BRI Strives for Digital Bank

BRI appears to pursue similar innovation as some Indonesian banks to form a digital bank. Previously, as quoted by Katadata, BRI’s President Director Sunarso had said that the company is open for the possibility to convert its subsidiary into a digital bank.

There are two BRI subsidiaries engaged in the banking business, BRI Agroniaga Tbk (Agro) and BRI Syariah. Sunarso said that it is impossible for BRI Syariah to be converted into a digital bank. “However, BRI Agroniaga is very possible,” he said.

In contact with DailySocial, BRI’s Director of Digital, Information Technology and Operations Indra Utoyo also confirmed this. He said that the company is finalizing its current concepts and strategies. “Yes, it’s quite the truth [being a digital bank],” he said through a short message.

BRI Agro has quite a potential to be converted, considering that the company has launched the digital lending platform Pinang (Pinjam Tenang). However, he said BRI Agro was not directly merged into a digital bank because as the parent company, BRI wanted to have trial on the market.

“[The first approach] through Pinang as a use case for digital attackers. Currently, Pinang is the only fully digital loan solution from the banking sector,” he said.

As a general note, Pinang is a digital lending platform released in early 2019 by BRI Agro. Apart from working capital, Pinang can be used for a variety of services from tuition fees to medical expenses, also daily needs. Based on the 2019 Annual Report, BRI Agro recorded Pinang’s credit disbursements had reached IDR 30.6 billion with a total of 7,331 debtors.

Pinang is also BRI’s new business model which refers to the new digital banking proposition strategy. This service is the first digital loan platform in Indonesia that offers e-KYC with digital verification, digital scoring, and digital signature systems.

Furthermore, Indra said that the company’s next digital strategy is to continue to engage with BRI Group’s identity targeting the micro and Small and Medium Enterprises (SME) segments.

“Regarding Bank Agro’s new position, there will be an answer at the right time. We cannot answer now [whether there will be new digital products aside from Pinang]. However, our digital strategy stays with go smaller, go shorter, and go faster. This means we’ll be entering a smaller segment, the ultra micro,” said Indra.

Last time, Indra said digital banks will be quite optimal when it’s combined the physical networks, not only digital services. Therefore, he considers there is no need for a dichotomy between digital and non-digital banks, considering that BRI has so far provided more value than this concept through its products.

The realization and its challenges

Until the end of this year, there are at least two digital bank initiatives awaiting realization. Bank Digital BCA and Bank Jago (previously Bank Artos) are to launch in the second semester of 2020.

Bank Digital BCA will become the new branding of its previous name, Bank Royal. The target market involves retail and SME segments, different from its main portfolio which mostly corporates.

Meanwhile, Bank Jago will target the middle and mass-market segments as the main target. The company will also collaborate with digital platforms in various business verticals, such as e-commerce, ride-hailing, and p2p lending.

Meanwhile, PT Bank Yudha Bhakti (BYB) officially changed its new name to PT Bank Neo Commerce Tbk through the Extraordinary General Meeting of Shareholders (EGMS) on July 30, 2020.

Bank Yudha Bakti’s President Director, Tjandra Gunawan said that changing the company’s new name is part of the business and digital transformation strategies for the 2020-2022 period.

Institute for Development of Economics (Indef) observer Bhima Yudistira, assesses that the realization of a digital bank will have a big impact on Indonesian people, especially those who are yet to have access to financial products or underbank.

However, the digital banks will require market education in various circles, for example, SMEs and rural areas. “The importance of developing a digital bank here must be accompanied by additional internet network access to remote and outermost areas,” Bhima said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Buka Peluang Bentuk Bank Digital

Tampaknya BRI akan mengikuti sejumlah bank di Indonesia yang berencana membentuk bank digital. Sebelumnya, mengutip KatadataDirektur Utama BRI Sunarso sempat mengungkap bahwa perseroannya membuka peluang untuk mengonversi anak usahanya menjadi bank digital.

Ada dua anak usaha BRI yang bergerak di bisnis perbankan, yaitu BRI Agroniaga Tbk (Agro) dan BRI Syariah. Sunarso menyebut BRI Syariah tidak mungkin dikonversi menjadi bank digital. “Tapi BRI Agroniaga sangat mungkin,” ungkapnya beberapa waktu lalu.

Dihubungi DailySocial, Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo juga membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan bahwa perusahaan masih mematangkan konsep dan strateginya saat ini. “Iya, ada benarnya [menjadi bank digital],” ujarnya dalam pesan singkat.

BRI Agro berpeluang dikonversi mengingat perusahaan tersebut sudah lebih dulu meluncurkan platform digital lending Pinang (Pinjam Tenang). Namun, menurutnya, sejak awal BRI Agro tidak langsung dilebur menjadi bank digital karena BRI sebagai induk usaha ingin melakukan uji coba ke pasar.

“[Pendekatan awal] lewat produk Pinang sebagai test case untuk digital attacker. Saat ini, Pinang adalah satu-satunya solusi pinjaman yang fully digital dari sektor perbankan,” ungkapnya.

Sekadar informasi, Pinang merupakan platform digital lending yang dirilis awal 2019 oleh BRI Agro. Selain modal kerja, Pinang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan mulai dari biaya pendidikan, pengobatan, hingga kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan Laporan Tahunan 2019, BRI Agro mencatat penyaluran kredit Pinang telah mencapai Rp30,6 miliar dengan total 7.331 debitur.

Pinang juga merupakan model bisnis baru BRI yang mengacu pada strategi new digital banking proposition. Layanan ini merupakan platform pinjaman digital pertama di Indonesia yang menawarkan e-KYC dengan sistem digital verification, digital scoring, dan digital signature.

Lebih lanjut, Indra menyebut bahwa strategi digital perusahaan selanjutnya akan tetap mengacu pada identitas BRI Group yang membidik segmen mikro dan Usaha Kecil Menengah (UKM).

“Terkait positioning baru Bank Agro, nanti akan ada jawabannya di waktu yang tepat. Kami belum bisa jawab sekarang [apakah ada produk digital baru selain Pinang]. Namun, strategi digital kami akan tetap go smaller, go shorter, dan go faster. Artinya, kami masuk ke segmen yang lebih kecil, yaitu ultra mikro,” ungkap Indra.

Beberapa waktu lalu, Indra menilai bahwa bank digital akan lebih maksimal apabila memadukan keunggulan pada jaringan fisik, tak hanya layanan digital saja. Maka itu, ia menganggap tak perlu ada dikotomi antara bank digital dan non-digital mengingat BRI sampai saat ini sudah memberikan value lebih dari konsep tersebut melalui produknya.

