Investree Akuisisi Sebagian Saham Mbiz, Mulai Kembangkan Infrastruktur Penunjang Bisnis UKM

Platform fintech lending Investree mengumumkan akuisisi saham platform procurement b2b Mbiz dengan nilai transaksi yang dirahasiakan, sebagai upaya mulai dibangunnya infrastruktur penunjang bisnis UKM yang tidak hanya menyangkut soal pembiayaan saja.

Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi enggan menyebut lebih detail mengenai persentase saham yang diambil perusahaan di Mbiz. Dia hanya menyebut cukup signifikan, karena perusahaan menempatkan board observer di dalam jajaran direksi Mbiz.

Board observer adalah posisi selevel direksi dan bisa mengikuti rapat rutin perusahaan. Akan tetapi, tidak punya kewenangan untuk mengambil keputusan bisnis.

“Strategi Investree ke depannya enggak hanya menawarkan financing saja, tapi solusi bisnis untuk UKM. Daripada bangun sendiri procurement, lebih baik buat kemitraan strategis dengan menjadi pemegang saham,” terangnya, Jumat (27/12).

Adrian mengaku proses akuisisi saham ini sudah mulai dilakukan hampir setahun dan memulainya dengan pembiayaan modal kerja untuk supplier. Kemitraan tersebut diumumkan pada kuartal ketiga tahun ini. Disebutkan ada belasan pengguna Mbiz yang terdiri dari vendor dan pembeli yang memanfaatkan fasilitas pembiayaan senilai Rp90 miliar.

Menurutnya, Mbiz menarik karena memiliki struktur yang unik, punya vendor dan pembeli yang sesuai dengan apa yang diincar Investree. Digitalisasi UKM bisa melalui e-procurement karena terjadi proses transaksi pengadaan barang dan jasa yang transparan, dapat dipertanggungjawabkan, dan bisnis semakin kompeten.

Transformasi digital UKM di Indonesia baru 8% atau 3,92 juta dari total 59,2 juta pelaku yang hadir di Indonesia. Turut mendukung laporan dari McKinsey & Co, potensi e-procurement di Indonesia mencapai $125 miliar pada 2025. Estimasi ini gabungan dari global corporate services ($18 miliar), b2b marketplace ($76 miliar), dan b2b services ($36 miliar).

Sementara itu, pemain terdepan di Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan yang bergerak di segmen b2c marketplace (Lazada, Tokopedia, Shopee, Bukapalak), transportation, travel, and hospitality (Traveloka), dan mobilitas (Gojek dan Grab).

CEO Mbiz Rizal Paramarta menjelaskan, bagi perusahaannya masuknya Investree sebagai pemegang saham menguatkan komitmen perusahaan untuk menjadi pemain terdepan di bisnis e-procurement. Pada tahun depan akan ada banyak pengembangan produk dari Investree yang dikhususkan untuk menyasar lebih banyak klien Mbiz.

“Selama ini kita hanya mempertemukan buyer dan seller saja, padahal kita ingin buat ekosistem secara end-to-end untuk solusi procurement. Kita masuk tahap awal dengan financing karena transaksi b2b ini enggak lepas dari kebutuhan modal kerja,” ujarnya.

Melalui platform Mbiz.co.id dan Mbizmarket, para UKM bersama vendor barang dan jasa akan memiliki akses modal kerja untuk memasarkan bisnisnya. Selama ini para vendor mengalami kesulitan produksi akibat termin pembayaran yang tidak bersahabat dengan cashflow, sehingga menyulitkan mereka untuk mengembangkan bisnis lebih lanjut.

Kehadiran Investree di dalam platform Mbiz diharapkan menjadi solusi efektif bagi perusahaan atau lembaga pembeli barang dan jasa yang mengalami kesenjangan waktu untuk melakukan pembayaran ke vendor, sementara kebutuhan akan barang atau jasa yang ditransaksikan dalam kondisi mendesak.

Rizal menambahkan masuknya Investree sekaligus menandakan masuknya investor eksternal kedua setelah Tokyo Century Corporation saat putaran seri A di 2017. Pada putaran itu, perusahaan mendapat dana segar sebesar Rp1 triliun. Investree, sambungnya, masuk dalam dua metode yakni pendanaan ekuitas dan didominasi oleh pembiayaan utang (debt).

“Ini investor kedua kita, setelah Tokyo Century karena model bisnis kita bukan bakar-bakar uang, pembeli b2b itu rasional, sehingga kurang cocok bila ditawarkan promo-promo.”

Mbiz adalah anak usaha dari Multipolar, bagian dari Lippo Group yang didirikan pada 2015. Lippo sekaligus menjadi angel investor saat dirintisnya Mbiz.

Rencana berikutnya

Hasil dari aksi korporasi tersebut akan dibawa lebih lanjut untuk ekspansi Investree ke Filipina. Ekspansi ini akan diresmikan pada Januari 2020 dengan merek Investree Philipines. Di sana perusahaan akan menyediakan solusi pembiayaan e-procurement karena kondisinya kurang lebih seperti Indonesia.

