Country Leader AWS Indonesia Bicara Kedaulatan Data Hingga Investasi di Tanah Air

Perkembangan layanan digital tak bisa lepas dari layanan pendukung seperti teknologi cloud. Amazon Web Services (AWS) sebagai salah satu penyedia jasa komputasi awan (cloud computing) di Indonesia kepada DailySocial menjelaskan tentang lanskap bisnis cloud di Indonesia dan tantangan yang mereka hadapi.

Layanan cloud sejatinya sudah populer semenjak bisnis konvensional bergeser ke arah digital. Namun, karena beberapa alasan, adopsi teknologi cloud berjalan lebih lambat di Indonesia. Country Leader AWS Indonesia Gunawan Susanto mengatakan, salah satu sebabnya adalah pemahaman pelaku bisnis mengenai pentingnya teknologi public cloud relatif masih rendah.

Menurut Gunawan, hal itu bisa dilihat dari cara penyedia layanan digital melihat definisi cloud computing itu sendiri. Tak sedikit yang menilai bahwa memakai infrastruktur cloud harus bayar di depan dengan minimal kontrak sekian tahun yang kalau dilanggar dapat terkena penalti.

“Kalau cloud computing by definition harusnya enggak begitu. Seharusnya mereka pakai ya bayar, enggak pakai ya enggak bayar [pay as you go],” ujar Gunawan.

Faktor lain yang menjadi kendala adalah kualitas sumber daya manusia yang belum memenuhi tuntutan pasar. Gunawan memandang rendahnya penyebaran pengetahuan teknologi informasi, khususnya soal cloud, berpengaruh terhadap pemahaman publik akan pentingnya layanan ini.

Investasi AWS untuk ekosistem digital

Menghadapi berbagai macam tantangan tersebut, AWS berinvestasi dalam berbagai bentuk. Sejumlah investasi itu di antaranya adalah program AWS Training Certification sebagai pelatihan digital gratis untuk pekerja IT meliputi machine learning, artificial intelligence, hingga analisis big data; AWS Educate sebagai pelatihan cloud computing di institusi pendidikan; dan AWS Activate sebagai tempat konsultasi bagi engineer startup di Tanah Air.

Gunawan menyebut pelatihan tersebut dibutuhkan guna pemerataan kemampuan SDM terutama mengenai komputasi awan. Kendati begitu, ia mengaku investasi itu belum cukup sehingga butuh komitmen lebih panjang.

“Apakah cukup? Belum, kami mau lebih banyak lagi. Kami juga ikut program Bekraf sebagai pembicara di developer day, memberi materi khusus, bersama ITB membuat training, hackathon, dan kerja sama dengan local partner dan komunitas untuk memperluas skill cloud lebih banyak lagi,” imbuh Gunawan.

Di aspek lain, AWS mempertegas komitmen investasi mereka dalam membangun infrastruktur komputasi awan di Indonesia. Gunawan menjelaskan pihaknya segera memiliki Region di Indonesia yang terdiri dari 3 Availability Zones.

Perlu diketahui sebelumnya, Amazon menjanjikan investasi sebesar $1 miliar atau sekitar Rp14 triliun pada September 2018. Komitmen investasi untuk 10 tahun ke depan itu disampaikan perwakilan Amazon ketika mengunjungi Presiden Joko Widodo.

Data center lokal akhir 2021

Sebagai penyedia layanan komputasi awan, tingkat keamanan jadi salah satu perhatian utama. Gunawan menegaskan bahwa pihaknya banyak berinvestasi membangun sistem agar data yang disimpan oleh pelanggan aman. Rencananya data center di dalam negeri ditargetkan beroperasi pada akhir 2021 atau awal 2022.

Pentingnya data center di dalam negeri ditengarai jadi salah satu faktor sejumlah entitas bisnis ragu untuk berpindah ke layanan public cloud. Dengan berada di dalam negeri, mereka merasa datanya lebih terjamin berkat perlindungan regulasi pemerintah.

“Prinsipnya kami selalu berdialog untuk comply semua peraturan di tiap negara. Jadi kami akan selalu membantu customer kami untuk comply mengenai apa pun regulasi yang berlaku di setiap negara. Toh dengan nanti AWS punya data center di Indonesia, harusnya bisa mempermudah customer–customer terutama di industri yang regulasinya ketat,” tutur Gunawan.

Sebagai informasi, Pemerintah menyiapkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Kabar terakhir menyebutkan revisi PP PSTE sudah ditandatangani presiden. Ada satu pasal yang memperbolehkan penyimpanan data di luar wilayah Indonesia.

Princeton Digital Group Acquired XL Axiata “Data Center” Business

Princeton Digital Group (PDG),  a Singapore-based internet infrastructure developer and operator, has acquired 70% of XL Axiata data center business shares and to develop a joint venture named Princeton Digital Group Data Center

PDG also has an investment commitment of $100 million (more than Rp1.4 trillion) for capital growth.

The joint venture intends to be a data center operator to handle hyperscalers companies, domestic unicorns, corporates, and telco. However, XL Axiata has five data center located in all over Indonesia.

PDG’s Chairman & CEO, Rangu Salgame explained the acquisition is supposed to extend the current data center capacity. There will be one more hyperscale data center by the end of the year, For the company, all series are to tighten the high-quality competition in the global internet infrastructure.

