Bank Raya: Kami Ingin Dorong Pekerja “Gig Economy” Naik Kelas

Dalam wawancara eksklusif DailySocial, Direktur Utama Kaspar Situmorang cukup banyak menyoroti manajemen aset dan liabilitas sebagai manifestasi untuk bertransformasi melayani pekerja gig economy atau pekerja informal. Ia punya misi jangka panjang, yakni menaikkelaskan pelaku gig economy, baik itu pemilik warung makan, pedagang, atau pekerja salon.

Kaspar, yang sebelumnya menjabat EVP Digital Banking BRI, berupaya memanfaatkan kekuatan ekosistem milik induk usaha untuk mencapai misi tersebut.

Bagaimana strategi dan pengembangan produk usai berganti identitas menjadi Bank Raya?

Bagaimana proses transformasi Bank Agro ke Bank Raya?

Jawab: Transformasi ini berawal dari buah pikiran Sunarso, Direktur Utama BRI, untuk melakukan transformasi digital BRIvolution. Goal-nya adalah go smaller, go faster, go shorter, dan go cheaper. Melayani sebanyak mungkin dengan biaya sekecil mungkin.

Ada dua objek transformasi [BRI Agro], yakni digital dan work culture. Kedua hal ini telah dirancang Pak Sunarso sejak 2017, di mana saat itu eksekusinya dilakukan bersama Pak Indra Utoyo sebagai Direktur Operasi dan Teknologi Informasi dan Digital Center of Excellence (DCE). Kami siapkan SDM, teknologi, dan data. Pak Sunarso tanya apakah kita sudah siap, karena saat itu kompetitor sudah mulai jalan. Karena Pak Indra Utoyo bilang sudah siap, keputusan diambil pada April 2021 untuk pivot Agro menjadi bank digital BRI.

Identitas Agro berganti menjadi Raya pada April 2021. Fokusnya menjadi digital attacker Grup BRI agar dapat mengamplifikasi layanan perbankan digital secara maksimal. Pembukaan [rekening], pinjaman dilakukan secara digital. Tidak ada manusia di tengah-tengah.

Bagaimana transisi leadership Anda dari BRI ke Bank Raya?

J: Saya banyak belajar kepemimpinan dari Pak Sunarso dan Pak Indra Utoyo. Mereka mengajarkan leadership itu harus by example, memiliki framework, dan kerangka berpikir. Jadi tidak mengarang. Kepemimpinan harus memiliki kompetensi pada pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Tanpa ketiganya tidak bisa. Jadi, kita harus bisa fit karakter dan model kepemimpinan sesuai perusahaan dan ekosistemnya. Saya merasa fit dengan ekosistem karena belajar dari mereka.

Pak Sunarso juga menciptakan ruang kepemimpinan bagi generasi muda yang bekerja di Grup BRI di anak-anak usaha, baik itu Raya, Pegadaian, atau PNM. Mereka ditempatkan di sana untuk mengasah problem solving, strategic thinking, maupun eksekusi.

Bagaimana framework transformasi Raya?

J: BRI punya framework transformasi digital yang fokus pada pilar eksploitasi dan eksplorasi. Di sisi eksplorasi, bank digital adalah outcome sebagai potensi bisnis dan revenue stream baru bagi Grup BRI. Dengan begitu kami tidak didisrupsi. BRI juga mengirimkan beberapa puluh orang dari divisi Digital Center of Excellence (DCE) ke Raya, termasuk saya, untuk membangun produk, IT, basis data, dan keamanan lebih cepat.

Setelah Bank Raya berdiri, kami menyederhanakan framework ke dalam tiga pilar; digital, digitize, dan revamp. Pilar digital fokus pada pengembangan produk keuangan, tabungan atau pinjaman, secara end-to-end. Pilar digitize fokus pada business process karena sebelumnya masih terbilang toxic. Kami perbaiki semua agar model bisnis digital ini dapat berjalan lancar. Banyak proses di perbankan yang harus didigitasi agar bisa align dengan pilar pertama.

Pilar revamp adalah menata kembali business legacy. Bank Raya bukan barang baru yang [setelah transformasi] lalu siap lari. Sebelumnya Agro bermain di sektor sawit. Kemudian, kami hentikan kredit korporasi dan tata ulang. Ada beberapa cabang ditutup, ada juga yang dialihfungsikan supaya biaya lebih optimal. Utamanya, supaya [transformasi] pada aspek people dan work culture bisa maksimal.

Aspek keuangan itu adalah outcome, tapi di bawahnya ada customer, business process, dan people. Kalau sudah di-retrain, rescale, mereka bisa melayani customer, karena ini adalah bisnis jasa.

Mengapa mengincar pasar gig economy?

J: Visi-misi Raya adalah menjadi house of fintech dan home for gig economy. Mengapa? Dengan memiliki manajemen aset dan liabilitas yang lebih baik, gig economy akan semakin bertumbuh. Data BPS di 2020 menunjukkan bahwa ada sekitar 46 juta pekerja informal tanpa slip gaji. Proyeksinya bertambah menjadi 74 juta pada 2024. Ini menjadi hipotesis kami melayani pekerja gig economy.

Untuk memahami perbankan, kita harus belajar pohon ilmunya, yakni manajemen aset dan liabilitas. Apapun banknya, baik itu bank digital, bank hybrid, atau bank syariah, semua akan fokus pada kedua hal itu.

Dulu Agro memiliki dana dan simpanan dalam jangka pendek, tetapi kreditnya jangka panjang. Kredit korporasi punya tenor 5-10 tahun. Namun, sumber pendanaan berjangka pendek semua, 3 bulan. Ini sulit. Makanya, kami transformasi Raya dengan mengubah manajemen aset dan liabilitasnya. Pinjaman jangka panjang diubah menjadi harian dengan sumber pendanaan bulanan.

Kami survei untuk validasi masalah. Pekerja ini butuh kasbon dengan kredit pendek-pendek. Pembayaran dipotong ketika gajian. Jadi, [kebutuhan] kredit harian dan sumber dana bulanan match dengan pasar pekerja gig economy yang kami bidik melalui produk tabungan dan pinjaman digital kami. Ini hal menarik yang terjadi di era kita. Tanpa validasi pasar, kebutuhan, dan user experience, mengembangkan sesuatu tidak akan ada fokusnya.

Lalu, mengapa house of fintech? Sewaktu menjadi EVP di BRI, kami mendapat amanah untuk membangun BRI Ventures dengan modal awal Rp1,5 triliun. Kami mulai investasi di startup tahap awal hingga unicorn karena kami lihat disrupsi akan datang dari non-bank. Jadi kami harus menyelami cara berpikir.

Dari sini kami melihat bagaimana Raya bermetamorfosis menjadi platform. Apapun layanan di Raya, itu harus bisa bermetamorfosis menjadi platform yang kami sebut Raya API. Kami percaya melalui open API, kami dapat mengintegrasikan ekosistem. Raya bekerja sama dengan BRI, itulah cara kami merajut ekosistem.

Bagaimana memanfaatkan ekosistem milik BRI?

J: Kami belajar dari WeBank dan KakaoBank, yang sudah profit, bahwa ekosistem merupakan kunci keberhasilan. Tanpa itu, tidak mungkin main di bank digital. Kalau menjadi bank hybrid, cost of acquisition tinggi dan customer lifetime tidak lama. Jadi, ekosistem adalah harga mati. Makanya, BRI mengamanahkan ekosistem BRILink agar dapat dikelola Raya, baik dari sisi manajemen aset maupun liabilitas.

