East Ventures Leads Seed Funding for Kasual, a Fashion Startup Combining Technology and D2C Approach

The direct-to-consumer (D2C) startup Kasual has secured seed funding led by East Ventures. They developed products for everyday wear, with an initial focus on men’s trousers. The fresh funds will be used to strengthen the team, technology and factory capabilities, and to expand the company’s operational to Solo, Central Java.

In order to facilitate consumers to access its products, Kasual has developed its own website. In addition to the sales platform, it also provides several features. The first is called “Build Your Own Product”, allowing customers to choose the type of cut and size tailored to their preferences. There is also a “Virtual Fitting” service, providing direct consultation services with the Kasual team via video calls regarding sizes, personalized fittings, and product recommendations.

With more efficient ordering process and in-house garment production, products can be delivered to customers in less than 5 days. The personalization and technological approach is said to put Kasual the first fashion-tech and instant commerce in Indonesia.

“We realize that the e-commerce trend has rapidly mushroomed and helped customers shop comfortably from home, therefore, they demand manufacturers or sellers who can provide daily necessities, especially pants, more quickly and reliably. However, local brands are currently ignores technology which can actually be a vital aspect in fashion production. This means that customers still don’t have a reliable platform to get personalized fashion products instantly,” Kasual’s Founder & CEO, Alam Akbar said.

It is said that Kasual has experienced a 3x growth when the first pandemic entered Indonesia in 2020 compared to 2019 (YoY). To date, they have served around 80 thousand users and have produced more than 3 thousand products per month.

D2C Trend

Based on data compiled in the “Driving Growth with D2C” report by Ogilvy, Commercetolls, and Verticurl, current brand owners must have a D2C digital strategy to win the market. The main goal is to build a more personal relationship with customers, thereby creating a more effective and engaging brand experience as a value proposition. D2C provides invaluable ownership of customer data.

One case study that is widely told is the success of Perfect Diary, a cosmetic brand from China. Was founded in 2016, the startup achieved impressive growth throughout its 2 years of business. In 2019, they became one of the mos selling of three brands. Eventually, they decided to IPO in 2020 with $7 billion valuation. Its main strategy is solely D2C.

There are three main pillars that brand owners ideally have in its D2C strategy. First, it allows them to find product differentiation, this unique value is considered to invite more customers. Second, the ability to empower customer data to better understand their needs and characteristics. Third, to encourage brand leadership with more agility approach, including on the operational side.

With the same opportunities, some local players try their luck in the sector. East Ventures alone has also invested in another D2C startup in the skin care field named Base and a plant-based beverage called Mohjo. There is also Hypefast to help brand owners sharpen their D2C strategies — including to provide capital, network, access, and operational support.

On the investor side, apart from East Ventures, several other local venture capitalists have also started to enter the sector. From Alpha JWC Ventures, AC Ventures, and BRI Ventures through Sembrani. Recently, Kinesys has collaborated with The-Wolfpack specifically to strengthen the D2C ecosystem in its portfolio.

In terms of fashion business, sales is currently dominated by online shopping in global. Innovation is required to maintain this growth, along with changing trends that occur among consumers.

The most popular product categories in global online shopping throughout 2021 / Statista

Kasual’s further development

Various personalization features will be developed to support Kasual’s fashion commerce system. One of which is body measurement with 3D technology to strengthen custom personalization to be introduced by Kasual at its annual event “Custom Week 2021” on 17-19 December 2021 in Jakarta. By using an electronic body scanner, visitors can place custom orders instantly and accurately.

“We are delighted to welcome East Ventures and other investors to the Kasual family. With this funding, we will build a new team, improve the digital experience for customers and manufacturing processes, launch more product categories and marketing initiatives, and use new technologies such as AR measurement to create Indonesia’s first 3D body measurement. Going forward, we want to increase and process daily orders by 10x and process more than 5 thousand products every day,” Alam said.

Meanwhile, East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca said, “Indonesia has one of the most robust digital infrastructures in the region that allows small, custom-made companies like Kasual to thrive. We want to see how far they can go and support them along the company’s growth journey.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Pimpin Pendanaan Awal Kasual, Startup Fesyen yang Memadukan Teknologi dan Strategi D2C

Startup direct to consumer (D2C) Kasual mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal yang dipimpin East Ventures. Produk yang mereka kembangkan adalah pakaian sehari-hari, dengan fokus awal pada celana pria. Dana segar akan dimanfaatkan untuk memperkuat tim, kapabilitas teknologi dan pabrik, serta memperluas ekspansi operasional perusahaan ke Solo, Jawa Tengah.

Untuk memudahkan konsumen mengakses produknya, saat ini Kasual memiliki situs sendiri. Selain platform penjualan, di dalamnya turut disediakan beberapa fitur. Pertama disebut dengan “Build Your Own Product”, memungkinkan pelanggan dapat memilih jenis potongan dan ukuran yang disesuaikan dengan preferensi mereka. Ada juga layanan “Virtual Fitting”, menyediakan layanan konsultasi langsung dengan tim Kasual melalui panggilan video terkait ukuran, fitting yang dipersonalisasi, dan rekomendasi produk.

Dengan proses pemesanan yang lebih sederhana dan produksi garmen internal, produk dapat dikirim ke pelanggan dalam waktu kurang dari 5 hari. Personalisasi dan pendekatan teknologi yang disuguhkan diklaim menjadikan Kasual sebagai fashion-tech dan instant commerce pertama di Indonesia.

“Kami menyadari bahwa tren e-commerce telah menjamur dengan sangat cepat dan membantu pelanggan belanja dengan nyaman dari rumah, sehingga mereka menuntut produsen atau penjual yang bisa menyediakan barang kebutuhan sehari-hari, khususnya celana, lebih cepat dan terpercaya. Namun, brand lokal saat ini masih mengabaikan teknologi yang sebenarnya bisa menjadi aspek vital dalam produksi fashion. Artinya, saat ini pelanggan masih belum memiliki platform yang dapat diandalkan untuk mendapatkan produk fashion yang dipersonalisasi secara instan,” kata Founder & CEO Kasual Alam Akbar.