“With the follow-on investment, the joint venture should lead the market in Indonesia and one of the biggest data center operator in Southeast Asia,” Salgame stated in the release.

XL Axiata’s President Director & CEO, Dian Siswarini added, the extensive skills and experiences of PDG will make this new entity the main option for the multinational and big scale digital service providers aiming for operational expansion in Indonesia and Asia.

Data center is the main support behind Indonesia’s digital economy growth, which is predicted to dominate Southeast Asia’s region by 2025. Public cloud service provider such as Alibaba Cloud, Amazone Web Services, and Google Cloud has built some strategic hub in the Indonesian market.

Alibaba already has two data center here. While Google already has cloud region acted similar to the data center. Previously, the government requires the cloud service provider and server to have its own data center, particularly to keep storage with high risks – in case it contains Indonesian user’s identity.

In Southeast Asia, the data center market is predicted to have significant growth, increased by two times in the next four years. In Technavio, this area will grow stable at 14% Compound Annual Growth Rate (CAGR) between 2017 to 2021.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bisnis “Data Center” XL Axiata Diakuisisi Princeton Digital Group

Princeton Digital Group (PDG), pengembang dan operator infrastruktur internet dari Singapura, mengakuisisi 70% saham kepemilikan bisnis data center milik XL Axiata dan mendirikan perusahaan patungan dinamai Princeton Digital Group Data Centers.

PDG juga memberikan komitmen investasi sebesar $100 juta (lebih dari Rp1,4 triliun) untuk pertumbuhan modalnya.

Perusahaan patungan ini, berambisi menjadi operator data center yang melayani perusahaan hyperscalers, unicorn domestik, korporasi, dan perusahaan telekomunikasi. Adapun, XL Axiata memiliki lima data center tersebar di seluruh Indonesia.

Chairman & CEO PDG Rangu Salgame menerangkan, akuisisi ini dimaksudkan untuk memperbesar kapasitas data center yang sudah ada. Bakal ada tambahan satu data center hyperscale baru di akhir tahun ini. Bagi perusahaan, seluruh rangkaian ini bertujuan untuk meningkatkan kompetisi yang mumpuni dalam infrastruktur internet global.

“Dengan investasi lanjutan, perusahaan patungan ini akan menjadi pemimpin pasar di Indonesia dan salah satu operator data center terbesar di Asia Tenggara,” terang Salgame dalam keterangan resmi.

Presiden Direktur dan CEO XL Axiata Dian Siswarini menambahkan, keahlian dan pengalaman yang luas dari PDG menjadikan entitas baru ini sebagai pilihan untuk para penyedia layanan digital berskala besar dan multinasional yang ingin memperluas operasi mereka di Indonesia dan kawasan Asia.

Data center adalah tulang punggung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia, yang diprediksi akan mendominasi Asia Tenggara pada 2025 mendatang. Penyedia layanan public cloud global seperti Alibaba Cloud, Amazon Web Services, dan Google Cloud telah membangun beberapa hub strategis di pasar Indonesia.

Alibaba sendiri sudah memiliki dua data center di sini. Sementara Google miliki cloud region yang akan bertindak mirip dengan data center. Sebelumnya kebijakan pemerintah mewajibkan perusahaan penyedia layanan cloud dan server untuk miliki data center di sini, khususnya untuk menyimpan data-data dengan risiko tinggi — misalnya yang mengandung identitas pengguna di Indonesia.

Di Asia Tenggara, pasar data center diprediksi akan mengalami kemajuan pesat, lebih dari dua kali lipat nilainya dalam empat tahun ke depan. Menurut Technavio, di kawasan ini akan tumbuh stabil pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sekitar 14% selama 2017 sampai 2021.

Cloud Computing for Process Accelerating and Cost Cutting

At the Alibaba Cloud APAC Summit in Singapore last time, there are some Indonesian partners among the participants, such as Tokopedia, MNC, and Adira Finance. Those three have been using Alibaba Cloud services and cloud computing technology. In the Q&A session led by Alibaba representation, they shared insights and notion related to cloud computing.

Accelerating the process and cutting costs

Tokopedia’s Vice President of Engineering, Herman Widjaja said, the cloud computing has been accelerating the services. They currently intensify the Same Day Delivery service, that is said to be 30%-40% faster than usual. The success rate target is to be increased by 80%.

“In collaboration with Alibaba Cloud, we intend to accelerate the process and scale up. In the near future, we should’ve capable of 200 transactions per second,” he added.

To date, Tokopedia has around 90 million active users and more than 5,5 million merchants. As a marketplace with such categories and unique sales, Tokopedia plans to build a smart fulfillment center, supported by the latest technology.

The use of cloud computing is claimed to cut costs for server maintenance and internal technology. It was said by Adira Finance’s IT Deputy Director, Dodi Soewandi. He said, after using the technology, their company can minimize 10-15% spending.

Yet to build a new data center

Dodi Soewandi (Adira Finance) with Leon Chen (Alibaba Cloud) / DailySocial
Dodi Soewandi (Adira Finance) with Leon Chen (Alibaba Cloud) / DailySocial

Alibaba Cloud Indonesia’s General Manager, Leon Chen also participates in the event. Regarding the data center, he said they have no plans to build the third one in Indonesia. They’re still focused on getting more clients for the latest innovation, Alibaba Cloud is to tighten its position in Indonesia.

