inovasi, bahkan investasi berkepanjangan tidak terjangkau,” kata Guntur.

Dia melanjutkan, “Kurangnya investasi ini membuat pelatihan dan perkembangan tenaga ahli sangat lambat, bahkan tidak mencukupi untuk target perkembangan industri. Kurangnya tenaga ahli dan investasi, membuat riset, perkembangan dan aplikasi sains, dan adopsi teknologi menjadi sulit untuk dipercepat.”

Gabungkan IoT dengan teknologi lain

Berdasarkan tantangan tersebut, pendekatan IoT dengan gabungan teknologi lainnya menjadi langkah awal untuk memperkenalkan dunia digital di segmentasi ini. Contoh perusahaan yang fokus pada sensor dan perangkat berbasis IoT untuk memeriksa parameter air dengan cepat dan tepat adalah Jala, FisTx, Delos, dan eFishery. Selain itu, ada juga yang fokus pada pengolahan air seperti NanoBubble, Venambak, dan Banoo yang menyediakan mesin untuk mengoptimalkan oksigen terlarut (DO).

Dengan perangkat ini, parameter kualitas air dapat disajikan secara real time atau sebagai rangkaian data, sehingga memungkinkan memprediksi kualitas air lebih tepat dan mengambil tindakan jika ada tren yang tidak biasa. Terobosan ini membuat budidaya ikan dan udang lebih mudah diprediksi dan mudah dipraktikkan bagi pemula. Hal ini juga membuat sektor akuakultur menjadi lebih menarik bagi kaum muda.

Namun, menurut COO FisTx Rico Wibisono, hal yang paling menantang dalam penyediaan alat pemeriksa kualitas air, selain memastikan data yang cepat dan akurat, adalah bagaimana memberikan saran yang tepat kepada petani tentang langkah apa yang harus diambil dari hasil pengukuran. Dia mengatakan bahwa mengumpulkan data kualitas air adalah satu hal, tetapi menggunakan data dengan benar adalah hal lain.

FisTx mengembangkan teknologi khusus untuk budidaya udang yang fokus pada proses perbaikan air yang lebih berkelanjutan. Contohnya adalah mobile water steriliser dengan teknologi desinfeksi ramah lingkungan dan didukung sinar ultraviolet tanpa residu. Teknologi tersebut, bila dibandingkan dengan bahan kimia, bisa mengefisiensikan biaya desinfektan antara 35-53%.

“Kemudian kami juga mengembangkan teknologi untuk imbuhan pakan guna meningkatkan penyerapan industri, sehingga pertumbuhan lebih cepat dan limba lebih sedikit. Semua teknologi ini diarahkan pada keberlanjutan dan kesejahteraan petambak.”

Tubagus menambahkan, bagi semua pembudidaya, data adalah isu terpenting dalam mengatasi permasalahan mereka. Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Chickin menawarkan perangkat IoT dan SaaS untuk mengumpulkan data dan matchmaking data apa yang ada di dalam kandang untuk kebutuhan bisnis B2B.

Pihaknya melakukan matchmaking data permintaan ayam, ukuran, harga, grade dan dicocokkan data yang ada di kandang peternak. Perangkat IoT digunakan untuk meningkatkan produktivitas peternak dengan menekan ongkos pakan FCR (feed coversion ratio). Keberhasilan panen ditentukan dari seberapa banyak pakan yang dikonversi menjadi daging dengan maksimal sehingga energi tidak sia-sia terbuang.

Chickin menyediakan solusi sistem manajemen perkandangan cerdas terintegrasi berbasis IoT melalui Chickin App – Micro Climate Controller (MCC) dan Chickin Smart Farm yang diharapkan dapat menekan angka FCR sehingga berdampak pada efisiensi pakan yang semakin baik. Dengan manajemen perkandangan berbasis IoT dan AI Support, Chickin memudahkan para peternak melakukan budidaya secara optimal, produktif, dan efisien.

Mereka tidak perlu khawatir lagi soal kondisi cuaca di dalam kandang karena suhu dan kelembaban bisa diatur secara manual melalui Chickin App yang tersambung pada smartphone. Adanya IoT dan AI support memungkinkan terjadinya budidaya jarak jauh karena proses kontrolnya semakin mudah, sekaligus dapat memaksimalkan efisiensi dan kualitas produksi dengan tingkat mortalitas yang rendah.

“Kita bisa tekan data AI untuk adjust kebutuhan suhu ayam, sebab cost pakan itu mahal. IoT itu untuk kontrol suhu kebutuhan ayam, berapa temperatur, kelembapan, sehingga mitra bisa dapat hasil yang optimal dari segi pendapatannya,” papar Tubagus.

Temptron yang dikembangkan Chickin / Chickin

Dalam menciptakan solusi tersebut, ia mengaku telah melakukan riset ilmiah selama tahun, sembari melakukan tes percobaan di beberapa kandang di Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah. “Pembuatan alatnya simpel, tambah sensor untuk tahu suhu dalam kandang dan AI logic untuk kebutuhan suhu seekor ayam. Tapi yang buat lama itu proses kesuksesannya seberapa jauh persentasenya menurunkan ongkos pakan dan listrik. Setelah punya data yang solid kita bisa produksi lebih cepat lagi.”

Pendekatan di lapangan

Di tengah literasi yang belum mumpuni di seluruh pelosok, maka dalam proses memperkenalkan kepada para petani memilki tantangan tersendiri. Tubagus menjelaskan, sebenarnya para peternak sudah paham dengan konsep climate control. Target pengguna produk ini adalah peternak full house yang sudah punya kipas, blower, dan cooling pad.

Dengan demikian, dari sisi Chickin hanya memberikan pembaruan perangkat temptron yang ada di dalam kandang dengan sensor suhu ayam dalam kandang secara real time. Meski begitu, perusahaan tetap menempatkan tim lapangan dan konsultan yang bisa membantu peternak saat mengoperasikan perangkatnya.