Adrian mengaku, perusahaan sedang dalam diskusi tahap akhir bersama konglomerasi lokal yang memiliki berbagai lini bisnis dari hotel, properti, plantation, hingga bank, untuk mengatasi masalah procurement di sana.

Setelah Mbiz, perusahaan akan mengincar perusahaan lainnya yang bergerak di ekosistem penunjang bisnis UKM. Lokasinya tak hanya di Indonesia, tapi juga di Asia Tenggara. Adrian mengaku sudah melihat beberapa calon perusahaan, tapi belum bisa disebutkan lebih lanjut. Salah satu sektor yang diincar bergerak di logistik.

Hingga pertengahan bulan Desember 2019, Investree membukukan catatan total fasilitas pinjaman Rp4,28 triliun dan nilai pinjaman tersalurkan Rp3,19 triliun. Investree sudah beroperasi di Thailand dan Vietnam (dengan brand eLoan).

Adrian menyebut apabila regulasi di Vietnam sudah rampung, ada kemungkinan besar untuk mengubah brand menjadi Investree Vietnam. Soal penamaan brand ini juga menyangkut persentase saham yang dimiliki Investree di sana dengan eLoan.

“Kepemilikan saham kita di Vietnam itu minoritas. Nanti jika regulasi fintech-nya sudah jadi, baru ada pertimbangkan untuk nambah saham dan pakai branding Investree,” pungkas dia.

Application Information Will Show Up Here

 

Lengkapi Ekosistem, Bizzy Segera Rilis Tiga Layanan Baru Tahun Depan

Bizzy menyeriusi ranah barunya sebagai holding untuk logistik dan distribusi dengan memperkenalkan tiga produk baru yang akan dirilis pada tahun depan. Ketiga produk tersebut adalah Truckway, Bizzy Field Force, dan Smart Warehouse.

Seluruh produk ini berbasis aplikasi, untuk mengoptimalkan kinerja operasional pengguna dalam sebuah rantai pasokan, seperti distributor, toko grosir, pemilik, dan supir truk.

CEO Bizzy Group Andrew Mawikere menjelaskan, peluncuran ini sejalan dengan misi perusahaan yang ingin mendukung ekonomi yang bersih dengan menggerakkan ekosistem bisnis digital yang inklusif, sehingga memungkinkan perdagangan yang transparan, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

“Kami membangun platform digital terintegrasi untuk logistik dan distribusi, menyediakan layanan rantai pasok menyeluruh di Indonesia, untuk meningkatkan efisiensi dalam logistik dan distribusi,” ucapnya dalam keterangan resmi, Jumat (20/12).

Sejalan dengan misi tersebut, pada Mei 2019 perusahaan meluncurkan aplikasi Tokosmart dan beroperasi secara penuh untuk mendukung digitalisasi usaha mikro, kecil, dan menengah.

Andrew menjelaskan, aplikasi ini memudahkan dan meningkatkan efisiensi secara digital bagi toko dalam proses pemesanan, penerimaan inventori, dan pembayaran. Diklaim Tokosmart telah menjaring lebih dari 48 ribu toko untuk isi stok produk di toko mereka setiap hari.

“Tokosmart telah memproses lebih dari 164 ribu pesanan dan telah mengirimkan lebih dari 392 ribu karton kepada pelanggan kami. Tokosmart memiliki kurang lebih 3.100 produk dan akan terus bertambah di tahun 2020.”

Untuk mendukung pemanfaatan Tokosmart, perusahaan mengembangkan mesin POS sendiri bernama Bizzy POS. Andrew menyebut, saat ini masih dalam tahap percobaan di beberapa daerah. “Langkah ini memudahkan pelanggan untuk mengelola toko dengan cara yang paling efisien,” pungkasnya.

Sebelumnya, Bizzy adalah startup yang bergerak di bisnis procurement untuk b2b, akhirnya pivot menjadi holding pasca masuk dalam afiliasi Sinarmas pasca menerima pendanaan seri B yang dipimpin SMDV.

Perusahaan memasang target yang sangat ambisius pada tahun ini sebesar Rp5 triliun, naik 30%-40% dari tahun sebelumnya sebesar Rp3,8 triliun. Lini bisnis distribusi akan menjadi penopang utama dalam bisnis Bizzy Group.

Application Information Will Show Up Here

Ekosis Usung Konsep B2B Marketplace untuk Hubungkan Petani dengan Pebisnis

Di Indonesia sudah banyak startup yang mencari peluang bisnis dengan menghadirkan konsep marketplace, tentunya dengan niche dan pendekatan yang beragam. Satu dari banyak startup itu adalah Ekosis. Dengan konsep marketplace, mereka tengah berusaha menjadi tempat untuk menghubungkan pebisnis mendapatkan berbagai macam produk agribisnis, mulai dari pertanian, kelautan dan perikanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, hingga pertambangan.