Selain itu, bank, khususnya bank digital, jika ingin survive harus memiliki strategi yang spesifik pada manajemen aset dan liabilitas. Dari sudut pandang bankir, bank tanpa kedua hal ini pasti gagal. Prinsip ini kami terapkan di internal untuk menciptakan keunggulan produk. Saya melihat banyak bank di Indonesia yang [menawarkan] pinjaman dengan tenor tahunan, tetapi sumber pendanaan jangka pendek. Belum ada yang harian seperti kami.

Kami diberi amanah oleh BRI untuk menyelesaikan isu likuiditas yang dialami agen BRILink melalui pinjaman PINANG. Mereka punya uang kas banyak, tetapi saldo BRILink sedikit. Jadi, sulit untuk bertransaksi karena tidak ada saldo. Ketika mau setor uang, bank sudah keburu tutup. Makanya, dana talangan ini dapat dipakai untuk kebutuhan cepat. Kira-kira ada sekitar setengah juta agen BRILink di Indonesia.

Bank Raya sudah menyalurkan hampir setengah triliun disbursement ke 12.000 agen BRILink. Target kami dapat mengakuisisi 50.000 agen BRILink. Integrasinya sudah seamless sehingga agen BRILink tidak perlu ganti aplikasi karena PINANG sudah embed di dalam aplikasinya. Model transformasi manajemen aset dan liabilitas ini diterjemahkan ke dalam bentuk API dan web view dengan BRILink sebagai salah satu mitra kami.

Bagaimana profil pengguna Bank Raya? Fitur apa saja yang akan disiapkan?

J: Kami melihat profil pengguna tabungan Raya sudah melek digital. Pada 2020 ada banyak lay off pekerja karena pandemi. Menurut data BPS, mereka yang terkena lay off memanfaatkan banyak aplikasi di smartphone untuk mencari penghasilan. Misalnya, ojek online atau berjualan online. Artinya, pekerja gig economy ini adalah pekerja produktif yang memanfaatkan smartphone.

Gig economy sangat luas sekali. Kami membagi target pasar kami ke dalam tiga kategori, yakni F&B, retail, dan jasa. Dari ketiga sektor ini, kami coba garap fitur sesuai kebutuhan mereka. Semoga bisa kami rilis tahun ini. Kami belum bisa share banyak, tetapi fitur ini berkaitan dengan payroll. Kami ingin bantu pekerja gig supaya naik kelas. Sayang kalau mereka tidak bisa ajukan kredit motor atau KPR hanya karena tidak ada slip gaji. Ini yang bakal mentransformasikan pasar gig economy di Indonesia.

Raya juga bersinergi dengan aplikasi BRImo untuk pembukaan rekening. Kami mendapat izin yang memampukan pengguna memiliki simpanan yang di-embed di aplikasi BRImo. Jadi, customer tidak perlu keluar dari ekosistem BRI. Inilah mengapa kami diminta menjadi digital attacker BRI sehingga dapat leverage kekuatan sendiri.

Kami juga sinergi untuk tarik/setor tunai di seluruh ATM milik BRI tanpa kartu yang [meluncur] Agustus nanti. Transaksinya hanya menggunakan aplikasi dan memakai token. Raya akan kami arahkan untuk cardless dan cashless dengan pembayaran menggunakan QRIS. Selain itu, kami berencana masuk ke produk pinjaman dengan BRI secara cardless. Kami tidak mengajukan izin sebagai issuer sehingga kami pakai [lisensi] BRI sebagai issuer.

Semua ini menjadi pintu masuk ke BRI. Apabila basis pengguna tabungan Raya sudah terbentuk, mereka bisa naik kelas ke pinjaman di atas Rp1 miliar misalnya. Ini akan kami refer ke BRI.

Bagaimana Anda melihat kompetisi bank digital saat ini?

J: Setiap bank memiliki keunggulan dan ekosistem masing-masing. PR kami adalah bagaimana mentransformasi manajamen aset dan liabilitas dengan disipilin pada eksekusinya. Kata kunci keberhasilannya adalah mereka yang paling disiplin, paling cepat, dan paling konsisten dalam menciptakan keunggulan yang berkesinambungan. Dalam perbankan ini artinya cost of acquisition paling rendah dengan customer lifetime value paling tinggi.

Termasuk juga bagaimana media dapat mengedukasi pasar bahwa bank digital tidak hanya bicara soal valuasi, tetapi menciptakan nilai tambah dari ekosistem yang diamanahkan kepada kami.

Application Information Will Show Up Here

BRI Agro Ganti Nama Jadi Bank Raya, Incar 7 Juta Nasabah “Gig Economy”

PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (BRI Agro) resmi berganti nama menjadi PT Bank Raya Indonesia Tbk (Bank Raya) yang disetujui lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Senin (27/9). Sebagai langkah transformasi menjadi bank digital, Bank Raya akan membidik target pasar pekerja informal atau gig economy di 2022.

Dihubungi secara terpisah DailySocial.id, Direktur Utama Kaspar Situmorang mengatakan Bank Raya akan fokus melayani segmen pasar yang terbiasa memakai smartphone dan layanan perbankan digital untuk memaksimalkan pendapatannya (underbanked). Sementara, BRI akan fokus melayani nasabah ultra mikro (unbanked).

“Kami menargetkan nasabah sebanyak 10% atau sekitar 6-7 juta pekerja dari total proyeksi 74 juta pekerja gig dalam lima tahun ke depan. Beberapa contoh pekerja gig economy yang kami incar, misalnya agen perbankan (laku pandai), merchant e-commerce, logistik, dan merchant F&B,” ungkap Kaspar.

Saat ini, proses transformasi digital Bank Raya tengah berjalan, baik pada bisnis model baru maupun pembenahan bisnis existing. Transformasi ini akan berfokus pada tiga pilar utama, yaitu (1) mengembangkan produk digital lending dan saving secara end-to-end, (2) mendigitalkan pengembangan bisnis secara online-to-offline (O2O), dan (3) melakukan revamp dengan menata bisnis existing, mengoptimalkan efisiensi proses bisnis, serta memperkuat pengembangan SDM.

“Pengembangan produk kami akan menggunakan pendekatan customer experience berbasis B2B2C. Untuk digital saving dan digital lending, kami membuat produk yang dapat dipakai di platform partner dengan mudah dan aman. Kami harap bisa melakukan penetrasi pasar dengan biaya akuisisi pelanggan yang paling rendah dan customer lifetime value yang paling tinggi lewat produk berbasis B2B2C ini,” papar Kaspar dalam pesan singkat.

Selain menyetujui pergantian identitas baru, BRI Agro berencana menerbitkan 2.150.000.000 lembar saham dengan nilai Rp100 per saham melalui skema PMHMETD atau 9,96% dari modal ditempatkan dan disetor penuh. Dana ini akan dipakai untuk memperkuat fondasi keuangan demi mengembangkan model bisnis baru, membangun infrastruktur keuangan digital bagi sektor gig economy, dan mengakselerasi proses transformasi yang sedang berjalan.

Karena fokus menata kembali portofolio bisnisnya menuju digital, BRI Agro memperkirakan kinerja keuangannya mengalami perlambatan. Perusahaan telah menyiapkan sejumlah strategi untuk mengantisipasi hal tersebut hingga akhir 2021. Pihaknya menargetkan transisi ke digital ini dapat rampung di 2022.

Berdasarkan Laporan Tahunan 2020, BRI Agro awalnya didirikan untuk fokus melayani sektor agribisnis di Indonesia. Sebesar 50%-70% portofolio kredit BRI Agro disalurkan ke sektor on farm maupun off farm. Namun, sebagai digital attacker dari induk usaha BRI Group, perusahaan mulai melakukan transformasi digital dengan masuk ke segmen konsumer, ritel, dan ultra-mikro.

BRI Agro meluncurkan platform Pinjam Tenang (PINANG) yang merupakan pinjaman berbasis aplikasi pertama di Indonesia yang dimiliki oleh bank. Aplikasi PINANG menawarkan proses pendaftaran dan verifikasi digital, digital scoring, dan tanda tangan digital. Pada 2020, PINANG telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp70,6 miliar kepada 18.069 debitur.

Selain itu, BRI Agro juga bekerja sama dengan platform P2P Modal Rakyat untuk menyalurkan pinjaman ke segmen ultra mikro. Sinergi ini telah disepakati melalui penandatanganan MoU pada Desember 2020.

Pasar gig economy

BRI Agro kembali menambah deretan perbankan yang bertransformasi menjadi bank digital lewat rebranding. Jika beberapa bank digital baru mengincar segmen digital savvy dan kalangan milenial, BRI Agro mengambil strategi berbeda dengan masuk ke segmen gig economy.

Sektor gig economy umumnya identik dengan pekerja atau karyawan kontrak jangka pendek atau pekerja lepas (freelancer). Pelaku gig economy juga kerap diasosiasikan sebagai  yang punya lingkungan kerja dan jam kerja yang fleksibel sehingga berpotensi dieksploitasi.

Berdasarkan data internal BRI Agro, pekerja gig economy diproyeksikan mencapai 74,81 juta di 2025 dengan memperhitungkan perkembangan shifting digital. Menurutnya, jumlah pekerja gig economy di Indonesia terus bertambah setiap tahunnya, utamanya dipicu dari dampak pandemi Covid-19, yaitu sebesar 27,07% (YoY). Sementara, jumlah karyawan full time turun 8,84% (YoY).

Nama Asal Transformasi Tahun Pergantian
Bank Artos Bank Jago 2020
Bank Yudha Bhakti Bank Neo Commerce 2020
Bank Kesejahteraan Ekonomi Seabank 2021
Bank Harda Allo Bank 2021
Bank Bukopin Bank KB Bukopin 2021
Bank Net Syariah Bank Aladin Syariah 2021
BRI Agro Bank Raya 2021

Dalam konteks pekerja gig Indonesia, World Bank mengatakan bahwa pekerja gig digital kini menjadi batu loncatan besar di sektor tenaga kerja bagi kalangan anak muda. Ini menjadi satu peluang besar bagi pelaku digital, tetapi dengan catatan untuk sektor tertentu, baik dari sisi geografis maupun jenis pekerjaan.

Application Information Will Show Up Here

Menjawab Tantangan Bisnis Bagi Pelaku UMKM di Era Pandemi Lewat Digitalisasi

Tantangan mengakselerasi pertumbuhan industri usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia kian dinamis. Terlebih di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ekonomi akibat pandemi, strategi yang dipasang perlu dicermati dengan seksama agar tidak salah langkah. Kontribusinya yang krusial di kancah perekonomian Indonesia, membuat industri UMKM patut memperoleh perhatian khusus, baik itu dari regulator, maupun institusi swasta yang berasal dari berbagai macam industri. Transformasi digital dinilai punya peranan penting untuk mendorong pertumbuhan tersebut, di samping adanya berbagai tantangan yang akan dihadapi selama masa pandemi ini hingga sesudahnya. Lalu apa saja yang sekiranya bakal menjadi babak selanjutnya bagi pelaku industri UMKM?

Digitalisasi masih menjadi kunci. Transformasi digital bagi pelaku UMKM yang sejatinya telah digaungkan bertahun-tahun ke belakang, dinilai perlu didorong lebih kuat lagi. Manfaatnya diyakini tak hanya bisa mempertahankan bisnis, namun juga bisa membuka peluang lebar yang menguntungkan di tengah masa penuh tantangan saat ini. Dalam diskusi panel virtual bertajuk “A new hope: What’s next for the SME’s in the digital era” yang diprakarsai oleh KoinWorks, pemanfaatan kanal digital diklaim tak hanya berhasil meningkatkan performa bisnis, namun juga berhasil membuka kemungkinan ekspor bagi para pelaku UMKM.

Dalam pemaparannya, Benedicto Haryono selaku CEO KoinWorks mengungkapkan, sebanyak 5% pelaku UMKM mampu melakukan ekspor yang dimungkinkan melalui dukungan teknologi eCommerce.

“Walaupun kita melihat UMKM masih memberikan peran yang sangat kecil untuk ekspor [dari target pemerintah], tapi kita melihat sudah ada potensinya. Dengan mereka onboarding ke digital, mereka bisa mengakses customer based di pasar internasional yang mungkin sebelumnya secara offline sulit untuk digapai. Tentunya dengan adanya kanal eCommerce sudah ada beberapa pelaku UMKM yang berhasil mencakup pasar Asia Tenggara,” ungkapnya.

Temuan terkait nilai ekspor tadi juga didukung oleh situasi dan tren pebisnis UMKM yang saat ini mulai banyak menghadirkan bisnisnya secara ‘hybrid’, yakni berada di kanal offline dan juga online. “Berdasarkan riset yang kami lakukan dan juga dari data-data publik, kita melihat ada sebanyak 48% pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya di ranah offline sekaligus online, menariknya lagi kita juga melihat dengan lebih banyaknya kanal digital yang dimanfaatkan, pebisnis juga mampu meningkatkan penjualan mereka secara signifikan,” tambah Benedicto.

Seiring dengan tren peningkatan digitalisasi di industri UMKM, inklusi keuangan juga disorot selaras dengan pertumbuhan tersebut. Seperti yang disampaikan oleh Rose Dian Sundari, Deputi Direktur Pengembangan Inklusi Keuangan OJK yang mengatakan, digitalisasi menjadi salah satu hal yang masuk sebagai strategi atau agenda dalam strategi percepatan inklusi keuangan nasional. Dalam pemaparannya disebutkan, dalam program strategi nasional keuangan inklusif OJK, digitalisasi mengambil bagian penting, khususnya dalam hal edukasi keuangan, dan juga fasilitas intermediasi dan saluran distribusi keuangan.

“Dalam hal ini OJK terlibat langsung dalam strategi edukasi, fasilitas intermediasi dan saluran distribusi, dan juga terkait perlindungan konsumen,” tuturnya.

Senada dengan pihak OJK, pihak institusi jasa perbankan yang diwakili oleh BRI Agro juga tak melewatkan menyambut positif perihal digitalisasi yang mendorong kemajuan industri UMKM. Pembiayaan bank berbasis digital menjadi salah satu poin penting dalam rancangan strategi BRI Agro dalam memperluas akses pendanaan bagi UMKM. Menurutnya, strategi tersebut direalisasikan BRI Agro dalam bentuk pengembangan produk pinjaman dan tabungan yang seluruhnya terintegrasi penuh secara digital.

Kolaborasi dengan pelaku financial technology (fintech) turut pula dilakukan oleh BRI Agro. Dalam salah satu upaya pemulihan industri UMKM akibat pandemi, pihaknya telah menjalin kerja sama dengan KoinWorks untuk jangkauan pendanaan yang lebih luas dari sebelumnya.

“Melalui sinergi dan kemitraan dengan pelaku fintech, penyaluran pendanaan kami bisa dikatakan sangat menggembirakan, hingga saat ini sudah ada sekitar 828 ribu pelaku UMKM potensial yang terjangkau, dan juga sudah ada sekitar 92 miliar lebih dana yang disalurkan melalui kemitraan kami dengan KoinWorks. Kami harap kedepannya dari kerja sama ini bisa sustain, dan juga tentu dapat menjangkau pelaku UMKM yang lebih banyak lagi agar kita bisa memberikan impact yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tutur Bhimo Wikan Hantoro selaku Direktur Digital Bisnis BRI Agro.

Digitalisasi rupanya masih disepakati menjadi kunci utama dalam pertumbuhan industri UMKM yang semakin masif lagi di masa mendatang. Dari panel diskusi virtual yang diselenggarakan oleh KoinWorks, bisa dilihat bahwa kolaborasi apik antara regulator, institusi keuangan, dan penyedia teknologi finansial mampu mempercepat upaya transformasi digital UMKM untuk menghadapi tantangan pasar di era pandemi dan sesudahnya. Sangat menarik untuk disimak kolaborasi seperti apa yang nantinya akan terjadi di masa mendatang untuk kemajuan UMKM dan perekonomian digital Indonesia.

Sebagai super financial-app terkemuka di Indonesia, KoinWorks juga telah merilis laporan yang bertajuk “Digital SME Confidence Index 1st Half of 2021”. Dalam laporan tersebut, transformasi digital berhasil mendorong indeks confidence dan optimisme dari pelaku UMKM dalam menghadapi pandemi lewat bisnis digital. Untuk insight selengkapnya, laporan tersebut dapat Anda unduh di halaman ini.

Bank Jago Officially Launched Digital Financial App, to Focus on Life Centricity

After almost a year of transition, PT Bank Jago Tbk (ARTO) officially introduced the Jago app to the public. This platform provides digital financial services that focus on life-centricity with a collaborative ecosystem approach.

“In order to present innovative and collaborative solutions, we work closely with the ecosystem. We expect this application can provide financial access to the wider community and accelerate financial inclusion. There are many segments we still want to reach in Indonesia,” Bank Jago’s President Director, Kharim Indra Gupta Siregar said at the launching of Jago app in Jakarta.

Currently, Jago app only provides several financial services, such as transfers, bill payments, and e-wallet top ups. Going forward, the company will add more services to target the digital savvy and mass market segments in the middle class, both individuals and entrepreneurs.

This is one of the initiatives of its strategic partnership with Gojek, which is a service that allows millions of customers to open Jago Bank accounts directly through the ride-hailing platform. “Regarding [the partnership with Gojek], our team is still working on the integration process,” Kharim added.

Review of Jago app

Bank Jago claims to be a fully tech-based digital bank. Kharim also emphasized that Bank Jago’s technology and innovation were entirely developed by an internal team. Therefore, DailySocial has the opportunity to try out some of the innovative features of the Jago app.

For first impression, the onboarding process to create an account is very fast, e-KYC only take less than 30 seconds via video call. We then tried the “Pockets” feature which allows customers to simply allocate money for different purposes. As seen in the image below, the Pocket feature can be personalized, including name, color, and profile photo.

The bag (Kantong) has two categories, “Savings” and “Spendings”. Users can add saving bags (Kantong Nabung) with various transfer methods, including digital banking (TMRW, Digibank, Jenius), mobile banking (BCA, Mandiri, CIMB, BRI), SMS banking, internet banking (BCA, Mandiri, BNI, CIMB), ATM (BCA, Mandiri, BNI, BRI, Permata, CIMB), and Jago Branch.

However, the thing is that the money stored in Kantong Nabung cannot be transferred to external account thereby reducing the potential for unnecessary expenses. For transfers, users must move money to the Pay Bag (Kangtong Bayar). If it’s changed, users can make transactions and the interest will be charged to 0.5% p.a. While changing to Kantong Nabung will activate an interest of 3.5% p.a.

Simulasi pembuatan Kantong Nabung di aplikasi Bank Jago / DailySocial
Simulation of creating saving account on Bank Jago application / DailySocial

In fact, users can invite other account holders (collaborators) to save together. User can authorize a collaborator to “see” or “use” the money in the bag. There is a daily limit that can be set.

Kharim said, the collaborative financial management feature is not yet owned by banks in Indonesia. This feature was developed by research conducted by the company. He said, there are still many use case in financial service to be explored in the future.

In addition, he said that this feature has gone through a risk management process considering that the use case is still relatively new and has the potential to be called a term savings if it is stored for a long time. “This is one of the challenges for the treasury team at Bank Jago. In this case, we simulate what market this fund will be rotated, therefore, we have made adjustments in providing services,” he said.

Meanwhile, Bank Jago’s Digital Banking Director, Peter van Nieuwenhuizen added that collaborative features are very possible to be implemented into financial services. This is because people in Southeast Asia are familiar with collaboration culture, especially Indonesia, which is known to be active in socializing.

“The new [features] we are developing are new models for banking, therefore, it will take 1-2 years to see how do you do with ‘Pockets’ or how to figure out what works best,” Peter said.

Aplikasi Bank Jago / Bank Jago
Bank Jago app / Bank Jago

Another leading feature by Jago Bank is the payment of invoices with a variable value, post-paid for example. Through this feature, users can automatically make payments or via a reminder to confirm the value of not fixed bills.

Flashback through Bank Jago

Bank Jago officially shifted from Bank Artos in June 2020. This identity change was an effort to transform Bank Jago into a post-acquisition digital bank by a group of investors led by Jerry Ng through PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) and Patrick Waluyo through Wealth Track Technology Limited (WTT).

Gojek Group, through its subsidiary, GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa), is also a 22% shareholder. Then, in early March, the Singapore government-owned investment institution, the Government of Singapore Investment Corporation Private Limited (GIC), also acquired Bank Jago shares.

In conclusion, Bank Jago’s shareholder consists of PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (29.81%), Wealth Track Technology Limited (11.69%), PT Dompet Karya Anak Bangsa (21.40%), GIC Private Limited (9, 12%), and the public (27.99%).

Previously, senior banker and founder of Bank Jago Jerry Ng said that this collaboration could be a key strategy to accelerate the growth of the digital bank business. He gave an example, digital banks in China and South Korea are oriented towards ecosystem collaboratio, therefore, they can pursue growth through products with a wider spectrum.

This also answers various strategic partnership actions from various verticals by Bank Jago since 2020. This inorganic strategy can accelerate growth. Currently, Gojek is a sole strategic partner. This means that this partnership includes opening a direct account (onboarding) through the Gojek application, without the need for the Jago Bank application.

Ecosystem Vertical Partnership
Gojek Group Ride-hailing Strategic partnership, shareholder
Akulaku Lending Loan channeling scheme (Rp100 billion)
Akseleran Lending Loan channeling scheme (Rp50 billion)
Kredit Pintar Lending unknown
Logisly E-logistic unknown

“We have to create a unique value proposition. What we do is combine the two because we both have advantages. Bank is no longer the center of ecosystem, but part of the ecosystem. If we put ourselves in the right position, we will have a strategic role because whatever consumers do, in the end is payment,” Jerry said.

Other digital banks

The competitive map for digital banks in Indonesia will be even stronger this year. After Bank Neo Commerce and Bank Jago officially introduced application-based digital services, several other banks are anticipating their realization to become digital banks. On our records, there are several names, from Bank Digital BCA, SeaBank, and KB Bukopin.

Bank Agro, which is currently applying for a digital bank license to OJK, has recently appointed Kaspar Situmorang as the President Director through the Annual General Meeting of Shareholders (Annual GMS). Kaspar was previously the Executive Vice President of the Digital Center of Excellence, one of the digital transformation divisions in BRI’s holding company.

BRI’s Director of Digital, Information Technology and Operations Indra Utoyo said to DailySocial last year that BRI Agro has a great opportunity to be converted into a digital bank because it has launched the digital lending platform Pinang (Pinjam Tenang) which is the initial test case to the market.

Meanwhile, SeaBank, which is the new identity of Economic Welfare Bank (BKE), is reportedly exploring the potential to acquire another bank to strengthen its capital structure. That way, SeaBank can get a digital bank license. SeaBank is recorded as a Commercial Bank for Business Activities (BUKU) II with a core capital of IDR 1.3 trillion as of September 2020 and total assets of IDR 3.6 trillion as of December 2020.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bank Jago Resmi Meluncurkan Aplikasi Keuangan Digital, Berfokus pada Sentra Kehidupan

Setelah hampir satu tahun berganti identitas, PT Bank Jago Tbk (ARTO) akhirnya resmi memperkenalkan aplikasi Jago (Jago app) ke publik. Aplikasi ini menyediakan layanan keuangan digital yang berfokus pada kehidupan (life-centricity) dengan pendekatan pada kolaborasi ekosistem.

“Untuk menghadirkan solusi inovatif dan kolaboratif, kami bekerja sama erat dengan ekosistem. Kami harap aplikasi ini dapat memberikan akses finansial ke masyarakat lebih luas dan mempercepat inklusi keuangan. Masih banyak segmen yang ingin kami jangkau di Indonesia,” ujar Presiden Direktur Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar ditemui di acara peluncuran aplikasi Jago di Jakarta.

Saat ini, aplikasi Jago baru menyediakan beberapa layanan keuangan, seperti transfer, pembayaran tagihan, dan top up e-wallet. Ke depannya, perusahaan akan menambah lebih banyak layanan untuk membidik segmen digital savvy dan mass market di kelas menengah, baik individual maupun wirausaha.

Termasuk salah satu inisiatif dari kemitraan strategisnya dengan Gojek, yaitu layanan yang memungkinkan jutaan pelanggan membuka rekening Bank Jago langsung melalui platform ride-hailing tersebut. “Terkait [kemitraan dengan Gojek], tim kami masih menggodok proses integrasinya,” tambah Kharim.

Menjajal aplikasi Jago

Bank Jago mengklaim sebagai bank digital yang sepenuhnya berbasis teknologi (tech-based bank). Kharim juga menegaskan bahwa teknologi dan inovasi Bank Jago juga seluruhnya dikembangkan oleh tim internal. Maka itu, DailySocial berkesempatan untuk menjajal beberapa fitur inovatif dari aplikasi Jago.

Kesan pertama, proses onboarding pembuatan rekening sangat cepat,  pemeriksaan e-KYC hanya berlangsung tak sampai 30 detik via video call. Kami kemudian mencoba fitur “Pockets” atau “Kantong” yang memungkinkan nasabah mengalokasikan uang dengan tujuan berbeda secara sederhana. Sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini, fitur Kantong dapat dipersonalisasi, baik nama, warna, dan foto profilnya.

Kantong memiliki dua kategori, yaitu “Savings/Nabung” dan “Spendings/Bayar”. Pengguna bisa menambah Kantong Nabung dengan berbagai metode transfer, antara lain digital banking (TMRW, Digibank, Jenius), mobile banking (BCA, Mandiri, CIMB, BRI), SMS banking, internet banking (BCA, Mandiri, BNI, CIMB), ATM (BCA, Mandiri, BNI, BRI, Permata, CIMB), dan Jago Branch.

Namun, perlu dicatat bahwa uang yang disimpan di Kantong Nabung tidak dapat ditransfer ke rekening luar sehingga mengurangi potensi pengeluaran yang tidak perlu. Untuk transfer, pengguna harus memindahkan uang ke Kantong Bayar. Jika diubah ke Kantong Bayar, pengguna dapat bertransaksi dan bunga dikenakan menjadi 0,5% p.a. Sementara mengubah menjadi Kantong Nabung akan mengaktifkan bunga 3,5% p.a.

Simulasi pembuatan Kantong Nabung di aplikasi Bank Jago / DailySocial
Simulasi pembuatan Kantong Nabung di aplikasi Bank Jago / DailySocial

Menariknya, pengguna dapat mengundang pengguna pemilik rekening lain (collaborator) untuk berkolaborasi untuk menabung. Pengguna dapat memberi kuasa collaborator untuk “melihat” atau “memakai” uang di kantong tersebut. Ada limit harian yang bisa ditetapkan.

Menurut Kharim, fitur pengelolaan keuangan secara kolaboratif belum dimiliki bank-bank di Indonesia. Fitur ini pun dikembangkan riset yang dilakukan perusahaan. Menurutnya, masih banyak use case layanan keuangan yang dapat dieksplorasi di masa depan.

Selain itu, ia mengatakan bahwa fitur ini telah melalui proses risk management mengingat use case-nya masih terbilang baru dan berpotensi disebut tabungan berjangka apabila disimpan dalam waktu lama. “Ini salah satu tantangan bagi tim treasury di Bank Jago. Dalam hal ini, kami buat simulasi dana ini diputar ke pasar apa, jadi kami sudah buat penyesuaian dalam memberikan layanan,” ujarnya.

Sementara, Direktur Digital Banking Bank Jago Peter van Nieuwenhuizen menambahkan bahwa fitur-fitur yang bersifat kolaboratif sangat memungkinkan diimplementasi ke dalam layanan keuangan. Pasalnya, masyarakat di Asia Tenggara kental dengan budaya kolaborasi, terlebih Indonesia yang dikenal aktif dalam bersosialisasi.

“[Fitur-fitur] baru yang kami kembangkan merupakan model baru untuk perbankan sehingga butuh 1-2 tahun untuk melihat how do you do with ‘Pockets’ or how to figure out what works best,” ungkap Peter.

Aplikasi Bank Jago / Bank Jago
Aplikasi Bank Jago / Bank Jago

Fitur menarik lain yang diperkenalkan Bank Jago adalah pembayaran tagihan dengan nilai yang tidak tetap, misal pasca-bayar. Lewat fitur ini, pengguna bisa melakukan pembayaran secara otomatis atau melalui reminder untuk mengonfirmasi nilai tagihan yang tidak tetap.

Kilas balik perjalanan Bank Jago

Bank Jago resmi berganti nama dari Bank Artos pada Juni 2020. Pergantian identitas tersebut merupakan upaya transformasi besar-besaran Bank Jago menjadi bank digital pasca-akuisisi oleh grup investor yang dipimpin oleh Jerry Ng lewat PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) dan Patrick Waluyo melalui Wealth Track Technology Limited (WTT).

Gojek Group, melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa), juga masuk sebagai pemegang saham sebesar 22%. Kemudian, awal Maret lalu, lembaga investasi milik pemerintah Singapura, Government of Singapore Investment Corporation Private Limited (GIC) juga mencaplok saham Bank Jago.

Dengan demikian, komposisi pemegang saham Bank Jago terdiri dari PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (29,81%), Wealth Track Technology Limited (11,69%), PT Dompet Karya Anak Bangsa (21,40%), GIC Private Limited (9,12%), dan publik (27,99%).

Sebelumnya, bankir senior sekaligus pendiri Bank Jago Jerry Ng mengatakan bahwa kolaborasi tersebut dapat menjadi strategi kunci untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis bank digital. Ia mencontohkan, bank digital di Tiongkok dan Korea Selatan berkiblat pada kolaborasi ekosistem sehingga dapat mengejar pertumbuhan melalui produk dengan spektrum yang lebih luas.

Ini turut menjawab berbagai aksi kemitraan strategis dari berbagai vertikal yang dilakukan Bank Jago sejak 2020. Strategi anorganik ini dapat mempercepat pertumbuhan. Saat ini baru Gojek yang menjadi mitra strategis. Artinya, kemitraan ini termasuk membuka rekening (onboarding) di aplikasi Gojek langsung, tanpa perlu di aplikasi Bank Jago.

Ecosystem Vertical Partnership
Gojek Group Ride-hailing Strategic partnership, shareholder
Akulaku Lending Loan channeling scheme (Rp100 billion)
Akseleran Lending Loan channeling scheme (Rp50 billion)
Kredit Pintar Lending unknown
Logisly E-logistic unknown

We have to create unique value proposition. Yang kami lakukan adalah mengombinasikan keduanya karena sama-sama punya keunggulan. Bank is no longer the centre of ecosystem, tetapi bagian dari ekosistem. Jika menempatkan diri dengan tepat, kita akan punya peranan strategis karena apapun yang dilakukan konsumen, ujung-ujungnya adalah pembayaran,” ungkap Jerry.

Bank digital lainnya

Peta persaingan bank digital di Indonesia bakal semakin kuat di tahun ini. Setelah Bank Neo Commerce dan Bank Jago resmi memperkenalkan layanan digital berbasis aplikasi, beberapa bank lain tengah mengantisipasi realisasinya menjadi bank digital. Di catatan kami, masih ada sejumlah nama, mulai dari Bank Digital BCA, SeaBank, dan KB Bukopin.

Bank Agro yang sedang mengajukan izin menjadi bank digital ke OJK, juga baru saja menunjuk Kaspar Situmorang sebagai Direktur Utama melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPS Tahunan). Kaspar sebelumnya merupakan Executive Vice President Digital Center of Excellence, salah satu divisi transformasi digital di induk usaha BRI.

Kepada DailySocial tahun lalu, Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo mengatakan, BRI Agro berpeluang besar dikonversi menjadi bank digital karena telah meluncurkan platform digital lending Pinang (Pinjam Tenang) yang menjadi test case awal ke pasar.

Sementara itu, SeaBank yang telah berganti identitas dari Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), dikabarkan tengah menjajaki potensi akuisisi bank lain untuk memperkuat struktur modalnya. Dengan begitu, SeaBank bisa mengantongi izin bank digital. SeaBank tercatat masih merupakan Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) II dengan modal inti Rp 1,3 triliun per September 2020 dan total aset per Desember 2020 sebesar Rp 3,6 triliun.

Application Information Will Show Up Here

RestockID Bidik Penyaluran Pinjaman Rp600 Miliar, Jajaki Penggalangan Dana Pra-Seri A di 2021

Platform pembiayaan digital RestockID membidik penyaluran kredit sebesar Rp600 miliar di 2021. Untuk mencapai target tersebut, mereka akan memperkuat peluang kemitraan penyaluran kredit dengan berbagai jenis institusi, seperti bank dan multifinance.

Co-Founder & CEO RestockID M. Farid Andika mengatakan bahwa pihaknya akan menjalin kerja sama baru, baik dari sisi lender maupun penyedia teknologi di ekosistem e-commerce yang melayani pasar UMKM.

“Visi kami adalah menjadi rekan finansial UMKM. Dengan kerja sama dengan berbagai pihak, kami berharap dapat terjalin kepercayaan berbasis data sehingga dapat membantu percepatan pertumbuhan UMKM di Indonesia,” ungkapnya kepada DailySocial.

Terlebih tak sedikit pelaku usaha dalam negeri yang terdampak signifikan akibat pandemi Covid-19. Situasi ini memang dianggap sebagai tantangan, tetapi dapat menjadi peluang bagi UMKM untuk meningkatkan usahanya. Menurut Farid, situasi ini dapat menjadi momentum bagi masyarakat untuk beradaptasi memasarkan produk lewat digital.

Sebelumnya pada November 2020, RestockID telah menyepakati kerja sama dengan Bank Agro sebagai salah satu mitra penyaluran kredit (institutional lender). Diungkap Farid, BRI Agro yang ditunjuk induk usahanya BRI sebagai digital attacker, juga menjadi rekanan RestockID untuk bersinergi mengembangkan produk bersama ke depan.

Sebagaimana diketahui, RestockID merupakan platform P2P lending yang menyediakan akses pembiayaan terhadap UMKM dengan skema aset dan inventori usaha sebagai jaminan tambahan dalam proses pembiayaannya.

Credit scoring dan mekanisme

Dalam memberikan akses pembiayaan, startup yang berdiri di 2019 ini masih fokus membidik pelaku usaha di sektor ritel online dan FMCG. Hal ini sejalan dengan karakteristik bisnis di industri ini; aset atau inventori merupakan faktor utama yang menentukan pertumbuhan usaha mereka.

RestockID memiliki mekanisme yang disesuaikan dengan skema bisnis yang dipakainya. Untuk menentukan kelayakan calon peminjam, perusahaan melakukan validasi dengan mengacu pada laporan keuangan dan data perputaran barang. Tujuannya tak lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih tepat mengenai usaha terkait.

“Beberapa industri memiliki sifat atau rasio yang berbeda antara satu sama lain. Hal tersebut menjadi basis penilaian kelayakan kami bagi para calon peminjam. Secara umum, batas pinjaman yang kami berikan berkisar dari 25%-80% dari nilai total jaminan barang yang kami terima,” jelasnya.

Sementara itu, untuk mengetahui data aset dan inventori peminjam secara real-time, RestockID bermitra dengan sejumlah penyedia jasa warehouse dan fullfilment, seperti Shipper dan Haistar. Perusahaan juga bermitra dengan penyedia teknologi atau ecommerce untuk membantu digitalisasi UMKM.

“Para mitra kami telah memiliki sistem berbasis cloud yang memungkinkan kami memantau pergerakan inventori peminjam secara real-time sehingga risiko gagal bayar dapat kami mitigasi lebih cepat, bahkan sebelum kegagalan tersebut terjadi,” kata Farid.

Menurut Farid, RestockID memiliki keunggulan karena diperkuat oleh tim dengan latar belakang karier di perbankan dan e-commerce. Hal ini dinilai dapat membantu perusahaan memahami masalah yang dihadapi UMKM dalam mengembangkan usahanya melalui kanal digital.

“Kami memosisikan diri bukan hanya sebagai platform pembiayaan, tetapi juga sebagai rekan belajar dan diskusi dalam membuat keputusan usaha, di mana sebagian besar dapat berdampak terhadap finansial usaha mereka,” papar Farid.

Hingga saat ini (year-to-date), RestockID menyalurkan pembiayaan dengan akumulasi sebesar Rp176,3 miliar dengan pembiayaan lunas sebesar Rp98,1 miliar. Sementara di 2021, perusahaan baru menyalurkan Rp25,9 miliar. Total borrower mencapai 51 dan lender 19.

Target penggalangan dana pra-seri A

Dihubungi secara terpisah, Co-founder RestockID Rega Sardjono mengungkapkan bahwa pihaknya tengah melakukan penjajakan untuk penggalangan dana pra-seri A. Sebelumnya, perusahaan telah mengantongi pendanaan seed sebesar $750 ribu dari investor lokal yang tidak dapat disebutkan namanya.

“Sekarang, kami lagi roadshow untuk [penggalangan dana] pra-seri A. Kami mainly mencari pendanaan dari VC. I think not leaning towards private equity yet just because of the matter of size,” ungkap Rega.  

Bahkan, pihaknya juga tengah berdiskusi dengan BRI Ventures meskipun masih dalam fase awal. Rega menargetkan closing pendanaan baru ini dapat terealisasi di kuartal kedua 2021. “Saat ini, kami sedang proses due diligence dengan satu VC dari luar negeri dan tengah mencari co-investor.”

Kencangkan Kolaborasi dengan Portofolio, BRI Agro Kini Jadi Lender Institusi TaniHub

Startup agritech TaniHub Group mengumumkan kolaborasi bisnis dengan BRI Agro demi meningkatkan kesejahteraan petani dengan pemberian akses pendanaan, sarana produksi, hingga jaminan penjualan hasil pertanian.

Dalam keterangan resmi, sebagai langkah awal dari kolaborasi ini, anak usaha TaniHub yang bergerak di p2p lending TaniFund akan mendapat akses pembiayaan dan pengadaan sarana distribusi kepada para petani dengan menyalurkan kredit dari BRI Agro. Hal ini sekaligus menandakan BRI Agro sebagai salah satu jajaran lender institusi yang bergabung di TaniFund.

Oleh karena itu, para petani binaan TaniFund dapat membeli bibit, pupuk, hingga sarana produksi lainnya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas produk mereka. Harapan besarnya, melalui pendekatan digital, petani dapat membeli berbagai kebutuhan produksi bersubsidi melalui aplikasi ataupun laman situs TaniHub.

Sebelumnya BRI Agro juga melakukan kerja sama serupa dengan Modal Rakyat (perusahaan di bawah naungan Fazz Financial). Seperti diketahui, baik TaniGroup ataupun Fazz Financial merupakan portofolio dari BRI Ventures.

CEO TaniHub Group Ivan Arie Sustiawan menuturkan, kemitraan antara kedua perusahaan ini dapat membawa peran besar dalam peningkatan kesejahteraan petani Indonesia melalui akses pembiayaan. “Petani tidak perlu lagi khawatir mengenai salah satu masalah terbesar mereka, yakni akses permodalan. Bahkan dengan ekosistem TaniHub Group, para petani juga mendapatkan jaminan pasar,” ujarnya, Rabu (6/1).

Direktur Utama BRI Agro Ebeneser Girsang menambahkan, “Kami melihat TaniHub Group merupakan partner yang tepat bagi kami melihat inovasi dan pengalaman mereka sebagai perusahaan agritech yang sudah berdiri sejak tahun 2016.”

Sektor pertanian, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), mengalami pertumbuhan positif pada kuartal III 2020, yakni tumbuh 2,15% YOY. Pada kuartal sebelumnya juga naik 2,19% YOY. Peningkatan tersebut mengindikasikan sektor ini punya peran besar terhadap pertahanan ekonomi di Indonesia.

Dalam tulisan sebelumnya, selama ini TaniFund mayoritas masih mengandalkan lender ritel dalam menyalurkan pembiayaan kepada para petani binaannya. Padahal kebutuhan pembiayaan lambat laun terus tumbuh. Perusahaan baru didukung oleh dua bank, tanpa menyebut identitasnya.

Direktur TaniFund Edison Tobing menuturkan bank rata-rata masih menganut konsep konvensional karena selalu menanyakan apa jaminannya. “Pada akhirnya yang kami lakukan hanya bisa memperkuat keyakinan mereka, mengajak ketemu langsung dengan petani yang kita bina. Untuk kepastian dana dibalikkan ke lender, kami akan langsung bayarkan ke bank, bukan petani karena kami sendiri kan ambil barangnya dari petani.”

Mengutip dari situs TaniFund, hingga kini perusahaan telah menyalurkan pinjaman lebih dari Rp178 miliar dengan tingkat keberhasilan 90 (TKB90) sebesar 100%.

Application Information Will Show Up Here

Setelah BRI, Giliran BRI Agro Masuk sebagai “Lender Institusi” di Modal Rakyat

Setelah BRI, kini BRI Agro masuk ke dalam jajaran lender institusi di Modal Rakyat dengan komitmen awal pembiayaan sebesar Rp50 miliar. Bagi BRI Agro, langkah strategis ini menjadi cara diversifikasi pembiayaan untuk mendukung UKM dari berbagai sektor bisnis.

Direktur Utama BRI Agro Ebeneser Girsang menerangkan, inisiatif yang sudah dijalankan perusahaan pada tahun ini menunjukkan hasil yang positif. Oleh karena itu, akan terus diperluas jangkauannya dengan beberapa fintech lainnya, termasuk Modal Rakyat.

“Sejalan dengan strategi perusahaan untuk melakukan kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka cross selling produk-produk BRI Agro, maka kami memilih fintech/p2p lending untuk mengembangkan bisnis selagi kami mempersiapkan model bisnis baru untuk menjadi digital attacker sesuai dengan aspirasi BRI Group,” ungkap dia dalam keterangan resmi, kemarin (5/11).

CEO Modal Rakyat Hendoko Kwik menambahkan, dukungan BRI Agro ini membuat mereka semakin mantap dan yakin pada model bisnisnya sebagai agregator modal kerja untuk para UKM yang membutuhkan.

“Bersama dengan dukungan bank sebagai institusi keuangan yang lebih dewasa, niscaya mimpi Modal Rakyat membantu terwujudnya inklusi keuangan di Indonesia yang semakin cepat tercapai,” ucapnya.

Pembiayaan yang diberikan BRI Agro akan diarahkan untuk membiayai pelaku UKM yang terdaftar di Modal Rakyat dengan nilai maksimal Rp2 miliar per pinjaman. Sektor bisnis tidak terbatas disalurkan ke agrikultur saja, namun juga bisa ke sektor lain seperti logistik, konstruksi, kesehatan, dan teknologi.

Sejak berdiri pada 2018, Modal Rakyat telah menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp640 miliar kepada lebih dari 20 ribu pelaku UKM di seluruh Indonesia. Sektor dengan pembiayaan terbesar datang dari IT (47%) dan perdagangan (29%).

Pembiayaan ini dilakukan secara gotong royong, memadukan pendana dari individu dan institusi. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 45 ribu pendana individu dan sembilan pendana institusi di Modal Rakyat.

Bagian dari sinergi

Masuknya BRI dan BRI Agro, sebenarnya adalah lanjutan dari hasil investasi yang dilakukan oleh BRI Ventures ke Payfazz beberapa waktu lalu. Dikonfirmasi oleh pihak BRI Ventures, unit CVC tersebut hanya masuk ke dalam holding Fazz Financial. Sehingga kemitraan di bawahnya dijalankan di bawah holding.

Fazz Financial adalah perusahaan holding yang menaungi Payfazz dan perusahaan lainnya, termasuk Modal Rakyat, mengingat masing-masing pimpinan saling-silang menjadi komisaris.

Payfazz yang digawangi oleh Hendra Kwik, juga menjabat sebagai komsiaris di Modal Rakyat, perusahaan yang dipimpin oleh saudaranya Hendoko Kwik. Hendoko juga menjadi komisaris di Verihubs, startup e-KYC.

Pun Payfazz juga kini memiliki portofolio sendiri yang ia investasi sendiri untuk startup pencatat utang Credibook pada awal tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

BRI Strives for Digital Bank

BRI appears to pursue similar innovation as some Indonesian banks to form a digital bank. Previously, as quoted by Katadata, BRI’s President Director Sunarso had said that the company is open for the possibility to convert its subsidiary into a digital bank.

There are two BRI subsidiaries engaged in the banking business, BRI Agroniaga Tbk (Agro) and BRI Syariah. Sunarso said that it is impossible for BRI Syariah to be converted into a digital bank. “However, BRI Agroniaga is very possible,” he said.

In contact with DailySocial, BRI’s Director of Digital, Information Technology and Operations Indra Utoyo also confirmed this. He said that the company is finalizing its current concepts and strategies. “Yes, it’s quite the truth [being a digital bank],” he said through a short message.

BRI Agro has quite a potential to be converted, considering that the company has launched the digital lending platform Pinang (Pinjam Tenang). However, he said BRI Agro was not directly merged into a digital bank because as the parent company, BRI wanted to have trial on the market.

“[The first approach] through Pinang as a use case for digital attackers. Currently, Pinang is the only fully digital loan solution from the banking sector,” he said.

As a general note, Pinang is a digital lending platform released in early 2019 by BRI Agro. Apart from working capital, Pinang can be used for a variety of services from tuition fees to medical expenses, also daily needs. Based on the 2019 Annual Report, BRI Agro recorded Pinang’s credit disbursements had reached IDR 30.6 billion with a total of 7,331 debtors.

Pinang is also BRI’s new business model which refers to the new digital banking proposition strategy. This service is the first digital loan platform in Indonesia that offers e-KYC with digital verification, digital scoring, and digital signature systems.

Furthermore, Indra said that the company’s next digital strategy is to continue to engage with BRI Group’s identity targeting the micro and Small and Medium Enterprises (SME) segments.

“Regarding Bank Agro’s new position, there will be an answer at the right time. We cannot answer now [whether there will be new digital products aside from Pinang]. However, our digital strategy stays with go smaller, go shorter, and go faster. This means we’ll be entering a smaller segment, the ultra micro,” said Indra.

Last time, Indra said digital banks will be quite optimal when it’s combined the physical networks, not only digital services. Therefore, he considers there is no need for a dichotomy between digital and non-digital banks, considering that BRI has so far provided more value than this concept through its products.

The realization and its challenges

Until the end of this year, there are at least two digital bank initiatives awaiting realization. Bank Digital BCA and Bank Jago (previously Bank Artos) are to launch in the second semester of 2020.

Bank Digital BCA will become the new branding of its previous name, Bank Royal. The target market involves retail and SME segments, different from its main portfolio which mostly corporates.

Meanwhile, Bank Jago will target the middle and mass-market segments as the main target. The company will also collaborate with digital platforms in various business verticals, such as e-commerce, ride-hailing, and p2p lending.

Meanwhile, PT Bank Yudha Bhakti (BYB) officially changed its new name to PT Bank Neo Commerce Tbk through the Extraordinary General Meeting of Shareholders (EGMS) on July 30, 2020.

Bank Yudha Bakti’s President Director, Tjandra Gunawan said that changing the company’s new name is part of the business and digital transformation strategies for the 2020-2022 period.

Institute for Development of Economics (Indef) observer Bhima Yudistira, assesses that the realization of a digital bank will have a big impact on Indonesian people, especially those who are yet to have access to financial products or underbank.

However, the digital banks will require market education in various circles, for example, SMEs and rural areas. “The importance of developing a digital bank here must be accompanied by additional internet network access to remote and outermost areas,” Bhima said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Buka Peluang Bentuk Bank Digital

Tampaknya BRI akan mengikuti sejumlah bank di Indonesia yang berencana membentuk bank digital. Sebelumnya, mengutip KatadataDirektur Utama BRI Sunarso sempat mengungkap bahwa perseroannya membuka peluang untuk mengonversi anak usahanya menjadi bank digital.

Ada dua anak usaha BRI yang bergerak di bisnis perbankan, yaitu BRI Agroniaga Tbk (Agro) dan BRI Syariah. Sunarso menyebut BRI Syariah tidak mungkin dikonversi menjadi bank digital. “Tapi BRI Agroniaga sangat mungkin,” ungkapnya beberapa waktu lalu.

Dihubungi DailySocial, Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo juga membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan bahwa perusahaan masih mematangkan konsep dan strateginya saat ini. “Iya, ada benarnya [menjadi bank digital],” ujarnya dalam pesan singkat.

BRI Agro berpeluang dikonversi mengingat perusahaan tersebut sudah lebih dulu meluncurkan platform digital lending Pinang (Pinjam Tenang). Namun, menurutnya, sejak awal BRI Agro tidak langsung dilebur menjadi bank digital karena BRI sebagai induk usaha ingin melakukan uji coba ke pasar.

“[Pendekatan awal] lewat produk Pinang sebagai test case untuk digital attacker. Saat ini, Pinang adalah satu-satunya solusi pinjaman yang fully digital dari sektor perbankan,” ungkapnya.

Sekadar informasi, Pinang merupakan platform digital lending yang dirilis awal 2019 oleh BRI Agro. Selain modal kerja, Pinang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan mulai dari biaya pendidikan, pengobatan, hingga kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan Laporan Tahunan 2019, BRI Agro mencatat penyaluran kredit Pinang telah mencapai Rp30,6 miliar dengan total 7.331 debitur.

Pinang juga merupakan model bisnis baru BRI yang mengacu pada strategi new digital banking proposition. Layanan ini merupakan platform pinjaman digital pertama di Indonesia yang menawarkan e-KYC dengan sistem digital verification, digital scoring, dan digital signature.

Lebih lanjut, Indra menyebut bahwa strategi digital perusahaan selanjutnya akan tetap mengacu pada identitas BRI Group yang membidik segmen mikro dan Usaha Kecil Menengah (UKM).

“Terkait positioning baru Bank Agro, nanti akan ada jawabannya di waktu yang tepat. Kami belum bisa jawab sekarang [apakah ada produk digital baru selain Pinang]. Namun, strategi digital kami akan tetap go smaller, go shorter, dan go faster. Artinya, kami masuk ke segmen yang lebih kecil, yaitu ultra mikro,” ungkap Indra.

Beberapa waktu lalu, Indra menilai bahwa bank digital akan lebih maksimal apabila memadukan keunggulan pada jaringan fisik, tak hanya layanan digital saja. Maka itu, ia menganggap tak perlu ada dikotomi antara bank digital dan non-digital mengingat BRI sampai saat ini sudah memberikan value lebih dari konsep tersebut melalui produknya.

Realisasi bank digital dan tantangannya

Sampai akhir tahun ini, setidaknya ada dua rencana bank digital yang dinantikan realisasinya. Bank Digital BCA dan Bank Jago (sebelumnya Bank Artos) ditargetkan meluncur pada semester II 2020.

Bank Digital BCA akan menjadi branding baru dari nama sebelumnya, yaitu Bank Royal. Target pasarnya adalah segmen ritel dan UKM, berbeda dari portofolio utama induknya yang bermain di korporat.

Adapun, Bank Jago bakal membidik segmen menengah dan mass market sebagai target utama. Perusahaan juga akan berkolaborasi dengan platform digital di berbagai vertikal bisnis, seperti e-commerceride hailing, dan p2p lending.

Sementara itu, PT Bank Yudha Bhakti (BYB) akhirnya resmi mengganti nama baru menjadi PT Bank Neo Commerce Tbk lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 30 Juli 2020.

Direktur Utama Bank Yudha Bakti Tjandra Gunawan menyebutkan bahwa perubahan nama baru perusahaan merupakan salah satu strategi transformasi bisnis dan digital untuk periode 2020-2022.

Pengamat Institute for Development of Economics (Indef) Bhima Yudistira, menilai realisasi bank digital bakal membawa dampak besar terhadap masyarakat Indonesia, terutama mereka yang belum terjamah oleh produk keuangan.

Akan tetapi, kehadiran bank digital juga perlu diiring oleh edukasi di berbagai kalangan, misalnya UKM dan pedesaan. “Di sini pentingnya pengembangan bank digital harus diiringi oleh penambahan akses jaringan internet ke daerah terpencil dan terluar,” tutur Bhima.