MNC Group Kini Pakai Brand “Motion” untuk Seluruh Layanan Keuangan Digital

Langkah MNC Kapital (BCAP), anak usaha khusus layanan keuangan di bawah MNC Group, untuk menyatukan seluruh talenta fintech di bawah naungan Motion Technology (MotionTech) menjadi pembuktian dari stakeholder untuk bersaing dengan serius di ranah keuangan digital. Keputusan tersebut berdampak pada perubahan seluruh brand di bawah BACP menjadi Motion.

Peneliti INDEF Nailul Huda berpendapat strategi ini dimaksudkan untuk mengajak konsumen baru mengenal lebih dekat dengan brand Motion yang terkesan segar, menghilangkan kesan MNC Group yang selama melekat lewat brand lama. “Kalau MNC punya branding kuat di perusahaan TV-nya. Saya rasa ini tepat untuk bersaing,” kata Huda kepada DailySocial.id.

Kesempatan itu juga didorong oleh masih luasnya kesempatan BCAP untuk menggarap penetrasi produk keuangan yang masih terfragmentasi di Indonesia. Di antaranya, sub pangsa pasar yang belum digarap, tingginya jumlah masyarakat unbanked dan underbanked. “Jadi persaingan tampaknya akan sangat seru.”

Pernyataan Huda ini sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Produk keuangan digital yang beredar saat ini masih terpusat di kota besar dan masih butuh waktu untuk memperkenalkan ke pelosok daerah. Masing-masing dari vertikal fintech ini belum ada yang menjadi pemain dominan di pasar.

Ambil contoh terdekat adalah kehadiran bank digital yang ramai-ramai digarap oleh banyak pihak untuk menyasar segmen baru. Dengan kemudahan proses pengajuan, tanpa harus datang ke kantor cabang, jadi kemudahan awal yang diberikan agar dapat lebih mudah on boarding nasabah baru.

Akan tetapi, menurut pantauan DailySocial.id, semua fitur yang hadir saat ini di banyak aplikasi bank digital ini tingkat urgensi untuk menggunakannya masih ada di tahap “nice to have”, alias belum mendesak untuk menggantikan dari layanan yang dipakai sebelumnya.

Meski begitu, kesempatan bank digital lebih memiliki untuk hadir di tengah masyarakat sangat memungkinkan berkat keberadaan teknologi embeded finance/Banking-as-a-Service yang disematkan di berbagai aplikasi konsumer populer. Langkah tersebut sudah diujicobakan, salah satunya oleh Cermati yang bekerja sama dengan blu by BCA Digital yang sudah hadir di aplikasi Blibli.

Mimpi besar yang disampaikan lewat teknologi tersebut adalah di masa depan masyarakat tidak lagi melihat di mana uangnya disimpan, di mana kantor cabang, jumlah ATM, dan lainnya, sama halnya saat menggunakan aplikasi e-money GoPay atau OVO. “Dengan fenomena adopsi internet dan smartphone selama satu dekade ini, bisnis bank akan tetap sama, tetapi delivery-nya saja yang kini mulai berbeda,” ucap Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah.

MotionTech

Lebih lanjut, dalam keterangan resmi disampaikan bahwa MotionTech akan mengawasi semua inisiatif BCAP sebagai penyedia layanan keuangan digital terdepan, terlengkap, dan terintegrasi. BCAP memiliki berbagai lini produk keuangan, mulai dari perbankan digital, pembiayaan, perdagangan saham, asuransi, manajemen aset, e-money, dan lainnya.

Pertama, MotionBanking merupakan aplikasi perbankan digital yang akan menjadi lokomotif penggerak keseluruhan brand Motion. Di dalam MotionBanking terdapat kartu debit dan kredit virtual MotionVisa dan MotionMasterCard. Kedua, MotionPay, platform e-money, e-wallet, dan transfer digital. Ketiga, MotionTrade untuk aplikasi online trading saham yang sebelumnya bernama MNC Trade New sudah dirilis sejak 2016. Terakhir, MotionInsure, aplikasi insurtech.

Dalam rencana pengembangan, segera hadir MotionCredit sebagai aplikasi lending termasuk menghadirkan BNPL; MotionFunds sebagai platform reksa dana online; dan MotionSeeds sebagai aplikasi securities crowdfunding.

Ekosistem fintech MNC Group lewat Motion Technology / MNC Kapital

Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo menjelaskan langkah ini memperlihatkan komitmen BCAP untuk menempatkan inovasi digital sebagai poros binsis perbankan dan jasa keuangan memasuki babak baru dengan pembentukan talent pool ahli fintech yang berdedikasi untuk membangun Motion Technology, ekosistem fintech end-to-end milik MNC Financial Services.

“Setiap aplikasi fintech dalam ekosistem MotionTech memiliki peran strategis untuk saling menunjang satu sama lain. Di samping itu, dengan ekosistem Open API, BCAP juga akan terus berkolaborasi dengan pihak ketiga untuk saling melengkapi dan menguatkan ekosistem MotionTech secara seamless,” ungkap Hary dalam keterangan resmi.

Belajar Bank Digital, Ekosistem, dan Prospek di Masa Depan

Dalam tiga tahun terakhir, industri perbankan Indonesia diramaikan dengan geliat pendirian bank digital, baik berbentuk bank baru maupun konversi dari bank yang sudah ada (existing). Sebagai langkah awal, Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis aturan baru yang diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan pelaku-pelaku bank digital.

POJK Nomor 12/POJK.03/2021 memuat berbagai ketentuan terkait pendirian bank dan modal. Di antaranya adalah ketentuan pendirian dua jenis bank digital. Pertama, pendirian bank baru sebagai bank digital dan kedua, transformasi bank existing umum menjadi bank digital

Di samping itu, aturan baru juga untuk memberikan batasan yang jelas terkait bisnis bank digital mengingat tren ini masih terbilang baru di industri perbankan Indonesia.

Dalam upayanya, bank digital terus melakukan literasi agar masyarakat memahami bisnis dan layanan yang mereka jalankan. Ini sembari memanfatkan momentum akselerasi keuangan digital yang pesat saat pandemi Covid-19. Berdasarkan survei FICO di 2020, 54% konsumen Indonesia lebih suka memakai kanal digital untuk berinteraksi dengan bank, 3% mobile banking, 7% internet banking, dan 14% lewat telepon banking.

Namun, kita tidak bisa melupakan bahwa masih besar kelompok masyarakat di Indonesia yang lebih nyaman bertransaksi keuangan dengan mendatangi ATM maupun ke kantor cabang bank.

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) menggelar pelatihan jurnalistik demi memberikan pemahaman mendalam perihal bank digital. DailySocial berkesempatan mengikuti pelatihan yang digelar di Bali ini.

Beberapa pengamat terkemuka turut berpartisipasi, antara lain Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, Advisor Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero, dan Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira.

Persepsi bank digital

Tak sedikit masyarakat di Indonesia yang mengenali bank digital sebagai layanan digital banking. Lagi-lagi mengingat model bisnisnya masih baru, pemahaman terhadap bank digital pun dinilai masih kabur di kalangan masyarakat.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah memberikan satu definisi yang sekiranya mampu membedakan bank digital dan bank konvensional secara signifikan. Menurutnya, bank digital didefinisikan sebagai bank beserta layanan yang mana kita tidak perlu lagi memikirkan di mana kantor pusat, kantor cabang, jumlah ATM, termasuk jumlah orang yang mengoperasikan.

Sama seperti platform dompet digital GoPay dan OVO, kita tak perlu tahu di mana uangnya disimpan. Dengan fenomena adopsi internet dan smartphone selama satu dekade ini, ia menilai bahwa bisnis bank akan tetap sama, tetapi delivery-nya saja yang kini mulai berbeda.

Menurutnya, persepsi ini wajar mengingat masyarakat terbiasa bertransaksi di bank. Bank diidentikkan sebagai lembaga keuangan dengan kantor cabang dan kantor pusat. Berbeda dengan era sebelum digital, persaingan perbankan dapat terlihat dari upaya bank membangun ekosistem. Dalam konteks bank konvensional, ekosistem mereka adalah kantor cabang dan ATM.