“We’re very enthusiastic with Indonesian companies spirit and appreciation in adopting our technology. With more requests to come for us to build the new data center, the plan will be discussed further,” he said.

Indonesia is currently the key market for Alibaba Cloud. With the warm welcome from startups to corporates in using the technology, he also mentioned with the various technology, many clients are used to adoption, even wait for the next innovation by Alicloud.

“The latest one for our clients and partners in Indonesia is, 10 Alibaba Cloud’s new features to ensure business acceleration by using our technology,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Alibaba Cloud Dirikan “Data Center” Kedua dan Luncurkan Program Akselerasi di Indonesia

Setelah meresmikan kehadirannya bulan Maret 2018, awal tahun 2019 ini Alibaba Cloud kembali menunjukkan keseriusannya mendukung startup, UKM dan korporasi dengan membangun data center kedua di Indonesia. Alasan utama mengapa pada akhirnya Alibaba Cloud mendirikan data center kedua, karena banyaknya permintaan dari pelanggan. Selain itu, inisiatif ini menjadi upaya Alibaba Cloud untuk menambah kapasitas layanan menjadi dua kali lipat.

Hal tersebut ditegaskan oleh General Manager Alibaba Cloud Indonesia dan Singapura Leon Chen saat memberikan presentasi dalam acara tersebut peresmian hari ini (09/1). Sebagai pasar yang menjanjikan, Indonesia merupakan negara yang menjadi fokus Alibaba Cloud.

“Kami sudah terlibat langsung dengan pasar di Indonesia sejak tiga tahun lalu. Bukan hanya mendirikan data center pertama di Indonesia, komitmen Alibaba Cloud juga ditunjukkan dengan kolaborasi dan dukungan kepada pemerintah Indonesia,” kata Leon.

Disinggung di mana lokasi data center kedua Alibaba Cloud, Leon enggan menyebutkan. Demikian juga dengan berapa investasi yang digelontorkan oleh Alibaba untuk mendirikan data center tersebut. Dalam kesempatan yang sama Alibaba Cloud juga mengumumkan kemitraan strategis dengan PT IndoInternet sebagai distributor produk komputasi awan dan teknologi Alibaba Cloud.

Disaster recovery center

Untuk menjamin data dari pelanggan, didirikannya data center kedua di Indonesia diklaim bisa membantu kebutuhan disaster recovery pelanggan. Dengan demikian jika terjadi kendala atau krisis, pelanggan masih bisa mengakses data tersebut dengan dukungan dari data center kedua tersebut.

“Dalam hal ini perusahaan seperti layanan e-commerce hingga enterprise bisa dengan mudah set up disaster recovery center mereka memanfaatkan teknologi Alibaba Cloud agar bisa membantu mereka melewati krisis jika memang terjadi,” kata Leon.

Nantinya kedua data center tersebut memungkinkan pelanggan untuk melakukan mission-critical workload di berbagai zona dan mengganti zona dalam hitungan detik. Secara keseluruhan Alibaba Cloud telah memiliki sekitar 55 availability zone yang tersebar di 19 wilayah di seluruh dunia.

Terkait dengan makin besarnya minat pelanggan untuk big data dan solusi analisis data, Alibaba Cloud juga telah meluncurkan Machine Learning for AI dan akan menghadirkan Elastic Search bulan Januari ini.

“Didukung dengan tim lokal, Alibaba Cloud siap membantu pelanggan dari berbagai kalangan untuk mulai mengadopsi teknologi cloud ke dalam bisnis mereka,” kata Leon.

Program akselerasi Alibaba Cloud

Leon Chen, General Manager of Singapore and Indonesia, Alibaba Cloud
Leon Chen, General Manager of Singapore and Indonesia, Alibaba Cloud

Setelah sebelumnya melancarkan program inkubasi bernama Alibaba Cloud Certified Professional (ACP), Alibaba Cloud mengumumkan telah memberikan sertifikasi kepada 250 tenaga profesional dan telah melatih lebih dari 300 orang di Indonesia.

Selain terus menjalankan program tersebut, Alibaba Cloud juga mengumumkan program akselerasi bernama “Internet Champion Global Accelerator Program”.

Program akselerasi tersebut pertama kali diluncurkan di Indonesia. Untuk memberikan pelatihan dan mentoring kepada startup, Alibaba Cloud menggandeng partner seperti Plug and Play, Unionspace, Gtech, Indonet, Bluepower dan SIS.

Secara khusus Alibaba Cloud membuka program tersebut di Jakarta dengan memberikan gambaran tentang teknologi e-commerce kepada 300 penggiat startup dan perusahaan menggunakan studi kasus “Double 11 Global Shopping Festival Alibaba Group”. Program ini akan berlanjut di Bali pada tanggal 12 Januari mendatang untuk menghubungkan lebih dari 200 profesional hingga mahasiswa.

Disinggung apa yang membedakan program akselerasi Alibaba Cloud dengan program akselerasi yang sudah hadir sebelumnya di Indonesia, Leon menyebutkan program akselerasi yang diinisiasi oleh Alibaba Cloud mendapatkan dukungan penuh dari ekosistem Alibaba Group.

