Setelah Vietnam, Beacon Fund Luncurkan “Gender Lens Investing” di Indonesia

Dalam sebuah riset yang dilakukan Investing in Women tahun 2021 lalu, Gender Lens Investing (GLI) di Asia Tenggara, khususnya negara seperti Vietnam, Filipina, dan Indonesia, mampu memberikan efek positif dan berkelanjutan. Tidak hanya ke pengusaha perempuan itu sendiri, tetapi kontribusi yang cukup besar untuk negara.

Sejumlah investor mulai menerapkan praktik GLI, namun sebagian besar investor lokal tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai investor GLI.

GLI disebutkan memiliki dampak yang positif pada kehidupan perempuan dan anak perempuan, membantu mengurangi ketidaksetaraan gender, dan memperluas akses pembiayaan kepada pengusaha perempuan yang sampai saat ini masih kurang dilirik oleh para investor. Dengan mendanai bisnis yang dipimpin perempuan, investor dapat mengatasi ketidaksetaraan gender sekaligus mendapatkan keuntungan.

Melihat peluang tersebut, Beacon Fund yang didukung Patamar capital, meluncurkan impact fund yang fokus ke GLI di Asia Tenggara. Dimulai di Vietnam, Beacon Fund mulai serius menjajaki peluang investasi di kalangan pengusaha UMKM perempuan Indonesia. Beacon Fund dipimpin oleh CEO Shuyin Tang yang juga merupakan Partner Patamar Capital.

Saat ini, selain Beacon Fund, investor lokal yang juga fokus ke pendanaan GLI adalah Teja Ventures.

Kategori perusahaan GLI

Berbicara tentang GLI mengundang cara pandang Beacon Fund tentang seperti apa perusahaan yang ingin menjadi portofolionya. Kepada DailySocial, Manager Investment Relations Beacon Fund Rong Hui Kan menyebutkan, jika perusahaan tersebut memang dimiliki perempuan hal ini menjadi ideal. Namun dari sisi kategori bisnis yang disasar, menurutnya tidak harus perusahaan yang menyediakan layanan khusus untuk perempuan.

Kategori seperti edukasi dan agrikultur menjadi perhatian khusus bagi Beacon Fund. Secara khusus mereka memosisikan diri sebagai private credit fund yang menerapkan untuk mendukung usaha kecil dan berkembang di Asia Tenggara.

“Relasi kami dengan Patamar Capital yang selama ini fokus berinvestasi ke startup yang ingin menuju ke status unicorn telah memberikan akses kepada jaringan yang luas, masukan, hingga nasihat yang relevan kepada para pengusaha,” kata Rong Hui.

Berbeda dengan VC yang menggunakan skema pendanaan berbasis ekuitas,  Beacon Fund memberikan pendanaan dalam bentuk pinjaman. Pengusaha perempuan atau bisnis yang memiliki latar belakang layanan untuk perempuan dan telah memiliki cashflow positif memiliki kesempatan mendapatkan pinjaman dari perusahaan.

Beacon Fund telah mengalokasikan dana mulai dari $500 ribu hingga $2 juta ke bisnis yang sesuai. Perusahaan tidak memiliki kuota atau target bisnis UMKM tertentu dan memiliki target membangun pendanaan hingga $100 juta untuk GLI.

“Berbeda dengan VC pada umumnya, kami bukan closed end fund. Pada akhirnya kami ingin hubungan yang telah terjalin bisa terus berlanjut. Ketika bisnis yang kami investasikan telah membayar pinjaman, selanjutnya uang tersebut akan kami investasikan kembali kepada bisnis UMKM lainnya,” kata Rong Hui.

Debt fund

Besarnya potensi berinvestasi ke pelaku UMKM yang saat ini terbilang masih underserved menjadi peluang yang dijajaki Beacon Fund. Saat ini masih banyak bisnis UMKM yang kesulitan mendapatkan investasi dari institusi finansial mikro.

Sementara mereka, di skala yang lebih besar, yang ingin mendapatkan tambahan modal melalui perbankan atau instusi keuangan lainnya, biasanya kesulitan mendapatkan pinjaman karena diperlukan jaminan dan persyaratan yang ketat. Untuk menjembatani kesenjangan tersebut, skema debt fund Beacon Fund menjadi solusi ideal.

Pengusaha perempuan menjadi sektor ideal untuk pasar Vietnam dan Indonesia. Besarnya kontribusi pengusaha perempuan di kalangan UMKM memberikan kontribusi signifikan bagi negara. Mengacu ke laporan Investing in Women, Indonesia, Filipina, dan Vietnam menyumbang 80% dari volume kesepakatan GLI di wilayah Asia Tenggara; 85% dari kesepakatan ini berasal dari investor privat dengan skema impact.

“Ada berbagai macam bentuk debt funding, mulai dari lending secara langsung dan lainnya. Interest rate tentunya akan bergantung kepada financial impact metrics,” kata Rong Hui.

