GOERS Ungkap Pertumbuhan Positif Seiring Geliat Bisnis Pariwisata

Startup penyedia platform ticketing GOERS mengungkapkan pencapaian positif sepanjang tahun 2022. Meski perusahaan hanya membeberkan angka berdasarkan pertumbuhan saja, diungkapkan peningkatan pendapatan hingga 1,5x lipat, total nilai transaksi naik 2x lipat.

Kemudian, tercatat ada tiga juta pengguna yang terhubung ke aplikasi, dengan satu juta di antaranya adalah pengguna aktif.  Basis pengguna tersebut juga berhasil  memproses hingga 5 juta tiket.

“Targetnya di tahun 2023, kami akan mempertahankan pendapatan bersih positif selama tiga tahun berturut-turut dan menaikkan laba bersih sebanyak dua kali lipat,” ungkap Co-founder dan CEO GOERS Sammy Ramadhan dalam keterangan resmi, Jumat (10/3).

Menurutnya, dorongan dari Presiden Joko Widodo yang mengajak masyarakat untuk kembali menonton konser dan menghadiri event, adalah stimulus dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dorongan tersebut tentunya berdampak positif bagi GOERS, didukung dengan ragam kemudahan, seperti cicilan, cashback, hingga diskon untuk pembelian tiket melalui aplikasi dan situs.

Sejak didirikan di 2015, GOERS memfokuskan diri sebagai marketplace tiket event, destinasi, dan aktivitas; sistem pemesanan dan reservasi, dan manajemen kunjungan di lokasi. Diklaim GOERS telah menjadi mitra digitalisasi dari sekitar 1.000 event organizers dan venue atraksi, seperti Taman Impian Jaya Ancol, The Lodge Maribaya, Solo Safari by Taman Safari Indonesia, dan Formula E 2022.

Perusahaan akan terus perbanyak kemitraan dengan sejumlah partner agar penjualan tiket event dan venue atraksi menjadi lebih mudah, terautomasi, dan praktis. Kabar teranyar, perusahaan menggaet Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia (DPP PUTRI) agar dapat mendigitalisasi taman rekreasi yang berada di bawah naungan perhimpunan ini.

DPP PUTRI saat ini menjadi rumah bagi sejumlah destinasi wisata unggulan Indonesia, seperti The Lodge Maribaya, Lombok Wildlife Park, Taman Impian Jaya Ancol, Jawa Timur Park, Merapi Park, dan Solo Safari. Disebutkan saat ini GOERS kembali dipercaya sebagai official ticketing partner bagi sejumlah konser dan festival, di antaranya Pasar Malem by Narasi TV, Donasi Slankers X Millenial Gamelan, dan Ungu Disini Untukmu 26th Anniversary.

Di Indonesia, Goers bersaing langsung dengan Loket sebagai sesama perusahaan lokal. Di samping itu, irisan bisnis (khususnya bisnis penjualan tiket) juga digarap oleh pemain OTA dan e-commerce, di antaranya Traveloka, Tiket.com, dan Tokopedia.

Angkat Arya Setiadharma

Sammy melanjutkan, bergabungnya terkait kehadira Arya Setiadharma sebagai komisaris diharapkan dapat meningkatkan kapabilitas GOERS dalam mendorong inovasi di industri hiburan hingga pariwisata.

Tak hanya Arya, sebelumnya jajaran Komisaris juga diisi oleh Kenneth Li (MDI Ventures Singapura) dan Rudi Laksmana (Mahaka Media). Sebagai catatan, Prasetia Dwidharma merupakan jajaran investor di GOERS, bersama MDI Ventures dan Mahaka Media.

Mengenai tanggapannya menjadi komisaris, Arya mengatakan bahwa teknologi ticketing yang dikembangkan GOERS terbukti memberikan sumbangsih dalam mendigialkan lanskap pariwisata Indonesia, terutama di venue wisata dan event.

“Sektor pariwisata menjadi indikator kuat perkembangan ekonomi suatu bangsa. Apalagi Indonesia tengah digadang-gadang sebagai destinasi yang mulai diperhitungkan oleh pasar wisata internasional dengan diadakannyaevent berskala dunia di negara kita. Maka dari itu, pemanfaatkan teknologi dalam venue wisata dan event sangat penting,” kata Arya.

Arya memiliki lebih dari satu dekade sebagai entrepreneur dan investor. Melalui PT Prasetia Dwidharma, ia disebut-sebut berhasil membangun portofolio dan mendanai 100 startup tahap awal di Asia Tengara, India, dan Amerika, seperti Cakap, Mekari, dan Lummo. Kemudian pada 2021 masuk ke dalam daftar salah satu orang yang paling berpengaruh di Asia oleh Majalah Tatler.

Application Information Will Show Up Here

Outlook Foodtech 2023: Menyeimbangkan Strategi Brand Aggregator dan Unit Ekonomi Positif

Industri makanan dan minuman (F&B) saat ini terus berkembang, begitu pula dengan perilaku dan preferensi pelanggan. Terlebih di era digital, konsumen lebih terinformasi dan menuntut daripada sebelumnya, sehingga penting bagi pebisnis memahami dan beradaptasi dengan perubahan ini agar berhasil merebut pangsa pasar.

Salah satu tren terbesar yang membentuk perilaku pelanggan di industri F&B adalah aspek kesehatan. Pandemi membuat sebagian besar konsumen semakin tertarik untuk mengetahui bahan dan informasi gizi dari makanan yang mereka makan; dan banyak yang memilih pilihan yang lebih sehat, nabati dan organik.

Di sisi operasional,  pemain F&B yang memanfaatkan omnichannel juga harus mulai memiliki strategi menyeluruh untuk bisa memperluas layanan dan menambah opsi brand mereka. Apakah dengan cara akuisisi atau kerja sama strategis.

Omnichannel memperkuat bisnis F&B

Selain faktor kesehatan, konsumen saat ini juga mulai melihat menuntut kenyamanan, variasi, dan pengalaman yang dipersonalisasi. Untuk memenuhi tuntutan ini, banyak bisnis F&B telah mengadopsi pendekatan omnichannel.

Secara khusus omnichannel mengacu pada pengalaman berbelanja yang mulus dan terintegrasi di berbagai kanal, termasuk toko fisik, pengiriman online, dan aplikasi lainnya. Tujuannya untuk memberikan pelanggan pengalaman berbelanja yang konsisten dan kohesif, apa pun cara mereka memilih untuk berinteraksi dengan brand tersebut.

Menurut President Director Dailybox Group Kelvin Subowo, setelah 2 tahun pandemi, pemesanan melalui layanan pesan antar pun sempat stagnan. Hal tersebut dikarenakan karakter orang Indonesia yang lekat dengan kebersamaan, sehingga tidak dapat 100% mengandalkan strategi layanan pesan antar, terutama di kota tier 2 dan 3.

Selama pandemi, perusahaan mencatatkan 80% omzet penjualan Dailybox berasal dari layanan pesan antar makanan online.

“Menurut kami, pembelian produk F&B melalui layanan pesan antar bukan lagi sebuah tren musiman, tetapi sudah menjadi kebiasaan. Hanya saja frekuensinya tidak akan setinggi di masa-masa awal pendemi. Karenanya, presence offline juga tetap harus ditingkatkan,” kata Kelvin.

Ditambahkan olehnya, saat ini beberapa outlet Dailybox Group yang hanya berkonsep take-away atau grab&go, secara perlahan diubah menjadi konsep dine-in agar orang bisa datang langsung.

Dalam industri F&B, strategi omnichannel dapat membantu bisnis. Di antaranya  meningkatkan pengalaman pelanggan, dengan menawarkan berbagai cara untuk memesan, membayar, dan menerima makanan mereka, pelanggan dapat memilih opsi yang paling nyaman. Pendekatan tersebut juga dapat membantu bisnis menjangkau pelanggan baru dan meningkatkan penjualan dengan menawarkan variasi produk dan layanan yang lebih luas melalui berbagai kanal.

Menurut Co-Founder & President Hangry Andreas Resha, selama ini perusahaan terus melakukan eksplorasi berbagai kanal yang ideal. Saat ini fokus perusahaan adalah meningkatkan layanan secara online, yang diklaim oleh mereka terus mengalami pertumbuhan yang positif. Namun demikian, saluran offline seperti dine-in atau take away juga mulai menunjukkan pertumbuhan yang masif.

