Kisah-kisah Janggal di Balik Murahnya Kamar Oyo

Filia (bukan nama asli) merencanakan berlibur sekeluarga pada 24 Mei 2020 untuk menikmati momen libur panjang hari raya Idulfitri di Batu, Malang. Ia mempersiapkannya sejak 25 Februari dengan memesan kamar untuk tiga hari. Filia memakai jasa Oyo untuk penginapan sekeluarga sebanyak 6 kamar dengan biaya per kamar Rp337.000. Total yang mereka keluarkan untuk akomodasi itu Rp3,7 juta. Namun wabah Covid-19 membuyarkan rencana itu semua. Alhasil Filia memilih opsi refund dari jaringan hotel bujet terkemuka tersebut.

Namun proses refund tak semulus proses yang tertulis di atas kertas. Sejak 1 April mengajukan refund, Filia baru memperoleh pencairan refund pada Kamis (11/6) pagi ini. Itu pun sukses berkat usahanya menekan pihak Oyo berkali-kali. Awalya Filia patuh menunggu pencairan paling lambat 45 hari kerja. Selama menunggu, dia berkali-kali menelepon dan mengirim email menanyakan kejelasan refund. Untuk memperoleh refund, seharusnya pelanggan Oyo dimintakan sebuah formulir, sesuatu yang tak diperoleh Filia meski berkali-kali menanyakan. Balasan yang ia terima pun selalu sama: refund akan diproses 45 hari kerja.

“Karena kesal akhirnya saya bilang kalau masih tidak di-refund saya akan laporkan Oyo ke LPK (lembaga perlindungan konsumen. Setelah itu malamnya baru saya dapat email semacam link untuk pengisian pengajuan refund dan itu disuruh nunggu lagi 7-14 hari,” terang Filia lewat pesan singkat.

Kesabaran dan kengototan Filia berbuah hasil. Ia akhirnya memperoleh haknya pada Kamis pagi ini. Walaupun begitu, cerita ganjil tentang perlakuan Oyo terhadap konsumennya tak satu ini saja. Pengalaman tak kalah menyesalkan dialami Toni (bukan nama asli). Toni adalah konsumen Oyo Life dadakan di bilangan Puri Kembangan, Jakarta Barat. Oyo Life adalah produk Oyo yang menaungi bisnis indekos. Disebut dadakan karena Toni menemukan kamar indekos yang ia inginkan tanpa mengetahui kamar itu sudah di bawah naungan Oyo Life.

Terlanjur tertarik dengan kamar dan harga yang ditawarkan, Toni akhirnya setuju menempati kamar itu dengan membayar uang sewa tiga bulan di muka. Keganjilan pertama terjadi karena di malam ia menempati kamar itu Toni diminta pindah ke kamar lain. Alasannya kamar itu sudah dibayar oleh orang lain terlebih dahulu. Akhirnya Toni setuju pindah ke kamar lain. Keganjilan berikutnya terjadi ketika di pertengahan April. Secara tiba-tiba ia diberikan waktu tiga hari untuk mengemas barang-barangnya dan meninggalkan indekos karena property yang ia tinggali saat itu diprotes ormas yang mengatasnamakan warga setempat yang tak setuju atas keberadaan indekos tersebut. Ia dihadapkan dua pilihan, terima direlokasi ke indekos Oyo lain atau refund. Toni memilih opsi pertama. Akhirnya ia dipindah ke indekos di bilangan Kedoya.

Belum selesai perkara, pihak properti menolak relokasi Toni dengan alasan fasilitas di sana tidak sepadan dengan indekos asalnya. Toni dioper lagi. Kali ini ia dipindah ke indekos Oyo Life di bilangan Gardenia. Meski sempat diterima di indekos itu, Toni harus menerima tindakan kurang mengenakkan dari pemilik properti. “Resepsionisnya bilang owner di Gardenia itu ngomel merasa dirugikan karena belum menerima biaya relokasi beberapa penghuni dari Puri Kembangan,” ujar Toni.

Harga sewa yang jauh lebih mahal di Gardenia dan perlakuan yang tidak membuatnya nyaman membuat Toni menyerah. Ia memilih opsi refund paling lama 45 hari kerja. Serupa dengan kisah Filia sebelumnya, Toni berkali-kali menghubungi Oyo terkait proses refund. Namun sejak 23 April ia mengajukan refund, hingga saat ini belum ada jawaban berarti dari Oyo. “Total kerugian saya Rp1.744.000. Itu total dari uang sewa sebulan dan uang deposit sebesar Rp300.000. Itu baru saya, belum penghuni di Puri yang lain yang kisarannya serupa,” pungkas Toni.

Menurut mantan karyawan

Seorang mantan karyawan, yang tidak ingin namanya disebutkan, menjelaskan apa yang terjadi di dalam sehingga muncul kasus-kasus seperti di atas. Ia mulai bekerja di Oyo di bagian operasional sejak Februari 2019 hingga Februari 2020. Tugasnya menjembatani masalah-masalah dan feedback yang dihadapi oleh tim yang menangani langsung mitra pemilik properti dan konsumen. Ia mengklaim sekitar 70% dari total properti mereka menyampaikan keluhan. Menurutnya masalah di sana adalah keluhan dan masukan yang mereka teruskan ke manajemen tidak didengar.

Ia memberi contoh tentang keganjilan-keganjilan pelanggan saat memesan kamar dan mengajukan refund. Misal ada properti yang sedang dalam penjajakan untuk bermitra dengan Oyo. Seringkali menurutnya perusahaan memaksakan diri dengan memasukkan properti yang belum sesuai standar itu ke aplikasi untuk siap dipesan. Ia menyebut pihak business development dan marketing punya andil dalam masalah ini.

“Karena enam bulan terakhir itu kita kejar target jumlah properti. Itu dikejar banget target di Indonesia harus punya sejumlah kamar. Cara itu yang dipakai. Jadi ada atau tidak propertinya, masuk aja ke platform,” ungkapnya.

Dalam hal terkait uang, dia menjelaskan tim revenue Oyo bertanggung jawab. Tim itu disebut kerap memasang harga atau diskon yang tidak sesuai kehendak dengan pemilik, tanpa dikomunikasikan. Dalam beberapa kejadian pemilik tidak diberitahukan atau diberi sedikit waktu untuk menyetujui penetapan harga promosi. Mitra yang tak merespons pemberitahuan otomatis dianggap setuju.