Realisasi bank digital dan tantangannya

Sampai akhir tahun ini, setidaknya ada dua rencana bank digital yang dinantikan realisasinya. Bank Digital BCA dan Bank Jago (sebelumnya Bank Artos) ditargetkan meluncur pada semester II 2020.

Bank Digital BCA akan menjadi branding baru dari nama sebelumnya, yaitu Bank Royal. Target pasarnya adalah segmen ritel dan UKM, berbeda dari portofolio utama induknya yang bermain di korporat.

Adapun, Bank Jago bakal membidik segmen menengah dan mass market sebagai target utama. Perusahaan juga akan berkolaborasi dengan platform digital di berbagai vertikal bisnis, seperti e-commerceride hailing, dan p2p lending.

Sementara itu, PT Bank Yudha Bhakti (BYB) akhirnya resmi mengganti nama baru menjadi PT Bank Neo Commerce Tbk lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 30 Juli 2020.

Direktur Utama Bank Yudha Bakti Tjandra Gunawan menyebutkan bahwa perubahan nama baru perusahaan merupakan salah satu strategi transformasi bisnis dan digital untuk periode 2020-2022.

Pengamat Institute for Development of Economics (Indef) Bhima Yudistira, menilai realisasi bank digital bakal membawa dampak besar terhadap masyarakat Indonesia, terutama mereka yang belum terjamah oleh produk keuangan.

Akan tetapi, kehadiran bank digital juga perlu diiring oleh edukasi di berbagai kalangan, misalnya UKM dan pedesaan. “Di sini pentingnya pengembangan bank digital harus diiringi oleh penambahan akses jaringan internet ke daerah terpencil dan terluar,” tutur Bhima.

Indonesia to Realize Digital Bank Initiative in 2020

We have witnessed various digital banking innovations in the last decade. Mobile and internet banking can be examples of banking digitalization that is most related to daily life. Thanks to this innovation, it is easier for customers to perform financial transactions.

Indonesian banks have also begun to explore service connectivity through the Open API strategy. The digital business growth in this country driven by e-commerce and fintech platforms and to be said as a driven factor for banks to develop these innovations. Currently, cross-platform transactions are very possible.

In recent years, fintech has played a significant role in providing access to efficient and practical financial services. Fintech managed to disrupt the traditional banking business model with a fast onboarding process.

Based on the 2019 Fintech Report, 79.9% of 747 respondents in Indonesia used digital wallet services, followed by investment (31.5%), paylater (30.9%), online multifinance (12%), insurtech (11, 8%), crowdfunding (8.2%), P2P lending (6.2%), and remittance (2.4%).

The role of fintech in the financial ecosystem has become a momentum for banks to innovate. Beyond its mobile banking services, a number of banks in Indonesia are very eager in developing digital financial products, both independent and through collaboration. Also, customers can now open savings accounts through mobile banking applications and digital platforms.

In the context of digitalization, the above efforts are certainly relevant to the demand of today’s users. However, these are not enough in order to reach broader financial inclusion. The population of people who don’t have access to financial services (unbanked) is quite large. The limited number of ATMs and branch offices are an obstacle for banks.

Google, Temasek, Bain & Company report in October 2019 noted that there were 92 million Indonesians in the unbanked segment (50.83%), followed by the banked segment at 42 million people (23.20%), and the underbanked segment 47 million (25.97%).

The Indonesian banking industry is aware of this phenomenon that today’s financial products are not only monopolized by banks. This situation also indicates that banks have not been able to close the gap between the ones with financial literacy and those who are yet to aware of this, with the traditional business model.

Digital bank in Indonesia

After banking digitization, digital bank concept is currently trending in Indonesia. The effort shows banking digital transformation is no longer depend on service digitization, but also to become a separate entity.

In definite, digital banks are different from banking digitalization. Borrowing the current popular term,  the concept of digital banks is generally referred to as neobank, which is popular since 2017. Also, quoting the words “Neo Bank and the Future of Retail Banking in Indonesia“, the term digital bank is often defined as a challenger bank.

Challenger banks in the world have even acquired millions of customers. Some of them are Nubank (Brazil), Monzo (United Kingdom), N26 (Germany), and Chime (United States).

Back to the origin, digital bank or neobank is defined as a bank that operates online-based services without a physical branch office. Digital Bank offers easy access with a user-friendly UI/UX. With an internet connection and smartphone, anyone can open an account and access other financial services.

Digital banks also have the opportunity to be able to leverage the customer’s journey through the development of financial support services and make their products a daily product for customers.

Of course the above concept is inversely proportional to traditional banks where financial services — even though there is already internet and mobile banking — still require face-to-face and physical branch offices. This is understandable considering that banks are a business of trust so physical contact is still needed.

In Indonesia, digital banks are mostly linked to Jenius services (2016) and Digibank (2017). Both are often referred to as the pioneers of the first digital bank. However, there are also those who call it a spin-off product since both are still operating under BTPN and DBS Bank as its main entity.

Jenius and Digibank are examples of application-based services that offer basic banking products, namely savings, online account opening. Both also offer other supporting services, such as financial regulators.

Tabel Jenius dan digibank / DailySocial
Jenius and digibank table / DailySocial

If the root is on the expansion of financial inclusion, Jenius and his staff are considered not a digital bank. This is because both are targeting segments of society that already achieve digital literacy (digital savvy). Meanwhile, the unbanked segment tends not to understand financial literacy.

The next step for digital bank

As the ecosystem and technology is getting mature, 2020 would likely to be the year of the digital banks realization in Indonesia. Some of the plans we have summarized, including Bank Digital BCA, Bank Jago, and Bank Yudha Bakti (BYB). Efforts to become a digital bank as a new entity have all been passed through the acquisition process.

Quoting Kontan, BCA has acquired Bank Royal worth Rp988 billion in 2019. Bank Royal will change its name to Bank Digital BCA targeting some realizations in the second-semester, 2020. The target market is retail and SME segments, different from the main portfolio of its parent company which mostly engaged to corporate. Bank Digital BCA already has a permit from OJK and is ready in infrastructure.

It is known, the company is currently preparing the P2P lending initiative for BCA Digital Bank. However, BCA’s President Director, Jahja Setiaatmadja revealed that he is not to launch the service in the near future. “We wouldn’t dare to enter P2P for the risks are enormous, we are still preparing,” he said as quoted by Katadata.

