Cerita dan Pelajaran dari Proses “Pivot” Model Bisnis Akseleran

pivot menjadi salah satu strategi bisnis yang bisa dilakukan founder saat menemui keadaan “buntu”. Khususnya ketika produk yang dijalankan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan pasar. Atau model bisnis yang dikembangkan tidak berhasil mendatangkan keuntungan.

Setelah memutuskan untuk pivot pun, ada banyak hal yang harus disiapkan sampai akhirnya produk benar-benar siap untuk dipasarkan. Diskusi menarik ini diangkat oleh #SelasaStartup edisi pekan kedua Juli 2019, mengundang Co-Founder & CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan.

Akseleran adalah platform p2p lending yang menghubungkan pemberi dana dengan peminjam dengan basis pinjaman.

Ivan banyak memberikan cerita di balik keputusannya memilih pivot bersama startupnya. Sekaligus memberikan tips apa saja yang harus diperhatikan founder sebelum dan sesudah “berpindah haluan” bisnis.

Awal mula pivot Akseleran

Ivan menjelaskan, awal pengembangan Akseleran didasari adanya funding gap penyaluran kredit dan susahnya pemilik modal mengakses pasar modal. Dari situ berangkatlah solusi pemberian pinjaman ke UKM dalam bentuk penyertaan ekuitas.

Sebelum akhirnya Akseleran diluncurkan, tentunya tim melakukan riset untuk validasi bisnis. Apakah konsep seperti ini bisa berjalan di Indonesia dengan mengacu di luar negeri? Waktu itu hipotesis mereka jawabannya “iya”, ada banyak startup di luar sana yang terbukti bisa berjalan dengan model bisnis serupa, bahkan sudah beroperasi sejak 2012, seperti Crowdcube dan Seedrs.

“Potensi dengan skema bisnis ini besar. Andaikan kita bisa hubungkan 15 juta orang dan mau kasi pendanaan rutin Rp100 ribu tiap bulan. Setahun ada Rp18 triliun. Gede potensinya, kita pikir ini bisa jalan,” kata Ivan.

Tim pun memikirkan cara termudah untuk bantu UKM mendapatkan pendanaan. Akhirnya memutuskan untuk bantu mereka dengan membuatkan deck, financial model bulanan selama tiga tahun, dan sebagainya. Dari sisi pemberi modal juga dipermudah, mereka bisa mulai berinvestasi mulai dari Rp100 ribu saja.

Ternyata dalam kurun waktu enam bulan pasca peluncuran di Maret 2017, Akseleran hanya mampu mengumpulkan penyaluran dana kurang dari Rp2 miliar. Ini memperlihatkan bahwa Akseleran tidak punya product market fit dan saatnya untuk pivot

“Bahkan dari dua bulan berjalan kami sudah berpikir untuk pivot karena ternyata produk kita ini tidak memberikan solusi atas masalah yang ada.”

Pelajari kesalahan

Menjelang keputusan untuk memilih pivot, sebenarnya Ivan menyadari bahwa saat resmi meluncur pertumbuhan Akseleran lambat. Pertama, pasar Indonesia cenderung tidak reseptif dengan model pendanaan berbasis ekuitas. Mereka lebih menyukai investasi jangka pendek dengan pendapatan tetap.

Sementara kalau ekuitas itu berdasarkan pembagian dengan hasil yang tidak tentu, bisa untung atau rugi. Tenornya pun panjang. Intinya, orang Indonesia itu tidak suka dengan sesuatu yang tidak pasti.

Kedua, masalah skalabilitas. Tim Akseleran membuatkan deck dan financial model untuk UKM. Yang mana, keputusan ini tidak scalable karena waktu yang dibutuhkan untuk membuat seluruhnya bisa sampai 1-2 minggu. Ini hanya buat satu UKM saja, tentu terlalu banyak waktu yang harus terbuang.

Terakhir, mengenai regulasi. Perlu diketahui, equity crowdfunding waktu itu belum memiliki regulasi di OJK. Padahal, menurut Ivan, dalam membuat bisnis startup itu harus dipikirkan tentang regulasinya, apakah sudah diatur dan banyak aturannya.

“Jadi awal kita masuk itu penuh dengan ketidakpastian karena belum ada aturannya. Tiga alasan ini akhirnya kita putuskan untuk berhenti.”

Dari tiga kesalahan ini, membuat Akseleran untuk kembali berkaca. Masalah yang terjadi di Indonesia itu nyata dan butuh solusi yang nyata pula, juga harus efektif.

Pivot tidak selalu berjalan cepat

Setelah memutuskan untuk pivot pun, tidak selalu mulus. Ivan dan tim harus mulai dari nol. Pivot resmi dilakukan akhir Mei 2017, produk baru dirilis pada awal Oktober 2017. Belajar dari kesalahan, akhirnya Akseleran terjun ke p2p lending.

Produk yang disediakan mulai dari invoice financing, inventory financing, capex loan, dan online merchant. Keempat produk ini bisa menjangkau seluruh UKM dari berbagai lini baik, online, offline, B2B atau B2C.

Dari sisi pemberi pinjaman, tenornya dibuat pendek mulai dari 3 bulan sampai 1 tahun saja. Kupon dibuat dengan kisaran 18%-21%.

“Hasilnya pasca pivot dalam enam bulan kita sudah menyalurkan Rp36 miliar, dari [produk sebelumnya] Rp2 miliar dalam enam bulan. Padahal, timnya sama, problem-nya sama, tapi solusi dan hasilnya beda.”

Pencapaian ini tentunya tidak didapat dengan cara instan. Timnya melakukan validasi pasar berkali kali untuk memastikan dapat feedback dari pasar, terutama saat enam bulan baru beroperasi. Iterasi berkali-kali sampai dapat product market fit.

“Ketika semua ini sudah dilakukan, maka scale up bisnis bisa lebih mudah. Kita bisa lebih mudah untuk reach out ke investor karena mereka itu selalu melihat traksi,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Membuat “Business Model Canvas” untuk Startup Pemula

Banyak hal yang harus dilakukan founder untuk memastikan bisnis startup berjalan baik ketika diluncurkan, salah satunya dengan mematangkan model bisnis (business model). Model bisnis adalah strategi yang akan dilakukan startup untuk menghasilkan nilai (value) untuk berbagai pihak yang terlibat dalam proses itu sendiri.

Penting untuk menjadi catatan, model bisnis berbeda dengan rencana bisnis (business plan). Tujuan model bisnis ialah untuk membantu startup memvalidasi sumber daya, aktivitas, kanal, hingga hubungan yang akan dijalin. Sementara rencana bisnis lebih kepada strategi untuk mencapai target yang diinginkan — sehingga nantinya akan berbicara mengenai pemasaran, keuangan, dan lain-lain.

Perbedaan model bisnis dan rencana bisnis
Perbedaan model bisnis dan rencana bisnis / NVI

Model bisnis untuk startup tahap awal sifatnya eksperimental. Artinya konsep yang dibuat pertama kali bisa saja tidak berhasil diimplementasikan, karena founder memang perlu melakukan pengujian, validasi dan pembuatan ulang hingga menemukan model yang pas untuk startupnya.