“Karena bisnis beragam di Alibaba Group, nantinya startup yang menjadi peserta program akselerasi akan mendapatkan akses bertemu dengan investor terkait, brand awareness dan terhubung dengan bisnis yang masuk dalam ekosistem di Alibaba. Kesempatan tersebut tentunya sangat baik untuk dimanfaatkan oleh entrepreneur di Indonesia,” kata Leon.

Neo Cloud dari Biznet Gio Kini Dukung Fitur Multi-Region (UPDATED)

PT Biznet Gio Nusantara (Biznet Gio) meluncurkan fitur multi-region untuk layanan mereka Neo Cloud. Fitur baru ini memungkinkan layanan Neo Cloud beroperasi di atas dua atau lebih pusat data yang dimiliki Biznet Data Center yang saat ini berlokasi di Biznet Technovillage, Cimanggis, Jawa Barat dan Midplaza, Sudirman, Jakarta.

“Hari ini menjadi momentum bagi kami untuk kembali menegaskan komitmen Biznet dalam berinovasi, khususnya pada produk komputasi awan. Fitur terbaru ini hadir untuk memberikan keleluasaan serta membangun kepercayaan pelanggan dan kalangan industri dalam menggunakan layanan Biznet sebagai penyedia infrastruktur dan layanan teknologi terdepan di Indonesia,” terang Presiden Direktur Biznet Adi Kusuma.

Fitur multi-region yang ada di Neo Cloud adalah skema penanggulangan bencana (Disaster Recovery) yang bisa menjadi pilihan penting bagi pelaku industri yang membutuhkan tingkat ketersediaan layanan yang tinggi.  Fitur baru ini akan bekerja dengan mereplikaasi layanan atau aplikasi dalam dua mesin terpisah untuk meminimalkan dampak kerugian yang mungkin terjadi karena adanya kegagalan di salah satu region.

CEO Biznet Gio Cloud Dondy Bappedyanto menyebutkan bahwa hadirnya fitur multi-region pada Neo Cloud bisa menjadi langkah untuk meningkatkan standar penyedia layanan komputasi awan lokal untuk dapat meningkatkan daya saing dan tetap relevan dengan persaingan kelas dunia.

“Multi-region pada Neo Cloud merupakan fitur penting, terutama sebagai penyedia layanan komputasi awan untuk memberikan keamanan dan keandalan kepada pengguna di Indonesia. Saat ini pelanggan kami dapat secara komprehensif merancang kebutuhan infrastruktur di dua region yang berbeda, dan layanan tersebut dipastikan akan selalu tersedia. Hadirnya multi-region pada Neo Cloud turut meningkatkan standar penyedia layanan komputasi awan lokal untuk dapat meningkatkan daya saing, dan tetap relevan dengan persaingan kelas dunia, terlebih lagi karena data center-nya berada di Indonesia,” terang Dondy.

Pihak Biznet lebih jauh menjelaskan bahwa dengan arsitektur komputasi awan yang memiliki fitur multi-region pihaknya akan mampu memberikan dampak signifikan yang mendukung percepatan bisnis perusahaan. Fitur multi-region ini juga memungkinkan layanan yang didukung  Neo Cloud dapat tersedia secara konsisten (read and write access) dengan latensi yang sangat kecil, sesuatu yang membedakan dengan layanan yang tidak memiliki data center di Indonesia.

Sementara itu untuk rencana ke depan Dondy menyebutkan bahwa Biznet Gio Cloud akan terus berusaha memberikan value yang tidak kalah kompetitif dengan pemain luar. Mulai dari rencana instalasi data center ketiga di kuartal pertama 2019, peluncuran layanan Security Managed Service dan platform yang bisa mengakomodasi UKM seperti digital shop dan website-builder.

 

“Ketika sebuah perusahaan menargetkan ceruk pasar nasional, mempertimbangkan untuk memiliki layanan komputasi awan dengan arsitektur multi-region adalah keputusan positif. Demi keberlangsungan bisnis jangka panjang. Neo Cloud pun selalu hadir untuk terus mengiringi dan memberikan pengalaman terbaik menggunakan teknologi komputasi awan terkini. Layanan ini juga didukung oleh fasilitas jaringan broadband Biznet yang besar memberikan kenyamanan masalah latensi dan pelanggan tidak perlu memikirkan biaya soal interkoneksi,” tutup Dondy.

Update : Tambahan informasi mengenai rencana Biznet Gio Cloud ke depan.

Revisi PP PSTE, Kemkominfo Soroti Perlindungan Data

Kominfo menyoroti isu perlindungan data sebagai dasar revisi PP PSTE atau PP No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Isu ini diterjemahkan ke dalam penempatan data center (DC) dan data recovery center (DRC) harus ada di Indonesia.

Aturan lama lebih mementingkan bukti fisiknya harus di Indonesia, padahal sebenarnya yang dinilai lebih penting adalah data-datanya.

“Dalam aturan yang lama itu mengatur fisiknya, padahal yang penting itu datanya. Saat ini kami mensyaratkan datanya bukan hanya fisiknya,” Dirjen Aptika Kemkominfo, Semuel A Pangerapan, seperti dikutip dari Antara.