Turut disampaikan, kasual telah mengalami pertumbuhan 3x lipat sewaktu pandemi pertama masuk ke Indonesia di tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2019 (YoY). Hingga kini, mereka telah melayani sekitar 80 ribu pengguna dan telah memproduksi lebih dari 3 ribu produk per bulan.

Tren D2C

Menurut data yang dihimpun dalam laporan “Driving Growth with D2C” oleh Ogilvy, Commercetolls, dan Verticurl, pemilik brand saat ini dinilai harus memiliki strategi digital D2C untuk dapat memenangkan pasar. Tujuan utamanya untuk membangun hubungan yang lebih personal dengan pelanggan, sehingga bisa menciptakan pengalaman brand yang lebih efektif dan menarik sebagai proposisi nilai. D2C memberikan kepemilikan data pelanggan yang tak ternilai.

Salah satu studi kasus yang banyak diceritakan adalah kesuksesan Perfect Diary, sebuah brand kosmetik asal Tiongkok. Didirikan sejak tahun 2016, startup tersebut mencapai pertumbuhan yang mengesankan sepanjang 2 tahun bisnis berjalan. Bahkan di 2019, mereka menjadi salah satu dari tiga brand dengan penjualan terbanyak. Hingga akhirnya pada tahun 2020 memutuskan IPO dengan valuasi $7 miliar. Strategi utama mereka tidak lain dengan D2C.

Ada tiga pilar utama yang idealnya didapat pemilik brand dalam strategi D2C mereka. Pertama, memungkinkan mereka menemukan diferensiasi produk, nilai unik tersebut dinilai akan mengundang lebih banyak pelanggan. Kedua, kemampuan memberdayakan data pelanggan untuk lebih memahami kebutuhan dan karakteristiknya. Dan ketiga, mendorong kepemimpinan brand dengan tingkat ketangkasan lebih secara menyeluruh, termasuk di sisi operasional.

Melihat peluang yang sama, beberapa pemain lokal mencoba keberuntungan di sektor tersebut. East Ventures sendiri turut berinvestasi ke startup D2C lainnya di bidang perawatan kulit bernama Base dan minuman nabati bernama Mohjo. Ada juga Hypefast yang hadir membantu pemilik brand untuk menajamkan strategi D2C mereka — termasuk dengan memberikan dukungan permodalan, jaringan, akses, dan operasional.

Di sisi investor, selain East Ventures beberapa pemodal ventura lokal lainnya juga mulai masuk ke sana. Mulai Alpha JWC Ventures, AC Ventures, hingga BRI Ventures melalui Sembrani. Terbaru ada Kinesys yang menjalin kerja sama dengan The-Wolfpack khusus untuk memperkuat ekosistem D2C di portofolionya.

Untuk bisnis fesyen sendiri, hingga saat ini masih mendominasi penjualan di online shopping secara global. Inovasi diperlukan untuk menjaga pertumbuhan tersebut, seiring dengan perubahan tren yang terjadi di kalangan konsumen.

Kategori produk paling populer di online shopping global sepanjang 2021 / Statista

Pengembangan Kasual selanjutnya

Berbagai fitur personalisasi juga akan terus dikembangkan untuk menunjang sistem fashion commerce yang dimiliki Kasual. Salah satunya pengukuran tubuh dengan teknologi 3D untuk menguatkan personalisasi kustom yang akan diperkenalkan Kasual pada acara tahunan mereka “Custom Week 2021” pada 17-19 Desember 2021 mendatang di Jakarta. Dengan menggunakan pemindai tubuh elektronik, pengunjung dapat melakukan pesanan custom secara instan dan akurat.

“Kami senang menyambut East Ventures dan investor lainnya dalam keluarga Kasual. Dengan dana ini, kami akan membangun tim baru, meningkatkan pengalaman digital bagi pelanggan dan proses manufaktur, mengeluarkan lebih banyak kategori produk dan inisiatif marketing, serta menggunakan teknologi baru seperti pengukuran AR untuk membuat pengukuran tubuh 3D pertama di Indonesia. Ke depannya, kami ingin meningkatkan dan memproses pesanan harian sebesar 10x lipat dan memproses lebih dari 5 ribu produk setiap harinya,” jelas Alam.

Sementara itu Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, berkata, “Indonesia memiliki salah satu infrastruktur digital paling kuat di kawasan ini yang memungkinkan perusahaan kecil penjual barang custom seperti Kasual berkembang. Kami ingin melihat seberapa jauh mereka bisa melangkah dan mendukung mereka di sepanjang perjalanan pertumbuhan perusahaan.”

NAMA Beauty Receives 71 Billion Rupiah Funding from AC Ventures, SiCepat and DMMX

D2C startup “NAMA Beauty” received $5 million seed funding or equivalent to 71.1 billion Rupiah. This round was led by AC Ventures, supported by SiCepat Ekspres and DMMX. The company is led by the actress Luna Maya, co-founded by Marcel Lukman since 2019. NAMA Beauty is a D2C brand developer for skin care and beauty products.

“We feel grateful and blessed with the trust and support from AC Ventures, SiCepat, and DMMX, including all partners and teams. This is the right and promising momentum for Indonesia. We believe this synergy can help us to grow together and optimize opportunities and the current momentum,” NAMA Beauty’s CEO, Luna Maya said.

In addition to capital support, SiCepat and DMMX will become distribution partners. It includes utilizing the Sampoerna Retail Community (SRC) network across 20 cities and starting selling products on digital trading platforms. SiCepat will also be the main logistics partner in delivering NAMA products to consumers.

“I’m aware that the beauty industry is one of the most resilient in terms of growth, although it still has its challenges. Through our partnership with SiCepat and DMMX, we will leverage our respective unique strengths to help NAMA Beauty build a high-growth beauty brand and to support the company to reach its full potential,” AC Ventures’ Founding Partner, Pandu Sjahrir said.

D2C startup growth

Based on data from Euromonitor, the potential market for color cosmetics in Indonesia will reach $1 billion by 2023, with a CAGR of 16.9%. Combined with the D2C concept, local brands are expected to be able to optimize this potential.