Co-founder dan CEO Pitik Arief Witjaksono menambahkan, dalam memperkenalkan solusi Pitik, pihaknya rutin mengadakan pelatihan baik lewat daring maupun luring. Bekerja sama dengan Edufarmers Foundation, lembaga non profit dari Japfa, mereka memperkenalkan aplikasi Pitik di Jawa Timur.

“Teknologi kami terbukti membantu peternak [Kawan Pitik] dalam mengurangi tingkat mortalitas ayam sebesar 50% dan meningkatkan penggunaan pakan lebih dari 12%. Sejauh ini respons mereka positif dalam menggunakan teknologi dari Pitik,” terangnya.

Secara khusus, perusahaan memberikan dukungan menyeluruh kepada seluruh mitra peternak dalam mensuplai kebutuhan sapronak (sarana produksi peternakan) dengan kualitas terbaik. “Pitik menyediakan teknologi farm management agar peternak dapat melakukan proses produksi dengan lebih efisien, dan mengambil seluruh hasil produksi dengan harga yang kompetitif. Seluruh hal ini kami lakukan dengan skema kontrak yang transparan agar kami dapat menjadi mitra peternak terbaik.”

Sementara itu, FisTx melihat proses edukasi di petambak itu sangat bergantung pada psikologis dan psikografi di mana mereka berada. Untuk lokasi yang benar-benar baru, pertama kali yang dilakukan perusahaan adalah mencari early adopter dan terus kawal hingga ada hasil yang memuaskan. Dari situ, harapannya muncul domino effect, ditandai dengan mouth-to-mouth branding. “Alhamdulillah hingga saat ini kami memiliki lebih dari 340 petambak yang tersebar di 21 provinsi,” kata Rico.

Model bisnis FisTx, sambungnya, cukup beragam tergantung produknya. FisTx 360 membantu para petambak dengan sesi konsultasi dan manajemen tambak selama satu siklus, dari persiapan hingga panen tiba. Produk ini menganut model berlangganan untuk semua budidaya baik dari aqua input hingga teknologi. Kendati begitu, perusahaan juga menyediakan sistem beli putus, terutama untuk konsumen yang belum dapat dijangkau tim lapangan.

Tim FisTx / FisTx

Perjalanan di masa depan

Guntur mengakui solusi yang dikembangkan DELOS secara teoritis dapat diimplementasikan tidak hanya untuk tambak. Dalam kerangka ilmiahnya, dari satu spesies ke spesies lain sebenarnya tidak jauh berbeda, tetapi ada banyak variabel dan asumsi ilmiah yang harus disesuaikan.

“Ini semua seharusnya bisa diselaraskan dengan riset yang lebih banyak, tetapi itu akan menjadi fokus jangka panjang yang sekunder [bagi DELOS]. Fokus utama kami adalah budidaya spesies udang, yang merupakan komoditas laut Indonesia yang paling besar dan berharga.”

Ia mengatakan demikian karena, menurut data yang dia kutip, pertambakan udang adalah industri yang besar tapi tidak optimal. Nilai ekspornya di Indonesia saat ini berada di kisaran $2-2,5 miliar, seharusnya angka tersebut bisa menjadi setidaknya $4-5 miliar per tahun.

“Bahkan bisa lebih dari itu kalau Indonesia memiliki industri pertambakan yang bisa menghasilkan panen yang optimal dan stabil, sebab negara kita memiliki garis pantai, iklim, dan masyarakat yang sulit dikalahkan.”

Pendapat serupa juga diungkapkan Rico. Ia mengatakan, pada dasarnya potensi akuakultur di Indonesia luar biasa besar dan FisTx ingin memberikan hak kepada setiap spesiesnya agar dapat dibudidayakan secara luas di Indonesia. “Untuk saat ini kami fokus pada udang, namun teknologi kami ke depan bisa dipakai pada kepiting, belut, lobster, dan sidat.”

Tubagus menambahkan, berkaca pada pengembangan solusi sejenis Chickin di Israel, bernama Agrologic, perusahaan tersebut mengembangkan perangkat temptron untuk kandang babi, sapi, dan hewan ternak lainnya. Tidak menutup kemungkinan bagi Chickin untuk mereplikasinya di Indonesia, sebab menurutnya pada intinya iklimlah yang menentukan keberhasilan panen.

“Dalam timeline, kami sekarang ke vertical growth akuisisi dari hulu ke hilir, coba ke downstream dengan memegang demand agregasi ayam. Setelah itu ke midstream (rumah potong), upstream (kandang ayam) agar kami bisa supply farm input, dari pakan, bibit. Sembari masuk ke sektor horizontal di luar ayam, karena kami rencananya mau jadi leading meat commerce B2B di Indonesia,” pungkasnya.

FishLog Kantongi Pendanaan Awal Dipimpin Insignia Ventures Partners

Platform marketplace perikanan B2B “FishLog” mengumumkan telah merampungkan pendanaan tahap awal. Tidak disebutkan lebih lanjut berapa nilai investasi yang diterima, pendanaan ini dipimpin oleh Insignia Ventures Partners.

Turut terlibat dalam investasi ini Arise, KK Fund, Ango Ventures, startup dari India bernama Captain Fresh, dan sejumlah angel investor seperti Co-founder & CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata, Co-founder AwanTunai Windy Natriavi, CMO Shipper Jessica Hendrawidjaja, dan beberapa nama lainnya.

Dana segar tersebut rencananya akan digunakan oleh perusahaan untuk memperluas ekosistem produk digital dan layanan perikanan di Indonesia, melakukan scale-up jaringan regional di seluruh negeri, sehingga memungkinkan bagi mitra baru untuk bergabung dengan ekosistem, dan membangun tim dan kemampuannya. FishLog sempat mengikuti sejumlah kompetisi dan program akselerasi, termasuk DSLaunchpad ULTRA.

“Melalui Fishlog, kami membangun penggerak pasar masuk untuk semua pemangku kepentingan perikanan di Indonesia, merampingkan proses rantai pasokan mereka menjadi lebih efisien dan transparan dalam cara yang lebih berkelanjutan”, ujar Co-Founder & CEO Bayu Anggara.

