Pendanaan Startup Indonesia Bernilai Lebih dari $100 Juta Sepanjang Pandemi

Kuartal kedua tahun ini memberi warna baru dalam dinamika startup Indonesia. Selain kabar mengenai banyak bisnis yang terperosok, selama paruh pertama 2020 arus pendanaan startup cenderung meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Beberapa startup bahkan mendulang pendanaan dengan nilai di atas $100 juta (setara 1,4 triliun Rupiah).

Berikut ini adalah nama-nama startup yang dikabarkan mendapatkan pendanaan besar baru di masa pandemi:

Tokopedia (dikabarkan) raih $500 juta

Pertama kali diberitakan DealStreetAsia, sumber mengatakan perusahaan yang dipimpin William Tanuwijaya tersebut mendapatkan dana tambahan senilai US$500 juta atau setara 7,3 triliun Rupiah. Sebelumnya dikabarkan Tokopedia memang tengah mencari dana baru hingga 21 triliun Rupiah sejak tahun lalu. Salah satu tujuannya mempersiapkan perusahaan melantai di bursa saham. Jika benar, perolehan ini menjadi yang terbesar di Asia Tenggara di paruh pertama 2020.

Gojek dapat US$300 juta

Awal Juni lalu, Gojek mengumumkan bergabungnya sejumlah investor di putaran seri F mereka. Dua di antaranya adalah Facebook dan Paypal. Kendati tidak diumumkan ke publik, santer tersiar nilai dana yang didapat mencapai $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah. Pendanaan baru tersebut salah satunya fokus untuk penguatan GoPay, yang mendorong anak usaha Gojek ini melakukan filing dengan valuasi unicorn.

Traveloka rengkuh US$250 juta

Kemarin, (28/7), Traveloka mengumumkan perolehan pendanaan barunya senilai $250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Dana ini untuk membantu perusahaan bangkit dari terjangan Covid-19 yang memorak-porandakan bisnis OTA di Indonesia dan seluruh dunia. Beberapa strategi direncanakan ulang, meski tetap fokus di bisnis akomodasi domestik. Beberapa layanan baru, seperti Xperience (online), mulai digalakkan untuk menjadi revenue stream baru di tengah transaksi penjualan tiket perjalanan yang minim.

Kopi Kenangan amankan $109 juta

Startup new retail Kopi Kenangan mendapatkan pendanaan Seri B senilai $109 juta atau setara 1,6 triliun Rupiah pada Mei 2020 lalu. Perolehan ini menambah total investasi yang didapat perusahaan di angka $137 juta. Selain memperluas cakupan bisnis, agenda utama dengan dana baru ini adalah menggarap model bisnis “cloud kitchen”, sehingga memungkinkan banyak produk makanan dan minuman baru yang segera disuguhkan ke para pelanggannya.

Bukalapak dikabarkan rampungkan pendanaan $100 juta

Kabar terbaru datang Bukalapak. Mereka sedang menggalang pendanaan baru senilai (minimal) US$100 juta atau setara 1,4 triliun Rupiah. Sumber DealStreetAsia mengatakan, dua investor utamanya, yakni EMTEK dan Ant Financial, telah terlebih dulu menyuntikkan dana di bulan Maret 2020 lalu. Belum diketahui pasti agenda yang dicanangkan perusahaan dengan dana baru ini. Kini Bukalapak beroperasi tanpa keterlibatan founder di jajaran manajemen, setelah Fajrin Rasyid bergabung dengan Telkom sebagai anggota Direksi.

Dominasi pendanaan di Asia Tenggara

Jika dibuat peringkat pendanaan terbesar sepanjang tahun 2020 ini, lima nama di atas akan mengisi daftar 10 besar. Beberapa startup di negara Asia Tenggara lain yang juga memperoleh dana baru senilai minimal $100 juta adalah Ninja Van (Singapura) $279 juta, RWDC Industries (Singapura) $133 juta, Tiki (Vietnam) $130 juta, dan Voyager Innovations (Filipina) $120 juta.

Traveloka Announces New Funding Worth of 3.6 Trillion Rupiah

Traveloka, today (7/28) announced the latest funding worth of US$250 million or equivalent to 3.6 trillion Rupiah. There are no further details on who participated, but EV Growth is one of the previous investors confirmed to be involved in this round. This investment is to focus on build up the company’s balance sheet while strengthening several product lines amid the Covid-19 pandemic.

This funding is previously reported by several media since early July 2020. Rumor has it that some investors, including Siam Commercial Bank, FWD Group, GIC, and East Ventures, mentioned involved in the final stage of negotiations for Traveloka’s follow-on funding. Reuters also says the Qatar Investment Authority (QIA) is leading the current round.

In this round, Traveloka’s valuation is estimated to drop at $2.75 billion (nearly 40 trillion Rupiah). The down round action was taken due to the company’s business struggle by Covid-19 and the declining traction.

“This is a major crisis in the current time, both in terms of finance and humanity. This situation is a form of re-adjustment that forces business people to rethink their plans, strategies, and business models. The travel industry is experiencing hard times that have never happened before, including Traveloka. The management team has made quite difficult efforts, including restructuring and optimization, to minimize the financial risks. We are confident that Traveloka will rise again stronger after going through this crisis,” Willson Cuaca said as Managing Partner EV Growth involved in this round.

Hardships during Covid-19 pandemic

Covid-19 has brought the OTA business experience a difficult challenge. Public transportation freeze, various destinations are closed; transactions declined. For Traveloka and many other OTA players, this has been the worst condition in their history.

Traveloka’s partners in the transportation, accommodation, activities, and restaurant sector also having some difficulty. In terms of transportation, consumer demand dropped dramatically while demand for refunds jumped significantly; the hotel business experienced the lowest occupancy rate ever; lifestyle partners in domestic and regional and restaurant partners must temporarily close their business operations.