Kini perlahan-lahan keberadaan mesin ATM mulai tidak relevan. Orang-orang mulai terbiasa bertransaksi keuangan melalui platform mobile banking maupun dompet digital. Adopsi besar-besaran ini dinikmati industri perbankan selama masa pandemi.

Berdasarkan data OJK, sebanyak 2.593 jaringan kantor cabang ditutup dari 2017 hingga Agustus 2021. Penutupan kantor cabang ini selaras dengan transformasi digital bank yang terlihat dari meningkatnya volume transaksi secara digital.

Menurut Piter, di situasi sekarang apabila bank konvensional belum bertransormasi ke arah bank digital, tidak berarti mereka gagal melakukan digitalisasi. Ini lebih kepada kegagalan kompetisi. Perlu dicatat, faktor keunggulan perbankan sudah berubah, yang unggul di masa lalu, bisa jadi beban di era ekosistem digital.

“Ini bukan lomba lari cepat, tetapi maraton, ketahanan yang menentukan. Lagipula, bank digital masih jadi tren baru di Indonesia. Makanya, ini alasan bank-bank yang sudah mapan mempersiapkan diri, tapi tidak langsung face-to-face melainkan lewat proxy atau anak usahanya,” papar Piter.

Paparan di atas sedikit mengingatkan pada hipotesis Pendiri Bank Jago Jerry Ng ketika memutuskan mencaplok Bank Artos dan mengganti namanya. Jerry menilai Bank Artos tidak memiliki banyak legacy (kantor cabang, ATM, dan SDM). Dengan kondisi ini, pihaknya dapat leluasa mengembangkan teknologi dari awal ketimbang mengambil bank yang sudah punya ribuan kantor cabang.

Studi kasus bank digital

Pada paparan berikutnya, Advisor Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero menyoroti ekosistem digital sebagai salah satu faktor kunci pada bank digital. Ia mengambil beberapa contoh bank digital sukses di dunia yang menerapkan model serupa, misalnya KakaoBank asal Korea Selatan.

KakaoBank berdiri di 2016 dan dimiliki oleh perusahaan raksasa internet Kakao Corp. Pada awal kemunculannya, KakaoBank mencatatkan pencapaian yang luar biasa. Dalam lima hari, KakaoBank mengantongi 1 juta pengguna.

KakaoBank juga mencatat kinerja keuangan di atas rata-rata industri. Misalnya, pertumbuhan deposit sebesar 13,65% dari rerata industri 11,98%. Kemudian, NPL KakaoBank juga sebesar 0,26% di mana industri mencapai 1,78%. Sementara, pendapatan fee mencapai 30,16% dari industri 28,02%.

Sumber: Boston Consulting Group
Sumber: Boston Consulting Group

Menurut Poltak, keberhasilan KakaoBank tak lepas dari ekosistem digital besar yang dimiliki perusahaan induknya. Kakao memiliki portofolio layanan beragam, seperti layanan chat, fintech, e-commerce, dan game.

“Evolusi internet membawa dampak perubahan pada manusia dan uang. Mesin-mesin juga saling berinteraksi berkat internet. Ini menjadi pondasi perkembangan bank digital di mana nantinya pembayaran, liquidity, dan analytics berada di awan (cloud). Dengan kata lain, teknologi memampukan bank [digital] untuk bisa scale up lebih cepat,” tuturnya.

Di masa depan, Poltak menyebutkan tiga jenis bank yang bakal berkompetisi antara lain bank konvensional, bank digital, dan embedded bank. Poltak mendefinisikan embedded bank (Bank-as-a-Service/BaaS) sebagai layanan yang sejak awal sudah beroperasi secara digital dan masuk ke ekosistem (native). Ia juga menilai embedded bank akan menjadi bagian dari plumbing system jasa keuangan korporasi atau individu.

Sumber: FT Partners Research

“Platform digital akan memudahkan sinergi dengan layanan keuangan digital lainnya, misalnya layanan investasi dan asuransi. Namun perlu dicatat, biaya dan risiko terbesar dari transisi digital adalah kegagalan mempertahankan pangsa dan segmen pasar. Faktor tersebut dapat membuat bank menjadi tidak relevan,” tambahnya.

Maka itu, ia menggarisbawahi bahwa digitalisasi adalah keniscayaan kompetitif. Jangan sampai sektor keuangan hanya diserahkan perannya lewat bank saja mengingat potensi bisnis dan layanannya begitu besar. Ia meyakini perluasan pasar penting untuk mengembangkan bank digital mengingat masih ada segmen pasar yang belum tergarap di Indonesia dan hanya bisa dilayani lewat digital.

Proyeksi bank digital

Menurut studinya, Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira membagi bank digital ke dalam tiga model, yakni direct bank, neobank, dan challenger bank.

Ia memaparkan, direct bank memperbesar peluang layanan perbankan, seperti tabungan dan channeling pinjaman digital. Kemudian, neobank beroperasi sebagai bank yang full digital, tanpa kantor cabang, dan memiliki aplikasi mobile. Sementara, challenger bank dikatakan merevolusi cara transaksi, model pinjaman baru, dan personal finance.

Bhima mengungkap, potensi akumulasi pasar challenger bank dan neobank secara global dapat mencapai $578 miliar di 2027 menurut laporan Medici Research.

Kami mencoba mengambil sumber lain untuk memberikan definisi lebih dalam, terutama pada neobank dan challenger bank. Mengutip FinTech Magazine, neobank menawarkan fleksibilitas ke berbagai layanan, termasuk payroll dan expense management. Selain itu, neobank juga menawarkan solusi keuangan korporasi untuk menjawab tantangan yang dihadapi UMKM.

Kehadiran API membantu mengintegrasikan alur bisnis dengan persyaratan perbankan. Kendati begitu, neobank tidak punya lisensi perbankan karena mereka beroperasi dengan mengandalkan bank mitra. Dengan demikian, mereka tidak dapat menawarkan layanan perbankan tradisional.

Sementara challenger bank memanfaatkan teknologi untuk merampingkan proses perbankan. Namun, challenger bank juga mempertahankan kehadiran fisik untuk mengoperasikan layanan fintech. Sekop challenger bank umumnya jauh lebih kecil dibandingkan pada sektor perbankan mainstream. Diperkirakan ada 100 challenger bank secara global saat ini.

Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira / Bank Jago

Berbeda dengan neobank, challenger bank memiliki lisensi bank dan dapat menawarkan nasabah terhadap berbagai macam layanan perbankan tradisional dan digital. Layanan perbankan tradisional ini juga dapat diakses dan dimanfaatkan lebih akomodatif dibandingkan bank umum.

Lebih lanjut, Bhima menilai bahwa bank digital menawarkan sejumlah keunggulan, baik untuk individu maupun pelaku usaha. Di level individu, bank digital meningkatkan literasi nasabah terhadap produk keuangan lainnya, misalnya investasi. Menurut data World Bank di 2020, porsi kapitalisasi pasar saham terhadap PDB masih relatif kecil. Kemunculan bank digital diproyeksi dapat mendorong minat investasi.

Selain itu, bank digital dapat mendorong upaya pengendalian keuangan di sektor UMKM dengan transparansi dan efisiensi keuangan. Apalagi, pelaku usaha juga bisa mendapatkan akses terhadap pembiayaan yang disalurkan bank digital melalui skema channeling.

The evolution of neobank / Sumber: PwC
The evolution of neobank / Sumber: PwC

“Selama ini bank tidak bersaing dengan teknologi, tapi dengan gede-gedean bunga. Lalu, tiba-tiba muncul bank digital yang menawarkan kemudahan layanan dan akses permodalan. Saat ini Indonesia punya 65 juta UMKM dan sebagian dari mereka belum dapat pinjaman. Bank digital dapat menambah kapasitas pembiayaan itu. Apabila Indonesia ingin memulihkan perekonomian ke level 5%, pertumbuhan kreditnya harus naik tiga kali lipat,” jelasnya.

Dengan berbasiskan data-driven credit scoring, bank digital dapat terus berkembang dengan menyalurkan kredit ke segmen yang belum terjamah. Di masa depan, penyaluran kredit ini dapat memakai indikator rating transaksi nasabah di platform e-commerce, food delivery, atau ride hailing.

