Airy akan Tutup Bisnis secara Permanen, OTA Kalang Kabut Akibat Pandemi

Kabar buruk datang dari industri OTA (Online Travel Agency) lokal. Airy atau Airy Rooms akan menghentikan operasionalnya secara permanen per akhir Mei 2020. Kabar tersebut awalnya kami dapatkan dari seorang yang terlibat dalam operasional perusahaan. Belakangan diketahui, beberapa mitra properti telah mendapatkan email pemberitahuan resmi mengenai rencana penutupan layanan.

DailySocial mencoba menghubungi jajaran manajemen sejak Rabu (06/5), pihaknya masih belum bisa memberikan informasi – kendati tidak menampik kabar tersebut.

Badai PHK juga terus berlangsung di Airy, perkembangan jumlahnya terpantau melalui situs SEAcosystem.com – sebuah worksheet kolaboratif yang diinisiasi sejumlah pemodal ventura Asia Tenggara untuk membantu talenta dan startup yang terdampak layoff karena Covid-19. Narasumber kami pun membenarkan adanya PHK yang dilakukan secara bertahap.

Selain itu, dari percobaan kami, saat ini platform Airy sudah tidak menampilkan lagi daftar properti untuk pencarian di atas tanggal 31 Mei 2020. Pun untuk pemesanan tiket pesawat, jika memasukkan tanggal 1 Juni 2020 ke atas, tidak akan menampilkan hasil pencarian rute.

Sejak awal tahun, saat pandemi Covid-19 mulai menghantui kawasan Asia Tenggara, terjadi penurunan yang cukup tajam untuk pengguna layanan Airy. Diperburuk dengan insiatif lockdown dan physical distancing di hampir semua negara yang menjadikan kegiatan bepergian (ke luar kota atau luar negeri) nyaris tidak dilakukan oleh orang-orang.

Seperti diketahui, selain menawarkan akomodasi penginapan berbiaya rendah, Airy juga menyediakan fitur pemesanan tiket pesawat.

Penurunan trafik kunjungan situs Airy, di platform dekstop dan mobile / Similarweb
Penurunan trafik kunjungan situs Airy, di platform dekstop dan mobile / Similarweb

Awal tahun ini perusahaan juga baru lakukan suksesi dengan menunjuk Louis Alfonso Kodoatie sebagai CEO baru. Beberbekal 30 ribu kamar yang tersebar di 100 kota, mereka cukup percaya diri bisa terus melanjutkan penetrasi pasar. Terlebih akhir tahun lalu Airy for Business juga baru diluncurkan, sebagai layanan yang menawarkan pelayanan online untuk manajemen perjalanan dinas perusahaan.

Semua OTA terdampak, tak terkecuali

Bulan lalu juga tersiar kabar mengenai pengurangan pegawai dengan jumlah yang cukup signifikan oleh Traveloka. Berhentinya operasional moda transportasi umum antarkota seperti pesawat dan kereta api tentu berimbas pada turunnya pemasukan perusahaan. Kunjungan wisata yang nyaris nol juga membuat pemesanan layanan akomodasi seperti hotel atau tiket rekreasi menurun tajam.

Penurunan trafik kunjungan situs Traveloka, di platform dekstop dan mobile / Similarweb
Penurunan trafik kunjungan situs Traveloka, di platform dekstop dan mobile / Similarweb

Berbeda dengan Airy, dengan status unicorn Traveloka idealnya memiliki runway yang lebih panjang. Terlebih sejak tahun lalu perusahaan juga tengah gencarkan fundraising hingga 7 triliun Rupiah. Disampaikan juga dalam sebuah kesempatan oleh Co-Founder & CEO Ferry Unardi bahwa startup yang didirikannya direncanakan tempuh dual-listing IPO dalam 2-3 tahun mendatang – kala itu belum ada asumsi worst case akibat pandemi.

Mengamati kondisi yang terjadi saat ini, kepada DailySocial ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet yakin pelaku OTA di Indonesia pasti terpukul akibat Covid-19. Akan tetapi Yusuf melihat mereka bukan tanpa harapan dalam situasi genting seperti sekarang.

“Menurut saya mereka bisa memanfaatkan potensi wisatawan domestik tapi yang sifatnya lebih lokal, seperti wisata kuliner,” ucap Yusuf.

Perwakilan Traveloka, yang dihubungi secara terpisah, mengaku prihatin atas situasi yang terjadi. Namun mereka menolak menjelaskan sejauh apa dampak yang mereka terima. “Saat ini fokus kami adalah mengutamakan keamanan dan kenyamanan pengguna dalam merencanakan perjalanannya,” ujar Head of Marketing, Transport, Traveloka Andhini Putri.

Pegipegi juga rasakan hal yang sama. Respons perusahaan tak jauh berbeda. Mereka masih sibuk mengakomodasi kebutuhan para pelancong yang menggunakan jasa mereka, termasuk dalam pembatalan reservasi. “Saat ini, bagi pelanggan yang ingin membatalkan pemesanan mereka, dapat dilakukan dengan mudah melalui aplikasi Pegipegi dengan menggunakan fitur Online Refund,” terang Corporate Communications Manager Pegipegi Busyra Oryza kepada Dailysocial.

OTA di Indonesia

Bisnis OTA lokal dipenuhi oleh pemain lokal dan luar, kendati demikian dari tren-tren di tahun sebelumnya pemain lokal mendapatkan porsi pengguna yang lebih besar. Dari banyaknya pemain, lima di antaranya miliki traksi yang paling besar, meliputi Traveloka, Pegipegi, Tiket, Airy, dan Nusatrip.

Platform OTA lokal populer di Indonesia / DSResearch
Platform OTA lokal populer di Indonesia / DSResearch

Laporan e-Conomy SEA 2019 juga menunjukkan, online travel masih menjadi sektor digital yang paling berpengaruh nomor dua setelah e-commerce. Tahun 2019 industri tersebut catatkan GMV mencapai US$10 miliar dan diproyeksikan tumbuh jadi US$25 miliar dalam lima tahun ke depan.

Situasinya bisa jadi berubah, pasca pandemi berakhir pun “new normal” akan menjadi tantangan di semua sektor bisnis. Untuk tetap on-track mencapai potensi tertingginya, setiap bisnis harus mampu beradaptasi dan berinovasi, pun untuk travel. Baiknya, industri ini sudah berkembang pesat, para pemain OTA tak lagi hanya jajakan tiket. Lebih dari itu, masing-masing menjelma menjadi layanan dengan beragam fitur terpadu.

Ini adalah tentang bagaimana cara perusahaan bertahan. Pada dasarnya bepergian adalah sebuah kebutuhan, baik untuk pribadi maupun kepentingan bisnis. Saat situasinya mulai kondusif, cepat atau lambat, sektor yang tengah lunglai ini akan kembal bergas seperti sediakala.

Application Information Will Show Up Here

Platform Online Mulai Jadi Pilihan Utama Masyarakat Indonesia Tatkala Butuh Solusi Medis

Sudah lewat sebulan setelah kasus pertama, Indonesia masih berjuang untuk menahan penyebaran wabah coronavirus. Sementara itu, startup teknologi kesehatan menyediakan lebih banyak layanan untuk publik dan ikut ambil bagian dalam pemerintah untuk menanggapi pandemi ini.

Ketika wabah masih dalam tahap awal, banyak orang di Indonesia beralih ke aplikasi teknologi kesehatan untuk mendapatkan informasi tentang COVID-19, yang menciptakan peningkatan traffic untuk situs dan aplikasi terkait. Lalu ketika COVID-19 mulai menjalar di negara ini, pemerintah kemudian menyerukannya sebagai kampanye pencegahan COVID-19.

Penyedia layanan seperti Halodoc, Alodokter, dan GrabHealth — unit layanan kesehatan Grab bekerja sama dengan Good Doctor Technology Indonesia — telah ditunjuk oleh gugus tugas COVID-19 resmi Indonesia untuk melakukan skrining pendahuluan dan menurunkan jumlah kunjungan rumah sakit.