Menurut Rong Hui, perbedaan yang cukup signifikan antara VC konvensional dan Beacon Fund menjadi pembeda yang menarik. Fokus Beacon fund adalah perusahaan dengan pertumbuhan moderat, telah profitable, dan memiliki cashflow yang positif.

Untuk memperkuat dana kelolaan mereka, Beacon Fund telah mendapatkan dukungan dari Visa Foundation.

Bisnis yang telah didukung Beacon Fund adalah adalah dua perusahaan Vietnam, yaitu Mind (sebuah perusahaan pendidikan berbasis STEM) dan Hoa Nang Organic (perusahaan pertanian yang menanam beras organik).

“Saat ini kita belum melakukan pencarian dan masih menempatkan posisi serta awareness di pasar Indonesia. Kami memiliki website bagi mereka yang ingin mengirimkan proposal dan mereka bisa apply ke kami kapan saja,” kata Rong Hui.

ALAMI Raih Dukungan “Loan Channeling” 431 Miliar Rupiah dari Lendable [UPDATED]

Startup p2p lending syariah ALAMI mengumumkan dukungan loan channeling alias fasilitas pembiayaan dari Lendable, institusi penyedia pinjaman untuk negara berkembang asal Inggris. Lendable akan menyediakan plafon pinjaman hingga $30 juta (lebih dari 431 miliar Rupiah) sebagai fasilitas jaminan senior di bawah akad Wakalah bil Istithmar.

Kesepakatan ini akan memperkuat posisi ALAMI sebagai platform fintech yang menyediakan pembiayaan produktif berbasis syariah untuk UMKM. Diklaim, fasilitas dari Lendable ini menjadikan ALAMI sebagai startup fintech syariah pertama di Indonesia. Dalam portofolio Lendable, sebelumnya sudah menyalurkan pinjaman untuk KoinWorks dan Amartha.

Dalam keterangan resmi, Co-Founder & CEO ALAMI Group Dima Djani mengatakan, fasilitas ini akan disalurkan ke proyek-proyek UMKM di Indonesia melalui platform ALAMI, sehingga dapat berkontribusi secara signifikan dalam mengisi kesenjangan pembiayaan produktif.

“Saat ini, ada kebutuhan pembiayaan dari UKM sekitar $165 miliar, namun baru $57 miliar yang terpenuhi, menyisakan celah yang cukup besar untuk diisi. Dengan fasilitas ini kami bertujuan untuk merangsang dan merevitalisasi sektor UKM, sebagai tulang punggung perekonomian nasional kita,” kata Dima.

Mengutip dari berbagai riset, dikatakan bahwa potensi industri halal sangat menjanjikan. Pada 2019, nilainya diperkirakan mencapai $2,2 triliun, termasuk sektor kuliner, farmasi, kosmetik, fesyen, dan pariwisata. Industri ini diproyeksikan meningkat menjadi $3 triliun pada 2023.

Selain itu, peringkat global Indonesia terus membaik, mencapai posisi ke-4 yang diukur oleh Global Islamic Economy Indicator (GIEI), setelah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.

Industri halal Indonesia merupakan peluang yang semakin menarik bagi investor internasional karena meningkatnya kesadaran para pemain ekosistemnya termasuk menyediakan pembiayaan untuk mendukung modal kerja dan belanja modal untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.

Pembiayaan untuk mendukung kebutuhan modal kerja dan belanja modal para inovator fintech seperti ALAMI membantu memenuhi permintaan yang terus meningkat akan solusi berbasis syariah yang berdampak.

Dia menilai, Lendable memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan perusahaan, yaitu membantu UKM memiliki akses pembiayaan dan fokus pada dampak sosial. Ia pun optimistis untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dan mempercepat pertumbuhan kinerja ALAMI tahun ini.

Chief Investment Officer Lendable Hani Ibrahim menambahkan, “Kami bangga telah menyelesaikan fasilitas pertama kami yang sesuai dengan syariah dan merasa terhormat telah bekerja dengan tim ALAMI pada pencapaian ini. Fasilitas Lendable akan memberi ALAMI skala dan kapasitas untuk tumbuh dengan cepat dan berkelanjutan melalui kerja yang inovatif dan didukung teknologi. Solusi modal untuk sejumlah besar penerima manfaat yang kurang terlayani dan berdampak besar di seluruh Indonesia.”

ALAMI menargetkan setidaknya dua kali lipat volume pencairannya dari Rp 2,1 triliun, dan meningkatkan jumlah proyek UKM yang didanai, yang saat ini mencapai lebih dari 8.500 proyek. Adapun, per Maret 2022, perusahaan mencatatkan akumulasi penyaluran pinjaman sebesar Rp2,19 triliun. Angka tersebut melonjak dari September 2021 sebesar Rp1 triliun.

Penyaluran pembiayaan terbesar disokong oleh sektor telekomunikasi sebesar 18,2% dari total penyaluran, diikuti oleh kuliner 14,6%, dan energi 13,2%. Sementara, untuk pendana (lender) ALAMI tumbuh sebesar 370% secara tahunan (year on year) dan jumlah pengguna aplikasi ALAMI mencapai lebih dari 83 ribu tersebar di seluruh Indonesia.