Serupa dengan layanan logistik lainnya, seperti Ritase hingga Shipper, FishLog ingin fokus di middle-chain logistik. Saat ini FishLog telah menjalin kemitraan dengan 25+ penyimpan sisi pasokan di daerah pesisir. Mereka telah melayani 10+ kota, dari Aceh hingga Papua. Ada sekitar 100 nelayan yang diklaim sudah terbantu layanan yang ditawarkan FishLog.

Solusi untuk rantai pasok perikanan

Meskipun sudah ada solusi yang dikembangkan oleh startup yang berfokus pada nelayan atau sisi petani dari rantai pasokan, Fishlog ingin membawa teknologi ke dalam rantai pasokan perikanan, menyediakan saluran distribusi yang kuat bagi nelayan, dan akses mudah untuk B2B mendapatkan ketersediaan ikan secara real-time.

FishLog hadir dari sisi logistik dan mendukung supply chain perikanan di Indonesia. Platform tersebut juga dilengkapi aplikasi yang bisa membantu mitra untuk pencatatan operasional gudang, akses bahan baku, dan akses pasar. Sejak menerapkan model ini, FishLog telah meningkatkan pendapatan hampir 20 kali lipat dari tahun ke tahun selain keunikan ini pendekatan terhadap rantai pasokan Indonesia yang terfragmentasi.

Mereka juga telah menyediakan solusi digital untuk gudang penyimpanan dingin untuk meningkatkan utilitasnya dengan terhubung dengan lebih banyak pemasok dan pembeli, juga memungkinkan pemasok ini menjadi lebih mudah akses ke barang.

“Dengan pengalaman di lapangan dan jaringan lokal dari tim pendiri, momentum yang cepat yang telah mereka capai sejak diluncurkan, dan fokus mereka pada digitalisasi distribusi cold storage, Fishlog berada di posisi yang tepat untuk memimpin dalam mengatasi inefisiensi yang sudah berlangsung lama dalam industri perikanan Indonesia,” kata Insignia Ventures Partners Founding Managing partner Yinglan Tan.

Application Information Will Show Up Here

Cerita Delapan Tahun eFishery Pelopori Startup Akuakultur di Indonesia

Kepercayaan diri eFishery yang mampu menutup pendanaan Seri C menjadi kisah menarik karena diklaim sebagai pendanaan terbesar yang berhasil diperoleh oleh startup akuakultur di kancah dunia.

Ada tiga nama investor baru yang memimpin putaran tersebut, yakni Temasek, SoftBank, dan Sequoia Capital India. Masuknya investor global ini ke startup akuakultur merupakan hal baru, dari yang biasanya lebih dikenal berinvestasi ke bisnis yang berbasis consumer, mulai tertarik pada potensi bisnis yang diseriusi eFishery.

Perjalanan eFishery sendiri untuk mencapai titik sejauh ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dari sisi industri ini sendiri, tidak hanya di Indonesia, bahkan di skala global pun belum ada tolak ukur yang bisa dipakai eFishery untuk mencari model bisnisnya. Alhasil, dalam delapan tahun ini, perusahaan banyak melakukan trial and error untuk membuat playbook sendiri.

“Tapi karena saya dulu ikut budidaya lele, dari hasil ngobrol dengan para petani ikan, masalah utama dari budidaya ikan itu adalah pakannya yang makan biaya paling besar sampai 70% dari total biaya produksi,” ucap Co-Founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah dalam media gathering.

Dalam kesempatan tersebut turut hadir Komisaris eFishery Aldi Haryopratomo dan Managing Director Northstar Group Sidharta Oetama.

Produk utama eFishery adalah eFishery Smart Autofeeder yang merupakan mesin pemberi pakan ikan otomatis cerdas yang diatur menggunakan smartphone. Alat ini memberi pakan secara otomatis, mencatat data pakan, dan terhubung ke internet. Data-data tersebut dikumpulkan kemudian diutilisasi oleh perusahaan dalam menyediakan solusi berikutnya, yakni eFarm dan eFisheryKu.

eFarm merupakan platform yang menyediakan informasi lengkap dan mudah dipahami mengenai operasional tambah udang. Sementara, eFisheryKu adalah platform terintegrasi yang memungkinan pembudidaya ikan dapat membeli berbagai keperluan budidaya, seperti pakan ikan, dengan harga yang kompetitif.

Smart Autofeeder ini tersedia dalam bentuk berlangganan. Harganya dimulai dari Rp5 ribu per hari sampai Rp150 ribu satu bulan, sementara untuk budidaya ikan dipatok maksimal Rp350 ribu sebulan. “Ini semua sudah termasuk biaya jasa dan pemasangan, farmers bisa stop berlangganan kapan saja.”

Dari keseluruhan produk di atas, salah satu poin menarik yang ditekankan Aldi adalah mengenai mekanisasi. Mengubah cara kerja pembudidaya ikan dari yang awalnya serba manual menggunakan alat modern, untuk menciptakan efisiensi yang berdampak ke banyak hal.

“Dari mekanisasi ini banyak data yang dapat diutilisiasi dan menjadi fondasi untuk produk-produk berikutnya eFishery. Karena sebelumnya yang kasih makan ikan tidak ada ukuran, jadi ada standarnya,” kata Aldi.

Sidharta menambahkan, selain mekanisasi, dari sisi humanisme, mekanisasi ini memberikan rasa kebebasan kepada para pembudidaya ikan untuk melakukan hal lain di luar pekerjaan utamanya.

Pengalaman tersebut sebelumnya dihadirkan oleh pemain sharing economy, seperti Gojek yang memberi kebebasan kepada para mitranya untuk melakukan pekerjaan lainnya.

“Dengan mekanisasi, sekarang pembudidaya bisa mengukur produktivitasnya mereka sendiri dan fleksibel untuk melakukan hal lain. Dari yang saya lihat saat berkunjung ke salah satu lokasi mitra, mereka bergabung ke eFishery karena alasannya capek harus beri makan ikan setiap hari, pakai tangan, belum lagi kalau kolamnya lebih dari satu, kalau suruh orang lain belum tentu ikannya diberi makan. Tapi sekarang pakai aplikasi sangat mudah,” kata Sidharta.