“Selama pandemi, penting bagi masyarakat untuk tidak terburu-buru ke rumah sakit, terutama untuk kasus-kasus ringan dan non-darurat,” kata direktur pelaksana Good Doctor Technology Danu Wicaksana kepada KrASIA. “[Ini] tidak hanya untuk mengurangi risiko infeksi di fasilitas medis, tetapi juga nantinya dapat memindahkan sumber daya untuk menangani mereka yang berstatus lebih parah, yang memerlukan penanganan intensif karena kapasitas yang terbatas.”

Healthtech platfortm
Dokter medis per 10,000 orang di Indonesia, Malaysia, Singapore dan Vietna. Dokumentasi dari World Health Organization.

Rasio ini jauh di bawah jumlah yang ditentukan WHO, setidaknya, sepuluh dokter dan 50 tempat tidur untuk setiap 10.000 orang.

Tempat tidur RS per 10,000 orang di Indonesia, Malaysia, Singapore, dan Vietnam. Diambil dari dokumentasi World Health Organization
Tempat tidur RS per 10,000 orang di Indonesia, Malaysia, Singapore, dan Vietnam. Diambil dari dokumentasi World Health Organization.

Sejak 3 Mei, negara ini telah mencatat lebih dari 11.000 kasus positif, dengan 845 kematian dan 1.876 penyembuhan. Namun, yang paling mengkhawatirkan warga negara adalah jumlah pasien yang berada di bawah pengawasan (PDP) —23.130 secara keseluruhan — karena mereka memiliki gejala coronavirus akut, serta 236.369 orang yang diawasi (ODPs), karena mereka menunjukkan gejala ringan dan mungkin telah dalam kontak dengan pasien yang sudah dites positif COVID-19.

Mendampingi masyarakat dalam masa isolasi mandiri dan non-darurat

Sementara pasien PDP memenuhi syarat untuk perawatan di rumah sakit rujukan yang ditunjuk pemerintah, ODP disarankan untuk melakukan isolasi mandiri selama dua minggu dan hanya akan menerima perawatan jika kondisinya memburuk. Di sinilah peran aplikasi teknologi kesehatan sangat dibutuhkan.

“Kami memang menerima permintaan konsultasi dari orang-orang yang mengasingkan diri,” sebut Wicaksana. Dalam menangani pengguna di bawah isolasi mandiri, platform ini mengikuti pedoman Kementerian Kesehatan, yang mencakup prinsip jarak jauh fisik dengan orang lain yang berada di rumah yang sama, penggunaan peralatan kesehatan seperti masker wajah, dan pemeriksaan online berkala di Setidaknya sekali setiap dua hari.

Jika pengguna mengalami gejala lebih serius, dokter via GrabHealth akan membuat rekomendasi untuk segera mencari bantuan di fasilitas kesehatan.

Halodoc, salah satu perusahaan teknologi kesehatan terbesar di Indonesia, menerapkan kebijakan serupa untuk ODP selama telekonsultasi. “Pedoman ini telah disesuaikan dengan gejala pasien, termasuk pemeriksaan kesehatan berkala dan pemberian obat jika diperlukan,” ujar sang CEO, Jonathan Sudharta.

Partner layanan telemedik pemerintah Indonesia. Cuplikan layar dari situs web resmi gugus tugas COVID-19 Indonesia.
Partner layanan telemedik pemerintah Indonesia. Cuplikan layar dari situs web resmi gugus tugas COVID-19 Indonesia.

Langkah ini turut didukung oleh pejabat pemerintah. Satuan tugas COVID-19 Indonesia memiliki tautan ke sembilan layanan telemedik di situs resmi mereka.

“Ini sangat baik untuk pasien yang sedang dalam masa isolasi mandiri, karena mereka dapat melanjutkan komunikasi dan menerima arahan melalui layanan startup ini,” menteri kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan kepada parlemen Indonesia pada awal April, seperti dilaporkan oleh Reuters.

Platform ini juga menyediakan layanan untuk kasus-kasus non-darurat guna mengurangi kunjungan rumah sakit pada masa krisis ini. GrabHealth dan Halodoc memiliki layanan konsultasi 24 jam gratis dengan mitra dokternya, serta layanan pengiriman obat dari apotek mitra aplikasi. Sudharta mengamati bahwa semakin banyak pengguna yang menggunakan fitur-fitur ini, terutama setelah pemerintah mendorong jarak fisik dan memberlakukan penguncian sebagian di beberapa kota.

Ada lagi pemain yang lebih kecil, sebuah platform diagnosis berbasis AI, Prixa, disadap oleh Kantor Staf Presidensial untuk mencatat hasil dari prosedur skrining mandiri yang diminta oleh aplikasi 10 Rumah Aman.

Didirikan pada tahun 2019, Prixa mengklaim berperan untuk membawa “solusi aksesibilitas terukur ke layanan kesehatan” ke meja. Platform ini menganalisis gejala pengguna menggunakan jawaban yang mereka masukkan ke dalam aplikasi, kemudian memberikan informasi tentang apa yang mungkin menjadi penyebabnya.

“Mesin kami didasari pada obat-obatan berbasis bukti, di mana tim dokter kami menganalisa penelitian yang dipublikasikan, memanfaatkan hasilnya, dan menggabungkannya dengan pedoman yang ditetapkan oleh WHO dan Kementerian Kesehatan untuk membuat alat yang komprehensif untuk menilai gejala dan risiko,” CEO Prixa James Roring menyampaikan kepada KrASIA.

Fleksibilitas doker dalam bekerja

Para petugas kesehatan di Indonesia menghadapi kondisi sulit ketika harus bekerja mengelola dan mengatasi wabah. Mereka tidak memiliki peralatan pelindung yang layak dan terkuras secara fisik. Perhimpunan Dokter Indonesia (IDI) mengkonfirmasi bahwa 25 dari anggotanya telah meninggal. Beberapa korban tertular penyakit saat merawat pasien, sementara yang lain mungkin meninggal karena kelelahan.

GrabHealth mengonfirmasi beberapa mitra dokternya bekerja dua kali lipat dengan bertugas di rumah sakit dan kemudian melakukan telekonsultasi. Untuk menghindari pekerjaan yang berlebihan, platform membuat penyesuaian. “Beberapa mitra dokter kami yang masih bertugas di rumah sakit diberikan keleluasaan untuk menyesuaikan jam konsultasi mereka dalam GrabHealth dalam masa sulit ini,” ujar Wicaksana.

Halodoc, di sisi lain, telah membawa lebih banyak dokter online. Saat ini, platform mencatap setidaknya 1.000 dokter untuk konsultasi terkait COVID-19. Dengan cara ini, beban kerja dapat ditanggung lebih banyak orang, mengurangi tingkat stres pada setiap dokter.

Berbagai platform hadir membantu pekerja medis serta profesional terkait. GrabHealth sedang mencanangkan rapid test gratis dan tes PCR untuk petugas layanan kesehatan dan mitra pengemudi Grab di sembilan kota. Mereka bertujuan untuk memberikan tes COVID-19 gratis kepada 5.000 orang hingga pertengahan Mei. Sementara Halodoc, bekerja sama dengan IDI dan lembaga lainnya, mendistribusikan 2.000 set APD, 2.000 pelindung wajah penuh, dan 100 sink portabel ke beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat di Jakarta.

Kesempatan baru dan peralihan kebiasaan

Krisis kesehatan publik global yang belum pernah terjadi sebelumnya kian mendorong adopsi cepat layanan digital di sektor kesehatan. Menurut executive insights oleh Galen Growth Asia, akan ada perubahan paradigma dalam ekosistem perawatan kesehatan dalam hal bagaimana pemangku kepentingan menerapkan alat digital.

Di Indonesia, jumlah orang yang menggunakan aplikasi teknologi kesehatan terus meningkat. Halodoc mencatat lebih dari 6 juta pengguna mengakses fitur skrining mandiri COVID-19 aplikasi sejak Maret, sementara jumlah pengguna meningkat tiga kali lipat. GrabHealth juga harus meningkatkan kapasitasnya empat kali lipat untuk memenuhi permintaan.