Kominfo merumuskan kembali aturan tersebut dalam revisi, dengan membuat Klasifikasi Data Elektronik (KDE). Pengaturan dibutuhkan untuk perjelas subjek hukum tata kelola elektronik, meliputi pemilik, pengendali, dan pemroses data elektronik.

KDE ini akan mengatur lokalisasi data berdasarkan pendekatan klasifikasi data. Klasifikasi tersebut dibagi jadi tiga jenis, yakni seperti data strategis, data tinggi, dan rendah.

Data strategis ini wajib di dalam wilayah Indonesia, menggunakan jaringan sistem elektronik Indonesia, dan membuat rekam cadang elektronik dan terhubung ke pusat data tersebut. Ketentuan teknis lebih lanjut akan ditetapkan oleh presiden dan diatur secara terpisah melalui Peraturan Presiden (Perpres).

Data strategis tidak boleh dipertukarkan keluar negeri. Sebab data yang tergolong dalam klasifikasi ini antara lain data mengenai penyelenggaraan negara, keamanan, dan pertahanan.

Data tinggi dan data rendah dalam kondisi tertentu dapat berada di luar Indonesia dengan catatan jika memenuhi persyaratan dari kajian industri. Yang menentukan ini adalah Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor (IIPS) yang bertanggung jawab terhadap sektor tertentu. Misalnya BI dan OJK untuk sektor keuangan.

Revisi PP ini juga akan memuat bahwa data harus terenkripsi, sehingga data tetap aman dari serangan siber.

Tegaskan sanksi

Klasifikasi data ini, sebelumnya tidak hadir dalam aturan lama. Yang mana, menurut Semmy (panggilan Semuel), rentan dengan tindakan tidak patuh oleh para Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).

“Tidak ada klasifikasi data apa saja yang wajib ditempatkan, sehingga tidak ada parameter bagi PSE selaku pelaku usaha. Dengan tidak adanya klasifikasi tersebut, kemungkinan banyak PSE yang akan ditutup atau diblok karena pelanggaran atas kewajiban tersebut.”

Untuk itu, dalam revisi juga diperjelas soal pelanggaran dari sanksi administrasi, denda, sampai pemblokiran kepada PSE sesuai dengan UU ITE pasal 40.

Saat ini revisi PP PSTE disebutkan sudah masuk di Sekretariat Negara untuk proses pengecekan ulang sebelum ditandatangani presiden. Draf sudah dikirimkan sejak 26 Oktober 2018, setelah selesai proses harmonisasi sejak 22 Oktober 2018.

IDPRO Sayangkan Adanya Indikasi Tekanan Luar untuk Revisi PP 82/2012

Indonesia Data Center Provider Organizaton (IDPRO) kembali menyampaikan keberatannya terkait dengan rencana revisi Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Kali ini protes yang dilayangkan dengan dalih pemerintah mendapatkan tekanan dari pihak luar, dalam hal ini Amerika Serikat.

Pernyataan IDPRO tersebut didasarkan pada kalimat yang disampaikan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, bahwa revisi PP 82/2012 salah satunya dikarenakan adanya hasil evaluasi AS mengenai kelayakan Indonesia sebagai penerima Generalized System of Preference (GSP). GSP sendiri adalah kebijakan unilateral AS untuk membantu perekonomian dalam wujud pemotongan bea impor.

Menurut ketua umum IDPRO, Kalamullah Ramli seperti dikutip dalam Indotelko, hal tersebut harusnya menggugah rasa kebangsaan. Cara pemerintah tidak menginspirasi dan tidak menampakkan kepercayaan diri. Data adalah komoditas penting yang harus dilindungi dengan kebijakan. Ramli juga menyinggung harusnya regulasi di Indonesia dapat berdiri tegak layaknya berbagai aturan yang ada di negara lain, seperti di India misalnya.

Mengenai hal ini, kami mencoba meminta konfirmasi humas Kemenkominfo, mereka mengungkapkan bahwa revisi PP 82/2018 tidak ada hubungannya dengan GSP. Pasalnya rencana revisi ini sudah diinisiasi sejak tahun 2016 lalu. Dalam kesempatan lain Menkominfo Rudiantara juga sudah menegaskan, bahwa revisi tersebut murni dilakukan untuk membantu bisnis digital berkembang, tidak ada urusannya dengan negosiasi pihak luar — misalnya rencana AWS ke Indonesia dengan investasi besar.

Sebelumnya kami juga telah meninjau terkait revisi PP 82/2012 ini. Dalam tinjauan tersebut, kami juga menganalisis penggunaan sistem server startup ternama di Indonesia. Sebagian besar memang memanfaatkan layanan dari penyedia asing. Kendati juga ada yang menggunakan layanan lokal.

Menelaah Revisi Aturan Pusat Data di Indonesia

“Kita kan lagi gencar untuk mendorong ekonomi digital melalui startup. Banyak startup juga sedang jalan, sedangkan ada kebijakan yang ada di PP Nomor 82 Tahun 2012 (PP 82/2012) bahwa data center harus di Indonesia. Kalau data center untuk startup semuanya ada di Indonesia juga tidak bisa optimal prosesnya nanti,” ujar Rudiantara usai Rapat Koordinasi Revisi PP Nomor 82 Tahun 2018 di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, di Jakarta, Kamis (27/9) sore.