Ekosis dimulai sejak awal tahun 2019, persisnya pada bulan Maret. Kendati belum genap satu tahun Co-founder & CMO Ekosis Ranggi Muharam mengklaim mereka sudah berhasil menjangkau 15 perusahaan agribisnis, lebih dari 500 petani dan nelayan, dan sudah aktif di 15 kabupaten kota dan 7 provinsi.

“Posisi Ekosis adalah sebagai jembatan yang menghubungan petani dan nelayan dengan perusahaan. Kami bukan sebagai offtaker yang hanya menambah atau memindahkan mata rantai. Petani dan nelayan menjual langsung hasil panen dan produk mereka kepada perusahaan agribisnis melalui platform ekosis,” jelas Ranggi.

Ranggi menambahkan, transaksi dan negosiasi tawar menawar harga terjadi di chat room Ekosis. Dengan fitur ini perusahaan agribisnis dapat langsung menanyakan harga dan ketersediaan barang kepada petani dan nelayan. Startup yang sudah berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal ini rencananya akan mengambil komisi untuk setiap transaksi yang terjadi, namun hal tersebut baru akan diimplementasikan di tahun ketiga atau keempat.

Suasana kantor Ekosis / Ekosis

Rantai perdagangan yang lebih efektif

Ranggi kepada DailySocial menceritakan bahwa Ekosis bermula dari cita-cita untuk memangkas rantai perdagangan agar lebih efektif. Mengusung misi menyejahterakan petani dan nelayan dengan membantu mereka mendapatkan harga yang pantas untuk hasil yang mereka dapatkan.

Menurutnya selain petani dan nelayan bisa menjual hasil panen, mereka juga bisa mengetahui kebutuhan perusahaan agribisnis, karena platform Ekosis memungkinkan para perusahaan memberikan informasi kebutuhan mereka untuk. Selanjutnya para petani dan nelayan bisa memberikan penawaran ke perusahaan tersebut.

“Selain itu kami juga menghubungkan penyedia jasa angkutan atau logistik, baik perorangan maupun perusahaan, untuk dapat menawarkan jasa melalui platform Ekosis guna mengangkut hasil panen dari petani atau nelayan ke perusahaan, sehingga mereka tidak lagi kebingungan dalam mengirim hasil panen ke perusahaan. Pemilik layanan angkutan pun bisa aktif mencari dan menawarkan jasa ke petani dan nelayan. Pilihaan layanan jasa angkut beragam, mulai dari darat, laut, maupun udara,” jelas Ranggi.

Ranggi dan timnya cukup optimis karena apa yang mereka hadirkan merupakan solusi dari permasalahan yang dikeluhkan petani dan nelayan di Indonesia. Terlebih lagi mereka telah bekerja sama dengan Kemendesa dan KKP untuk membantu memasarkan produk petani dan nelayan yang tinggal di daerah tertinggal dan pesisir.

“Target kami di tahun 2020, kami akan melakukan grand launching platform Ekosis, dapat memberikan dampak positif dan meningkatkan kesejahteraan kepada lebih dari 20.000 petani dan nelayan di 100 kabupaten dan kota di 15 provinsi Indonesia. Sedangkan target besar kami dalam 5 tahun bisa memberikan manfaat dan membantu 7 juta petani dan nelayan di lebih dari 300 kabupaten dan kota di 32 provinsi Indonesia,” tutup Ranggi.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Monotaro dalam Menggarap B2B Commerce

Gaung pemain e-commerce B2B memang tidak sekencang B2C karena perbedaan cara pemasarannya dan berbagai strategi lainnya. Akan tetapi, potensi bisnis yang bisa digarap dari ranah B2B bukan main besarnya. Salah satu pemain e-commerce yang main di ranah ini adalah Monotaro, berasal dari Jepang.

Sebetulnya, Monotaro masuk ke Indonesia dengan mengambil mayoritas saham Sukamart (PT Sumisho E-Commerce Indonesia) sekitar tiga tahun lalu. Dari aksi ini, mereka mengubah badan hukum dan branding baru jadi Monotaro. Sukamart sendiri sudah beroperasi sejak 2012, merupakan anak usaha dari Grup Sumitomo.

Sejak saat itu, perusahaan mengklaim terjadi peningkatan bisnis yang signifikan secara keseluruhan. Kepada DailySocial, Presiden Direktur Monotaro.id Daisuke Maeda menjelaskan bahwa kategori produk di situs kini kian beragam, dari sekitar 10 ribu item produk di 2016 kini menjadi lebih dari 800 ribu produk.

Keseluruhan produk ini berasal dari kemitraan dengan lebih dari 3 ribu brand yang tersebar ke 12 kategori barang. Mulai dari MRO (maintenance, repair, and operation) untuk pabrik dan perakitan, alat keselamatan, perkakas tangan dan elektrik, alat laboratorium, konstruksi, otomotif, logistik, hingga ATK.