Business Model Canvas

Business Model Canvas (BMC) adalah kerangka kerja yang paling populer untuk mendefinisikan model bisnis startup. Kanvas disusun untuk menjelaskan, memvisualisasikan, menilai, dan mengubah model bisnis agar menghasilkan kinerja yang lebih optimal untuk startup. Kanvas ini dapat digunakan untuk semua jenis startup, tanpa terbatas sektor usahanya. Bagi founder dan/atau mentor startup, BMC digunakan untuk menganalisis kekuatan dan kekurangan proses bisnis.

Susunan Business Model Canvas
Susunan Business Model Canvas / JAM

BMC memiliki sembilan elemen yang saling terhubung. Adapun sembilan elemen tersebut meliputi: (1) Customer Segments, (2) Customer Relationships, (3) Value Proposition, (4) Channels, (5) Revenue Streams, (6) Key Activities, (7) Key Partners, (8) Resources, (9) Cost Structure. Mungkin dalam template yang berbeda penyebutan istilahnya berbeda, namun pada dasarnya tujuannya tetap sama.

Secara fungsi, kesembilan elemen tersebut terbagi menjadi tiga kategori, yakni desirability (elemen yang mendefinisikan keinginan startup/founder) meliputi customer segments, value proposition dan customer relationships; feasibility (elemen yang mendefinisikan dukungan untuk merealisasikan keinginan tersebut) meliputi channels, key activities, key resources dan key partners; dan viability (elemen yang mendefinisikan ketahanan bisnis) meliputi revenue streams dan cost structure.

Template kanvas BMC yang paling populer digunakan dan gratis dapat diunduh di Strategyzer. Dalam artikel ini, petunjuk pengerjaan yang akan digunakan mengambil template dari situs tersebut.

Penjelasan elemen BMC

Pengisian template BMC dimulai dari kolom Customer Segments di sebelah kanan. Pada dasarnya bagian ini ditulis daftar konsumen yang disasar. Dalam mengisi, founder perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: “Siapa pengguna utama produk Anda? Bagaimana karakteristiknya? Apa saja segmentasi konsumen yang ingin disasar?”, agar menjadi lebih spesifik dan detail.

Segmentasi konsumen bisa beragam, bahkan sebuah produk bisa saja menyasar lebih dari satu segmen. Beberapa jenis segmentasi dalam startup digital seperti B2C (Business to Consumer), B2B (Business to Business), C2C (Customer to Customer), B2G (Business to Government) — atau gabungan dari beberapa segmentasi seperti B2B2C dan B2B2G.

Tidak cukup sampai di situ, masing-masing segmen pelanggan harus dipahami karakteristiknya secara mendalam. Sementara karakteristik masing-masing segmen pelanggan bisa saja berbeda penjabarannya. Bagan di bawah ini adalah contoh pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab founder agar memahami karakteristik calon pelanggannya.

Karakteristik konsumen B2C dan B2B
Memahami karakteristi konsumen dari segmen B2C dan B2B

Kemudian elemen berikutnya Value Proposition, yakni berisi mengenai solusi yang coba ditawarkan kepada pelanggan. Beberapa pertanyaan yang dapat dijawab founder untuk mengisi bagian ini di antaranya: “Masalah apa yang coba diselesai dengan produk/layanan startup Anda? Apakah permasalahan tersebut cukup signifikan? Solusi apa yang ingin ditawarkan? Apa manfaat solusi tersebut bagi konsumen?”.

Lalu yang menjembatani antara dua elemen tersebut di atas Channel, yakni tentang bagaimana solusi disampaikan kepada pelanggan. Prinsip dari elemen channels nantinya akan terkait dengan pemasaran, penjualan, distribusi, dan dukungan pasca penjualan. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab founder untuk mengisi elemen ini antara lain: “Bagaimana startup Anda berkomunikasi dengan pelanggan? Bagaimana menyampaikan produk/layanan ke konsumen?”.

Kemudahan akses ke layanan digital memang membuat poin ini terlihat makin mudah. Media sosial, situs online, atau aplikasi ponsel bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun kembali lagi, pemilihan kanal sebaiknya dipilih berdasarkan karakteristik pelanggan yang sudah diidentifikasi dalam proses sebelumnya.

Revenue Streams menjadi elemen berikutnya yang perlu dipikirkan, yakni bagaimana solusi yang dihasilkan dapat menghasilkan pemasukan bagi startup. Di era digital ini, varian revenue streams menjadi lebih luas. Ada yang bersifat langsung seperti pembayaran per transaksi, lisensi, berlangganan, freemium, iklan, penjualan produk dll. Ada juga yang bersifat tidak langsung seperti referral, affiliate dll. Tiap produk/layanan bisa memiliki mekanisme yang berbeda dan bisa memiliki lebih dari satu mekanisme.

Selain perlu memahami ragam jenis revenue streams untuk bisnis digital, founder juga perlu mencermati beberapa hal berikut: “Bagaimana dengan model perhitungan harga (pricing models) yang diterapkan? Di harga berapa konsumen mau membayar?, “Bagaimana perbandingan kontribusi antar revenue streams? Bagaimana harga yang ditawarkan kompetitor produk sejenis?”.

Selanjutnya masih ada lima elemen yang perlu diisi. Kelimanya diisi berdasarkan empat poin di atas yang sudah didefinisikan. Berikut penjelasan kelimanya:

  • Customer Relationships merupakan mekanisme yang dilakukan oleh startup untuk berhubungan dengan pelanggan. Tujuannya untuk meningkatkan traksi, sehingga tidak berpaling ke produk kompetitor.
  • Key Activities merupakan berbagai kegiatan yang perlu akan dilakukan untuk merealisasikan empat elemen di atas, mulai dari riset konsumen, pengembangan produk, hingga distribusi melalui kanal yang dipilih.
  • Key Resources adalah berbagai kebutuhan yang perlu disediakan untuk merealisasikan model bisnis, bisa berupa dukungan orang, alat atau perangkat lunak, dan lain-lain.
  • Key Partnership adalah pihak-pihak yang menjadi penentu jalannya bisnis. Misalnya yang dikembangkan adalah platform e-commerce, bisa jadi yang menjadi rekanan utamanya adalah pemasok barang atau distributor.
  • Cost Strucuture berisi biaya-biaya yang perlu dikeluarkan untuk mengembangkan, memasarkan dan mendistribusikan layanan yang berhasil dikembangkan startup.

Berikut ini contoh BMC yang ditemukan di internet, dengan studi kasus beberapa bisnis digital yang saat ini sudah sukses.

Strategi Startup Ikuti Rekam Jejak Unicorn Memperoleh Valuasi Tinggi

Untuk menjadi startup unicorn, membutuhkan perhitungan yang matang sesuai kondisi pasar saat ini. Menjadi founder atau pemilik bisnis startup harus lebih aktif mengembangkan pelayanan bisnisnya agar mendapatkan tempat di hati pengguna. Dengan begitu, akan membawa ekspektasi investor mendukung kemajuan bisnis Anda.

Bila perlu trik ini bisa digunakan pelaku startup unicorn untuk memiliki valuasi senilai 1 miliar dolar.