Menkominfo menganggap ada kebutuhan menggunakan platform cloud asing yang tidak memiliki pusat data di Indonesia. Belum lagi rencana para pemain besar untuk menancapkan kukunya di Indonesia.

Setelah Alibaba Cloud menyasar pasar Indonesia, Google memastikan akan berinvestasi dalam bentuk cloud region. Sementara Amazon Web Services, yang menjanjikan dana masuk sebesar $1 miliar dalam 10 tahun ke depan, tetapi tidak ada rencana membangun pusat data di Indonesia.

Penggunaan pusat data oleh beberapa layanan digital di Indonesia
Penggunaan pusat data oleh beberapa layanan digital di Indonesia

Menggunakan tools yang disediakan Bulitwith.com, terlihat ada kecenderungan sejumlah layanan digital di Indonesia lebih memilih layanan pusat data yang disediakan layanan asing.

Keterangan dedicated server biasanya merujuk kepada pusat data yang dibangun perusahaan secara mandiri atau dari penyedia layanan lokal. Dari gambar di atas, IDN Times dan Traveloka memanfaatkan Cloudflare Hosting, ini merupakan mekanisme proxy untuk menyembunyikan peletakan cloud server mereka dan umumnya digunakan karena perusahaan menggunakan lebih dari satu cloud server. Namun semua mitra integrasi Cloudflare yang ada saat ini rata-rata layanan asing seperti IBM Cloud, AWS, Azure dll.

Kondisi “ideal” berdasarkan PP 82/2012

Beleid yang terdiri dari 90 pasal tersebut secara umum mengatur tentang banyak hal, mengatur ketentuan penyelenggara transaksi elektronik, mekanisme perangkat lunak, perangkat keras, hingga sanksi administratif atas pelanggaran yang terjadi. Dari poin-poin yang ada, pasal 17 ayat 2 memuat hal-hal yang menjadi acuan saat ini. Bunyinya adalah sebagai berikut:

“Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.”

Di bagian penjelasannya disebutkan penyelenggara wajib memperoleh Sertifikasi Kelaikan Sistem Elektronik dari Menteri dan wajib terdaftar di Kemenkominfo. Pusat data (data center) didefinisikan sebagai suatu fasilitas yang digunakan untuk menempatkan sistem elektronik dan komponen terkait untuk keperluan penempatan, penyimpanan, dan pengolahan data.

Sementara pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) didefinisikan sebagai fasilitas yang digunakan untuk memulihkan kembali data atau informasi serta fungsi-fungsi penting sistem elektronik yang terganggu atau rusak akibat bencana yang disebabkan oleh alam atau manusia.

Poin rancangan revisi

Dalam melakukan revisi, Kemenkominfo bersinergi dengan beberapa kementerian lain untuk harmonisasi regulasi. Harapannya aturan baru yang lahir nantinya dapat mengakomodasi dan merangkul kebutuhan sesuai dengan perkembangan yang ada. Dari draf yang pernah disampaikan, ada beberapa hal menarik, salah satunya dipaparkan dalam pasal 1 ayat 27. Pokok pembahasannya tentang klasifikasi data elektronik menjadi 3 bagian, yakni strategis, berisiko tinggi, dan berisiko rendah.

Menurut pemaparan Dirjen Ditjen Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan, penyimpanan data akan diatur berdasarkan klasifikasi tersebut. Masing-masing memiliki sub bagian dan penjelasan. Sebagai contoh data strategis, dibagi menjadi tingkat tinggi, menengah, dan rendah. Hanya data strategis tingkat tinggi yang pusat datanya wajib berada di Indonesia.

Di kesempatan yang sama, Samuel memberikan penjelasan tentang klasifikasi data. Data strategis adalah data sensitif yang disimpan dan dikelola pemerintah, contohnya data intelijen, data ketahanan pangan, dan lain-lain. Data strategis tingkat tinggi bahkan aksesnya tidak melalui internet, namun jalur intranet yang terbatas. Sementara data strategis tingkat menengah boleh tersambung internet dengan dalih perlu diketahui publik. Sementara yang rendah boleh diletakkan di mana saja demi keterbukaan informasi.

Data risiko tinggi didefinisikan sebagai data sensitif berkaitan dengan pengguna. Untuk peletakan pusat data tidak wajib di Indonesia, namun pemerintah harus mendapatkan jalur akses untuk keperluan tertentu. Kewajiban bagi penyedia hanya menambahkan poin akses (misalnya berbentuk Cloud Delivery Network) di Indonesia, sehingga tidak perlu meminta otorisasi pemerintahan negara lain untuk akses data.

Data berisiko rendah cenderung berisi data dengan tingkat sensitivitas rendah, sehingga dapat dikelola di mana saja secara lebih bebas.

Kualifikasi Data PP 82/2012
Klasifikasi data sesuai revisi PP 82/2012

Selain berkaitan dengan data, revisi juga mengatur beberapa hal lain. Dalam pasal 5 tentang penyelenggara sistem elektronik, revisi menegaskan bahwa setiap penyelenggara wajib melakukan pendaftaran. Ini dapat diinterpretasikan penyedia layanan pusat data wajib terdaftar atau memiliki badan usaha legal.