Hanya saja, tantangannya untuk memperkenalkan solusi eFishery ke lebih banyak pembudidaya ikan dan udang itu begitu berat, terutama di tahap-tahap awal. “Namun the harder the challenge, the bigger the opportunity is,” sambungnya seraya menjelaskan mengapa Northstar tertarik berinvestasi di eFishery.

Masuk tahap inflection point

Gibran melanjutkan, produk Smart Autofeeder adalah entry point eFishery dalam menjangkau pembudidaya baru, sekaligus menjadi jembatan untuk memasukkan produk-produk eFishery lainnya. Untuk itu, semakin banyak pembudidaya yang memanfaatnya, makin besar dampak yang diciptakan, dari efisiensi produksi sampai harga jual ikan yang lebih terjangkau.

Agar mencapai target tersebut, eFishery berupaya untuk menambah talenta baru khususnya di bidang engineering sebagai backbone utama perusahaan. Proporsi talenta engineering di eFishery saat ini terbesar kedua setelah tim sales and expansion. Jumlah tim engineering akan dilipatgandakan, mengingat fokus perusahaan berikutnya adalah mempersiapkan para pembudidaya yang sudah tech savvy untuk menyelami lebih dalam produk digital.

Hal tersebut berkaitan dengan posisi perusahaan yang sudah mencapai inflection point. Menurut Gibran pada titik tersebut, perusahaan harus lebih sistematik dalam mengelola karyawannya dan konsumernya berbasis digital agar lebih efisien.

“Waktu memperkenalkan eFishery pertama kali, kami banyak rekrut tim lapangan karena perlu temu tatap muka. Kami ajari mereka kenal smartphone, pakai aplikasi sehari-hari hingga sampai akhirnya kami kenalkan aplikasi eFishery. Masuk ke inflection point, kami perlu lebih disiplin dan sistematik, makanya butuh banyak orang engineer.”

Disebutkan, saat ini eFishery, lewat teknologi di hilir eFeeder, mampu mempercepat siklus panen dan meningkatkan kapasitas produksi hingga 26%. Sementara lewat eFresh menurunkan biaya operasional dan meningkatkan pendapatan pembudidaya hingga 45%. Harga pembelian pakan yang disediakan perusahaan juga diklaim lebih murah 3%-5% daripada beli di agen distributor.

Terhitung saat ini ribuan smart feeder taleh digunakan dan melayani lebih dari 30 ribu pembudidaya. Sekitar 40% dari pembudidaya ini tersebar di sekitar Pulau Jawa dan Sumatera Selatan. Kondisi ini tercermin langsung mengingat 65% populasi pembudidaya ikan dan udang di Indonesia ada di lokasi tersebut.

“Kami berhasil membuktikan model bisnis yang berhasil ter-deliver dengan baik untuk para pembudidaya ikan dan udang. Apalagi dalam dua tahun terakhir makin kuat karena bangun value chain, sehingga value-nya bisa lebih intangible. Misalnya, petani dari awalnya punya satu kolam, jadi lebih dari satu, lalu ambisinya jauh lebih besar, misalnya ingin menyekolahkan anaknya ke bangku kuliah,” kata Gibran.

Segera hadir di Thailand

Dalam kesempatan tersebut juga membahas mengenai rencana perusahaan untuk ekspansi. Gibran menyebut akan segera hadir secara komersial di Thailand, setelah melakukan pilot pada beberapa waktu lalu bersama mitra lokal. Kemudian, menyasar India dan Tiongkok dalam lima tahun ke depan. “Tahun ini, kami eksplorasi terlebih dahulu pasar tersebut.”

Kedua negara tersebut memiliki potensi yang menjanjikan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Dari segi tantangannya, pola budidayanya pun sama seperti Indonesia, sehingga Gibran meyakini solusi eFishery dapat direplikasi di sana. Ditambah lagi, belum ada startup yang fokus di akuakultur seperti perusahaan di skala global.

“Di sana pun belum ada [pemain seperti kami]. Adapun potensi ikan dan udang terbesar di dunia itu top 10-nya ada di APAC, kecuali Norwegia. Kami adalah pionir di segmen ini dan optimis bisa menguasainya.”

Kendati berencana melakukan ekspansi regional, ia tetap menempatkan Indonesia sebagai fokus utama perusahaan. Pasalnya, potensi pembudidaya masih begitu besar yang belum tergarap. Disebutkan ada 3,5 juta pembudidaya ikan dan udang, perusahaan menargetkan dapat menggaet 1 juta pembudidaya dalam tiga sampai lima tahun mendatang. Adapun pada tahun ini ditargetkan dapat membidik 200 ribu pembudidaya atua meningkat hingga empat kali lipat.

eFishery Obtains 1.2 Trillion Rupiah Fresh Funding, to Expand Throughout Asia

Aquatech startup eFishery announced a series C funding of $90 million (over 1.2 trillion Rupiah) led by Temasek, SoftBank Vision Fund 2, Sequoia Capital India, with the participation of previous investors, including Northstar Group, Go-Ventures, Aqua-Spark, and Wavemaker Partners.

The fresh money is said to be the largest amount for the aquaculture technology startup. The company plans to use the funds to improve platform’s tech and services. In addition, to enhance eFishey’s digital products in order to become the largest digital “cooperative” for fish and shrimp cultivators. eFishery also plans regional expansion, targeting the top 10 aquaculture -friendly countries, including India and China.

SoftBank Investment Advisers’ Director, Anna Lo said, “Indonesia is one of the largest fish production rate in the world and its aquaculture sector plays an important role in producing food for the world’s growing population. eFishery is pioneering technology adoption for local fish and shrimp farmers with a complete end-to-end platform, supporting them to increase productivity across the supply chain from technology, food supply, production, and direct sales.

“We are pleased to partner with eFishery and support them to provide reliable and sustainable fishery food products to Indonesia and other regions,” Lo said in an official statement, (1/11).

Sequoia India’s VP, Aakash Kapoor added, “With a $20 billion market and a complex and fragmented supply chain, aquatech becomes one of the biggest and most attractive opportunities in Indonesia. That is what makes working with eFishery, as the market leader in this sector, interesting.”