“Kami menyadari bahwa setiap orang menghadapi masa masa sulit. Gerakan rakyat terbatas di tengah pandemi ini,” sambut Sudharta. “Teknologi memiliki peran penting sebagai jembatan untuk kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan layanan kesehatan dan obat-obatan.”

Dengan banyaknya orang Indonesia yang menggunakan layanan telemedik untuk pertama kalinya, ada kemungkinan besar bahwa mereka akan terus menggunakan platform ini jika membutuhkan solusi medis di kemudian hari. Wicaksana mewakili Good Doctor percaya bahwa banyak orang akan terus memanfaatkan kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan oleh perusahaannya. “Momentum ini pasti akan mengubah cara orang mencari bantuan medis, dengan pola pikir ‘online’. Jika mereka merasakan keluhan ringan, mereka mungkin beralih ke telemedik terlebih dahulu sebelum pergi ke rumah sakit,” tambahnya.

GrabHealth dan Good Doctor mengakui telemedik sebagai tren yang mungkin menjadi standar di masa depan, dan perusahaan akan meningkatkan layanan mereka untuk memenuhi kebutuhan orang Indonesia, terutama mereka yang merasa kesulitan untuk mendapat fasilitas kesehatan. Namun, ini tidak berarti telemedik akan menggantikan konsultasi dokter offline. Dua entitas saling melengkapi dalam perawatan pasien di tahap awal.

Sementara itu, pemain yang lebih kecil mendapatkan paparan melalui kolaborasi bersama lembaga pemerintah. “Prixa memang mendapatkan manfaat branding, meskipun itu bukan motif utama kami,” kata Roring.

Bahkan sebelum pandemi, sektor kesehatan digital Indonesia telah menarik banyak investasi. Menurut Galen Growth Asia, platform kesehatan di Indonesia dan Singapura menerima sekitar 93% dari USD 226 juta dalam investasi perawatan kesehatan untuk wilayah tersebut. Halodoc dan Alodokter mengantongi dua kesepakatan besar yang jumlahnya mencapai USD 145 juta.

Setelah sbadai mulai reda, bukan tidak mungkin akan hadir unicorn baru Indonesia dari sektor teknologi kesehatan.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

“Home Learning” Jadi Era Pembelajaran Platform Edukasi Online di Indonesia

Keputusan pemerintah menutup seluruh sekolah dan universitas di Indonesia memaksa kita mengadopsi solusi education technology (edtech) sebagai opsi alternatif kegiatan belajar-mengajar (KBM) yang selama ini biasa dilakukan secara offline.

Sayangnya, urgensi untuk memanfaatkan edtech justru terjadi di situasi yang tidak menyenangkan. Bagi stakeholder terkait, tentu ini adalah “pekerjaan rumah” yang berat mengingat belum ada konsep yang ideal untuk mengukur efektivitas KBM secara online.

Apalagi, membayangkan lemahnya akses internet di Indonesia menjadi salah satu penanda bahwa KBM di Indonesia belum sepenuhnya siap untuk bertransisi ke online.

Bagi Kristin Lynn Sainani, seorang profesor epidemiologi dan kesehatan populasi di Universitas Stanford yang telah menerapkan belajar online sejak 2013, transisi ini tidak bakal berjalan dengan mulus kalau tujuan utamanya hanya sekadar ingin menyelesaikan kelas dengan cepat.

Lalu, bagaimana startup edtech di Indonesia merespons transisi KBM ini dengan solusi teknologi?

Lonjakan trafik dan pengguna secara signifikan

Sebulan pasca-pemberlakuan home learning, platform edtech di Tanah Air mengalami lonjakan trafik layanan dan jumlah pengguna secara drastis. Hal ini masuk akal mengingat di situasi saat ini, platform edtech menjadi salah satu solusi satu-satunya untuk mengakomodasi KBM para siswa.

Data yang dihimpun DailySocial mencatat platform Kelase mengalami kenaikan trafik signifikan kurang dari seminggu dengan peak sampai sepuluh kali lipat, dan jumlah pengguna mencuat hingga 33 persen. Sementara Quipper mencatat kenaikan trafik hingga 30 kali lipat selama seminggu terakhir pasca pemberlakuan home learning di 16 Maret. Sebanyak 128 ribu tugas diberikan oleh 10.000 guru aktif di 10.000 sekolah, serta lebih dari 121 ribu siswa aktif telah menjawab pertanyaan dari 69 juta pertanyaan di platfom Quipper.

Data lain yang diterbitkan Telkomsel mencatat kenaikan trafik broadband sebesar 16 persen. Kenaikan ini didominasi peningkatan pengguna platform e-learning seperti Ruangguru, aplikasi yang tergabung dalam Paket Ilmupedia, situs e-learning Kampus, dan Google Classroom, yang meroket hingga 5404 persen.

Operator Tri Indonesia juga mengungkap aplikasi e-learning menjadi salah satu layanan digital paling diminati dalam sepekan terakhir. Dibandingkan pekan-pekan sebelumnya, trafik layanan Zenius di jaringan Tri naik 73 persen, diikuti Ruangguru (78%), Quipper (196%), dan Edmodo (841%).

Data di atas menandakan tingginya traction dan antusiasme masyarakat Indonesia terhadap pembelajaran online. Tinggal selanjutnya penyedia platform perlu memastikan ketersediaan kapasitas yang cukup untuk memastikan kestabilan layanan dan kenyamanan belajar.

Founder dan Direktur Kelase Winastwan Gora mengungkap pihaknya berupaya mengoptimalkan kapasitas layanannya. Malahan, pihaknya mendapat dukungan dari penyedia cloud dari Amazon Web Service (AWS) untuk mengoptimasi arsitektur dan meningkatkan kapasitas server.

“AWS memberikan kredit tambahan untuk server sampai akhir tahun dikarenakan situasi COVID-19 ini,” paparnya kepada DailySocial.

Sementara CEO Zenius Rohan Monga menyebutkan saat ini akan tetap fokus untuk memberikan kemudahan belajar mandiri di rumah. Ia mengungkap telah menyiapkan tim khusus yang berperan untuk menjaga kestabilan layanan di masa pandemi ini.

“IT team kami selalu bekerja keras sepanjang hari demi memastikan agar peningkatan trafik ini tidak membebani kinerja platform kami,” ungkap Monga kepada DailySocial.

Pandemi picu pengembangan fitur baru

Di awal pemberlakuan home-learning, sejumlah platform edtech berlomba-lomba memunculkan inisiatif baru, mulai dari berkolaborasi dengan operator seluler, menyediakan paket layanan gratis, hingga mengembangkan fitur baru untuk memperkuat kualitas layanannya.

Pada dasarnya, pengembangan fitur baru ini semata didorong karena adanya urgensi terhadap pemberlakuan home-learning. Dengan semangat agile, para platform edtech berupaya untuk membantu siswa, guru, dan orang tua menyesuaikan diri dengan cepat.

Ruangguru memulai inisiatif ini melalui kolaborasinya dengan Telkomsel untuk menggratiskan layanan selama 30 hari dengan kuota 30GB. Kelase juga membuat program serupa, baik kelas online gratis di blajar.kelase.id dan versi pro gratis selama tiga bulan bagi lembaga yang memerlukan.

Berikutnya platform Zenius menggandeng beberapa operator untuk menghadirkan paket data gratis untuk mengakses ke sebanyak 80.000 konten pembelajaran. “Bahkan, layanan Zenius juga kini dapat diakses menggunakan aplikasi Gojek,” tambah Rohan.

Dari informasi yang dihimpun, platform Zenius, Kelase, dan Quipper mengembangkan fitur baru yang digarap untuk mengantisipasi kelanjutan home learning dalam beberapa bulan ke depan.