Tabel Bank Digital / DailySocial
Digital bank table / DailySocial

Furthermore, Bank Artos officially changed its name to Bank Jago after acquired by its seniors, Jerry Ng and Patrick Walujo. According to Bank Jago’s Managing Director, Kharim Siregar, his office is finalizing a business model and perfecting applications targeting to launch before the fourth quarter of 2020. Quoting Bisnis.com, Bank Jago will target the middle segment and mass-market. In addition, Bank Jago will also collaborate with digital platforms in various business verticals, such as e-commerce, ride-hailing, and P2P lending.

DailySocial has in touch with BCA and Bank Jago representations regarding the realization of this digital bank, but their team sre still reluctant to disclose any information. “Our directors are yet to confirm any information to the media because they are currently focusing on preparing applications and everything,” Bank Jago’s Senior Manager Nurul Kolbi said in a short message to DailySocial.

Unlike the two, Bank Yudha Bakti (BYB) started to be controlled by PT Akulaku Silvrr Indonesia which runs Akulaku’s fintech services in 2019. Akulaku’s entrance is expected to accelerate the digital transformation process of BYB, which is to become a digital bank without branch offices and develop mobile applications to increase market penetration.

DailySocial also reached BRI’s Indra Utoyo, Digital Director, Information Technology, and Operations regarding this matter. He commented, BRI did not perform a similar strategy with the above banks. However, BRI is considered to have made a major transformation to become a digital bank.

In order to become a digital bank, Indra ensured that BRI must maximize excellence in physical networks. “The winner is the one who can combine physical and digital excellence. Whatever the entity, both BRI, and its subsidiaries, must be a digital company. There is no need for a dichotomy between digital banks and non-digital banks,” he said.

Without this dichotomy, he said, BRI has provided value from the concept of digital banks with digital-based banking services. BRI became the first bank to launch PINANG and Ceria digital lending products. Then, the first bank to provide account opening services with the entirely digital-based KYC process.

Tabel Produk Digital BRI / DailySocial
BRI’s digital product table / DailySocial

Indra emphasized that digital cannot replace trust, service, and brand. However, without digital, we cannot get all three. It means those with the ‘digital’ label do not necessarily translate into trusted banks than large banks that have transformed digitally.

“To date, I have not seen a successful digital bank or neobank in the world. For me, the winner is the one that combines physical superiority or human touch and digital. The term is phygital,” he said.

Separately contacted, BTPN’s Head of Digital Banking, Irwan Sutjipto Tisnabudi admitted that the emergence of a new digital bank would help create a digital financial ecosystem and encourage education for better financial literacy. In fact, this trend will bring many collaboration opportunities.

Regarding the possibility of Jenius becoming a separate entity, Irwan assured that Jenius currently still supports the BTPN business to expand the current market segments. He also emphasized the main strategy through co-creation and collaboration with like-minded partners to develop products that are relevant to customers.

“In carrying out digital transformation, BTPN believes that digital is the core of the business and value proposition, not an additional channel. Our priority is to build an ecosystem that supports life finance with a broader scope so that the benefits can reach the digital literacy people,” he explained.

Jenius became the result of BTPN transformation which was developed through the process of creation and collaboration with thousands of digital-savvy for 18 months. As of March 2020, Jenius has secured more than 2.5 million users. The company has also just introduced the Bisniskit feature for new business owners and Moneytory to help with financial management.

Regulation and challenges

To date, digital banks still operate under the law of conventional banks. This is regulated in OJK Regulation Number 12 concerning Digital Banking Services Provided by Commercial Banks. There is no separate law to regulate the virtual account opening.

The regulation clearly states that digital banks are different from digital banking services (m-banking, SMS banking, e-banking, etc.). The difference is clear that all digital banking services can be accessed via smartphones.

Beyond that, digital banks cover all banking services from account administration, transaction authorization, financial management, and / or account opening/closing, digital transactions, and other financial product services based on OJK approval.

According to Bhima Yudistira, Institute for Development of Economics (Indef) observer, there is no need yet to draft new regulations to accommodate the law of digital banks. Moreover, existing regulations were only issued in 2018. However, Bhima highlighted that the government needs to pay attention to the high-security aspects and data utilization for third parties.

On the other hand, he also sees that the trend of digital banks is driving a new landscape of banking in the banking sector. According to him, banks that invest in digitalization will obtain a greater market share than banks that continue to operate conventionally.

“The demand for digital banking is greater along with the growth in the number of active internet users in 2020 reaching 175.4 million people. This means that banks are expected to provide faster services at affordable costs, and access anywhere, anytime,” he said.

If a digital bank is realized, the impact will be very large, especially for millennials. However, it is not without obstacles that banks are also deemed necessary to conduct education for other market segments, such as SMEs and rural areas. “The important thing here is developing digital banks must run along with the penetration of internet network access to remote and outermost areas,” Bhima said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bukalapak and Bank Mandiri Added a New Initiative to Empower Small Shops as Financial Agents

The strategy to acquire small shops as financial agents is getting discovered by both corporations and startups. After BRI with Grab, Bukalapak collaborated with Bank Mandiri to realize the plan this year.

As reported by Reuters, Bukalapak and Mandiri will encourage the micro retailer segment by increasing the role of small shops as an officeless financial services agent. Both are developing a model for this collaboration.

By planting it as a financial agent, the small shops can help people without smartphones to access financial services, especially basic services such as opening saving account.

In contact with DailySocial, Bukalapak did not elaborate on further development plans of the financial services agent initiative with Mandiri. However, Bukalapak’s Director of Payment, Fintech and Virtual Products, Victor Lesmana, ensures that this cooperation is to empower Warung Mitra Bukalapak and utilize QRIS (Quick Response Indonesian Standard) for payment transactions.

The expectation is for Warung Mitra Bukalapak to become an ‘agent of change’ to open the way to financial inclusiveness. This is because SME still dominates 65% -70% of retail transactions in Indonesia. It means, its presence is expected to not only encourage economic prosperity but also help reduce economic inequality.

“This collaboration is to increase access to financial services, especially for the unbanked and underbanked population. The use of QRIS has placed Mandiri as the largest ATM network in Indonesia,” he said.

Furthermore, Victor said Warung Mitra Bukalapak now has access to the Kirim Uang feature. This feature allows shop owners to help people send money.