Based in Bandung, eFishery is revolutionizing the traditional fish and shrimp farming industry and providing solutions specifically designed to increase fish and shrimp aquaculture. eFishery offers an integrated end-to-end platform and provides fish and shrimp farmers access to (i) technology, (ii) feed, (iii) financing, and (iv) markets.

eFishery innovation

Was founded in 2013, thousands of smart feeders have been used and more than 30,000 farmers have been served from 24 provinces in Indonesia. Through pandemic peak, eFishery increased the coverage by 10 times since December 2020, and advanced the sales of feed and aquaculture harvests.

eFishery has a series of innovations, including eFarm and eFisheryKu. eFarm is an online platform that provides complete and easy-to-understand information about shrimp farming operations for cultivators, while eFisheryKu is an integrated platform, enabling fish farmers to purchase various aquaculture products, including fish feed, at competitive prices. Farmers can also apply for capital through eFund, which connects fish farmers directly with financial institutions.

eFund’s main feature is Kabayan (Kasih, Bayar Nanti), a paylater service that provides productive loan to cultivators for aquaculture production needs with a maturity payment system. The whole process is run through the eFisheryKu app. To date, more than 7,000 cultivators have been supported with the total approved loans exceeding 400 billion rupiah.

eFishery’s Co-founder & CEO, Gibran Huzaifah, said that the company focuses on presenting solutions to increase farmer productivity. Through the latest technologies, he and his team streamline fish and shrimp farming businesses, creating the more effective, efficient and sustainable industry. For example, eFishery’s downstream technology, eFeeder, is able to speed up the harvest cycle and increase production capacity by up to 26%.

“We are also connecting cultivators directly with buyers through our downstream technology, eFresh, thereby increasing their marketability. It is resulting in the reduction of operational costs and farmers’ increasing income up to 45 percent,” he said.

Since the latest funding, eFishery has tripled its workforce, with a total of more than 900 people. Although the head office is located in Bandung, more than half of the employees work remotely because of the policy that allows employees to work from anywhere (Work From Anywhere/WFA).

“We will use the funding to aggressively recruit the team, especially talents in engineering and product development. We are targeting 1,000 new employees this year, not only to create an impact in the Indonesian aquaculture industry, but on a larger scale, to conquer the global aquaculture supply.”

Through its technology-based solutions, eFishery modernizes cultivation techniques for better aquaculture harvest. eFishery has ambitions to acquire one million cultivators within the next 3-5 years.

“The most important thing is, we always remember our vision to feed the global community through aquaculture, because aquaculture products held the most efficient and highly nutritious source of animal protein. By 2050, there will be 10 billion people to feed, and we are ready to prepare this sector to be able to feed the world,” Gibran said.

Aquatech startup in Indonesia

The global Aquaculture market size is forecasted to reach a market growth in 2020 to 2025, at a CAGR of 3.5%% within 2020 to 2025 and is expected to reach $239.8 trillion in 2025, from $209.4 trillion in 2019.

Every year, aquaculture increases its contribution to global seafood production. The sector produced 110.2 million tonnes in 2016, valued at $243.5 billion and constitutes 53 percent of the world’s seafood supply. According to FAO data, 90 percent of production volume is produced in Asia.

In Indonesia, there are several startups have started targeting similar segments. For example, Aruna, a technology startup that provides a platform to make it easier for fishermen to sell their products directly to global and domestic markets. The company has successfully secured funding from East Ventures, AC Ventures, and SMDV in 2020.

Another startup engaged in a more specific sector is Jala. This startup presents technological solutions to optimize the productivity of shrimp farmers in Indonesia. In 2019, the company managed to secure a seed round from 500 Startups worth of 8 billion Rupiah.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

eFishery Raih Dana Segar 1,2 Triliun Rupiah, Bersiap Ekspansi ke Seluruh Asia

Startup aquatech eFishery mengumumkan pendanaan seri C senilai $90 juta (lebih dari 1,2 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh Temasek, SoftBank Vision Fund 2, Sequoia Capital India, dengan partisipasi investor sebelumnya, yaitu Northstar Group, Go-Ventures, Aqua-Spark, dan Wavemaker Partners.

Dana segar yang diperoleh ini diklaim terbesar di dunia untuk startup di bidang teknologi akuakultur. Perusahaan berencana akan gunakan dana tersebut untuk meningkatkan platform dan layanan. Serta, memperkuat produk digital eFishey agar menjadi “koperasi” digital terbesar bagi pembudidaya ikan dan udang. Tak hanya itu, eFishery berencana ekspansi regional dengan menargetkan 10 negara teratas dalam posisi akuakultur, seperti India dan Tiongkok.

Investment Director SoftBank Investment Advisers Anna Lo mengatakan, Indonesia merupakan salah satu penghasil ikan terbesar di dunia dan sektor akuakulturnya memegang peranan penting dalam memproduksi pangan bagi populasi dunia yang terus meningkat. eFishery mempelopori adopsi teknologi untuk pembudidaya ikan dan udang lokal dengan platform end-to-end yang lengkap, mendukung mereka untuk meningkatkan produktivitas di seluruh rantai pasok. Mulai dari teknologi, pasokan pangan, produksi budidaya, hingga penjualan produk segar hasil panen.

“Kami senang dapat bermitra dengan eFishery dan mendukung mereka untuk menyediakan produk pangan hasil perikanan yang andal dan berkelanjutan ke Indonesia dan wilayah lainnya,” ucap Lo dalam keterangan resmi, (11/1).

VP Sequoia India Aakash Kapoor menambahkan, “Dengan pasar sebesar $20 miliar serta rantai pasok yang kompleks dan terfragmentasi, akuakultur menjadi salah satu peluang terbesar dan paling menarik di Indonesia. Hal itu yang menjadikan kerja sama dengan eFishery, sebagai pemimpin pasar di sektor ini, menjadi menarik.”