Platform Zenius meluncurkan fitur Live Class, tiga hari setelah pemberlakuan home learning. Fitur ini memungkinkan siswa untuk mengikuti sesi belajar secara secara live melalui aplikasi, website, dan akun YouTube Zenius dengan topik tertentu yang disediakan tutor Zenius. Para siswa juga dapat berinteraksi dengan memberikan pertanyaan melalui live chat. 

Selain Live Class, Zenius juga menyediakan fitur rencana belajar harian (Daily Study Plan) sebagai panduan bagi guru dan orang tua siswa untuk membimbing siswa yang melaksanakan belajar mandiri di rumah.

Senada dengan Zenius, platform Kelase juga meluncurkan fitur baru versi Beta untuk mengakomodasi komunikasi dua arah. Misalnya, peserta tak hanya mendengar dan melihat presenter tetapi juga melakukan presentasi dan tanya jawab dengan audio video. Fitur Kelase Live Lecture dijanjikan meluncur secara penuh dalam beberapa hari ke depan.

“Kami masih terus berbenah didampingi tim solution architect AWS untuk mengantisipasi lonjakan trafik tinggi dengan kehadiran fitur baru ini,” ungkap pria yang karib disapa Gora ini.

Untuk memberikan kemudahan penggunaan, Quipper mengembangkan fitur pengindeks transkripsi suara yang dapat mempermudah siswa untuk melakukan pencarian berdasarkan kata kunci, topik, atau materi tertentu yang muncul atau disebutkan di dalam video.

Business Development Manager Quipper Ruth Ayu Hapsari menjelaskan bahwa fitur ini juga mampu mendeteksi kata kunci berdasarkan kata-kata yang diucapkan oleh guru dalam video dan history belajar siswa di akun Quipper.

“Kami juga menghadirkan layanan Masterclass yang dapat membantu siswa untuk berdiskusi langsung dengan pengajar terkait mata pelajaran, PR, termasuk berkonsultasi mengenai rencana belajar,” tuturnya.

Tantangan transisi pembelajaran online

Sebetulnya, keputusan pemerintah untuk menjalankan home learning ibarat tugas dadakan yang perlu dikebut dalam semalam. Tentu keputusan hal ini akan menimbulkan tantangan beruntut bagi orangtua, siswa, dan guru. Pasalnya, selama ini sistem pendidikan Indonesia belum melihat pembelajaran online sebagai opsi setara dengan pembelajaran tatap muka.

Transisi akan semakin sulit manakala literasi terhadap digital di Indonesia masih rendah. Belum tentu kalangan orangtua, siswa, dan guru paham betul bagaimana menggunakannya. Namun, sisi positifnya, kondisi ini akan memaksa mereka untuk belajar menggunakan aplikasi dan layanan digital lain.

Selain itu, akses internet di Indonesia belum tersebar secara merata, terutama di daerah pedalaman. Kuota internet masih menjadi barang mahal bagi sekian banyak orang. Jadi, jangan harap bicara kegiatan belajar-mengajar dapat berjalan seamless.

Bagi Kelase dan Quipper, keterbatasan internet menjadi salah satu tantangan besar untuk memuluskan transisi ini. Menurutnya, keterbatasan kuota menghambat siswa pengguna untuk dapat mengikuti layanan yang butuh bandwith besar, seperti sesi perkuliahan live.

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah sebagian besar guru yang menggunakan Kelase dan Quipper masih kesulitan dalam merancang Learning Management System (LMS). Hal ini membuat sejumlah fitur dalam kelas online belum dapat dimanfaatkan dengan baik.

Tantangan tersebut pada akhirnya dapat menjadi pembelajaran penting yang mendorong startup untuk mengembangkan solusi. Untuk menjawab kesulitan kuota internet, Kelase mengembangkan layanan Live Lecture yang dinilai hemat bandwidth.

Pihaknya juga menyediakan panduan singkat dan melakukan sesi pendampingan khusus terhadap guru dan orangtua secara online untuk mengoptimalkan penggunaan Kelase selama pemberlakuan home learning. “Karena hal ini juga, kami sedang mengejar timeline untuk pengembangan fitur baru lainnya, yakni Dual Presenter di Kelase Live Lecture,” ungkap Gora.

Senada dengan di atas, Ruth mengungkap bahwa pihaknya terus melakukan edukasi dan pelatihan untuk membantu guru-guru di sejumlah wilayah di Indonesia beradaptasi dalam menggunakan aplikasi belajar online.

Tak hanya melalui pengembangan fitur dan edukasi, pihaknya juga melakukan kolaborasi dengan operator telekomunikasi untuk memberikan kuota internet gratis. Kolaborasi ini dilakukan untuk menjawab keluhan orang tua terhadap semakin meningkatnya kebutuhan akses internet dari yang biasanya.

“Tentu kami juga berharap pemerintah untuk memaksimalkan sarana dan prasarana terhadap koneksi jaringan di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), khususnya untuk sektor pendidikan,” ujar Ruth.

Jika melihat kondisi di atas, tampaknya butuh waktu panjang bagi ekosistem pendidikan di Indonesia untuk beradaptasi. Sebagaimana pernah disebutkan, situasi pandemi ini bakal menjadi test case dan ajang pembuktian startup edtech, apakah layanan edukasi online siap menjadi platform primer di Indonesia.

Mendorong Peranan Artificial Intelligence di Sektor Kesehatan

Teknologi Artificial Intelligence (AI) di bidang kesehatan diharapkan membantu mengurangi kompleksitas penanganan penyebaran virus Covid-19. AI dinilai mampu mengolah data, menganalisis data rontgen dengan lebih cepat, mendeteksi kondisi orang melalui temperatur tubuh, atau melihat penggunaan masker wajah di tempat umum.

“Mengintegrasikan teknologi AI ke dalam industri medis memungkinkan banyak kemudahan, termasuk otomatisasi tugas-tugas dan analisis data pasien dalam jumlah besar demi perawatan kesehatan yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih terjangkau. Contohnya medical imaging yang memanfaatkan teknologi computer vision dapat membantu mendeteksi penderita pneumonia dan kanker lebih cepat dan akurat,” kata CEO Kata.AI Irzan Raditya.

Menurut Chief Research & Product Innovation Nodeflux Dr. Adhiguna Mahendra, AI telah memainkan peran yang sangat penting dalam perawatan kesehatan dan dalam satu dekade akan secara fundamental membentuk kembali prospek perawatan kesehatan. Hal tersebut dilihat dari penerapan AI untuk diagnosis gambar medis otomatis, diagnosis prediktif, dan telemedicine.

“Pandemi Covid-19 ini memberi insentif kepada para ilmuwan untuk berlomba-lomba menemukan vaksin baru yang kemajuan di bidang ini juga akan memengaruhi penelitian pengobatan pembelajaran lebih mendalam pada umumnya,” kata Adhiguna.

Hal senada diungkapkan CEO DycodeX Andri Yadi. Menurutnya, siapa pun harus berkontribusi melawan Covid-19, termasuk startup teknologi seperti DycodeX.

Penerapan AI di sektor kesehatan Indonesia

Di Indonesia, fungsi AI masih terbatas ke deteksi dan monitoring. Belum terlalu advance, seperti di negara maju. Startup Qure.ai yang berbasis di Inggris, melalui qXR system yang dikembangkannya, mampu menyoroti kelainan paru-paru dalam pemindaian sinar-X dada dan menjelaskan logika di balik evaluasi risiko penyebaran virus Covid-19.

Ada pula startup yang berbasis di Seoul, Korea Selatan, bernama Lunit yang menghadirkan produk serupa. Produk screening paru-paru Qure.ai dan Lunit telah disertifikasi badan kesehatan dan keselamatan Uni Eropa sebelum krisis. Alat ini telah diadaptasi agar semakin bermanfaat ketika Covid-19.

Meskipun belum banyak menyentuh layanan kesehatan, penerapan teknologi AI di Indonesia paling tidak mampu mengatasi masalah mendasar terkait social distancing dan deteksi awal virus Covid-19.

