BI Gandeng BNI dan BukuWarung untuk Terus Dorong Adopsi QRIS

Bank Indonesia menggandeng PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) dan BukuWarung untuk terus mendorong perkembangan UMKM di tanah air dengan memanfaatkan cara pembayaran Quick Response Indonesia Standard (QRIS).

Continue reading BI Gandeng BNI dan BukuWarung untuk Terus Dorong Adopsi QRIS

Stripe Bersiap Masuk Indonesia di Tengah Persaingan Ketat Platform Pembayaran Digital Lokal

Tanda-tanda Stripe memasuki pasar Indonesia semakin kuat. Mereka sudah mengantongi status terdaftar dari Bank Indonesia sebagai penyelenggara teknologi finansial di bawah naungan PT Stripe Payment Indonesia. Tim lokal pun tampak sudah disiapkan — penulis sempat menemui seorang rekan yang terhubung dengan tim Stripe Indonesia melalui sambungan email.

Stripe menawarkan sistem pembayaran yang dapat diintegrasikan ke aplikasi digital melalui konektivitas API. Salah satu yang diunggulkan, platform tersebut dapat dengan mudah menerima pembayaran dari luar negeri.

Tidak hanya layanan pembayaran pada umumnya (payment gateway), Stripe juga memiliki produk yang memudahkan sistem berlangganan, pembuatan kartu pembayaran (virtual/fisik), hingga solusi fraud protection berbasis machine learning. Bisa dikatakan, Stripe adalah perwujudan payment service yang komplit untuk saat ini.

Sejauh pengamatan penulis di komunitas pengembang, Stripe juga cukup dikenal sebagai layanan yang “developer friendly”. Memiliki dokumentasi lengkap dan tergolong mudah diintegrasikan dengan sistem-sistem lainnya.

Salah satu tampilan dasbor Stripe untuk pengembang / Stripe
Salah satu tampilan dasbor Stripe untuk pengembang / Stripe

Peta platform pembayaran di Indonesia

Di Indonesia industri payment service sudah diramaikan nama-nama seperti Doku, Midtrans, Duitku, iPaymu, Duitku, dan lainnya. Diresmikannya QRIS juga menambah pilihan cara pembayaran baik bagi merchant maupun pengguna.

Midtrans misalnya, setelah diakuisisi oleh Gojek tidak mengendurkan inovasinya. Tercatat saat ini, selain layanan pembayaran, mereka memiliki IRIS sebuah solusi untuk layanan pengiriman dana ke banyak rekening bank.

Mereka juga memiliki Aegis, sebuah sistem yang mampu mendeteksi pembayaran yang dicurigai sebagai fraud. Tentunya berdasarkan analisis risiko yang dihasilkan dari data pengamatan pola penipuan yang ada. Sebuah solusi yang serupa dengan apa yang dihadirkan Stripe.

Inovasi juga terus dilakukan oleh Doku. Akhir 2019 silam mereka memperbarui Doku Merchant. Layanan yang identik dengan warna merah ini juga memiliki layanan remitansi yang memungkinkan melakukan transfer uang dari dalam maupun luar negeri. Doku juga memiliki layanan QRIS Doku yang diklaim memudahkan penggunanya mengimplementasi pembayaran menggunakan QRIS.

Jika akhirnya resmi masuk ke Indonesia Stripe akan meramaikan skema payment service di Indonesia. Persaingan yang cukup ketat dalam industri ini bisa jadi awal untuk lahirnya inovasi-inovasi terkini lainnya.

Stripe didirikan pada 2009 oleh John dan Patrick Collison bersaudara. Kini 11 tahun berjalan mereka berhasil mengamankan pendanaan hingga seri G+. Tercatat beberapa nama investor turut serta seperti Sequoia Capital, General Catalyst, dan beberapa nama lainnya. Setelah mengamankan pendanaan senilai pada putaran $600 juta Seri G+ pada April 2020 kini valuasi Stripe diperkirakan mencapai $36 miliar.

Netzme Kantongi Lisensi Uang Elektronik Bank Indonesia, Fokus Rangkul Pengguna dari Perkampungan

PT Netzme Kreasi Indonesia (Netzme) resmi mengantongi lisensi uang elektronik (e-money) dari Bank Indonesia (BI). Izin resmi ini digulirkan sejak 19 Desember 2019 dengan nomor surat 21/584/DKSP/Srt/B. Selain itu perusahaan juga mendapatkan izin sebagai Penyelenggara Transfer Dana dalam Rangka Penyediaan fitur Transfer Dana Melalui Uang Elektroik dengan nomor surat 21/585/DKSP/Srt/B.