Kinerja positif ini masih tetap diikuti dengan kualitas pembiayaan yang baik, dengan TKB90 berada di level 100%, atau jika dianalogikan pada perbankan syariah dikenal dengan Non-Performing Financing (“NPF”) berada di level 0%.

Pendanaan debt di Indonesia

Lendable sebelumnya menjadi lender institusi di Amartha menggelontorkan fasilitas pinjaman sebesar $50 juta, sementara di KoinWorks sebesar $40 juta, yang terbagi menjadi dua tahap. Selain Lendable, ada beberapa lembaga lainnya yang juga memberikan dana serupa bagi fintech lending di Indonesia, misalnya Accial Capital untuk Pintek, Awan Tunai, dan Investree. Selain itu ada GMO Payament Gateway (Investree), Partners for Growth (Kredivo), dll.

Sebenarnya ada dua skema yang banyak diaplikasikan untuk menyalurkan dana dari institusi, yakni loan channeling dan venture debt. Skema pertama memang ditujukan bagi institusi seperti perbankan untuk menyalurkan dana kreditnya kepada UMKM melalui fintech lending. Banyak perbankan lokal yang mulai mengumumkan masuk ke ekosistem fintech lewat kerja sama ini. Terbaru ada BCA yang salurkan dana lewat iGrow.

Sementara venture debt/pendanaan debt sebenarnya sifatnya lebih strategis seperti untuk membiayai operasional dan growth – umumnya masuk berbarengan dengan pendanaan ekuitas dari pemodal ventura. Tapi tidak sedikit yang menggunakan dana yang diberikan untuk kembali disalurkan.

Selain yang sudah disebutkan, fintech lain yang sudah menerima pendanaan debt adalah Digiasia, Kredivo, Modalku, UangTeman, Akseleran, dan Modal Rakyat.

Application Information Will Show Up Here

Startup Unicorn Akulaku Terus Perluas Cakupan Bisnis Finansial

Akulaku mengumumkan pendanaan $10 juta atau setara 143 miliar Rupiah dari Lend East. Investasi berbentuk debt funding tersebut akan dimanfaatkan Akulaku untuk meningkatkan portofolio kredit di pasar utama mereka, yakni Indonesia, Filipina, dan Thailand. Seperti diketahui, sejak didirikan tahun 2014 aplikasi Akulaku sendiri menawarkan produk paylater dan cashloan untuk para konsumennya.

Sebelumnya Akulaku baru menerima pendanaan ekuitas senilai  $100 juta atau lebih dari Rp1,4 triliun dari Siam Commercial Bank (SCB). Perolehan ini melanjutkan putaran investasi $125 juta di tahun sebelumnya yang dipimpin Silverhorn Group, yang sekaligus menjadi mitra pembiayaan (financing partner) sejak 2018. Secara total, saat ini valuasi Akulaku sudah menembus $1 miliar dan menjadikannya sebagai startup unicorn selanjutnya.

“Sejak tahun lalu Akulaku terus mengalami pertumbuhan dan dengan adanya pendanaan tambahan ini akan memungkinkan kami untuk terus memenuhi kebutuhan underbanked di seluruh Asia Tenggara,” ujar CEO Akulaku William Li.

Terus lakukan diversifikasi bisnis finansial

Pada 2021, Akulaku telah menyalurkan kredit lebih dari $ 2,2 miliar kepada lebih dari 10 juta pengguna. Selain layanan paylater, Akulaku menggabungkan platform wealth management, e-commerce, dan perbankan digital sehingga dapat meningkatkan total pendapatan perusahaan sebesar 120% menjadi $598 juta.

Untuk layanan bank digital, Akulaku memilih mengakuisisi 24,98% saham Bank Neo Commerce (mayoritas). Sejumlah rencana turut digencarkan dari kolaborasi tersebut, salah satunya lewat loan origination system, yakni sistem untuk memproses persetujuan kredit, khususnya untuk direct loan/online financing.

Selain itu, Akulaku juga mengembangkan serangkaian teknologi untuk meningkatkan kapabilitas perbankan memasuki era digital, beberapa produk yang disuguhkan di antaranya e-KYC, sistem verifikasi, sampai ke layanan pembayaran QR.

Sementara untuk layanan pinjaman, merekan mengandalkan platform fintech lending Asetku. Hingga saat ini total pinjaman yang sudah digulirkan mencapai 42 triliun Rupiah dengan total peminjam 13 ribu nasabah. Dan di platform wealth management, mereka mengembangkan OneAset, yakni aplikasi keuangan yang bisa dimanfaatkan pengguna untuk mengelola aset finansialnya, termasuk untuk berinvestasi ke reksa dana, surat berharga, hingga emas.