“It can’t be denied that Traveloka is very affected by the Covid-19 pandemic. Our business is at its lowest point since we first started. However, we always believe that Traveloka will bounce back with the rapid adjustment of business strategies, working together with industry partners and other stakeholders, and continue to deliver innovative products to users as our main focus,” Traveloka’s Co-founder and CEO, Ferry Unardi said.

Struggling for business sustainability

In order to sustain, Traveloka applied some steps to optimize business, make savings, and refocus to prepare strategies to welcome the new normal. In Indonesia and Vietnam, for example, Traveloka finds the domestic sector, travel or short-range entertainment activities are getting back to normal and restore business, along with the high level of public awareness of pandemics and lifestyle adjustments to the current situation.

Various initiatives were launched to answer consumers’ changing demand, such as the Covid-19 Test service combined with airline tickets, booking hotel vouchers with flexible stays through “Buy Now Stay Later”, the Online Xperience program featuring popular hosts, the Traveloka LIVEstyle live stream program Flash Sale, as well as the Traveloka Clean campaign that allows users to place orders through Traveloka more convenient and secure.

“I am pleased to say that from a business standpoint, we are seeing a gradual recovery in all of our main markets. The Traveloka business in Vietnam has begun to stabilize and is approaching the period before Covid-19, while our business in Thailand is now almost beyond 50% compared to normal situations. “Even though Indonesia and Malaysia are still in the early stages of recovery, both markets continue to show promising momentum with week-to-week progress, especially for the line of accommodation business with the emergence of a short-term vacation stay or staycation,” Ferry added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Umumkan Perolehan Pendanaan Baru 3,6 Triliun Rupiah

Hari ini (28/7) Traveloka mengumumkan perolehan pendanaan baru senilai US$250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Meski tidak disebutkan secara detail siapa saja yang berpartisipasi,  EV Growth adalah salah satu investor terdahulu yang dikonfirmasi terlibat di putaran kali ini. Fokus investasi adalah untuk memperkuat neraca keuangan perusahaan sembari memperkuat beberapa lini produk di tengah pandemi Covid-19 ini.

Perolehan ini sejalan dengan kabar yang diberitakan beberapa media sejak awal Juli 2020 lalu. Sebelumnya dirumorkan sejumlah investor, termasuk Siam Commercial Bank, FWD Group, GIC, dan East Ventures, disebutkan terlibat  negosiasi tahap akhir untuk pendanaan lanjutan Traveloka. Rumor terbaru dari sumber Reuters mengatakan Qatar Investment Authority (QIA) memimpin putaran pendanaan kali ini.

Untuk mendapatkan suntikan dana tersebut, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19 dan mengalami penurunan traksi layanan.

“Ini merupakan krisis besar di generasi saat ini, baik dari sisi keuangan maupun kemanusiaan. Situasi ini merupakan bentuk dari penyesuaian ulang yang memaksa para pelaku bisnis untuk memikirkan kembali rencana, strategi dan model bisnis mereka. Industri perjalanan juga mengalami masa sulit yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk Traveloka. Tim manajemen telah melakukan berbagai upaya sulit namun harus dilakukan, termasuk restrukturisasi dan optimalisasi, untuk meminimalisir risiko keuangan yang timbul. Kami yakin bahwa Traveloka akan kembali bangkit dengan lebih kuat setelah melewati krisis ini,” ungkap Willson Cuaca, Managing Partner EV Growth yang tergabung dalam putaran pendanaan ini.

Akui kesulitan di tengah Covid-19

Covid-19 membuat bisnis OTA mengalami tantangan pelik. Operasional transportasi publik banyak yang dibekukan, berbagai destinasi diliburkan; jelas membuat transaksi terperosok. Bagi Traveloka dan banyak pemain lainnya, ini menjadi kondisi terburuk sepanjang sejarah mereka hidup.

Mitra Traveloka di sektor transportasi, akomodasi, aktivitas, dan restoran juga mengalami rintangan yang berat. Untuk transportasi, permintaan konsumen menurun drastis sementara permintaan pengembalian dana melonjak secara signifikan; hotel mengalami tingkat hunian terendah yang pernah ada; para mitra aktivitas lifestyle di domestik maupun regional dan mitra restoran harus menutup operasional bisnisnya untuk sementara waktu.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa Traveloka sangat terpengaruh dengan pandemi Covid-19. Bisnis kami berada di titik terendah yang belum pernah terjadi sejak kami pertama kali berdiri. Namun, kami selalu percaya bahwa Traveloka akan bangkit kembali dengan adanya penyesuaian strategi bisnis secara cepat, bekerja sama dengan para mitra industri dan para pemangku kepentingan lainnya, serta terus menghadirkan produk-produk inovatif bagi para pengguna yang merupakan fokus utama kami,” ujar Co-founder dan CEO Traveloka, Ferry Unardi.

Merangkak stabilkan bisnis

Demi tetap bertahan, Traveloka menerapkan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk optimalisasi bisnis guna melakukan penghematan serta kembali berfokus untuk menyiapkan strategi dalam menyambut era normal baru. Di Indonesia dan Vietnam misalnya, Traveloka melihat sektor domestik, perjalanan ataupun aktivitas hiburan jarak dekat telah mulai menggeliat dan bangkit kembali, seiring dengan tingginya kesadaran masyarakat akan pandemi dan penyesuaian gaya hidup dengan situasi saat ini.

Berbagai inisiatif diluncurkan untuk memenuhi perubahan kebutuhan konsumen, seperti layanan Covid-19 Test yang digabungkan dengan tiket pesawat, pemesanan voucher hotel dengan periode inap yang fleksibel melalui “Buy Now Stay Later”, program Online Xperience yang menampilkan host ternama, program live stream Traveloka LIVEstyle Flash Sale, serta kampanye Traveloka Clean yang memungkinkan pengguna untuk melakukan pemesanan melalui Traveloka dengan lebih tenang dan aman.