The D2C or direct-to-consumer model, allows brand owners to reach their market share more efficiently with multi-channels, both offline and online. Technological assistance enables business processes to occur more streamlined, resulting in more efficient production costs to deliver products at affordable prices. In Indonesia, this model has applied in various types of industrial lines, ranging from cosmetics, skin care, fashion, to food.

Currently, a number of local venture capitalists are starting to finalize their hypotheses for D2C startups. The following are list of investors who have started to actively provide funding for D2C players

Venture Capitalist D2C Portfolios
Kinesys Group Saturdays, Dailybox
East Ventures Mohjo, Greenly, Fore
Alpha JWC Ventures Hangry, Kopi Kenangan, Goola, Lemonilo, Mangkokku, Saturdays
AC Ventures Rose All Day, Segari, Fore, KLAR, NAMA Beauty
SALT Ventures SYCA, Hangry, dr soap

NAMA Beauty plans

NAMA Beauty will use the fresh funds for R&D development, marketing and branding, recruiting more talents, and launching new brand lines. By combining Luna Maya’s ability to read the latest beauty trends with a strong R&D team, NAMA Beauty will launch a second brand that targets below market prices, without compromising product quality excellence.

On the other hand, NAMA Beauty’s Co-Founder, Marcel Lukman has more than a decade of experience in the retail world. He is one of the important figures behind Atmos and The 707 Company which is a parent for a number of well-known brands, such as Fred Perry, Nudie Jeans, Superga and Melissa. The two unique backgrounds of the founders are expected to bring the company to the right pace of growth.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

NAMA Beauty Dapat Pendanaan 71 Miliar Rupiah dari AC Ventures, SiCepat, dan DMMX

Startup D2C “NAMA Beauty” memperoleh pendanaan awal (seed funding) senilai $5 juta atau setara 71,1 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin AC Ventures, didukung oleh SiCepat Ekspres dan DMMX. Diketahui, perusahaan tersebut dinakhodai oleh aktris Luna Maya, turut didirikan oleh Marcel Lukman sejak tahun 2019. NAMA Beauty merupakan pengembang merek D2C produk perawatan kulit dan kecantikan.

“Kami merasa bersyukur dan diberkati dengan kepercayaan dan dukungan dari AC Ventures, SiCepat, dan DMMX, termasuk semua mitra dan tim. Ini merupakan momentum yang tepat dan menjanjikan bagi Indonesia. Kami percaya, sinergi ini dapat membantu kami untuk bertumbuh bersama dan memaksimalkan peluang serta momentum yang ada,” ungkap CEO NAMA Beauty Luna Maya.

Selain dukungan kapital, ke depan SiCepat dan DMMX akan menjadi mitra distribusi. Termasuk memanfaatkan jaringan Sampoerna Retail Community (SRC) yang tersebar di 20 kota dan memulai menjual produk di platform perdagangan digital. SiCepat juga akan menjadi mitra logistik utama dalam pengantaran produk NAMA ke konsumen.

“Saya memperhatikan industri kecantikan adalah salah satu industri yang paling tangguh dalam hal pertumbuhan, meskipun tetap memiliki tantangan tersendiri. Melalui kemitraan dengan SiCepat dan DMMX, kami akan memanfaatkan kekuatan unik kami masing-masing untuk membantu NAMA Beauty dalam membangun merek kecantikan dengan pertumbuhan tinggi dan berharap dapat mendukung perusahaan untuk mencapai potensi penuh,” sambut Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir.

Momentum pertumbuhan startup D2C

Menurut data dari Euromonitor, potensi pasar kosmetik warna di Indonesia mencapai $1 miliar pada 2023, dengan CAGR mencapai 16,9%. Dipadukan dengan konsep D2C, diyakini potensi tersebut dapat dimaksimalkan dengan baik oleh brand lokal.

Model D2C atau drect-to-consumer, memungkinkan pemilik brand untuk menjangkau pangsa pasarnya secara lebih efisien dengan multi-saluran, baik offline maupun online. Bantuan teknologi memungkinkan proses bisnis terjadi lebih ringkas, sehingga menghasilkan biaya produksi yang lebih efisien untuk menghadirkan produk dengan harga terjangkau. Di Indonesia, model ini mulai diaplikasikan di berbagai jenis lini industri, mulai dari kosmetik, perawatan kulit, fesyen, sampai dengan makanan.

Saat ini, sejumlah pemodal ventura lokal mulai mematangkan hipotesisnya untuk startup D2C. Berikut ini nama-nama investor yang mulai aktif memberikan pendanaannya untuk pemain D2C:

Pemodal Ventura Portofolio D2C
Kinesys Group Saturdays, Dailybox
East Ventures Mohjo, Greenly, Fore
Alpha JWC Ventures Hangry, Kopi Kenangan, Goola, Lemonilo, Mangkokku, Saturdays
AC Ventures Rose All Day, Segari, Fore, KLAR, NAMA Beauty
SALT Ventures SYCA, Hangry, dr soap

Rencana NAMA Beauty

Disampaikan NAMA Beauty akan memanfaatkan dana segar untuk pengembangan R&D, pemasaran dan branding, merekrut lebih banyak talenta, dan meluncurkan lini merek baru. Dengan mengombinasikan kemampuan Luna Maya untuk membaca tren kecantikan terbaru dengan tim R&D yang kuat, NAMA Beauty akan meluncurkan merek kedua yang menargetkan di bawah harga pasar, namun tanpa mengorbankan keunggulan kualitas produk.

Di sisi lain, Marcel Lukman, Co-Founder of NAMA Beauty memiliki pengalaman lebih dari satu dekade di dunia ritel. Ia adalah salah satu sosok penting di belakang Atmos dan The 707 Company yang memayungi sejumlah merek ternama, seperti Fred Perry, Nudie Jeans, Superga dan Melissa. Diyakini, dua latar belakang unik para pendiri dapat membawa perusahaan ke laju pertumbuhan yang tepat.