“Ketika ada properti sudah kerja sama itu full jadi wewenang Oyo. [..] Bagaimana mereka jual, kasih harga itu terserah Oyo, owner enggak perlu tahu. Tapi saat BD (business development) nawarin, itu enggak disampaikan,” imbuhnya.

Penjelasan serupa datang dari eks karyawan Oyo lain. Sebagai orang Sales,
NM bertugas menjual kamar ke konsumen. Menurutnya, masalah bermula ketika Oyo makin agresif melebarkan jaringannya ke berbagai kota di Indonesia. Hal ini otomatis mengerek target tamu yang harus ia datangkan. Yang tidak wajar menurutnya adalah target selalu naik tiap bulan. Sebagai orang yang sudah berkecimpung di industri hospitality sejak 2013, NM mengaku target adalah hal yang wajar. Meskipun demikian, di perhotelan kenaikan target berlaku untuk tiap high season.

“Sementara di Oyo target ditentukan oleh berapa lama dia bergabung di Oyo. Semakin lama, semakin bertambah. Jadi ini enggak make sense untuk di bulan-bulan low season,” akunya.

Kondisi makin menjepit NM karena hukuman yang ia tanggung ketika target tak tercapai adalah pemotongan 20% dari gaji pokok dan tidak menerima insentif. Menurutnya sistem ini berbeda dibanding di perusahaan hospitality lain yang hanya meniadakan insentif ketika tak mencapai target.

Target besar berarti usaha ekstra mencari tamu. Dalam beberapa kasus, NM sebagai karyawan Oyo bahkan juga pernah mengalami apa yang konsumen rasakan. Beberapa kali ia gagal mendaratkan tamu karena ternyata kamar yang sudah ia pesankan sudah dipesan lebih dulu.  Sebagai bentuk tanggung jawab, ia terpaksa merogoh kocek sendiri untuk membayar selisih harga kamar.

“Jadi kalau diakumulasi ada sekitar Rp10 juta. Masalahnya banyak banget. Yang booking-an aku ditolak, booking-an aku hilang, properti yang di gambar enggak sesuai dengan yang ada di lapangan. Itu yang akhirnya bikin tamu komplain pada akhirnya minta refund. Sementara pihak properti dan Oyo tidak mau refund, mau enggak mau saya yang nombokin,” tambahnya.

Terkait masalah ini, juru bicara Oyo membantah dan menyebutnya sebagai misinformasi. Mereka menyebut semua pemesanan dan sistem pembayarannya hanya bisa dilakukan lewat aplikasi Oyo, situs web Oyo, atau aplikasi OTA lain. Begitu pula dengan proses refund hanya dilakukan secara online, bukan lewat karyawan.

Namun sang juru bicara luput menyebut platform Oyo Rocket. Aplikasi ini khusus dipakai karyawan, seperti NM, untuk mencari tamu. “Aplikasi hanya untuk pemesanan individu, nah kalau group harus lewat marketing menggunakan Oyo Rocket yang hanya dimiliki oleh karyawan,” kata NM mengamini.

Perkara tanggung jawab menjadi isu besar di internal. Ketika ada masalah properti yang ditawarkan tidak sesuai dengan kondisi asli misalnya, sulit mencari pihak yang mau bertanggung jawab. Tim business development yang bertugas mengajak pemilik properti untuk bergabung pun tak mau ambil pusing dengan kondisi di lapangan.

This is the most ridiculous work environment I’ve ever joined.”

Klausul sepihak

Sikap sepihak dan tak mau ambil pusing juga dilakukan Oyo terhadap mitra mereka. Momen pandemi Covid-19 menjadi puncak kekesalan mereka terhadap sistem yang diberlakukan Oyo. Albert adalah salah seorang pemilik properti yang mengaku merugi selama bermitra. Albert menerima sebuah pengumuman dari Oyo pada 9 April yang berisi klausul force majeure. Klausul force majeure ini muncul dari udara kosong tanpa pembicaraan terlebih dahulu dan diputuskan secara sepihak. Menurut Albert, klausul ini membatalkan isi kontrak yang sudah ada. Akibatnya Albert terpaksa mengambil alih kembali pengelolaan hotelnya dari Oyo yang seharusnya masih berjalan beberapa tahun.

Awal kerja sama Albert dengan Oyo bermula pada Mei 2019. Ia mengaku tawaran kemitraan dari Oyo cukup menggiurkan. Sebagai perumpamaan, apabila dia mengelola sendiri hotelnya ia akan mengantongi omzet Rp100 juta. Nominal yang sama dapat dia peroleh jika bermitra dengan Oyo. Tawaran ini menguntungkan karena Albert dapat menghabiskan waktu dan tenaganya untuk mengerjakan hal lain. Namun apa daya, selama kemitraannya yang singkat itu Albert mengaku justru menanggung rugi setelah Oyo menerbitkan klausul force majeure, klausul yang menurut Albert menjadi dalih utama Oyo untuk tidak membayar kerugian.

“Kalau dihitung-hitung total kerugian saya mencapai Rp1,3 miliar dari ganti rugi yang belum mereka bayar,” keluh Albert.

Bagian awal force majeur yang di
Bagian awal Notice of Force Majeur yang diterbitkan Oyo. Bagian klausul detail tidak ditampilkan untuk melindungi kerahasiaan narasumber

Mayoritas mitra memilih bekerja sama dengan Oyo karena skema minimum guarantee (MG) yang ditawarkan. MG ini berarti jaminan pemasukan bagi pemilik properti terlepas dari jumlah tamu yang menginap di tempatnya. Hal ini yang mencairkan keraguan Sara (bukan nama sebenarnya) saat didekati tim business development Oyo untuk bergabung dengan mereka.

Sara dijanjikan mendapat MG Rp36 juta per bulan. Namun, dalam perjalanannya, Sara menyebut terjadi perselisihan tiap bulan dengan Oyo saat melakukan rekonsiliasi. Ia mengaku rugi lebih dari Rp40 juta akibat perselisihan dari rekonsiliasi. Ia menuding faktor utama kerugian itu datang dari sistem Oyo sendiri, seperti tamu yang memilih bayar di hotel namun tidak muncul di lokasi akan tetap dihitung sudah check in oleh sistem mereka.