“Saya senang dapat menyampaikan bahwa dari sisi bisnis, kami melihat pemulihan secara bertahap di seluruh pasar utama kami. Bisnis Traveloka di Vietnam telah mulai stabil dan mendekati periode sebelum adanya Covid-19, sementara bisnis kami di Thailand kini hampir melampaui 50% dibandingkan situasi normal. Meskipun Indonesia dan Malaysia masih berada di tahap awal pemulihan, namun kedua pasar ini terus memperlihatkan momentum yang menjanjikan dengan kemajuan dari minggu ke minggu, terutama untuk lini bisnis akomodasi dengan kemunculan tren berlibur jarak dekat atau staycation,” tambah Ferry.

Application Information Will Show Up Here

Gojek’s Initiatives for Its Southeast Asia’s Business Amid Pandemic

Gojek is one of Indonesia’s digital startups in which business penetration reached regional. GoViet was launched in 2018, but GET was launched in 2019. Then, they arrived in Singapore. Previously, Gojek had the opportunity to test online motorcycle taxi services in Malaysia with a local player, Dego Ride.

Earlier this year the company has announced business plans, including strengthening its services abroad. Afterall, the Covid-19 pandemic puts significant pressure on businesses around the world, including Gojek.

DailySocial had the opportunity to talk with Gojek’s Head of Corporate Communications, Audrey Petriny. She explained, the GET, GoViet, and Gojek business models are quite adaptable to the current conditions. Some services actually have a good impact on society. Gojek already launched food-delivery services and digital wallets in foreign countries, such as GET Food in Thailand or Go Food in Vietnam.

“Because people stay at home and place more orders in the past few months, we see ongoing resilience in the online trading business (food and package delivery), non-cash payments, and digital content. Consumers are increasingly interested in this digital habit, even before Covid-19. Nowadays, online services become a daily necessity,” Audrey said.

However, there has been a decline in transportation transactions in the past few months. The biggest one is at the beginning of the pandemic in March-April 2020. Partners have decreasing orders. Various efforts were made to maintain the resilience of this business ecosystem and hope to recover quickly when entering a phase of adaptation to new habits.

“In March, we established Gojek Partner Support Fund to support partners’ income stability across markets. We have also implemented several other initiatives to provide financial or social assistance to drivers, including ongoing food distribution programs, financial partnerships to provide vehicle installment relief or low-interest loans and a consumer activation program to increase tips for driver partners,” Gojek’s representative said the initiative.

Cashless payment penetration

Similar to Indonesia, Gojek’s overseas partners are increasing, not only the driver. They also embraced merchant to enliven the market locations provided in the application. Pandemic is actually seen as an opportunity to be more active in bringing merchants into the platform to keep the business going. Various programs have been performed to encourage the digitalization, including digital payment systems.

“We also make adjustments and introduce new services, such as GET Pay in Thailand for food delivery, delivery without direct contact, [and] to ensure that consumers’ needs are safely delivered,” Audrey continued.

GetPay Thailand
GET Pay Thailand / Gojek

Currently, Gojek has only applied digital payment services in Thailand (GET Pay). The plan to expand Gojek’s fintech services has been scheduled, including in subsequent transit countries, such as the Philippines. In the Philippines, Gojek has already acquired the local company Coins.ph.

Another strategy is to increase promotion programs to maintain consumer demand while reducing the operational costs of merchant partners. The shifting of consumer’s needs is answered by improving services, such as accommodating basic needs shopping through applications – including selling ready-to-cook food.

Being mentioned about the company’s efforts to ensure its partners are safe from the transmission of Covid-19, Gojek team said that they have made various adjustments to the rules.

“To ensure driver partner’s safety and hygiene, also to provide consumers with greater assurance, we provide online training and cleaning equipment for all partners. We also make amendments to SOPs. This includes sending food without contact to ensure proper physical and sanitary measures. for the driver’s partner vehicle.”

Independent brand

As previously reported, to accelerate the adoption of Gojek services abroad, the company plans to rebrand GET and GoViet to “Gojek”, including to launch a single application. It was directly announced by the Head of International Gojek Andrew Lee.

In his statement, Andrew said this decision had been planned for several months and taken to facilitate the company to be able to increase the business scale more efficiently.

Previously, when launching GoViet and GET, the ex-CEO, Nadiem Makarim said that the local element was very important to advance business in a new country. He considers the use of different names more easily accepted by the local community. The assumption turned out to be different.

The use of a single brand and application has been applied by Gojek since its expansion to Singapore in late 2018.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Upaya Gojek Pertahankan Bisnis Luar Negeri di Tengah Pandemi

Gojek adalah salah satu startup digital Indonesia yang sudah merambah bisnis di kancah regional. Sejak pertengahan tahun 2018, perusahaan menghadirkan GET di Thailand dan Go-Viet di Vietnam. Tak lama berselang, mereka hadir di Singapura. Awal tahun ini, Gojek berkesempatan menguji coba layanan ojek online di Malaysia bersama pemain lokal setempat, Dego Ride.

Awal tahun ini perusahaan memiliki berbagai rencana bisnis, termasuk  memperkuat layanannya di luar negeri. Apa daya, pandemi Covid-19 memberikan tekanan yang cukup signifikan untuk bisnis di seluruh dunia, termasuk Gojek.

DailySocial berkesempatan berbincang dengan Head of Corporate Communications Gojek Audrey Petriny. Secara umum, ia menjelaskan, model bisnis GET, GoViet, dan Gojek cenderung bisa beradaptasi dengan kondisi saat ini. Beberapa layanan justru memberikan dampak baik di masyarakat. Layanan pesan-antar makanan dan dompet digital juga sudah digulirkan Gojek di mancanegara, seperti GET Food di Thailand atau Go Food di Vietnam.