“Meskipun PPKM dicabut dan kantor dibuka kembali, daya tarik dalam channel pengiriman makanan secara online tetap kuat. Hal ini membuktikan bahwa pergeseran preferensi terhadap makanan dan minuman yang lebih praktis, mudah didapat, dan berkualitas baik bukanlah tren sementara atau musiman saja,” kata Andreas.

Hal lainnya yang juga memainkan peranan penting dalam penerapan omnichannel adalah teknologi. Teknologi berperan besar dalam membentuk perilaku pelanggan. Mulai dari pemesanan dan pengiriman online hingga aplikasi seluler dan program loyalitas.

Memanfaatkan aplikasi sendiri, Haus! brand yang berada dalam kategori New Tea & Boba, berharap bisa mendapatkan sekitar 25% dari 50% pelanggan online yang sudah ada saat ini.

Disinggung apakah ke depannya akan lebih banyak pelanggan yang melakukan pembelian dengan opsi pick-up atau offline, menurut Co-Founder & CEO Haus! Gufron Syarif, akan tetap ada pelanggan yang memilih untuk melakukan pembelian secara online, tetapi pilihan pick-up dan langsung ke konter diperkirakan juga makin meningkat.

Potensi brand aggregator

Dilihat dari tuntutan konsumen kepada kenyamanan, variasi, dan pengalaman yang dipersonalisasi, tren agregasi brand atau brand aggregator saat ini mulai banyak dilirik oleh pebisnis F&B. Dengan strategi tersebut, perusahaan mengelola beberapa brand makanan dan minuman, biasanya dari kategori produk atau masakan yang berbeda. Selain mengembangkan/menginkubasi unit bisnis sendiri, beberapa pemain melakukan strategi M&A.

Tujuannya agar bisa menawarkan produk dan layanan yang lebih luas kepada pelanggan. Ke depannya, tren agregasi brand di industri F&B diperkirakan akan terus berkembang, sebagai upaya bisnis untuk mencari cara baru yang inovatif untuk menjangkau pelanggan dan meningkatkan pangsa pasar mereka.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, brand aggregator akan menciptakan nilai, jika ada beberapa proses bisnis yang dapat disederhanakan di seluruh brand. Dalam industri F&B, hal ini bisa berarti memusatkan central kitchen atau memusatkan tim pemasaran/branding. Jika tidak ada nilai yang diciptakan oleh proses agregasi, tidak akan berhasil dalam jangka panjang.

Prasetia Dwidharma sendiri saat ini telah berinvestasi kepada Haus! yang telah memperluas produk melalui sister brand “Hot Oppa” yang telah dirilis pada November 2022. Varian produk makanan ke depannya akan menjadi fokus perusahaan untuk meningkatkan growth store dan vertikal penjualan.

Dengan menggabungkan beberapa brand dan produk makanan dan minuman, bisnis dapat memenuhi permintaan dan menawarkan kepada pelanggan untuk semua kebutuhan makanan dan minuman mereka.

Menurut Kelvin, industri F&B di Indonesia saat ini sudah sangat saturated, sehingga dengan hadirnya brand aggregator dapat membantu brand yang ada untuk lebih berkembang dari sisi distribusi, produksi hingga pemasaran.

Untuk pasar seperti Indonesia, pelanggan sangat aktif menggunakan media sosial. Menurut Partner Vertex Ventures SE Asia & India Gary Khoeng, ke depannya masa depan brand aggregator akan lebih banyak memanfaatkan pertumbuhan di media sosial.

Omnichannel sebagai strategi diprediksi juga akan terus tumbuh dan kami melihat bahwa perusahaan akan fokus untuk mendorong pengalaman pelanggan yang konsisten dan terbaik di semua channel. Bisnis juga akan memperdalam kemampuan pengumpulan dan analisis data mereka untuk membuat keputusan berdasarkan data,” kata Gary.

Saat ini Vertex Ventures merupakan salah satu investor strategis yang mendukung pertumbuhan bisnis Dailybox Group. Tercatat pertumbuhan bisnis Dailybox tidak terhalang saat pandemi, pendapatan kotor mereka secara grup pada 2021 tumbuh cukup pesat. Prestasi ini pun membuat Dailybox Group dilirik oleh sejumlah investor dan akhirnya sukses mendapat pendanaan Seri A pada Juli 2021 di masa pandemi.

“Beberapa tahun ke belakang kami telah mengakuisisi brand yang memiliki storefront atau eksis di platform offline, seperti Breadlife dan Lu’miere. Ke depannya, kami akan memperkenalkan beberapa brand baru yang dapat menunjang strategi multi platform kami,” kata Kelvin.

Agar brand aggregator berjalan sukses, perusahaan harus terus mengevaluasi dan mengoptimalkan strategi agregasi brand mereka berdasarkan feedback pelanggan dan analisis data. Hal ini termasuk secara teratur memperbarui teknologi dan penawaran untuk memastikan bahwa layanan dan produk tetap relevan dan memenuhi perubahan kebutuhan pelanggan. Kesimpulannya, tren agregasi brand di industri F&B akan terus berlanjut di masa mendatang, karena bisnis berupaya memaksimalkan jangkauan mereka dan meningkatkan loyalitas pelanggan.

Unit ekonomi dan faktor pendorong VC berinvestasi

Industri F&B telah menjadi salah satu penunjang ekonomi global, dan dalam beberapa tahun terakhir, telah menarik investasi yang signifikan dari perusahaan modal ventura (VC). Dengan pertumbuhan industri, VC mencari peluang untuk berinvestasi dalam bisnis F&B yang menjanjikan dan memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang. Hal termasuk perusahaan yang memiliki rekam jejak pertumbuhan pendapatan yang terbukti dan strategi yang jelas untuk memperluas basis pelanggan mereka.

VC juga kerap mencari bisnis F&B dengan unit ekonomi yang kuat, artinya biaya produksi dan pengiriman setiap unit lebih rendah daripada pendapatan yang dihasilkan dari penjualannya. Hal ini memungkinkan bisnis untuk menghasilkan margin positif dan menginvestasikan kembali keuntungan ke dalam pertumbuhan dan ekspansi.

Menurut Arya, setiap brand perlu memahami unit ekonomi mereka. Apakah perusahaan sudah untung di tingkat toko?, toko mana yang tidak menguntungkan dan mengapa?, Berapa break-even sales and break-even unit?.

“Selama masa ekspansi, setiap brand harus bisa memberikan alasan mengapa lokasi yang diusulkan bagus. Data lokasi menjadi faktor penting sebelum berkembang. Merek perlu memahami apa demografi pelanggannya,” kata Arya.

Dalam industri F&B, unit ekonomi merupakan faktor penting dalam menentukan potensi pertumbuhan dan skalabilitas. Dilihat dari bisnis dengan strategi pertumbuhan yang jelas, penawaran inovatif, dan ekonomi unit yang kuat, VC dapat mengidentifikasi dan berinvestasi dalam bisnis yang memiliki potensi terbesar. Kesimpulannya, fokus pertumbuhan dan unit ekonomi merupakan pertimbangan utama bagi perusahaan VC saat berinvestasi di industri F&B.

Menurut Gary dari Vertex Ventures, bisnis foodtech yang didukung oleh VC pada umumnya terdiri dari komponen online dan offline. Model bisnis online berkembang sehingga VC tidak bisa menentukan target pertumbuhan atau unit ekonomi yang perlu dicapai oleh startup sebelum berinvestasi.

“Secara umum, apa yang kita lihat adalah tingkat pertumbuhan bulanan yang konsisten dan sehat, retensi pelanggan yang sehat dan margin kontribusi laba, jika pendiri startup mampu meminimalkan biaya variabel,” kata Gary.

Ditambahkan olehnya, biasanya layanan secara offline juga melengkapi layanan secara online. Saat pandemi melandai, akan mulai terlihat pelanggan kembali ke toko offline, tidak hanya untuk membeli makanan tetapi juga untuk pengalaman langsung saat menikmati hidangan di lokasi.

Metrik yang kemudian dilihat oleh VC dalam hal ini meliputi, jika terjadi pertumbuhan pendapatan penjualan yang konsisten per toko/restoran, pertumbuhan penjualan (%) per toko/restoran, berapa lama waktu yang dibutuhkan setiap toko baru untuk mencapai break even dan mencapai profitabilitas, termasuk jumlah pengeluaran modal yang dibutuhkan untuk toko baru.

“Hal ini termasuk strategi distribusi makanan mereka, contohnya model central kitchen, apakah mereka mengoptimalkannya untuk skala ekonomi dan apa yang terjadi ketika mereka mencapai kapasitas maksimum, versus dapur individu di restoran, apakah operasinya dioptimalkan,” kata Gary.