Perusahaan juga menyediakan lebih dari 20 ribu produk dari private label asal Jepang yang dianggap cukup unik dan punya kualitas baik untuk konsumen Indonesia.

Daisuke menjelaskan, posisi Monotaro dibandingkan pemain B2B commerce lainnya cukup berbeda. Pihaknya menempatkan diri sebagai online retailer, yang mana punya berbagai produk dari berbagai penyuplai yang sudah terkurasi.

“Semua produk dan seleksi kategori ini berasal dari data yang kita kumpulkan sejak era Sukamart dan dari preferensi, serta kebiasaan konsumen kami. Kita memiliki ribuan konsumen baru tiap bulannya, mereka puas dengan platform Monotaro dan menjadi pelanggan loyal,” terangnya.

Meski tidak merinci, dia mengklaim bisnis Monotaro tumbuh 300% per tahunnya, begitu pun untuk bulanannya. Pertumbuhan ini diprediksi akan tumbuh lebih besar, mengingat potensi bisnis B2B commerce di Indonesia yang belum tergarap secara maksimal.

Kondisi ini, menurutnya mirip dengan apa yang terjadi di Jepang pada 10 tahun lalu dan sama halnya apa yang dialami e-commerce B2C beberapa tahun lalu di Indonesia.

“Kami yakin kami masih berada di tahap paling awal di Indonesia. Tapi kami sangat percaya e-commerce B2B akan booming dalam waktu dekat mengikuti tren adopsi teknologi di Indonesia.”

Adapun konsumen Monotaro mayoritas datang dari pelaku manufaktur dan industri perakitan. Lainnya adalah industri konstruksi, perkebunan, otomotif, pertambangan, properti, keuangan, pendidikan, hingga industri kecil dari seluruh Indonesia.

Rencana pengembangan teknologi

Daisuke melanjutkan, perusahaan berencana untuk mengembangkan beberapa inisiasi baru di sisi teknologi agar tetap terdepan. Di antaranya fitur pencarian cerdas yang senantiasa harus selalu dikembangkan.

Pasalnya, fitur tersebut penting dalam merekam perilaku dan preferensi pelanggan yang telah terekam di Monotaro Jepang. Alhasil perusahaan dapat memberikan rekomendasi barang yang tepat.

“Fokus kami adalah menyediakan platform yang paling nyaman bagi pelanggan untuk melakukan pembelian yang mendukung operasi industri dan bisnis mereka. Oleh karena itu, kuncinya adalah membuat produk dapat dicari se-seamless mungkin.”

Teknologi lainnya yang disiapkan adalah optimasi manajemen pesanan oleh kecerdasan buatan (AI). Misalnya, untuk daerah mana, metode apa yang pas, dan kapan barang harus dikirim pelanggan. Terakhir pengembangan gudang pintar untuk pengiriman yang lebih cepat, namun juga efisien dari segi biaya.

“Misi kami adalah menyediakan platform pembelian yang paling nyaman dan efisien untuk konsumen bisnis dan visi kami adalah berinovasi dalam jaringan pengadaan untuk semua jenis pengguna bisnis di Indonesia,” pungkasnya.

Secara perusahaan, Daisuke menegaskan Monotaro didanai sepenuhnya oleh pemegang saham yang ada, serta didukung dengan teknologi dan jaringan rantai pasokan yang telah tersedia.

Ralali Receives Series C Funding Worth Over 181 Billion Rupiah

The B2B marketplace, Ralali announced Series C funding worth of $13 million (equivalent to 181.9 billion Rupiah) led by Arbor Ventures, TNB Aura, and ZIFExN Co., Ltd., founder, Jo Hirao. As previous investors, AddVentures and Qualgro also participate in this round.

Ralali‘s CEO, Joseph Aditya explained the fresh funding is to be used for technology development and team building to accelerate market penetration. Also to make innovation for SMEs to get better in the business assessment.

The thing is, business players in this segment have no access to the distribution of assessment, finance, logistics, and others. It’s because they have no information regarding technology and economic scale for data management and reporting. While we have more than 60% SMEs, only 8% of those aware of digital technology.

“This funding is to support us in building better technology and team to assist millions of Indonesian SMEs for business assessment through Ralali. With us being the ‘super app’, buyers in segmented business can have curated and related solutions for assessment, finance, and logistics,” he stated officially.

There are 12 thousand suppliers have been connected through the company, including big brands as Unilever, Food Solutions, PaperOne, Asus, and many more. More than 160 thousand entrepreneurs have been using Ralali, maintaining almost 300 SKU products in the platform.

Around 500 thousand SMEs registered into the platform with more than 5 million visitors per month.

Innovation has made to reach out to entrepreneurs by presenting BIG Agent, on-demand freelancers to work on the survey and market education to “go digital”. There are currently 120 thousand agents around Jakarta, Java, Sumatra, and Kalimantan.

Ralali was created as a one-stop solution for SMEs to book, look for a business assessment, micro-lending product, and term of payment. There are 1,500 SMEs have been using the financial solution.