Teknologi FaceMask detection Nodeflux
Teknologi FaceMask Detection Alert milik Nodeflux

Teknologi terkini yang dihadirkan Nodeflux adalah FaceMask Detection Alert. Melalui teknologi ini, aktivitas masyarakat di ruang publik mampu dikenali lebih detail. Nodeflux menggunakan AI untuk mengotomasi proses pemantauan dengan deteksi wajah tanpa atau menggunakan masker. Mekanisme ini dilengkapi alert system sebagai pemberitahuan cepat bagi petugas ketika subyek tanpa masker ditemukan berlalu-lalang.

Semua data tersebut dapat terkoneksi dan terpusat melalui layar Monitoring Dashboard & Alert System.

“Pada dasarnya AI dapat membantu kami tidak hanya dalam pengambilan keputusan, tetapi juga dalam melakukan semacam tindakan otomatis. Tentu saja ini akan mengubah lanskap penyelesaian masalah selama kondisi pandemi, di mana kita diharuskan untuk membuat keputusan cepat tentang kondisi kesehatan masyarakat, mobilitas publik, dan kepatuhan terhadap peraturan,” kata Adhiguna.

Pemanfaatan AI dan IoT di bidang kesehatan juga dikembangkan DycodeX. Perusahaan saat ini mengembangkan teknologi yang mampu melakukan proses screening suhu badan orang. Dalam waktu sekitar 2 detik, alat yang dikembangkan tersebut diklaim mampu melihat apakah orang tersebut memiliki demam atau tidak.

BodyThermal Screening System milik DycodeX
Body Thermal Screening System / DycodeX

Tim DycodeX melihat adanya potensi teknologi ini bisa diterapkan di kantor-kantor dan bandara. Untuk kisaran harga jual, DycodeX menyebutkan produk ini berharga di bawah Rp10 juta. Ada banyak fasilitas, industri, dan bangunan yang perlu tetap beroperasi selama krisis ini dan solusi yang dihadirkan diharapkan dapat berkontribusi menjaga semua orang tetap aman dan sehat.

Berbeda dengan alat deteksi yang banyak digunakan oleh kalangan umum, alat ini mampu melihat suhu badan tanpa menyentuh bagian tubuh dari orang yang diperiksa. Mereka yang tidak menggunakan masker wajah juga bisa dideteksi.

“Kami percaya bahwa solusi seperti kami akan terus bisa diadopsi ketika dunia menjadi lebih sadar akan pentingnya teknologi untuk pencegahan dan antisipasi terhadap masalah potensial terkait kesehatan. Demam adalah salah satu respon tubuh kita yang terlihat, terkait dengan masalah kesehatan. Mendeteksi potensi demam dapat mencegah banyak masalah terkait. Kami berharap teknologi semacam ini akan dapat mengantisipasi dan melindungi terhadap kemungkinan wabah di masa depan,” kata Andri.

Masa depan pemanfaatan AI

Meskipun sebelum pandemi penerapan teknologi AI sudah mulai banyak dilancarkan berbagai industri, bisa dipastikan usai pandemi penelitian dan pengaplikasian AI akan lebih banyak dilakukan.

Di bidang kesehatan, penerapan teknologi AI dapat membantu untuk diagnosis, prognosis dan pengobatan. Untuk tujuan diagnosis dan prognosis misalnya, x-ray dan CT (Computed Tomography) dari gambar paru-paru di berbagai kondisi dapat digunakan untuk meningkatkan model deep learning yang menjadi bahan diagnosis Covid-19.

“Jadi aplikasi terkait prognosis, seperti dapat memperkirakan siapa yang akan terkena dampak lebih parah dapat membantu dalam perencanaan alokasi dan pemanfaatan sumber daya medis. Ini tentunya bisa diterapkan kepada penyakit lain,” kata Adhiguna.

Irzan menambahkan, “Saat ini, pengadopsian teknologi AI dalam industri medis di Indonesia sebagai pendukung penyedia layanan medis dalam membuat keputusan akan lebih tepat dan bermanfaat. Dengan demikian, dokter tetap berperan sebagai pengambil keputusan yang final.”

Jauh sebelum pandemi, AI sudah diakui eksistensinya, karena berpotensi berkontribusi pada penemuan obat baru. Di kasus Covid-19, sejumlah pusat penelitian fokus mencari vaksin melawan Covid-19. AI dapat mempercepat proses penemuan obat dan vaksin baru dengan memprediksi dan memodelkan struktur informasi virus yang dapat berguna dalam mengembangkan obat baru.

Namun demikian, persoalan lain yang perlu dipertimbangkan adalah regulasi. Teknologi AI akan sulit dikembangkan lebih lanjut tanpa persetujuan regulator terkait.

“Kesehatan adalah area di mana peraturannya sangat ketat dan tidak fleksibel. Ini dibenarkan karena mereka berurusan dengan kehidupan manusia, tetapi pada saat yang sama, sejumlah besar pengujian, sertifikasi dan panel akan menyebabkan inovasi dalam AI untuk perawatan kesehatan lebih lama, lebih rumit dan sulit untuk dimasukkan ke dalam aplikasi dunia nyata,” kata Adhiguna.

Tantangan lain, menurut Irzan, adalah ketidakseimbangan antara jumlah riset AI dengan kebutuhan bisnis. Banyak riset AI yang sulit dikomersialisasikan, karena riset tersebut belum tepat guna.

“Menurut saya, kolaborasi yang lebih selaras antara lembaga riset atau perguruan tinggi dengan pelaku bisnis berperan penting agar riset-riset AI dapat dimanfaatkan demi kebutuhan bisnis,” kata Irzan.

Ia menambahkan, dalam jangka waktu 10-15 tahun ke depan teknologi AI akan berkembang pesat dan dapat membantu industri medis dengan lebih signifikan, terutama jika data-data rekam medis digital dan medical imaging dapat terintegrasi. Teknologi AI tidak hanya hadir sebagai fasilitas pelengkap untuk meningkatkan produktivitas tenaga medis, tetapi juga berperan sebagai fasilitas pencegahan penyakit.

“AI akan tetap hadir dengan inovasi dan kemajuan logis dari komputasi dan teknologi secara umum. Hal tersebut nantinya tidak akan terlepas dari kehidupan kita sehari-hari dan akan terus diperbaiki, terlepas dari adanya pandemi ini atau tidak,” kata Andri.

Prixa Expands Digital Health Service, Targeting B2B and B2G

A startup that provides technology for health industry, Prixa, is targeting more B2B and B2G collaborations in order to achieve its vision to democratize technology in this sector. Currently, the company has partnered up with other industries, such as Alfa Group, DAV, We+, and the latest one os Generali Insurance.

Prixa’s Co-founder & CEO, James Roring revealed, the service was build to humanize the digital health service through data and technology. Therefore, the B2B service will continue to be accessible for more people can use kinds of services on Prixa.

It is said in the insurance sector, Prixa has served more than two million policyholders through cooperation with a number of insurance companies. Furthermore, Prixa is claimed to have contributed to increasing partner efficiency by maximizing the integration of the use of the Prixa symptom check system and telecommunications features that can reduce spending by 30% -40% for outpatient claims only.

“To further improve efficiency, meet the needs of partners and users, Prixa is developing additional features for our platform to be able to serve comprehensive health services,” he told DailySocial.

Together with Generali Insurance, Prixa is the AI ​​technology partner for Doctor Leo’s features in the iClick Gen application. This technology is used by Generali who wants to run the tele-consulting and other tele-health services more efficiently. For example, checking for symptoms and detecting more than 600 types of diseases.

Generali Insurance customers can consult with live chat, voice calls, and video calls for free via smartphone devices. It is hoped that Doctor Leo can reduce the burden of medical staff in detecting early symptoms of a disease, especially related to Covid-19.

“We comply with all government regulations regarding data privacy and the use of personal information. In addition, we regularly undergo penetration testing to identify vulnerabilities that can be exploited in a cyber-attack scenario.”