Kompetisi pasar

Di Indonesia, seluruh lini bisnis Akulaku harus bersaing dengan para pemain lain. Misalnya untuk payalter, saat ini ada Kredivo, Atome, hingga GopayLater yang menjadi penantang. Masing-masing juga memiliki dukungan besar dari induknya – termasuk untuk potensi menguasai pasar Asia Tenggara, seperti FinAccel, Advance Intelligence Group, dan GoTo.

Sementara di bank digital pun, saat ini persaingan juga terus diramaikan dengan inovasi produk dari pemain di ekosistem. Ada puluhan bank digital yang sudah mengudara dan siap meluncurkan debutnya. Dan untuk wealth management, puluhan aplikasi sejenis juga sudah dijajakan untuk investor ritel di Indonesia.

Terlepas dari diversifikasi produk finansial yang coba disuguhkan, pemain seperti Akulaku sebenarnya memiliki keunggulan strategis yang dapat dieksplorasi, yakni konektivitas di ekosistem digital yang dimiliki. Nyatanya pemain lain banyak bersinergi dengan pihak ketiga untuk menghadirkan kapabilitas tertentu – ambil contoh Bank Jago dengan Bibit/Stockbit untuk fitur investasi—yang mana hal ini bisa juga dilakukan oleh Neo Commerce dan OneAset; atau diaplikasikan untuk skenario model bisnis lain.

Application Information Will Show Up Here

AwanTunai Scores Series A3 Funding in the Form of Equity and Debt

AwanTunai fintech lending service has received another funding. Based on the data submitted to the regulator, the value is around $8.5 million or equivalent to 121.5 billion Rupiah. Several investors participated, including International Finance Corporation (IFC), Global Brain, Insignia Ventures, OCBC NISP Ventures, and others.

DailySocial.id confirmed with AwanTunai’s Co-Founder & CEO Dino Setiawan about the new funding, which was part of the Series A3. He also explained that the investment consisted of two types, equity funding and loan (debt facilities). The above value is equity funding, while the debt facility is yet to be disclosed.

In this round, IFC became the largest contributor around 50% of the total value of equity funding. The participation of a financial institution under the World Bank in AwanTunai’s funding round adds to the list of its portfolio in Indonesia. Previously, IFC also invested in PasarPolis, ASSA, and eFishery. Part of its mission is to seek impactful investment projects, such as to increase financial inclusion and digitalization in the real sector.

AwanTunai announced a series A2 funding of $56.2 million (over 811 billion Rupiah) in equity and loan facilities in mid-2021. Equity funding of $11.2 million was provided by new investors BRI Ventures and OCBC NISP Ventura, as well as participation from previous investors, including Insignia Ventures and Global Brains.

AwanTunai specializes in supply chain financing, targeting micro-enterprises in the regions. As of June 2021, the company has collaborated with more than 160 supplier partners to help traditional wholesalers digitize and finance their businesses. AwanTunai has served more than 8,000 micro merchants as users, with an increasing number of users coming from tier 2 and 3 cities in Indonesia.

AwanTunai Bukukan Pendanaan Seri A3, Berbentuk Ekuitas dan Debt

Layanan fintech lending AwanTunai kembali mendapatkan pendanaan. Berdasarkan data yang diinputkan ke regulator, nilainya berkisar $8,5 juta atau setara 121,5 miliar Rupiah. Sejumlah investor turut terlibat, termasuk International Finance Corporation (IFC), Global Brain, Insignia Ventures, OCBC NISP Ventures, dan beberapa lainnya.

Ketika dihubungi DailySocial.id, Co-Founder & CEO AwanTunai Dino Setiawan membenarkan adanya pendanaan baru tersebut, yang masuk dalam seri A3. Ia juga menjelaskan, bahwa investasi yang didapat terdiri dari dua jenis, yakni pendanaan ekuitas dan fasilitas pinjaman (debt facility). Untuk nilai di atas adalah pendanaan ekuitas, sementara debt facility belum disebutkan nilainya.

Di putaran ini, IFC menjadi penopang dana terbesar, menyubang sekitar 50% dari total nilai pendanaan ekuitas yang didapat. Masuknya institusi keuangan di bawah Bank Dunia tersebut di AwanTunai menambah daftar portofolionya di Indonesia. Sebelumnya IFC juga berinvestasi ke PasarPolis, ASSA, dan eFishery. Sebagian misinya untuk mencari proyek investasi berdampak, seperti untuk meningkatkan inklusi keuangan dan digitalisasi di sektor riil.

AwanTunai mengumumkan pendanaan seri A2 senilai $56,2 juta (lebih dari 811 miliar Rupiah) dalam bentuk ekuitas dan fasilitas pinjaman pada pertengahan tahun 2021 lalu. Pendanaan ekuitas sebesar $11,2 juta diberikan oleh investor baru BRI Ventures dan OCBC NISP Ventura, serta partisipasi dari investor sebelumnya, antara lain Insignia Ventures dan Global Brains.