Ralali is said to have significant GMV as 5 times over the last year and up for 3-4 times this year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Ralali Raih Pendanaan Seri C Lebih dari 181 Miliar Rupiah

Startup B2B marketplace Ralali mengumumkan perolehan pendanaan seri C sebesar $13 juta (setara 181,9 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Arbor Ventures, TNB Aura, dan founder ZIGExN Co., Ltd., Jo Hirao. Investor sebelumnya AddVentures dan Qualgro turut berpartisipasi dalam putaran ini.

CEO Ralali Joseph Aditya menerangkan, perusahaan berencana menggunakan dana segar tersebut untuk perkuat teknologi dan tim agar penetrasi pasar Ralali semakin kuat. Serta berinovasi untuk memperkuat UKM dalam pemenuhan kebutuhan usaha.

Pasalnya, para pengusaha di segmen ini tidak memiliki akses pemerataan dalam pemenuhan kebutuhan, pembiayaan, logistik, dan kebutuhan lainnya karena tidak memiliki skala ekonomi dan teknologi untuk mengelola dan merekam data. Sementara, ada lebih dari 60 juta UKM namun hanya 8% di antaranya yang sudah melek digital.

“Pendanaan ini akan membantu kami meningkatkan teknologi dan tim untuk melayani jutaan UKM Indonesia dalam memenuhi kebutuhan usaha mereka melalui Ralali. Dengan menjadi ‘super app’, pembeli dengan segmen usaha spesifik dapat menemukan solusi yang terkurasi untuk produk kebutuhan usaha, pembiayaan, dan logistik yang relevan dengan usaha masing-masing,” ucap Aditya dalam keterangan resmi.

Saat ini perusahaan menghubungkan 12 ribu pemasok termasuk brand besar seperti Unilever, Food Solutions, PaperOne, Asus, dan lainnya. Lebih dari 160 ribu pengusaha telah memanfaatkan Ralali, menangani hampir 300 ribu produk SKU dalam platform.

Selanjutnya, sekitar 500 ribu UKM telah terdaftar dan platform Ralali dikunjungi lebih dari 5 juta pengunjung tiap bulannya.

Salah satu inovasi perusahaan dalam menjangkau para pengusaha adalah menghadirkan platform BIG Agent, tenaga lepas on-demand yang mengerjakan survei dan mengedukasi pasar untuk “go digital“. Terhitung ada 120 ribu agen tersebar di Jakarta, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Platform Ralali didesain sebagai one stop solution untuk UKM yang ingin memesan, mencari solusi pemenuhan kebutuhan usaha, pinjaman mikro dan ketentuan pembayaran (term of payment) untuk permudah akses pembiayaan. Disebutkan ada 1.500 UMKM yang telah memanfaatkan solusi pembiayaan ini.

Diklaim Ralali mencatatkan GMV yang cukup signifikan sebanyak 5 kali lipat di 2018 dan on-track menuju pertumbuhan 3-4 kali lipat untuk tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

Bizzy Jadi Perusahaan Holding, Naungi Bisnis Pengadaan, Logistik dan Distribusi

Startup procurement khusus B2b “Bizzy” resmi umumkan menjadi holding, alias grup perusahaan yang menaungi beberapa bisnis. Inisiatif tersebut dibarengi masuknya lini bisnis logistik dan distribusi ke dalam layanannya. Di bawah naungan Bizzy Group, perusahaan berambisi menjadi yang terdepan dalam melayani konsumen B2B, terutama di kancah UKM.

CEO Bizzy Andrew Mawikere akan memimpin holding tersebut. Rencananya pada akhir tahun ini akan merilis situs baru dengan domain Bizzy.co.id, berisi seluruh layanan Bizzy yang sudah terintegrasi secara menyeluruh. Untuk sementara, masih terpisah-pisah namun sudah bisa diakses secara online.

“Bizzy.co.id akan jadi situs utama. Di dalamnya akan berisi semua layanan under Bizzy Group. Nantinya setelah memilih menu klien bakal diarahkan ke laman masing-masing layanan,” ujar Andrew, Selasa (23/7).

Perlu diketahui, bisnis logistik dan distribusi yang bergabung ke Bizzy tak lain adalah perusahaan yang tergabung dalam Sinarmas Group. Yakni PT Bina Sinar Amity (Bizzy Logistics) dan PT Sinarmas Distribusi Nusantara (Bizzy Distribution).

Basis bisnis kedua perusahaan ini awalnya sangat konvensional, namun kuat dari segi aset dan layanan karena sudah berdiri sejak lama. Bizzy sendiri masuk ke dalam afiliasi Sinarmas, pasca mengantongi pendanaan Seri B yang dipimpin SMDV pada tahun lalu.

Andrew mengaku, proses integrasi kedua perusahaan ini memakan waktu yang tergolong cukup singkat hanya setahun. Lantaran, keduanya berawal dari bisnis konvensional sehingga untuk pengujiannya bisa langsung dilakukan tanpa harus lewat pihak ketiga. Tantangan terbesarnya justru terletak di perubahan mindset dan cara kerja.