“Karena orang-orang lebih sering tinggal di rumah dan melakukan pemesanan lebih banyak selama beberapa bulan terakhir, kami melihat ketahanan berkelanjutan dalam bisnis perdagangan online (pengiriman makanan dan paket), pembayaran non-tunai, dan konten digital. Konsumen makin tertarik pada kebiasaan digital ini, bahkan sebelum Covid-19. Kini layanan online seperti itu benar-benar menjadi kebutuhan sehari-hari,” ujar Audrey.

Meskipun demikian, diakui bahwa selama beberapa bulan terakhir terjadi penurunan di transaksi transportasi. Paling parah saat awal pandemi di bulan Maret-April 2020. Dampak pesanan sepi turut diderita para mitra. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga ketahanan ekosistem bisnis ini dan berharap cepat pulih ketika memasuki fase adaptasi kebiasaan baru.

“Pada bulan Maret, kami mendirikan Gojek Partner Support Fund untuk mendukung stabilitas pendapatan mitra di seluruh pasar (juga direalisasikan dalam subsidi makan, bantuan cicilan kendaraan, dan pinjaman berbunga rendah). Pimpinan Gojek menyumbangkan 25% dari gaji tahunan mereka untuk dana ini, dan semua rencana kenaikan gaji perusahaan telah dialihkan ke dana tersebut,” ujar juru bicara Gojek menceritakan inisiatif yang telah dilakukan.

Penetrasi pembayaran nontunai

Sama seperti di Indonesia, mitra Gojek di luar negeri juga terus berkembang. Tak hanya sebatas pengemudi. Di sana mereka juga merangkul pedagang untuk meramaikan loka pasar yang sediakan di aplikasi. Pandemi justru dilihat sebagai kesempatan untuk lebih giat membawa pedagang masuk ke platformnya demi membuat bisnis tetap berjalan. Berbagai program dijalankan untuk mendorong digitalisasi tersebut, termasuk sistem pembayaran digital.

“Kami juga melakukan penyesuaian dan memperkenalkan layanan baru, seperti GET Pay di Thailand untuk pengiriman makanan, pengiriman tanpa kontak langsung, [dan] untuk memastikan kebutuhan konsumen dipenuhi dengan aman,” sambung Audrey.

GetPay Thailand
Fitur GETPay di Thailand / Gojek

Sejauh ini Gojek baru mengaplikasikan layanan pembayaran digital di Thailand (GETPay). Rencana peluasan layanan fintech Gojek juga sudah diagendakan, termasuk di negara persinggahan selanjutnya, seperti Filipina. Di sana Gojek sudah mengakuisisi perusahaan lokal Coins.ph.

Strategi lain adalah dengan meningkatkan program promosi, yang dilakukan untuk menjaga permintaan konsumen, sembari mengurangi biaya operasional mitra pedagang. Kebutuhan konsumen yang berubah juga disikapi dengan peningkatan layanan, salah satunya dengan mengakomodasi belanja kebutuhan pokok melalui aplikasi–termasuk menjual bahan makanan siap masak.

Disinggung mengenai upaya apa saja yang dilakukan perusahaan untuk memastikan mitranya aman dari penularan Covid-19, pihak Gojek mengatakan bahwa mereka telah melakukan penyesuaian berbagai aturan.

“Untuk memastikan keamanan dan kebersihan para mitra dan memberi konsumen jaminan yang lebih besar, kami menyediakan pelatihan online dan perlengkapan kebersihan untuk semua mitra. Kami juga membuat amandemen terhadap SOP. Ini termasuk pengiriman makanan tanpa kontak untuk memastikan langkah-langkah fisik dan sanitasi yang tepat untuk kendaraan mitra pengemudi.”

Brand tunggal

Seperti diberitakan sebelumnya, untuk mempercepat adopsi layanan Gojek di luar negeri, perusahaan berencana melakukan rebranding GET dan GoViet menjadi “Gojek”, termasuk memanfaatkan aplikasi tunggal. Kabar ini disampaikan langsung oleh Head of International Gojek Andrew Lee.

Dalam keterangannya Andrew menyampaikan, keputusan ini sudah digodok selama beberapa bulan dan diambil demi memudahkan perusahaan untuk bisa meningkatkan skala bisnis secara lebih efisien.

Sebelumnya, ketika meluncurkan GoViet dan GET, ex-CEO saat itu Nadiem Makarim mengatakan, unsur lokal sangat penting untuk memajukan bisnis di negara baru. Ia menganggap penggunaan nama berbeda lebih mudah diterima masyarakat setempat. Ternyata asumsi ini belum tepat.

Penggunaan merek dan aplikasi tunggal sudah diaplikasikan Gojek sejak ekspansinya ke Singapura akhir 2018 lalu.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Ralali Targetkan Balik Modal dalam Satu Tahun ke Depan

Kondisi pandemi memaksa platform marketplace B2B Ralali memilih jalan yang lebih konservatif. Founder dan CEO Ralali Joseph Aditya menegaskan bahwa untuk saat ini tak akan ada ekspansi atau pengeluaran yang gila-gilaan dari perusahaan di masa tak menentu seperti ini.

Patut diingat e-commerce B2B seperti Ralali ini merupakan salah satu yang paling terdampak dari lesunya ekonomi selama wabah Covid-19 melanda dunia. Lemahnya daya beli masyarakat dan rusaknya rantai pasokan bisnis memaksa Ralali untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Masih segar di ingatan bagaimana startup marketplace B2B Stoqo gulung tikar pada April lalu.

Kehati-hatian dalam menghadapi potensi krisis tercermin dari ucapan Aditya. Dalam konferensi pers virtual siang tadi, Aditya menekankan bahwa selain tak akan ada pengeluaran besar-besaran, keputusan mereka harus berorientasi untung.