[Video] Startup 101: Tip Penggalangan Dana dari Prasetia Dwidharma

DailySocial bersama Arya Setiadharma dari Prasetia Dwidharma membahas  cerita di balik kesuksesan sebuah startup dan bagaimana tip untuk mengatasi sejumlah tantangan sebelum berhasil memperoleh pendanaan.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Dukungan Prasetia Dwidharma untuk Ekosistem Startup Global

Sebagai perusahaan modal ventura yang berdiri sejak tahun 2016, Prasetia Dwidharma berinvestasi ke startup Indonesia, startup regional Asia Tenggara, dan bahkan startup yang berpusat di Amerika Serikat. Tercatat terdapat 100 startup yang telah didanai mereka.

Kepada DailySocial, CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma mengungkapkan strategi investasi dan harapannya ke pendiri startup yang memiliki passion dan hunger yang cukup besar untuk mengembangkan bisnis mereka.

Fokus ke teknologi

Para pendiri Prasetia Dwidharma Arya, Ardi dan Budi Setiadharma

Didirikan bersama saudara kembarnya Ardi Setiadharma, Prasetia Dwidharma memposisikan diri sebagai CVC. Semua investasi berasal dari balance sheet perusahaan yang didirikan Arya, Ardi, dan sang ayah, Budi Setiadharma.

Salah satu industri yang menjadi fokus Prasetia Dwidharma adalah industri game.

“Gaming merupakan industri di mana teknologi baru banyak digunakan, seperti AR dan VR. Saya melihat akan terus tumbuh ditambah dengan pengalaman pengguna yang semakin baik saat ini. Ke depannya saya melihat semakin banyak teknologi dimasukan ke dalam ekosistem tersebut,” kata Arya.

Setelah sebelumnya berinvestasi ke Touchten, Prasetia Dwidharma tahun ini memberikan dana segar ke pengembang platform mobile gaming Singapura Goama. Goama memungkinkan aplikasi lain memasukkan segmen gaming ke dalam platform-nya, biasanya untuk tujuan user retention.

“Saya melihat angle-nya sangat scalable. Tidak hanya pasar Indonesia, konsep ini juga bisa diterapkan di pasar global. Kita melihat angle yang menarik menyasar segmen B2B hingga B2B2C,” kata Arya.

Selain gaming, Prasetia Dwidharma juga tertarik berinvestasi di sektor robotika. Di tahun 2018 mereka mendanai startup Singapura Ratio. Menurut mereka, pendiri Ratio memiliki pengalaman yang sangat matang. Selain itu, model bisnis dan teknologi yang dihadirkan relevan untuk pasar global.

“Saya mengenal pendirinya saat studi di Universitas Purdue. Melihat pengalamannya yang pernah bekerja di Tiongkok turut membesarkan Yum China, ke depannya dengan teknologi robot yang mereka hadirkan bisa mengatasi masalah sumber daya, seperti tenaga barista di cafe atau coffee shop. Terutama di negara yang memiliki cost labor cukup besar,” kata Arya.

Arya menambahkan, bisnis yang paling sulit untuk di-scale up adalah industri makanan dan minuman. Solusi robotika dari Ratio diharapkan bisa meminimalisir persoalan tersebut.

Diversifikasi kategori startup

Selama pandemi, Prasetia Dwidharma terbilang aktif memberikan pendanaan. Dalam waktu dua tahun terakhir terdapat 14 startup yang telah didanai. Startup yang telah didanai tahun lalu termasuk Neurobit, Traktor, Decentro, Danamart, MyRobin, Brick dan LunaPOS. Sementara tahun ini tercatat Jago Coffee, Populix, Bamms, Dagangan, Goama dan Fresh Factory sebagai portofolionya.

“Untuk Fresh Factory kami tertarik dengan model bisnis yang ditawarkan. Mereka meng-convert ruko yang ada menjadi cold storage. Logistic angle tersebut yang kemudian menjadi perhatian kita, ditambah dengan pendirinya yang sudah sangat berpengalaman,” kata Arya.

Portofolio investasi yang dimiliki Prasetia Dwidharma cukup beragam. Sekitar 60% investasi diberikan untuk perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Mereka juga mengalokasikan dana 20% untuk startup Asia Tenggara (di luar Indonesia) dan 20% lagi untuk startup Amerika Serikat.

Meskipun pasar di Indonesia sangat besar potensinya, Arya melihat kebanyakan startup Indonesia masih fokus ke pasar lokal. Berbeda dengan startup asal Singapura atau Amerika Serikat yang kebanyakan menargetkan pasar global.

Investasi di luar negeri biasanya didapatkan tim Prasetia Dwidharma berdasarkan rekomendasi program inkubator, seperti Y Combinator dan Antler. Mereka juga banyak menerima rekomendasi dari berbagai organisasi yang relevan. Cara ini dinilai Arya cukup efektif karena keterbatasan sumber daya untuk melakukan kurasi dan background check.

“Kita berupaya untuk mendiversifikasi tesis investasi dan strategi. Dengan demikian kita makin ter-expose kepada teknologi yang berbeda. Bukan hanya consumer oriented, SaaS dan lainnya,” kata Arya.

Arya juga mengajak lebih banyak korporasi berinvestasi ke startup. Tidak hanya fokus ke pendiri startup yang masih belia usianya, namun juga ke startup yang memiliki passion dan semangat muda, meskipun pendirinya sudah berusia lebih senior (40 tahun ke atas).

“Sebagai investor kita bisa memposisikan sebagai helicopter view. Berdasarkan pengalaman yang dimiliki sebagai korporasi, kita bisa melihat industri mana yang bakal tumbuh dan tentunya memiliki potensi yang baik,” kata Arya.

Menyambut Generasi Baru “Angel Investor” di Indonesia, Siap dengan Risiko Tinggi Investasi Startup

Pentingnya peran serta angel investor terlibat dalam ekosistem startup, terutama saat tahap awal, tidaklah terbantahkan. Selain membantu startup itu sendiri, bagi investor berinvestasi ke startup tahap awal tergolong “masih murah”, sehingga “ramah budget”. Pesona ini belakangan menarik investor individu yang berlatar belakang sebagai founder startup.

Dalam laporan ANGIN bertajuk “Angel Investment Network 2020”, jumlah angel investor di Indonesia masuk dalam fase bertumbuh (growing), bersama dengan Filipina, Thailand, dan Vietnam. Adapun, Malaysia dan Singapura berada dalam fase dewasa (mature).

Impact Investment Lead ANGIN Benedikta Atika mengatakan, di segi kuantitas, kini angel investor terbagi menjadi dua kelompok: aspiring and new angel investors dan experienced angel investors. Untuk kelompok pertama, menurutnya, secara umum pihaknya melihat antusiasme dari individual untuk masuk sebagai angel investor pada tahap awal.

ANGIN sendiri turut merasakan jumlah angel investor yang bergabung ke dalam jaringannya meningkat hingga 40% dalam dua tahun terakhir. Tren tersebut diperkirakan akan semakin kuat ke depannya dengan lebih banyak mantan pengusaha (misalnya founder startup) yang lebih aktif dalam berinvestasi. Juga bergabung para profesional muda, diaspora, dan generasi berikutnya dari keluarga terkemuka.

“Sementara untuk experienced angel investors, terjadi pergeseran di mana angel investor yang lebih berpengalaman kini maju sebagai LP/menjadi fund manager. Maka mereka tidak lagi aktif lagi sebagai angel investor,” ucap Atika kepada DailySocial.

Dari sisi kualitas, dengan semakin banyak individu yang terjun, makin beragam pula bentuk dukungan yang lebih baik diberikan kepada para founder.

Saat ini ANGIN memiliki lebih dari 130 klien investor yang di dalamnya mencakup sekitar 80 angel investor individu dan sisanya investor institusi. Dari jumlah tersebut, ANGIN berhasil mengumpulkan lebih dari 200 investor tahap awal yang terlibat dalam pendanaan melalui jaringannya. Sejak ANGIN berdiri di 2014, secara akumulasi telah berinvestasi ke 60 startup.

Statistik ini menjadikan ANGIN organisasi jaringan angel investor terbesar di Indonesia. Di luar itu, terdapat ANGEL EQ (kini bernama ALTIRA) dan Angel.ID.