“Biasanya startup mulai dari digital lalu ke offline. Kalau kita terbalik, aset sudah ada baru di online-kan. Bedanya kalau bangun aplikasinya, kita bisa langsung coba ke aset sendiri enggak perlu pihak ketiga.”

Dia memasang target omzet yang cukup ambisius untuk Bizzy Group pada akhir tahun ini sebesar Rp5 triliun. Angka tersebut naik 30%-40% dibandingkan realisasi perusahaan di tahun sebelumnya sekitar Rp3,8 triliun. Diprediksi, Bizzy Distribution akan jadi penopang utama karena dianggap berkaitan erat dengan segmen pengguna Bizzy Group yakni pengusaha UKM.

Andrew mengaku saat ini pihaknya sedang mempersiapkan putaran pendanaan terbaru untuk dukung seluruh rencananya ke depannya.

Perkenalkan Bizzy Consolidation

Tidak hanya menambah dua lini baru, sambung Andrew, perusahaan juga merilis Bizzy Consolidation untuk bantu klien B2B menekan harga tender saat negosiasi ke vendor. Layanan ini hadir berbentuk vendor yang terdaftar di Bizzy Marketplace.

Model kerjanya, ketika tim menemukan ada lebih dari satu klien yang mau beli barang pengadaan dengan tipe yang sama, tim akan menawarkan untuk menggabungnya jadi satu pesanan sebelum dinegosiasikan ke vendor. Tujuannya untuk menekan harga beli, mengingat semakin banyak kuantitas barang harga dari vendor akan semakin turun.

“Nanti pesanannya klien kita tawarkan untuk digabung buat dinego ke vendor. Kami bisa dapat komisi dari savings mereka.”

Bizzy Marketplace, masih berada di situs Bizzy.co.id, tercatat telah menjaring 2000 pembeli dan 2500 vendor sejak resmi beroperasi pada 2015. Ada 14 kategori produk dengan 5100 sub kategori. Mulai dari elektronik industri, furnitur dan perabotan, MRO, peralatan hotel, restoran dan kafe, dan masih banyak lagi.

Bizzy Logistics dan Distribution

Dalam kesempatan yang sama, perwakilan dari kedua perusahaan juga memperkenalkan bisnisnya. CEO Bizzy Logistics Paul Good menerangkan perusahaan bermain ke area logistik untuk pengiriman barang internasional dan bea cukai; rantai pasokan; dan pengangkutan.

Dari data yang Good kutip, market logistik di Asia Tenggara sangat besar ada $1,5 triliun. Indonesia mewakili 5% dari keseluruhannya, 2% di antaranya dikuasai oleh DHL.

“Kami bekerja sama dengan Hakovo dari Singapura untuk mendigitalkan bea cukai agar klien lebih efisien prosesnya saat mengirim barang masuk ke Indonesia,” terang Good.

Secara aset, perusahaan memiliki gudang seluas 38 ribu meter persegi, 384 truk berbagai kapasitas, dan tiap tahunnya melakukan 80 ribu perjalanan. Perusahaan melayani pengiriman ke Malaysia, Singapura, dan Vietnam.

Untuk Bizzy Distribution, memiliki 26 cabang dan 100 sub distributor. Perusahaan mendistribusikan produk barang konsumer dari merek-merek FMCG ke pedagang tradisional dan modern, dengan total 200 ribu titik distribusi tersebar di seluruh Indonesia.

CEO Bizzy Distribution Harsinto Huang menjelaskan, perusahaan memiliki produk turunan yakni TokoSmart.id, untuk bantu pedagang warung dalam hal menyetok persediaan barang lewat aplikasi. Mereka juga dapat menjual produk digital dari aplikasi TokoSmart. Konsep ini mirip dengan Kudo dan Kioson.

Sejak TokoSmart dikenalkan pada Januari 2019, diklaim telah memiliki 18.900 warung yang telah bergabung. Transaksinya mencapai lebih dari 39 ribu dengan nilai GMV Rp76,7 miliar hingga Juli 2019.

“Kami berniat untuk perluas layanan TokoSmart dengan menyediakan mesin POS agar mereka semakin mudah berjualan. Rencananya sampai akhir tahun kami mau gaet 1 juta pedagang warung,” kata Harsinto.

Strategi Zilingo Efisiensikan Rantai Pasokan Segmen B2B Lewat Zilingo Asia Mall

Platform e-commerce fesyen Zilingo makin menyeriusi segmen B2B “Zilingo Asia Mall” (ZAM) dengan mengembangkan berbagai inovasi, baik dari infrastruktur maupun teknologi, yang bakal segera dirilis tahun ini demi mengefisiensikan rantai pasokan produk fesyen dengan teknologi.