Meanwhile, since the early 2020, Bukalapak has launched several other features for Warung Mitra Bukalapak, Bayar Tempo, top-up e-money, and Jutawan to provide added value in revenue and capabilities. Since  July 2020, there are 5.5 million Warung Mitra Bukalapak around 189 cities and districts throughout Indonesia.

DailySocial tries to reach Mandiri regarding this matter, but there has been no further response.

Financial access to the unbanked

The initiative from Bukalapak and Mandiri, adds a series of partnerships and similar services provided by Grab and BRI. In this case, BRI through BRILink and Grab Indonesia through GrabKios utilizes QRIS for payment systems.

As of June 2020, there were 429 thousand customers who became BRILink agents, 13 thousand of whom had already used the QRIS system. While GrabKios, which has been present since 2014, has pocketed more than 2.8 million partners with networks spread across 505 cities and districts in Indonesia.

This indicates how the financial and digital industries look at small shops as an appropriate touch point to reach unbanked and underbanked people.

Aside from small shops, the banking sector has also aggressively collaborated with startups to expand access to financial services in recent years by making it a front-end platform. The targeted vertical business platforms range from ride-hailing, marketplaces to P2P lending.

BRI, for example, has partnered with Grab, Tokopedia, and Traveloka to open financial access, such as opening saving accounts and online lending. Recently, BRI opened a special channel for entirely digital-based saving account opening, including the KYC process.

In addition,  the financial industry is also anticipating the big plans for some banks to realize digital banks with new entities and branding. Despite the collaboration and products, banking and startup innovations want to support equal access to finance.

According to Google, Temasek, Bain & Company report in October 2019, there were 92 million Indonesians in the unbanked segment (50.83%), followed by the banked segment at 42 million people (23.20%), and the underbanked segment 47 million (25.97%).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bukalapak dan Bank Mandiri Tambah Deretan Upaya Pemberdayaan Warung untuk Agen Keuangan

Strategi menggaet warung kelontong sebagai agen layanan keuangan semakin dilirik, baik korporasi maupun startup. Setelah BRI dan Grab, tahun ini Bukalapak berkolaborasi dengan Bank Mandiri untuk merealisasikan rencana tersebut.

Sebagaimana dikutip Reuters beberapa waktu lalu, Bukalapak dan Mandiri berupaya mendorong segmen micro retailer dengan meningkatkan peran warung melalui agen layanan keuangan tanpa kantor. Keduanya tengah melakukan pengembangan model kerja sama untuk kolaborasi ini.

Dengan memanfaatkannya sebagai agen keuangan, keberadaan warung dapat membantu masyarakat yang tidak memiliki smartphone untuk mengakses layanan keuangan, terutama layanan dasar seperti pembukaan rekening.

Dihubungi DailySocial, Bukalapak tidak merinci bagaimana rencana pengembangan agen layanan keuangan dengan Mandiri selanjutnya. Namun, Director of Payment, Fintech and Virtual Products Bukalapak Victor Lesmana memastikan bahwa kerja sama ini dapat memberdayakan Warung Mitra Bukalapak dan memanfaatkan QRIS (Quick Response Indonesian Standard) untuk transaksi pembayaran.

Pihaknya berharap Warung Mitra Bukalapak dapat menjadi ‘agen perubahan’ untuk membuka jalan menuju inklusivitas keuangan. Hal ini karena warung mendominasi sebanyak 65%-70% transaksi ritel di Indonesia. Artinya, keberadaan warung diharapkan tak hanya mendorong kemakmuran perekonomian, tetapi juga membantu mengurangi ketidaksetaraan ekonomi.

“Kerja sama ini untuk meningkatkan akses terhadap layanan keuangan, terutama yang belum punya akses ke perbankan, yaitu underbanked dan unbanked. Pemanfaatan QRIS menjadikan Mandiri sebagai bank dengan jaringan ATM terbesar di Indonesia,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Victor berujar bahwa saat ini Warung Mitra Bukalapak sudah bisa mengakses layanan Kirim Uang. Fitur ini memungkinkan pemilik warung untuk membantu masyarakat mengirim uang.

Adapun, sejak awal 2020, Bukalapak sudah meluncurkan beberapa fitur lainnya untuk Warung Mitra Bukalapak, yaitu Bayar Tempo, top up e- money, dan Jutawan untuk memberikan nilai tambah bagi pendapatan dan kapabilitas.  Hingga Juli 2020, terdapat sebesar 5,5 juta Warung Mitra Bukalapak yang tersebar di 189 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.

DailySocial sudah menghubungi pihak Mandiri terkait hal ini, tetapi belum ada respons lebih lanjut.

Akses keuangan terhadap unbanked

Masuknya Bukalapak dan Mandiri, menambah deretan kemitraan dan layanan serupa yang dilakukan Grab dan BRI. Dalam hal ini, BRI melalui BRILink dan Grab Indonesia melalui GrabKios memanfaatkan QRIS untuk sistem pembayaran.

Hingga Juni 2020, terdapat 429 ribu nasabah yang menjadi agen BRILink, 13 ribu di antaranya sudah menggunakan sistem QRIS. Sementara GrabKios yang hadir sejak 2014, telah mengantongi lebih dari 2,8 juta mitra dengan jaringan yang tersebar di 505 kota dan kabupaten di Indonesia.

Ini menandakan bagaimana industri keuangan dan digital melihat warung sebagai touch point yang tepat untuk menjangkau masyarakat unbanked dan underbanked.

Selain warung, sektor perbankan juga semakin agresif menggandeng startup untuk memperluas akses layanan keuangan dalam beberapa tahun terakhir dengan menjadikannya sebagai front-end platfrom. Vertikal bisnis platform yang dibidik beragam, mulai dari ride hailing, marketplace, hingga P2P lending.

BRI, misalnya, sudah menggandeng Grab, Tokopedia, dan Traveloka untuk membuka akses keuangan, seperti pembukaan rekening dan online lending. Bahkan baru-baru ini, BRI membuka channel khusus untuk pembukaan rekening yang sepenuhnya dilakukan berbasis digital, termasuk proses KYC.

Tak hanya itu, industri keuangan juga sedang mengantisipasi rencana besar sejumlah bank untuk merealisasikan bank digital dengan entitas dan branding baru. Apapun kolaborasi dan produknya, inovasi perbankan dan startup ingin mendukung pemerataan akses keuangan.