Bank Jago to Expand Business in 2022, Advancing Integration with Gojek

Following its strategic partnership with Gojek, PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) will continue the integration of its second service ecosystem in 2022. A series of use cases have been prepared, such as the GoPay and Jago e-KYC processes and payment for merchant transactions from Kantong Jago via GoPay.

As stated by Bank Jago’s President Director, Karim Siregar, currently his team is preparing to launch GoPay integration as one of the Kantong in the Jago application. Kantong GoPay is estimated to be coming soon.

Karim is reluctant to elaborate on this integration plan with Gojek after the merger with Tokopedia (GoTo). However, he ensured that he would continue to develop the Jago application in order to serve the retail, MSME, and mass market segments.

Rencana sinergi dengan Gojek / Bank Jago
Synergy plans with Gojek / Bank Jago

“This year we are focusing on strengthening the product and user foundations. The number of Bank Jago users is now close to 700 thousand,” he said during Bank Jago’s business presentation, Thursday (28/10). The Bank Jago application has been downloaded more than 1 million on Android devices.

In general note, Gojek Group through GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) grabs 22% of Bank Jago’s shares. After the GoTo merger, Bank Jago is exploring wider synergies as it enters the large ecosystem of services owned by Gojek and Tokopedia.

Digital sharia and payment partnership

In other plans, Bank Jago also targets digital sharia services to be available in the Jago application in the first quarter of 2022. Currently, the Sharia Business Unit has started its operation, just waiting for the realization of digital services. His team is waiting for permission from the Financial Services Authority (OJK).

“Sharia and conventional [financial] services are always identified differently, even though they are not. Moreover, there are no fully digital Islamic financial services in Indonesia,” he added.

Jago Syariah will offer digital financial solutions that focus on customer life (life centric) by optimizing the latest technology, equivalent to conventional Jago applications.

Referring to data from the Financial Services Authority (OJK), the market share of Islamic banks was only 6.33% as of October 2020. The increase was not too significant compared to the market share in 2017 which was only 5%.

Furthermore, Bank Jago also plans to strengthen the digital ecosystem by encouraging service partnerships, especially for lending. In total, Bank Jago has collaborated with 19 partners from various verticals, ranging from e-commerce, lending, and investment.

Currently, all of Bank Jago’s financing is being channeled through a loan channeling model with third parties, either through financial service companies or P2P lending platforms.

Bank Jago service ecosystem / Source: Bank Jago

“Banks live on interest, therefore, we should not focus on transactional [products], but also on credit or financing,” he said.

Based on the third quarter 2021 financial report, Bank Jago has disbursed Rp3,727 trillion, an increase of 502% from the same period last year which amounted to Rp619 billion. Most of these loans are distributed through loan channeling.

In a previous interview, Karim had revealed that he would target MSMEs as the target market for financing. In 2020, the number of MSME players in Indonesia is estimated to reach more than 65 million which recorded to contribute more than 50% of Indonesia’s GDP, and absorb 97% of the active work budget in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bank Jago Siap Ekspansi Bisnis di 2022, Lanjutkan Integrasi dengan Gojek

Menyusul kemitraan strategisnya dengan Gojek, PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) akan melanjutkan integrasi ekosistem layanan keduanya di 2022. Sejumlah use case telah dipersiapkan, seperti proses e-KYC GoPay dan Jago hingga pembayaran transaksi merchant dari Kantong Jago melalui GoPay.

Disampaikan Presiden Direktur Bank Jago Karim Siregar, saat ini pihaknya tengah menyiapkan peluncuran integrasi GoPay sebagai salah satu Kantong di aplikasi Jago. Kantong GoPay diestimasi segera hadir dalam waktu dekat.

Karim enggan mengelaborasi terkait rencana integrasinya dengan Gojek pasca-merger dengan Tokopedia (GoTo). Kendati begitu, ia memastikan terus akan melanjutkan pengembangan aplikasi Jago agar dapat melayani segmen ritel, UMKM, dan mass market.

Rencana sinergi dengan Gojek / Bank Jago
Rencana sinergi dengan Gojek / Bank Jago

“Tahun ini kami fokus memperkuat fondasi produk dan pengguna. Jumlah pengguna Bank Jago sekarang close to 700 ribu,” ungkapnya saat paparan bisnis Bank Jago, Kamis (28/10). Aplikasi Bank Jago tercatat telah diunduh lebih dari 1 juta di perangkat Android.

Sebagaimana diketahui, Gojek Group melalui GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) mencaplok 22% saham Bank Jago. Setelah aksi merger GoTo, Bank Jago tengah mengeksplorasi sinerginya lebih luas karena masuk ke ekosistem besar layanan milik Gojek dan Tokopedia.

Syariah digital dan kemitraan pembiayaan

Pada rencana lainnya, Bank Jago juga menargetkan layanan syariah digital tersedia di dalam aplikasi Jago pada kuartal pertama 2022. Saat ini, Unit Usaha Syariah sudah beroperasi, tinggal menunggu realisasi layanan digitalnya saja. Pihaknya tengah menanti izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Layanan [keuangan] syariah dan konvensional selalu diidentikkan berbeda, padahal sebetulnya tidak. Lagi pula, belum ada layanan keuangan syariah yang sudah fully digital di Indonesia,” tambahnya.

Jago Syariah akan menawarkan solusi keuangan digital yang berfokus pada kehidupan nasabah (life centric) dengan mengoptimalkan teknologi terkini, setara dengan aplikasi Jago konvensional.

Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pangsa pasar bank syariah hanya 6,33% per Oktober 2020. Kenaikannya tidak terlalu signifikan dibandingkan pangsa pasar di 2017 yang cuma 5%.

Lebih lanjut, Bank Jago juga berencana memperkuat ekosistem digital dengan mendorong kemitraan layanan, terutama untuk pembiayaan (lending). Secara total, Bank Jago telah bekerja sama dengan 19 mitra dari berbagai vertikal, mulai dari e-commerce, lending, dan investment.

Saat ini, seluruh pembiayaan Bank Jago masih disalurkan melalui model loan channeling dengan pihak ketiga, baik melalui perusahaan jasa keuangan maupun platform P2P lending.

Ekosistem layanan Bank Jago / Sumber: Bank Jago

“Bank itu hidupnya dari pendapatan bunga, maka itu kita jangan fokus ke [produk] yang sifatnya transaksional saja, tetapi juga ke kredit atau pembiayaan,” tuturnya.

Berdasarkan laporan keuangan kuartal ketiga 2021, Bank Jago telah menyalurkan sebesar Rp3.727 triliun atau naik 502% dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp619 miliar. Sebagian besar kredit ini disalurkan lewat skema loan channeling

Dalam wawancara terdahulu, Karim sempat mengungkap akan membidik UMKM sebagai target pasar pembiayaan. Di 2020, jumlah pelaku UMKM di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 65 juta yang tercatat berkontribusi lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia, dan menyerap sebesar 97% dari anggaran kerja aktif di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

BTPN Mendirikan Perusahaan Ventura BTPNS Syariah, Mendorong Ekosistem Digital yang Dilayani Bank

PT Bank BTPN Tbk (IDX: BTPN) dan PT Bank BTPN Syariah Tbk (IDX: BTPS) resmi mendirikan perusahaan ventura BTPNS Ventura pada Jumat (22/10) lalu. Pembentukan ventura ini akan membantu induk usaha untuk melakukan investasi di bidang digital.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), BTPNS Ventura memiliki modal dasar Rp80 miliar. Kemudian, modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar Rp20 miliar.

Dengan pembentukan ini, BTPS menjadi pemegang saham pengendali dengan kepemilikan saham sebesar 99% atau setara Rp19,8 miliar. Sementara, BTPN mengantongi satu persen atau sekitar Rp200 juta.

Direktur Kepatuhan dan Sekretaris Perusahaan BTPN Syariah Arief Ismail mengatakan bahwa BTPNS akan melakukan kegiatan usaha modal ventura syariah, mengelola dana ventura, dan kegiatan usaha lain sesuai persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Tujuan pembentukan anak usaha ini untuk menunjang kegiatan usaha dan aspirasi BTPN Syariah dalam mewujudkan digital ekosistem bagi segmen yang dilayani bank,” demikian dalam keterangan tertulisnya.