Spesialisasi AwanTunai adalah pada pembiayaan rantai pasok, menyasar kalangan pelaku usaha mikro di daerah. Hingga Juni 2021, perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 160 mitra supplier untuk membantu pedagang grosir tradisional melakukan digitalisasi dan pembiayaan usaha mereka.  AwanTunai telah melayani lebih dari 8.000 pedagang mikro sebagai pengguna, dengan peningkatan jumlah pengguna yang berasal dari kota tier 2 dan 3 di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Investree Bags 142 Billion Rupiah Debt Funding from responsAbility

Investree announced another debt funding worth of $10 million (over 142 billion Rupiah) from responsAbility Investments, a Switzerland based asset manager that focuses on follow-up investments. responsAbility is an investor partner of one of the institutional lenders at Investree, Accial Capital, which first entered as a lender since 2017.

This debt funding will be redistributed to facilitate the financing needs proposed by Investree’s borrower or SME players. For responsAbility, channeling funding to Investree means directly contributing to the United Nations Sustainable Development Goals (SGDs), in relation to limited financial access for SMEs which limits job creation, triggers inequality, and hinders economic development.

Investree’s Co-founder & CEO, Adrian Gunadi said, this is a very big stepping stone for Investree because in its third funding round, Accial Capital invites one of its co-investors, responAbility to participate through the Investree platform.

“In line with responsAbility’s vision and mission as a sustainability investment ‘home’ specializing in impact, we will target funding from the responsAbility-Accial Capital partnership to finance our borrower projects with significant economic, social and environmental impacts on life, especially amidst a recovery period due to this pandemic,” Adrian said in an official statement, Thursday (10/28).

One of Investree’s ongoing projects is to help empower women as ultra-micro traders in the Gramindo ecosystem. These traders have group characteristics, consisting of women without access to banks and running businesses using conventional and sharia schemes. The number has reached 5,700 on the Investree platform.

For responsAbility, this is a unique credit transaction model in Southeast Asia, especially in Indonesia as it is collaborated with Accial Capital to provide financing support to SMEs through the Investree platform.

responsAbility’s Deputy Head of Financial Inclusion Debt, Jaskirat S. Chandha said, “We are very pleased to be able to partner in this innovative structure to provide working capital funding that is urgently needed by SME borrowers in Indonesia. Financial technology is a key driver of financial inclusion. We are delighted to have found the right collaboration at Accial Capital and Investree with the required expertise.”

Investree entering its 6th year

In its 6th year, the company has grown far beyond just a fintech lending company. During 2021, the company has empowered 5 thousand ultra micro women entrepreneurs who need financial support to develop their simple businesses.

Next, partnering with digital freight forwarder Andalin to offer access to customs and tax financing for Andalin clients through Buyer Financing products. This collaboration aims to help ease the burden on clients’ costs so they don’t have to incur large initial costs, therefore, the company’s cash flow management can be optimized.

As of September 2021, Investree booked a total loan facility of Rp 12 trillion, rises 51% yoy from last year, and the value of disbursed loans was Rp 8 trillion. In terms of the number of lenders and borrowers, there were 46 thousand lenders and 6 thousand borrowers at the end of the third quarter of 2021, joined Investree cumulatively. The ratio is 40:60 of the number of individual lenders and institutional lenders that fund.

Investree’s contribution to the fintech lending industry in Indonesia is real.
Investree’s outstanding loans contributed 8.3% to the national productive outstanding loans. As of September 2021, their TKB90 is 98.22% – better than the national average of 93.3%.

Productive sector has quite small portion

According to reports from DSInnovate and AFPI last year, 36.1 million borrowers in the productive sector borrowed Rp. 2.5 million to Rp. 25 million. Only 17.6% of them borrowed more than Rp500 million. This sector still needs to be further boosted by regulators, especially during this pandemic, many MSMEs still down and need to survive.

Source: DSResearch
Source: DSResearch


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Investree Kantongi Pendanaan Debt 142 Miliar Rupiah dari responsAbility

Investree kembali mengumumkan perolehan pendanaan debt sebesar $10 juta (lebih dari 142 miliar Rupiah) dari responsAbility Investments, manajer aset dari Swiss yang berfokus pada investasi lanjutan. responsAbility merupakan mitra investor dari salah satu lender institusi di Investree, yakni Accial Capital yang pertama kali masuk sebagai lender sejak 2017.

Pendanaan debt ini akan disalurkan kembali untuk membiayai kebutuhan pembiayaan yang diajukan oleh borrower atau pelaku UKM di Investree. Bagi responsAbility, menyalurkan pendanaan kepada Investree berarti secara langsung berkontribusi terhadap Sustainable Development Goals (SGDs) PBB, kaitannya dengan akses keuangan terbatas untuk UKM yang membatasi penciptaan lapangan kerja, memicu ketidaksetaraan, dan menghambat pembangunan ekonomi.

Co-founder & CEO Investree Adrian Gunadi mengatakan, ini merupakan batu lompatan yang amat besar buat Investree karena pada putaran pendanaan mereka yang ketiga, Accial Capital mengajak salah satu co-investornya yaitu responsAbility untuk turut mendanai melalui platform Investree.