Dalam jajaran angel investor yang bergabung di ANGIN, terdapat investor institusi yang datang dari VC, keluarga konglomerat, korporat, impact investor, dan organisasi. Sementara dari kalangan individu, datang dari pengusaha, HNWI (High-Net-Worth-Individuals), dan figur publik. Sebesar 80% dari total klien ANGIN adalah orang Indonesia.

Di luar jaringan ANGIN, dalam catatan DailySocial, setidaknya dalam beberapa tahun belakangan mulai muncul nama-nama angel investor yang datang dari founder startup tersohor. Berikut daftarnya:

No

Nama Investor Posisi saat ini

Startup yang diinvestasikan

1 Arya Setiadharma CEO Prasetia Dwidharma Wallez (angel round, 11/2016)
2 Arip Tirta Co-Founder Urbanindo Bobobox, Evermos
3 Derianto Kusuma Co-Founder Traveloka AllSome Fulfillment (venture round, 8/19)
4 Reynold Wijaya Co-Founder Modalku Brick (tahap awal, 03/21)
5 Haryanto Tanjo Co-Founder MOKA Greenly (tahap awal, 7/21)
6 Edy Sulistyo Co-Founder Loket Undisclosed
7 Kevin Aluwi Co-Founder Gojek – LoveLocal, rebrand dari m.Paani (12/19)
8 Aldi Haryopratomo Co-Founder Mapan BukuWarung (seri A, 06/21)
9 Edward Tirtanata Co-Founder Kopi Kenangan – BukuKas,

– GudangAda,

– OtoKlix,

– Medigo (pra-Seri A, 12/20),

– Noice

*Pendanaan melalui  Kenangan Fund

10 Rohan Monga CEO Zenius – Zenius (Seri A, 10/19),

– Ula (tahap awal, 06/20)

12 Achmad Zaky Co-Founder Bukalapak – Eduka (tahap awal, 04/20),

– IDCloudHost (tahap awal, 03/21),

– Codemi (tahap awal, 10/20)

 

*Pendanaan melalui VC Init-6

13 Heriyadi Janwar EVP B2B Corp Solution Blibli – Printera,

– Job2Go,

– x0swab

14 Willy Arifin Co-Founder KoinWorks – BukuKas,

– Ula (tahap awal, 06/20),

– Dedoco (tahap awal, 07/21)

15 Christian Sutardi Co-Founder Fabelio BukuKas
16 James Pranoto Co-Founder Kopi Kenangan BukuKas
17 Filippo Lombardi Co-Founder Fabelio BukuKas
18 Sebastian Wijaya Serial investor x0swab
19 Alexander Rusli Serial investor Digiasia, dan 11 startup lainnya
20 Hendra Kwik Co-Founder Payfazz Payfazz, Shipper, Pahamify, Verihubs

 

*Pendanaan sebagai LP di Number

 

Dalam jaringan ANGIN

No

Nama investor

Posisi saat ini

  (Seasoned investor)
1 Shita Kamdani CEO Sintesa Group
2 Noni Purnomo Direktur Utama PT Blue Bird Tbk
3 Jefrey Joe Co-Founder & Managing Director Alpha JWC
4 Mariko Asmara CEO Ango Ventures
(New generation investor)
1 James Prananto Co-Founder Kopi Kenangan
2 Evelyn Grace Png Founder Sunflower Ventures Asia
3 Bianca Belnadia Lie Country Head Love, Bonito
Portofolio ANGIN Burgreens, Kitabisa.com, Siklus, Binar Academy, dan lainnya.

Fungsi dan peran angel investor

Belakangan jumlah VC yang turut berinvestasi dengan ticket size seperti angel investor mulai ramai, ada yang dimulai dari $25 ribu sampai $50 ribu. Kendati begitu, menurut Atika, mau bagaimanapun peran angel investor itu berbeda dengan VC dan tetap relevan dengan kebutuhan startup tahap awal.

Alasannya 1) angel investor memberikan dukungan di luar kapital, walaupun lebih banyak VC yang high-touch, tapi angel investor masih lebih fleksibel. Nilai tambah inilah yang membuat angel investor lebih unggul; 2) angel investor mempelopori dukungan kepada founder di sektor niche (misalnya less-tech enabled model, memiliki misi berdampak sosial) yang sering dianggap terlalu dini atau kurang menarik bagi investor pada umumnya.

Pernyataan Atika didukung penuh oleh Edy Sulistyo (CEO GoPlay) dan Heriyadi Janwar (EVP B2B Corp Solution Blibli). Keduanya adalah penggiat startup sekaligus angel investor.

Edy menyampaikan kehadiran sosok angel investor tidak hanya sebagai pendukung finansial perusahaan, tetapi juga sebagai validasi eksternal dan sosok pertama yang percaya dengan ide founder. “Hampir kebanyakan founder masih berhubungan baik dengan para angel investor yang juga menjadi mentor, tak hanya bagi perjalanan bisnis tetapi juga kehidupan mereka.”

Sepak terjang Edy sebagai angel investor dimulai sejak 2012, ia pun juga berkesempatan menjadi advisor untuk beberapa perusahaan dan startup yang didorong oleh motivasi besar untuk berbagi dan menumbuhkan ekosistem startup Indonesia.

Heriyadi menambahkan, mau bagaimanapun sosok angel investor itu tetap dibutuhkan karena kebanyakan startup tahap awal butuh dana tahap awalnya, untuk scale up dan validasi. Kondisi tersebut tidak berlaku apabila founder datang dari keluarga berada dan tidak memiliki limitasi kapital. “Ini sesuatu yang dibutuhkan, lagipula startup di Indonesia itu bukan tipe yang kalau butuh dana pinjam ke bank,” ucapnya.

Berinvestasi ke founder

Sumber: Depositphotos

Mengutip dari sebuah tulisan yang dibuat Arya Setiadharma di Asean Business, playbook angel investor di Asia Tenggara berbeda dengan negara maju yang ekosistemnya sudah jauh lebih matang dan peraturan yang mendukung (seperti aturan pasar tunggal di EU). Makanya, biasanya para angel investor di kawasan ini sudah akrab dengan kultur di pasar ASEAN. Hal tersebut juga berdampak pada lebih riskan risiko gagalnya.

Seringkali pula, angel investor menemukan diri mereka harus berurusan dengan founder baru yang belum memiliki pandangan 360 derajat terkait startup. Oleh karenanya, menurut Arya, ada tiga tanda bahaya yang harus segera diidentifikasi angel investor sebelum menimbulkan masalah di kemudian hari: kepemimpinan yang tidak stabil, tidak ada pengakuan persaingan, dan harapan yang tidak realistis.

“Jika Anda sebagai angel dapat meramalkan mimpi founder jadi kenyataan, patut bertaruh bahwa mereka dapat menggunakan kisah itu lagi nanti saat mengumpulkan lebih banyak modal dari investor lain. Ini mungkin terdengar terlalu sederhana, tetapi setidaknya dalam kasus saya, ini terbukti benar dalam banyak kesempatan,” kata Arya.

Edy turut menyampaikan bahwa investor itu berinvestasi ke founder adalah benar adanya, terlebih bagi startup tahap awal. Sebab pada fase ini, belum banyak hal yang bisa dilihat, sehingga alangkah penting untuk mendalami seluk beluk si founder dan timnya.

Perlu untuk menanyakan, siapakah dia, apa latar belakangnya, visi dan misinya, lalu bagaimana susunan tim founder dari startup, dan bagaimana mereka menjalankan bisnisnya. Hal tersebut perlu dilakukan untuk melihat kecocokan antara satu sama lain. Layaknya mencari pasangan hidup.

Edy merujuk pada pengalamannya terdahulu. Dia bilang, sebelum mengkaji hal-hal seperti model bisnis dan potensi pasar, penting untuk memahami “Masalah apa yang ingin founder selesaikan.”

“Karena saya percaya, apabila founder telah menemukan apa problem atau pain point bagi konsumen, product/services yang dia hasilkan akan jauh lebih kuat. Semakin kuat pain point dan passionate para founders dengan masalah tersebut, maka akan lebih baik, apabila mereka berhasil menghadirkan solusi yang dapat menjawab hal tersebut.”

Heriyadi ikut menambahkan, mengenal founder itu adalah filtering pertama sebelum ia memutuskan untuk berinvestasi ke startup. “Saya lebih suka kalau founder-nya sudah saya kenal. Tidak mau kalau tidak kenal sama sekali, minimal dalam jajaran founder-nya ada satu yang saya kenal. Atau saya dikenalkan dari jaringan saya sendiri,” katanya.