Dalam keterbukaan informasi yang dirilis Sabtu (23/10), perusahaan menyebutkan bahwa belum ada dampak secara material mengingat BTPNS Ventura belum efektif menjalankan kegiatan usaha. BTPNS Ventura baru akan efektif setelah mendapatkan persetujuan dari otoritas terkait.

CVC di Indonesia

CVC merupakan perpanjangan investasi perusahaan untuk mempertemukan inovasi teknologi dengan bisnis dan akses pasar dari perusahaan induk. Tujuan akhirnya adalah menyinergikan layanan digital dengan bisnis milik perusahaan.

Sementara itu, beberapa bank lain sudah lebih dulu membentuk CVC untuk menyinergikan portofolio inovasi dengan bisnis dan layanannya. Beberapa di antaranya adalah MDI Ventures, pionir CVC yang berada di bawah naungan Telkom Group, BRI Ventures oleh BRI, Mandiri Capital Indonesia (MCI) oleh Mandiri, dan Central Capital Ventura (CCV) oleh BCA.

Langkah BTPN mendirikan corporate venture capital (CVC) menunjukkan arah strategi barunya untuk mengembangkan ekosistem layanan keuangan, terutama bagi digital banking Jenius.

Apalagi, selama ini Jenius mengadopsi konsep co-create dengan melibatkan masyarakat tech savvy pada setiap pengembangan layanan/fitur digital banking. Saat ini, Jenius memiliki  3,3 juta pengguna di semester I 2021.

Unit CVC yang dioperasikan perusahaan di Indonesia / DSResearch

Mantan CEO CIMB Niaga Dikabarkan Akan Pimpin Bank Digital Milik EMTEK dan Grab

Bankir senior Tigor M Siahaan dikabarkan bergabung ke bank digital yang didirikan oleh konglomerasi media PT Elang Mahkota Tbk (IDX: EMTK) dan platform super app Grab.

Kabar ini diturunkan usai Tigor resmi mengundurkan diri dari posisinya sebagai Presiden Direktur dan CEO PT Bank CIMB Niaga Tbk (IDX: BNGA) tertanggal 21 Oktober 2021. DailySocial sudah mencoba mengonfirmasi ke Tigor, tapi belum mendapatkan jawaban.

Dalam artikelnya, Katadata menyebut bahwa Tigor akan memimpin bank digital hasil joint venture EMTEK dan Grab, yang kabarnya akan terintegrasi dengan ekosistem digital.

“Tigor akan memimpin bank digital yang terintegrasi dengan ekosistem bisnis digital yang mencakup berbagai layanan commerce, baik online maupun offline (O2O), pembayaran digital, dan layanan teknologi lainnya,” ungkap sebuah sumber seperti dilaporkan Katadata.

Tigor sebelumnya pernah memegang jabatan kunci di perusahaan terdahulu, yakni Country Head for Institutional Clients Group, Head of Corporate & Investment Banking and Country Risk Manager. Kemudian, Tigor juga menjabat sebagai Chief Country Officer of Citi Indonesia pada periode 2011-2015.

Baik EMTEK dan Grab sama-sama memiliki ekosistem kuat di bisnis media dan digital. EMTEK menaungi stasiun televisi SCTV dan Indosiar, KapanLagi Networks, dan platform streaming Vidio. Sementara Grab memiliki ekosistem layanan lengkap, seperti ride hailing, food delivery, dan kurir instan. Katadata melaporkan jumlah penggguna Grab diestimasi sebesar 22 juta pengguna.

Selain itu keduanya juga memiliki afiliasi kuat di mana Grab memiliki 2,59% sagam EMTEK yang dibeli pada Maret 2021. Saat ini, Grab dikabarkan memiliki 5,88% saham di perusahaan konglomerasi milik taipan Sariaatmadja ini.

Sinergi bank digital

Apabila kabar tersebut betul, ini akan menambah kembali deretan sinergi korporasi dan platform digital untuk merealisasikan bank digital selama dua tahun terakhir ini. Sinergi ini tak lagi terjadi di lingkup sektor perbankan saja, tetapi meluas ke sektor lainnya.

Pada sektor perbankan, publik telihat melihat berbagai sinergi yang dilakukan perbankan untuk memperkuat konsep bank digital mereka. Contohnya, Bank Artos dan Gojek (Bank Jago), Bank Yudha Bhakti dan Akulaku Group (Bank Neo Commerce), serta Bank Kesejahteraan Ekonomi dan Sea Group (Seabank).

Sementara di sektor media juga ada Bank Harda Internasional yang dicaplok oleh konglomerat Chairul Tanjung pada 2020 (Allo Bank). Lainnya, ada BCA melalui BCA Digital, BRI melalui Bank Raya, dan Bank Mandiri yang memilih untuk mengembangkan platform super app ketimbang mendirikan bank digital baru.

Kolaborasi menandakan persaingan bank digital di Indonesia akan semakin ketat sejalan dengan upaya perbankan untuk memperkuat ekosistem layanan digitalnya di masa depan.

Bank Mandiri Meluncurkan Platform Kopra, Memaksimalkan Potensi Layanan “Wholesale”

Usai memperkenalkan wajah baru aplikasi mobile banking, PT Bank Mandiri Tbk (IDX: BMRI) kini meluncurkan platform digital “Kopra by Mandiri” untuk layanan wholesale. Dengan mengusung konsep Whole Digital Super Platform, perusahaan berupaya menghadirkan solusi wholesale terintegrasi dengan single access.

Dalam keterangan resminya, Direktur Treasury & International Banking Bank Mandiri Panji Irawan mengatakan, Bank Mandiri tengah fokus memaksimalkan potensi bisnis wholesale dan ritel dengan mentransformasikan solusinya ke digital, melakukan modernisasi channel, memperbaiki business process, dan meningkatkan kapabilitas core banking.

Ini upaya untuk menjaga momentum akselerasi digital dan mengakomodasi kebutuhan transaksi digital nasabah di segmen wholesale. “Berbeda dengan layanan digital di segmen ritel yang bersifat ‘one fit for all‘, kebutuhan wholesale terbilang lebih bervariatif dan luas. Saat ini, kebutuhan tersebut dilayani dengan multi produk/layanan yang diakses terpisah oleh nasabah wholesale,” ujar Panji.

Kopra by Mandiri dirancang sebagai Wholesale Digital Super Platform dengan menawarkan layanan komprehensif secara end-to-end sebagai pusat aktivitas informasi dan transaksi finansial bagi para pelaku bisnis. Ada tiga kategori akses yang disediakan, yaitu Kopra Portal, Kopra Host-to-Host, dan Kopra Partnership.

Adapun, Kopra Portal memberikan single access kepada nasabah untuk mengakses sejumlah layanan antara lain Mandiri Cash Management (MCM) 2.0, Mandiri Financial Supply Chain Management (MFSCM), Mandiri Global Trade (MGT), Mandiri e-FX, Mandiri Smart Account (MSA), dan Mandiri Online Custody.

Kemudian, Kopra Host-to-Host berbasis API (Application Programming Interface) menawarkan solusi terintegrasi bagi pelaku usaha di berbagai jenis dengan kompleksitas bisnis dan kebutuhan teknologi yang lebih maju. Pada kategori ini, nasabah dapat melakukan inisiasi, otorisasi, dan kontrol transaksi melalui sistem nasabah yang terhubung langsung dengan sistem bank.

Sementara Kopra Partnership menawarkan kemitraan dengan pihak eksternal yang punya kapabilitas sebagai business enabler pendukung layanan keuangan. Panji menilai konsep kemitraan ini dapat meningkatkan kemampuan bank dalam mengembangkan solusi yang tepat, efisien, dan terintegrasi. Terutama membantu pertumbuhan bisnis pelaku usaha yang didominasi segmen UMKM.

“Konsep single access memudahkan pelaku bisnis dalam menjalankan aktivitas transaksi keuangannya. Mereka dapat mengakses berbagai informasi produk, memantau funding dan lending di level entitas maupun grup usaha,” tambahnya.

Transformasi digital

Seperti diketahui, Bank Mandiri berupaya untuk bertransformasi digital secara penuh tanpa perlu mengonversi menjadi neobank. Strategi utama bank BUMN ini adalah fokus pada segmen perbankan ritel dan wholesale dengan mengembangkan platform Livin’ by Mandiri dan Kopra by Mandiri.