Laporan Google, Temasek, Bain & Company pada Oktober 2019 mencatat ada sebanyak 92 juta masyarakat Indonesia masuk ke dalam segmen unbanked (50,83%), diikuti dengan segmen banked sebanyak 42 juta jiwa (23,20%), dan segmen underbanked 47 juta (25,97%)

Application Information Will Show Up Here

2020 Jadi Tahun Realisasi Bank Digital Indonesia

Kita telah menyaksikan berbagai inovasi digital perbankan dalam hampir satu dekade terakhir. Mobile dan internet banking dapat menjadi contoh digitalisasi perbankan yang paling lekat dalam keseharian. Berkat inovasi ini, nasabah semakin mudah dalam melakukan transaksi keuangan.

Perbankan Indonesia juga mulai merangkul keterhubungan layanan melalui pengembangan Open API. Pertumbuhan bisnis digital di Tanah Air yang dimotori platform e-commerce dan fintech dapat dikatakan sebagai driven factor bagi perbankan untuk mengembangkan inovasi tersebut. Kini, transaksi lintas platform menjadi sangat memungkinkan dilakukan.

Dalam beberapa tahun terakhir, fintech mengambil peran cukup besar dalam memberikan akses layanan keuangan yang efisien dan praktis. Fintech berhasil mendisrupsi model bisnis perbankan tradisional dengan proses onboarding yang cepat.

Berdasarkan Fintech Report 2019, tercatat sebanyak 79,9% dari 747 responden di Indonesia menggunakan layanan digital wallet, diikuti oleh investment (31,5%), paylater (30,9%), online multifinance (12%), insurtech (11,8%), crowdfunding (8,2%), P2P lending (6,2%), dan remittance (2,4%).

Peran fintech dalam ekosistem keuangan ini justru menjadi momentum bagi perbankan untuk berinovasi. Di luar layanan mobile banking yang dimiliki, sejumlah bank di Indonesia semakin agresif mengembangkan produk keuangan digital, baik sendiri maupun berkolaborasi. Bahkan nasabah kini bisa membuka rekening tabungan melalui aplikasi mobile banking dan platform digital.

Dalam konteks digitalisasi, upaya di atas tentu relevan dengan kebutuhan pengguna saat ini. Namun, upaya tersebut belum cukup jika ingin mencapai inklusi keuangan yang lebih luas. Populasi masyarakat yang tidak tersentuh layanan keuangan (unbanked) masih besar. Keterbatasan ATM dan kantor cabang menjadi salah satu kendala bagi perbankan.

Laporan Google, Temasek, Bain & Company pada Oktober 2019 mencatat ada sebanyak 92 juta masyarakat Indonesia masuk ke dalam segmen unbanked (50,83%), diikuti dengan segmen banked sebanyak 42 juta jiwa (23,20%), dan segmen underbanked 47 juta (25,97%).

Industri perbankan di Indonesia menyadari fenomena ini bahwa produk keuangan kini tak hanya dimonopoli oleh bank saja. Situasi ini juga menandakan perbankan belum mampu menutup gap antara masyarakat melek keuangan dan tidak, dengan model bisnis tradisional.

Bank digital di Indonesia

Setelah digitalisasi perbankan, kini tren bank digital di Indonesia secara perlahan mulai bertumbuh. Upaya ini memperlihatkan bagaimana transformasi bank tak lagi bertumpu pada digitalisasi layanan, tetapi juga menjadi sebuah institusi terpisah.

Secara definitif, bank digital berbeda dengan digitalisasi perbankan. Meminjam istilah populer, konsep bank digital umumnya disebut sebagai neobank yang populer sejak 2017. Sementara mengutip tulisan Neo Bank dan Masa Depan Retail Banking di Indonesia“, istilah bank digital sering didefinisikan sebagai challenger bank.

Challenger bank di dunia bahkan sudah mengantongi jutaan nasabah. Beberapa di antaranya adalah Nubank (Brasil), Monzo (Inggris), N26 (Jerman), dan Chime (Amerika Serikat).

Kembali pada definisi awal, bank digital atau neobank diartikan sebagai bank yang beroperasi berbasis online tanpa ada kantor cabang fisik. Bank digital menawarkan kemudahan akses dengan UI/UX yang ramah pemakaian. Dengan koneksi internet dan smartphone, siapa saja dapat membuka rekening dan mengakses layanan keuangan lainnya.

Bank digital juga memiliki peluang untuk dapat me-leverage journey pelanggan melalui pengembangan layanan keuangan penunjang dan menjadikan produknya sebagai produk keseharian nasabah.

Tentu konsep di atas berbanding terbalik dengan bank tradisional di mana layanan keuangan—meski sudah ada internet dan mobile banking—masih membutuhkan tatap muka dan kantor cabang fisik. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bank adalah bisnis kepercayaan sehingga kontak fisik masih diperlukan.

Di Indonesia, bank digital kebanyakan dikaitkan pada layanan Jenius (2016) dan digibank (2017). Keduanya sering disebut sebagai pelopor bank digital pertama. Namun, ada juga yang menyebutnya sebagai produk spin off mengingat keduanya masih berada dalam naungan BTPN dan Bank DBS sebagai entitas utama.

Jenius dan digibank merupakan layanan berbasis aplikasi yang menawarkan produk dasar perbankan, yakni tabungan, pembukaan rekening online. Keduanya juga menawarkan layanan penunjang lain, seperti pengatur keuangan.

Tabel Jenius dan digibank / DailySocial
Tabel Jenius dan digibank / DailySocial

Jika akarnya adalah perluasan inklusi keuangan, Jenius dan digibank dapat dikatakan belum bisa dilabeli demikian. Hal ini karena keduanya mengincar segmen masyarakat yang sudah melek digital (digital savvy). Sementara, segmen unbanked cenderung belum memahami literasi keuangan.

Realisasi bank digital selanjutnya

Seiring semakin matangnya ekosistem dan teknologi, tahun 2020 tampaknya bakal menjadi tahun realisasi peluncuran bank digital di Indonesia. Beberapa rencana yang kami rangkum antara lain Bank Digital BCA, Bank Jago, dan Bank Yudha Bakti (BYB). Upaya untuk menjadi bank digital sebagai entitas baru ini semuanya dilalui lewat proses akuisisi.

Mengutip Kontan, BCA mencaplok Bank Royal senilai Rp988 miliar pada 2019. Bank Royal akan berganti nama menjadi Bank Digital BCA dengan target realisasi semester II 2020. Target pasarnya adalah segmen retail dan UMKM, berbeda dari portofolio utama induknya yang bermain di korporat. Bank Digital BCA sudah mengantongi izin dari OJK dan siap secara infrastruktur.