Menemukan model bisnis yang menguntungkan

Untuk bersaing dalam startup unicorn, harus ada pendekatan tahap awal yang lebih unik dan menguntungkan dari sebelumnya. Sebab, investasi akan datang dari suatu ide baru yang muncul di industri bisnis startup nantinya.

Seperti status unicorn pertama di Indonesia yang terjadi pada pertengahan Agustus tahun lalu. Kala itu Go-Jek sebagai layanan pendatang baru dalam pengelolaan transportasi berbasis online. Mereka mendapatkan investasi besar dengan jumlah yang tak terbayangkan sebelumnya dari KKR, Warburg Pincus, Farallon Capital serta Capital Group Private Markets.

Perhitungan kondisi dan waktu yang tepat

Meluncurkan startup dapat menjanjikan sebagai industri bisnis yang besar biasanya memanfaatkan momen yang tepat untuk meluncurkan layanan muktahir.

Dengan begitu gagasan dalam membentuk sebuah startup besar harus menemukan waktu kala mendistribusikan bisnisnya menjadi unicorn. Dengan kata lain, terciptanya pangsa pasar yang tepat sasaran dibantu pendanaan yang matang. Sama seperti unicorn lain, bisa meroket seperti sekarang ini membutuhkan timing yang baik.

Bisnis startup sesuai ekspektasi investor

Startup unicorn masih sangat menikmati struktur transaksi business-to-consumer (B2C), karena transaksi itu tidak memerlukan saham atau penyimpanan benda fisik apa pun. Namun, kondisi ini bisa saja menjadi pressure bila tak sesuai ekspektasi investor untuk menaungi bisnis startup.

Oleh karena itu adanya fase negosiasi dengan investor, dapat kita pahami dengan dua frase kunci, yaitu valuasi pra-investasi dan pasca investasi. Dengan adanya fase ini investor dapat  menentukan harga yang bersedia mereka bayar untuk sebuah investasi.

Dengan trik startup ini bisa jadi jawaban mengenai kondisi unicorn menjadi kenyataan, dengan pendanaan yang besar dan tujuan yang tepat, bisnis Anda jadi mudah di aplikasikan.

Faktor Bisnis dan Manajerial, Isu Utama Startup Tahap Awal

Istilah startup kini tak asing lagi di kalangan millennials di Indonesia. Bekerja di startup atau membuat startup sendiri menjadi jalan karier dambaan banyak orang. Sejak tahun 2014, saya mencoba mengamati tentang dinamika startup di tahap awal atau sering disebut dengan istilah early-stage startup. Umumnya startup di fase ini masih dijalankan dengan bootstrapping alias modal sendiri, dengan keyakinan akan produk yang dikembangkan dan komposisi tim yang terikat kesamaan visi.

Banyak yang hadir menyajikan layanan baru, namun tak sedikit yang ambruk mengakhiri apa yang telah dimulainya, walaupun beberapa ada yang memilih untuk pivot dan mencoba pendekatan lain. Mulai dari startup yang mencoba menghadirkan kanal media sosial untuk kategori aktivitas tertentu, pengembang aplikasi akuntansi berbasis SaaS (Software as a Service), hingga penyedia layanan on-demand pernah menghiasi tag “ Startup News” di DailySocial.

Menyimpulkan beberapa tulisan tips dari para pakar yang pernah disadur oleh DailySocial, saya mencoba memetakan beberapa kendala yang mengakibatkan early-stage startup sulit untuk melanjutkan debutnya dalam atmosfer bisnis. Permasalahan tersebut terbagi menjadi dua faktor, yakni faktor bisnis dan faktor manajerial.

Faktor Bisnis

Permasalahan ini berkaitan langsung dengan apa yang mereka suguhkan, baik dalam strategi ataupun pengembangan produk.

(1) Salah sasaran

Ada beberapa penafsiran terkait dengan poin pertama ini. Sebuah startup bisa dibilang salah sasaran karena memang produk yang dikembangkan tidak cocok dengan pangsa pasar yang ditargetkan atau karena pangsa pasar yang ditargetkan masih jauh dari kata siap untuk penerapan solusi terkait.

Kami pernah meliput tentang startup yang mencoba menyajikan solusi berbasis big data untuk sektor pendidikan dan kesehatan pada awal tahun 2015. Akselerasinya tidak begitu terlihat sampai sekarang, bahkan bisa dibilang stagnan. Terbukti dengan website yang saat ini tidak dikembangkan, bahkan salah satu portofolionya tidak jalan lagi.

Di sektor pendidikan dan kesehatan, proses masih sangat terpaku dengan model konvensional –sebuah fakta yang tidak bisa dielakkan. Kalaupun komputerisasi digunakan, masih sebatas operasional dasar. Kalangan digital immigrant masih sangat mendominasi di sektor tersebut. Konsep seperti big data, artificial intelligence dan banyak terobosan teknologi lain sifatnya masih berupa riset (untuk dua sektor tersebut).

Terlalu dini menyiapkan produk dengan teknologi canggih seperti bertaruh: adaptasi cepat atau tidak tersentuh sama sekali.

(2) Produk yang bermasalah

Beberapa pakar pemasaran selalu mengutarakan bahwa memperkenalkan produk ke calon konsumen harus dilakukan secara cepat. Salah satunya sering dilakukan dengan meluncurkan versi beta dari aplikasi. Namun ini akan menjadi buruk jika kualitas produk belum benar-benar siap. Apalagi untuk varian produk yang memiliki banyak pilihan. Konsumen digital unik, kadang mereka langsung memberikan cap buruk (underestimate) kepada sebuah apps jika first impression yang mereka dapat buruk –menemui bugs di aplikasi.

Tidak hanya masalah pada aplikasi saja, namun termasuk pelayanan. Hilangnya layanan on-demand pesaing Go-Jek menjadi salah satu contohnya. Pernah tahu ke mana Blue-Jek, LadyJek, dan produk sejenis lain yang pernah berusaha mencoba meramaikan persaingan di ibukota? Transportasi dibutuhkan pengguna kapan saja ketika mereka butuh, maka layanan harus menyesuaikan. Jika tidak, maka tetap sama saja, akan dianggap bermasalah dari sisi pelayanan.

Masalah produk atau layanan bisa berkaitan langsung dengan produk yang dikembangkan dan juga unsur lain yang mendukung kegiatan bisnis tersebut.

(3) Bisnis model yang tidak matang

Dijalankan anak-anak muda, semangat menggebu-gebu sering diperlihatkan ketika sebuah startup dimulai. Kadang ada yang terlewatkan jika sebuah model bisnis harus tervalidasi dengan baik sebelum dieksekusi. Untuk model bisnis baru, perlu dipikirkan secara jeli dampak seperti apa yang ingin dihadirkan pada konsumen.

Pun demikian dengan model bisnis yang disalin dari luar. Mencoba peruntungan dengan membawa model bisnis startup Silicon Valley menjadi aplikasi taste lokal. Tak hanya validasi, riset mendalam perlu dilakukan.

Eksekusi adalah kunci, namun perlu memastikan apakah kunci yang digunakan untuk membuka (peluang) itu membawa ke pintu yang benar atau tidak.