Dihubungi DailySocial.id beberapa waktu lalu, Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi menilai tak perlu menjadi bank digital, baik itu lewat skema akuisisi bank atau rebranding anak usaha dengan identitas baru. Menurutnya, saat ini Bank Mandiri sudah memiliki permodalan besar dan ekosistem perbankan yang mapan sehingga lebih memilih fokus pada pengembangan inovasi digital.

Beberapa digitalisasi layanan yang telah dikembangkan Bank Mandiri antara lain Mandiri e-Money, Mandiri Intelligent Assistant (MITA), pembukaan rekening online, Mandiri Cash Management (MCM), Mandiri Internet Bisnis (MIB), Mandiri Global Trade, Mandiri Financial Supply Chain Management (FSCM), dan Mandiri Application Programming Interface (API).

Berdasarkan publikasi yang diterbitkan McKinsey di 2019, sektor perbankan di segmen wholesale masih berpeluang untuk dapat meningkatkan value bisnisnya, terlepas dari tren transformasi di bidang operasional dan teknologi yang telah mereka lakukan selama beberapa tahun terakhir.

Salah satu yang disoroti adalah bagaimana sebagian besar fungsi operasional dan teknologi masih mencari ragam inovasi untuk menghasilkan delivery dan hasil yang cepat, mencapai efisiensi, dan memastikan tetap dapat memenuhi regulatory dan compliance yang ada. McKinsey melaporkan sejumlah perusahaan menghabiskan 25% dari pendapatan untuk operasional dan teknologi, dan ini membuat strategi menuju profitabilitas menjadi terhambat.

“Ini menjadi kebutuhan mendesak bagi perusahaan yang memiliki kekurangan pada critical scale di bisnis wholesale, dan sulit untuk memanfaatkan investasinya untuk meningkatkan automasi, mengonsolidasikan platform, dan mentransformasikannya menjadi sebuah ekosistem modern.”

Application Information Will Show Up Here

Digital Bank Remains a “Nice to Have” Alternative

I am Randi (29). I currently work as a private employee and live in one of the tier-3 cities in Central Java – working full time remotely. Although living in a small district, access to public facilities such as banks and modern retail is quite easy. I live at home with my wife [housewife] and a toddler. Using the Socio-Economic Status (SES) category commonly used in the survey, my current condition is fit to “A” at the middle class level.

If you look at the financial records application that I manage with my wife, our average monthly expenses are in the range of IDR 4 million to IDR 6 million [increased by 40% after having children]. Some routine expenses are including bill payments, daily necessities, children’s needs, health including child immunization, and entertainment. Beyond that, there are always sudden or urgent needs issued every month with an indeterminate amount.

In managing financial flows, we have several bank accounts for specific purposes. Permata Bank is my office payroll, Bank Mandiri used as savings, and Bank BRI is to pay various routine bills. These bank options have each fundamental reason. First, the office mandatory; even though the nearest Permata Bank branch is in the next town which is about 45 minutes away by car. The Mandiri account used for savings is actually my wife’s former payroll account when she used to work.

Meanwhile, BRI account is used due to the nearest branch office, across my house along with an ATM. Therefore, it is quite easy if you have to withdraw cash. That’s important, because in order to truly become a cashless society here is still challenging. I remember clearly a few weeks ago, the batagor shop near my house had attached a LinkAja sticker; but when I asked to pay with non-cash option, the merchant refused. The same goes with shopping at department stores in the city, the EDC machine sometimes doesn’t work, forcing me to withdraw cash at the nearest ATM.

Apart from banks, I also use several e-money services. Currently, I actively using OVO, LinkAja, and ShopeePay. Mostly used for transactions in e-commerce and ride-hailing applications. I use a premium financial bookkeeping app on my phone.

Introducing digital bank

This year, digital banks are getting more popular each day. Even though I know  services such as Jenius or Digibank have been available in previous years, however, I was not intrigued to try at that time, it was also directly offered by salesmen at airports and shopping centers.

In the last few months, I have been interested in exploring the latest digital banking applications.

For me, the definition of a digital bank is quite simple. It is completely digital without having to be bothered with complicated procedures at branch offices, especially in terms of opening an account and the administrative process that follows.

In the last three months, I have installed and tried at least 9 digital bank applications on my smartphone, from TMRW ID, Jago, Motion Banking, LINE Bank, Jenius, SeaBank, neo+, Digibank, and blu.

Screenshot of the list of digital bank applications installed on the phone

Apart from Digibank and neo+, I had experienced quite easy registration process. I also received debit cards for all five banks, apart from blu and SeaBank which don’t offer physical card facilities.

For Digibank, the verification process should be done through a biometric service on a smartphone, however, either my device that doesn’t support it or other factors, which require me to do manual verification through an agent. The closest one is in Yogyakarta, at a shopping center or branch office – apart from having to travel 1.5 hours, I couldn’t make it due to the pandemic restriction.

For neo+, i have to wait in line, and it’s a long one. I registered on June 16, 2021 and my queue number is 83,971. After a few weeks, I got a call from the bank to make an appointment to verify via phone the next day. Unfortunately, the phone rang when I was in the bathroom. I have to wait for a new queue number – until now I haven’t gotten another call for verification.

Digital bank experience

The registration process is relatively similar with all applications. We have to fill some personal data on the form, taking selfies with ID card, and uploading other supporting documents [NPWP]. Furthermore, the verification processwas done by video call through the application. In some banks, users have to wait in long queues to verify. Even from my experience, there were times when someone had to repeat 2-3 times with different agents, because their ID cards were not visible during the verification process.

In addition, in the registration process, users will be presented some options in the account: for saving, investing, credit, or others. In this experiment, I chose investment for all apps.

Debit card from several digital bank accounts

As the bank account has been created, some banks also provide the debit card option. In Jenius the minimum balance is Rp500 thousand in order to obtain a VISA Debit – although when the request completed, the money can be spent (it doesn’t have to be deposited). While other banks didn’t require such thing.

Regarding the card variant, I got VISA labeled debit card for Jago bank, LINE Bank, and Jenius, while TMRW and Motion Bank used the GPN logo. As I calculated the time from successfully verified to the debit card delivery process is relatively fast – LINE Bank takes the longest under the pretext of a busy card printing line.

Application Registration Verification Delivery
Blu Easy Relatively fast Card is unavailable
Jago Easy Relatively fast 1-2 weeks
Jenius Easy Medium queue (require scheduling) 1-2 weeks (after top-up)
LINE Bank Easy Medium queue Lebih dari 4 minggu
Motion Banking Easy Relatively fast 1-2 weeks
TMRW ID Easy Relatively fast 1-2 weeks
SeaBank Easy Relatively fast Card is unavilable
Digibank Easy Long queue (require scheduling or manual verification) Registration failed
Neo+ Easy Long queue (require scheduling) Registration failed

In my observation, digital banking really provides a new experience to have a bank account–compared to the process I previously went through when creating an account at a conventional bank.

Regarding the user interface and user experience, it has been relatively easy for me. It’s typical for today’s applications. I tend to be able to adapt immediately to existing features without having to fumble or find out separately through search engines. However, regarding performance, some applications still require improvement. I experienced forced close several times and it was difficult to get into the dashboard. For example, what happened with Bank Jago this morning (9/30).

Impressive yet nonessential features

In general note, each application has basic services such as savings, top-up features to e-money, and transfers. In my experience using each application, there are some impressive features, as follows:

Application Impressive features
Blu (version 1.8.0)
    • bluGether: financial planning with other users (3% interest per year)
    • bluDeposit: creating deposito for minimum amount of Rp1 million (bunga 4% per tahun)
    • Withdraw cash fro app via the nearest BCA ATM
Jago (version 5.7.0)
    • Kantong: separate savings based on financial purposes
    • Kirim & Bayar: sending payment request or split-bill
    • Connected with Gojek and Bibit
Jenius (version 3.1.0)
    • Save It: saving feature with various specification for certain financial purposes
    • Moneytory: for the financial analysis and report
    • Tagih Uang: sending payment request or split-bill
LINE Bank (version 1.1.5)
    • Time Deposit:  short term deposit with minimum amout of Rp1 million
Motion Banking (version 2.1.3)
    • Service management for deposits, KTA or KPR through application
TMRW IDE (version 4.1)
    • City of TMRW: gamification feature for savings with unique visualization and concept
SeaBank (version 2.7.0)
    • Savings with relatively high interest, at 7% per year

By selecting the “investment” option while registering, some services offer a deposit feature. Personally I am not interested in using this instrument as investment option – either for the short or long term. My current financial condition forces me to be more conservative in investing. However, I’m starting to consider stock and mutual fund instruments as suggested by my colleagues.