Open Labs Bantu UMKM Tingkatkan Bisnis dengan Pendekatan “Brand Aggregator”

Bisnis UMKM seringkali terhalang modal saat ingin mengembangkan bisnisnya lebih jauh, apalagi saat terjun ke ranah online yang sarat dengan inovasi. Di Indonesia, menurut Kementerian Perdagangan, ada lebih dari 64 juta UMKM yang secara kolektif menyumbang sekitar 61% PDB Indonesia.

Dari jumlah UMKM tersebut, 14 juta telah bermigrasi ke platform e-commerce, dan sebanyak 330 juta UMKM diharapkan dapat melakukan transformasi digital di masa depan. Kesempatan yang menarik ini membuat Jeffrey Yuwono yang sebelumnya adalah Co-founder & CEO Sorabel, memutuskan untuk merintis startup brand aggregator Open Labs.

Berbeda dengan brand aggregator lainnya, Open Labs menyiapkan program ketersediaan dana sebesar Rp1,4 triliun ($100 juta) untuk diinvestasikan ke bidang usaha yang berpotensi besar menjadi merek konsumen terkemuka. Diklaim nominal ini terbesar di antara brand aggregator lainnya di Asia Tenggara.

Jeffrey enggan membeberkan lebih detail sumber dana tersebut, hanya mengatakan berasal dari salah satu perusahaan e-commerce unicorn. Tidak disebutkan juga ticket size investasi yang diberikan Open Labs per mitranya. “Kita terima banyak interest dari para investor dan kami sangat berterima kasih atas kepercayaan tersebut,” terangnya dalam konferensi pers virtual, Kamis (28/10).

Di balik kesempatan yang besar ini, sambung Jeffrey, ketika bisnis online dimulai, biasanya pengelolaan operasionalnya cukup sederhana. Namun, seiring dengan pertumbuhan mereka yang semakin besar dalam hal volume dan ruang lingkup, kompleksitas operasional bisnis pun semakin besar.

Selain kebutuhan terhadap modal kerja yang lebih tinggi, para pebisnis online juga menghadapi berbagai tantangan lainnya, seperti bagaimana mendapatkan sumber pasokan produk yang terukur, rentang produk yang tepat, rentang harga yang tepat, strategi merek, bagaimana melakukan pemasaran yang baik secara terprogram, bagaimana melakukan layanan pelanggan secara efisien, serta bagaimana mengelola rantai pasokan yang rumit dengan persyaratan pergudangan, logistik, dan distribusi yang sangat spesifik.

“Banyak pebisnis online –terutama yang merupakan pendiri tunggal– tidak memiliki sumber daya yang cukup dan kewalahan mengatasi tantangan ini.”

Di sini, Jeffrey melihat Open Labs dapat memainkan peran ganda sebagai brand aggregator. Pertama, dengan ketersediaan dana investasi, dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan. Kedua, memiliki keahlian yang tepat untuk mengisi kesenjangan atau masalah-masalah operasional, sekaligus melengkapi keahlian yang dibutuhkan oleh portofolio mitra.

Biasanya pebisnis online yang membutuhkan dana memiliki beberapa pilihan, termasuk meminjam dari bank. Ada kalanya, model bisnis mereka tidak sesuai dengan kriteria yang dicari VC atau PC karena biasanya VC mencari perusahaan startup teknologi dengan model disrupsi untuk mengejar pertumbuhan eksponensial. Sedangkan PE menargetkan perusahaan yang sudah mapan dan matang. Modal pendanaan Open Labs mengatasi batasan-batasan tersebut untuk permodalan dengan menyasar bisnis online.

Kriteria UMKM yang ditetapkan

Open Labs menetapkan sejumlah persyaratan bagi perusahaan yang akan mendapatkan dana, di antaranya: omzet per tahun di atas Rp3 miliar, kinerja bisnis yang terus tumbuh, profit positif, dan menguasai pasar yang digeluti. Adapun model bisnisnya adalah bermitra untuk akuisisi 51%, yang mana Open Labs dan founder menjadi partner; atau mengakuisisi 100%, yang mana founder menjual usahanya untuk dapat fokus pada hal lain.

Sebagai gambaran untuk opsi 51%, untuk posisi dewan komisaris akan diisi oleh founder dan Open Labs, dewan direksi hanya diisi founder, dan tim operasional diisi oleh founder dan Open Labs (jika founder setuju).

“Investasinya bisa berupa primary, secondary atau keduanya. Kalau investasi primary, perusahaan akan menerima uang dan menerbitkan saham baru, sementara kalau secondary, founder akan menerima uang atas saham yang dijual.”

Adapun untuk tahapan proses menjadi mitra, diklaim lebih cepat. Dalam kurun waktu satu minggu, mitra akan mendapat jawaban ya atau tidak dari Open Labs. Sebelumnya, mitra harus menyerahkan data finansial, lalu tim Open Labs akan menghitung valuasi yang membutuhkan waktu satu minggu untuk menjawab ya atau tidak. Berikutnya, proses audit yang memakan waktu selama enam minggu, dan terakhir pada dua minggu kemudian tanda tangan perjanjian dan transfer pembayaran.

Tim operasional Open Labs diisi oleh 60 orang ahli di berbagai aspek operasional dan regulasi bisnis penjualan online, seperti branding dan pemasaran, layanan pelanggan, rantai pasokan, logistik, pengelolaan keuangan hingga kepatuhan terhadap peraturan di bidang pajak dan hukum. Tim ini akan bertambah hingga 150 orang ke depannya.

Rencana berikutnya

Jeffrey menuturkan, dengan ketersediaan dana sebesar $100 juta ini, bukan berarti perusahaan mengejar secara kuantitas untuk jumlah mitra yang ingin digaet. Perusahaan tetap mengutamakan kualitas terhadap dukungan yang diberikan, mengingat tiap usaha memiliki masalah krusial yang perlu dicarikan solusinya. “Kualitas lebih penting karena kami tak hanya fokus ke investasi, tapi juga menumbuhkan bisnis tersebut agar lebih besar.”

Tidak disebutkan ada berapa mitra yang sudah bergabung di Open Labs. Satu di antaranya adalah Emaku, usaha bumbu dapur lokal. Jeffrey mengaku pihaknya lebih ingin mendiversifikasi mitra, ketimbang fokus di satu vertikal saja. Sebab melihat dari sisi yang lebih luas, ia ingin ada value yang bisa diberikan perusahaan. “Kami juga incar usaha yang bergerak di produk kesehatan, home appliance, fesyen, F&B, hingga men skincare,” tutup dia.