“Sejalan dengan visi dan misi responsAbility sebagai ‘rumah’ investasi keberlanjutan yang berspesialisasi pada dampak, kami akan menargetkan pendanaan dari kemitraan responsAbility-Accial Capital untuk membiayai proyek-proyek borrower kami yang memiliki dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan signifikan bagi kehidupan, terutama di tengah masa pemulihan akibat pandemi ini,” kata Adrian dalam keterangan resmi, Kamis (28/10).

Salah satu proyek yang sudah dilakukan Investree adalah membantu pemberdayaan ibu-ibu pedagang ultramikro yang berada dalam ekosistem Gramindo. Pada pedagang ini memiliki karakteristik berkelompok, terdiri dari perempuan-perempuan tanpa akses ke bank dan menjalankan usaha dengan menggunakan skema konvensional maupun syariah. Kini jumlahnya sudah mencapai 5.700 di platform Investree.

Bagi responsAbility sendiri, ini merupakan model transaksi kredit yang unik di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia karena tandem dengan Accial Capital untuk memberikan dukungan pembiayaan kepada UKM melalui platform Investree.

Deputy Head Financial Inclusion Debt responsAbility Jaskirat S. Chandha menuturkan, “Kami sangat senang dapat bermitra dalam struktur inovatif ini menyediakan pendanaan modal kerja yang sangat dibutuhkan oleh peminjam UKM-UMKM di Indonesia. Teknologi finansial merupakan pendorong utama inklusi keuangan. Kami senang telah menemukan kolaborasi yang tepat di Accial Capital dan Investree dengan keahlian yang dibutuhkan.”

Investree memasuki usia ke-6

Di usia ke-6 ini, perusahaan sudah berkembang jauh tidak hanya sekadar perusahaan fintech lending. Selama 2021 saja, perusahaan telah memberdayakan 5 ribu pengusaha perempuan ultra mikro yang membutuhkan dukungan pembiayaan untuk mengembangkan usaha sederhana mereka.

Berikutnya, menggandeng digital freight forwarder Andalin untuk menawarkan akses pembiayaan bea cukai dan pajak bagi para klien Andalin melalui produk Buyer Financing. Kerja sama ini bertujuan untuk membantu meringankan beban biaya klien agar mereka tidak perlu mengeluarkan biaya besar di awal, sehingga manajemen arus kas perusahaan dapat dioptimalkan.

Hingga September 2021, Investree membukukan total fasilitas pinjaman sebesar Rp 12 triliun, naik 51% secara yoy dari tahun lalu, dan nilai pinjaman tersalurkan sebesar Rp 8 triliun. Dari segi angka pemberi pinjaman dan peminjam, pada akhir kuartal III 2021, tercatat sudah ada 46 ribu lender dan 6 ribu borrower yang tergabung di Investree secara kumulatif. Perbandingan jumlah lender individu dan lender institusi yang mendanai berada di persentase 40:60.

Kontribusi Investree terhadap industri fintech lending di Indonesia pun nyata.
Pinjaman outstanding Investree berkontribusi sebesar 8,3% terhadap pinjaman outstanding produktif nasional. Per September 2021, TKB90 mereka adalah 98,22% – lebih baik dari rata-rata nasional 93,3%.

Porsi sektor produktif masih minim

Menurut laporan DSInnovate dan AFPI pada tahun lalu sebanyak 36,1 juta peminjam di sektor produktif meminjam Rp2,5 juta-Rp25 juta. Hanya 17,6% di antaranya yang meminjam lebih dari Rp500 juta. Sektor ini masih perlu digenjot lebih lanjut oleh regulator, terlebih lagi di masa pandemi ini banyak UMKM yang butuh terpukul dan harus tetap bertahan.

Sumber: DSResearch

 

Sumber: DSResearch
Application Information Will Show Up Here

Modalku Group Obtains Additional 256 Billion Rupiah Debt Funding

The Modalku Group announced $18 million (over 256 billion Rupiah) debt funding from a syndicate led by three financial institutions, Helicap Investments, the Social Impact Debt Fund (managed by Taurus Wealth Advisors), and a Japan based financial services group. This round is part of the company’s current debt funding target to raise $120 million.

These debt funds will be redistributed to finance MSMEs in the four countries where Modalku Group operates.

Separately, based on DailySocial.id’s source, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) channeled equity investment in a Series C round for Modalku worth of $15 million (over 213 million Rupiah).

Previously, in April 2020, the Modalku Group announced a series C equity funding worth of $40 million from a number of investors, including Softbank through the Growth Acceleration Fund, BRI Ventures, and Sequoia through SCI Investments.

In an official statement, through this debt funding, Helicap Securities acts as the main board with a single mandate, along with funding received from impact investors from Europe, such as Triodos Investment Management which has been Modalku’s institutional lender since late 2019.

Modalku’s Co-founder and CEO, Reynold Wijaya said, the Covid-19 pandemic is an important test for Modalku Group’s resilience and he is grateful to have successfully passed it, one way is by using a credit model based on Artificial Intelligence (AI).