This feature has actually available on Bank Jago through its integration with Bibit and will soon be available on Jenius. However, it feels less comprehensive compared to creating a direct investment application. Therefore, I’m still comfortable with a separate application regarding this.

In terms of features like bluGether, pocket Jago, or Save it on Jenius, it’s actually interesting for me with partner to manage our financial. However, I currently feel one account with shared access is still sufficient, instead of having to register new accounts. The effort to transfer balances to the existing digital bank services are still considered “a lot” compared to its benefits, it’s not necessary for us right now.

As my wife and I discussed about migration, she also prefer to stick with the current application. There are two reasons, she only has single source of income from me and she is reluctant to create a new bank account – even though it is fully digital and will eventually gain access to a jointly managed savings account.

City of TMRW feature

The unique feature that is quite impressive is the City of TMRW. We are encouraged to save regularly every day, starting from a nominal value of IDR 20,000. Every time we increase the balance, the level of the virtual city displayed will get better. The gamification animation is also very interesting. I thought that later something like this would be fun to use for my children, while teaching them about regular savings.

After exploring and trying some of these features, I came to the conclusion that currently the urgency is still at the “nice to have” level, It is not yet urgent and compelled to replace the previous service. Moreover, the mobile banking application that I currently use on a daily basis is also continuously being developed and actually very easy. For example, through the PermataMobileX application, I can withdraw cash from the nearest Indomaret – it is quite helpful in the absence of a bank branch in my district.

What to expect from financial app?

The financial management that my small family and I use still requires several applications: mobile banking, financial records, e-money, and investments. Therefore, the process is still separate.

The pain points often encountered are sometimes nominal in notes are not the same as those in other applications; and require a separate top-up when you want to use e-money for example for shopping. Every month, I also have to make separate transfers to the account used for savings and transactions.

Living in a tier-3 city also forces me to keep my debit card for cash withdrawal to be used at various EDC machines and ATM Bersama. The blu feature might be interesting as it can withdraw cash through the application, unfortunately, BCA ATMs is still very limited in here — the closest one is require travel for 12 km.

Actually, if you look at the existing digital bank vision, they are trying to accommodate the pain points that I experience, adapting to the lifestyle of today’s young people, for example the pocket feature to separate the budget or integration into consumer services, therefore, it’s no longer necessary to top-up e-money. It’s probably because it’s still in the early stages, the user experience is not enough to ensure me to change direction, switching from conventional banks.

However, it is possible, when the integration is wider and the performance is more reliable, the “nice to have” level will change to “mandatory”.

I imagine, for my younger siblings who are still in college and starting to work (first jobber), this digital bank option could be interesting opportunity – especially when they are yet to have a personal account. When it is configurated for financial management from the beginning, these banks offer attractive capabilities with modern designs, and I don’t hesitate to suggest one of the applications I have tried to my colleagues.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bank Digital Masih Sekadar “Nice to Have”

Nama saya Randi (29). Saat ini saya bekerja sebagai pegawai swasta dan tinggal di salah satu kota tier-3 di Jawa Tengah – bekerja penuh waktu secara remote. Kendati di kabupaten kecil, akses ke fasilitas umum seperti bank dan ritel modern cukup mudah. Di rumah, saya tinggal bertiga bersama istri [ibu rumah tangga] dan seorang anak batita. Menggunakan kategori Sosial Ekonomi Status (SES) yang umum digunakan dalam survei, abjad yang mencerminkan kondisi saya saat ini “A” di level kelas menengah.

Jika melihat aplikasi catatan keuangan yang saya kelola bersama istri, rata-rata pengeluaran bulanan kami di kisaran Rp4 juta s/d Rp6 juta [meningkat sekitar 40% setelah punya anak]. Beberapa pengeluaran rutin yang sudah dianggarkan seperti pembayaran tagihan, belanja kebutuhan harian, belanja kebutuhan anak, kesehatan termasuk imunisasi anak, dan hiburan. Di luar itu tentu ada beberapa kebutuhan mendadak atau mendesak yang hampir dikeluarkan setiap bulan dengan nominal tak tentu.

Dalam mengelola arus keuangan, kami memiliki beberapa rekening bank untuk tujuan spesifik. Bank Permata untuk payroll gaji dari kantor, Bank Mandiri digunakan sebagai tabungan, dan Bank BRI untuk membayar berbagai tagihan rutin. Pemilihan bank-bank tersebut juga punya alasan mendasar. Yang pertama, tentu kewajiban dari kantor; padahal cabang Bank Permata terdekat ada di kota sebelah yang jaraknya sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil. Rekening Mandiri yang digunakan untuk tabungan sebenarnya bekas rekening payroll istri saat dulu bekerja.

Sementara rekening Bank BRI saya pilih karena kantor cabang terdekat ada di seberang rumah saya, lengkap dengan mesin ATM. Sehingga cukup memudahkan jika harus mengambil uang tunai. Itu penting, karena di sini untuk benar-benar menjadi cashless society masih sangat susah. Saya ingat betul, beberapa minggu lalu di tukang batagor dekat rumah sudah memasang stiker LinkAja; namun ketika saya bertanya dan berniat untuk membayar secara nontunai, pedagangnya menolak. Bahkan ketika belanja di toserba di kota, mesin EDC-nya kadang-kadang tidak bisa dipakai, membuat saya harus terlebih dulu ambil uang tunai di ATM terdekat.

Selain bank, saya juga menggunakan beberapa layanan e-money. Untuk saat ini, yang selalu terisi saldo adalah OVO, LinkAja, dan ShopeePay. Sebagian besar digunakan untuk transaksi di e-commerce dan aplikasi ride-hailing. Saya menggunakan aplikasi pencatatan keuangan premium di ponsel.

Berkenalan dengan bank digital

Tahun ini kabar mengenai bank digital cukup nyaring terdengar di telinga. Kendati saya tahu, di tahun-tahun sebelumnya layanan seperti Jenius atau Digibank sudah bisa digunakan, tapi waktu itu belum tergelitik untuk mencoba, meskipun beberapa kali disodorkan langsung oleh salesman di bandara dan pusat perbelanjaan.

Di beberapa bulan belakangan, saya justru tertarik mengeksplorasi tentang aplikasi-aplikasi bank digital yang terus bermunculan.

Bagi saya, definisi bank digital cukup sederhana. Sepenuhnya digital dan tidak harus ribet dengan urusan di kantor cabang, khususnya dalam hal membuka akun dan proses administrasi yang mengikuti.

Dalam tiga bulan terakhir, setidaknya 9 aplikasi bank digital sudah saya pasang dan coba di ponsel, mulai dari TMRW ID, Jago, Motion Banking, LINE Bank, Jenius, SeaBank, neo+, Digibank, dan blu.

Tangkapan layar daftar aplikasi bank digital yang dipasang di ponsel

Selain Digibank dan neo+, proses registrasi berhasil dilakukan secara mudah. Bahkan saya sudah mendapatkan kartu debit untuk kelima bank, selain blu dan SeaBank yang tidak menawarkan fasilitas kartu fisik.

Untuk Digibank, harusnya proses verifikasi sudah bisa dilakukan melalui layanan biometrik di ponsel, namun ntah perangkat saya yang tidak mendukung atau faktor lain, yang mengharuskan saya melakukan verifikasi manual lewat agen. Terdekat di Yogyakarta, di pusat perbelanjaan atau kantor cabang di sana – selain harus menempuh jarak perjalanan 1,5 jam, saya urung karena masih PPKM.