Faktor Manajerial

Permasalahan ini menghinggap dalam unsur internal bisnis, sering menyengat dan menghadirkan isu pada komponen penggerak bisnis di ruang operasional.

(1) Manajemen yang tidak jelas

Salah satu yang menyatukan visi sekelompok orang hingga akhirnya membentuk startup salah satunya karena pertemanan, baik karena di kampus yang sama, bertemu di komunitas atau lain sebagainya. Kadang tidak adanya gap karena faktor pertemanan ini yang membuat disiplin manajemen kurang diterapkan. Terdapat banyak aspek dalam manajemen, mulai dari pengelolaan tanggung jawab, pembagian tugas, hingga kepemilikan.

Konflik yang mungkin muncul karena pengelolaan manajemen yang buruk bisa menimpa antar co-founder ataupun karyawan dalam bisnis. Pada akhirnya tidak akan membuat nyaman orang di dalamnya dalam bekerja, dan akselerasi bisnis pun terganggu. Contoh paling sederhana dan sering terjadi: pembagian tugas yang tidak jelas, pembagian kepemilikan yang tidak jelas, hingga mekanisme upah yang tidak transparan.

Sama seperti filosofi pohon, semakin tinggi semakin kencang tiupan angin. Pastikan akarnya kuat agar tidak roboh. Peraturan dan kebijakan yang clear menjadi akar dalam hal ini.

(2) Tidak punya seni pemecahan masalah

Jika diumpamakan, mengelola startup tidak jauh berbeda dengan membina rumah tangga. Masalah kecil hingga masalah besar bisa saja menimpa kapan saja. Mulai dari permasalahan internal antar pegawai, masalah legal, perpajakan, hingga masalah dengan konsumen. Yang diperlukan adalah sebuah seni pemecahan masalah.

Sayangnya tidak ada rumusan baku untuk hal ini, karena yang akan membawa kepada keputusan paling solutif adalah intuisi dan pengalaman. Tak heran jika beberapa startup kini menunjuk mentor untuk mendampinginya bertumbuh. Pengalaman mereka kadang dibutuhkan untuk memberikan insight sebelum memutuskan sesuatu.

Tidak ada teori baku, setiap permasalahan itu unik, pun demikian penyelesaiannya. Pengalaman sangat berperan di sini.

(3) Merekrut orang yang salah

Terdapat banyak justifikasi yang digunakan ketika merekrut seseorang untuk masuk dalam bisnis. Mulai dari kriteria yang sesuai, kenal secara pribadi hingga disarankan oleh orang lain. Merekrut seseorang masuk ke bisnis, artinya menyerahkan satu sandaran bisnis kepada orang tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan: pastikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan, pastikan ditempatkan dalam role yang tepat, dan pastikan orang yang tepat.

Kehadiran seseorang dalam sebuah lingkungan sedikit atau besar akan memberikan pengaruh. Kultur bisnis yang sudah kuat terbangun bisa saja berubah dengan hadirnya orang baru, terlebih jika ditempatkan dalam posisi strategis. Mengapa sebegitunya? Sederhana, startup di tahap awal timnya masih sedikit, hadirnya satu orang pun akan memberikan dampak signifikan. Ini yang perlu disiasati dan diamati sejak awal.

Jika kejernihan air bisa ternoda akibat setetes tinta, sebuah tim startup bisa hilang kompaknya akibat hadirnya satu orang. Tapi jika tinta tersebut sudah berbaur pun tetap bisa dihilangkan dengan proses penyulingan yang ketat.

(4) Terlalu boros

Mengapa teknologi komputasi awan sering diunggulkan untuk startup? Karena skalabilitas dan elastisitas yang ditawarkan. Saat pengguna memulai dengan spesifikasi yang kecil, jika di tengah jalan memerlukan sumber daya yang lebih besar maka bisa ditambah kapan saja. Konsep ini sebenarnya juga berlaku untuk kebutuhan lain, termasuk pembiayaan dalam operasional. Sama halnya ketika harus menyewa tempat bekerja, memberikan penggajian dan sebagainya, semua harus pas pada porsinya. Terlebih jika bisnis masih harus “membakar uang” dan belum menghasilkan profit.

Kiat Mengoptimalkan Pendapatan dari Basis Pengguna yang Ada

Tujuan utama dalam menjalankan bisnis adalah mendapatkan keuntungan. Jalan itu biasanya diraih dengan mencoba mendapatkan banyak pengguna. Logika sederhananya semakin banyak pengguna semakin banyak pendapatan yang didapatkan. Nyatanya ada alternatif lain, yakni mengoptimalkan jumlah pengguna yang ada dengan membuat mereka menjadi sumber penghasilan bagi bisnis. Berikut beberapa tips yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan pendapatan dari basis pengguna yang terbatas.

Lakukan (lagi) perhitungan untuk harga

Untuk bisa mengoptimalkan pendapatan dari basis pengguna yang terbatas mengolah harga yang pas adalah satu hal yang bisa dilakukan. Coba untuk menghitung lagi harga yang cocok untuk ditawarkan pada mereka. Pastikan harganya tidak terlalu murah dan terlalu mahal bagi mereka. Perhitungan harga yang optimal bisa menjadi jalan untuk mendapatkan pendapatan lebih dari pengguna yang ada. Tetapi perlu diingat, menaikan harga harus dilengkapi dengan kualitas yang setara.

Berikan gimmick penawaran

Untuk bisa mengoptimalkan pendapatan dari basis pengguna yang ada diharuskan untuk lebih fokus pada apa yang mereka butuhkan. Cari cara untuk membuat mereka membayar lebih untuk barang atau jasa yang ditawarkan. Salah satu caranya dengan membuat gimmick menarik seperti penawaran spesial, fitur atau barang terbatas dan lainnya. Ini bisa menjadi jalan pendapatan lain bagi bisnis.

Ikat mereka dengan konten yang menarik

Bukan menjadi rahasia lagi bahwa konten sekarang ini berperan penting dalam kesuksesan bisnis mendapatkan dan mempertahankan pengguna. Konten-konten yang informatif dan menarik bisa menjadi media untuk berpromosi. Dan dalam kasus mengoptimalkan basis pengguna yang ada konten bisa menjadi salah satu cara efektif untuk meyakinkan mereka supaya “membayar lebih” untuk produk atau layanan yang mereka gunakan.

Ingatkan mereka

Membangun kedekatan dengan pengguna bisa dijalin melalui email. Email ini juga bisa menjadi cara untuk membuat mereka membayar lebih untuk bisnis. Kaitannya dengan penawaran-penawaran lain yang ditawarkan. Ingatkan mereka tentang hal tersebut melalui email. Usahakan jangan terlalu sering untuk menghindari spam, mungkin bisa dikombinasikan dengan konten yang menarik agar mereka tertarik. Setidaknya untuk membaca.

Mengenal “Revenue Stream” dan “Business Model”

Mempelajari tentang startup, maka tak akan terlepas dari belajar tentang berjalannya sebuah proses bisnis. Ada beberapa istilah dan konsep bisnis yang perlu dimengerti sebelum terjun lebih dalam, seperti istilah revenue stream, revenue model dan business model. Tiga hal tersebut biasanya akan sering ditanyakan ketika startup dihadapkan pada sebuah presentasi, ntah di hadapan calon rekanan bisnis, investor ataupun dalam kegiatan inkubator.