ZAM mencoba mempermudah peritel fesyen yang ingin membuat brand sendiri dengan memanfaatkan produsen dan manufaktur yang bergabung dengan ZAM. Misalnya kalau ada pabrik baju yang mencari material mentah kancing jenis tertentu, mereka dapat mencarinya lewat ZAM melalui koneksi produsen yang dimiliki.

Co-Founder dan CEO Zilingo Ankiti Bose menjelaskan, kebanyakan pemain e-commerce hanya fokus ke salah satu segmen, entah itu B2B atau C2C. Zilingo mengadopsi pendekatan khusus dalam menciptakan value dan mengoptimalkan seluruh pasokan fesyen. Ada tiga poin yang dilakukan Zilingo lewat ZAM.

Pertama, secara in-house melengkapi konsumen bisnis dan individual, termasuk influencer dengan semua yang mereka butuhkan dari hulu sampai hilir. Mulai dari desain, pengembangan produk, pengadaan kain, manufaktur, katalog, pemasaran, inventory management, distribusi, penagihan, layanan pelanggan, modal kerja dan tren forecasting.

Kedua, menghubungkan konsumen tersebut ke banyak merchant di Asia yang sudah menghasilkan 50% pakaian dipakai secara global. Terakhir, menawarkan merchant, terdiri dari produsen pabrikan dan pemasok, dengan perangkat lunak agar bisnisnya lebih efisien.

“Implikasi dari apa yang dilakukan ZAM adalah bahwa industri fesyen akan lebih efisien dan hambatan untuk masuk akan berkurang. Dengan bantuan ZAM, siapa pun dapat menjadi bagian dari industri mode,” terang Ankiti kepada DailySocial.

Untuk menjamin kualitas pelayanan, tim Zilingo melakukan filter yang ketat sebelum tayang di platform ZAM, seperti kunjungan ke kantor, pabrik atau gudang penjual untuk menilai keseluruhan operasi dan standar kepatuhannya. Semua merchant diharuskan untuk memenuhi serangkaian kriteria, termasuk kualitas produk yang baik, punya produk sendiri, dan harga yang kompetitif.

Setelah terdaftar pun ada pelatihan dan konsultasi berkelanjutan yang diselenggarakan Zilingo Merchant Centre. Merchant akan dibantu dengan sejumlah software dan layanan yang bakal mereka butuhkan untuk mengeskalasi bisnisnya.

Berikutnya, ketika ada pemesanan, merchant dapat langsung memprosesnya secara mandiri, baik untuk packaging dan pengirimannya ke manapun destinasinya. Meskipun demikian, Pembayaran harus tetap melalui platform Zilingo. Opsi pembayaran yang bisa dipilih konsumen adalah bank transfer atau gerai Indomaret.

Rencana untuk Indonesia

ZAM pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada Juni 2018. Dua bulan sebelumnya produk ini lebih dahulu dirilis untuk melayani peritel di Amerika Serikat dan Eropa. Menurut Ankiti, Indonesia menjadi negara penting yang dipersiapkan menyokong keseluruhan bisnis Zilingo.

Indonesia memiliki potensi yang besar untuk industri fesyen berdasarkan kualitas dan rangkaian produk yang tersedia. Oleh karenanya, fokus Zilingo adalah memberdayakan bisnis lokal dengan menyediakan teknologi terdepan dan berbagai layanan melalui platform.

Ankiti mencontohkan, merchant dapat mengakses langsung ke produsen yang menawarkan jutaan produk dengan analisis tren terkini, layanan logistik yang dapat dipercaya, akses ke modal kerja, dan alat dan layanan lainnya melalui ekosistem pedagang Zilingo.

“Indonesia ada salah satu pasar penting untuk B2B dan kami berharap untuk mengembangkannya. Kami akan berinvestasi untuk infrastruktur dan teknologi yang dibutuhkan untuk lebih mengintegrasikan dan mendigitalkan rantai pasokan mode dan kecantikan.”

Di saat yang sama, karena merchant yang menggunakan platform ZAM semakin beragam, perusahaan siap menambahkan menambahkan lebih banyak layanan seperti manajemen inventaris, HRMS, dan ERP pada platform sehingga beragam bisnis yang lebih luas dapat memperoleh manfaat.

Secara global, ada lebih dari 27 ribu penjual di platform ZAM. Di Indonesia saja, ZAM telah menggaet sekitar 150 manufaktur dari berbagai skala bisnis di Indonesia. 60% di antaranya adalah produsen kain, 20% garmen, dan 20% produk gaya hidup. Diklaim peritel dapat mencari produk dan bahan terbaik hingga 20% lebih murah dibandingkan penyedia atau produsen mereka saat ini.

Ankiti mengklaim saat ini ZAM telah menyumbang sekitar 75% dari total pendapatan Zilingo, meski tanpa menyertakan nilai transaksinya.