Berbasis di Bandung, eFishery merevolusi industri budidaya ikan dan udang yang tradisional dan menyediakan solusi yang dirancang secara khusus untuk meningkatkan hasil budidaya ikan dan udang. eFishery menawarkan platform ujung-ke-ujung yang terintegrasi dan memberikan pembudidaya ikan dan udang akses terhadap (i) teknologi, (ii) pakan, (iii) pembiayaan, dan (iv) pasar.

Inovasi eFishery

Sejak didirikan di 2013, ribuan smart feeders telah digunakan dan melayani lebih dari 30.000 pembudidaya dari 24 provinsi di Indonesia. Di puncak pandemi, eFishery meningkatkan jaringannya sepuluh kali lipat sejak Desember 2020, dan memperkuat adopsi layanan penjualan pakan serta ikan hasil budidaya.

Rangkaian inovasi yang eFishery, di antaranya eFarm dan eFisheryKu. eFarm merupakan platform online yang menyediakan informasi lengkap dan mudah dipahami mengenai operasional tambak udang pembudidaya, sedangkan eFisheryKu merupakan platform terintegrasi, memungkinkan pembudidaya ikan dapat membeli berbagai keperluan budidaya, seperti pakan ikan, dengan harga yang kompetitif. Pembudidaya juga dapat mengajukan permodalan melalui eFund, yang menghubungkan pembudidaya ikan secara langsung dengan institusi keuangan.

Komponen utama dari eFund adalah Kabayan (Kasih, Bayar Nanti), sebuah layanan yang memberikan pembudidaya ikan modal produktif yang dapat digunakan untuk membeli sarana produksi budidaya dengan sistem pembayaran tempo. Keseluruhan proses dilakukan secara praktis melalui aplikasi eFisheryKu. Hingga saat ini, lebih dari 7.000 pembudidaya telah didukung oleh layanan ini, dengan total pinjaman yang disetujui melebihi 400 miliar rupiah.

Co-founder & CEO eFishery Gibran Huzaifah menuturkan, perusahaan fokus menghadirkan solusi untuk meningkatkan produktivitas pembudidaya. Melalui pengenalan teknologi yang baru, ia dan tim merampingkan usaha budidaya ikan dan udang, menjadikan industri ini lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan. Sebagai contoh, teknologi eFishery di hilir, eFeeder, mampu mempercepat siklus panen dan meningkatkan kapasitas produksi hingga 26%.

“Kami juga menghubungkan pembudidaya langsung dengan pembeli melalui teknologi kami di hilir, eFresh, sehingga meningkatkan daya jual mereka. Hasilnya, solusi kami mampu menurunkan biaya operasional dan meningkatkan pendapatan pembudidaya hingga 45%,” ucap dia.

Sejak pendanaan terakhirnya, eFishery telah meningkatkan jumlah karyawannya tiga kali lipat, dengan total karyawan saat ini mencapai lebih dari 900 orang. Meskipun kantor pusat terletak di Bandung, lebih dari separuh karyawan bekerja secara jarak jauh karena kebijakan yang memungkinkan karyawan untuk bekerja dari mana saja (Work From Anywhere/WFA).

“Pendanaan kali ini akan kami gunakan untuk merekrut tim secara agresif, khususnya talenta di bidang engineering dan pengembangan produk. Kami menargetkan untuk merekrut 1.000 karyawan baru tahun ini, tidak hanya untuk menciptakan dampak di industri akuakultur Indonesia, namun untuk skala yang lebih besar, untuk menaklukkan pasokan akuakultur global.”

Melalui solusinya yang berbasis teknologi, eFishery memodernisasi teknik budidaya sehingga hasil budidaya menjadi lebih baik. eFishery berambisi untuk mengakuisisi satu juta pembudidaya dalam waktu 3-5 tahun ke depan.

“Hal terpenting yang selalu kami ingat adalah visi kami, yaitu memberi makan masyarakat global melalui akuakultur, karena akuakultur merupakan sumber protein hewani yang paling efisien dan bernutrisi tinggi. Di tahun 2050, akan ada 10 miliar orang yang harus diberi makan, dan kami siap untuk mempersiapkan sektor ini untuk dapat memberi makan dunia,” pungkas Gibran.

Startup akuakultur di Indonesia

Ukuran pasar akuakultur global diperkirakan akan memperoleh pertumbuhan pasar pada periode perkiraan 2020 hingga 2025, dengan CAGR 3,5%% pada periode perkiraan 2020 hingga 2025 dan diperkirakan akan mencapai $239,8 triliun pada 2025, dari $209,4 triliun pada tahun 2019.

Setiap tahun, akuakultur meningkatkan kontribusinya terhadap produksi makanan laut global. Sektor ini menghasilkan 110,2 juta ton pada tahun 2016, senilai $243,5 miliar dan merupakan 53 persen dari pasokan makanan laut dunia. Menurut data FAO, 90 persen volume produksi diproduksi di Asia.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa startup yang mulai menyasar segmen sejenis. Sebut saja Aruna, startup teknologi yang menyediakan platform untuk mempermudah para nelayan dalam menjual produknya langsung ke pasar global dan domestik. Perusahaan ini juga telah berhasil meraih pendanaan di tahun 2020 dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Satu lagi startup yang bergerak di sektor yang lebih spesifik yaitu Jala. Startup ini menghadirkan solusi teknologi untuk mengoptimalkan produktivitas petani udang di Indonesia. Di tahun 2019, timnya berhasil mengamankan pendanaan putaran awal dari 500 Startups sebesar 8 miliar Rupiah.

Application Information Will Show Up Here

FishLog Ingin Jadi “Platform Enabler” untuk Industri Perikanan

Sektor industri perikanan menjadi salah satu sektor yang mendapatkan perhatian khusus dari ekosistem startup teknologi Indonesia. Tercatat setidaknya ada 20+ platform berbasis teknologi yang ingin memperkuat ekosistem aquaculture di Indonesia. FishLog hadir sebagai platform marketplace B2B yang menawarkan jaringan cold chain perikanan melalui komunitas dan engagement di seluruh Indonesia.