Filter berikutnya yang biasa ia lakukan adalah memahami seberapa besar ide bisnis tersebut bisa di-scale up dan seberapa besar pangsa pasarnya. “Kalau validasi market-nya terlalu besar atau kekecilan, menurut saya jadinya tidak realistis.”

Seluruh topik pertanyaan Edy dan Heriyadi ini akan terjawab dengan membaca pola pikir founder tersebut dan respons-respons yang diberikan. Apabila founder keras kepala, tidak mau cepat beradaptasi, akan susah untuk berkembang. Sebab, menurut Heriyadi, terjun ke startup itu artinya harus fleksibel.

“Sebab dari pendanaan angel investor ini runway-nya hanya cukup untuk 6 bulan-1 tahun, setelah itu harus melakukan raise funding lagi. Kalau tidak dapat funding dalam kurun waktu tersebut, kita harus tanyakan mereka akan bagaimana karena perusahaan harus tetap ada bisnis untuk cashflow,” tutur Heriyadi.

Ia juga menekankan suntikan dari angel investor tersebut, sebaiknya bukan untuk menggaji karyawan yang sudah ada. Investor harus tahu dana tersebut akan digunakan untuk apa saja. “Duitnya harus buat bikin produk, caranya dengan hiring orang produk dan sebagainya. Itu kasusnya kalau founder-nya bukan orang teknikal.”

Di tengah antusiasme hadirnya angel investor baru, Edy tetap menekankan bahwa investasi di sektor ini menghasilkan big-gain, pasti high-risk. Untuk itu, investasi di startup merupakan investasi jangka panjang yang benar-benar harus terukur. Khusus untuk startup tahap awal, kalkulasi yang bisa dilakukan adalah perlunya keterlibatan (hands-on) dengan melakukan mentoring dan diskusi secara intens.

“Karena pada tahap awal itulah kita masih berkesempatan memberikan arah jalan perusahaan, memberikan saran pengembangan produk berdasarkan pengalaman-pengalaman kita.”

Sementara itu, bagi Heriyadi, adalah investor perlu mendapat progress rutin terkait bisnis startup tersebut apakah sesuai dengan rencana awal atau tidak. Bila ada kendala, biasanya ia akan bantu dengan mengandalkan jaringan-jaringan yang sudah dibangun.

Terhitung Heriyadi telah berinvestasi untuk enam startup sebagai angel investor. Beberapa namanya adalah Printera, Job2Go, dan x0swab. Selain itu, ia aktif sebagai LP untuk fund yang dibuat sejumlah VC.

Risiko tinggi dan tantangan lainnya

Atika mengatakan, dengan lebih banyak investasi yang dikucurkan ke startup, pihaknya melihat bahwa mencari startup yang berkualitas tak lagi menjadi tantangan buat angel investor. Saat ini ada begitu banyak program kesiapan investasi, matchmaking, speed dating, dan acara startup yang membantu angel investor mendapatkan akses ke founder.

Namun, masalah utama yang terus menjadi isu adalah mengenai eksekusi (penataan kesepakatan/deal structuring, negosiasi, dan closing), termasuk di dalamnya mengenai struktur investasi (investment structure). Angel investor punya keterbatasan untuk berpartisipasi dalam kesepakatan dengan struktur tertentu.

Misalnya karena tempat tinggal mereka, terbatasnya akses/pengetahuan terhadap dukungan hukum atau alternatif badan hukum yang tersedia. Hal ini membuat angel investor tidak efisien untuk berinvestasi, terutama mengacu pada ticket size yang berukuran lebih kecil.

Dalam menyelesaikan isu tersebut, pihaknya didukung oleh Frontiers Lab Asia, saat ini sedang mengembangkan solusi untuk mengatasi masalah ini dan membuka peluang angel investor dapat berinvestasi di level Asia. “Kami sedang mengerjakan solusi yang dapat diskalakan untuk membuat angel investment lebih efisien dan relevan di seluruh wilayah.”

Isu ini juga dikemukakan Co-Founder Payfazz Hendra Kwik, yang kini juga terlibat sebagai LP dan Partner MAGIC. MAGIC adalah VC global untuk pendanaan tahap awal yang dikelola oleh sekelompok founder startup. Menurut Hendra, dirinya cenderung masuk sebagai LP daripada berinvestasi secara langsung karena ia ingin lebih terstruktur dan profesional.

“Jadi saya ingin mencegah [tidak profesional], semua harus profesional [proses pendanaannya],” kata Hendra.

Dalam melakukan pendanaan, ANGIN memiliki tiga lapisan penilaian ini sebelum dihubungkan ke angel investor yang masuk ke dalam jaringannya. “Kami memiliki kartu skor sendiri, tetapi selama peninjauan, kami pasti akan melihat orang-orangnya (misalnya motivasi, komitmen, kecocokan pendiri/pasar, dan struktur tim), kecocokan masalah/solusi, dan kecocokan produk/pasar.”

Hal lainnya yang masuk dalam proses analisis ANGIN adalah bagaimana memahami founder apakah cocok dengan minat dan selera risiko angel investor di ANGIN. Dengan profil yang beragam antar individu, cara tersebut memberikan proses analisa di ANGIN lebih kaya karena memberikan tambahan perspektif.

Arya melanjutkan, di tengah risiko yang lebih tinggi di ASEAN, para angel di kawasan ini dapat menggunakan kesepakatan awal untuk berinvestasi melalui instrumen SAFE (simple agreement for future equity) atau convertible notes.

Menurutnya, instrumen ini memberikan tingkat perlindungan jika startup mengalami penurunan karena kreditur diprioritaskan daripada pemegang saham, sambil menghasilkan saham ekuitas yang lebih besar jika startup berhasil dalam putaran pendanaan di masa depan.

“Sama seperti yang mereka lakukan dengan kelas aset lainnya, para angel harus berusaha seproduktif mungkin saat mendukung startup untuk mendiversifikasi risiko.”

Ia juga menyarankan agar angel investor jangan membatasi diri, melainkan bangun portofolio dari berbagai tema industri. Pilihan lainnya adalah coba bergabung dengan jaringan angel yang tepat dan co-invest dengan angel lainnya.

“Di atas segalanya, jangan berkecil hati ketika startup dalam portofolio Anda gagal, atau investasi tertentu tidak berjalan dengan baik. Angel perlu dipersiapkan untuk membuat banyak taruhan. Jika ini tidak sesuai dengan Anda, saran sederhana saya: jangan mencoba menjadi angel di ASEAN,” tutup Arya.


*Foto header: Depositphotos.com

“Freemium” vs Berlangganan: Mana yang Cocok untuk Startupmu?

Istilah freemium, gabungan dari free + premium, merupakan salah satu model bisnis populer yang menggabungkan konsep gratis dan berbayar. Tesis freemium memberikan akses gratis bagi pelanggan dengan fitur-fitur dasar dan memberikan fitur lebih banyak bagi mereka yang bersedia membayar.

Di sisi lain, ada pula layanan yang tidak memberikan free lunch, meskipun biasanya tetap menawarkan konsep uji coba gratis. Konsep berlangganan (atau subscription), membayar biaya secara pasti per bulan atau per tahun, menjadi pilihan bisnis untuk mendulang pendapatan.

DailySocial mencoba mencari tahu apakah skema freemium atau skema berlangganan bisa menjadi model bisnis yang tepat bagi startupmu.

Freemium dan pertumbuhan bisnis

Platform yang menyasar pasar ritel (B2C), seperti Linkedin, Spotify, atau YouTube, cenderung menawarkan skema freemium bagi konsumennya. Pelanggan yang enggan berlangganan secara premium akan disuguhkan iklan secara singkat atau dikurangi fiturnya ketika mereka mengakses layanan. Hal ini dianggap solusi win-win bagi semua pihak.

Menurut CEO Mtarget Yopie Suryadi, layanan freemium populer diterapkan perusahaan yang fokus secara B2C. Konsep freemium dianggap mampu meningkatkan stickiness pengguna untuk kemudian dikonversi sebagai pengguna berbayar.

“Di Mtarget sendiri Kami menerapkan [model bisnis] freemium dan juga subscription. Dengan demikian pengguna gratis dapat menggunakan seluruh fitur kami tetapi kuotanyanya terbatas. Setelah masa free berakhir, tim kami akan membuat flow dan strategi untuk mengubah mereka menjadi paid customer,” kata Yopie.