“Promo-promo yang katanya akan digantikan Oyo juga tidak digantikan,” imbuh Sara.

Sama seperti Albert, keputusan unilateral juga dialami Sara. Pada 11 April lalu Sara menanyakan pencairan MG, namun balasan yang ia terima adalah pemberitahuan klausul force majeure. “Judulnya mitra loh, tapi suka suka dia sendiri dan kalau dikupas lebih menguntungkan untuk pihak Oyo. Contoh baru-baru ini setelah kebijakan force majeure yang dikeluarkan tanpa adanya MG. Kebijakan non-MG selamanya sudah dihapuskan dan diberlakukan 1 Juni,” pungkasnya.

Pembatalan skema MG ini juga dilaporkan terjadi di negara-negara lain di mana Oyo beroperasi. Skema ini memang membuat Oyo cepat diterima pemilik properti, tapi skema ini juga yang akhirnya membuat Oyo kesulitan. Situasi pandemi memperkuat bahwa skema itu riskan untuk dipertahankan. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mewajarkan banyak pemilik hotel bujet menyukai skema bisnis tersebut.

“Tapi yang saya tahu model yang mereka pakai itu bikin mereka berdarah-darah sendiri, bahkan sebelum Covid-19,” ujar Maulana.

Jawaban Oyo

Pihak Oyo sendiri secara tidak langsung mengakui bahwa mereka tidak lagi menggunakan skema MG dengan para mitra. Juru bicara perusahaan mengatakan kepada DailySocial bahwa prinsip model bisnis mereka tetap membantu pemilik hotel bujet dan unbranded sebagai mitra dengan mengambil alih pemasaran, melakukan standardisasi, merenovasi interior dan meningkatkan kualitas layanan.

“Terkait aspek bisnis, kami menerapkan sistem bagi hasil dengan mitra pemilik hotel yang nilainya bervariasi berdasarkan tingkat komitmen serta investasi Oyo.”

Terlepas dari aspek bisnis dengan mitra, juru bicara Oyo membantah semua tuduhan yang diarahkan ke mereka. Terkait perumusan keputusan misalnya, mereka mengklaim selalu mengedepankan komunikasi dua arah dengan para mitra sejak mereka bergabung ke platform Oyo. Mereka menjamin setiap keputusan terkait kerja sama dengan para mitra selalu didahului komunikasi dua arah dan sesuai ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian.

Juru bicara Oyo juga membantah pihaknya lepas tanggung jawab dalam kasus pencairan refund. Mereka mengklaim terus memproses refund kepada konsumen. Hanya saja, menurut mereka, di tengah proses itu sering terjadi hambatan untuk memvalidasi permintaan refund, seperti perbedaan nama tamu hingga kesalahan mengisi data rekening. Proses yang cukup panjang itu diklaim untuk memastikan keabsahan pengajuan refund. “Saat ini kami juga sedang meningkatkan sistem refund kami dari yang tadinya dilakukan secara offline, menjadi sistem yang dioptimalisasi secara digital,” imbuhnya.

Namun Oyo tidak mengelak saat disinggung soal kejadian-kejadian ganjil yang dialami konsumen. Kejadian-kejadian ganjil ini terekam di akun @oyobikinrugi_ di Instagram. Mereka meminta konsumen yang mengalami kejadian-kejadian ganjil seperti overbooked, properti tidak sesuai deskripsi, properti sudah tidak bekerja sama, untuk melapor lewat kanal yang tersedia di aplikasi.

“Kami meminta maaf dan menyayangkan apabila terdapat kejadian seperti itu. Sistem kami memang masih belum sempurna dan OYO senantiasa melakukan evaluasi dan perbaikan demi memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan serta para mitra kami.”

CEO MDI Ventures Beberkan Jenis Startup yang Ideal Setelah Covid-19

Pandemi Covid-19 merupakan ajang “survival of the fittest” bagi startup. Adaptasi bisnis digital mengalami akselerasi berlipat-lipat dalam keadaan saat ini. MDI Ventures menggunakan momentum ini untuk menyaring entitas bisnis yang cocok untuk mereka investasi.

CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengemukakan kriteria tersebut dalam webinar yang MDI selenggarakan pada Selasa (9/6) sore kemarin. Donald menjelaskan setidaknya ada empat jenis startup selama masa pandemi ini: startup yang beruntung karena vertikalnya sangat dibutuhkan; mereka yang pivot menyesuaikan kondisi; mereka yang hibernasi untuk menekan kerugian; dan mereka yang tidak beruntung, lalu gagal, dan mati.

“Kami sangat melirik startup-startup yang nomor satu, dua, dan tiga tadi,” ucap Donald dalam webinar tersebut.

Namun tidak semua startup yang masuk tiga kategori itu akan menjadi buruan utama MDI Ventures. Menurut Donal ada faktor lain yang dapat menarik mereka selain keuletan dan ketahanan startup menghadapi pandemi, tapi juga sinergisme dengan Telkom Group dan BUMN lainnya.

Bentuk sinergi itu adalah roadmap dari Telkom yang beberapa di antaranya berisi proyek smart city, healthtech, dan yang proyek yang berkaitan erat dengan UMKM. “Kita tentu mencari gain, tapi kita juga mencari sinergi dengan Telkom Group dan BUMN pada umumnya,” imbuh pria yang belum lama ditunjuk sebagai CEO MDI Ventures itu.

Vertikal yang atraktif

Donald menyebut, secara khusus sejumlah vertikal yang menonjol selama wabah Covid-19 berlangsung. Di antaranya food delivery, konten digital, logistik, new retail, dan payment gateway. Keharusan masyarakat untuk tetap di rumah selama pandemi menjadi kesamaan di antara semua vertikal tersebut. Layanan-layanan vertikal itu melayani kebutuhan masyarakat yang enggan keluar rumah dan juga menemani besarnya waktu yang harus mereka habiskan di rumah.

“Mereka [logistik] kena imbas yang sangat positif. Kami lihat ada yang berhasil naik 2-3 kali lipat dalam satu bulan,” kata Donald.

Di antara itu semua ada jenis vertikal yang menjadi sorotan Donald karena situasi mengharuskan mereka menahan diri yakni fintech lending. Peraturan pemerintah yang mengharuskan bank dan institusi keuangan lain termasuk fintech lending untuk memberikan relaksasi dalam penagihan kredit mau tak mau harus tiarap dulu. MDI sendiri memiliki portofolio di fintech lending lewat Kredivo.