Secara sederhana revenue stream dapat didefinisikan sebagai sumber utama bisnis dalam mendapatkan pemasukan. Revenue model dapat diartikan sebagai sebuah cara yang ditempuh pelaku bisnis untuk mengelola arus pendapatan, termasuk di dalamnya pengelolaan sumber daya yang diperlukan untuk mengelola pendapatan tersebut. Sedangkan business model merupakan berbagai aspek dalam bisnis yang di dalamnya termasuk revenue stream dan model, serta rincian strategi yang menggambarkan bagaimana proses bisnis perusahaan bisa berjalan berkesinambungan.

Jenis-jenis revenue model dalam startup digital

Seiring dengan makin bervariasinya jenis produk dan layanan yang dihadirkan dalam startup digital, strategi pendapatan keuntungan pun turut berkembang. Ada berbagai macam revenue model yang diterapkan, menyesuaikan tipikal produk/layanan yang dijajakan. Berikut ini adalah beberapa jenis revenue model yang hingga saat ini umum dipilih dan digunakan oleh pelaku startup digital.

Revenue Model Kelebihan Kekurangan
Iklan; Model bisnis ini biasanya diterapkan untuk layanan berbasis web atau aplikasi, menampilkan iklan di tempat strategis di dalam konten layanan yang dihadirkan. Google AdSense menjadi salah satu yang paling populer digunakan di Indonesia.

Namun seiring perkembangannya, iklan juga bisa dikelola secara langsung, berhubungan langsung dengan brand tertentu yang ingin mempublikasikan pekerjaan.

Penerapan dan pengelolaannya mudah. Cocok untuk model layanan atau aplikasi yang disampaikan secara gratis. Perlu memastikan pengguna layanan atau aplikasi tersebut banyak. Umumnya tidak bisa didapat secara instan, perlu ada proses panjang untuk menghadirkan traksi.
Affiliate; Berafiliasi dengan brand lain juga menjadi yang cukup populer diterapkan di Indonesia. Konsep afiliasi ini biasanya digunakan oleh pengembang konten (web atau aplikasi) yang mempromosikan produk tertentu (biasanya secara native) di dalamnya. Jika dibandingkan dengan iklan, umumnya penawaran yang diberikan lebih menjanjikan, dengan hitungan yang lebih tinggi dan lebih jelas. Seringkali harus memaksakan konten untuk disesuaikan dengan produk dari afiliasi yang ingin digenjot. Perlu proses panjang dan dapat mengorbankan ketertarikan pengguna.
Transaksional; Model ini pada dasarnya sama dengan tata cara jual beli di pasar, sebuah produk atau layanan dibayar langsung oleh konsumen (bayar di muka). Misalnya menjual perangkat lunak dengan mekanisme beli putus. Beberapa konsumen (terutama di tipe konvensional) lebih nyaman karena proses yang sederhana. Produk yang dijual dengan model bisnis seperti ini biasanya sangat banyak persaingannya. Sehingga strategi seperti perang harga biasanya harus dilakukan, sehingga meminimalkan keuntungan.
Layanan Berlangganan; Model ini biasanya diterapkan untuk layanan yang digunakan dalam jangka waktu lama. Umumnya dihitung secara bulanan atau per tahun. Dengan produk yang matang, layanan ini dapat menghadirkan keuntungan yang signifikan.

 

 

Sangat bergantung pada basis konsumen yang besar. Membutuhkan inovasi berkelanjutan setiap waktu untuk menciptakan kepercayaan.
Penjualan Online; Sama seperti penjualan transaksional, hanya saja prosesnya dilakukan sepenuhnya di website (online). Dapat diterapkan untuk beragam jenis produk dan layanan, mulai dari yang berbentuk fisik hingga yang berbentuk non-fisik. Untuk beberapa produk yang memerlukan strategi pemasaran langsung (pengguna harus melihat barangnya, seperti rumah, mobil dll).

 

Penjualan Tidak Langsung; Model penjualan yang melibatkan agen atau re-seller. Sangat ideal bagi perusahaan untuk melakukan penyebaran produk dan memperbesar jaringan.

 

Kurang cocok untuk model bisnis digital yang ada saat ini, tantangan di pasar akan banyak pada edukasi konsumen, transformasinya ke affiliate.
Ritel; Proses penjualan produk secara ritel. Misalnya pengembang aplikasi yang menjual DVD aplikasi melalui toko di lokasi fisik. Membantu meningkatkan popularitas brand, karena umumnya bisa menjangkau konsumen secara lebih luas, terutama di negara yang masih dalam tahap transisi digital seperti Indonesia. Tidak cocok untuk startup dengan modal pas-pasan, harus mengucurkan investasi besar. Di Indonesia juga akan terkikis dengan pembajakan.
Memfokuskan Pada Layanan; Memberikan produk secara gratis, tapi harus membayar untuk layanan dan proses kustomisasinya. Misalnya mengembangkan aplikasi tertentu, aplikasinya dijual gratis, tapi instalasi dan hosting-nya harus membayar di perusahaan tersebut. Memberikan banyak ketertarikan, terlebih jika “layanan berbayar” dapat dibaurkan secara rapi. Produk sebagai biaya pemasaran, membutuhkan waktu lama untuk mengembalikan modal seiring dengan tantangan mendapatkan traksi.
Freemium; Model bisnis paling populer yang ada saat ini. Memberikan layanan gratis, tapi menyediakan konten/layanan eksklusif untuk pengguna berbayar. Mirip dengan model sebelumnya, cocok untuk layanan digital berupa perangkat lunak. Membutuhkan waktu yang lama untuk menumbuhkan transaksi dan strategi penyampaian yang kuat.

Jenis-jenis business model dalam startup digital

Tidak semua revenue stream cocok diterapkan untuk startup digital, hal tersebut dikarenakan harus menyesuaikan dengan business model yang digalakkan. Business model juga sangat erat kaitannya dengan tipikal produk/layanan, dan bagaimana bisnis menyampaikan produk/layanan tersebut kepada konsumen. Berikut ini beberapa jenis business model yang saat ini umum diadopsi oleh startup digital.

Marketplace

Tokopedia, Go-Jek, Airbnb, Bukalapak termasuk startup yang menggunakan business model ini. Menghubungkan pemilik produk/layanan dengan konsumen/pengguna. Startup menyediakan layanan untuk menghubungkan dan melancarkan proses transaksi kedua belah pihak.

E-Commerce

Mengacu pada penjualan dan distribusi produk dan layanan secara online. Model e-commerce tidak melulu diterapkan oleh bisnis yang memfokuskan pada jual beli barang secara umum (seperti Amazon), proses e-commerce sendiri dapat diadopsi di berbagai bisnis, seperti Microsoft yang menjual XBOX secara online.

SaaS (Software as a Services)

Model bisnis yang memfokuskan pada penyampaian layanan kepada pelanggan, umumnya berupa perangkat lunak dan dibayarkan secara berlangganan. Produk seperti layanan komputasi awan, CRM atau sistem manajemen keuangan cocok menerapkan model bisnis ini.