Ia melanjutkan, “[Penerapan konsep] Freemium yang berhasil memerlukan market research dan investasi yang cukup besar. Tapi ini akan sangat menjanjikan dari sisi growth. Strategi freemium sangat tergantung dengan karakter pengguna, aplikasi, dan market region masing-masing platform.”

Pilihan freemium juga banyak dipilih aplikasi permainan sosial. Platform semacam ini merupakan contoh sempurna penerapan model ini.

Mereka umumnya menampilkan mata uang virtual yang dapat digunakan pemain membuat kemajuan melalui berbagai level dalam permainan. Seorang pemain akan diberikan mata uang gratis pada awal permainan dan dapat meningkatkan saldo koin mereka dengan menyelesaikan tugas yang ditetapkan atau hanya dengan masuk setiap hari.

Jika ingin lebih cepat mendapatkan koin virtual atau melakukan kemajuan, konsumen bisa membayar biaya-biaya yang disajikan.

Menurut CEO MainGame Anton Soeharyo, strategi freemium “berhasil” memenangkan pelanggan di berbagai industri, termasuk bagaimana para game publisher mencari model bisnis terbaik bagi konsumennya.

“Pasar gaming di Indonesia mencapai $701 juta. Mereka [konsumen] willing to pay untuk bermain dan mendapatkan pengalaman dalam permainannya,” kata Anton.

Anton mengatakan, untuk permainan sederhana, biasanya berbasis HTML5  untuk menghabiskan waktu dan mungkin bisa mendapatkan hadiah, skema berlangganan adalah pilihan yang tepat. Sedangkan untuk game RPG dan sejenisnya, maka freemium bisa menjadi pilihannya.

“Saya melihat demikian karena setelah pemain mendapatkan ‘rasa’ dan ‘pengalaman’ dalam permainannya, maka mereka condong untuk melakukan pembelian dan kemudian beralih ke premium,” kata Anton.

Skema berlangganan untuk konsumen bisnis

Berbeda dengan skema freemium, pilihan berlangganan lebih lazim ditawarkan oleh mereka yang menyasar konsumen bisnis (B2B). Skema berlangganan memberikan kebebasan penggunaan dan opsi kustomisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan bisnis, misalnya solusi-solusi berbasis SaaS.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, freemium dan berlangganan hanyalah cara perusahaan menangkap lebih banyak permintaan. Ini dapat diterapkan ke berbagai segmen pengguna. Aspek menarik dari perusahaan yang menjual produk piranti lunak (software) adalah biaya marjinal dari pelanggan tambahan terkadang mendekati nol. Biaya marjinal berbeda dengan biaya untuk mendapatkan pelanggan tertentu. Biaya ini serupa dengan Cost of Goods Sold (COGS) di perusahaan brick and mortar.

“Di perusahaan perangkat lunak, biaya paling umum yang terkait dengan biaya marjinal ini adalah biaya server dan kecuali itu adalah perusahaan Artificial Intelligence (AI), biaya ini dapat diabaikan. Jika startup memiliki keunggulan ini, ia dapat menerapkan model freemium di mana mereka dapat menawarkan produk paling basic secara gratis. Ini sejalan dengan konsep pemasaran untuk membawa produk ke tangan pelanggan,” kata Arya.

Tentu saja konsep berlangganan tidak eksklusif untuk konsumen bisnis.

“Menurut saya subscription ini tidak terbatas ke [konsumen] B2B tetapi hampir semua akan masuk ke area ini. Seperti yang CEO Zuora bilang, kita masuk ke masa subscription economy,” kata Yopie.

Hal senada diungkapkan Anton. Dirinya melihat provider TV kabel yang menyasar konsumen perorangan juga menerapkan model berlangganan ke pelanggannya. Set-up box ditawarkan di luar harga langganan paket channel TV dan di dalamnya juga tersedia menu video on demand.

Pada akhirnya, menurut Arya, setiap pelanggan memiliki persepsi sendiri tentang nilai produk. Pengalaman pengguna gratis juga berharga untuk mendorong startup mengembangkan model bisnisnya.

“Contoh yang bagus dari ini adalah LinkedIn. LinkedIn menawarkan LinkedIn Premium untuk menangkap pengguna yang bersedia membayar lebih banyak fasilitas, privasi, dan status. Namun, LinkedIn juga memonetisasi pengguna gratis dengan menawarkan alat perekrutan ke perusahaan,” kata Arya.

Sebagai investor, Arya melihat ke depannya tidak menjadi masalah, apakah startup tersebut menerapkan model freemium atau berlangganan. Yang penting adalah kemampuan startup mempertahankan pelanggannya (dengan tingkat churn rendah) untuk tumbuh secara berkelanjutan dan mendapatkan nilai tambah dari pelanggan.

Strategi Manajemen Risiko Perusahaan Modal Ventura

Konglomerat digital Jepang Softbank, melalui kendaraan investasinya, Vision Fund, sepanjang tahun 2013-2020 telah menggelontorkan pendanaan senilai hampir $10,5 miliar untuk perusahaan ride hailing Didi Chuxing, WeWork ($8,7 miliar), Uber ($8,3 miliar), dan Grab ($4,5 miliar).

Nama-nama populer tersebut telah berhasil meraih valuasi raksasa dengan mengedepankan konsep growth dan ekspansi besar-besaran. Namun “kericuhan” yang menimpa WeWork tahun 2019 lalu, memberikan dampak negatif ke Softbank sebagai pendukung terbesar.

Tercatat Softbank membukukan kerugian bersih sebesar $6,4 miliar, mayoritas karena dampak pengurangan valuasi WeWork.

Apa yang terjadi dengan Softbank  menjadi wake-up call bagi para investor secara global. Tidak hanya mengubah fokus dan mulai meninggalkan konsep growth at all cost, kebanyakan perusahaan modal ventura juga mulai fokus ke startup yang benar-benar berbasis teknologi.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, setiap investor yang mengandalkan diversifikasi portofolio perlu disiplin dalam hal alokasi investasi.

“Jika uang [investasi] itu berasal dari Vision Fund [yang berdana total] $100 miliar, maka saya akan mengatakan investasi di WeWork memiliki eksposur yang masif pada dana tersebut. Softbank bermain di ‘liga besar’, jadi pasti kegagalannya jauh lebih terbuka,” kata Arya.

Perusahaan modal ventura seperti Softbank pernah memiliki keuntungan besar dengan Alibaba, tetapi “gagal” dengan WeWork. Untuk itu kali ini kami membahas bagaimana investor memitigasi risiko agar tetap bisa menjalankan bisnis dan berinvestasi secara sehat.

Pengelolaan risiko

Venture capital (VC) berinvestasi di salah satu kelas aset paling berisiko, yaitu startup. Menurut Shikhar Ghosh, Profesor Harvard Business School, dalam waktu 10 tahun terakhir 70% startup gagal. Semua kegagalan startup berasal dari keputusan yang dibuat perusahaan.

Idealnya, penilaian dan skenario mitigasi risiko dilakukan sejak pra-investasi hingga tahap investasi untuk menentukan keberhasilan. Itu sebabnya VC biasanya melakukan uji kelayakan (due diligence) yang mendalam sebelum dana diberikan.

“Setiap investasi tidak ada jaminan pasti akan return, tetapi jika kita berjalan bersama para startup dengan visi dan values yang sejalan dan menghasilkan produk atau layanan yang bisa membuat orang senang dan terbantu, hal tersebut sudah menjadi kenikmatan yang hebat. Financial return itu bonus-nya,” kata Managing Partner UMG Idealab Kiwi Aliwarga.

Kiwi menambahkan, setiap venture capital memiliki visi dan cara unik dalam hal melakukan investasi. UMG Idealab mengklaim berinvestasi dengan melihat alignment visi dan values dari para founder juga co-founder.

Di sisi lain, Indogen Capital mencoba fokus di tiga pondasi utama, yaitu unit economics, trend, dan exit market. Untuk tren, penyesuaian harus dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan terkini di pasar. Sementara penilaian unit economics dan exit market selalu konsisten dilakukan sejak hari pertama.

Unit economics sangat penting untuk mengidentifikasi path to profitability dari sebuah startup. Dari sini juga kita bisa menilai apakah startup tersebut memiliki potensi untuk mencapai long-term competitive advantage atau tidak,” kata Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto.

Meninggalkan konsep growth at all cost

Apa yang terjadi dengan Softbank dan WeWork telah mengubah persepsi VC yang kebanyakan fokus ke growth. Meskipun cara ini berhasil untuk mengakuisisi lebih banyak pelanggan dengan cepat, proses yang panjang dan kebutuhan biaya yang besar menjadikan startup kesulitan untuk mendapatkan profit.