“Tapi kita ingat kebutuhan Indonesia itu besar dan setelah Covid ini selesai dan sudah bisa collect, ini akan lebih besar lagi. Jadi kami akan pantau terus sektor-sektor ini.”

Soal investasi dan konsolidasi

Donald memastikan pihaknya sebagai corporate venture capital (CVC) mendapat restu dari Telkom untuk terus berinvestasi di tengah masa pandemi ini. Ia menyebut situasi saat ini hanya mempercepat beberapa tahun proses adaptasi digital ke fase lebih matang.

Hal itu juga menunjukkan bahwa ada beberapa startup yang kurang mampu menjadi perusahaan yang lebih besar. Buat Donald itu adalah kesempatan untuk meramu formula konsolidasi.

“Kami juga bersama VC-VC lain melirik kesempatan satu-dua perusahaan untuk di-merge atau dikonsolidasikan,” pungkas Donald.

Pengantaran Tanpa Kontak ala PopBox Kian Relevan Selama Pandemi

Industri logistik memang banyak terpukul selama wabah Covid-19 menerjang. Namun karena sifatnya yang begitu penting, kebutuhan logistik tak pernah berkurang. Ini setidaknya juga tercermin dari bisnis PopBox.

Co-founder & COO PopBox Greta Bunawan mengatakan bahwa solusi logistik yang mereka usung punya keunggulan dalam menghadapi pandemi ini.  menurut Greta merupakan bagian dari jawaban pengantaran barang yang aman karena meminimalisir kemungkinan orang bersentuhan selama prosesnya.

“Hal ini terlihat dengan tingginya peningkatan pemakaian terutama di area apartemen dan meningkatnya permintaan dari building management untuk menambah unit loker,” ungkap Greta kepada DailySocial.

Adapun peningkatan permintaan yang dimaksud oleh Greta mencapai rata-rata 55%. Sementara dari jumlah unit yang akan mereka tambah untuk memenuhi permintaan berkisar 30 unit loker. Angka ini didapat dengan membandingkan permintaan sebelum dan sesudah Covid-19 mewabah.

Perkembangan bisnis

Dalam dua tahun terakhir, PopBox melakukan cukup banyak untuk menggenjot bisnis mereka. Selain berfungsi sebagai loker penitipan dan penjemputan barang, waktu itu PopBox belum lama merilis fitur PopStore hasil kerja sama mereka dengan Elevenia.

Namun setelah dua tahun ini Greta menjabarkan ada banyak hal baru di PopBox. Pertama adalah aksesibilitas loker yang meluas. Jika sebelumnya loker hanya bisa diakses oleh mitra yang memiliki nama pengguna dan kata sandi, kini siapa pun bisa menggunakan loker mereka lewat verifikasi OTP ke nomor ponsel.

“Ini bertujuan untuk memberikan akses loker tidak terbatas kepada mitra saja namun kurir-kurir ojol dan semua customer yang ingin paketnya di-drop di loker,” imbuh Greta.

Fitur lainnya adalah PopSafe. Ini adalah temporary deposit bagi pelanggan yang ingin menitipkan barangnya untuk sementara atau untuk diambil oleh orang lain. Fitur ini cukup efektif untuk di tempat permukiman vertikal seperti apartemen untuk sekadar titip kunci atau menaruh barang lainnya untuk diambil oleh orang lain.

Terakhir, PopBox kini menyediakan fitur people counter. Fitur ini merupakan alat penghitung banyaknya manusia yang melintas di sekitar loker. Fungsi fitur ini tak lain untuk mengukur efektivitas iklan yang terpasang di loker PopBox.

Target di tahun ini

PopBox yang berdiri sejak 2015 ini sudah bisa ditemukan di 250 titik lokasi di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang. Sementara di Malaysia loker mereka sudah bisa diakses di 109 titik di Kuala Lumpur.

Greta menyebut pihaknya bertekad memperluas akses loker di tempat-tempat padat seperti apartemen dan perkantoran. Ia menargetkan loker mereka bisa menembus 300 lokasi sampai akhir tahun ini.

Di samping itu mereka juga dalam proses integrasi dengan mitra-mitra baru dalam hal pembayaran, pengiriman, dan e-commerce, serta pengembangan sejumlah fitur baru yang mereka harapkan bisa rilis di tahun ini juga.

“Kami juga sedang dalam proses R&D pengembangan fitur baru di loker untuk penggunaan penyewaan jangka panjang dan beberapa fitur baru lainnya,” pungkas Greta.

Application Information Will Show Up Here

Qlue Hadirkan Sejumlah Perangkat Deteksi untuk Bantu Bisnis Tegakkan Aturan “New Normal”

Pemerintah telah membumikan terminologi “new normal”, sebuah keadaan baru yang harus disesuaikan dengan protokol kesehatan guna menekan persebaran Covid-19. Mencoba mengoptimalkan keahlian yang dimiliki, Qlue meluncurkan beberapa solusi yang membantu bisnis hadapi new normal, di antaranya sistem pengecekan suhu tubuh dengan sensor thermal, pengecekan penggunaan masker, pengecekan jarak kerumunan, hingga pengecekan trafik berbasis CCTV.

“Solusi [baru dari Qlue] bisa [diimplementasikan] satu kesatuan atau terpisah-pisah. Memang lebih efektif kalau jadi kesatuan, karena sangat bersentuhan dengan regulasi new normal dari pemerintah; di mana menganjurkan pengukuran suhu, social distancing, dan pengenaan masker. Solusi kami mencakup itu semua secara automatic menggunakan teknologi IoT dan AI,” tegas Founder & CEO Qlue Rama Raditya.

AI di dalam solusi baru Qlue diimplementasikan di sejumlah fitur, seperti “Seamless Self-Check” menggunakan kamera yang bisa mendeteksi suhu dan penggunaan masker. Pendeteksian penggunaan masker ini diklaim cukup akurat karena bisa mendeteksi 100 jenis masker, bahkan AI masih bisa mendeteksi orang-orang (umur dan gender) yang meski masih mengenakan masker.

Rama menjelaskan, bahwa teknologi AI yang ada pada solusi terbaru Qlue disematkan pada device-nya, sehingga harga dari perangkat tersebut diklaim bisa lebih terjangkau untuk bisnis yang terkena imbas Covid-19 dan ingin segera kembali membuka bisnisnya dengan tetap menaati regulasi dari pemerintah.