Glodoku Hadirkan Platform B2B Commerce untuk Berbagai Produk Industri

Berangkat dari pengalamannya yang cukup lama berkecimpung di dunia purchasing, Anton Asmadi kemudian mendirikan layanan B2B commerce yang diberi nama Glodoku. Mengedepankan model bisnis yang serupa dengan e-commerce pada umumnya, Glodoku mencoba untuk mengakomodir solusi lengkap dan kemudahan dalam pengadaan barang dan alat industri.

Platform yang sudah resmi meluncur sejak Juni 2018 lalu tersebut, kini hadir memberikan layanan lengkap produk kebutuhan industri yang bisa diakses secara online. Bersama dengan Co-Founder Glodoku Ray Husein Asmadi, Anton ingin menghadirkan solusi yang menjembatani kebutuhan pelanggan terkait produk industri.

“Glodoku secara hukum berdiri pada tanggal 4 Juni 2018, melihat tren pasar di mana segala sesuatu serba digital dan permasalahan yang ada di dunia purchasing konvensional salah satunya kesulitan untuk mencari vendor dan proses negosiasi,” kata Anton.

Selain itu Glodoku juga menghadirkan informasi berupa katalog dan berkas CAD serta pencarian tipe dan spesifikasi. Model bisnis Glodoku serupa dengan layanan e-commerce pada umumnya, namun dengan menyesuaikan proses B2B, seperti pembayaran dengan tempo, request for quotation hingga after sales service. Glodoku juga menjamin semua produk yang dijual, 100% asli dan merupakan produk yang relevan dan tentunya dibutuhkan oleh industri.

“Strategi monetisasi yang kami lakukan adalah dengan memperoleh pendapatan dari penjualan barang-barang tersebut,” kata Anton.

Target Glodoku

Saat ini Glodoku mengklaim telah memiliki sekitar 10 perusahaan yang menjadi mitra untuk memasarkan produk. Di antaranya adalah Sumitomo, Toshiba, Miki Pulley, Euro, Inaba Denki dan beberapa brand ternama lainnya. Selain efisien, Glodoku juga memberikan transparansi dalam pengadaan barang-barang industri sehingga dapat meningkatkan produktivitas perusahaan industri.

“Target Glodoku di tahun 2019 adalah mendapatkan kepercayaan dari 200 perusahaan untuk bergabung menjadi customer, serta 100 mitra penyedia barang dengan total 50 ribu produk. Untuk melancarkan kegiatan promosi, Glodoku juga akan mengikuti kegiatan offline berupa pameran dan bazaar yang berhubungan dengan industri,” kata Anton.

Stoqo Facilitates Culinary Business for Grocery Shopping

Stoqo is an online supplier providing a variety of grocery for culinary business. They connect distributors of various groceries – such as cooking oil, coffee, flour etc – on one platform. In addition, for some ingredients, such as fresh vegetables and meat, customers are connected to the market sellers. Stoqo’s main targets are the owners of restaurant, cafe, catering, and home-based culinary business.

In order to maximize operation this year, Stoqo is reportedly having raised a series A funding from Monk’s Hill Partners and Accel Partners India at the end of December 2018. There’s no information of further details and nominal. Previously, Stoqo became one of nine startups with opportunity to join the Alibaba’s acceleration program eFounders Fellowship in Hangzhou.

Aswin Andrison (Stoqo’s Co-founder and CEO) started Stoqo from selling rice in Cipinang. Then, he had to deliver orders directly to each customer. Business model digitization have them acquired more than 2500 types of products which currently on demand in the culinary business. Stoqo’s vision: “to empower the underserved to work for a better life.”

“The segment crowded with players is e-commerce B2C. In B2B, especially for culinary business grocery, Stoqo is one pioneer,” Andrison said in an interview with SWA.

Stoqo provides delivery service for 6 days a week. The fastest delivery is tomorrow, for any order submitted before 2 pm. By ordering more than Rp300,000, they’re making free delivery, it’s for additional value due to culinary players are quite “sensitive” with this kind of cost.

Customers don’t have to pay in advance, COD is available. Currently, Stoqo only serves around Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi.

As a B2B commerce, Stoqo provides partnership opportunities for suppliers of culinary grocery. In providing efficiency for logistics, Stoqo has lanched STOQOHub in Pasar Rebo. It’s a storage house for raw materials from suppliers before being delivered to consumers.

“As it implies, STOQOHub #1 reflects STOQO’s heart or operational center to facilitate Customer Experience and Operational team to serve customers,” he said.

Stoqo's Co-founder, Angky William and Aswin Andrison
Stoqo’s Co-founder, Angky William and Aswin Andrison / Alpha JWC Ventures

Aside from Andrison, Stoqo has another co-founder and also CTO, Angky William. Previously, Andrian worked as a consultant at McKinsey, and Angky was a software engineer at Amazon.

As Andrison said, the grocery procurement for SMEs engaged in culinary industry is quite challenging. Using proper and efficient management, it can grow 40%-60% profits. However, when something goes wrong, it’ll sent the business to bankruptcy, kind of risky. What Stoqo did was using technology to make SME’s players more productive, encouraging business optimization and product innovation.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here