“Intinya yang kami lakukan itu membuahkan revenue atau return. Artinya semua cost yang berubah seperti variable cost harus bisa diukur menjadi revenue. Sementara untuk yang menjadi operasional harus dioptimalkan bertahan tidak naik drastis,” jelas Aditya.

Dengan kerangka berpikir demikian, Aditya berani memasang target Ralali memperoleh break even point sebelum ulang tahun perusahaan berikutnya. “Kami inginnya bukan jadi e-commerce yang bakar-bakar duit, tapi menjadi e-commerce yang profitable,” imbuh Aditya.

Sumber keyakinan Aditya berasal dari kenaikan e-commerce B2B yang selama ini selalu didominasi oleh e-commerce B2C. Edukasi produk dan teknologi yang cukup lama dari para pelaku B2C menurutnya membantu Ralali dikenal lebih cepat oleh target pengguna.

Strategi bisnis ke depan

Ralali yang baru berusia 7 tahun sekarang punya sejumlah strategi untuk bertahan dari kencangnya guncangan ekonomi akibat pandemi. Salah satu di antaranya adalah dengan merancang hyperlocal business. Konsep ini memungkinkan satu titik bisa menyuplai kebutuhan bisnis di radius 15-20 kilometer.

Strategi lain yang diutamakan oleh Ralali adalah pendanaan UKM. Bedanya pendanaan yang disediakan oleh Ralali berbentuk barang. Menurut Aditya, pendanaan jenis ini dibutuhkan oleh para UKM yang kesulitan beroperasi kembali.

“Kita punya tim di lapangan untuk profiling yang nanti kita bisa beri bantuan dana dalam bentuk supply chain financing atau dengan kata lain pendanaan dalam bentuk barang. Jadi nanti dikasih barangnya dulu, lalu ketika produknya sudah terjual baru mereka bisa bayar ke kami,” terang Aditya.

Guna melewati masa-masa sulit saat ini, Ralali juga meluncurkan kampanye untuk mendukung dan menggandeng UMKM kembali bangkit. Kampanye tersebut meliputi promo, diskon, ongkir gratis, yang bisa dinikmati pembeli di platform Ralali.

Selama 7 tahun beroperasi, Ralali tercatat digunakan lebih dari 11.000 pemasok dan 160.000 UMKM. Angka-angka tersebut menjadikan Ralali sebagai salah satu e-commerce B2B terbesar di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Menengok Nasib Platform “Bike Sharing” di Tengah Tren Demam Bersepeda

Pandemi mengungkap sejumlah kebiasaan baru manusia. Tren bersepeda merupakan satu di antaranya. Bersepeda memang bukan kegiatan baru, namun tren bersepeda di masa pandemi ini tak bisa dipandang sebelah mata.

Ketika pandemi melumpuhkan banyak sekali aktivitas di luar ruang, bersepeda justru menjadi pilihan banyak orang. Tren ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Keadaan ini jelas membawa pengaruh yang tak kecil ke bisnis sepeda, khususnya bike sharing.

Ketika kami menyebut tren bersepeda terjadi secara global, artinya minat aktivitas ini tak hanya terjadi di dua-tiga negara. Jalanan di Amerika Serikat, Filipina, Italia, India, Indonesia, dan negara lainnya kian dipenuhi oleh pesepeda.

Ada beberapa alasan minat bersepeda kini sangat tinggi. Pertama, sepeda sebagai alternatif moda transportasi. Bahaya penyebaran Covid-19 di tempat-tempat ramai seperti kereta dan bus mencuatkan kembali sepeda sebagai sarana transportasi yang murah dan aman bagi para pekerja. Kedua, tidak banyak pilihan berolahraga selama pandemi ini. Sepeda menjawab kedua kebutuhan tersebut.

Lalu apa arti tren bersepeda bagi startup yang fokus bisnisnya bike sharing? Yang jelas dampaknya besar, meski tak selalu positif.

Dampak beragam

Di Indonesia, startup di vertikal ini memang belum banyak. Meskipun demikian, lonjakan permintaan unit sepeda di sini tak main-main. Itu sebabnya apa yang terjadi saat ini tak lepas dari observasi Speeda dan Gowes, dua startup yang bergerak di segmen bike sharing.

Dikutip dari Kompas.com, permintaan sepeda disebut meningkat hingga 3-4 kali lipat selama pandemi berlangsung. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo) Eko Wibowo Utomo menyebut kenaikan itu terjadi karena sepeda dilirik sebagai sarana transportasi dan rekreasi warga.

PT Surya Teknologi Perkasa yang membawahi layanan bike sharing Gowes menyebut situasi ini menguntungkan mereka. Presiden Direktur Iwan Suryaputra mengatakan antusiasme warga terhadap bersepeda berpengaruh positif atas penggunaan Gowes.

“Gowes hadir sebagai solusi alternatif transportasi jarak pendek, rekreasi, dan olahraga. Dengan adanya tren bersepeda yang berkembang saat ini, hal tersebut tentunya memicu peningkatan positif terhadap minat pengguna bike sharing,” ujar Iwan kepada DailySocial.

Nada berbeda disampaikan Speeda. Muhammad Reza dari tim Business Development Speeda menyampaikan, peningkatan kepemilikan sepeda saat ini bisa berarti kabar buruk bagi bisnis penyewaan sepeda seperti mereka. Reza menilai semakin banyak orang memiliki sepeda, maka semakin berkurang minat menggunakan bike sharing.

Jogjabike yang dihadirkan Speeda beroperasi di titik-titik wisata Yogyakarta. Semakin banyaknya penduduk lokal yang memiliki sepeda berimbas pada pendapatan dari penyewaan sepeda yang kini hanya bergantung pada pendatang luar kota. “Semakin banyak pemilik sepeda, semakin banyak pula orang yang datang ke lokasi dengan menggunakan sepeda mereka sendiri,” imbuh Reza.