People detection pada device digunakan untuk menghitung jumlah orang yang masuk, dan people detection pada CCTV memastikan orang-orang menjaga jarak. Selain itu kesatuan dari teknologi tersebut dapat membantu bisnis untuk memastikan occupancy dari mall misalnya tetap di angka yg sudah ditetapkan pemerintah yaitu 50%,” imbuh Rama.

Gambaran dasbor yang disajikan Qlue untuk solusi terkait new normal
Gambaran dasbor yang disajikan Qlue untuk solusi terkait new normal

Gerak cepat Qlue melihat peluang

Pihak Qlue menyebutkan solusi ini disiapkan untuk cocok diimplementasikan untuk kantor, mall, gedung, rumah sakit, restoran atau tempat-tempat keramaian lainnya.

“Jadi semua area sebenarnya bisa menggunakan solusi ini agar bisa tetap memenuhi regulasi emerintah dan tentunya memastikan keselamatan dari pengunjung mereka. Kantor juga menggunakan ini untuk kemudian diintegerasikan dengan sistem absensi mereka sehingga tidak perlu lagi menggunakan finger print,” jelas Rama.

Selain Thermal dan Mask Detection, Qlue juga memiliki solusi untuk isolasi mandiri. Solusi ini bisa dimanfaatkan untuk memonitoring proses karantina mandiri. Di dalamnya terdapat fitur untuk memantau kondisi mereka yang di karantina, termasuk juga tracking lokasinya.

“Untuk solusi kami terkait isolasi mandiri berguna untuk memastikan pasien Covid-19 yang diisolasi di rumah tetap melakukan self-report dan tidak ke mana-mana. Karena sekarang contohnya di Jakarta pasien yang diisolasi di rumah aja ada sekitar 2.700, bagaimana pemerintah/rumah sakit memastikan mereka stay di rumah. Dengan aplikasi QlueWork pasien harus melakukan selfchecking sehingga dapat di monitor dengan baik karena pada aplikasi tersebut sudah berbasis lokasi,” tutup Rama.

Application Information Will Show Up Here

Tips Kepemimpinan di Masa Krisis

Pada tanggal 23 April 2020, saya menerima surel dengan judul “This won’t be easy, but we will make it” dari seorang CEO startup. Isinya kurang lebih terkait pemberitahuan perpanjangan sistem kerja di rumah atau work from home dengan narasi sedemikian rupa untuk menerangkan sekaligus menenangkan para pembacanya (anggota tim). Mungkin terdengar biasa namun dampaknya cukup terasa.

Siapa yang menduga di tahun 2019 akan ada virus yang menyerang penduduk negara tirai bambu dan dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Hal ini terjadi di luar prediksi para eksekutif yang sedang fokus menggali potensi perusahaan, meningkatkan revenue, membangun koneksi, dan memperjuangkan sustainability.

Ketika pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia di awal bulan Maret 2020, kepanikan menyelimuti negeri ini beserta seluruh penghuninya. Berita negatif mendominasi. Skenario terburuk menghantui segenap bisnis di tanah air, beberapa bahkan sudah mengalaminya. Di sini, kehadiran sosok pemimpin berperan penting untuk membangun komunikasi yang baik dan menata rencana perusahaan ke depannya.

Krisis ini menempatkan para pemimpin pada situasi yang sulit. Mereka ditempa dengan masalah yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Saat ini, banyak dari mereka yang terpaksa harus membuat keputusan dengan cepat demi mengendalikan laju pengeluaran serta mempertahankan produktivitas bisnis perusahaan.

Tidak ada buku panduan untuk mengatasi krisis yang tidak terelakkan seperti ini, namun berikut adalah beberapa hal yang bisa menjadi acuan para pemimpin guna bisa bertahan dan melanjutkan perjalanan bisnis di masa mendatang.

Menentukan prioritas

Sebelum menentukan prioritas, seorang pemimpin harus bisa memilah informasi dari sumber yang terpercaya. Seiring situasi yang berotasi dengan cepat, mereka juga harus bisa menentukan prioritas dengan cepat dan membuat keputusan dengan yakin. Sebuah kerangka pemikiran sederhana yang fleksibel untuk dikembangkan menjadi solusi esensial.

Ada banyak hal yang mungkin memenuhi pikiran ketika berada di dalam krisis, bagaimana menjamin keselamatan anggota tim, bagaimana hal ini akan mempengaruhi konsumer/klien, bagaimana situasi sekarang mempengaruhi rencana perusahaan ke depannya, dan banyak lagi. Hal-hal tersebut bisa diuraikan lalu diurutkan.

Beradaptasi dengan situasi

Seorang pemimpin yang bijak akan dengan cepat membaca situasi, mencari informasi, dan berani mengakui ada hal di luar sudut pandang mereka yang bisa menghasilkan solusi. Jika ada keraguan untuk menentukan apa yang harus dilakukan, paling tidak, ketahui apa hal yang tidak harus dilakukan. Berkaca pada pengalaman adalah sebuah sikap yang bijak untuk meninggalkan referensi yang sudah tidak relevan serta mulai mengatur rencana baru sesuai dengan situasi terkini.

Salah satu cara adalah mengumpulkan jaringan pemimpin lokal serta individu terkait untuk bisa bertukar pikiran dan informasi mengenai imbas dari krisis yang terjadi. Akan lebih baik jika terlahir sebuah inisiatif yang dapat digalakkan sebagai solusi atau setidaknya mengurangi beban para terdampak. All stakeholders are important.

Komunikasi sebagai kunci

Tanggung jawab seorang pemimpin tidak bisa disamakan dengan anggota tim lainnya. Tentu saja, semua punya beban masing-masing, namun semua kembali lagi pada rasa memiliki (sense of ownership). Baik pemimpin maupun anggota tim berada dalam satu bahtera yang sama dan satu-satunya cara untuk bisa terus berjalan adalah dengan bersama-sama mengerahkan usaha. Kemampuan komunikasi seorang pemimpin akan sangat ditempa dalam masa krisis ini.