Dalam kancah regional, model bisnis seperti Open Labs sudah ada beberapa. Beberapa di antaranya ada Hypefast dan Una Brands. Namun, keduanya mengadopsi model rollup, seperti yang dilakukan oleh Thrasio yang berbasis di Amerika Serikat.

Strategi rollup adalah pendekatan di mana beberapa bisnis di sektor yang sama diakuisisi dan digabungkan menjadi satu entitas. Ada beberapa variasi dalam model ini, misalnya beberapa pengakuisisi mengoperasikan perusahaan target secara relatif terpisah dan yang lain menggabungkan perusahaan yang diakuisisi untuk lebih mewujudkan sinergi biaya dan skala ekonomi.

Base Segera Rambah Kategori Produk Baru Setelah Dapatkan Pendanaan Pra-Seri A

Startup direct-to-consumer (DTC) “Base” akan segera melebarkan sayap ke kategori baru untuk melengkapi kebutuhan skincare dan wellness untuk konsumen, setelah mengantongi pendanaan pra-seri A. Putaran tersebut dipimpin oleh Skystar Capital dengan partisipasi dari East Ventures dan Antler, yang merupakan investor sebelumnya.

Tidak disebutkan nominal yang didapat, sejumlah jajaran investor baru turut berpartisipasi, di antaranya iSeed Southeast Asia, Pegasus Tech Ventures, XA Network, serta angel investor yang tidak disebutkan identitasnya.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & Chief Product Officer Base Ratih Permata Sari mengatakan, perusahaan juga akan menggunakan dana segar tersebut untuk mempercepat upaya pertumbuhan dengan fokus utama untuk mendapatkan lebih banyak konsumen di kota-kota regional Indonesia lainnya.

“Saat ini, kami sedang dalam tahap pemetaan dan eksplorasi lebih lanjut dengan beberapa perusahaan portfolio jaringan investor kami untuk upaya sinergi pertumbuhan Base dalam lingkup supply chain dan juga distribusi,” kata dia.

Base diluncurkan pada Januari 2020 dikenal sebagai brand skincare yang menawarkan personalisasi rekomendasi perawatan kulit dengan teknologi eksklusif, yaitu Smart Skin Test. Base menggunakan berbahan dasar berkualitas, vegan, organik, dan halal, untuk pembersih wajah hingga sunscreen yang dapat digunakan generasi muda sebagai target konsumennya.

Ratih melanjutkan, Base ingin menjadi perusahaan tech-beauty yang relevan untuk generasi muda. Oleh karenanya, perusahaan terus mendengarkan dan memperbarui pengalaman digital dan kualitas produk fisik agar dapat terikat erat dengan konsumen.

“Alur distribusi utama Base adalah melalui jalur pemasaran online dan kondisi pandemi membantu kami mempercepat laju adopsi pembelian produk Base karena semakin banyak jumlah konsumen yang berbelanja melalui handphone mereka,” tambah dia.

Produk Base / Base

Dalam keterangan resmi, Partner dari Skystar Capital Geraldine Oetama mengatakan keinginannya untuk dapat memperluas jangkauan Base di Indonesia. Menurutnya, skincare adalah segmen pasar yang berkembang pesat dan Base telah memecahkan masalah umum dalam menemukan produk yang sesuai dengan beragam jenis kulit, goals, dan gaya hidup.

“Base menggunakan teknologi dan data untuk memberikan skincare personalisasi yang efektif, bebas dari parabens, dan juga vegan. Meningkatnya permintaan akan skincare, ditambah dengan pendekatan teknologi dan personalisasi Base yang unik, membuat kami sangat bersemangat untuk membawa Base ke tahap selanjutnya,” terang Geraldine.

Co-founder & CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta menambahkan, “Kami sangat bersemangat untuk melanjutkan kemitraan jangka panjang dengan partner investor yang sudah bergabung dengan Base sejak tahap awal, dan memulai kemitraan strategis dengan investor baru untuk memperkuat posisi perusahaan dalam mengembangkan industri kecantikan di Indonesia.”

Dalam kesempatan yang sama, Base menyambut Cissylia Stefani-van Leeuwen sebagai Brand Director perusahaan dalam upaya masuk ke fase pertumbuhan selanjutnya. Sebelumnya, ia memegang peran sebagai VP Brand di perusahaan teknologi raksasa lokal seperti Gojek & Tokopedia. Berbekal pemahaman mengenai teknologi serta pengalaman konsumen yang inovatif, Base menciptakan gebrakan segar untuk kategori kecantikan yang ramai.

Potensi bisnis industri kecantikan

Yaumi melanjutkan, selama pandemi pendapatan tahunan Base tumbuh lebih dari 24 kali lipat yang didorong dengan langkah afiliasi komunitas. Konsumen Base telah membantu penjualan melalui komisi dan melakukan langkah co-creation dengan komunitas, seperti meluncurkan beberapa kemasan limited-edition yang dirancang oleh konsumen dan ilustrator muda ternama lokal.

“Berkat hubungan langsung yang kami miliki dengan konsumen kami, Base menjadi ruang aman bagi para konsumen untuk dapat merasa lebih nyaman dengan kulit masing-masing. Kami menjunjung tinggi keberagaman dan menawarkan produk yang fleksibel, terlepas dari jenis gender, seperti sunscreen yang dapat digunakan oleh siapa saja.”

Penelitian Euromonitor menunjukkan bahwa industri kecantikan tetap tangguh menghadapi pandemi dibandingkan dengan industri lain yang terkena dampaknya. Pasar kecantikan di Indonesia diprediksikan akan mencapai $10 miliar pada 2025, utamanya didorong oleh kategori perawatan diri (perawatan rambut, perawatan tubuh) dan skincare, dengan tingkat pertumbuhan tahunan yang pesat sebesar 6%.