“We will use the funds to continue developing the digital lending sector for SMEs. We believe that this is the beginning of a long-term relationship and will consistently drive the evolution of the company going forward,” he said, Thursday (7/10).

Helicap Pte. Ltd.’s Co-founder and CEO, David Z. Wang added, Helicap was established aiming to break down barriers for those in need for capital and those who can provide venture capital. This transaction proves that the interest and ability of individuals and institutions for financing opportunities through private loans remains and is sustainable.

“Helicap is in the right position to provide access to quality loans through our relationships with well-known lenders such as Modalku Group,” he said.

Modalku Group was founded in 2015 as a p2p lending startup that provides business loans for MSMEs. Companies use technology to support creditworthy MSMEs, but do not have access to financial services. More than 50% of each ASEAN member country’s GDP is MSMEs contribution, however, as many MSMEs have no history of credit scoring, their application for business loans usually rejected by traditional lending institutions.

The Modalku Group provides easier access to funding using alternative data points, including but not limited to MSME cash flows (which indicate their ability to repay loans), to approve loans.

In early February 2021, Modalku Group announced its expansion to Thailand after securing a loan crowdfunding license from the Thailand Securities and Exchange Commission (SEC). By using the Funding Societies brand, such as its operations in Malaysia and Singapore, the company wants to solve the challenge of 3 million MSMEs which business is hampered due to the difficult access for business loans, especially short-term loans.

The issue is similar to Indonesia as conventional financial institutions are more focused on long-term loans and loans without collateral.

It’s relatively low on productive sector

According to DSResearch and AFPI report, as many as 36.1 million borrowers in the productive sector borrowed Rp. 2.5 million to Rp. 25 million. Only 17.6% of them borrowed more than Rp500 million last year. This sector still require improvement by regulators, especially during this pandemic, many MSMEs are negatively impacted and have to survive.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Application Information Will Show Up Here

Grup Modalku Peroleh Tambahan Debt Funding 256 Miliar Rupiah

Grup Modalku mengumumkan telah memperoleh dana pinjaman (debt funding) sebesar $18 juta (lebih dari 256 miliar Rupiah) dari sindikasi yang dipimpin tiga institusi keuangan, yakni Helicap Investments, Social Impact Debt Fund (dikelola oleh Taurus Wealth Advisors), dan suatu grup layanan keuangan dari Jepang. Putaran ini adalah bagian dari pendanaan debt yang sedang digelar perusahaan yang menargetkan dapat menghimpun dana sebesar $120 juta.

Dana pinjaman ini akan disalurkan kembali untuk membiayai UMKM di empat negara di mana Grup Modalku beroperasi.

Secara terpisah, menurut informasi yang didapat DailySocial.id, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) berinvestasi dalam bentuk ekuitas untuk Modalku sebesar $15 juta (lebih dari 213 juta miliar Rupiah) dalam putaran Seri C.

Sebelumnya, pada April 2020, Grup Modalku mengumumkan pendanaan ekuitas seri C sebesar $40 juta dari sejumlah investor, di antaranya Softbank melalui Growth Acceleration Fund, BRI Ventures, dan Sequoia melalui SCI Investments.

Dalam keterangan resminya, melalui pendanaan debt yang diumumkan ini, Helicap Securities bertindak sebagai pengurus utama dengan mandat tunggal, bersama dengan pendanaan yang diterima dari impact investor dari Eropa, seperti Triodos Investment Management yang telah menjadi jajaran lender institusi di Modalku sejak akhir 2019.

Co-founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya menuturkan, pandemi Covid-19 merupakan ujian penting bagi daya tahan Grup Modalku dan pihaknya bersyukur telah sukses melewatinya, salah satu caranya dengan menggunakan model kredit yang berdasarkan Artificial Intelligence (AI).

“Pendanaan akan kami gunakan untuk terus mengembangkan dunia pinjaman digital bagi UKM. Kami percaya bahwa ini adalah awal mula dari hubungan jangka panjang dan akan memotori evolusi perusahaan secara konsisten ke depannya,” kata dia, Kamis (7/10).

Co-founder dan CEO Helicap Pte. Ltd., David Z. Wang menambahkan, Helicap didirikan dengan tujuan mendobrak hambatan-hambatan bagi mereka yang membutuhkan modal usaha dan mereka yang dapat menyediakan modal usaha. Transaksi ini membuktikan bahwa minat dan kemampuan dari individu dan institusi untuk peluang pendanaan melalui pinjaman swasta tetap ada dan berkelanjutan.

“Helicap berada dalam posisi yang tepat untuk menyediakan akses ke pinjaman-pinjaman berkualitas melalui hubungan kami dengan penyedia pinjaman ternama seperti Grup Modalku,” ujarnya.