Partnership with the government

Aside from B2B partners, Prixa also has a B2G partnership with the Government of West Java Province. The company is an asset and one of the early filters for the detection and countermeasures for the Covid-19 pandemic for 50 million local residents.

Further explained, the Prixa system analyzes the answers given by users based on complaints and related questions, as will be asked by doctors. Then, the Prixa system processes these answers and provides the results of possible conditions based on the information submitted.

“Ours is an evidence-based analysis system, where our team of doctors studies the results of research and research publications, utilizes the results, and combines them with guidelines set by WHO and the Ministry of Health to build a comprehensive tool for assessing symptoms and risks.”

In order to fasten the expansion plan, James revealed that his team is considering raising new funding at the end of this year. Without further details, Prixa has been supported by strategic partners in the Health and technology sector as its investors.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Perluas Akses Layanan Kesehatan Digital, Prixa Incar Kemitraan B2B dan B2G

Startup penyedia teknologi untuk industri kesehatan Prixa mengincar lebih banyak kerja sama B2B dan B2G agar visinya dalam mendemokratisasi teknologi di sektor ini dapat dirasakan luas. Saat ini perusahaan telah memiliki kemitraan dari lintas industri seperti Alfa Group, DAV, We+, dan yang terbaru Asuransi Generali.

Co-Founder & CEO Prixa James Roring menjelaskan, layanannya dibangun untuk memanusiakan layanan kesehatan melalui data dan teknologi. Oleh karenanya, kerja sama B2B seperti ini akan terus dilanjutkan agar akses tersebut bisa dirasakan lebih banyak semua orang dan memanfaatkan layanan yang tersedia di Prixa.

Menurutnya, di sektor asuransi saja, Prixa telah melayani lebih dari dua juta pemegang polis berkat kerja sama dengan sejumlah perusahaan asuransi. Dari situ Prixa diklaim ikut andil meningkatkan efisiensi mitra dengan memaksimalkan integrasi penggunaan sistem periksa gejala Prixa dan fitur telekomunikasi yang dapat mengurangi pengeluaran 30%-40% untuk klaim rawat jalan saja.

“Untuk lebih meningkatkan efisiensi, memenuhi kebutuhan mitra dan pengguna, Prixa sedang mengembangkan fitur tambahan untuk platform kami agar dapat melayani layanan kesehatan yang menyeluruh,” tuturnya kepada DailySocial.

Bersama Asuransi Generali, Prixa menjadi mitra teknologi AI untuk fitur Dokter Leo di dalam aplikasi Gen iClick. Teknologi ini dimanfaatkan Generali yang ingin menjalankan layanan tele-konsultasi dan tele-kesehatan lain agar lebih efisien. Misalnya, melakukan pengecekan gejala dan mendeteksi lebih dari 600 jenis penyakit.

Nasabah Asuransi Generali dapat berkonsultasi dengan cara live chat, voice call, maupun video call secara gratis lewat perangkat smartphone. Harapannya Dokter Leo dapat mengurangi beban petugas medis dalam mendeteksi gejala awal dari suatu penyakit, apalagi terkait Covid-19.

“Kami mematuhi semua peraturan pemerintah tentang privasi data dan pemanfaatan informasi pribadi. Selain itu, kami secara teratur menjalani pengujian penetrasi untuk mengidentifikasi kerentanan yang dapat dieksploitasi dalam skenario serangan siber.”

Bermitra dengan pemerintah daerah

Selain mitra B2B, Prixa juga menjalin kemitraan B2G dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Perusahaan menjadi aset dan salah satu filter awal untuk deteksi dan langkah penanggulangan pandemi Covid-19 buat 50 juta warga setempat.

Dijelaskan lebih jauh, sistem Prixa menganalisis jawaban yang diberikan pengguna berdasarkan keluhan dan pertanyaan terkait keluhan, seperti yang akan ditanyakan dokter. Kemudian, sistem Prixa memroses jawaban-jawaban tersebut dan memberikan hasil kemungkinan kondisi berdasarkan informasi yang disampaikan.

“Sistem kami didasarkan pada analisis berbasis bukti, di mana tim dokter kami mempelajari hasil riset dan publikasi penelitian, memanfaatkan hasilnya, dan menggabungkannya dengan pedoman yang ditetapkan WHO dan Kementerian Kesehatan untuk membangun sarana yang komprehensif dalam menilai gejala dan risiko.”

Agar ekspansi Prixa lebih kencang, James mengungkapkan pihaknya sedang mempertimbangkan untuk menggalang pendanaan baru pada akhir tahun ini. Tanpa mendetailkan, Prixa telah didukung oleh mitra strategis di sektor Kesehatan dan teknologi sebagai investornya.

Stoqo’s Shutdown and Survival Strategy for B2B Commerce

The corona pandemic has severed some culinary businesses in the country. The declining situation is inevitable due to the susceptive character of coronavirus disease 2019 (Covid-19) that forces people to do most activities at home.

Since the first Covid-19 case emerged in early March, the food business has reportedly continued to shrink. The loss has affected such players as the upper-middle-class restaurants and micro and small culinary enterprises. Digital platforms providing culinary business needs will also be affected. It happens to Stoqo.

Stoqo officially announced an operational shutdown. A few days before, the startup, which was led by Aswin Andrison as a Co-Founder & CEO, only announced that it had temporarily stopped operating. However, the pandemic finally forced them out of business.

“Since 2017, we have built STOQO to serve and empower SMEs in the culinary field in Indonesia. However, the situation triggered by the COVID-19 pandemic has caused a drastic reduction in revenue for us,” Stoqo wrote on their website.

Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.
Shutdown operation announcement

Upcoming Hazard

Stoqo is a platform that focuses on providing basic food needs for places to eat, especially restaurants, catering cafes, and home-based culinary businesses. Stoqo supplies a variety of foods ranging from meat, vegetables, flour, coffee, and others.

Aswin stated that Stoqo was focused on playing in the B2B segment ever since. They realize the platform as a hub to meet the needs of culinary businesses. With the prospect of being considered quite brilliant, it’s no wonder Stoqo won series A funding from Monk’s Hill Partners and Accel Partners India at the end of December 2018.

However, the reality ended bitterly for Stoqo. The number of restaurants, cafes, and restaurants that stopped operating claimed their income. The Indonesian Hotel and Restaurant Association said that at least thousands of restaurants were closed due to the Covid-19 outbreak.

The unfortunate events of B2B commerce business like Stoqo also happen to Eden Farm and Wahyoo. Although, the scale is yet to worrying. Eden Farm Founder & CEO, David Gunawan said there were two segments they generally served, namely restaurants and grocery stalls. Of the two, David said that the restaurant was hit by the bigger impact.

“It’s true that high-end restaurants and those in the mall are closed or shifting to delivery, half of our clients in the segment are closed,” David told DailySocial.

Meanwhile, Wahyoo Founder & CEO Peter Shearer shared a similar experience. A number of stalls affiliated with Wahyoo have stopped operating, especially those located in office areas. Peter also did not mention the exact number. But he made sure other stalls were not seriously affected by this outbreak, especially those located in residential and settlement areas.

Survival strategy

Although the impact is not as severe as Stoqo’s experience, a prolonged pandemic can be a scourge for the sustainability of the Wahyoo and Eden Farm businesses. Special strategies are needed so that they avoid the same fate of Stoqo.

Peter mentioned the problem is to keep the request ongoing. The trick to Wahyoo’s demand has been to help stalls sell on digital platforms such as Go-Food. At the same time, the implementation of large-scale social restrictions (PSBB) in many regions has shifted shopping patterns in Wahyoo.

“The positive impact is that the PSBB and Covid-19 have forced the food stall owners to adapt faster,” he added.

On the other hand, Eden Farm, which clients are mostly grocery stores, has another strategy to stay afloat during this pandemic. David said they now rely on the agency system to reach buyers who are reluctant to leave the house.

David rejects this new system as B2C. He said that his party only reactivated the group purchasing model, which actually existed since last year but was only revived three weeks ago.