Mengakali situasi

Gowes punya harapan lebih dari situasi demam bersepeda saat ini. Iwan mengatakan, pihaknya berniat terus menggenjot jumlah pengguna di dalam negeri. Kiat paling utama adalah dengan tetap beroperasi sembari menjalankan protokol kesehatan. Sayangnya, Iwan tak menjelaskan lebih detail protokol kesehatan yang dimaksud.

Tren bersepeda saat ini menjadi peluang emas bagi Gowes yang cukup agresif dalam melebarkan pasarnya hingga ke luar negeri. Covid-19 menunda banyak rencana mereka, termasuk ekspansi ke negara lain serta peluncuran inovasi baru.

“Total member kami yang sudah bergabung dengan aplikasi Gowes lebih dari 300.000 pengguna. Kami kemungkinan akan segera hadir di salah satu kota besar lainnya di Indonesia, namun sambil melihat perkembangan dengan adanya keadaan pandemi Covid-19 ini,” ujar Iwan.

Reza lebih realistis memandang situasi sekarang. Menurutnya, bisnis bike sharing di Indonesia memang bisa bertahan atau bahkan makin moncer jika diposisikan sebagai alat transportasi alternatif. Namun jika tetap dipaksakan sebagai kendaraan rekreasional, kondisi saat ini bagi bisnis bike sharing adalah momen yang terburuk.

Meskipun demikian, Speeda tidak berpangku tangan melihat pasar mereka remuk akibat tren bersepeda ini. Mereka mulai mempertimbangkan celah lain dalam bisnis penyewaan sepeda. Salah satu caranya adalah merangkul para pemilik sepeda untuk menyewakan sepedanya lewat platform sehingga mereka tak perlu lagi menyediakan sepeda sendiri.

“Meskipun jumlah pemilik sepeda meningkat, namun ada kemungkinan bahwa orang yang tidak memiliki sepeda masih lebih banyak. Oleh karena itu peluang penyewaan masih sangat besar,” cetus Reza.

Kendati demikian, bisnis bike sharing masih menghadapi persoalan besar. Jogjabike yang sudah punya 60.000 pengguna harus tetap mencari alternatif bisnis penyewaan untuk mengantisipasi pandemi yang berkepanjangan.

“Para pengusaha bike sharing harus memikirkan bagaimana menghasilkan revenue dengan apa yang mereka punya saat ini meskipun dengan angka penyewaan yang rendah,” pungkas Reza.

Application Information Will Show Up Here

SoCash Perkuat Jaringannya di Area Permukiman Selama Pandemi

Kebutuhan uang tunai di Indonesia memang masih tinggi. Menurut SoCash, ada sekitar 60% anjungan tunai mandiri (ATM) di Jakarta berlokasi pusat perbelanjaan/mal. SoCash yang terhitung belum lama beroperasi di Indonesia giat menggenjot laju bisnisnya selama pandemi.

Pembatasan mobilitas selama wabah Covid-19 menambah alasan SoCash memperluas jaringannya di Indonesia. Sejak beroperasi secara pilot pada Maret lalu di area Jabodetabek, SoCash sudah mengincar ekspansi ke daerah lainnya. Salah satu yang paling dekat adalah Lampung yang sedang masa percobaan dengan beberapa kota yang juga akan menyusul. Mereka kini sudah mengantongi sekitar 3000 pengguna dengan 5000 transaksi per bulan di Indonesia.

“Dengan dukungan dari bank mitra kami, kami juga berencana memperluas operasi kami ke kota-kota lain di mana permintaan layanan ATM melebihi pasokan seperti Bandung, Surabaya, Bali, dan lebih banyak lagi,” jelas CEO SoCash Hari Sivan.

Gencar memperkuat jaringan

Kebutuhan akan uang tunai sejatinya tetap tinggi selama wabah Covid-19 berlangsung. Namun keberadaan ATM yang kebanyakan berada di mal menjadi halangan bagi warga dalam menarik tunai. SoCash melihat ini sebagai peluang untuk mendekatkan produknya ke pelanggan yang lebih luas.

Sivan mengatakan ada kenaikan pengguna selama Maret-Juni. Berlakunya skema bekerja di rumah yang masif, turunnya jumlah perjalanan, dan sulitnya mengakses ATM jadi alasan kenaikan tersebut.

Ada dua inisiatif yang SoCash lakukan selama pandemi ini. Pertama adalah menyediakan pemasangan mesin uang tunai tanpa kontak yang bisa dioperasikan tanpa menyentuh layar mesin. Kedua adalah memperbanyak akses pengguna ke jaringan mitra mereka di sekitar kawasan perumahan di pinggir kota. Ini belum ditambah kehadiran fitur baru yang SoCash kembangkan untuk melengkapi layanan mereka.

“Kami juga menguji beberapa fitur baru untuk melengkapi spektrum siklus pemrosesan kas seperti Setoran Tunai dan Pembayaran di jaringan kami mengingat bahwa jaringan kami paling dekat dengan daerah perumahan dibandingkan dengan ATM atau bank cabang,” imbuh Sivan.

Strategi ke depan

Sebagai layanan alternatif penarikan uang tunai, SoCash tetap bisa dibilang membantu pelanggan bank melayani nasabahnya dalam hal penarikan tunai. Maka untuk strategi lebih jauh, khususnya mengenai akuisisi pengguna, menggandeng mitra bank dengan basis pengguna besar merupakan prioritas mereka.

Selain menggandeng mitra bank, SoCash juga bertekad terus memperluas jaringan penarikan uang tunai mereka. Ritel kecil, kafe, UMKM, toko pulsa, ritel besar, merupakan contoh mitra jaringan yang akan terus diperluas kerja samanya.