Kepada DailySocial, Co-Founder dan CEO FishLog Bayu Anggara mengungkapkan, FishLog hadir dari sisi logistik dan mendukung supply chain perikanan di Indonesia. FishLog juga dilengkapi aplikasi yang bisa membantu mitra untuk pencatatan operasional gudang, akses bahan baku, dan akses pasar.

“Kita masuk ke ekosistem perikanan, tapi narasi dari kita lebih kepada infrastruktur, konektivitas antar stakeholders. Karena ikan masuk dalam kategori perishable food, jika tidak disimpan di cold chain akan rusak. Artinya dibutuhkan konektivitas yang lebih robust dan lebih baik,” kata Bayu.

Serupa dengan layanan logistik lainnya, seperti Ritase hingga Shipper, FishLog ingin fokus di middle chain logistik. Saat ini FishLog telah menjalin kemitraan dengan 25+ penyimpan sisi pasokan di daerah pesisir. Mereka telah melayani 10+ kota, dari Aceh hingga Papua. Ada sekitar 100 nelayan yang diklaim sudah terbantu layanan yang ditawarkan FishLog.

Konsep “zero asset” FishLog

Yang diklaim membedakan FishLog dengan platform sejenis adalah sebagai platform enabler FishLog tidak memiliki aset. 

“Di FishLog sendiri kita seminimal mungkin zero asset. Jadi aset yang dibutuhkan dalam mendistribusikan ikan itu: cold storage, truk, cold chain, dan infrastruktur lainnya semua kita outsource bermitra dengan para distributor,” kata Bayu.

Selain sebagai mitra strategis, distributor tersebut juga menjadi target pengguna layanan mereka. Distributor adalah mereka yang berinvestasi ke infrastruktur, memiliki sistem logistik, memiliki alat transportasi untuk pengantaran, dan memiliki gudang sendiri.

FishLog mengklaim hampir 80% pasar mereka adalah pasar tradisional. Namun demikian, FishLog tidak menjual langsung ke pasar tradisional. Semua dilakukan langsung oleh mitra distributor.

“Mitra strategis kita adalah distributor, artinya kita tidak menawarkan layanan langsung ke ke nelayan atau end consumer. Yang kita lakukan adalah digitalisasi middle chain dulu, nanti jika volume sudah dapat ke depannya bisa ekspansi di supply and demand,” kata Bayu.

Rencana penggalangan dana

FishLog sempat mengikuti sejumlah kompetisi dan program akselerasi, termasuk DSLaunchpad ULTRA. Hadiah yang diperoleh digunakan perusahaan untuk menjalankan bisnis.

Saat ini FishLog mengaku masih dalam proses finalisasi penggalangan dana tahap awal.

“Selama ini FishLog telah mengalami pertumbuhan bisnis yang positif. Tahun 2022 mendatang FishLog ingin mendapatkan revenue lebih baik lagi,” kata Bayu.

Ke depannya FishLog juga ingin menjadi platform inventori serupa Bulog tapi untuk komoditas ikan. Dengan demikian, kebutuhan dan kondisi pasar bisa di-monitor agar tetap stabil dan memenuhi kebutuhan masyarakat luas.

“Kita ingin menjadi seperti Bulog, tapi di ikan. Hal ini sangat memungkinkan karena semua ikan disimpan di cold storage dan mampu bertahan untuk dikonsumsi hingga 1,5 tahun. Bedanya dengan Bulog adalah kami tidak memiliki aset seperti gudang dan lainnya,” kata Bayu.

Application Information Will Show Up Here

Dukung Ruang Bertumbuh, Kiat eFishery Jaga 800 Karyawan Terbaiknya

Sedari awal, eFishery berambisi ingin membangun ekosistem akuakultur di Indonesia yang tidak hanya menguntungkan seluruh pemangku kepentingan, tetapi juga berkelanjutan bagi pembudidaya ikan dan udang. Misi ini begitu kental dengan unsur sosial karena selama ini sektor tersebut termarginalkan.

Untuk menciptakan dampak tersebut, internal perusahaan perlu membangun mindset yang sama, dalam bentuk struktur organisasi, kultur, dan value perusahaan, agar setiap aksi yang dilakukan berada dalam satu napas. Tugas inilah yang diemban Chrisna Aditya selaku Co-Founder dan Chief of Staff di eFishery — terlebih dengan kondisi jumlah pegawai yang saat ini telah menembus angka 800 orang.

Keseluruhan talenta ini terbagi menjadi 11 divisi dan tiga unit bisnis: eFishery Farm yang berkaitan dengan proses budidaya, eFishery Mall untuk membeli pakan benih dan mendapat pembiayaan buat petani, dan eFisheryFresh sebagai platform marketplace dari produk petani ke end user.

Tim terbesar perusahaan dipegang oleh sales and expansion, karena eFishery berfokus pada petani. Dibutuhkan tim lapangan untuk membantu proses on boarding teknologi. Berikutnya, adalah tim product dan engineering, bisnis dan operasional, finance, dan marketing.

Semakin bertumbuhnya bisnis, dibutuhkan pula standarisasi sistem agar proses kerja karyawan tetap nyaman dan mampu mendorong mereka untuk bertumbuh. Berkaitan dengan hal itu, Chrisna berbagi pengalamannya dalam wawancara singkat bersama DailySocial.

Menjaga kultur perusahaan

Chrisna bercerita, eFishery dimulai dari empat orang. Meski demikian, dengan 800 orang anggota tim, nilai-nilai perusahaan yang dijunjung tidak berubah. Ia dan tim menyadari bahwa saat perusahaan ekspansi, penguatan sistem, value perusahaan, hingga employee journey harus senantiasa dibangun secara berkesinambungan.

“Jadi ketika orang semakin banyak, sistem harus semakin kuat agar manajemennya tidak berjalan secara sporadis. Sistem juga perlu dibuat secara profesional, dengan demikian orang-orangnya bisa tetap bertumbuh [kemampuannya]. Perusahaan jadi lebih bagus lagi.”