Changes in segment composition also helped Eden Farm from the majority of their clients, restaurants and middle-up restaurants to the majority of SMEs. David said that currently 80% of their clients are middle-to-lower business people.

“We’re still getting new customers, the customer purchase growth is ongoing. Indeed, it was reducing in the early days [the pandemic], but it was back [normal] again after a few weeks,” said David.

PHRI Deputy Chairman for the Restaurant Sector Emil Arifin said there were already thousands of restaurants that had stopped operating throughout Indonesia. The estimated figure comes from the number of restaurants scattered in 327 malls that have been closed out of a total of 700 malls. In other words, more than 8,000 restaurants have closed.

“That does not include restaurants in office buildings, stand alone, in tourist parks and other facilities outside the mall. If you want to add up all of them, I think twice,” Emil explained to DailySocial.

Under this situation, Emil estimates that the culinary business in the country has lost around Rp2.5 trillion per month with 200 thousand people losing their jobs.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tutupnya Stoqo dan Siasat Bertahan Pelaku B2B Commerce

Pandemi virus korona memukul bisnis kuliner Tanah Air. Redupnya bisnis ini tak terhindarkan lantaran bahaya penyebaran corona virus disease 2019 (Covid-19) yang sangat mudah sehingga memaksa sebagian besar orang hanya bisa beraktivitas dari rumah.

Sejak kasus Covid-19 pertama muncul pada awal Maret lalu, bisnis makanan dilaporkan terus menyusut. Kerugian tak hanya ditanggung para pelaku seperti restoran menengah ke atas dan pengusaha kuliner kelas mikro dan kecil. Platform digital penyedia kebutuhan bisnis kuliner pun kena imbasnya. Hal ini sudah terjadi pada Stoqo.

Stoqo resmi mengumumkan mereka berhenti beroperasi. Beberapa hari sebelumnya, startup yang dinahkodai Co-Founder & CEO Aswin Andrison ini hanya mengumumkan berhenti beroperasi untuk sementara waktu. Namun pandemi akhirnya memaksa mereka gulung tikar.

“Sejak tahun 2017, kami membangun STOQO untuk melayani dan memberdayakan UKM dalam bidang kuliner di Indonesia. Namun, situasi yang dipicu oleh pandemi COVID-19 telah menyebabkan penurunan pendapatan secara drastis bagi kami,” tulis Stoqo dalam situs mereka.

Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.
Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.

Ancaman yang membayangi

Stoqo adalah platform yang fokus menyediakan kebutuhan bahan pokok bagi tempat makan, khususnya restoran, kafe katering, dan usaha kuliner rumahan. Stoqo menyuplai berbagai bahan makanan mulai dari daging, sayur-mayur, tepung, kopi, dan lain-lain.

Sedari awal Aswin memang menyatakan Stoqo fokus bermain di segmen B2B. Mereka mewujudkan platformnya sebagai hub pemenuh kebutuhan pebisnis kuliner. Dengan prospek yang dianggap cukup cemerlang maka tak heran Stoqo berhasil meraih pendanaan seri A dari Monk’s Hill Partners dan Accel Partners India pada akhir Desember 2018.

Namun kenyataan berakhir pahit untuk Stoqo. Banyaknya restoran, kafe, dan rumah makan yang berhenti beroperasi merenggut pendapatan mereka. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia mengatakan bahwa setidaknya ada ribuan restoran yang tutup akibat wabah Covid-19.

Pahitnya bisnis B2B commerce seperti Stoqo ini juga dirasakan oleh Eden Farm dan Wahyoo. Kendati begitu mereka mengklaim skalanya masih belum mengkhawatirkan. Founder & CEO Eden Farm David Gunawan mengatakan ada dua segmen yang umumnya mereka layani yakni restoran dan warung kelontong. Dari keduanya, David menyebut restoran lah yang kena imbas lebih besar.

“Memang benar restoran mewah dan yang di mal itu pada tutup atau setidaknya jadi delivery, setengah klien kita di segmen itu tutup,” ungkap David kepada DailySocial.

Sementara itu Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer bercerita pengalaman serupa. Sejumlah warung yang berafiliasi dengan Wahyoo sudah berhenti beroperasi terutama yang berlokasi di area perkantoran. Peter juga tak menyebut berapa jumlah pastinya. Namun ia memastikan warung-warung lain tak terkena dampak serius dari wabah ini, terutama yang berlokasi di area perumahan dan perkampungan.

Siasat bertahan

Meskipun dampaknya tak separah Stoqo, pandemi berkepanjangan dapat menjadi momok bagi keberlangsungan bisnis Wahyoo dan Eden Farm. Strategi khusus pun diperlukan agar mereka terhindar dari nasib serupa Stoqo.

Peter menjelaskan bahwa masalah yang ada sekarang adalah menjaga permintaan terjaga. Kiat menjaga permintaan dari Wahyoo sejauh ini adalah membantu warung-warung agar dapat berjualan di platform digital seperti Go-Food. Di saat yang bersamaan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di banyak daerah sudah mengeser pola belanja di Wahyoo.

“Positifnya secara tidak langsung dengan adanya PSBB dan Covid-19 ini memaksa adaptasi pemilik warung makan terhadap digital jadi lebih cepat,” imbuhnya.

Di lain tempat, Eden Farm yang kliennya sebagian besar adalah toko kelontong punya siasat lain untuk tetap bertahan selama pandemi ini. David mengatakan mereka kini mengandalkan sistem keagenan untuk menjangkau pembeli yang enggan keluar rumah.

David menolak sistem baru ini sebagai B2C. Ia menyebut pihaknya hanya mereaktivasi model pembelian secara berkelompok yang sejatinya sudah ada sejak tahun lalu namun baru dihidupkan kembali tiga pekan lalu.

Perubahan komposisi segmen juga membantu Eden Farm dari mayoritas klien mereka restoran dan rumah makan menengah ke atas menjadi mayoritas UKM. David menyebut saat ini klien mereka 80% berasal dari pebisnis menengah ke bawah.

“Kita tetap dapat customer baru, pertumbuhan pembelian customer pun masih berjalan. Memang di awal-awal [pandemi] berkurang, tapi lewat seminggu balik [normal] lagi,” ucap David.

Wakil Ketua Umum PHRI Bidang Restoran Emil Arifin menyebut sudah ada ribuan restoran yang berhenti beroperasi di seluruh Indonesia. Perkiraan angka itu berasal dari jumlah restoran yang tersebar di 327 mal yang sudah tutup dari total 700-an mal. Dengan kata lain sudah 8.000 lebih restoran yang tutup.

“Itu belum termasuk resto di gedung perkantoran, stand alone, di taman wisata dan di fasilitas lainnya di luar mal. Kalau mau ditotal semua, saya kira dua kalinya,” terang Emil kepada DailySocial.

Dengan keadaan itu, Emil memperkirakan bisnis kuliner di Tanah Air sudah merugi sekitar Rp2,5 triliun per bulan dengan 200 ribu orang yang kehilangan pekerjaannya.

Layanan Konseling Digital Kian Dibutuhkan di Masa Pandemi

Pandemi yang berlangsung saat ini merupakan ancaman kesehatan terbesar di abad ke-21. Hingga tulisan ini dibuat, sudah lebih dari 2,7 juta kasus dengan total kematian 191.176 jiwa terjadi di seluruh dunia. Beraktivitas sepenuhnya di rumah merupakan cara utama memutus rantai corona virus disease 2019 (Covid-19) ini.

Namun virus ini nyatanya tak hanya mengancam kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental. Gempuran kabar buruk sepanjang pandemi dan minimnya pilihan kegiatan dapat meningkatankan ancaman terhadap kesehatan mental. Layanan konseling digital merupakan alternatif untuk mendapatkan konseling sembari menerapkan social distancing.

Psikologimu dan KALM merupakan dua dari sekian penyedia layanan konseling digital. Mereka berbagi cerita mengenai perubahan yang dibawa oleh pandemi terhadap layanan mereka masing-masing.