Apa yang dipaparkan Euromonitor, tercermin dengan baik di Indonesia. Yaumi turut memantau bahwa selama pandemi ini, semakin banyak brand kecantikan indie lokal yang bermunculan. Ia menilai kondisi tersebut sangat positif karena memperlihatkan bahwa adanya potensi adanya potensi yang sangat besar dan juga antusiasme dari potensial konsumen yang mulai beralih untuk menggunakan produk lokal.

Meski persaingan mulai ketat, kue bisnis kecantikan ini masih begitu besar karena keberagaman profil konsumen yang membutuhkan opsi jenis produk, misalnya dari harga ataupun usia pengguna dari konsumen. “Dalam hal ini, Base merasa bangga dapat turut serta untuk menjadi salah satu pemain lokal yang dapat menggerakkan ekonomi Indonesia melalui industri kecantikan yang berfokus untuk melayani konsumen Gen-Z dan Millennial,” tutupnya.

Hypefast Reportedly Secures Additional Funding, Entering the Centaur List

Hypefast online retail group startup reportedly secures an additional $5.5 million funding (over 78 billion Rupiah). According to DailySocial.id sources, this round was participated by Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, Strive, Amand Ventures, and several others. Those investors previously participated in a $14 million series A round in July 2021.

Through this funding, Hypefast is going strong into the ranks of the next centaur (aspiring unicorn) startup in Indonesia. Centaur is a term for startups that have reached a valuation of over $100 million and under $1 billion. One of these valuations is measured based on the total funding obtained from investors.

Hypefast is yet to officially confirm the two rounds of fresh funding. Until this news was published, the company’s representatives have not responded.

As a retail company, Hypefast’s focus is slightly different. They invest and acquire startups that focus on “digital & e-commerce native brands” with potential to be developed into global brands.

Aside from capital support, Hypefast helps brand owners gain marketing, production and operational support, to use data to help business analysis. Thus, the brand can grow significantly in a short time.

The brand categories Hypefast have acquired come from fashion, beauty, health, and lifestyle – which are produced, marketed, and sold directly to consumers through various online channels, such as each brand’s website, social media, marketplace platform, and Buiboo offline store.

To date, Hypefast has managed more than 20 brands in its network with a total team of more than 150 people in Southeast Asia. Some of these brands are BohoPanna, Letter in Pine, Monomom, Soleram, Sabine and Heem, Nona, Wearstatuquo, Motiviga, Nyonya Nursing Wear, Sideline Label, Nona Rara Batik, and Bonnels.

Hypefast previously targeted to bring local brands to the global market in a more effective and scalable way by the end of 2022. “Currently our focus is on preparing infrastructure and access, therefore, it can be a long-term solution,” said Hypefast’ Founder and CEO, Achmad Alkatiri in an official statement.

New economy startup momentum

According to CBInsights, D2C startup funding performance has decreased globally in 2020. One of the reasons is the pandemic. However, in Indonesia, it is gaining momentum, due to the presence of a massive generation of young entrepreneurs.

Marketing creativity through digital channels, such as social media, allows brand developers to get attention and profit from the local market. The strategies vary, some collaborate to present limited products with well-known influencers, create viral marketing strategies, and others.

Another important factor is the high interest of consumers to shop on online platforms. According to e-Conomy 2020, Indonesia’s e-commerce GMV reached $32 billion, the largest in the region.

In addition, according to a survey conducted by Facebook, there is a tendency for consumers in Indonesia to buy new brand products, which is the highest percentage compared to neighboring countries in Southeast Asia. This makes market competition more dynamic, compared to a customer base that is loyal to only certain products.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Hypefast Dilaporkan Kantongi Pendanaan Tambahan, Masuk ke Jajaran Centaur

Startup grup ritel online Hypefast dilaporkan mengantongi tambahan dana segar sebesar $5,5 juta (lebih dari 78 miliar Rupiah). Menurut sumber DailySocial.id, putaran ini diikuti oleh Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, Strive, Amand Ventures, dan beberapa lainnya. Jajaran investor tersebut sebelumnya berpartisipasi dalam putaran seri A sebesar $14 juta pada Juli 2021.

Dengan pendanaan ini, mengokohkan Hypefast ke dalam jajaran startup centaur (aspiring unicorn) berikutnya di Indonesia. Centaur adalah sebutan untuk startup yang telah mencapai valuasi lebih dari $100 juta dan di bawah $1 miliar. Valuasi ini salah satunya diukur berdasarkan total pendanaan yang didapat dari investor.

Hypefast belum memberikan konfirmasinya secara resmi terkait dua putaran dana segar ini. Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons yang diberikan dari perwakilan perusahaan.

Sebagai perusahaan ritel, fokus Hypefast sedikit berbeda dengan kebanyakan. Mereka berinvestasi dan mengakuisisi startup yang memiliki fokus pada “digital & e-commerce native brands” yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi brand global.

Selain dukungan kapital, Hypefast membantu pemilik merek mendapat dukungan pemasaran, produksi dan operasi, hingga pemanfaatan data untuk membantu analisis bisnis. Dengan demikian, brand dapat tumbuh secara signifikan dalam waktu yang singkat.

Kategori brand yang diakuisisi Hypefast datang dari fesyen, kecantikan, kesehatan, dan gaya hidup -yang diproduksi, dipasarkan, dan dijual langsung ke konsumen melalui berbagai kanal online, seperti website masing-masing brand, media sosial, platform marketplace, dan toko offline Buiboo.

Sejauh ini Hypefast telah mengelola lebih dari 20 brand di dalam jaringannya dengan total tim lebih dari 150 orang di Asia Tenggara. Beberapa brand tersebut adalah BohoPanna, Letter in Pine, Monomom, Soleram, Sabine and Heem, Nona, Wearstatuquo, Motiviga, Nyonya Nursing Wear, Sideline Label, Nona Rara Batik, dan Bonnels

Hypefast sebelumnya menargetkan dapat membawa brand lokal ke pasar global dengan cara yang lebih efektif dan scalable pada akhir 2022 mendatang. “Saat ini fokus kami mempersiapkan infrastruktur dan akses sehingga bisa menjadi solusi jangka panjang,” kata Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri dalam keterangan resmi.