Untuk neo+, antreannya masih panjang. Saat saya mendaftar di tanggal 16 Juni 2021, mendapatkan nomor 83.971. Selang beberapa minggu, saya sempat mendapatkan telepon dari bank untuk membuat janji melakukan verifikasi via telepon di hari esoknya. Sayang sekali saat telepon masuk, saya sedang di kamar mandi. Dan harus menunggu antrean baru lagi – sampai saat ini tak kunjung mendapatkan telepon lagi untuk verifikasi.

Pengalaman mencoba bank digital

Proses pendaftaran di semua aplikasi relatif sama. Dimulai dari pengisian data diri pada formulir yang disediakan, melakukan swafoto dengan identitas, dan mengunggah dokumen pendukung lainnya [NPWP]. Selanjutnya, proses verifikasi dilakukan secara video call melalui aplikasi. Di beberapa bank, pengguna harus menunggu antrean yang cukup panjang untuk melakukan verifikasi. Bahkan dari pengalaman saya, sempat ada yang harus mengulang 2-3x dengan agen berbeda, karena dari sisi mereka KTP tidak terlihat saat proses verifikasi.

Selain itu dalam proses pendaftaran, pengguna akan disuguhkan opsi rencana penggunaan akun tersebut: untuk menabung, investasi, kredit, atau lainnya. Dalam percobaan ini, saya memilih opsi investasi di semua aplikasi.

Kartu debit yang didapat dari pendaftaran akun aplikasi bank digital

Ketika akun bank sudah didapat, selanjutnya beberapa bank juga menyediakan opsi untuk mencetak kartu debit. Untuk layanan Jenius, saya harus mengisi saldo dulu minimal Rp500 ribu agar bisa mencetak Debit VISA – kendati setelah selesai melakukan permintaan, uang tersebut dapat digunakan atau dihabiskan (tidak harus mengendap). Sementara lainnya tidak membutuhkan pengisian saldo terlebih dulu.

Mengenai varian kartu, untuk bank Jago, LINE Bank, dan Jenius saya mendapatkan kartu debit berlabel VISA, sementara di TMRW dan Motion Bank mendapatkan kartu debit berlogo GPN. Dihitung dari sesaat setelah selesai berhasil terverifikasi, proses pengiriman kartu debit ke rumah relatif cepat – paling lama LINE Bank dengan dalih antrean cetak kartu yang padat.

Aplikasi Proses Pendaftaran Proses Verifikasi Pengiriman Kartu
Blu Mudah Relatif Cepat Tidak menyediakan kartu
Jago Mudah Relatif Cepat 1-2 minggu
Jenius Mudah Antrean Sedang (perlu penjadwalan) 1-2 minggu (setelah mengisi saldo)
LINE Bank Mudah Antrean Sedang Lebih dari 4 minggu
Motion Banking Mudah Relatif Cepat 1-2 minggu
TMRW ID Mudah Relatif Cepat 1-2 minggu
SeaBank Mudah Relatif Cepat Tidak menyediakan kartu
Digibank Mudah Antrean Panjang (perlu penjadwalan atau verifikasi manual) Pendaftaran tidak berhasil
Neo+ Mudah Antrean Panjang (perlu penjadwalan) Pendaftaran tidak berhasil

Dari sini saya menyimpulkan, bank digital benar-benar memberikan pengalaman baru untuk memiliki sebuah akun bank–dibandingkan proses yang sebelumnya saya lalui ketika membuat akun di bank konvensional.

Berkaitan dengan user internace dan user experience yang ditawarkan, bagi saya sudah sangat memudahkan. Khas aplikasi masa kini. Saya cenderung langsung bisa beradaptasi dengan fitur-fitur yang ada tanpa harus meraba-raba atau mencari tahu terpisah melalui mesin pencari. Namun terkait performa, beberapa aplikasi masih perlu disempurnakan. Beberapa kali saya mengalami forced close dan sulit untuk masuk ke dasbor. Misalnya yang terjadi bersama Bank Jago pagi ini (30/9).

Fitur menarik, tapi belum jadi urgensi

Secara umum, setiap aplikasi memiliki layanan mendasar seperti tabungan, fitur top-up ke e-money, dan transfer. Dari percobaan menggunakan masing-masing aplikasi, saya menemukan fitur yang menarik, sebagai berikut:

Aplikasi Fitur Menarik
Blu (versi 1.8.0)
    • bluGether: merencanakan keuangan bersama pengguna lain (bunga 3% per tahun)
    • bluDeposit: membuka layanan deposito berjangka min. Rp1 juta (bunga 4% per tahun)
    • Tarik tunai dari aplikasi melalui ATM BCA terdekat
Jago (versi 5.7.0)
    • Kantong: memisahkan tabungan sesuai penggunaan atau tujuan finansial yang ingin dicapai
    • Kirim & Bayar: mengirimkan permintaan pembayaran atau split-bill
    • Terkoneksi ke Gojek dan Bibit
Jenius (versi 3.1.0)
    • Save It: fitur tabungan dengan berbagai spesifikasi untuk tujuan finansial tertentu
    • Moneytory: untuk layanan pelaporan dan analisis finansial
    • Tagih Uang: mengirimkan permintaan pembayaran atau split-bill
LINE Bank (versi 1.1.5)
    • Time Deposit: layanan deposito jangka pendek min. Rp1 juta
Motion Banking (versi 2.1.3)
    • Pengelolaan layanan Deposito, KTA, KPR melalui aplikasi
TMRW IDE (versi 4.1)
    • City of TMRW: fitur gamimfikasi untuk menabung, dengan visualisasi dan konsep unik
SeaBank (versi 2.7.0)
    • Tabungan dengan bunga yang relatif tinggi, di kisaran 7% per tahun

Dengan memilih preferensi “investasi” saat mendaftar, sebagian layanan menyuguhkan fitur deposito. Secara personal saya kurang tertarik untuk menggunakan instrumen ini dalam berinvestasi – baik untuk jangka pendek atau panjang. Kondisi finansial saya saat ini memaksa untuk lebih konservatif dalam berinvestasi. Kendati demikian, saran dari rekan-rekan untuk mencoba instrumen saham dan reksa dana juga mulai dipikirkan untuk menjadi opsi.

Fitur ini sebenarnya sudah mulai ada di Bank Jago melalui integrasinya dengan Bibit dan akan segera ada di Jenius. Tapi rasanya kurang komprehensif jika dibanding dengan membuka aplikasi investasi langsung. Sehingga untuk kebutuhan ini, saya masih nyaman dengan aplikasi terpisah.

Untuk fitur seperti bluGether, kantong Jago, atau Save it di Jenius, sebenarnya menarik bagi saya yang melakukan pengelolaan keuangan berdua bersama pasangan. Namun sejauh ini satu akun dengan akses bersama masih mencukupi, alih-alih harus mendaftar akun baru lagi satu per satu. Upaya memindahkan saldo ke layanan bank digital tersebut yang ada juga masih dipandang “banyak effort” dibanding benefit yang didapat, sehingga urung melakukan untuk saat ini.

Ketika berdiskusi dengan istri untuk migrasi, ia pun juga memberikan konsiderasi untuk bertahan dulu dengan aplikasi yang saat ini digunakan. Ada dua alasan, sumber pendapatannya hanya dari saya saja dan dia enggan untuk membuat akun bank baru – walaupun sepenuhnya digital dan nantinya mendapat akses ke tabungan yang dikelola bersama.

Tampilan fitur City of TMRW

Fitur unik yang cukup menggugah justru City of TMRW. Kita didorong untuk menabung secara rutin setiap hari, mulai dari nominal Rp20 ribu. Setiap kali kita menambah saldo, maka level kota virtual yang ditampilkan akan menjadi lebih baik. Animasi dari gamifikasi yang diberikan juga sangat menarik. Saya berpikir, nantinya yang seperti ini akan seru digunakan untuk anak saya, sembari mengajarkan mereka tentang menabung rutin.

Setelah mengeksplorasi dan mencoba beberapa fitur tersebut, saya pun berkesimpulan bahwa saat ini urgensinya masih di tingkat “nice to have” saja, belum mendesak dan terdorong untuk menggantikan layanan sebelumnya. Terlebih, aplikasi mobile banking yang saat ini saya gunakan sehari-hari juga terus dikembangkan dan sangat memudahkan. Misalnya lewat aplikasi PermataMobileX, saya bisa tarik tunai melalui Indomaret terdekat – jadi cukup menolong di tengah ketiadaan cabang bank di kabupaten saya.