Dengan keluarnya izin resmi dari BI, pihak Netzme lebih leluasa untuk mengoptimalkan inovasi yang ada guna menggenjot pertumbuhan bisnis dan menjangkau lebih banyak lagi pengguna.

Founder & CEO Netzme Vicky G. Saputra kepada DailySocial menceritakan bahwa izin yang mereka dapat minggu lalu diurus sejak dua tahun silam. Implikasinya tahun ini Netzme tidak banyak melakukan inovasi fitur karena fokus pada pemenuhan syarat yang diminta BI.

Vicky juga menceritakan, sejauh ini mereka sudah memiliki 2,5 juta pengguna aktif, 97% di antaranya berada di kota-kota kecil dan daerah pinggiran. Sesuai dengan target mereka yang berusaha menyediakan solusi bagi kalangan masyarakat yang sama sekali belum tersentuh layanan bank (unbankable).

Rangkaian strategi online dan offline akan terus ditingkatkan guna menjaring lebih banyak pengguna. Termasuk dengan membuat program eksklusif yang menyasar perkampungan dan pesantren. Program “1000 Kampung Digital” sendiri juga sudah dilaksanakan mulai tahun ini, menggandeng beberapa ambassador yang ditunjuk sebagai leader membantu masyarakat desa tertentu untuk lebih melek ke layanan teknologi finansial.

“Harapannya kita bisa back to kampung, pesantren seperti sebelumnya, dan comply dengan QRIS, (juga) memulai lagi proses IPO. Saya sih maunya sesegera mungkin, tapi belajar dari pengalaman kemarin yang pasti akan segera memulai prosesnya,” imbuh Vicky.

Lebih dari sekadar layanan pembayaran

Aplikasi Netzme didesain tidak hanya sebagai platform pembayaran. Di dalamnya dibubuhkan serangkaian fitur berbasis media sosial. Layaknya Facebook atau Twitter, pengguna dapat menemukan rekan baru, berkomunikasi, sampai membagikan kabar. Menariknya, jika di Facebook kita bisa memberikan Like, di Netzme pengguna bisa memberikan Like dalam bentuk nominal uang yang disebut Trulikes.

Konsep ini diyakini Netzme dapat mendukung terciptanya kreator-kreator konten andal, karena para pengikutnya dapat memberikan apresiasi lebih. Selain itu ada fitur lain seperti kuis online, game, dan berbagai kompetisi yang diadakan secara rutin.

Sebagai dasar layanan, layaknya aplikasi e-money lainnya, Netzme memungkinkan pengguna untuk melakukan berbagai pembayaran, mentransfer uang ke bank, membeli paket data/pulsa, atau melakukan pembayaran menggunakan kode QR.

Application Information Will Show Up Here

 

OJK Tegaskan Dukungan untuk Layanan Fintech di Indonesia

Melihat perkembangan layanan financial technology saat ini, Indonesia sudah menjadi pasar yang memiliki potensi sangat cerah dan banyak dilirik oleh startup fintech, baik lokal maupun asing. Masih sulitnya pelaku UKM untuk meminjam tambahan modal ke bank dinilai menjadi pemicu banyaknya layanan peer-to-peer (p2p) lending di Indonesia.

Dalam acara Fintech Inclusion Forum, Deputi Komisioner Institute OJK Sukarela Batunanggar menegaskan, perlunya perubahan yang cukup drastis dilakukan bank untuk bisa memberikan layanan yang lebih baik ke pelaku UKM. Makin maraknya layanan fintech saat ini diharapkan bisa menjadi pemicu bagi bank untuk bisa merevisi aturan mereka.

“Saat ini Bank Indonesia sudah menetapkan peraturan kepada bank untuk memberikan pinjaman 20% kepada pelaku UKM. Namun masih banyaknya aturan yang diterapkan untuk mereka masih menyulitkan pelaku UKM untuk mendapatkan pinjaman modal dari bank,” kata Sukarela.