Consumer

Model bisnis yang memberikan layanan secara cuma-cuma kepada konsumen, karena fokusnya adalah membangun saluran distribusi yang kuat. Setelah produk digunakan banyak orang, revenue model seperti iklan atau freemium diterapkan. Contohnya seperti SnapChat, layanannya gratis, dan akhirnya mengeluarkan produk kaca mata untuk mendukung penggunaan aplikasinya.

API Model

Beberapa startup di Indonesia bergantung pada layanan API seperti Stripe atau Twilio. Atau kita baru saja mengenal startup baru bernama Prism. Layanannya diintergasikan dengan sistem yang dimiliki oleh perusahaan lain, tak terlihat secara kasat mata, namun memberikan kenyamanan yang berarti.

Data

Model bisnis yang memfokuskan pada pengumpulan data, biasanya akan diolah menjadi analisis untuk kebutuhan tertentu.

Licensing

Startup yang berhasil menelurkan inovasi berupa properti intelektual dapat memberikan perizianan berupa paten, merek dagang, rahasia dagang hingga pengetahuan yang dimiliki. Contohnya seperti apa yang dilakukan Arm Holdings.

Evolusi Model Bisnis E-commerce di Asia Tenggara

Sebagai pendatang baru, e-commerce di Asia Tenggara memiliki keuntungan untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di pasar e-commerce yang lebih berkembang seperti AS dan Tiongkok. Kita sudah melewati lebih dari 20 tahun setelah Amazon (1994) dan eBay (1995) didirikan. Jack Ma memulai Alibaba di apartemennya di Hangzhou pada 1999, persis sebelum era internet 1.0 berakhir.

Banyak hal yang telah terjadi di industri e-commerce global sejak itu, termasuk pergerakan yang perlahan tapi pasti dari Amazon, naik dan turunnya kehadiran situs daily deals dan flash sale, serta IPO Alibaba yang menakjubkan di tahun 2015. Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Ulasan sejarah ini menciptakan dua kerangka; Siklus Kehidupan E-commerce dan E-commerce 1.0/2.0, untuk membantu memprediksi kesempatan bagi e-commerce di Asia Tenggara di masa depan.

(1) Siklus Hidup E-commerce – Bagaimana Model E-commerce Berevolusi dari Waktu ke Waktu

Ada pola berbeda yang telah muncul dari evolusi pasar e-commerce yang lebih dewasa yang menawarkan sejumlah perkiraan bagi e-commerce di Asia Tenggara. Hal ini mengikuti perkembangan dari Iklan Baris dan C2C ke B2C hingga kemudian Brand.com. AS memulai dari Craiglist, eBay dan Amazon ke situs brand seperti Nike, J.Crew dan Gap. Tiongkok memulai dari Taobao, Tmall dan JD hingga ke banyak situs brand dan marketplace seperti Estée Lauder, Burberry dan Coach.

Asia Tenggara saat ini mengikuti pola yang serupa namun dengan langkah yang lebih cepat karena “1 to n,” kemajuan horisontal, dan hasil dari prilaku leapfrogging. Di Asia Tenggara, kita memiliki Iklan Baris (OLX), C2C (Tarad, Tokopedia, Shopee), B2C (Lazada, Zalora, MatahariMall) dan Brand.com (L’Oreal, Estée Lauder, Adidas) semua terjadi bersamaan dalam rentang waktu yang sangat singkat.

E-Commerce Lifecycle Model
E-Commerce Lifecycle Model

Ciri khas lokal memberikan jalan bagi model bisnis e-commerce unik

eBay hanya bisa diciptakan di AS karena model lelangnya cocok bagi budaya konsumerisme yang ditandai oleh barang yang berlebihan dan banyaknya pengkolektor (contohnya kolektor kartu baseball dan Pez dispenser). Di sisi lain, eBay tidak berhasil di Tiongkok karena banyak alasan, salah satunya karena model lelang tidak menarik bagi pengguna di Tiongkok yang lebih suka membeli barang baru dan bernegosiasi secara langsung via chat.

Model B2B2C Tmall berasal dari Tiongkok karena bentuknya yang seperti bazaar, situasi belanja yang hiruk-pikuk yang sudah biasa dialami oleh orang Tiongkok di dunia offline mereka.

Asia Tenggara adalah hybrid dari AS dan Tiongkok

Lazada, platform e-commerce yang dominan di Asia Tenggara, adalah gabungan dari Amazon dan Tmall. Didirikan pada tahun 2011 oleh Rocket Internet sebagai “Amazon dari Asia Tenggara”, Lazada saat ini mendapatkan 70% GMV (Gross Merchandise Value)-nya dari pihak ketiga, transaksi marketplace, dengan sisa 30% didapatkan dari ritel “tradisional” langsung ala Amazon. Setelah akuisisi Alibaba, besar kemungkinan bahwa Lazada akan mengikuti model Tmall dan bergerak sebagai 100% marketplace dengan segala keuntungan scaling yang terkait dengan model ini.

Bandingkan ini dengan Amazon, yang secara tradisional dulunya 100% bergerak di model retail langsung namun kini beralih ke model marketplace. Saat ini, Amazon mendapatkan 59% GMV-nya dari B2B2C.

B2B, B2B2C, dan Brand.com terjadi secara bersamaan

Di Cina, brand berproses dari berjualan di Tmall sebagai batu loncatan untuk kemudian mengoperasikan situs brand.com mereka sendiri. Salah satu contohnya adalah Uniqlo yang memulai berjualan melalui toko flagship Tmall lalu kemudian menambah webstore brand.com mereka sendiri.

Di Asia Tenggara, kita melihat banyak brand melakukan kedua hal tersebut dalam waktu yang bersamaan, berjualan melalui Lazada dan juga toko brand.com mereka sendiri, sebagai tambahan dari pendistribusian melalui e-tailor seperti Central Online dan MAP. Hal ini didorong oleh teknologi yang membuat brand semakin mudah untuk berjualan melalui channel yang berbeda-beda namun juga seolah menjadi keharusan karena fragmentasi yang tinggi di pasar e-commerce saat ini. Konsolidasi diprediksi akan terjadi secepatnya.

Asia Tenggara adalah mobile-first, C2C e-commerce beralih langsung ke mobile marketplace

Jika di pasar e-commerce yang sudah matang, C2C melalui desktop masih memainkan peran yang sangat penting, di Asia Tenggara loncatan ke mobile mengacaukan marketplace desktop-first tradisional. Mobile-only C2C marketplace seperti Carousell dan Shopee sedang membuat gerakan agresif melawan rival desktop mereka yang telah muncul terlebih dahulu seperti Tarad di Thailand dan Tokopedia di Indonesia.

Dengan estimasi 85% dan 79% dari transaksi belanja online di luar area metro besar di Thailand dan Indonesia terjadi di mobile, tidak mengherankan apabila perusahaan seperti Facebook juga bertaruh pada C2C mobile. Raksasa iklan ini baru saja meluncurkan pembayaran mobile di Thailand di mana 50% dari transaksi C2C diestimasi terjadi di jaringan sosial.