“Meskipun kami tidak dapat merinci persyaratannya, pedagang SoCash menerima insentif untuk melayani pengguna kami dari bank karena ini lebih murah secara signifikan daripada ATM atau kantor cabang. Jaringan yang diperluas ini akhirnya menjadi jaringan O2O untuk perbankan untuk kelas menengah perkotaan yang underbanked,” tukas Sivan.

Seperti diketahui cara kerja SoCash memungkinkan pedagang-pedagang seperti yang disebut sebelumnya berfungsi sebagai alternatif ATM. Pengguna bank yang sudah bekerja sama dapat menarik tunai dari toko atau seseorang asalkan mereka sudah terdaftar sebagai mitra SoCash. Kehadiran SoCash di Indonesia sudah terdaftar sebagai penyelenggara teknologi finansial di Bank Indonesia melalui PT Socash Software Service.

SOCASH sebelumnya sudah mengantongi pendanaan seri B senilai US$6 juta atau Rp83,6 miliar. Mereka memperolehnya sejak tahun lalu dari sejumlah investor seperti Glory Ltd., SC Ventures, dan Vertex Ventures. Tahun ini pun mereka menatap babak pendanaan baru. “Kami memang merencanakan putaran pendanaan lain pada akhir tahun ini atau awal tahun depan,” pungkas Sivan.

Application Information Will Show Up Here

Menyiasati Transformasi Digital yang Tepat di Tengah Pandemi

Lebih dari tiga bulan lamanya, semua bisnis terhantam oleh pandemi Covid-19. Berbeda dengan krisis sebelumnya, kini ada teknologi digital yang dapat dimanfaatkan agar bisnis tetap bertahan. Karena pertimbangan ini, akhirnya korporasi besar mantap untuk terjun ke digital setelah sebelumnya baru sampai evaluasi.

Pun demikian untuk startup rintisan, go digital menjadi suatu dorongan yang harus dilakukan segera. Pasalnya, dibantu oleh ekosistem digital yang mulai terbentuk, transformasi digital akan jauh lebih cepat prosesnya. Kelebihan lainnya adalah bisnis jadi lebih efisien dan operasional bisnisnya jauh efektif.

Dalam membahas topik di atas, #SelasaStartup kali ini mengundang para pembicara yang pakar dibidangnya masing-masing untuk memberikan kiat-kiatnya untuk transformasi digital bagi startup yang baru dirintis. Ada Founder & CEO HijUp Diajeng Lestari, Country Marketing Lead of Dell Indonesia Aji Jayaloka, dan Digital Content Creator Ario Pratomo. Berikut rangkumannya:

Lebih cerdik mengemas produk

Diajeng menuturkan, pandemi ini membuat para pemilik bisnis harus kembali melihat jumlah karyawan. Menurutnya ukuran kesuksesan buat perusahaan, bukan dari jumlah karyawan. Apalagi saat pandemi ini, pemilik bisnis harus lebih hati-hati karena semua industri punya tantangan masing-masing, terutama yang bergerak di kebutuhan sekunder dan tersier.

Lalu agar produk yang dijual menonjol, cara membungkusnya dengan membentuk karakter dan keunikan untuk memperlihatkan kualitas. Apalagi buat produk yang semakin umum, value-nya akan semakin kecil, konsep ini bisa dilakukan. Bila bersaing harga, saingannya akan terlalu banyak karena lawannya adalah penjual di marketplace C2C.

“Kuncinya ada di produk itu sendiri harus diceritakan seperti apa value-nya. Kalau kita investasi ke kualitas, bisa story telling bagaimana menyajikan produk dengan baik, kita bisa tetap bersaing sekalipun jualan produk yang sangat common,” kata Diajeng.

Karena harus meminimalkan budget pengeluaran, maka startup bisa memanfaatkan platform yang sudah ada. Bisa mulai dari berjualan di platform marketplace yang sudah terkenal, daripada harus bangun situs sendiri dari awal yang lebih makan waktu dan biaya.

Setelah itu, pebisnis mulai fokus menjalankan strateginya untuk menarik pembeli bukan penetrasi strategi dengan pasang iklan di mana-mana. “Bagaimana produk kita bisa atraktif ya caranya dengan story telling.”

Menyesuaikan cerita dengan target pengguna

Menyambung dari pernyataan Diajeng, Ario menambahkan cara ia dalam membuat konten ke dalam berbagai platform online, sejatinya juga dapat diaplikasikan untuk berjualan produk. Biasanya cara yang ia lakukan adalah membuat topik besar yang ia tuangkan ke dalam platform YouTube atau audiens podcast.

Kemudian ia meneruskan konten tersebut ke platform lainnya seperti Instagram, TikTok, Twitter yang dikemas ulang agar sesuai dengan audiensnya. “Konten harus informatif, tapi jangan lupa untuk entertaining dengan caranya sendiri. Strategi hardsale itu sekarang sudah tidak begitu kerja, sudah bukan zamannya lagi,” terang Ario.

Diajeng menambahkan dalam implementasi story telling di Hijup, ia terapkan saat pertama kali merintis usahanya tersebut. Pada saat itu, produk pertama Hijup adalah jilbab, maka dari situlah ia bercerita dengan menyesuaikan target konsumennya.

“Saya sempat buat buku untuk menceritakan soal jilbab itu sendiri. Kontennya diambil dari berbagai pertanyaan orang-orang yang saya dapatkan. Strategi ini sesuai karena target konsumen kita adalah 24-35 tahun, usia kerja, sudah berkeluarga, dan ada yang sudah punya anak. Pengembangan konten berikutnya tinggal disesuaikan dari situ.”

Menyiapkan perlengkapan yang mumpuni

Aji melanjutkan, sebelum terjadi pandemi transformasi digital di mata korporasi adalah bagian dari investasi. Akan tetapi, sekarang sudah menjadi bagian dari bisnis. Untuk mulai go digital, maka pebisnis harus cek kebutuhannya, lihat kompetensi diri sendiri agar tahu cara mengembangkan produk.