Meningkatnya jumlah pengguna

Situasi kesehatan dan ekonomi yang memburuk saat ini adalah kombinasi maut penyebab stres. Hal ini sudah diperkirakan oleh pakar kesehatan sebagai dampak tak langsung dari Covid-19. Tak heran apabila jumlah pengguna layanan konseling digital melonjak.

CEO Psikologimu Nova Ariyanto Jono menyebut platform mereka mengalami pertambahan pengguna hingga 8-10% selama pandemi ini berlangsung. Menurut Jono layanan konsultasi mereka yang kian populer adalah konsultasi perihal keluarga dan asmara. Sedangkan untuk pertambahan pengguna untuk konsultasi mengenai rasa cemas disebut masih sedang-sedang saja.

“Memang terjadi peningkatan users yang merasa cemas dan khawatir, namun peningkatannya tidak terlalu signifikan,” ujar Jono.

Perlu dicatat meski terjadi kenaikan pelanggan, Psikologimu belum menarik keuntungan atas layanan mereka. Jono menekankan Psikologimu yang masih berstatus bootstrap bertekad meningkatkan produk dan layanan mereka terlebih dahulu.

Hal serupa terjadi pada KALM. CMO & Co-Founder KALM Lukas Limanjaya menceritakan ada pergeseran yang tak terelakkan oleh pengguna layanan konseling tatap muka ke layanan digital. Hal ini terlihat dari pembelian paket konseling mereka yang terus bertambah.

Menurut Lukas layanan konseling mereka baik yang berupa chat, video, serta teks jadi favorit para pengguna untuk melewati keseharian mereka. “Kami juga melihat banyak perusahaan-perusahaan yang mencari layanan konseling untuk karyawan mereka,” ucap Lukas.

Model bisnis KALM menerapkan sistem berlangganan yang dibagi per paket berdasarkan durasi. Didukung oleh 160 konselor, KALM menjual paket termurahnya senilai Rp99.000 untuk konsultasi selama tiga hari. Sementara paket termahal berkisar Rp2 juta dengan masa konsultasi selama 12 pekan. KALM juga menawarkan layanannya kepada korporasi yang memerlukan dukungan kesehatan mental atau emosional bagi pegawainya.

Sudah diantisipasi

Beruntung mereka cepat mengantisipasi lonjakan di atas. KALM menggunakan momen ini untuk mengembangkan aplikasinya. Lukas bercerita mereka menambah konten-konten edukasi dan menggelar lokakarya yang tentu saja secara online. Di samping itu, mereka juga mempersiapkan sistem konseling video.

Pendekatan berbeda dilakukan oleh Psikologimu. Jono mengatakan pihaknya lebih giat menambah tenaga psikolog untuk bergabung dengan mereka. Ia mengklaim telah berhasil mengajak sedikitnya enam psikolog ikut melayani di Psikologimu, menambah 100 lebih psikolog yang sudah ada di platform. Tak hanya itu, Jono berniat menggandeng organisasi sosial untuk menyediakan dukungan kesehatan mental masyarakat yang terdampak pandemi.

“Dengan maraknya dukungan sehat mental dari Himpunan Psikologi Indonesia – HIMPSI (HIMPSI pusat maupun Daerah), kami masih akan terus meng-onboard serta menjalin kerjasama, sehingga users serta masyarakat Indonesia lebih mudah mendapatkan bantuan sehat mental oleh Psikolog tersertifikasi,” imbuh Jono.

Sektor layanan kesehatan memang menjadi satu dari sedikit sektor yang bisnisnya yang tak hanya bertahan tapi juga tumbuh di tengah terjangan wabah Covid-19. Hal ini menjadikan mereka sebagai salah satu jenis bisnis yang diprediksi akan kian cemerlang selepas pandemi berakhir.

World Health Organization (WHO) sendiri sudah memberi peringatan bahwa wabah Covid-19 ini akan berdampak besar terhadap kesehatan mental banyak orang. Potensi serupa juga dihadapi oleh para tenaga kesehatan yang menangani langsung wabah Covid-19. Beberapa kasus bunuh diri akibat menanggung dampak wabah sudah tercatat di beberapa negara termasuk di Indonesia.

3 Catatan Penting Bagi Startup Pemula untuk “Agile” di Situasi Pandemi

Bagi pelaku startup, metode agile bukan lagi hal baru. Startup telah terbiasa menerapkan metode ini dalam pengembangan produknya. Metode ini memungkinan startup untuk lebih luwes dan dinamis dengan keterbatasan SDM dan pendanaan.

Namun lain cerita jika startup menerapkan agile di situasi pandemi sekarang ini. Ini bukan lagi masalah keterbatasan SDM dan pendanaan, tetapi kondisi semacam ini semakin mempersulit ruang gerak startup–terutama tahap pemula atau early stage–untuk bisa bertahan.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, Founder dan CEO Qlue Rama Raditya berbagi tips bagi startup yang dapat menjadi pelajaran di situasi semacam ini ke depannya.

Menanam mindset disiplin keuangan

Ibarat menabung, disiplin keuangan juga wajib dilakukan oleh pelaku startup. Mindset ini idealnya ditanamkan sejak awal membangun bisnis. Jika situasi semacam ini terjadi di masa depan, startup sudah lebih dulu menyiapkan cadangan.

Salah satu bentuk disiplin keuangan ini, misalnya, jangan terburu-buru menghabiskan belanja modal (capex) di awal. Tipsnya, startup dapat mengalokasikan modal per bulannya selama beberapa bulan ke depan.

Contoh lainnya, startup perlu berhati-hati dalam menyepakati kontrak penagihan pembayaran dengan klien enterprise. Jika tidak disepakati sesuai kondisi keuangan, bisa-bisa runway startup keburu habis karena klien tidak kunjung membayar.

“Jangan berekspektasi investor selalu menyelamatkan. Kita mungkin berpikir investor selalu ada. Tapi, seiring waktu, investor akan semakin selektif meskipun punya modal besar. Mereka harus exit dalam 3-4 tahun,” ujar Rama.

Jangan “kepepet” galang pendanaan baru

Menggalang dana baru membutuhkan waktu lama. Menurut Rama, due diligence-nya saja bisa memakan lima bulan. Maka itu, startup sebaiknya jangan baru menggalang dana ketika modalnya sudah mau habis. “Selalu raise money saat tidak butuh, kalau perlu sembilan bulan sebelum habis,” tambahnya.

Ia juga merekomendasikan pelaku startup yang baru mengantongi pendanaan untuk menyisihkan modal dalam 5-6 bulan ke depan dan kalau perlu dalam bentuk mata uang dollar.

Trik ini akan membantu startup mengingat situasi sekarang tidak banyak memberikan opsi. Seluruh pelaku bisnis mengalami kondisi keuangan serupa sehingga sulit bagi startup untuk menjaga kinerja keuangan.

“Satu hal, startup early stage selalu maintain hubungan baik dengan bank. Ketika investor tidak bisa membantu dan klien sulit ditagih, kita punya opsi untuk menarik pinjaman dari bank,” jelas Rama.

Jangan terpaku pada pengembangan satu produk

Rama juga menekankan pentingnya melakukan diversifikasi produk dan ekosistem. Hal ini dapat berguna di kemudian hari apabila ada satu layanan utama startup terdampak besar dari situasi semacam ini .

“Kita bisa manuver lebih lincah karena terbantu dari diversifikasi layanan. Untuk mengembangkannya, coba cari masalah yang ingin diatasi,” ungkap Rama.

Tentu untuk melakukan strategi ini, startup perlu menganalisis sejumlah metrik untuk memilah seberapa besar masalah yang ingin diatasi. Hal ini dapat membantu pelaku startup untuk lebih fokus tanpa perlu melibatkan banyak SDM terlalu banyak.

“Situasi ini dapat menjadi momentum bagi startup untuk bertumbuh, karena setelah pandemi berakhir, solusinya akan tetap berjalan. Pada intinya, setiap entrepreneur yang committed harus mencari jalan keluar di setiap situasi. ini menjadi momen pengujian agar founder lebih mantap,” tutupnya.