Seorang pemimpin, menggunakan setiap informasi yang ada dan analisis prioritas, bisa menetapkan KPI atau metrik yang akan digunakan untuk mengukur produktivitas setiap anggota tim. Selain itu, demi keberlangsungan perusahaan serta kehidupan anggota tim, satu hal yang bisa dilakukan seorang pemimpin (mewakili perusahaan) adalah menciptakan kebijakan dan sistem kerja yang mengacu pada produktivitas dalam batas aman.

Pandangan positif

Dalam masa krisis seperti ini, tidak ada yang lebih penting dari memelihara keutuhan tim. Seorang pemimpin yang efektif akan bisa memahami kondisi serta distraksi para anggota tim, alih-alih menggurui, mereka melibatkan diri secara personal dan memotivasi. Koneksi antar anggota tim menjadi tantangan tersendiri.

CEO DailySocial Rama Mamuaya menyampaikan,” Di tengah krisis, adalah penting bagi setiap pemimpin untuk memiliki pandangan positif di masa mendatang dan meyakinkan diri sendiri dan anggota tim bahwa semua akan baik-baik saja. This won’t be easy, but we will make it.”

Pemimpin juga manusia, punya rasa punya hati. Namun, ketahuilah, sosok pemimpin yang sesungguhnya tidak mungkin berada di posisinya saat ini tanpa mengetahui tanggung jawab yang diemban serta konsekuensi yang menanti tatkala roda bisnis berputar.

Sebagai penutup, David Foster Wallace dalam bukunya Consider the Lobster menyebutkan, “The real leaders are people who help us overcome the limitations of our own individual laziness and selfishness and weakness and fear and get us to do better, harder things than we can get ourselves to do on our own.

Gartner: Covid-19 Membuat Penjualan Smartphone Global Turun 20,2 Persen

Menurut laporan dari lembaga riset Gartner, tercatat bahwa angka penjualan smartphone secara global pada kuartal pertama 2020 mengalami penurunan 20,2 persen bila dibandingkan pada kuartal yang sama tahun lalu. Total unit smartphone yang terjual sebanyak 299 juta unit dan sebagai pembanding kuartal pertama tahun lalu mencapai 375 juta unit.

Kenapa bisa anjlok? Penyebabnya adalah karena pandemi covid-19. Seperti yang kita ketahui, virus covid-19 ini muncul di Wuhan, China pada bulan Desember 2019 yang mana membuat banyak manufaktur di China berhenti beroperasi. Pandemi covid-19 juga berdampak pada ekonomi global yang berakibat pada turunnya permintaan akan smartphone.

covid-19-membuat-penjualan-smartphone-global-turun-202-persen-1

Adapun lima besar vendor smartphone teratas adalah Samsung yang masih mempertahankan posisi puncak dengan penjualan 55 juta unit, Huawei 42 juta unit, Apple 40 juta unit, Xiaomi 27 juta unit, dan OPPO dengan 23 juta unit. Huawei diikuti Samsung dan OPPO adalah tiga vendor yang mengalami penurunan paling signifikan, masing-masing 27,3 persen, 22,7 persen, dan 19,1 persen.

Selain karena covid-19, penurunan penjualan smartphone Huawei juga dikarenakan putusnya hubungan Huawei dan Google. Di mana smartphone Huawei tidak didukung oleh Google Mobile Service sehingga tidak bisa mengakses toko aplikasi Play Store dan menggunakan Huawei Mobile Service sebagai gantinya.

Sementara, Apple mengalami penurunan lebih rendah yaitu 8,2 persen. Sebaliknya, Xiaomi menjadi satu-satunya yang mengalami peningkatan penjualan sebesar 1,4 persen pada kuartal pertama 2020 dibanding periode yang sama tahun lalu. Pencapaian ini karena penjualan smartphone Redmi terbilang tinggi di pasar internasional dan strategi pemasaran online yang dilakukan Xiaomi secara agresif.

Sumber: GSMArena

Hubungan Erat Pandemi dan Masa Depan Teknologi Pengenal Wajah

Merebaknya corona virus disease 2019 (Covid-19) menuntut perubahan perilaku masyarakat di aspek kesehatan. Salah satunya yang paling sederhana dan juga paling penting adalah penggunaan masker ketika berada di luar rumah.

Masker adalah kebutuhan utama umat manusia selama pandemi saat ini. Tentu saja di mana-mana masih ada saja orang yang abai soal ini. Seperti yang disampaikan World Health Organization (WHO), keberadaan masker begitu esensial sehingga mereka merekomendasikan semua orang memakainya. Rekomendasi itu berubah dari sebelumnya hanya untuk tenaga kesehatan dan pasien saja.

Penggunaan masker yang masif saat ini ternyata berimbas terhadap perkembangan teknologi, khususnya teknologi pengenal wajah. Maklum, penggunaan masker ini artinya pekerjaan rumah baru bagi perusahaan visual artificial intelligence yang harus menciptakan pembaruan untuk mengenali wajah di balik masker.

Masker tak lagi masalah

Masker ternyata bukan masalah rumit untuk ditembus oleh perusahaan produsen visual artificial intelligence. Sebagai perusahaan di negara dengan populasi kamera pengawas terbanyak di seluruh dunia, Hanwang menemukan teknologi untuk menembus masker sepertinya bukan perkara sulit bagi mereka.

Hanwang adalah salah satu perusahaan pencipta teknologi pengenal wajah terkemuka di Tiongkok. Program pengenal wajah mereka dapat mengidentifikasi wajah tanpa masker hingga 99,5%. Pada pertengahan Maret lalu Hanwang mengungkap mereka sudah bisa mengenali wajah di balik masker. Akurasinya pun tidak main-main–hingga 95%. Lebih canggih lagi, teknologi ini bisa terhubung dengan sensor temperatur agar sistem bisa mengidentifikasi sehat atau tidaknya seseorang.

Algoritma teknologi pengenal wajah biasanya bekerja dengan memindai dan mengumpukan sejumlah data points dari wajah seseorang. Bagian-bagian krusial wajah yang dapat dikenali itu ada di jarak antarmata serta struktur hidung dan dagu. Tutupi bagian itu, maka algoritma akan sulit mengidentifikasi wajah.

Teknologi Hanwang terhubung dengan foto dari 1,2 miliar orang dari pangkalan data kepolisian Tiongkok. Sistem mereka dengan menebak seperti apa wajah seseorang yang ada di pangkalan data jika menggunakan masker. Teknologi Hanwang ini memang masih terus berkembang, tapi perusahaan percaya diri permintaan produk mereka ini akan datang dari seluruh dunia menyusul situasi pandemi.