(2) E-commerce 1.0 ke E-commerce 2.0: Empat Strategi untuk Menghindari ‘Pertumpahan Darah’ E-commerce di Asia Tenggara

Asia Tenggara adalah e-commerce goldrush yang selanjutnya. Karena alasan ini juga, di kawasan ini terjadi pertarungan e-commerce yang sengit. Kita telah melihat banyak korban, terutama di ruang B2C yang menjual brand pihak ketiga. Seperti yang telah kami perkirakan sebelumnya, Zalora yang didirikan oleh Rocket Internet harus menjual operasi mereka di Thailand dan Vietnam kepada retailer lokal Central Group.

Di tahun ini pula, Cdiscount Thailand, bagian dari konglomerat ritel asal Prancis, Groupe Casino, terjual sebesar $31.5 juta (28 juta EUR) kepada TCC, perusahaan lokal asal Thailand yang juga memiliki brand bir populer, Chang.

E-commerce 1.0: Menjual barang orang lain ke publik dengan margin rendah

E-commerce guru Andy Dunn mengadopsi sebuah strategi yang membuat bisnisnya memiliki kesempatan bersaing dengan Amazon di pertarungan di AS.

“If you’re selling other people’s brands, you are competing not via a local group of competitors but with everyone. In this type of market, you might imagine having one large national winner. You might imagine that winner is ruthless about scale and cost, and is run by a visionary leader who with an extreme long-term focus. Such a company might not make real money for a long time — but when it does — it will be incredibly powerful.”

“Jika Anda menjual merek milik orang lain, bukan saja Anda berkompetisi dengan satu grup kompetitor lokal namun juga semua orang. Pada tipe pasar seperti ini, Anda bisa membayangkan munculnya satu pemenang di skala nasional. Anda bisa membayangkan pemenang tersebut tidak peduli tentang skala dan uang (yang dikeluarkan) dan dijalankan oleh seorang pemimpin yang memiliki fokus jangka panjang. Perusahaan seperti itu mungkin tidak menghasilkan uang dalam waktu yang lama namun saat mereka melakukannya mereka akan menjadi sangat kuat.”

Dengan masuknya Alibaba di wilayah ini melalui akuisisi Lazada senilai $1 miliar, ‘Alizada’ semakin nampak sebagai ancaman besar bagi para retailer lainnya di pasar ini, baik di ruang pemain e-commerce murni atau pun omni-channel. Pertarungan ini akan semakin intensif dan semakin banyak konsolidasi akan terjadi di beberapa tahun mendatang.

Saat ini, belum ada pemain B2C atau e-commerce 1.0 di ASEAN yang mendominasi market share.

Perlu diakui bahwa Lazada memiliki awal yang bagus dengan dugaan 20% market share di tahun 2014, namun angka ini masih sedikit bila dibandingkan dengan Amazon yang mendominasi 60% di AS, atau Tmall dengan 50.6% dan JD dengan 51.9% (pasar ritel langsung B2C) di Tiongkok.

Raksasa e-commerce 1.0
Raksasa e-commerce 1.0

Selama lima hingga enam tahun ke depan, B2C di Asia Tenggara akan melalui konsolidasi lebih lanjut yang bisa berakhir dengan satu sampai dua pemain.

Tidak ada cara yang lebih baik untuk memvisualisasikan konsolidasi terus-menerus di E-commerce 1.0 selain dengan data ‘search interest’ di Google Trends. Grafik untuk Thailand menunjukan naik turunnya desktop C2C dan daily deals, fragmentasi di kategori B2C dan kenaikan pesat Lazada.

Pencarian Google menunjukkan konsolidasi E-commerce 1.0
Pencarian Google menunjukkan konsolidasi E-commerce 1.0

Di sinilah semuanya menjadi menarik. Di mana E-commerce 1.0 adalah sebuah permainan “fisik” yang murni mengandalkan kekuatan, E-commerce 2.0 mengeksploitasi celah 1.0 dengan banyak cara kreatif untuk menghindari permainan zero-sum melawan pemain seperti ‘Alizada’.

“This next generation of e-commerce companies is as much about what you exclude as what you include. It is a paradox that excluding some things takes more time than including everything. The new models are fundamentally — whether the merchandise is proprietary or not — about merchandising.” — Andy Dunn on E-commerce 2.0

“Generasi perusahaan e-commerce saat ini adalah tentang apa yang kecualikan dan anda sertakan. Sebuah paradoks dimana mengecualikan beberapa hal memakan lebih banyak waktu dibanding menyertakan semuanya. Model-model baru yang ada secara fundamental baik produk hak milik atau bukan adalah tentang mendagangkannya.” Andy Dunn tentang E-commerce 2.0.

Konsep E-commerce 2.0 dan 4 strategi menghindari "pertumpahan darah"
Konsep E-commerce 2.0 dan 4 strategi menghindari “pertumpahan darah”

Gilt, salah satu contoh nyata dari E-commerce 2.0, bangkit dari abu pada krisis 2008 dengan sebuah bisnis model unik yang menawarkan barang mewah dengan harga yang jauh lebih murah dari harga aslinya melalui flash sales terbatas. Satu dari unicorn pertama di New York ini, Gilt kemudian harus berjuang saat ekonomi mulai pulih dan brand tidak lagi memerlukan channel distribusi untuk barang stok lama.

Sementara Gilt bermain dengan harga, pemain lainnya seperti Birchbox dan Rent the Runway berinovasi di sisi produk dengan menawarkan pengalaman belanja yang unik. Birchbox memulai tren perdagangan langganan kecantikan dan menginsiprasi kloning “Birchbox for X” yang tak terhitung jumlahnya. Rent for Runway pada dasarnya adalah fashion on-demand yang menyediakan akses untuk menyewa rancangan busana high-end bagi para penggunanya.

E-commerce 2.0 di Asia Tenggara: Sekilas Harapan Bagi Calon Pengusaha E-commerce?

Dengan masih terjadinya pertumpahan darah di e-commerce 1.0 di Asia Tenggara sampai saat ini, beberapa pengusaha telah menyadari bahwa adalah sia-sia untuk bersaing melawan pemain sejenis Lazada dan MatahariMall tanpa kantong yang dalam atau strategi lainnya. Sebaliknya, mereka fokus pada peluang yang muncul di e-commerce 2.0 dan memposisikan diri mereka dengan cara yang unik.

Perbandingan industri e-commerce 2.0, antara global dan Asia Tenggara
Perbandingan industri e-commerce 2.0, antara global dan Asia Tenggara

(3) Masa Depan E-commerce di Asia Tenggara

Jika kita menerapkan baik kerangka Siklus Hidup E-commerce atau E-commerce 1.0/2.0, kita akan lebih mudah melihat ke mana e-commerce di Asia Tenggara mengarah.

Perang B2C akan terus berlangsung empat sampai lima tahun ke depan hingga para pemain kehabisan uang dan menyerah. Di Cina, proses ini memakan waktu hampir satu dekade dengan Tmall berkembang dari market share 0% hingga 50.6% selama periode 2008-2014. Di ruang ritel B2C langsung, JD berkembang dari 15% menjadi 51.9%. Pada periode yang sama, pemimpin sebelumnya seperti Dangdang (16.2%) dan Amazon China (15.4%) perlahan menjadi tidak relevan dengan sisa market share sebesar 4% dan 3.5% pada 2014.