Di situlah akhirnya layanan fintech mulai masuk dan memanfaatkan celah yang ada. Menurut Co-Founder & CEO Investree Adrian A. Gunadi, mengedepankan teknologi dan data alternatif layanan fintech mampu untuk memberikan solusi mudah dan cepat kepada peminjam yang kebanyakan berasal dari kalangan UKM.

“Bukan hanya pelaku bisnis tapi kalangan individu untuk berbagai kebutuhan sudah banyak memanfaatkan layanan fintech, karena kemudahan dan akses cepat yang ditawarkan,” kata Adrian.

Namun demikian, agar layanan fintech bisa berjalan dengan baik, harus tetap melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan regulator, dalam hal ini adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan kerangka dan struktur yang ditetapkan, bisa meminimalisir terjadinya layanan fintech yang terlalu banyak dan tidak terdaftar seperti yang terjadi di Tiongkok.

Untuk itu OJK berencana untuk mendirikan fintech center pada pertengahan bulan Agustus 2018 mendatang. Nantinya semua peraturan OJK yang akan diterbitkan bakal diumumkan secara terbuka dan transparan di fintech center tersebut.

Konsolidasi bank dan layanan fintech

Agar pertumbuhan layanan fintech bisa sempurna, teknologi tidak selalu menjadi andalan. Dalam hal ini Sukarela menyebutkan peranan agen untuk melakukan verifikasi calon nasabah juga bisa membantu akuisisi nasabah yang terdaftar dengan tepat. Perusahaan fintech harus bisa melakukan verifikasi data untuk bisa menyediakan layanan keuangan kepada pelaku UKM. Kolaborasi antara bank dengan layanan fintech juga bisa membantu mempercepat pertumbuhan layanan fintech dibawah naungan regulatory sandbox dari OJK.

“Tantangannya bagaimana mengimplementasikan dengan bank, saat ini saya melihat sudah ada 10 bank ternama di Indonesia yang mulai ‘open’ dan bersedia untuk melakukan kolaborasi dengan layanan fintech,” kata Adrian.

Untuk memastikan kolaborasi antara bank dan layanan fintech bisa berjalan dengan baik, OJK akan melakukan monitoring sekaligus memberikan saran kepada bank agar bisa lebih open. Tidak hanya kepada layanan fintech, tetapi juga persaingan dengan bank lain.

“Bagi kami di OJK penting bisa memfasilitasi kompetisi, dalam hal ini melakukan konsolidasi dengan bank dan menyediakan bank “ruang” untuk melakukan konsolidasi. Kami juga meminta bank untuk melakukan revisi dan membuat framework open policy,” kata Sukarela.

Kudo Dikabarkan Jadi Kendaraan Legal GrabPay di Indonesia

Setelah resmi mengumumkan akuisisinya atas Kudo sejak awal April lalu, Grab mulai memperlihatkan strategi bisnis atas langkahnya tersebut. Kudo disebutkan menjadi kendaraan legal untuk memperkuat penetrasi GrabPay di Indonesia. Sebagai sebuah layanan dompet digital, syarat kepemilikan lisensi e-money dari Bank Indonesia tentu menjadi dasar yang wajib diperjuangkan. Rumor lain adalah hadirnya Country Manager tersendiri untuk GrabPay di Indonesia, meskipun kami belum mendapatkan konfirmasi soal ini.

Hal ini bukan cara baru yang dilakukan perusahaan seperti Grab. Rivalnya di Indonesia, GO-JEK, melakukan hal serupa, dengan mengakuisisi MV Commerce untuk mendapatkan lisensi e-money dan memindahkan lisensi tersebut ke PT Dompet Anak Bangsa, sebuah unit bisnis terpisah yang khusus mengurusi GO-PAY.

Mendapatkan perizinan e-money bukan perkara mudah, sejauh ini yang telah terdaftar di situs BI baru 25 perusahaan saja, didominasi perbankan dan perusahaan telekomunikasi. Kudo akan berperan sangat penting untuk Grab, kredibilitasnya di pasar Indonesia menjadi sebuah kendaraan berharga untuk menguatkan Grab dalam peperangan di industri ini.

Dua raksasa ride sharing ini memang tak lagi dihadapkan pada persaingan di vertikal layanan transportasi. Lebih dari itu, sistem pembayaran akan berkontribusi lebih maksimal bagi RoI (Return on Investment) bisnis.