Yang diharapkan dari sebuah layanan finansial

Pengelolaan finansial yang saya dan keluarga kecil saya gunakan masih membutuhkan beberapa aplikasi: mobile banking, pencatatan keuangan, e-money, dan investasi. Sehingga prosesnya masih terpisah-pisah.

Pain points yang ditemui kadang nominal di catatan tidak sama dengan yang ada di aplikasi lain; dan harus melakukan top-up terpisah ketika ingin menggunakan e-money misalnya untuk belanja. Setiap bulan juga saya harus melakukan transfer terpisah-pisah di rekening yang digunakan untuk menabung dan transaksi.

Kondisi tinggal di kota tier-3 juga masih memaksa saya untuk tetap memiliki kartu debit untuk kebutuhan tarik tunai yang bisa digunakan di beragam mesin EDC dan ATM Bersama. Fitur blu mungkin menarik karena bisa tarik tunai lewat aplikasi, sayangnya sebaran ATM BCA di sekitar saya masih sangat terbatas — paling dekat harus melakukan perjalanan 12 km.

Sebenarnya kalau melihat visi layanan bank digital yang ada, mereka berusaha mengakomodasi pain points yang saya rasakan tersebut, menyesuaikan dengan gaya hidup masyarakat muda masa kini, misalnya fitur kantong untuk memisahkan anggaran atau integrasi ke layanan konsumer agar tidak perlu lagi top-up ke e-money. Mungkin karena masih di tahap awal, pengalaman pengguna yang disajikan masih kurang bisa memaksa saya beralih haluan, berpindah dari bank konvensional.

Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan, saat integrasinya sudah semakin luas dan performanya semakin andal, level “nice to have” tadi akan berubah menjadi “mandatory”.

Saya membayangkan, untuk adik-adik saya yang masih kuliah dan mulai bekerja (first jobber), opsi bank digital ini bisa menjadi menarik – terlebih saat sebelumnya mereka belum memiliki rekening pribadi. Jika dikonfigurasi untuk pengelolaan finansial dari awal, bank-bank tersebut menawarkan kapabilitas yang menarik dengan desain kekinian, sehingga saya tidak segan untuk menyarankan salah satu aplikasi yang sudah saya coba tersebut ke kolega nantinya.

BRI Agro Ganti Nama Jadi Bank Raya, Incar 7 Juta Nasabah “Gig Economy”

PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (BRI Agro) resmi berganti nama menjadi PT Bank Raya Indonesia Tbk (Bank Raya) yang disetujui lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Senin (27/9). Sebagai langkah transformasi menjadi bank digital, Bank Raya akan membidik target pasar pekerja informal atau gig economy di 2022.

Dihubungi secara terpisah DailySocial.id, Direktur Utama Kaspar Situmorang mengatakan Bank Raya akan fokus melayani segmen pasar yang terbiasa memakai smartphone dan layanan perbankan digital untuk memaksimalkan pendapatannya (underbanked). Sementara, BRI akan fokus melayani nasabah ultra mikro (unbanked).

“Kami menargetkan nasabah sebanyak 10% atau sekitar 6-7 juta pekerja dari total proyeksi 74 juta pekerja gig dalam lima tahun ke depan. Beberapa contoh pekerja gig economy yang kami incar, misalnya agen perbankan (laku pandai), merchant e-commerce, logistik, dan merchant F&B,” ungkap Kaspar.

Saat ini, proses transformasi digital Bank Raya tengah berjalan, baik pada bisnis model baru maupun pembenahan bisnis existing. Transformasi ini akan berfokus pada tiga pilar utama, yaitu (1) mengembangkan produk digital lending dan saving secara end-to-end, (2) mendigitalkan pengembangan bisnis secara online-to-offline (O2O), dan (3) melakukan revamp dengan menata bisnis existing, mengoptimalkan efisiensi proses bisnis, serta memperkuat pengembangan SDM.

“Pengembangan produk kami akan menggunakan pendekatan customer experience berbasis B2B2C. Untuk digital saving dan digital lending, kami membuat produk yang dapat dipakai di platform partner dengan mudah dan aman. Kami harap bisa melakukan penetrasi pasar dengan biaya akuisisi pelanggan yang paling rendah dan customer lifetime value yang paling tinggi lewat produk berbasis B2B2C ini,” papar Kaspar dalam pesan singkat.

Selain menyetujui pergantian identitas baru, BRI Agro berencana menerbitkan 2.150.000.000 lembar saham dengan nilai Rp100 per saham melalui skema PMHMETD atau 9,96% dari modal ditempatkan dan disetor penuh. Dana ini akan dipakai untuk memperkuat fondasi keuangan demi mengembangkan model bisnis baru, membangun infrastruktur keuangan digital bagi sektor gig economy, dan mengakselerasi proses transformasi yang sedang berjalan.

Karena fokus menata kembali portofolio bisnisnya menuju digital, BRI Agro memperkirakan kinerja keuangannya mengalami perlambatan. Perusahaan telah menyiapkan sejumlah strategi untuk mengantisipasi hal tersebut hingga akhir 2021. Pihaknya menargetkan transisi ke digital ini dapat rampung di 2022.

Berdasarkan Laporan Tahunan 2020, BRI Agro awalnya didirikan untuk fokus melayani sektor agribisnis di Indonesia. Sebesar 50%-70% portofolio kredit BRI Agro disalurkan ke sektor on farm maupun off farm. Namun, sebagai digital attacker dari induk usaha BRI Group, perusahaan mulai melakukan transformasi digital dengan masuk ke segmen konsumer, ritel, dan ultra-mikro.

BRI Agro meluncurkan platform Pinjam Tenang (PINANG) yang merupakan pinjaman berbasis aplikasi pertama di Indonesia yang dimiliki oleh bank. Aplikasi PINANG menawarkan proses pendaftaran dan verifikasi digital, digital scoring, dan tanda tangan digital. Pada 2020, PINANG telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp70,6 miliar kepada 18.069 debitur.

Selain itu, BRI Agro juga bekerja sama dengan platform P2P Modal Rakyat untuk menyalurkan pinjaman ke segmen ultra mikro. Sinergi ini telah disepakati melalui penandatanganan MoU pada Desember 2020.

Pasar gig economy

BRI Agro kembali menambah deretan perbankan yang bertransformasi menjadi bank digital lewat rebranding. Jika beberapa bank digital baru mengincar segmen digital savvy dan kalangan milenial, BRI Agro mengambil strategi berbeda dengan masuk ke segmen gig economy.

Sektor gig economy umumnya identik dengan pekerja atau karyawan kontrak jangka pendek atau pekerja lepas (freelancer). Pelaku gig economy juga kerap diasosiasikan sebagai  yang punya lingkungan kerja dan jam kerja yang fleksibel sehingga berpotensi dieksploitasi.

Berdasarkan data internal BRI Agro, pekerja gig economy diproyeksikan mencapai 74,81 juta di 2025 dengan memperhitungkan perkembangan shifting digital. Menurutnya, jumlah pekerja gig economy di Indonesia terus bertambah setiap tahunnya, utamanya dipicu dari dampak pandemi Covid-19, yaitu sebesar 27,07% (YoY). Sementara, jumlah karyawan full time turun 8,84% (YoY).

Nama Asal Transformasi Tahun Pergantian
Bank Artos Bank Jago 2020
Bank Yudha Bhakti Bank Neo Commerce 2020
Bank Kesejahteraan Ekonomi Seabank 2021
Bank Harda Allo Bank 2021
Bank Bukopin Bank KB Bukopin 2021
Bank Net Syariah Bank Aladin Syariah 2021
BRI Agro Bank Raya 2021

Dalam konteks pekerja gig Indonesia, World Bank mengatakan bahwa pekerja gig digital kini menjadi batu loncatan besar di sektor tenaga kerja bagi kalangan anak muda. Ini menjadi satu peluang besar bagi pelaku digital, tetapi dengan catatan untuk sektor tertentu, baik dari sisi geografis maupun jenis pekerjaan.

Application Information Will Show Up Here