Tanggapan industri

Chairman Asosiasi Cloud dan Hosting Indonesia (ACHI) Rendy Maulana berpendapat, “Awalnya kami sempat nyaris sepakat dengan usulan tersebut dengan catatan pemerintah bisa mengklasifikasikan data. Namun setelah kami berdiskusi ulang dengan anggota asosiasi dan beberapa rekan penegak hukum, hal ini tidak baik jika kami setujui.”

Menurutnya, data adalah “tambang emas” di era digital seperti sekarang. Berbekal data, berbagai tindakan bisa dilakukan, bahkan di ranah penegakan hukum. Pengelolaan data yang kurang terkontrol dapat memberikan ancaman untuk kedaulatan, terutama ancaman dari luar.

“Misalnya data pembelanjaan, itu bisa dimanfaatkan orang lain. Sebagai contoh data yang diambil dari marketplace, berbekal data tersebut pemain asing bisa meniru produk UKM kita dan membuat produk mirip dan whitelabel, lalu menjual harga yang lebih murah. Bisa menghancurkan perkembangan UKM.”

“Data browsing kita (log/timestamp) pun juga bisa berpengaruh banyak jika polisi ingin menemukan siapa pelaku kejahatan cyber, atau terjadi kasus bunuh diri, atau pembunuhan atau pencurian. Di tingkat lanjut, log pengguna layanan seperti Google bisa merekam aktivitas sehari-hari.” terang Rendy.

Menurut pemaparan ACHI, pada intinya data adalah sesuatu yang sangat sensitif. Perlu ada pengelolaan yang sangat ketat. Kelonggaran regulasi berkaitan dengan data bisa dimanipulasi dan dimanfaatkan untuk sesuatu yang akan merugikan kita sendiri.

ACHI merupakan organisasi nirlaba yang memiliki visi mengembangkan industri cloud dan hosting di Indonesia. Anggota dari ACHI merupakan perusahaan pelaku industri cloud dan hosting di Indonesia, serta organisasi terkait partisipan industri. Beberapa anggotanya termasuk Qwords, Rumahweb, BiznetGio, CBNCloud, Jogjacamp, Infinys dan Masterweb.

Negara lain makin ketat meregulasi data

Pernyataan tidak setuju juga dilayangkan Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO). Dalam rilis resminya, IDPRO mewanti-wanti pemerintah agar kedaulatan data nasional dipegang penuh oleh otoritas setempat. Organisasi juga memberikan contoh studi kasus, bagaimana negara lain memberikan aturan ketat berkaitan dengan data.

“Di bulan September 2017, Facebook dikenakan Denda oleh Pemerintah Spanyol melalui AEPD (Agencia Espanola de Proteccion de Datos/Spanish Data Protection Agency) sebesar USD$1.44 juta atas pelanggaran memanfaatkan data informasi personal dari pengguna Facebook di Spanyol untuk keperluan advertising. AEPD mendapati Facebook mengumpulkan data detail tentang gender, agama, kegemaran individu, hingga data situs halaman yang di-browsing oleh jutaan pengguna Spanyol tanpa seizin pemilik data-data tersebut. Selain Spanyol, Hongkong pun menerapkan kebijakan yang ketat dalam hal data warganya melalui aturan Personal Data Privacy Ordinance.”

Untuk kebijakan penempatan pusat data di dalam negeri bagi layanan publik atau layanan yang menyimpan data strategis, Indonesia tidak sendirian. Berdasarkan laporan Oxford University, Rusia dan Tiongkok telah menerapkan kebijakan serupa. Brazil berencana menerapkan kebijakan yang mirip. Jerman juga memiliki Privacy Laws yang sangat ketat dan rigid, menyebabkan Microsoft pada bulan November 2105 memutuskan menempatkan pusat data layanan cloud mereka di Jerman.

CEO Biznet Gio Dondy Bappedyanto berpendapat, sebelum laporan ini disahkan ada beberapa pertanyaan mendasar yang masih belum terjawab. Pertama, apakah PP 82/2012 yang sebelumnya ada sudah pernah dijalankan 100%? Sejauh ini ia melihat belum ada enforcement untuk penegakan regulasi tersebut. Kini revisi akan menjadi lebih kompleks, mekanisme pelaksanaannya belum dipaparkan oleh pihak regulator.

Kemudian pertanyaan kedua Dondy berkaitan dengan klasifikasi data. Bagaimana kita menilai data tersebut menjadi data personal, mekanismenya seperti apa, yang melakukan audit siapa? Tanpa prosedur teknis yang jelas dan terukur, dinilai akan banyak melahirkan celah yang dapat dimanfaatkan pihak berkepentingan. Memang, untuk menilai klasifikasi data harus ada standardisasi ketat, mengingat jenis data berevolusi cepat.

Dondy menekankan, efektivitas juga harus diukur dari beberapa aspek, misalnya kecepatan internet dan bandwidth.

“Semua yang ada di internet itu kan data. Video misalnya, kalau dinilai itu data yang strategis atau enggak, menurut saya pasti enggak ya karena hiburan. Video adalah kontan yang memakan bandwidth paling banyak, kalau video yang diproduksi dari sini ditaruh di luar, ya jangan harap internet bisa murah dan cepat. Kalau semua konten ada di luar, belum pasti penyedia layanan mau exchange bandwidth ke sini,” terang Dondy.