Babak baru industri on-demand adalah tentang persaingan kekuatan sistem pembayaran GO-PAY dan GrabPay. Sementara rival lainnya, Uber, belum sampai pada titik tersebut di Indonesia.

Induk Bisnis Fastpay dan WinMarket Peroleh Izin Penerbitan E-Money dari BI

Satu lagi penyedia layanan e-money mendapatkan perizinan resmi penyelenggara uang elektronik dari Bank Indonesia (BI). Tepatnya per 14 Juni 2017 lalu, dengan nomor izin 19/467/DKSP/Srt/B, PT Bimasakti Multi Sinergi (BM) resmi terdaftar.

BM dikenal sebagai perusahaan ritel yang mengoperasikan beberapa unit digital. Salah satunya WinMarket, sebuah layanan e-commerce yang menyasar segmentasi khusus pasar UMKM di Indonesia. Selain itu BM juga menjadi perusahaan penggerak layanan e-payment Fastpay.

Total ada 10 unit bisnis digital yang dikelola BM, yakni: Fastpay, BebasBayar, SpeedCash, FastTravel, TiketKAI.com, JadiPergi.com, RajaBiller, GigaPulsa, WinMarket dan PlasaMall.

Kami sudah mencoba menghubungi tim komunikasi BM untuk mendapatkan informasi seputar visi e-money dalam platform yang mereka miliki. Jika melihat spesifikasi unit bisnis yang dimiliki, kemungkinan besar akan ada semacam integrasi antara satu layanan dengan lainnya melalui Fastpay.

Penerbitan izin ini menambah jajaran perusahaan e-money lokal yang berizin resmi, setelah sebelumnya penggarap GudangVoucher juga mendapatkan perizinan dari BI.

[Baca juga: Angin Segar dari Bank Indonesia tentang Lisensi Uang Elektronik]

Jika berbicara tentang bisnis finansial secara umum, saat ini memang dominasi penetrasi masih banyak dikuasai oleh sistem pembayaran dan p2p lending. Menariknya keduanya kini telah mendapatkan dukungan oleh regulator, kaitannya dengan izin operasi. Salah satu fungsinya untuk memastikan kredibilitas setiap layanan, karena walau bagaimanapun apa yang disuguhkan berdampak langsung pada perputaran finansial di masyarakat.

Berbicara tentang data potensi uang elektronik di Indonesia, data statistik dari BI sepanjang tahun 2016 menerangkan jumlah uang elektronik beredar mencapai 51,2 juta kartu, tumbuh 49,22% secara year-on-year (YOY). Sementara dari segi volume transaksi 683,13 juta tumbuh 27,6% dengan nominal transaksi tumbuh 33,69% senilai Rp7,06 triliun.

Dari sebuah survei yang melibatkan lebih dari 1000 responden di kalangan konsumen pada awal tahun 2017 lalu menunjukkan statistik  52,49% dari responden survei menyatakan bahwa siap untuk beralih ke layanan pembayaran digital di waktu mendatang.

Saat berbicara spesifik terhadap generasi millennials (menyurvei 689 responden dari seluruh wilayah Indonesia), 63% di antaranya sudah mulai memanfaatkan layanan pembayaran digital.

Bank Indonesia Longgarkan Aturan Layanan Keuangan Digital

Pemerintah tampaknya sangat mendukung layanan keuangan digital (LKD). Salah satu contoh kebijakan pemerintah yang mendukung LKD ini adalah Surat Edaran Nomor 18/21/DKSP tentang Kemudahan Layanan Keuangan Digital yang dikeluarkan BI. LKD atau yang merupakan bagian dari teknologi finansial ini merupakan salah satu sektor yang dinilai bisa memberikan banyak dampak positif. Seperti menunjang transaksi cashless dan juga kemudahan untuk berbagai macam transaksi.

Surat edaran ini secara garis besar mengandung tujuh aspek mengenai LKD. Aspek-aspek tersebut meliputi peningkatan batas tertinggi uang elektronik terdaftar yang semula 5 juta menjadi 10 juta Rupiah, penyesuaian pengaturan pelaksanaan uji coba penyelenggaraan uang elektronik, kemudahan dari BI untuk penyelenggara uang elektronik yang telah mendapat izin, dan beberapa hal lainnya.