Momentum startup new economy di Indonesia

Menurut data CBInsights, secara global performa pendanaan startup D2C mengalami penurunan di tahun 2020. Salah satunya diakibatkan oleh pandemi. Namun di Indonesia tengah mendapatkan momentum, lantaran kehadiran generasi pengusaha muda yang cukup marak.

Kreativitas pemasaran melalui kanal digital, seperti media sosial, membuat para pengembang brand mendapat perhatian dan meraup untung dari pasar lokal. Strateginya bermacam-macam, ada yang berkolaborasi untuk menghadirkan produk limited bersama influencer ternama, membuat strategi pemasaran viral, dan lain-lain.

Faktor penting lainnya adalah tingginya minat konsumen untuk berbelanja di platform online. Menurut e-Conomy 2020, GMV e-commerce Indonesia mencapai $32 miliar, terbesar di regional.

Di samping itu menurut survei yang dilakukan Facebook, ada kecenderungan konsumen di Indonesia untuk membeli produk keluaran brand baru adalah tertinggi secara persentase dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara. Ini menjadikan kompetisi pasar menjadi lebih dinamis, dibanding dengan basis konsumen yang loyal terhadap produk tertentu saja.

Kinesys Jalin Kerja Sama dengan The-Wolfpack, Fokus Perkuat Ekosistem D2C

Perusahaan modal ventura Kinesys Group menjalin kerja sama strategis dengan The-Wolfpack, yang merupakan fund management berbasis di Singapura. Didirikan oleh Jin Wei Toh dan Simon Nichols, firma investasi tersebut fokus kepada startup D2C.

Kepada DailySocial, Managing Partner Kinesys Group Steven Vanada mengungkapkan, D2C telah menjadi salah satu sektor fokus dari Kinesys Group. Hal tersebut yang turut mendorong kemitraan strategis ini terjalin dengan tujuan menggabungkan kedua jaringan agar dapat membawa nilai tambah ke ekosistem.

Dalam ulasan di laman Linkedin, Co-founder & Managing Partner The-Wolfpack Jin Wei Toh menyebutkan, Kinesys akan membawa fokus high-tech dan keahlian mendalam mereka di pasar Indonesia yang berkembang pesat ke pengalaman operasional perusahaannya dan koneksi di Asia Pasifik.

Sejak 2019 Kinesys telah berinvestasi ke 15 startup dan memiliki rencana menggelontorkan 5 pendanaan lagi sampai akhir tahun 2021. Ada lima sektor utama yang menjadi fokus meliputi D2C, entertainment, lifestyle, travel, dan education. Meski ditujukan untuk startup di kawasan Asia Tenggara, dana yang dikelola akan diprioritaskan untuk startup Indonesia, khususnya yang bergerak di segmen konsumer ritel.

“Di Kinesys kami telah melakukan kesepakatan sebagian besar pada teknologi konsumen dan beberapa B2B. Kami telah berinvestasi di berbagai sektor seperti Zenius, Wahyoo, Dailybox, Sabtu, dan banyak lainnya. Kami masih percaya ada banyak potensi di lifestyle, entertainment, D2C, healthtech, dan solusi yang mempercepat digitalisasi UMKM,” kata Steven

Diinisiasi Yansen Kamto di awal tahun 2019 dengan debut investasi di Wahyoo, Kinesys juga didukung Co-Founder & Managing Partner Northstar Group Patrick Walujo sebagai advisor.

“Memanfaatkan semua insight dari pengalaman yang dimiliki [Patrick], memberikan pandangan holistik tentang kondisi pasar,” kata Steven.

Investasi ke startup D2C

Menjamurnya startup D2C tidak lain karena terbukanya kanal penjualan yang efektif melalui digital. Pengembang merek dari berbagai jenis produk (fesyen, makanan, kosmetik, dll) bisa menjangkau pasar melalui berbagai medium, mulai dari situs pribadi, online marketplace, sampai media sosial (social commerce).

Penerimaan pasar yang besar dibuktikan dengan GMV yang dihasilkan dari layanan online tersebut. Sejauh ini Indonesia menjadi penyumbang nilai terbesar, didukung ekosistem yang semakin matang dan ukuran pasar dari populasi penduduk yang sangat besar.

Fenomena tersebut turut dilihat baik oleh para investor. Jika dalam gelombang sebelumnya investasi mereka banyak memfokuskan pada teknologi yang mendukung kegiatan consumer retail tersebut dalam menjalankan bisnis, kini tidak sedikit investor yang turut berinvestasi langsung kepada para pengembang brand.

Berikut ini beberapa daftar investor yang telah berinvestasi ke startup D2C di Indonesia:

Pemodal Ventura/Investor Portofolio D2C/New Economy
Kinesys Group Saturdays, Dailybox
East Ventures Mohjo, Greenly, Fore
Alpha JWC Ventures Hangry, Kopi Kenangan, Goola, Lemonilo, Mangkokku, Saturdays
AC Ventures Rose All Day, Segari, Fore, KLAR
SALT Ventures SYCA, Hangry, dr soap
Hypefast Boonels, Soleram, Nona, Noore, dll

Pandemi dan peluang startup

Salah satu pemicu inovasi startup dalam waktu satu tahun terakhir adalah pandemi. Meskipun di awalnya sempat mengganggu pertumbuhan bisnis, seiring berjalannya waktu pandemi telah menciptakan layanan dan inovasi baru. Hal ini dilihat baik oleh Kinesys, pandemi dinilai memberikan peluang lebih kepada berbagai jenis bisnis untuk tumbuh.

“Kami telah melihat beberapa portofolio mengalami pertumbuhan yang cepat selama pandemi. Dan kebanyakan proses akuisisi pengguna menjadi lebih teroptimasi, dengan adopsi pada end-user untuk menjelajahi berbagai layanan online, yang menjadi pilihan saat pandemi,” kata Steven.

Ke depannya Kinesys Group melihat kondisi ini menjadi titik balik untuk semua startup. Bagi para entrepreneur yang berniat untuk meluncurkan startup, saat ini menjadi waktu yang paling tepat, dilihat dari makin besarnya jumlah kapital yang masuk ke Indonesia.