Hanwang tentu bukan satu-satunya yang punya kemampuan tersebut. Ada Facewatch asal Inggris yang mengklaim punya teknologi serupa. Ada juga SAFR yang berasal dari Amerika Serikat. Namun sejauh ini sepertinya hanya Hanwang teknologinya sudah digunakan di publik. Produk Hanwang dikabarkan dipakai oleh otoritas Hong Kong untuk mengidentifikasi peserta aksi protes di sana.

Berlomba untuk mengelabui

Meningkatnya kecerdasan visual AI dalam memindai wajah orang-orang bermasker tentu membawa manfaat di situasi pandemi seperti sekarang. Contoh paling mudah adalah untuk mengawasi dan melacak keberadaan orang-orang yang berpotensi terjangkit virus.

Namun kemajuan teknologi ini jelas punya efek samping bagi pemegang kekuasaan. Perlu diingat dalam situasi pandemi ini, selalu ada peluang bagi negara otoritarian melebarkan cengkeramannya terhadap hak-hak sipil.  Human Rights Watch sudah mencatat hal itu sudah terjadi di Tiongkok, Thailand, Turki, Kamboja, Venezuela, dan Mesir.

Potensi yang tak diinginkan itu bisa terjadi dari teknologi pengenal wajah yang memakai masker tadi. Bayangkan potensi di sebuah negara dengan aparatus yang represif menghadapi aksi protes. Dengan teknologi semacam ini, mereka dapat dengan mudah melakukan profiling peserta aksi protes yang sudah mengikuti aturan berlaku. Di tangan kekuasaan yang represif, masker dapat dianggap salah satu penghalang untuk menjinakkan gelombang perlawanan.

Itu sebabnya berbagai pihak memutar akal untuk mengalahkan kepintaran visual AI tadi. Dari sejumlah perlawanan terhadap bentuk surveilans berlebih itu ada perempuan bernama Kate Rose. Rose punya latar belakang cukup unik yakni analis keamanan siber sekaligus desainer fesyen. Kombinasi keduanya memungkinkan Rose mendirikan Adversarial Fashion, lini busana anti-surveilans.

Adversarial Fashion punya banyak produk untuk membantu pelanggannya terhindar dari kamera pengawas. Mereka punya masker dengan pola khusus untuk menangkis kamera pengenal wajah hingga kaos dengan gambar pelat nomor kendaraan untuk mengelabui kamera pemindai pelat nomor.

“Hak-hak privasi harus lebih ditegakkan, dalam hal melindungi hak Anda atas data yang dikumpulkan tentang Anda yang memerlukan surat perintah,” kata Rose.

Rose hanya salah satu yang punya inisiatif tersebut. Jika Rose memadukan pengetahuannya di bidang fesyen untuk membuat penangkal kamera pengenal wajah, beberapa yang lain menggunakan riasan. Ada teknik riasan yang mencegah kamera melihat wajah dan ada juga riasan yang justru memperbanyak wajah.

Namun teknik riasan ini tak akan berdaya di sistem pengenalan wajah berbasis sinar inframerah seperti yang dipakai di iPhone. Itu sebabnya muncul teknik lain berbentuk topi LED. Topi ini bisa memproyeksikan sinar inframerah untuk mengacaukan algoritme pengenal wajah.

Para inovator teknologi pengenal wajah pun tak akan tinggal diam melihat beragam teknik anti-surveilans di atas. Mereka akan menganggapnya sebagai tantangan yang perlu ditaklukkan sebagaimana Hanwang menaklukkan masker. Maka bukan mustahil, wabah Covid-19 ini justru akan mempercepat inovasi-inovasi tingkat lanjut dari teknologi pengenal wajah.

Mandiri Capital Delays Four Investments Due to Pandemic

Mandiri Capital Indonesia (MCI), an investment arm of Bank Mandiri, revealed that there have been some delays regarding plans to invest in new startups due to the Covid-19 pandemic. MCI is said to be eyeing four startups engaged in fintech.

MCI’s CEO, Eddi Danusaputro said, the actual approach process had already taken place before the pandemic, but the due diligence process required both parties to meet face to face. It needs to verify the location of the startup’s office, visiting users, and so on.

“If it is only for discussion, it can be through digital. However, we still have to verify the office, making a check spot to the location whether the business is B2B,” he said as quoted from an interview with CNBC, yesterday (5/27).

He emphasized, even though it’s delayed due to a pandemic, it doesn’t reduce MCI’s appetite to continue investing in the fintech sector.

Separately, to DailySocial, Eddi said there are four fintech startups conducting a due diligence process with MCI. Although, he was reluctant to disclose more details related to the name of the startup and which vertical fintech was being targeted.

“It’s already started [the approach process] before the pandemic, but the process was delayed due to the current state.”

This delay, he continued, did not have a significant impact on company performance, nor on the map of competition with VCs. He said, MCI had never limit the number of startups to invest and the amount of funds prepared each year.

This year’s budget to invest in new startups is said to reach Rp50 billion. That number changes annually according to the injection of the parent company. “There is no competition between VCs. [We] even invested together. ”

Another impact of the pandemic also forced MCI to postpone external fundraising. Therefore, it must be divided into two rounds and the company has finished the first stage.

The raised funding has reached $50 million, already half of the target, which is $100 million. Eddi is yet to reveal the LP’s identity in this funding. “Therefore, it will be gradual [due to pandemic]. There will be first closing ($50 million), then the second closing.”

In an earlier interview, Eddi said this initial external funding would help MCI in meeting the funding needs of fintech startups in Indonesia. If you rely solely on funding from Bank Mandiri, your needs cannot be met quickly.

He said his team had conducted roadshows to Japan and South Korea to attract investors into the Indonesian market.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mandiri Capital Tunda Empat Investasi Akibat Pandemi

Mandiri Capital Indonesia (MCI), anak usaha ventura dari Bank Mandiri, mengungkapkan penundaan rencana untuk menyuntik startup baru yang akan masuk ke dalam portofolionya karena pandemi Covid-19. MCI disebutkan sedang mengincar empat startup yang bergerak di bidang fintech.