Grup Modalku didirikan pada 2015 sebagai startup p2p lending yang menyediakan pinjaman usaha bagi UMKM. Perusahaan memanfaatkan teknologi untuk mendukung UMKM layak kredit, namun tidak memiliki akses ke layanan keuangan. Lebih dari 50% PDB setiap negara anggota ASEAN adalah kontribusi dari UMKM, namun karena banyak UMKM yang tidak memiliki riwayat transaksi kredit atau jaminan pinjaman, sering kali mereka ditolak saat mengajukan pinjaman usaha ke institusi pinjaman tradisional.

Grup Modalku mempermudah akses ke pendanaan menggunakan titik data alternatif, termasuk tetapi tidak terbatas ke arus kas UMKM (yang menunjukkan kemampuannya membayar kembali pinjaman), untuk menyetujui pinjaman.

Pada awal Februari 2021, Grup Modalku umumkan ekspansi ke Thailand setelah mengantongi lisensi crowdfunding pinjaman dari Thailand Securities and Exchange Commission (SEC). Dengan menggunakan brand Funding Societies, seperti operasionalnya di Malaysia dan Singapura, perusahaan ingin menyelesaikan tantangan 3 juta UMKM yang terhambat bisnisnya karena sulit memperoleh pinjaman usaha, khususnya pinjaman jangka pendek.

Isunya sama seperti di Indonesia karena institusi keuangan konvensional di sana lebih fokus ke pinjaman jangka panjang dan pinjaman tanpa agunan.

Porsi sektor produktif masih minim

Menurut laporan DSResearch dan AFPI, pada tahun lalu sebanyak 36,1 juta peminjam di sektor produktif meminjam Rp2,5 juta-Rp25 juta. Hanya 17,6% di antaranya yang meminjam lebih dari Rp500 juta. Sektor ini masih perlu digenjot lebih lanjut oleh regulator, terlebih lagi di masa pandemi ini banyak UMKM yang terpukul dan harus tetap bertahan.

 

Application Information Will Show Up Here

 

Koinworks to Cast More Institutional Lenders, Focusing to Serve SMEs

Lendable pours another debt funding to KoinWorks. In 2020, the funds given were worth $10 million (equivalent to 149 billion Rupiah), the nominal has currently increased to $30 million or around 435 billion Rupiah. In Indonesia, Lendable also disbursed a similar loan to Amartha in February 2021 valued at 704 billion Rupiah.

Previously in April 2020, KoinWorks also announced the debt funding from two Europe-based financial institutions. As we contacted, the company refused to reveal its identity. In an interview, KoinWorks’ Co-Founder & CEO, Benedicto Haryono did say that collaboration with institutional lenders is one of his strategies, both from domestic and foreign institutions.

He explained that the company had obtained institutional lenders since early 2018, marked by the entrance of Saison Modern Finance. Furthermore, Bank Mandiri followed in the middle of the year. In 2019, Sampoerna and CIMB Niaga also joined.

Focused on SMEs

For the company’s next plan after receiving the fresh funds, KoinWorks’ CFO Mark Bruny said that his team will still focus on serving the SME market which has great potential in Indonesia. This strategic collaboration is also said to be a success thanks to the transparency and good communication that exists between KoinWorks and Lendable.

“We believe that digital SMEs that have become borrowers on our platform will be able to survive and even seize the opportunity to thrive from this pandemic. Lendable agrees and they believe in the ability of Indonesian Digital SMEs and KoinWorks’ ability to carry out this vision,” Mark told DailySocial.id .

Regarding a change in approval or additional requests from Lendable to KoinWorks through this second collaboration, Mark emphasized that the approval is likely remain. Through the 300% increase of loan amount, KoinWorks is expected to be able to accelerate the distribution funds to Indonesian SMEs.

The current number of KoinWorks’ disbursed funds in the second quarter of 2021 is exceed 1 trillion Rupiah to 300 thousand SMEs in Indonesia, a threefold increase compared to 2020. This indicates a significant development in this pandemic with many SMEs attending and pivoting to digital.

In a research by KoinWorks, it was revealed that SMEs using conventional and digital channels actually dominate the market with a share of 48% compared to SMEs that only use digital channels (40%) or conventional channels (12%). This digital transformation has succeeded in helping Digital SMEs not only survive but are able to thrive during the pandemic.

This transformation was also a major factor in the rise of the Digital SME Confidence Index to the level of 2.49 from the level of 2.37 at the end of last year and pushed us closer to the normal level, at the level of 3.00.

Potential of foreign investors in Indonesia

Mark also said, the high interest of foreign investors, in this case those who provide funds in the form of debt funding such as Lendable to Indonesia, is due to the large business growth in Indonesia, especially among SMEs. Indonesia has become the investors target, seen from the potential and incoming investment.

Was founded in 2015, Lendable Inc through fintech has channeled a lot of capital to people around the world. This is a good way to be able to provide access to financial services to the public. The direct entry of companies like Lendable to Indonesia has had a multiply effect on funding. By introducing foreign investors to Indonesia, it opens up opportunities for other fintech services in Indonesia to raise fresh funds.

“As the current most advanced platform, we are lucky to be able to make this deal and help the ecosystem by introducing strong players while introducing Indonesia globally,” Mark said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here