East Ventures Pimpin Pendanaan Tahap Awal Startup D2C “mohjo”

East Ventures memimpin pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasiakan untuk startup D2C (direct-to-consumer) asal Singapura, mohjo. iSeed Southeast Asia, K3 Ventures, dan sejumlah angel investor ternama turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. Mohjo akan memanfaatkan dana segar ini untuk membangun kapasitas perusahaan, meluncurkan lebih banyak produk, memperkuat tim, dan meningkatkan penetrasi pasar.

mohjo didirikan pada Januari 2021 oleh Juhi Dang. Startup ini fokus menyajikan produk makanan dan minuman nabati yang 100% bersih. Perusahaan meluncurkan lini produk pertamanya, yaitu susu almond dan minuman berbahan dasar susu almond di Singapura. Produk ini dibuat dengan bahan-bahan berkualitas tinggi dan bebas dari bahan penstabil, pengental, pemanis buatan, dan bahan kimia lainnya.

Dang menjelaskan, sebagian besar produk alternatif susu yang tersedia secara komersial itu rendah nutrisi dan mengandung zat penstabil. Produk tersebut mengandung 95%-98% air, dicampur dengan zat aditif, dan rasanya kurang enak atau tidak berasa sama sekali.

“mohjo dibuat berdasarkan pengalaman saya sebagai konsumen produk alternatif susu. Sejak kecil, saya minum susu segar, tapi ketika saya mengetahui bahwa saya tidak toleran laktosa, saya tidak dapat menemukan susu nabati yang rasanya enak. Ketika saya pindah ke Singapura, saya pikir saya akan menemukan alternatif susu yang enak dan bersih di sini, tapi ternyata tidak. Yang bisa saya temukan hanyalah cairan yang tampak seperti susu tanpa nutrisi atau rasa,” ucapnya, Senin (16/8).

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, seiring dengan pertumbuhan populasi intoleransi laktosa di seluruh dunia, pihaknya melihat peluang besar dari alternatif dari nabati (plant-based alternatives). Pasar ini mendapat momentum dan mengalami peningkatan permintaan karena orang mulai mengevaluasi kembali pola makan mereka.

“Sebagai perusahaan D2C, mohjo didirikan untuk melayani konsumen yang mencari makanan dan minuman yang lebih sehat namun lezat. Kami percaya bahwa mohjo dapat tumbuh dengan membawa inovasi ke pasar,” terangnya.

mohjo adalah digital native brand yang memiliki tim dengan pengalaman yang luas dalam inovasi, branding dan strategy. Dang memiliki latar belakang lebih dari 13 tahun di inovasi produk konsumen langsung. Selain itu, para profesional di bidang branding dan pemasaran digital menduduki kepemimpinan senior perusahaan.

mohjo sedang memperluas dan memperkuat operasi, penjualan dan pemasaran di Singapura. “Kami mencari orang-orang yang bersemangat dan memiliki ambisi serta percaya bahwa kita dapat mengubah planet ini dengan pilihan yang kita buat saat makan. mohjo sedang membangun tempat kerja yang inklusif di mana bisnis dilakukan dengan cara yang benar,” tambahnya.

Alternatif susu memiliki market size secara global senilai sekitar $23 miliar, dan diperkirakan CAGR akan tumbuh sebesar sekitar 12,5% di tahun 2021 hingga 2028. Wilayah Asia Pasifik mendominasi pasar ini dengan market share sebesar 44%, menurut Grand View Research.

Pasar produk alternatif susu sedang booming karena meningkatnya jumlah orang dengan intoleransi laktosa dan flexitarian, kesadaran masyarakat untuk fokus pada pilihan yang lebih sehat, serta perhatian terhadap etika dan lingkungan dalam mengonsumsi produk susu.

Alasan investor tertarik startup D2C

Mohjo menambah jajaran startup D2C yang mengantongi pendanaan dari investor lokal. Dari pantauan DailySocial, modal ventura lokal lain juga mulai mengalokasikan dana untuk startup nondigital. Beberapa di antaranya Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, Teja Ventures, Salt Ventures, dan lain-lain. Startup kecantikan merupakan salah satu vertikal D2C yang kian hari diminati investor.

Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengatakan, ada sejumlah faktor mengapa pelaku startup kecantikan menarik bagi VC. Pertama, brand lokal masa kini menggunakan model D2C untuk membidik segmen digital native.

Kedua, konsumen produk kecantikan cenderung memiliki user stickiness dan repeat purchase yang tinggi. Artinya, bisnis ini dapat mengantongi pertumbuhan bisnis dengan cepat. Tentu bagi VC, masuk ke vertikal ini dapat menjadi sebuah diferensiasi bisnis. Akan tetapi, investasi tetap memerlukan scalibility.

Sementara Senior Investment Analyst Kolibra Capital William Auwines menyoroti perspektif lain. Banyak brand kecantikan lokal mengembangkan strategi marketing yang berbeda untuk membangun brand equity-nya. Selain itu, yang cukup menonjol adalah produk kecantikan terbilang memiliki biaya produksi rendah sehingga keputusan untuk membeli produk menjadi lebih mudah dan nature bisnisnya akan selalu membutuhkan constant repurchasing.

Ia menilai kehadiran e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada menjadi game changer bagi industri ini karena mereka mampu mengantongi consumer purchasing journey. Alhasil, tak hanya pelaku industri kecantikan saja yang meningkat, tetapi juga bisnis pendukungnya, seperti sales, marketing, dan logistik untuk segmen SME. Dari paparan ini, industri kecantikan menjadi vertikal yang menarik bagi VC karena berhasil menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan dalam beberapa tahun terakhir.

“Sebagai VC, biasanya kami mengabaikan perusahaan tradisional, seperti fashion dan retail. Bagi kami, ada banyak perusahaan teknologi baru yang tumbuh eksponensial dengan menjaga biaya tetap rendah, menjangkau pasar lewat pemasaran online, dan meningkatkan layanan logistiknya untuk memperoleh keuntungan. Faktor ini membuat valuasinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan tradisional,” paparnya.