Relevansi growth at all cost juga dipertanyakan kebanyakan VC saat ini. Di zaman sekarang, capital sudah tidak lagi menjadi barang langka. Akibatnya growth story sudah tidak menjadi menarik, jika dibandingkan 10 tahun lalu ketika pendanaan VC masih terbilang jarang ditemukan.

“Untuk ke depannya, perusahaan yang bisa menunjukkan kemampuan menjadi perusahaan yang sustainable dalam jangka panjang adalah yang akan menarik bagi kebanyakan investor,” kata Chandra.

Hal senada diungkapkan Kiwi. Meskipun tidak mempercayai konsep growth at all cost, namun selalu ada batasan untuk pertumbuhan.

“Fokus pertama kami tidak tentang profit, tapi seberapa besar kita bisa membantu orang lain atau perusahaan lain dan memberikan kepuasan hati. I believe profit will follow if we deliver smile first to user and customers,” kata Kiwi.

Menurut Arya, meskipun konsep growth at all cost tidak memberikan efek positif untuk startup dan VC, namun konsep hyper-growth masih cukup relevan untuk diterapkan, selama pertumbuhan bisa menciptakan hambatan untuk masuk (barrier entry).

Contoh barrier entry adalah “biaya pengalihan” yang harus dikeluarkan pelanggan untuk beralih ke produk atau layanan kompetitor. Meskipun demikian, pertumbuhan berlebih ini harus masuk akal dalam hal biaya.

“Misalnya jika startup menghabiskan $1 untuk mendapatkan 1 pelanggan potensial, pelanggan itu lebih baik memiliki nilai jangka panjang lebih dari $1. Nilai tersebut belum tentu [tentang] berapa banyak pelanggan akan membayar kepada perusahaan, tetapi bisa jadi berapa banyak orang lain bersedia membayar untuk memiliki akses ke pelanggan, misalnya dengan memanfaatkan Google Ads,” kata Arya.

Dukung semua portofolio

Setelah mengakui kesalahan saat berinvestasi ke WeWork, satu pelajaran penting yang didapatkan Masayoshi Son adalah jangan fokus ke satu startup secara berlebihan.

Jika VC memiliki portofolio yang memiliki potensi dan peluang untuk tumbuh secara cepat dan positif, upayakan untuk menyeimbangkan fokus dan memperhatikan investasi ke portofolio lainnya. Jadikan kesuksesan yang dimiliki salah satu portofolio sebagai success story, namun jangan menjadikan startup tersebut startup utama untuk berinvestasi.

“Yang perlu diperhatikan VC agar terhindar dari masalah ini adalah stay true to your belief , sacrifice for your caused and go the extra mile. Jika para founder startup tidak bersedia mengorbankan kepercayaan dan visi mereka, there is no reason for VC to invest,” kata Kiwi.

Saat kondisi seperti ini, portofolio VC membutuhkan tidak hanya strategic support tapi juga moral support. VC sebaiknya membantu mereka fokus untuk bertahan dan relevan, serta untuk long term goal.

“Secara strategis, kita memberikan masukan kepada portofolio untuk course correct direction daripada perusahaan [gagal] terlebih dahulu. Setelah itu, kita juga fokus membantu dari segi operasional. Dari segi bantuan moral, kita mencoba semaksimal mungkin untuk selalu accessible terhadap semua founder dengan melakukan komunikasi [secara] konstan,” kata Chandra.

Venture Capital Initiatives to Support Portfolios Amid Pandemic

The pandemic situation has forced some fundraising to postpone activities performed by foreign and local venture capital in Indonesia. Nevertheless, there are still some VCs that continue to carry out these activities, by implementing a more rigorous and focused startup curation process, adjusting the current conditions.

In the Startup Clinic session in collaboration with Ventura Discovery, UMG IdeaLab, Plug and Play Indonesia and Alpha Momentum Indonesia, several VCs shared their portfolio management tips and stories, and how a pandemic can be the most relevant momentum, to see the powerful and potential of startups.

The right time to slow down

Previously, it was possible that most VCs had a target of how many startups to join the portfolio, according to Monk’s Hill Ventures Senior Investment Analyst, RJ Balmater, now is the right time for VCs to loosen their belts while focusing on the right and best business vertical for investment. On the other hand, RJ also saw that startups could also take advantage of this condition to re-examine the advantages of the company along with its business model.

“Eventually, VC wants to invest in startups with healthy businesses, not just to survive in the current conditions,” RJ said.

Kejora-SBI Orbit Fund‘s VP Investment, Richie Wirjan said to not looking solely at the key market, investment delays that currently performed can also be utilized by the VC to dig further on the key feature, both within the portfolio or those with a certain potential.

Meanwhile, Prasetia Dwidharma’s CEO, Arya Setiadharma, utilizing existing data, a more in-depth analysis must be done to see the potential that exists today. Make sure the business model that is owned has adjusted to the current conditions, seen from an uncertain market so that the possibility of the company cannot survive. On the other hand, Arya sees services such as groceries and delivery can grow positively utilizing the current moment.

“For the early-stage startup, I see that there is still a good future for fundraising, but when the pandemic starts to recede within the next two years,” Arya said.

Moral support and VC network

Another thing that later became the VC’s priority during the pandemic was moral support to the extensive network to help startups and founders. For Arya, all founders who are members of his portfolio are entitled to get one-on-one consultation by a psychologist. It was to ensure their mental health, who often pressured to cope up with issues during the pandemic.

“We are also trying to help our portfolio to develop some solutions. One of them is Ride Jakarta, founded by Gita Sjahrir. Utilizing online services, users can now enjoy direct training with coaches easily, at an affordable price. Not only users in Indonesia, those who live in Singapore, also use these online services,” Arya said.

Meanwhile for Kejora and SBI who have been doing business more than just VCs, are to provide support to the ecosystem. Not only to new investments but also those who have entered into the pipeline.

“We do not want to leave them, the best way is to connect them to our ecosystem. Whether through the pilot project, we do this to ensure they can continue with the business. Later, we will discuss again whether there are further investment steps or not,” said Richie.

Utilizing the right technology and tools, all portfolios at Monk’s Hill can utilize communication networks between fellow founders for consultation and possibilities for collaboration. The VC is also ready to help all startups to continue to be able to provide support. Monk’s Hill also conducts a data organization that aims to see the overall portfolio and KPI of each startup.

Diversification and decision to shut down business

When the pandemic began, many startups diversified by presenting new services or pivoting to adapt to current conditions and to remain relevant. According to Richie, this is fine to do, as long as startups can ensure that when the pandemic ends, the new business that is presented can continue. Not just using momentum.

“In my opinion, everything should go back to the core business. If they are not sure that it is better not to do a pivot, even though now is the right time to conduct a trial. When the crisis is focused on revenue rather than starting to explore new services,” Arya said.

He added, currently in Indonesia, most companies imitate other companies, when they want to present new services. Make sure all the right decisions, not just take advantage of the conditions and opportunities that exist.

Meanwhile, according to Arya, an important thing is that the new services or businesses presented can disrupt the business. If a startup has the ability, tools, and resources to build new services, it is possible.

Regarding the decision of startups to terminate their business, as a result of the pandemic, each VC claims to have experienced a number of failures from its portfolio. This condition is undeniable, the right way that can then be done is whether startups can implement lean methods or actually stop their startups.

“Eventually, when employee reductions or other decisions must be taken it is wise to do so. If the process or step can help startups to survive,” RJ said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menyimak Dukungan Venture Capital kepada Portofolio di Tengah Pandemi

Pandemi yang berkepanjangan terpaksa harus menunda kegiatan penggalangan dana yang biasanya secara aktif dilakukan oleh venture capital asing dan lokal di Indonesia. Meskipun demikian masih ada beberapa VC yang tetap melakukan kegiatan tersebut, dengan menerapkan proses kurasi startup yang lebih ketat dan fokus, menyesuaikan kondisi saat ini.

Dalam sesi Startup Clinic kolaborasi antara Venturra Discovery, UMG IdeaLab, Plug and Play Indonesia dan Alpha Momentum Indonesia, beberapa VC turut membagikan tips dan cerita manajemen portofolio mereka, dan bagaimana pandemi bisa menjadi momentum yang paling relevan, untuk melihat kekuatan dan potensi startup.