Selama periode waktu ini, kita juga akan melihat lebih banyak startups dan venture capital memasuki ruang E-commerce 2.0. E-commerce 2.0 bukanlah hal yang baru untuk Asia Tenggara banyak yang telah mencoba untuk membawa model Birchbox ke wilayah ini namun gagal karena kondisi pasar yang belum siap. Namun, beberapa tahun ke depan mungkin menjadi waktu yang tepat, terbukti dari traksi yang didapatkan perusahaan seperti Pomelo Mode, Sale Stock, dan Motif.

Apakah ini berarti kita bisa langsung maju dan menyalin sesuatu seperti Gilt ke Asia Tenggara? Jawabannya sangat tergantung. Sebuah model bisnis seperti Gilt membutuhkan akses ke inventori lama brand-brand premium, di mana di pasar seperti Thailand dan Indonesia dimonopoli oleh satu atau dua distributor seperti Central dan MAP. Ini adalah masalah yang sama yang menyebabkan kejatuhan Zalora di pasar yang sama. Setiap model E-commerce 2.0 yang diluncurkan di Asia Tenggara perlu disesuaikan dengan pasar lokal.

E-commerce di Asia Tenggara masih relatif baru dengan hanya 1% kontribusi online pada total GMV ritel, jauh tertinggal bila dibandingkan dengan 7.1% dan 15.9% di AS dan Cina. Namun demikian, wilayah ini sudah banyak disebut sebagai pemimpin pasar e-commerce terbaru, dan penelitian terbaru memprediksi pasar ini akan tumbuh sebesar 32% year-on-year dan mencapai $88 miliar pada tahun 2025 (penetrasi 6.4%), naik dari angka $5.5 miliar saat ini (penetrasi 0.8%). Seperti yang ditunjukkan dalam analisis kami, ada banyak peluang di e-commerce bagi mereka yang berkantong tebal juga bagi mereka yang mengadopsi strategi unik dan lokal.

“Don’t always go through the tiny little door that everyone is trying to rush through… maybe go around the corner and go through the vast gate that no one’s taking.” Peter Thiel

“Jangan hanya pergi melewati pintu kecil yang dilalui oleh semua orang.. coba pergi ke sudut yang lain dan pergi melalui pintu besar yang tidak ada dilalui orang.” Peter Thiel


Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Sheji Ho dan disadur ke bahasa Indonesia oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Tiga Model Bisnis yang Sering Digunakan oleh Startup Hardware

Di Indonesia hiruk-pikuk perihal startup hampir selalu didominasi oleh layanan berbentuk perangkat lunak. Sangat jarang melihat nama-nama startup yang bergerak di bidang hardware dibicarakan di masyarakat dalam kesehariannya. Bukan tidak ada, startup hardware hanya belum banyak dikenal karena memang mengambil segmentasi niche, yang tidak begitu umum. Selain perihal sumber daya, model bisnis mereka juga sedikit berbeda dengan model bisnis startup kebanyakan.

Nama-nama mentereng di ranah startup hardware asal Indonesia seperi Cubeacon,  e-fishery dan PowerCube misalnya. Masing-masing memiliki model bisnis yang berbeda. Ada yang menjual hardware dengan bonus layanan, atau sebaliknya, menjual layanan berbonus penggunaan hardware. Ini tergantung pendekatan yang dilakukan masing-masing. Founder Bolt Venture Capital Ben Einstein dalam laman resminya membagikan tiga bentuk model bisnis yang biasa diterapkan untuk startup hardware. Sesuatu yang bisa dipertimbangkan bagi Anda yang sedang membangun startup hardware.

Model bisnis pertama yang biasa digunakan adalah hardware as a services. Model bisnis ini disebutkan sebagai model bisnis yang paling sering digunakan oleh startup yang menawarkan produk hardware. Di model bisnis ini startup mendapatkan keuntungan dari penjualan atau penyewaan perangkat yang bisa digunakan dengan membayar biaya berlangganan. Bisa berdasarkan waktu, tahunan atau bulanan, atau berdasarkan penggunaan data. Sederhananya model bisnis ini tidak menjual hardware secara langsung, tetapi menjual layanan yang mendukungnya untuk menutup biaya hardware.

Model bisnis selanjutnya yang bisa digunakan adalah hardware-enabled services. Model bisnis ini hampir serupa dengan model bisnis hardware as a services. Hanya saja model bisnis ini menggunakan produk layanan freemium. Pengguna dibebankan biaya untuk mendapatkan hardware mereka. Selanjutnya mereka akan mendapatkan layanan pendukung terbatas, seperti kapasitas penyimpanan dan fitur. Untuk mendapatkan layanan full service atau menambah kapasitas mereka kembali dibebankan biaya berlangganan. Harus penuh perhitungan dalam menentukan harga, karena semua tergantung pengalaman pengguna.

Model bisnis ketiga adalah consumable. Model bisnis ini yang paling ringkas. Menjual hardware langsung tanpa embel-embel layanan yang mengikatnya. Seperti yang dilakukan Amazon dengan Kindle-nya. Hanya saja untuk menerapkan model bisnis seperti ini perlu perhitungan dan pertimbangan yang matang. Seperti pengalaman pengguna dan kemungkinan penjualan berulang.

Kartumuu Prepares New Look and Business Model

Kartumuu.com is preparing new things for its services, including the plan to pivot its business model which previously focused on social media now it will focus on e-commerce.

Previously, Kartumuu was a service which provided its costumers to send digital greeting card. Currently, its website is under maintenance in order to prepare its new look and strategy.

Hadikusuma Wahab, also known as Dhiku, founder of Kartumuu, explained in an email that Kartumuu’s new business model will be selling printed greeting card. With the new tagline ‘Delivering Feelings’, Dhiku believes that with the growing digital media to deliver message then there’s a time where people will feel nostalgic to express their feelings with printed cards. Kartumuu wants to take this chance.

They already conducted a survey to produce a good result of printed greeting card. Later, Kartumuu will provide a range of facilities in its new service, such as choosing/uploading your own design, custome message, up to card delivery to the addressee. Target markets are individuals and companies.

If you visit Kartumuu’s site now, you will find an invitation for designers to send their greeting card designs. The designers can sell their designs which, if it fits, will be purchased by Kartumuu, Rp 500.000 for 3 designs or multiple thereof. Complete TOC can be downloaded from this link. While preparing for the completion of the web development, Kartumuu gathers these designs. Its Twitter account is pretty active in promoting this program.

Continue reading Kartumuu Prepares New Look and Business Model

Groupon’s Business Model From A Different Angle

I recently read a piece by Redfin, the online real-estate company, about a story of Groupon and how it destroys small business. In this case, Groupon destroys a small coffee shop in Portland, Oregon and it got me thinking about how a startup’s business model should be flexible and how it relates to customer’s profit and your own company’s profit.

Of course, both are important. But this is the hard part of creating a business model for your startup, at least that’s your homework as startup founder.

Continue reading Groupon’s Business Model From A Different Angle