Dari beberapa poin yang tertuang dalam surat edaran tersebut bisa disimpulkan BI sedikit melonggarkan aturan-aturan mengenai LKD ini. Terbitnya surat edaran ini disambut positif oleh bankir. Mereka yang terjun dalam LKD berharap dengan adanya pelonggaran aturan ini bisa meningkatkan jumlah dan nilai transaksi uang elektronik.

Direktur Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) memprediksi kenaikan batas plafon uang elektronik ini akan mampu meningkatkan transaksi dan juga semakin mendorong invasi produk uang elektronik. Hal senada juga dilontarkan Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Santoso Liem. Ia menilai bisnis uang elektronik akan semakin berpeluang tumbuh lebih cepat dengan adanya penambahan plafon ini. Efek lain yang bisa ditimbulkan adalah semakin leluasanya para nasabah dalam bertransaksi.

Dalam surat edaran yang diterbitkan BI ini juga disebutkan bahwa salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan penggunaan uang elektronik dan mendorong peningkatan transaksi non tunai.

Regulasi Untuk Perusahaan Fintech Indonesia Tengah Dibuat OJK

Seperti yang telah banyak diprediksi, layanan finansial berbasis teknologi (fintech) tahun 2016 ini akan semakin muncul di permukaan. Bukan hanya oleh startup lokal, namun juga startup asing yang membidik pasar fintech global.

Selama ini di Indonesia belum ada regulasi yang mengatur jalannya bisnis yang ditawarkan oleh perusahaan fintech. Sementara itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga kini masih berfungsi sebatas pengawas dan mengontrol seluruh aktivitas yang ada, tanpa memberikan peraturan yang khusus untuk seluruh kegiatan perusahaan fintech di Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, OJK melalui Komisaris Pengawas Industri Keuangan Non-Bank Dumoli Pardede mengungkapkan saat ini tengah membuat peraturan yang tepat khusus untuk perusahaan fintech di Indonesia.

“Saat ini semua perusahaan fintech yang ada di Indonesia masih menjalankan bisnisnya sesuai dengan peraturan yang ada, rencananya tahun ini OJK dibantu dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akan mengeluarkan peraturan baru khusus untuk perusahaan fintech di Indonesia,” kata Dumoly kepada Dealstreetasia.

Nantinya peraturan yang baru akan mencakup kepada teknologi, keamanan, sumber daya manusia, pengelolaan dan manajemen risiko. Dalam hal ini seluruh perusahaan fintech di Indonesia bisa mendapatkan izin dari Kominfo, namun untuk izin usaha harus melalui OJK, terutama bagi perusahaan yang terlibat dalam jasa keuangan.

Untuk memperkuat keberadaan perusahaan fintech di Indonesia sebelum memulai usaha, harus mengantongi izin dari Bank Indonesia (BI) jika berencana untuk memberikan layanan kepada masyarakat, ketentuan tersebut diatur dalam peraturan No.15/11/PBI/2013.

Sebelumnya OJK juga telah mengeluarkan peraturan untuk venture Capital (VC), investor dan lainnya untuk menyediakan dana sebesar Rp. 50 miliar ($ 3,6 juta) untuk sebuah perseroan terbatas (PT) dan Rp. 25 miliar untuk CV.

VC juga harus berfungsi sebagai mitra dengan startup yang di investasikan, berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh kementrian perdagangan.

Hingga akhir tahun 2015 Indonesia telah menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang banyak di incar bukan hanya dari startup dan perusahaan teknologi asing saja, namun juga investor dan VC secara global.

Diprediksi juga Indonesia akan menjadi e-commerce dan startup hub di Asia Tenggara, yang telah berhasil menarik perhatian para investor dari Singapura, Malaysia, Jepang, negara-negara Asia Barat dan masih banyak lagi.

Melanggar Undang-Undang, Penggunaan Bitcoin di Indonesia Belum Tamat

Bank Indonesia (BI) sebagai regulator sistem pembayaran di wilayah Republik Indonesia menyatakan bahwa penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran melanggar undang-undang. Meskipun demikian, sebenarnya Bank Indonesia tidak sepenuhnya melarang penggunaan mata uang virtual ini karena tidak ada sanksi yang diberlakukan jika ada sekelompok masyarakat yang menggunakannya.

Continue reading Melanggar Undang-Undang, Penggunaan Bitcoin di Indonesia Belum Tamat