Waktu yang tepat untuk slow down

Jika sebelumnya mungkin kebanyakan VC memiliki target berapa startup yang diincar untuk bergabung dalam portofolio, menurut Senior Investment Analyst Monk’s Hill Ventures RJ Balmater, saat ini menjadi waktu yang tepat bagi VC untuk melonggarkan ikat pinggang sekaligus fokus kepada vertikal bisnis yang tepat dan terbaik untuk investasi. Di sisi lain RJ juga melihat bagi startup juga bisa memanfaatkan kondisi ini untuk menyimak kembali keunggulan dari perusahaan dan tentunya model bisnis yang dimiliki.

“Pada akhirnya VC ingin berinvestasi kepada startup yang memiliki bisnis yang sehat bukan sekadar apakah mereka bisa survive di kondisi saat ini,” kata RJ.

Hal senada juga diungkapkan oleh VP Investment Kejora-SBI Orbit Fund Richie Wirjan, bukan hanya melihat key market, penundaan investasi yang sekarang banyak dilakukan juga bisa dimanfaatkan VC untuk melihat lebih mendalam, kekuatan yang dimiliki oleh startup, baik yang ada dalam portofolio atau mereka yang sebelumnya sudah dilirik dan memiliki potensi.

Sementara itu menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, memanfaatkan data yang ada, harus dilakukan analisis lebih mendalam untuk melihat potensi yang ada saat ini. Pastikan model bisnis yang dimiliki sudah menyesuaikan kondisi saat ini, dilihat dari pasar yang tidak pasti hingga kemungkinan perusahaan tidak bisa survive. Di sisi lain Arya melihat layanan seperti groceries dan delivery bisa tumbuh secara positif memanfaatkan momen saat ini.

“Untuk early stage startup saya melihat masih ada masa depan yang baik untuk melakukan penggalangan dana, namun ketika pandemi sudah mulai surut dalam waktu dua tahun ke depan,” kata Arya.

Dukungan moral dan jaringan VC

Hal lain yang kemudian menjadi prioritas VC saat pandemi adalah, dukungan moral hingga jaringan luas yang dimiliki, guna membantu startup hingga founder. Untuk Arya, semua founder yang tergabung dalam portofolio miliknya berhak untuk mendapatkan dukungan konsultasi secara one-on-one hingga konsultasi khusus oleh psikolog. Hal ini dilakukan untuk memastikan kesehatan mental para founder, yang kerap tertekan mengurusi startup saat pandemi berlangsung.

“Kami juga mencoba membantu portofolio kami untuk mengembangkan cara baru yang bisa bermanfaat. Salah satunya adalah Ride Jakarta yang didirikan oleh Gita Sjahrir. Memanfaatkan layanan secara online, kini pengguna bisa menikmati pelatihan langsung dari para coach secara mudah dan dengan harga yang terjangkau. Bukan hanya pengguna di Indonesia, mereka yang tinggal di Singapura juga banyak yang mencoba layanan online tersebut,” kata Arya.

Sementara itu bagi Kejora dan SBI yang selama ini sudah menjalankan bisnis lebih dari sekedar VC, memastikan untuk terus memberikan dukungan kepada ekosistem. Bukan hanya kepada investasi baru namun juga mereka yang sudah masuk ke dalam pipe line.

“Kita tidak mau meninggalkan mereka, cara terbaik adalah menghubungkan mereka dengan ekosistem kita. Apakah melalui pengerjaan pilot project, hal ini kami lakukan untuk memastikan mereka bisa tetap menjalankan bisnis. Dari situ nantinya kita akan bicarakan kembali apakah ada langkah investasi lanjutan atau tidak,” kata Richie.

Memanfaatkan teknologi dan tools yang tepat, semua portofolio di Monk’s Hill bisa memanfaatkan jaringan komunikasi antar sesama founder untuk melakukan konsultasi dan kemungkinan untuk kolaborasi. Pihak VC juga siap untuk membantu semua startup agar terus bisa memberikan dukungan. Monk’s Hill juga melakukan organisasi data yang bertujuan untuk melihat secara keseluruhan portofolio yang dimiliki dan KPI dari masing-masing startup.

Diversifikasi dan keputusan untuk menutup bisnis

Saat pandemi mulai banyak startup yang melakukan diversifikasi dengan menghadirkan layanan baru atau melakukan pivoting menyesuaikan kondisi saat ini dan agar tetap bisa relevan. Menurut Richie, hal ini sah-sah saja dilakukan, asal startup bisa memastikan ketika pada akhirnya pandemi berakhir, bisnis baru yang dihadirkan bisa terus berjalan. Bukan sekedar memanfaatkan momentum saja.

“Menurut saya semua harus kembali kepada bisnis yang dimiliki. Jika tidak yakin melakukan pivot lebih baik tidak dilakukan, meskipun saat ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan uji coba. Saat krisis ini fokus kepada revenue dari pada mulai eksplorasi layanan baru,” kata Arya.

Di tambahkan olehnya, saat ini di Indonesia kebanyakan perusahaan mencontoh perusahaan lain, ketika ingin menghadirkan layanan baru. Pastikan semua merupakan keputusan yang tepat, bukan hanya memanfaatkan kondisi dan kesempatan yang ada.

Sementara itu menurut Arya hal penting yang perlu diperhatikan adalah, jangan sampai layanan atau bisnis baru yang dihadirkan bisa mengganggu jalannya bisnis. Jika memang startup memiliki kemampuan, tools hingga sumber daya untuk membangun layanan baru, bisa saja dilakukan.

Terkait dengan keputusan dari startup untuk memberhentikan bisnis mereka, akibat dari pandemi, masing-masing VC mengklaim mengalami beberapa kegagalan dari portofolio yang dimiliki. Kondisi ini memang tidak bisa dipungkiri, cara tepat yang kemudian bisa dilakukan adalah, apakah startup bisa menerapkan cara yang lean atau kemudian benar-benar memberhentikan startup mereka.

“Pada akhirnya ketika pengurangan pegawai atau keputusan lainnya yang harus diambil menjadi bijaksana untuk dilakukan. Jika proses atau langkah tersebut bisa membantu startup untuk bisa survive,” kata RJ.

Arya Setiadharma: Sebagai Venture Partner di MDI, Fokus Saya Membantu Fundraising dan Dealsourcing

MDI Ventures resmi mendapuk Arya Setiadharma sebagai Venture Partner. Arya yang juga menjabat sebagai CEO Prasetia Dwidharma, akan bertanggung jawab untuk membantu MDI Ventures melakukan fundraising dan dealsourcing.

Untuk fundraising, fokusnya menggalang dana investasi dari Limited Partner (LP) yang lebih luas, termasuk untuk mendukung MDI Singapore Office. Sedangkan untuk dealsourcing, mencari startup yang cocok untuk disuntik dana oleh MDI. Untuk bisa mendapatkan informasi startup-startup bagus yang sedang fundraising, Arya bertanggung jawab membangun hubungan yang baik dengan Venture Capital yang lain.

“Dalam dunia venture capital, menurut saya kita harus membangun kepercayaan antar sesama investor. Sebagai investor, saya tidak akan membohongi investor lain hanya untuk menyelamatkan salah satu investment saya. Tentunya saya akan senang apabila ada startup portofolio Prasetia yang bisa mendapatkan investasi dari MDI. Tetapi saya sudah sampaikan kepada tim MDI, bahwa dengan posisi saya di MDI, mereka harus lebih critical dan selective terhadap startup portofolio Prasetia yang masuk ke pipeline,” ujar Arya.

Arya Setiadharma / Doc. Pribadi
Arya Setiadharma / Doc. Pribadi

Tahun ini Prasetia Dwidharma menjadi salah satu venture capital yang cukup aktif berinvestasi. Di Indonesia, mereka menyuntikkan dana di Redkendi, Doogether, Nimbly, dan Seekmi. Sementara di luar negeri mereka berpartisipasi dalam pendanaan Dropee (Malaysia), Kinexcs, Postr, TransferFi, VRCollab, dan Interviewer AI (Singapura).

Selain itu mereka juga berinvestasi di beberapa lulusan Y Combinator, seperti Traverse Technologies, Reelables, Spiral Genetics, Switchboard, dan Brainkey.

Menyoal kriteria investasi Arya menjelaskan, “Yang kami lihat pertama adalah founder-nya. Apakah benar-benar mengerti problem yang mereka ingin solusikan? Setelah itu kami akan melihat besar atau tidaknya market yang ingin disasar. Baru terakhir kami akan melihat scalabilituy startup tersebut. Prasetia selama ini banyak berinvestasi di startup B2B.”