CEO MCI Eddi Danusaputro menerangkan, proses pendekatan sebenarnya sudah terjadi sebelum pandemi, namun dalam proses due diligence mengharuskan kedua belah pihak bertatap muka secara langsung. Pihaknya perlu memverifikasi lokasi kantor startup, mendatangi pengguna, dan sebagainya.

“Kalau untuk diskusi saja, via digital sebenarnya bisa dilakukan. Tapi kita tetap perlu verifikasi kantornya, harus check spot ke lokasi merchant bila bisnisnya B2B,” katanya mengutip dari hasil wawancara bersama CNBC, kemarin (27/5).

Dia menegaskan, meski menunda karena pandemi, tidak mengurangi appetite MCI untuk tetap berinvestasi di sektor fintech.

Secara terpisah, kepada DailySocial, Eddi menuturkan ada empat startup fintech yang tengah melakukan proses due diligence dengan MCI. Meski, dia enggan membeberkan lebih detail terkait nama startup dan vertikal fintech mana yang sedang diincar.

“Sebelum pandemi sudah dimulai [proses pendekatan], tapi prosesnya jadi tertunda gegara pandemi.”

Penundaan ini, lanjutnya, tidak begitu memberikan dampak yang signifikan terhadap kinerja perusahaan, maupun terhadap peta persaingan dengan antar VC. Dia bilang, MCI tidak pernah menargetkan harus investasi ke berapa banyak startup maupun jumlah dana yang disiapkan setiap tahunnya.

Anggaran tahun ini untuk berinvestasi ke startup baru disebutkan mencapai Rp50 miliar. Angka itu tiap tahunnya berubah sesuai dengan suntikan dana yang diberikan induk kepada MCI. “Persaingan dengan antar VC malah tidak ada persaingan. [Kami] malah investasi bareng.”

Dampak pandemi lainnya juga mengharuskan MCI mengundur penggalangan dana eksternal perdana. Oleh karenanya, harus dibagi menjadi dalam dua tahapan dan perusahaan telah selesai untuk tahap pertama.

Dana yang berhasil terkumpul mencapai $50 juta, sudah separuh dari target dana yang direncanakan sejak awal, yakni $100 juta. Eddi belum bersedia membeberkan identitas LP dari pendanaan ini. “Jadi bertahap [karena pandemi]. Ada first closing ($50 juta), kemudian second closing.”

Dalam wawancara sebelumnya, Eddi mengatakan pendanaan eksternal perdana ini akan membantu MCI dalam memenuhi kebutuhan pendanaan startup fintech di Indonesia. Apabila mengandalkan sumber dana dari Bank Mandiri saja, kebutuhan tidak bisa dipenuhi dengan cepat.

Dia menyebut pihaknya telah melakukan roadshow ke Jepang dan Korea Selatan untuk menarik investor masuk Indonesia.

Platform “Crowdfunding” Kolase Dukung Pekerja Seni di Indonesia

Platform crowdfunding berbasis reward Kolase bulan ini mengklaim telah mencapai milestone pertama yakni mencapai angka Rp2 miliar untuk keseluruhan total dana yang berhasil dikumpulkan dari 160 kampanye crowdfunding sukses dari tahun 2018.

Kepada DailySocial, VP Business Development Kolase Wisnu Wicaksana mengungkapkan, di bulan Ramadan dan menyambut Idul Fitri, Kolase sedang menjalankan gerakan #SeniBerbagi. Setiap hasil patungan yang dikumpulkan hasilnya ditujukan untuk 3 sasaran, yakni berbagi ke keluarga di kampung halaman, ke tenaga medis, dan ke teman-teman pekerja seni yang terdampak langsung pendapatannya oleh Covid-19.

“Dari #BikinNyatadiRumah yang sudah berjalan sejak akhir Maret ini, selanjutnya tetap akan kami lanjutkan di bulan selanjutnya dengan sejumlah kegiatan based-on reward crowdfunding, seperti penggalangan dana untuk pekerja seni, penggalangan dana untuk APD tenaga medis, kelas patungan dengan pemateri para pelaku seni, dan beberapa kejutan kolaborasi dengan komunitas seni dan media yang sedang kami siapkan,” kata Wisnu.

Hingga saat ini Kolase telah memiliki jumlah pengguna sekitar 27 ribu. Kolase juga memiliki 11 kampanye crowdfunding yang sedang berjalan. Setelah lebaran ada beberapa penggalangan dana yang bakal disiapkan, melanjutkan campaign #BikinNyatadiRumah dengan sasaran tenaga medis dan pekerja seni harian terdampak Covid-19.

Campaign ini berbentuk kelas patungan dan donasi melalui merchandise edisi terbatas dengan beberapa musisi, komunitas fan based, dan media,” kata Wisnu.

Tren platform crowdfunding

Penggalangan dana Bioskop Hujan The Rain
Penggalangan dana Bioskop Hujan The Rain

Sejak resmi meluncur tahun 2018 lalu, Kolase mengalami pertumbuhan yang cukup positif. Berbeda dengan platform crowdfunding kebanyakan yang hanya menyediakan platform untuk berdonasi, Kolase justru percaya bahwa setiap partisipasi perlu dihargai.

“Kami mencatat ada 83,4% penggalangan dana untuk tujuan kemanusiaan dari seluruh campaign yang dikerjakan di Kolase sejak Maret 2020. Persentase ini naik drastis, di mana biasanya hanya ada sekitar 10 persen saja dari campaign yang berjalan di Kolase memiliki tujuan sosial,” kata Wisnu.

Melihat perkembangan yang ada saat ini, ke depannya Kolase melihat platform crowdfunding akan semakin diminati oleh masyarakat. Salah satu alasannya adalah kebiasaan melakukan donasi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Dari berdonasi ini banyak ide-ide maupun kepedulian yang bersifat kemanusiaan dan non-kemanusiaan akhirnya tercapai.

Sementara dari segi platform, peralihan dari kegiatan offline ke online yang terjadi sebagai imbas Covid-19 pada dunia seni dan pertunjukan membuat platform crowdfunding online menjadi pilihan banyak orang untuk membantu mewujudkan ide seni dan pertunjukkan tadi.

“Yang menjadi pekerjaan rumah, terutama bagi kami sebagai satu-satunya platform crowdfunding khusus proyek kreatif adalah bagaimana memperkenalkan dan mengedukasi publik bahwa donasi juga bisa dilakukan untuk tujuan mewujudkan proyek seni dan pertunjukan,” kata Wisnu.