Diketahui, perusahaan juga disebut sedang menyiapkan P2P lending untuk Bank Digital BCA. Namun, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengungkap urung untuk meluncurkan layanan tersebut dalam waktu dekat. “Belum berani masuk P2P karena risikonya besar sekali, kami sedang persiapan dulu,” ujarnya seperti dikutip dari Katadata.

Tabel Bank Digital / DailySocial
Tabel bank digital / DailySocial

Selanjutnya, Bank Artos resmi berganti nama menjadi Bank Jago setelah diakuisisi bankir senior Jerry Ng dan Patrick Walujo. Menurut Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar, pihaknya sedang merampungkan model bisnis dan menyempurnakan aplikasi yang ditarget meluncur sebelum kuartal IV 2020.
Mengutip Bisnis.com, Bank Jago bakal membidik segmen menengah dan mass market sebagai target utama. Selain itu, Bank Jago juga bakal berkolaborasi dengan platform digital di berbagai vertikal bisnis, seperti e-commerce, ride hailing, dan P2P lending.

DailySocial telah menghubungi reprenstasi BCA dan Bank Jago terkait realisasi bank digital ini, namun pihaknya masih enggan membuka informasi. “Direksi kami belum dapat menyampaikan informasi ke media karena saat ini sedang fokus menyiapkan aplikasi dan segala sesuatunya,” ungkap Senior Manager Bank Jago Nurul Kolbi dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Berbeda dengan keduanya, Bank Yudha Bakti (BYB) mulai dikendalikan oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang menaungi layanan fintech Akulaku pada 2019. Masuknya Akulaku diharapkan dapat mempercepat proses transformasi digital BYB, yakni menjadi bank digital tanpa kantor cabang dan mengembangkan aplikasi mobile untuk meningkatkan penetrasi pasar.

DailySocial menghubungi Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo terkait hal ini. Menurut Indra, BRI memang tidak melakukan strategi serupa dengan bank di atas. Akan tetapi, BRI dinilai sudah melakukan transformasi besar untuk mejadi bank digital.

Untuk menjadi bank digital, Indra menilai BRI harus memaksimalkan keunggulan pada jaringan fisik. “Pemenangnya adalah yang dapat memadukan keunggulan fisik dan digital. Apapun entitasnya, baik BRI dan anak usaha, harus digital company. Tidak perlu ada dikotomi bank digital dan bank non-digital,” ungkapnya.

Tanpa dikotomi tersebut, ujarnya, BRI sudah memberikan sebuah value dari konsep bank digital dengan layanan perbankan berbasis digital. BRI menjadi bank pertama yang meluncurkan produk digital lending PINANG dan Ceria. Kemudian, bank pertama yang menyediakan layanan pembukaan rekening dengan proses KYC sepenuhnya berbasis digital.

Tabel Produk Digital BRI / DailySocial
Tabel Produk Digital BRI / DailySocial

Indra menekankan bahwa digital tidak bisa menggantikan kepercayaan, layanan, dan brand. Akan tetapi, tanpa digital, kita tidak bisa mendapatkan ketiganya. Artinya, bank dengan label ‘digital’ tidak serta-merta menjadi lebih terpercaya dibanding perbankan besar yang sudah bertransformasi digital.

“Sampai saat ini saya belum lihat ada bank digital atau neobank yang sukses di dunia. Bagi saya, pemenangnya adalah yang memadukan keunggulan fisik atau human touch dan digital. Istilahnya phygital,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Head of Digital Banking BTPN Irwan Sutjipto Tisnabudi mengaku bahwa kemunculan bank digital baru akan membantu menciptakan ekosistem keuangan digital dan mendorong edukasi terhadap literasi finansial lebih baik. Bahkan, tren ini akan memunculkan peluang kolaborasi.

Terkait kemungkinan Jenius menjadi entitas terpisah, Irwan menegaskan bahwa Jenius saat ini tetap mendukung bisnis BTPN untuk memperluas segmen pasar yang telah dimiliki sebelumnya. Ia juga menekankan pada strategi utama melalui kokreasi dan kolaborasi dengan like-minded partner untuk mengembangkan produk yang relevan bagi customer.

“Dalam melakukan transformasi digital, BTPN meyakini digital menjadi inti bisnis dan value proposition, bukan saluran tambahan. Prioritas kami membangun ekosistem yang mendukung life finance dengan cakupan lebih luas sehingga manfaatnya dapat dirasakan bagi masyarakat melek digital,” jelasnya.

Jenius menjadi hasil transformasi BTPN yang dikembangkan lewat proses kokreasi dan kolaborasi dengan ribuan digital savvy selama 18 bulan. Per Maret 2020, Jenius telah mengantongi lebih dari 2,5 juta pengguna. Perusahaan juga baru saja memperkenalkan fitur Bisniskit untuk pembilik bisnis baru dan Moneytory untuk membantu pengelolaan keuangan.

Regulasi dan tantangan

Saat ini penyelenggaraan bank digital masih berada dalam payung hukum bank konvensional. Hal ini diatur dalam Peraturan OJK Nomor 12 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. Belum ada payung hukum tersendiri untuk mengatur pembukaan rekening virtual.

Dalam regulasinya jelas dikatakan bahwa bank digital memiliki perbedaan dengan layanan digital perbankan (m-banking, SMS banking, e-banking, etc). Perbedaannya jelas bahwa seluruh layanan digital perbankan dapat diakses melalui smartphone.

Sementara di luar daripada itu, bank digital mencakup keseluruhan layanan perbankan dari administrasi rekening, otorisasi transaksi, pengelolaan keuangan, dan/atau pembukaan/penutupan rekening, tranksaksi digital, dan pelayanan produk keuangan lain berdasarkan persetujuan OJK.

Menurut pengamat Institute for Development of Economics (Indef) Bhima Yudistira, belum ada kebutuhan untuk merancang regulasi baru untuk mengakomodasi payung hukum bank digital. Terlebih, regulasi yang sudah ada baru diterbitkan pada 2018. Akan tetapi, Bhima menggarisbawahi bahwa pemerintah perlu memperhatikan aspek keamanan dan pemanfaatan data untuk pihak ketiga agar dapat diatur lebih ketat.

Di sisi lain, ia juga melihat bahwa tren bank digital mendorong lanskap persiangan baru di sektor perbankan. Menurutnya, bank yang berinvestasi terhadap digitalisasi akan memperoleh pangsa pasar lebih besar dibandingkan bank yang tetap beroperasi secara konvensional.