Ada delapan nilai yang dijunjung perusahaan. Beberapa di antaranya adalah meningkatkan entrepreneurial mindset agar solusi yang dibangun sesuai dengan kebutuhan target konsumen, selalu memberikan dampak ke petani, mengutamakan kejujuran dan integritas, inovasi untuk tumbuh bersama, dan apapun yang dilakukan tiap orang punya dampak buat perusahaan dan konsumen.

Nilai-nilai tersebut perlahan ditanamkan saat proses seleksi karyawan baru. Ia dan tim mengutarakan kepada calon kandidat, seperti apa visi dan misi perusahaan supaya mereka paham dan satu jalur dengan apa yang dicari perusahaan. “Lalu saat on boarding session kita beri dokumen dan video untuk mendalami lebih jauh, dari turunan hingga target masing-masing departemen.”

Kemudian, dalam tahap lanjutan, membuka diskusi secara rutin antara karyawan dengan para founder eFishery, demi memastikan visinya tetap sama.

“Setelahnya kita monthly concall (conference call) buat arahan, lalu menurunkannya dalam OKR. Hal ini bertujuan agar semua inisiatif yang dibangun sejalan dengan goal yang dibangun perusahaan.”

Hal yang sama juga berlaku buat tim di lapangan. Ada offline manager yang senantiasa terbuka untuk ruang diskusi bila ada permasalahan dan menjembatani visi perusahaan agar tetap selaras. Mereka juga berkesempatan untuk berdiskusi langsung dengan C-level dan jajaran head agar lebih dekat secara personal.

Tim lapangan di eFishery merupakan orang lokal yang direkrut setelah melalui standarisasi yang dicari perusahaan. Chrisna menilai, orang lokal dianggap memiliki nilai lebih saat berkomunikasi dengan para petani dengan bahasa daerah masing-masing, sehingga dapat terasa lebih personal pendekatannya. “Manager di tiap lokasi akan rutin melakukan coaching, supaya standar [visi misi] kita tetap sama.”

“Dengan growth eFishery yang kencang, tahun depan bisa 1000 karyawan sebab kami ingin memberi dampak yang lebih jauh. Terlebih sekarang ini kami WFH yang terbukti bisa mendorong growth kita lebih besar, di samping itu bisa attract talent lebih luas lagi [tidak hanya di kota besar].”

Gerak kencang eFishery dalam menambah talenta baru tak lain dalam rangka mewujudkan rencana perusahaan untuk ekspansi ke Thailand dan Vietnam tahun depan. Perusahaan akan bekerja sama dengan perusahaan lokal yang akan membantu proses ekspansi dan operasionalnya untuk melakukan uji coba terlebih dahulu.

Sumber: eFishery

Memanfaatkan platform teknologi

Perusahaan yang semakin tumbuh membutuhkan bantuan teknologi untuk mengotomasinya. Kebutuhan tersebut semakin tervalidasi semenjak pandemi. eFishery kini memanfaatkan platform teknologi secara end-to-end untuk mengakomodir seluruh kebutuhan karyawan yang sepenuhnya WFH hingga saat merekrut karyawan baru.

“Kami sekarang full WFH. Pada tahap awal butuh penyesuaian habit yang perlu dibangun, termasuk bagaimana cara dokumentasi dari seluruh proses kerja yang tadinya belum sepenuhnya digital jadi full digital. Intinya adalah bagaimana tracking performance karyawan meski tidak tatap muka, tapi kinerjanya harus sesuai dengan ekspektasi perusahaan.”

Keputusan full WFH ini diklaim justru membuat kinerja eFishery tumbuh empat kali lipat, melesat dari target awal perusahaan. Masing-masing divisi dapat menentukan sendiri cara mereka bekerja, tidak dipukul rata dengan standar perusahaan. Yang terpenting adalah bagaimana dengan sistem yang seragam bisa diintegrasikan dengan baik sesuai dengan cara kerja masing-masing.

Adapun saat merekrut, eFishery memanfaatkan applicant tracking system untuk memantau seluruh pergerakan proses perekrutan. Tiap bulan perusahaan memroses 80-100 calon karyawan baru. Kondisi tersebut sudah tidak memungkinkan bila dilakukan dengan tenaga manusia.

Sesi onboarding karyawan untuk kebutuhan absensi, cuti, reimburse, payroll, dan HRIS, sekarang sepenuhnya dilakukan secara mandiri (self service). “Terkait manajemen kerja bisa melihat progres produktivitas pekerja apakah on track dengan target atau belum, lalu ada dokumentasi kalender untuk melihat visibilitas secara online, dan dokumentasi dari hasil MoM yang bisa diakses semua orang.”

Program eFishery Campus

Untuk mendorong jiwa entrepreneurship, sambung Chrisna, perusahaan menyusun program eFishery Campus yang berisi berbagai paket pelatihan untuk menunjang kemampuan karyawan. Di antaranya, program mentoring, coaching, one-on-one session, cources, yang rutin diadakan untuk regenerasi calon pemimpin baru.

Program pengembangan karyawan ini juga dibuat versi mininya, alias bisa dikustomisasi berdasarkan kebutuhan masing-masing divisi. “Tim people and operation memfasilitasi kebutuhan dari tiap divisi, lalu kami desain dari segi perusahaan bentuk programnya seperti apa agar tidak berjalan secara sporadis.”

Hal menarik yang ada di program eFishery Campus ini adalah memungkinkan tiap karyawan untuk magang di divisi lain. Langkah ini hadir untuk mengakomodasi karyawan usia muda yang cenderung mudah bosan dan ingin belajar hal baru, sekaligus menjaga retensi dan engagement antara karyawan dengan tim dan perusahaan.

“Saat kami ngobrol dengan karyawan yang resign, mereka menginginkan kebutuhan untuk bertumbuh. Kami pun mencoba memfasilitas kebutuhan tersebut dengan membuka kesempatan untuk magang di antar departemen. Cara ini adalah bentuk menjaga engagement kami dengan karyawan tetap bagus, mereka bisa belajar hal baru.”

Diklaim program ini membantu eFishery menekan angka resign karyawan hingga di bawah 1%. Angka tersebut menjadi pencapaian yang baik di tengah hiruk pikuknya fenomena startup yang kerap membajak karyawan terbaik.