Revisi untuk mendukung industri

Ditemui di sela-sela IMF-WB Annual Meeting di Bali, Menkominfo memberikan penjelasan lain tentang rencana revisi PP 82/2012. Salah satunya untuk memberikan fleksibilitas startup digital lokal untuk berkembang. Menurutnya jika semua data diwajibkan diletakkan di dalam negeri, akan sulit jika nantinya ada kebutuhan untuk ekspansi atau sejenisnya.

Di kesempatan yang sama Rudiantara juga menegaskan, revisi aturan ini tidak ada hubungannya dengan dinamika industri komputasi awan, misalnya terkait rencana kehadiran pemain asing di Indonesia. Murni sebagai perbaikan berlandaskan kondisi dan kebutuhan yang ada.

Be realistic saja, sekarang berapa banyak startup lokal yang sudah melayani pasar regional. Coba sebutkan, baru GO-JEK dan Traveloka saja kan yang masif,” ujar Dondy menanggapi pernyataan Menkominfo tersebut.

Rendy menambahkan, saat ini sudah ada banyak sekali pusat data lokal. Untuk yang kelas publik dan carrier neutral, sudah ada di lebih dari 50 lokasi. Sedangkan untuk yang kelas privat, jumlahnya sudah ratusan dan lokasinya tersebar di banyak tempat.

“Publik ini maksudnya lokasi peletakan data center, semisal di Cyber, Duren Tiga, Cibitung, Bogor, dll. Sementara yang private lebih banyak lagi. Misalnya Qwords memiliki private data center di Gedung Cyber, begitu pula dengan Telkom memiliki di gedungnya sendiri. Tersebar mulai dari yang Tier 1 sampai Tier 4. Tidak hanya di Jabodetabek, bahkan ada di Papua dan Ternate. Lembaga pemerintah sendiri juga banyak bangun data center,” jelas Rendy.

Rendy dan Dondy secara percaya diri mengisyaratkan bahwa pemain lokal dengan pusat datanya di sini sudah sangat siap memfasilitasi kebutuhan startup digital lokal.

Microsoft Umumkan Pengembangan Teknologi Game Streaming Project xCloud

Sejak tersedianya internet, para console maker berupaya mengintegrasikan akses ke platform mereka demi menyajikan multiplayer online. Sega melakukannya di tahun 1990 lewat Meganet untuk Mega Drive, lalu Sony memperkenalkan mode online di PlayStation 2 pada tahun 2000. Dan belakangan, internet kembali merombak cara konsumen menikmati video game.

Setelah dicetus OnLive beberapa tahun silam, layanan cloud gaming mulai bermunculan. Beberapa nama populer yang sering kita dengar antara lain adalah PlayStation Now dan GeForce Now, lalu di Indonesia, kita bisa menemukan Skyegrid serta Emago. Selanjutnya, raksasa internet Google diketahui tengah menguji Project Stream, dan kali ini, Microsoft mengabarkan penggarapan platform gaming on demand yang mereka namai Project xCloud.

Premis Project xCloud hampir sama seperti layanan game stream lain, yakni mempersilakan kita bermain tanpa dibatasi perangkat yang dimiliki, memungkinkan pengguna menikmati konten dari mana saja. Menariknya, Microsoft tidak bermaksud menciptakan xCloud untuk menggantikan perangkat gaming konvensional seperti PC atau console, melainkan menyiapkannya sebagai alternatif mengakses permainan.

Karena Microsoft sendiri merupakan penyedia platform gaming terbesar di Bumi (mereka punya Xbox dan mayoritas gamer PC bermain di Windows), sang produsen memiliki basis yang kuat dalam membangun layanan on demand. Ketika Project xCloud tersedia nanti, ia rencananya akan dibekali lebih dari 3.000 permainan Xbox One. Microsoft juga berjanji untuk memudahkan developer menyajikan kreasi mereka di sana.

Modal krusial lain yang Microsoft miliki adalah data center Azure. Data center ini tersebar di 54 lokasi di dunia dengan layanan mencakup 140 negara. Berbekal hal tersebut, perusahaan merasa percaya diri mampu mengatasi tantangan kompleks yang menghadang dalam penyediaan layanan game streaming.

Melalui Project xCloud, Microsoft berkeinginan untuk menghidangkan pengalaman gaming berkualitas secara konsisten, terlepas dari perangkat yang konsumen gunakan. Buat melakukannya, Microsoft membangun hardware khusus di data center mereka agar sistemnya kompatibel baik ke permainan Xbox yang ada sekarang serta judul-judul yang akan dirilis di masa depan.

Proses pengujian Project xCloud tengah Microsoft lakukan. Tes dilakukan lewat perangkat berbeda seperti smartphone dan tablet yang dipasangkan ke controller Xbox via Bluetooth. Sebagai alternatifnya, game tetap dapat dikendalikan lewat layar sentuh. Microsoft sadar bahwa agar permainan tersaji intuitif, beberapa input harus diposisikan secara pas, baik pada tombol tertentu atau stik. Untuk itu, produsen mengembangkan overlay input yang mampu membaca sentuhan secara responsif – jika gamer bermain tanpa controller.

Rencananya, Microsoft akan memperkenankan publik berpartisipasi dalam sesi uji coba Project xCloud di tahun depan.