“Itu sudah masuk ke dalam komponen proses transformasi digital. Tujuannya agar kita jadi lebih kreatif, bisa dengan kolaborasi dengan konten kreator,” tutur Aji.

Dalam mencari celah model bisnis digital yang tepat guna, menurutnya dapat dimulai dari pengadaan hardware untuk penunjang kerja. Minimal harus tahu spesifikasi laptop yang tahan banting dan mumpuni dipakai sehari-hari, pun untuk quality control dan after sales-nya seperti apa.

Dari sekian banyak teknologi yang dapat dimanfaatkan, bila sesuai dengan kebutuhan pasti akan membawa manfaat. Misalnya suatu startup yang ingin tumbuh, agar dapat mencolok dibandingkan kompetitornya, bisa menggunakan AI atau machine learning yang mampu memberikan insight mendalam untuk strategi bisnis ke depannya.

“Tapi sekali lagi harus jeli karena sekarang cash is the king. Harus tahu aspek digital transformation mana yang kita tuju,” tutupnya.

*Disclosure: #SelasaStartup edisi ini didukung oleh Dell dan McAfee

Analis: Penjualan Hardware PC Gaming Meningkat Pesat Karena Pandemi

Pandemi COVID-19 menciptakan jutaan gamer PC baru. Itu bukan pendapat saya yang sejak kecil memang punya bias berlebih terhadap PC gaming, melainkan berdasarkan hasil riset ekstensif yang dilakukan Jon Peddie Research (JPR) baru-baru ini.

Dibandingkan tahun lalu, penjualan hardware PC gaming secara global diprediksi bakal naik hingga 10,3%. Alasannya sederhana: lockdown mendorong konsumen untuk membeli PC baru atau meng-upgrade milik mereka agar bisa digunakan untuk bermain game dengan lancar.

“Pasar hardware PC gaming sedang berada dalam skenario langka di mana semua segmennya mengalami peningkatan,” ujar Ted Pollak selaku analis senior JPR yang menuliskan laporan risetnya. “Kami melihat banyak orang membeli dan meng-upgrade komputer pribadi serta pemberian perusahaannya dengan komponen yang lebih baik, dengan tujuan untuk bermain video game,” tambahnya.

Di segmen entry-level, JPR memperkirakan penjualannya bakal naik sebesar 21,7%, dan sebagian besar angka pertumbuhan itu berasal dari gamer baru. Untuk segmen mid-range, grafik penjualannya akhirnya naik dan menunjukkan pertumbuhan yang positif. Lanjut ke segmen high-end, penjualan monitor beresolusi 1440p+ memicu konsumen untuk meng-upgrade komponen lainnya demi mengejar pengalaman gaming di 60+ fps.

Bahkan penjualan perangkat simulasi balap juga ikut naik berkat sejumlah ajang balapan bergengsi seperti Formula 1 atau Le Mans yang mengambil jalur virtual. Di kategori ini, perangkatnya mencakup PC berspesifikasi tinggi dengan setup audio premium, peripheral balap lengkap seperti setir, tuas persneling dan pedal gas/rem, dan terkadang juga kursi balap. Para penggemar baru sim racing ini disebut tidak segan mengucurkan dana hingga sebesar $2.000 – $5.000.

Ilustrasi memainkan game di PC / Pexels
Ilustrasi memainkan game di PC / Pixabay

Menurut saya pribadi, fenomena ini cukup bisa dipahami mengingat industri hiburan memang sedang terpukul. Jumlah film blockbuster yang dirilis dalam empat bulan terakhir ini menurun drastis, dan di saat orang-orang kehabisan tontonan, sebagian dari mereka akhirnya beralih ke gaming.

Pertanyaan berikutnya, kenapa PC? Kenapa tidak console saja? Saya setidaknya punya dua jawaban. Alasan yang pertama berkaitan dengan karakteristik multi-fungsi dari PC itu sendiri. PC bisa dipakai untuk bekerja sekaligus bermain, sehingga meng-upgrade PC bisa dilihat juga sebagai salah satu cara untuk menjalani tren WFH.

Yang kedua, ada kemungkinan konsumen menahan diri untuk membeli console dikarenakan semakin dekatnya perilisan next-gen console (PlayStation 5 dan Xbox Series X). Sebagian yang mengincar console current-gen mungkin juga berpikir mereka bisa mendapatkan potongan harga jika mereka menunggu sampai PS5 dan Xbox Series X dirilis, meski tentu saja ini berarti mereka melewatkan momen emas untuk bermain game di kala pandemi.

Saya sendiri termasuk salah satu konsumen yang meng-upgrade PC-nya di saat pandemi, meski saya punya alasan yang berbeda: slot PCIe motherboard saya rusak, hingga akhirnya saya harus mengganti motherboard, CPU dan RAM sekaligus, dan tidak lama setelahnya pun GPU saya ikut rusak. Berhubung PC merupakan sarana utama yang saya perlukan untuk bekerja, rencana upgrade PC ini pun langsung mendapat lampu hijau dari pasangan saya. Bonusnya, saya bisa memainkan lagi The Outer Worlds di setting grafik tertinggi 🙂

Menariknya, peningkatan penjualan hardware ini sudah mulai terjadi bahkan sebelum Nvidia dan AMD mengumumkan GPU generasi terbarunya masing-masing, yang rumornya tidak lama lagi. Di saat GPU Nvidia Ampere dan AMD RDNA 2 sudah diluncurkan nanti, bukan tidak mungkin penjualannya malah semakin meningkat lagi, meski memang ada kemungkinan juga pemasarannya baru dimulai tahun depan akibat proses produksi yang terhambat selama pandemi.

Via: PC Gamer. Gambar header: Artiom Vallat via Unsplash.