“Kebutuhan terhadap digital banking semakin besar seiring dengan pertumbuhan jumlah pengguna internet aktif di 2020 yang mencapai 175,4 juta orang. Artinya perbankan diharapkan memberikan layanan yang lebih cepat dengan biaya terjangkau, dan akses di manapun dan kapanpun,” ujarnya.

Jika bank digital terealisasi, dampaknya akan sangat besar, khususnya bagi kalangan milenial. Namun, bukan tanpa halangan bahwa perbankan juga dinilai perlu untuk melakukan edukasi untuk segmen pasar lain, seperti UMKM dan pedesaan. “Di sini pentingnya pengembangan bank digital harus diiringi oleh penambahan akses jaringan internet ke daerah terpencil dan terluar,” tutur Bhima.

BRI Partners with Grab to Enable Buka Rekening Digital Saving

BRI has recently reported to partner with Grab as a digital platform to enable online-based account opening (digital saving).

Based on DailySocial observation, the collaboration can be seen from the promotional banners displayed on the main page of the Grab application. From its official website, BRI said that this program is valid from July 14 to July 20, 2020.

Grab adds up to BRI’s collaboration with digital platforms in Indonesia. Previously, BRI had collaborated with Tokopedia and Traveloka to introduce BRI Ceria or digital loans for transactions through e-commerce or online travel sites.

BRI is known to aggressively increase the number of customers through digital platforms. A week earlier, BRI had just introduced an online-based account opening through the BRI Open Account platform. This service is accessible through the official website bukarekening.bri.co.id.

This service allows customers to create new accounts without having to visit the bank and directly meet the staff. The company utilizes face recognition and digital signature technology in the KYC process. Potential customers who make online accounts will automatically become BRI internet banking users (BRImo).

“We are targeting to add 1 million new customers through this online account opening channel,” BRI’s Consumer Director Handayani said in her official statement.

Separately, BRI’s Digital Director, Information Technology and Operations Indra Utoyo revealed that this collaboration is quite a big picture of the state-owned banks to move into the “banking everywhere” era.

“Now, there is another way to open an account besides BRImo application. Prospective customers can use partner’s platforms, such as e-commerce partners, ride-sharing, fintech, and others. This platform is the front-end of our service,” Indra told DailySocial.

Digital saving with digital platforms

In general note,  Indonesian banking is now increasingly open in utilizing digital technology to increase the number of its customers. Not only application-based banking services and Open API, but also offers digital-based account opening.

Some banks already offer online account opening services, however, mostly through mobile banking applications, such as BRI, CIMB Niaga, Mandiri, and PermataBank applications.

In BRI’s case, the company utilizes the digital platform as a front-end for digital banking services. To date, BRI has collaborated with Grab, Tokopedia (BRI Ceria), and Tokopedia (BRI Ceria).

This is a proof of Indonesian banks’ effort to change the conventional approach to consumers. Moreover, many unbanked segments in Indonesia with limited access to branch offices is quite an obstacle. This has become a strategic collaboration with the support of the application platform and customer base.

“The digital essence is to provide solutions and benefits to customers to make it faster, better, and more efficient. BRI became the first bank to offer a full digital account opening and has been approved by the Financial Services Authority (OJK). Other players still have the KYC process with video calls and meet at physical outlets. ”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Gandeng Grab untuk Layanan Buka Rekening Online

Baru-baru ini BRI diketahui menggandeng Grab sebagai salah satu mitra platform digital untuk mendorong pembukaan rekening berbasis online (digital saving).

Berdasarkan pantauan DailySocial, kerja sama tersebut terlihat dari banner promosi yang ditampilkan di laman utama aplikasi Grab. Dari laman resminya, BRI menyebutkan program ini berlaku pada periode 14 Juli 2020-20 Juli 2020.

Kolaborasi dengan Grab menambah deretan kerja sama BRI dengan platform digital di Indonesia. Sebelumnya, BRI telah menggandeng Tokopedia dan Traveloka untuk memperkenalkan BRI Ceria atau pinjaman digital untuk pembiayaan transaksi melalui e-commerce atau online travel site.

BRI diketahui tengah gencar meningkatkan jumlah nasabah melalui platform digital. Seminggu sebelumnya, BRI baru saja memperkenalkan layanan pembukaan rekening secara digital melalui platform BRI Buka Rekening. Layanan ini dapat diakses lewat situs resmi bukarekening.bri.co.id.

Layanan ini memungkinkan nasabah membuat rekening baru tanpa perlu datang ke bank dan bertatap muka dengan petugas. Perusahaan memanfaatkan teknologi face recognition dan digital signature pada proses KYC. Calon nasabah yang membuat rekening online otomatis akan menjadi pengguna internet banking BRI (BRImo).

“Kami menargetkan penambahan 1 juta nasabah baru melalui channel pembukaan rekening online ini,” ungkap Direktur Consumer BRI Handayani dalam keterangan resminya.

Dihubungi terpisah, Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo mengungkap bahwa kolaborasi ini menjadi salah satu gambaran besar bank pelat merah ini untuk menuju era “banking everywhere“.

“Sekarang buka tabungan tidak harus lewat aplikasi BRImo. Calon nasabah bisa menggunakan platform dari mitra e-commerce, ride-sharing, fintech, dan lainnya. Platform ini menjadi front-end dari layanan kami, ” tutur Indra kepada DailySocial.

Digital saving dengan memanfaatkan platform digital

Sebagaimana diketahui, perbankan Indonesia kini semakin terbuka dalam memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan jumlah nasabahnya. Tak hanya layanan perbankan berbasis aplikasi dan Open API, tetapi juga menawarkan pembukaan rekening berbasis digital.

Sejumlah bank sudah menawarkan layanan pembukaan rekening online, tetapi kebanyakan masih melalui aplikasi mobile banking, seperti pada aplikasi milik BRI, CIMB Niaga, Mandiri, dan PermataBank.

Pada kasus BRI, perusahaan memanfaatkan platform digital sebagai front-end untuk layanan perbankan digital. Sejauh ini, BRI telah berkolaborasi dengan Grab, Tokopedia (BRI Ceria), dan Tokopedia (BRI Ceria).

Ini menandakan upaya perbankan Indonesia untuk mengubah pendekatan konvensional terhadap konsumen. Terlebih masih banyak segmen unbanked di Indonesia di mana keterbatasan akses ke kantor cabang menjadi salah satu kendala. Kolaborasi ini menjadi strategis dengan dukungan platform dan basis pelanggan aplikasi tersebut.

“Esensi digital itu adalah memberikan solusi dan manfaat kepada customer agar lebih cepat, lebih baik, dan lebih efisien. BRI menjadi bank pertama yang menawarkan pembukaan rekening secara full digital dan sudah disetujui Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pemain lain masih ada proses KYC dengan video call dan bertemu di outlet fisik.”

Laporan DSResearch: Tren Inovasi dan Transformasi Digital di Korporasi 2020

Korporasi selalu dihadapkan dengan tantangan bisnis yang dinamis yang disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari kebiasaan konsumen yang berubah, relevansi produk/layanan, hingga disrupsi teknologi dari pemain baru. Kondisi tersebut membuat perusahaan harus gesit menyusun langkah-langkah transformatif kaitannya dengan strategi, model bisnis, tatanan organisasi, hingga digitalisasi.

Kondisi tersebut tentu juga dialami para korporasi di Indonesia. Untuk melihat bagaimana para perusahaan di Indonesia mengagendakan transformasi, DSResearch menyusun laporan bertajuk Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020. Di dalamnya peneliti melakukan wawancara lebih dari 20 narasumber dari perusahaan berskala besar, baik di posisi C-Level maupun Mid-Level.

Adapun perusahaan yang disurvei dipilih lima sektor berbeda meliputi perbankan, keuangan non-perbankan, telekomunikasi, transportasi dan pariwisata, serta FMCG. Beberapa perusahaan tersebut termasuk BCA, Bank Mandiri, Zurich Insurance, Telkom, XL Axiata, Blue Bird, Garuda Indonesia, HM Sampoerna dll.

Selain membahas mengenai tren transformasi bisnis terkini, laporan ini banyak menampilkan studi kasus proses transformasi dari perusahaan-perusahaan yang menjadi narasumber. Peneliti menggunakan tiga komponen identifikasi untuk menemukan pola-pola transformasi yang dilakukan, meliputi komitmen pemangku kebijakan, perjalanan inovasi, dan produk inovasi; dibungkus dengan kerangka kerja yang relevan untuk pengukuran.

Berikut ini beberapa poin menarik yang dirangkum dalam laporan:

  • Di tingkat korporasi, penempatan transformasi bisnis difokuskan untuk dua hal, yakni peningkatan pangsa pasar atau pelayanan konsumen; dan pengembangan produk atau aset bisnis. Dimulai dari meningkatkan sumber daya yang sudah dimiliki, dilanjutkan dengan eksplorasi dan membuka peluang-peluang baru.
  • Covid-19 memberikan pukulan untuk beberapa jenis bisnis, utamanya di sektor transportasi dan pariwisata. Namun beberapa celah masih bisa dioptimalkan dengan baik, misalnya untuk bisnis logistik. Sementara untuk sektor lain seperti perbankan, pandemi menjadi momentum untuk adaptif dengan implementasi teknologi.
  • Di sektor perbankan, beberapa tahun terakhir kegiatan transformasi mengarah pada realisasi “open banking platform”. Pendekatan digital juga terus dimaksimalkan untuk meningkatkan pengalaman pengguna yang lebih baik. Kolaborasi dengan fintech juga makin dioptimalkan – misalnya dengan membuka layanan API untuk diintegrasikan oleh para pengembang aplikasi.
  • Perusahaan telekomunikasi di Indonesia tidak lagi hanya terpaku pada bisnis utama mereka, tapi juga mulai banyak mengeksplorasi peluang lain khususnya terkait layanan OTT. Namun tidak sedikit yang gagal. Pendekatan kolaboratif akhirnya dipilih dengan membentuk CVC, lab inovasi, atau program akselerasi.
  • Perusahaan FMCG sudah merasakan adanya disrupsi, namun kebanyakan belum memiliki komitmen yang serius untuk melakukan transformasi digital. Ditandai dengan tidak adanya roadmap digital atau sumber daya khusus yang disiapkan untuk mengarah ke sana. Mereka merasa masih cukup mengandalkan kanal-kanal distribusi yang sifatnya “terbuka”, seperti dengan menghadirkan lapak di platform online marketplace.

Selain itu, dalam laporan turut dirangkum tentang kultur organisasi, perjalanan inovasi, hingga inovasi teknologi dari tiap perusahaan yang menjadi narasumber, dilengkapi dengan contoh-contoh yang relevan. Selengkapnya, unduh laporan: Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020 (versi Bahasa Indonesia) dan Corporate Digital Transformation Report 2020 (English version).


Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo)

BRI Ventures Sets a New Managed Funds to Non-Fintech Startup in Jakarta and Singapore

BRI Ventures, a corporate venture capital under BRI, is preparing new managed funds as an investment vehicle for non-fintech startups in 2020.

BRI’s Director of Digital, Information Technology and Operations Indra Utoyo ensured the license to invest in non-fintech (Special Purpose Vehicle / SPV) is on progress by the Financial Services Authority (OJK).

“It is under BRI Ventures authority, yet named a venture fund because it is to be used to any [investment] including non-fintech. [For funding] We have our Limited Partner overseas,” Utoyo said to DailySocial.

In a recent interview, BRI’s VP of Investor Relation and Strategy, Markus Liman has mentioned the managed funds is to be finalized by February.

There are seven non-fintech ecosystems to be targeted for investment, including agro-maritime, health, education, tourism and travel, transportation, as well as retail and creative industries.

“We are opportunistic in number, therefore, we are not targeting quantity. Instead, we already have 6-8 deals in a pipeline for a year seeing the existing bandwidth and opportunities, “he said.

Based on the latest information Markus told DailySocial, the team is currently preparing an SPV license not only in Indonesia but also in Singapore.

“There will be an entity in Singapore to acquire a license to the Monetary Authority of Singapore. However, the fund remains as an investment vehicle, “Markus said.

Meanwhile, as noted in BRI’s financial statements in 2019, BRI Ventures is said to aim at the retail and creative industries as its main focus of investment in 2020.

Markus said the retail and creative industries either in Indonesia or overseas have a more mature market. He thought other business verticals require longer effort to run.

“This sector is more mature, both from [business] actors and their supporting ecosystems,” he added.

BRI Ventures, which was founded in 2019, has received fund injection up to Rp1.5 trillion from its parent company. The financial report noted these funds have been distributed in three phases, Rp 200 billion (March), Rp 800 billion (July), and Rp 500 billion (December).

In 2019, BRI Ventures has just invested a total Rp278.11 billion through 17 percent investment in the LinkAja e-money platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian