Bank Raya: Kami Ingin Dorong Pekerja “Gig Economy” Naik Kelas

Dalam wawancara eksklusif DailySocial, Direktur Utama Kaspar Situmorang cukup banyak menyoroti manajemen aset dan liabilitas sebagai manifestasi untuk bertransformasi melayani pekerja gig economy atau pekerja informal. Ia punya misi jangka panjang, yakni menaikkelaskan pelaku gig economy, baik itu pemilik warung makan, pedagang, atau pekerja salon.

Kaspar, yang sebelumnya menjabat EVP Digital Banking BRI, berupaya memanfaatkan kekuatan ekosistem milik induk usaha untuk mencapai misi tersebut.

Bagaimana strategi dan pengembangan produk usai berganti identitas menjadi Bank Raya?

Bagaimana proses transformasi Bank Agro ke Bank Raya?

Jawab: Transformasi ini berawal dari buah pikiran Sunarso, Direktur Utama BRI, untuk melakukan transformasi digital BRIvolution. Goal-nya adalah go smaller, go faster, go shorter, dan go cheaper. Melayani sebanyak mungkin dengan biaya sekecil mungkin.

Ada dua objek transformasi [BRI Agro], yakni digital dan work culture. Kedua hal ini telah dirancang Pak Sunarso sejak 2017, di mana saat itu eksekusinya dilakukan bersama Pak Indra Utoyo sebagai Direktur Operasi dan Teknologi Informasi dan Digital Center of Excellence (DCE). Kami siapkan SDM, teknologi, dan data. Pak Sunarso tanya apakah kita sudah siap, karena saat itu kompetitor sudah mulai jalan. Karena Pak Indra Utoyo bilang sudah siap, keputusan diambil pada April 2021 untuk pivot Agro menjadi bank digital BRI.

Identitas Agro berganti menjadi Raya pada April 2021. Fokusnya menjadi digital attacker Grup BRI agar dapat mengamplifikasi layanan perbankan digital secara maksimal. Pembukaan [rekening], pinjaman dilakukan secara digital. Tidak ada manusia di tengah-tengah.

Bagaimana transisi leadership Anda dari BRI ke Bank Raya?

J: Saya banyak belajar kepemimpinan dari Pak Sunarso dan Pak Indra Utoyo. Mereka mengajarkan leadership itu harus by example, memiliki framework, dan kerangka berpikir. Jadi tidak mengarang. Kepemimpinan harus memiliki kompetensi pada pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Tanpa ketiganya tidak bisa. Jadi, kita harus bisa fit karakter dan model kepemimpinan sesuai perusahaan dan ekosistemnya. Saya merasa fit dengan ekosistem karena belajar dari mereka.

Pak Sunarso juga menciptakan ruang kepemimpinan bagi generasi muda yang bekerja di Grup BRI di anak-anak usaha, baik itu Raya, Pegadaian, atau PNM. Mereka ditempatkan di sana untuk mengasah problem solving, strategic thinking, maupun eksekusi.

Bagaimana framework transformasi Raya?

J: BRI punya framework transformasi digital yang fokus pada pilar eksploitasi dan eksplorasi. Di sisi eksplorasi, bank digital adalah outcome sebagai potensi bisnis dan revenue stream baru bagi Grup BRI. Dengan begitu kami tidak didisrupsi. BRI juga mengirimkan beberapa puluh orang dari divisi Digital Center of Excellence (DCE) ke Raya, termasuk saya, untuk membangun produk, IT, basis data, dan keamanan lebih cepat.

Setelah Bank Raya berdiri, kami menyederhanakan framework ke dalam tiga pilar; digital, digitize, dan revamp. Pilar digital fokus pada pengembangan produk keuangan, tabungan atau pinjaman, secara end-to-end. Pilar digitize fokus pada business process karena sebelumnya masih terbilang toxic. Kami perbaiki semua agar model bisnis digital ini dapat berjalan lancar. Banyak proses di perbankan yang harus didigitasi agar bisa align dengan pilar pertama.

Pilar revamp adalah menata kembali business legacy. Bank Raya bukan barang baru yang [setelah transformasi] lalu siap lari. Sebelumnya Agro bermain di sektor sawit. Kemudian, kami hentikan kredit korporasi dan tata ulang. Ada beberapa cabang ditutup, ada juga yang dialihfungsikan supaya biaya lebih optimal. Utamanya, supaya [transformasi] pada aspek people dan work culture bisa maksimal.

Aspek keuangan itu adalah outcome, tapi di bawahnya ada customer, business process, dan people. Kalau sudah di-retrain, rescale, mereka bisa melayani customer, karena ini adalah bisnis jasa.

Mengapa mengincar pasar gig economy?

J: Visi-misi Raya adalah menjadi house of fintech dan home for gig economy. Mengapa? Dengan memiliki manajemen aset dan liabilitas yang lebih baik, gig economy akan semakin bertumbuh. Data BPS di 2020 menunjukkan bahwa ada sekitar 46 juta pekerja informal tanpa slip gaji. Proyeksinya bertambah menjadi 74 juta pada 2024. Ini menjadi hipotesis kami melayani pekerja gig economy.

Untuk memahami perbankan, kita harus belajar pohon ilmunya, yakni manajemen aset dan liabilitas. Apapun banknya, baik itu bank digital, bank hybrid, atau bank syariah, semua akan fokus pada kedua hal itu.

Dulu Agro memiliki dana dan simpanan dalam jangka pendek, tetapi kreditnya jangka panjang. Kredit korporasi punya tenor 5-10 tahun. Namun, sumber pendanaan berjangka pendek semua, 3 bulan. Ini sulit. Makanya, kami transformasi Raya dengan mengubah manajemen aset dan liabilitasnya. Pinjaman jangka panjang diubah menjadi harian dengan sumber pendanaan bulanan.

Kami survei untuk validasi masalah. Pekerja ini butuh kasbon dengan kredit pendek-pendek. Pembayaran dipotong ketika gajian. Jadi, [kebutuhan] kredit harian dan sumber dana bulanan match dengan pasar pekerja gig economy yang kami bidik melalui produk tabungan dan pinjaman digital kami. Ini hal menarik yang terjadi di era kita. Tanpa validasi pasar, kebutuhan, dan user experience, mengembangkan sesuatu tidak akan ada fokusnya.

Lalu, mengapa house of fintech? Sewaktu menjadi EVP di BRI, kami mendapat amanah untuk membangun BRI Ventures dengan modal awal Rp1,5 triliun. Kami mulai investasi di startup tahap awal hingga unicorn karena kami lihat disrupsi akan datang dari non-bank. Jadi kami harus menyelami cara berpikir.

Dari sini kami melihat bagaimana Raya bermetamorfosis menjadi platform. Apapun layanan di Raya, itu harus bisa bermetamorfosis menjadi platform yang kami sebut Raya API. Kami percaya melalui open API, kami dapat mengintegrasikan ekosistem. Raya bekerja sama dengan BRI, itulah cara kami merajut ekosistem.

Bagaimana memanfaatkan ekosistem milik BRI?

J: Kami belajar dari WeBank dan KakaoBank, yang sudah profit, bahwa ekosistem merupakan kunci keberhasilan. Tanpa itu, tidak mungkin main di bank digital. Kalau menjadi bank hybrid, cost of acquisition tinggi dan customer lifetime tidak lama. Jadi, ekosistem adalah harga mati. Makanya, BRI mengamanahkan ekosistem BRILink agar dapat dikelola Raya, baik dari sisi manajemen aset maupun liabilitas.

Selain itu, bank, khususnya bank digital, jika ingin survive harus memiliki strategi yang spesifik pada manajemen aset dan liabilitas. Dari sudut pandang bankir, bank tanpa kedua hal ini pasti gagal. Prinsip ini kami terapkan di internal untuk menciptakan keunggulan produk. Saya melihat banyak bank di Indonesia yang [menawarkan] pinjaman dengan tenor tahunan, tetapi sumber pendanaan jangka pendek. Belum ada yang harian seperti kami.

Kami diberi amanah oleh BRI untuk menyelesaikan isu likuiditas yang dialami agen BRILink melalui pinjaman PINANG. Mereka punya uang kas banyak, tetapi saldo BRILink sedikit. Jadi, sulit untuk bertransaksi karena tidak ada saldo. Ketika mau setor uang, bank sudah keburu tutup. Makanya, dana talangan ini dapat dipakai untuk kebutuhan cepat. Kira-kira ada sekitar setengah juta agen BRILink di Indonesia.

Bank Raya sudah menyalurkan hampir setengah triliun disbursement ke 12.000 agen BRILink. Target kami dapat mengakuisisi 50.000 agen BRILink. Integrasinya sudah seamless sehingga agen BRILink tidak perlu ganti aplikasi karena PINANG sudah embed di dalam aplikasinya. Model transformasi manajemen aset dan liabilitas ini diterjemahkan ke dalam bentuk API dan web view dengan BRILink sebagai salah satu mitra kami.

Bagaimana profil pengguna Bank Raya? Fitur apa saja yang akan disiapkan?

J: Kami melihat profil pengguna tabungan Raya sudah melek digital. Pada 2020 ada banyak lay off pekerja karena pandemi. Menurut data BPS, mereka yang terkena lay off memanfaatkan banyak aplikasi di smartphone untuk mencari penghasilan. Misalnya, ojek online atau berjualan online. Artinya, pekerja gig economy ini adalah pekerja produktif yang memanfaatkan smartphone.

Gig economy sangat luas sekali. Kami membagi target pasar kami ke dalam tiga kategori, yakni F&B, retail, dan jasa. Dari ketiga sektor ini, kami coba garap fitur sesuai kebutuhan mereka. Semoga bisa kami rilis tahun ini. Kami belum bisa share banyak, tetapi fitur ini berkaitan dengan payroll. Kami ingin bantu pekerja gig supaya naik kelas. Sayang kalau mereka tidak bisa ajukan kredit motor atau KPR hanya karena tidak ada slip gaji. Ini yang bakal mentransformasikan pasar gig economy di Indonesia.

Raya juga bersinergi dengan aplikasi BRImo untuk pembukaan rekening. Kami mendapat izin yang memampukan pengguna memiliki simpanan yang di-embed di aplikasi BRImo. Jadi, customer tidak perlu keluar dari ekosistem BRI. Inilah mengapa kami diminta menjadi digital attacker BRI sehingga dapat leverage kekuatan sendiri.

Kami juga sinergi untuk tarik/setor tunai di seluruh ATM milik BRI tanpa kartu yang [meluncur] Agustus nanti. Transaksinya hanya menggunakan aplikasi dan memakai token. Raya akan kami arahkan untuk cardless dan cashless dengan pembayaran menggunakan QRIS. Selain itu, kami berencana masuk ke produk pinjaman dengan BRI secara cardless. Kami tidak mengajukan izin sebagai issuer sehingga kami pakai [lisensi] BRI sebagai issuer.

Semua ini menjadi pintu masuk ke BRI. Apabila basis pengguna tabungan Raya sudah terbentuk, mereka bisa naik kelas ke pinjaman di atas Rp1 miliar misalnya. Ini akan kami refer ke BRI.

Bagaimana Anda melihat kompetisi bank digital saat ini?

J: Setiap bank memiliki keunggulan dan ekosistem masing-masing. PR kami adalah bagaimana mentransformasi manajamen aset dan liabilitas dengan disipilin pada eksekusinya. Kata kunci keberhasilannya adalah mereka yang paling disiplin, paling cepat, dan paling konsisten dalam menciptakan keunggulan yang berkesinambungan. Dalam perbankan ini artinya cost of acquisition paling rendah dengan customer lifetime value paling tinggi.

Termasuk juga bagaimana media dapat mengedukasi pasar bahwa bank digital tidak hanya bicara soal valuasi, tetapi menciptakan nilai tambah dari ekosistem yang diamanahkan kepada kami.

Application Information Will Show Up Here

Investree Akuisisi Hampir 19% Saham Amar Bank

Investree Singapore Pte Ltd (Investree Group) mengumumkan akuisisi saham minoritas di Amar Bank sebesar 18,84%, bagian dari Tolaram Group, pasca penandatanganan perjanjian transaksi. Langkah strategis tersebut dipercaya dapat mempercepat inklusi keuangan di Indonesia.

Ke depannya, kedua belah pihak akan melakukan sinergi bisnis untuk menyediakan ragam produk pembiayaan dan menawarkan solusi bisnis digital untuk meningkatkan operasi UMKM secara nasional. Selaras dengan ambisi Investree Group, yang beroperasi di Indonesia di bawah PT Investree Radhika Jaya (Investree), berkomitmen untuk memperluas akses layanan keuangan bagi UMKM melalui solusi perbankan digital.

Pasalnya, ada sekitar 92 juta dan 47 juta orang dewasa yang tidak memiliki rekening bank dan tidak memiliki rekening bank di Indonesia masing-masing, dan segmen UMKM yang tidak memiliki rekening bank serta berkembang pesat menyumbang sekitar 60% dari PDB.

Direktur Investree Group, Co-founder dan CEO Investree Adrian Gunadi menuturkan bahwa inisiatif tersebut dalam rangka menciptakan kolaborasi yang kohesif antara fintech dan bank serta melakukan inovasi produk untuk menyediakan layanan pembiayaan digital dan solusi bisnis yang lebih terintegrasi, sebagai perluasan jangkauan kepada calon debitur/UMKM di kota-kota yang masuk dalam jaringan Amar Bank.

“Selain itu, akuisisi akan semakin meningkatkan ekosistem yang kuat yang telah memungkinkan peningkatan potensi strategis Investree untuk memberdayakan UMKM di seluruh negeri. Komitmen ini sejalan dengan salah satu agenda prioritas Presidensi G20 Indonesia, yaitu mendorong inklusi keuangan khususnya bagi komunitas UMKM yang selama ini belum terlayani dengan baik oleh perbankan,” kata Adrian dalam keterangan resmi, Selasa (10/5).

Managing Director, Fintech & Infrastructure Tolaram Navin Nahata menambahkan, kehadiran Investree, sejalan dengan upaya perusahaan untuk membangun Amar Bank menjadi bank digital terkemuka yang berfokus pada konsumen dan UMKM.

Dia memercayai pengetahuan mendalam Investree tentang ruang pembiayaan UMKM lokal memungkinkan Amar Bank mempercepat inovasi diversifikasi produk untuk menangani segmen ekonomi Indonesia yang penting namun secara historis kurang terlayani. “Kami menantikan kemitraan yang sukses dan berjangka panjang dengan Investree,” ujarnya.

Presiden Direktur Amar Bank Vishal Tulsian turut memberikan pernyataannya, “Transaksi ini merupakan langkah maju yang signifikan bagi Amar Bank. Keterlibatan dan keahlian Investree akan memungkinkan kami untuk memperkenalkan penawaran produk baru dan lebih baik untuk UMKM di Indonesia, di samping produk pinjaman digital unggulan kami, Tunaiku dan bank khusus seluler, Senyumku. Bersama-sama, kami akan menghadirkan Digital Banking with an Impact.”

Kinerja Amar Bank

Berdasarkan paparan kinerja Amar Bank, bank meraih laba bersih sepanjang tahun lalu sebesar Rp4,1 miliar dan kenaikan total aset sebesar Rp5,2 triliun yang tumbuh 28,2% (yoy). Dari sisi pinjaman, tumbuh 40,1% secara tahunan atau sebesar Rp2,4 triliun. Mayoritas pinjaman datang dari platform pinjaman Tunaiku yang menyalurkan Rp2 triliun atau naik 63%.

Masuknya Investree, juga merupakan upaya Amar Bank untuk memenuhi ketentuan inti minimum sebesar Rp3 triliun di penghujung 2022, berdasarkan POJK Nomor 12 Tahun 2020 tentang konsolidasi bank umum. Bank telah menyelesaikan Rights Issue I pada 1 Maret 2022, dan tetap optimis bisa memenuhi ketentuan hingga akhir tahun ini.

Hal yang sama juga dilakukan oleh bank kecil lainnya. Sebelumnya, ada Xendit yang mengakuisisi saham Bank Sahabat Sampoerna, induk Kredivo yang resmi menguasai 75% saham Bank Bisnis Internasional, Grab dan Singtel sebagai investor strategis Bank Fama, Modalku dan Carro berinvestasi di Bank Index, dan Ajaib Group genggam 40% saham Bank Bumi Artha. Selebihnya masih sekadar rumor, tinggal tunggu kabar peresmiannya, seperti Amartha yang dikabarkan akan akuisisi Bank Victoria Syariah.

Application Information Will Show Up Here

Fintech for Creator Platform UpBanx Secures 74 Billion Rupiah Funding, Claiming Centaur Valuation in Its First Year

The fintech platform UpBanx, which aims to develop a digital banking platform for creators (or influencers) and brands, announced a pre-seed funding of $5.2 million or around 74 billion Rupiah, claiming a valuation of $120 million (centaur) within only 6 months of operation or 1 official month. The service alone is yet to accessible for public.

The current funding was participated by Y Combinator, Alpha JWC Ventures, Alto Partners Multi-Family Office, Number Capital, UBI Capital, Raffi Ahmad and Nagita Slavina, the creator network of Collab Asia and DRM (Digital Chain Maya), and a number of well-known angel investors.

It is also listed in the ranks of these angel investors, Melvin Hade (GFC Partner), Hendra Kwik (CEO of Fazz Financial), Hendoko Kwik (CEO of Modal Rakyat), Budi Handoko (CEO of Shipper), and Arya Setiadharma (CEO of Prasetia Dwidharma).

UpBanx was founded by Wafa Taftazani (ex-Googler and Co-Founder of Modal Rakyat), Hendri Wijaya, and Alif Jafar Fatkhurrohman. The company is part of the prestigious Y Combinator incubator batch W22 .

The CEO, Wafa Taftazani said, “We built UpBanx as an integrated platform for the creator economy and beyond. Apart from providing financial solutions, we will also facilitate seamless collaboration between creators and brands. In the near future, we will also act as a Web3 launch platform for creators. and brands, to help support fan engagement in new, innovative ways.”

UpBanx will be available in 2022. The concept is somewhat different from most digital banking. In order to join, participants must be creators on YouTube, Instagram, or TikTok. The curation criteria is yet to announce by the platform.

UpBanx will later use a banking license owned by BPR Sentral Mandiri and supported by Fazz Financial’s fintech ecosystem, including Modal Rakyat and Cashfazz.

There are not many digital banking platforms that specifically target niche markets. Previously, Hijra from Alami was also projected to be the first Islamic digital bank.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Fintech untuk Kreator UpBanx Raih Pendanaan 74 Miliar Rupiah, Klaim Valuasi Centaur di Tahun Pertama Beroperasi

Platform fintech UpBanx, yang bertujuan mengembangkan platform perbankan digital untuk kreator (atau influencer) dan brand, mengumumkan perolehan pendanaan pra-pendanaan awal dengan nilai $5,2 juta atau sekitar 74 miliar Rupiah dengan klaim valuasi $120 juta (centaur) hanya dalam 6 bulan beroperasi atau 1 bulan berdiri resmi. Layanannya sendiri belum bisa diakses oleh publik.

Pendanaan kali ini diikuti Y Combinator, Alpha JWC Ventures, Alto Partners Multi-Family Office, Number Capital, UBI Capital, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, jaringan kreator Collab Asia dan DRM (Digital Rantai Maya), dan sejumlah angel investor ternama.

Termasuk di jajaran angel investor ini adalah Melvin Hade (Partner GFC), Hendra Kwik (CEO Fazz Financial), Hendoko Kwik (CEO Modal Rakyat), Budi Handoko (CEO Shipper), dan Arya Setiadharma (CEO Prasetia Dwidharma).

UpBanx didirikan oleh Wafa Taftazani (ex-Googler dan Co-Founder Modal Rakyat), Hendri Wijaya, dan Alif Jafar Fatkhurrohman. Mereka mengikuti inkubator prestisius Y Combinator batch W22.

CEO Wafa Taftazani mengatakan, “Kami membangun UpBanx sebagai platform terintegrasi untuk ekonomi kreator dan lebih luasnya. Selain menyediakan solusi keuangan, kami juga akan memfasilitasi kolaborasi yang lancar antara kreator dan brand. Dalam waktu dekat, kami juga akan bertindak sebagai platform peluncuran Web3 untuk kreator dan brand, untuk membantu fan engagement dengan cara baru yang inovatif.”

UpBanx bakal hadir tahun 2022 ini. Konsepnya agak berbeda dengan perbankan digital kebanyakan. Untuk bergabung, peserta harus menjadi kreator di YouTube, Instagram, atau TikTok. Belum diketahui bagaimana kriteria kurasi yang dilakukan platform nantinya.

UpBanx nantinya akan menggunakan lisensi perbankan milik BPR Sentral Mandiri dan didukung ekosistem fintech milik Fazz Financial, khususnya Modal Rakyat dan Cashfazz.

Belum banyak platform perbankan digital yang spesifik menargetkan pasar-pasar ceruk (niche). Sebelumnya Hijra dari Alami juga diproyeksikan menjadi bank digital syariah pertama.

OCBC NISP Hadirkan Kantor Cabang Berkonsep “Hybrid”, Fokus pada Penguatan Literasi Keuangan

Bank digital telah mengubah lanskap perbankan nasional, terlihat dari hampir semua aplikasi perbankan menawarkan kemudahan dan kepraktisan bertransaksi keuangan, termasuk transfer, investasi, bayar, semua diselesaikan lewat smartphone. Akan tetapi, tren peningkatan transaksi keuangan perlu dibarengi dengan literasi atau pemahaman keuangan yang baik.

Mengutip dari hasil riset OCBC NISP Financial Fitness Index, ditunjukkan bahwa generasi muda Indonesia termasuk salah satu negara terendah dengan indeks literasi keuangan yang rendah dengan rata-rata kesehatan finansial mencapai 37,72. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan Singapura yang mencapai 61.

Riset tersebut juga menunjukkan, sebanyak 14,3% anak muda yang terlihat berusaha menuju “sehat” finansial, namun nyatanya kondisi mereka masih belum ideal. Hal ini salah satunya dikarenakan pemahaman mereka yang masih tidak tepat terkait bagaimana mengelola keuangan.

Untuk mendukung peningkatan literasi ini, Bank OCBC NISP meluncurkan Financial Fitness Gym (FFG) dari Nyala OCBC NISP. Ini adalah bentuk disrupsi kantor cabang dengan menghadirkan konsep hybrid, transformasi layanan untuk edukasi dan solusi keuangan yang lebih kreatif dan efektif dengan pendekatan konsep gym dengan objektif melatih dan menguatkan otot-otot keuangan para generasi muda. Lokasi FFG pertama berada di Surabaya, tepatnya Mal Ciputra World.

FFG didesain menjadi tempat gym finansial dengan experiential learning environment, yang mana peranan kantor cabang telah di-upgrade tidak sekadar untuk transaksi, namun untuk melakukan eksplorasi kebutuhan finansial. Hampir seluruh kegiatan di FFG akan dipandu secara digital melalui ONe Mobile, aplikasi dari OCBC, mulai dari pembukaan rekening, transaksi perbankan, sampai dengan investasi.

“Tingginya transaksi digital harus didukung dengan literasi keuangan yang tepat agar solusi berbasis digital yang ditawarkan tidak mendorong perilaku konsumtif, tetapi mendorong terbentuknya masyarakat yang sehat secara finansial (Financially Fit). Dengan konsep hybrid service, masyarakat akan mendapatkan interaksi offline dan online dengan demikian penyampaian edukasi dan solusi keuangan akan semakin efektif,” ucap National Network Head Bank OCBC NISP Jenny Hartanto, Jumat (10/12).

Pengalaman konsumen saat memasuki kantor cabang ini, dimulai dari Financial Check Up Spot untuk mengetahui titik permasalahan keuangan dan apa solusi yang dibutuhkan. Di titik ini, pengunjung perlu mengisi sejumlah pertanyaan survei terkait kondisi keuangan, investasi, dan gaya hidup. Setelah itu, akan diberikan skor akhir dari masing-masing untuk mendapat gambaran keuangan seseorang secara keseluruhan.

“Sama seperti masuk gym, sebelum olahraga, pengunjung akan diukur berapa body mass-nya dan sebagainya dan ditanya apa concern dan tujuan mereka ikut gym. Sebab tiap orang itu punya masalah dan solusi yang berbeda-beda. Setelah itu, pengunjung akan dibantu oleh Nyala Buddy (sebutan expert dari OCBC) bila ingin bertanya langsung ke expert-nya.”

Konsep hybrid ini menggabungkan layanan online dan offline, mulai dari financial check up, personalized consultation melalui teknologi interactive touch screen, sampai kelas-kelas edukasi finansial yang dapat diikuti secara online dan offline di situs ruangmenyala.

Objektif yang ingin dibidik lewat kehadiran FFG ini adalah membantu meningkatkan pemahaman finansial (knowledge), memperbaiki kebiasaan manajemen keuangan (behavior), dan meluruskan mindset agar dapat mengambil keputusan keuangan yang tepat (attitude).

Jenny melanjutkan, alasan perusahaan memilih Surabaya sebagai lokasi pertama peluncuran FFG, lantaran di kota ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi sebesar 82,23 pada 2020, tingkat kemiskinan relatif rendah, yakni 5%, dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pencapaian tersebut harus diimbangi dengan pemahaman masyarakat yang baik tentang pengelolaan keuangan.

Kota berikutnya yang akan disambangi FFG, tak lain kota besar dengan IPM yang tinggi. Salah satunya adalah Jakarta pada tahun depan. “Sayang sekali dengan IPM yang tinggi di Surabaya tidak dimanfaatkan dengan maksimal dalam meningkatkan literasi keuangannya.”

Kapabilitas layanan digital, baik untuk nasabah individu dan korporasi di Bank OCBC NISP terus mendapat sambutan yang positif. Meski tidak dirinci lebih detail, hingga September 2021 layanan ONe Mobile untuk nasabah individu mengalami peningkatan jumlah transaksi sebesar 16%, nilai transaksi 17%, dan jumlah pengguna 21% secara YOY. Sementara, layanan velocity@ocbcnisp untuk nasabah korporasi, nilai transaksinya naik 69%, jumlah frekuensi transaksi 18%, dan jumlah pengguna 15% secara YOY.

“Peningkatan tren digital tidak berarti dapat langsung menggantikan esensi human interaction, bahkan perpaduan antara keduanya dapat menarik masyarakat untuk lebih aware pada pentingnya pengelolaan keuangan. [..] Seperti di FFG, perpaduan antara kekuatan perbankan digital, interaksi dengan coach berpengalaman dan keindahan desain kantor cabang membuat bicara tentang pengelolaan keuangan menjadi lebih menarik dan menyenangkan,” tutup Jenny.

Application Information Will Show Up Here

Laporan DSInnovate: Bank Digital di Indonesia 2021

Tahun 2021 menjadi tonggak penting bagi industri finansial. Beberapa inisiatif berbasis bank digital muncul, baik dari pemain legasi maupun bisnis digital baru. Tujuannya untuk menghadirkan layanan keuangan komprehensif yang lebih mudah diakses, terintegrasi dengan ekosistem digital, dan terpersonalsiasi.

Potensinya memang sangat besar, misalnya saat meninjau dari tingkat kepemilikan akun bank di kalangan usia produktif — belum lagi potensi dari pengguna baru dari kalangan digital-savvy.

Untuk mendalami perkembangan bank digital di tahun awalnya, DSInnovate meluncurkan publikasi riset bertajuk “The Rise of Digital Banking in Indonesia”. Terdapat lima fokus utama yang disorot dalam laporan ini, sebagai berikut:

  1. Definisi dan Konsep Bank Digital; mendalami tentang konsep dasar bank digital, serta apa yang membedakannya dengan aplikasi internet banking yang sudah ada sebelumnya.
  2. Ekosistem Bank Digital di Indonesia; melihat perkembangan ekosistem bank digital di Indonesia, serta daftar pemain yang sudah mulai mengakomodasi pangsa pasar.
  3. Studi Kasus; mempelajari perkembangan beberapa bank digital yang sudah meluncur beberapa bulan terakhir, terkait dengan produk hingga traksi layanan mereka.
  4. Bank as a Services; mengeksplorasi peluang BaaS sebagai model bisnis bank digital ke depannya, saat layanan bank digital menjadi sebuah layanan yang dapat disematkan ke berbagai layanan digital.
  5. Pengalaman Pengguna; mencoba merasakan pengalaman pengguna saat on-boarding ke sebuah aplikasi bank digital di Indonesia.

Dalam laporan ini disampaikan beberapa data menarik. Misalnya tentang bagaimana perusahaan bank digital dilahirkan, baik yang dari industri finansial maupun nonfinansial. Dicatat juga mengenai ukuran pasar bank digital, secara global nilainya diperkirakan sudah mencapai $12,1 miliar pada 2020 dan akan bertumbuh hingga $30,1 miliar di 2026 dengan CAGR 15.7%. Sementara di Indonesia saat ini sudah ada 12 aplikasi bank digital yang bisa digunakan masyarakat.

Selain itu, masih banyak temuan menarik yang dirangkum dalam laporan. Selengkapnya, unduh secara gratis laporan melalui tautan berikut ini: The Rise of Digital Banking in Indonesia 2021.

Bank Digital 101: Ecosystem and Future Prospect

In the last three years, the Indonesian banking industry has been stirred with the rise of digital banks, both in the form of new banks and conversions from existing banks. As a first step, the Government released a new regulation that is expected to accommodate the needs of digital bank players through the Financial Services Authority (OJK).

POJK Number 12/POJK.03/2021 contains various provisions related to the establishment of banks and capital. Among those are the provisions for the establishment of two types of digital banks. First, the establishment of a new bank as a digital bank and second, the transformation of existing commercial banks into digital banks

In addition, the new rules are also to provide clear boundaries regarding the digital banking business considering that this trend is still relatively new in the Indonesian banking industry.

In its efforts, digital banks continue to provide literacy, therefore, people understand the business and services they run. It is while taking advantage of digital finance rapid acceleration during the Covid-19 pandemic. Based on the FICO survey in 2020, 54% of Indonesian consumers prefer to use digital channels to interact with banks, 3% mobile banking, 7% internet banking, and 14% through telephone banking.

However, we cannot forget the large groups of Indonesian people who are more comfortable with financial transactions by visiting ATMs or branch offices.

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) held a journalistic training to provide an in-depth understanding of digital banking. DailySocial had the opportunity to participate in the training held in Bali.

Several prominent observers participated, including the Research Director of the Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, the Indonesia Stock Exchange Business Development Advisor Poltak Hotradero, and the Director of the Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira.

Digital bank perception

Many Indonesian people recognize digital banks as digital banking services. Also, considering it is still a brand-new business model, the understanding of digital banking is still considered blurry among the public.

Research Director of the Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mentions a definition to significantly distinguish digital and conventional banks. He said, a digital bank is defined as a bank along with its services where we no longer need to think about where the head office, branch offices, the number of ATMs, including the number of employee.

Similar to the GoPay and OVO digital wallet platforms, we have no idea where the money stored. With a decade of internet and smartphone adoption phenomenon, he considered the banking business would remain the same, but the delivery is started shifting.

In his opinion, this perception is reasonable considering that people are used to transacting at banks. Bank is identified as financial institution with branch offices and head office. Unlike the pre-digital era, banking competition is clear from the bank efforts to build an ecosystem. In the context of conventional banks, its ecosystem is branch offices and ATMs.

To date, the use of ATM started to be irrelevant. People are getting used to making financial transactions through mobile banking platforms and digital wallets. The banking industry has experienced massive adoption during the pandemic.

Based on OJK data, a total of 2,593 branch office networks were closed from 2017 to August 2021. These branch offices are closed in line with the bank’s digital transformation as seen from the increasing volume of digital transactions.

Piter said, whether conventional banks have not transformed into digital banks today, it does not mean they have failed to digitize. It’s more of a competition failure. It should be noted, the banking advantage factor has changed, things excelled in the past, could be a burden in the era of the digital ecosystem.

“This is not a sprint, but a marathon, determined by resilience. Moreover, digital banking is still a brand-new trend in Indonesia. Therefore, this is the reason for established banks to be prepared, not directly face-to-face but through proxies or subsidiary,” said Piter.

The above explanation is a reminiscent of Bank Jago’s Founder Jerry Ng hypothesis when he decided to acquire Artos Bank and change its name. Jerry considered Bank Artos have quite small legacies (branch offices, ATMs, and HR). In this case, his team can develop technology from scratch instead of taking a bank with thousands of branch offices.

Digital bank study case

Moreover, the Indonesia Stock Exchange Business Development Advisor, Poltak Hotradero highlighted the digital ecosystem as one of the key factors in digital banks. He took several examples of successful digital banks in the world that apply a similar model, for example KakaoBank from South Korea.

KakaoBank was founded in 2016 and is owned by internet giant Kakao Corp. In its early days, KakaoBank recorded extraordinary achievements. Within five days, KakaoBank reached 1 million users.

KakaoBank also recorded financial performance above the industry average. For example, deposit growth was at 13.65% from the industry average at 11.98%. Also, KakaoBank’s NPL was at 0.26% where the industry reached 1.78%. Meanwhile, income fee reached 30.16% of the industry’s 28.02%.

Sumber: Boston Consulting Group
Source: Boston Consulting Group

For Poltak, KakaoBank’s success also influenced by the large digital ecosystem owned by its parent company. Kakao has a diverse service portfolios, such as chat services, fintech, e-commerce, and games.

“The internet evolution has brought changes in people and money. Machines are integrated with each other thanks to the internet. This is the foundation for the development of digital banks where payments, liquidity, and analytics will be in the cloud. In other words, technology enables banks [digital] to be able to scale up faster,” he said.

In the future, Poltak mentioned the competition of three types of banks, conventional banks, digital banks, and embedded banks. He defines embedded bank (Bank-as-a-Service/BaaS) as a service that has been operating digitally since day one and has entered the (native) ecosystem. He also said that embedded banks would become part of the plumbing system for corporate or individual financial services.

Source: FT Partners Research

“Digital platforms will facilitate synergies with other digital financial services, such as investment and insurance services. However, it is important to note that the biggest cost and risk of the digital transition is failure to maintain market share and segments. These factors can turn banks irrelevant,” he added.

Therefore, he highlighted that digitalization is a competitive necessity. We should not let the financial sector only delegate its role through banks, given the huge business potential and services. He believes market expansion is important for developing digital banks considering a large number of unexplored market segments in Indonesia and can only be served through digital.

Digital bank projection

According to his study, Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira divides digital banks into three models, direct banks, neobanks, and challenger banks.

He explained that direct banks enlarge opportunities for banking services, such as savings and digital loan channeling. Furthermore, neobank operates as a fully digital bank, without branch offices, but with a mobile application. Meanwhile, challenger banks are said to be revolutionizing the way transactions, new loan models, and personal finance.

Bhima said the global potential accumulation of challenger bank and neobank markets could reach $578 billion in 2027, according to a Medici Research report.

We try to take other sources to provide a thorough definition, especially on neobanks and challenger banks. Citing from FinTech Magazine, neobank offers flexibility to various services, including payroll and expense management. In addition, neobank also offers corporate financial solutions to address the challenges of MSMEs.

The API presence helps to integrate business flows with banking requirements. However, neobanks do not have a banking license as they operate by relying on partner banks. Therefore, they cannot offer traditional banking services.

Meanwhile, challenger banks use technology to streamline the banking process. However, challenger banks also maintain a physical presence to operate fintech services. The challenger banks scope is generally much smaller than the mainstream banking sector. It is estimated that there are currently 100 challenger banks globally.

Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira / Bank Jago

Unlike neobank, challenger bank has a bank license and can offer customers a wide range of traditional and digital banking services. These traditional banking services can be accessed and utilized more accommodatively than commercial banks.

Furthermore, Bhima considered that digital banks offer a number of advantages, both for individuals and business players. At the individual level, digital banks increase customer literacy in other financial products, such as investments. According to World Bank data in 2020, the share of stock market capitalization to GDP is still relatively small. The emergence of digital banks is projected to encourage investment interest.

In addition, digital banks can encourage financial control efforts in the MSME sector with financial transparency and efficiency. Moreover, business players can get access to financing channeled by digital banks through channeling schemes.

The evolution of neobank / Sumber: PwC
Neobank evolution . Source: PwC

“To date, banks do not compete with technology, but with high interest rates. Moreover, digital bank suddenly appeared, offering easy services and access to capital. Currently, Indonesia has 65 million MSMEs and some of them are yet to receive loans. Digital banks can add to that financing capacity. If Indonesia wants to restore the economy to the level of 5%, its credit growth must triple,” he explained.

Based on data-driven credit scoring, digital banks can continue to grow by extending credit to unbankable segments. In the future, this loan disbursement can use the customer transaction rating indicator on e-commerce, food delivery, or ride-hailing platforms.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Belajar Bank Digital, Ekosistem, dan Prospek di Masa Depan

Dalam tiga tahun terakhir, industri perbankan Indonesia diramaikan dengan geliat pendirian bank digital, baik berbentuk bank baru maupun konversi dari bank yang sudah ada (existing). Sebagai langkah awal, Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis aturan baru yang diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan pelaku-pelaku bank digital.

POJK Nomor 12/POJK.03/2021 memuat berbagai ketentuan terkait pendirian bank dan modal. Di antaranya adalah ketentuan pendirian dua jenis bank digital. Pertama, pendirian bank baru sebagai bank digital dan kedua, transformasi bank existing umum menjadi bank digital

Di samping itu, aturan baru juga untuk memberikan batasan yang jelas terkait bisnis bank digital mengingat tren ini masih terbilang baru di industri perbankan Indonesia.

Dalam upayanya, bank digital terus melakukan literasi agar masyarakat memahami bisnis dan layanan yang mereka jalankan. Ini sembari memanfatkan momentum akselerasi keuangan digital yang pesat saat pandemi Covid-19. Berdasarkan survei FICO di 2020, 54% konsumen Indonesia lebih suka memakai kanal digital untuk berinteraksi dengan bank, 3% mobile banking, 7% internet banking, dan 14% lewat telepon banking.

Namun, kita tidak bisa melupakan bahwa masih besar kelompok masyarakat di Indonesia yang lebih nyaman bertransaksi keuangan dengan mendatangi ATM maupun ke kantor cabang bank.

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) menggelar pelatihan jurnalistik demi memberikan pemahaman mendalam perihal bank digital. DailySocial berkesempatan mengikuti pelatihan yang digelar di Bali ini.

Beberapa pengamat terkemuka turut berpartisipasi, antara lain Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, Advisor Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero, dan Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira.

Persepsi bank digital

Tak sedikit masyarakat di Indonesia yang mengenali bank digital sebagai layanan digital banking. Lagi-lagi mengingat model bisnisnya masih baru, pemahaman terhadap bank digital pun dinilai masih kabur di kalangan masyarakat.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah memberikan satu definisi yang sekiranya mampu membedakan bank digital dan bank konvensional secara signifikan. Menurutnya, bank digital didefinisikan sebagai bank beserta layanan yang mana kita tidak perlu lagi memikirkan di mana kantor pusat, kantor cabang, jumlah ATM, termasuk jumlah orang yang mengoperasikan.

Sama seperti platform dompet digital GoPay dan OVO, kita tak perlu tahu di mana uangnya disimpan. Dengan fenomena adopsi internet dan smartphone selama satu dekade ini, ia menilai bahwa bisnis bank akan tetap sama, tetapi delivery-nya saja yang kini mulai berbeda.

Menurutnya, persepsi ini wajar mengingat masyarakat terbiasa bertransaksi di bank. Bank diidentikkan sebagai lembaga keuangan dengan kantor cabang dan kantor pusat. Berbeda dengan era sebelum digital, persaingan perbankan dapat terlihat dari upaya bank membangun ekosistem. Dalam konteks bank konvensional, ekosistem mereka adalah kantor cabang dan ATM.

Kini perlahan-lahan keberadaan mesin ATM mulai tidak relevan. Orang-orang mulai terbiasa bertransaksi keuangan melalui platform mobile banking maupun dompet digital. Adopsi besar-besaran ini dinikmati industri perbankan selama masa pandemi.

Berdasarkan data OJK, sebanyak 2.593 jaringan kantor cabang ditutup dari 2017 hingga Agustus 2021. Penutupan kantor cabang ini selaras dengan transformasi digital bank yang terlihat dari meningkatnya volume transaksi secara digital.

Menurut Piter, di situasi sekarang apabila bank konvensional belum bertransormasi ke arah bank digital, tidak berarti mereka gagal melakukan digitalisasi. Ini lebih kepada kegagalan kompetisi. Perlu dicatat, faktor keunggulan perbankan sudah berubah, yang unggul di masa lalu, bisa jadi beban di era ekosistem digital.

“Ini bukan lomba lari cepat, tetapi maraton, ketahanan yang menentukan. Lagipula, bank digital masih jadi tren baru di Indonesia. Makanya, ini alasan bank-bank yang sudah mapan mempersiapkan diri, tapi tidak langsung face-to-face melainkan lewat proxy atau anak usahanya,” papar Piter.

Paparan di atas sedikit mengingatkan pada hipotesis Pendiri Bank Jago Jerry Ng ketika memutuskan mencaplok Bank Artos dan mengganti namanya. Jerry menilai Bank Artos tidak memiliki banyak legacy (kantor cabang, ATM, dan SDM). Dengan kondisi ini, pihaknya dapat leluasa mengembangkan teknologi dari awal ketimbang mengambil bank yang sudah punya ribuan kantor cabang.

Studi kasus bank digital

Pada paparan berikutnya, Advisor Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero menyoroti ekosistem digital sebagai salah satu faktor kunci pada bank digital. Ia mengambil beberapa contoh bank digital sukses di dunia yang menerapkan model serupa, misalnya KakaoBank asal Korea Selatan.

KakaoBank berdiri di 2016 dan dimiliki oleh perusahaan raksasa internet Kakao Corp. Pada awal kemunculannya, KakaoBank mencatatkan pencapaian yang luar biasa. Dalam lima hari, KakaoBank mengantongi 1 juta pengguna.

KakaoBank juga mencatat kinerja keuangan di atas rata-rata industri. Misalnya, pertumbuhan deposit sebesar 13,65% dari rerata industri 11,98%. Kemudian, NPL KakaoBank juga sebesar 0,26% di mana industri mencapai 1,78%. Sementara, pendapatan fee mencapai 30,16% dari industri 28,02%.

Sumber: Boston Consulting Group
Sumber: Boston Consulting Group

Menurut Poltak, keberhasilan KakaoBank tak lepas dari ekosistem digital besar yang dimiliki perusahaan induknya. Kakao memiliki portofolio layanan beragam, seperti layanan chat, fintech, e-commerce, dan game.

“Evolusi internet membawa dampak perubahan pada manusia dan uang. Mesin-mesin juga saling berinteraksi berkat internet. Ini menjadi pondasi perkembangan bank digital di mana nantinya pembayaran, liquidity, dan analytics berada di awan (cloud). Dengan kata lain, teknologi memampukan bank [digital] untuk bisa scale up lebih cepat,” tuturnya.

Di masa depan, Poltak menyebutkan tiga jenis bank yang bakal berkompetisi antara lain bank konvensional, bank digital, dan embedded bank. Poltak mendefinisikan embedded bank (Bank-as-a-Service/BaaS) sebagai layanan yang sejak awal sudah beroperasi secara digital dan masuk ke ekosistem (native). Ia juga menilai embedded bank akan menjadi bagian dari plumbing system jasa keuangan korporasi atau individu.

Sumber: FT Partners Research

“Platform digital akan memudahkan sinergi dengan layanan keuangan digital lainnya, misalnya layanan investasi dan asuransi. Namun perlu dicatat, biaya dan risiko terbesar dari transisi digital adalah kegagalan mempertahankan pangsa dan segmen pasar. Faktor tersebut dapat membuat bank menjadi tidak relevan,” tambahnya.

Maka itu, ia menggarisbawahi bahwa digitalisasi adalah keniscayaan kompetitif. Jangan sampai sektor keuangan hanya diserahkan perannya lewat bank saja mengingat potensi bisnis dan layanannya begitu besar. Ia meyakini perluasan pasar penting untuk mengembangkan bank digital mengingat masih ada segmen pasar yang belum tergarap di Indonesia dan hanya bisa dilayani lewat digital.

Proyeksi bank digital

Menurut studinya, Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira membagi bank digital ke dalam tiga model, yakni direct bank, neobank, dan challenger bank.

Ia memaparkan, direct bank memperbesar peluang layanan perbankan, seperti tabungan dan channeling pinjaman digital. Kemudian, neobank beroperasi sebagai bank yang full digital, tanpa kantor cabang, dan memiliki aplikasi mobile. Sementara, challenger bank dikatakan merevolusi cara transaksi, model pinjaman baru, dan personal finance.

Bhima mengungkap, potensi akumulasi pasar challenger bank dan neobank secara global dapat mencapai $578 miliar di 2027 menurut laporan Medici Research.

Kami mencoba mengambil sumber lain untuk memberikan definisi lebih dalam, terutama pada neobank dan challenger bank. Mengutip FinTech Magazine, neobank menawarkan fleksibilitas ke berbagai layanan, termasuk payroll dan expense management. Selain itu, neobank juga menawarkan solusi keuangan korporasi untuk menjawab tantangan yang dihadapi UMKM.

Kehadiran API membantu mengintegrasikan alur bisnis dengan persyaratan perbankan. Kendati begitu, neobank tidak punya lisensi perbankan karena mereka beroperasi dengan mengandalkan bank mitra. Dengan demikian, mereka tidak dapat menawarkan layanan perbankan tradisional.

Sementara challenger bank memanfaatkan teknologi untuk merampingkan proses perbankan. Namun, challenger bank juga mempertahankan kehadiran fisik untuk mengoperasikan layanan fintech. Sekop challenger bank umumnya jauh lebih kecil dibandingkan pada sektor perbankan mainstream. Diperkirakan ada 100 challenger bank secara global saat ini.

Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira / Bank Jago

Berbeda dengan neobank, challenger bank memiliki lisensi bank dan dapat menawarkan nasabah terhadap berbagai macam layanan perbankan tradisional dan digital. Layanan perbankan tradisional ini juga dapat diakses dan dimanfaatkan lebih akomodatif dibandingkan bank umum.

Lebih lanjut, Bhima menilai bahwa bank digital menawarkan sejumlah keunggulan, baik untuk individu maupun pelaku usaha. Di level individu, bank digital meningkatkan literasi nasabah terhadap produk keuangan lainnya, misalnya investasi. Menurut data World Bank di 2020, porsi kapitalisasi pasar saham terhadap PDB masih relatif kecil. Kemunculan bank digital diproyeksi dapat mendorong minat investasi.

Selain itu, bank digital dapat mendorong upaya pengendalian keuangan di sektor UMKM dengan transparansi dan efisiensi keuangan. Apalagi, pelaku usaha juga bisa mendapatkan akses terhadap pembiayaan yang disalurkan bank digital melalui skema channeling.

The evolution of neobank / Sumber: PwC
The evolution of neobank / Sumber: PwC

“Selama ini bank tidak bersaing dengan teknologi, tapi dengan gede-gedean bunga. Lalu, tiba-tiba muncul bank digital yang menawarkan kemudahan layanan dan akses permodalan. Saat ini Indonesia punya 65 juta UMKM dan sebagian dari mereka belum dapat pinjaman. Bank digital dapat menambah kapasitas pembiayaan itu. Apabila Indonesia ingin memulihkan perekonomian ke level 5%, pertumbuhan kreditnya harus naik tiga kali lipat,” jelasnya.

Dengan berbasiskan data-driven credit scoring, bank digital dapat terus berkembang dengan menyalurkan kredit ke segmen yang belum terjamah. Di masa depan, penyaluran kredit ini dapat memakai indikator rating transaksi nasabah di platform e-commerce, food delivery, atau ride hailing.

Ribbit Capital to Support Bank Jago Expanding Its Ecosystem

Earlier this week (04/10), Bank Jago officially announced Ribbit Capital’s arrival into the ranks of its investors. There’s no further details regarding the nominal funding provided, in an IDX disclosure, it was stated that Ribbit Capital’s ownership of Bank Jago does not exceed 5%.

The company’s representative said that Ribbit’s arrival was considered strategic because they were previously known as venture capitalists that oversee top-notch fintech applications in the global arena. Services such as Robinhood, Revolut, Affirm, Nubank, Coinbase, and Credit Karma are included in the portfolio.

Ribbit is also a shareholder in an investment app developer startup Ajaib — they recently achieved ‘unicorn’ status through a new funding round with Ribbit Capital.

Validating future prospect

Digital banks are mushrooming amidst the rapidly accelerating financial technology ecosystem. It forces every service provider to present an added valuein their application. Bank Jago himself said that the formation of an ecosystem is one of its main strategies. In the last 12 months, for example, they have intensively collaborated with several fintech lending and wealth management platforms. Finally, they integrated the service into Gojek and the Bibit application.

Application Google Play Rank (Finance) Download Rating
Neobank 1 10 million+ 3,8
Seabank 19 100 thousand+ 3,8
Jago 21 1 million+ 3,8
New Livin’ 28 100 thousand+ 3,9
blu 43 100 thousand+ 4,0
Jenius 54 5 million+ 4,0
TMRW 80 500 thousand+ 4,0
LINE Bank 81 500 thousand+ 3,9

(Ranks based on data per October 8th, 2021 on 4PM)

According to Bank Jago’s President Director, Kharim Siregar, Ribbit’s presence in the ranks of strategic investors shows two things. First, validation regarding the prospects for digital banks in Indonesia, especially for the future of Bank Jago products. Second, their interest in participating in increasing financial inclusion in this country.

“This is a form of investor appreciation for Bank Jago’s business model as a digital bank that serves the mass market, is embedded in the ecosystem and uses the latest technology. We are on the right track to take Bank Jago to a higher level,” he said.

Looking at the prospects for integration with portfolios, the situation is quite the opposite. In the wealthtech segment, currently Bank Jago has collaborated with Bibit – Ajaib’s direct competitor. Meanwhile, another shareholder, Gojek, through its venture unit also invested in Pluang.

However, in general, Ribbit’s experience with the world’s top fintech applications is expected to provide support for achieving a broad financial services ecosystem.

Enhancing integration

Kharim also said that his company’s focus this year was to develop strategic partnerships to expand the scope of its service ecosystem. The use case to do is, Bank Jago users are expected to be able to use various types of financial services without having to switch applications. In choosing a strategic partner, common vision and passion are the main consideration.

Bank Jago business model / Bank Jago

Going forward, Bank Jago will continue to improve application capabilities with various services that focus on lifestyle and financial management.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ribbit Capital Diharapkan Bisa Membantu Bank Jago Perluas Ekosistem Layanan

Awal minggu ini (04/10), Bank Jago secara resmi mengumumkan masuknya Ribbit Capital ke jajaran investornya. Kendati belum disebutkan detail mengenai nominal pendanaan yang diberikan, dalam keterbukaan di BEI disampaikan bahwa kepemilikan Ribbit Capital atas Bank Jago tidak melebihi 5%.

Disampaikan oleh perwakilan perseroan, masuknya Ribbit dianggap strategis karena sebelumnya mereka dikenal sebagai pemodal ventura yang menaungi aplikasi fintech jempolan di kancah global. Layanan seperti Robinhood, Revolut, Affirm, Nubank, Coinbase, dan Credit Karma masuk ke dalam jajaran portofolionya.

Ribbit juga menjadi pemegang saham di startup pengembang aplikasi investasi Ajaib — baru-baru ini mereka berhasil mencapai status ‘unicorn’ lewat pendanaan baru yang juga diikuti Ribbit Capital.

Memvalidasi prospek ke depan

Bank digital menjamur kehadirannya di tengah ekosistem teknologi finansial yang terakselerasi kencang. Hal ini memaksa setiap penyedia layanan untuk menghadirkan nilai plus di aplikasinya. Bank Jago sendiri mengatakan bahwa pembentukan ekosistem menjadi salah satu strategi utamanya. Dalam 12 bulan terakhir contohnya, mereka gencar menggandeng beberapa platform fintech lending dan wealth management. Terakhir, mereka mengintegrasikan layanan ke Gojek dan aplikasi Bibit.

Aplikasi Peringkat Google Play (Finance) Unduhan Penilaian
Neobank 1 10 juta+ 3,8
Seabank 19 100 ribu+ 3,8
Jago 21 1 juta+ 3,8
New Livin’ 28 100 ribu+ 3,9
blu 43 100 ribu+ 4,0
Jenius 54 5 juta+ 4,0
TMRW 80 500 ribu+ 4,0
LINE Bank 81 500 ribu+ 3,9

(peringkat didasarkan pada data per 8 Oktober 2021, pukul 16.00 WIB)

Hadirnya Ribbit ke dalam jajaran investor strategis menurut Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar menunjukkan dua hal. Pertama, validasi terkait prospek bank digital di Indonesia, khususnya untuk masa depan produk Bank Jago. Kedua, minat mereka untuk turut serta meningkatkan inklusi keuangan di negeri ini.

“Hal ini merupakan bentuk apresiasi investor terhadap bisnis model Bank Jago sebagai bank digital yang melayani mass market, tertanam dalam ekosistem dan menggunakan teknologi terkini. Kami merasa sudah berada di jalur yang tepat untuk membawa Bank Jago ke level yang lebih tinggi lagi,” ujarnya.

Jika meninjau prospek integrasi dengan portofolio, kondisinya cukup berlawanan. Di segmen wealthtech, saat ini Bank Jago sudah bekerja sama dengan Bibit – kompetitor langsung Ajaib. Sementara pemegang saham lainnya, yakni Gojek, melalui unit venturanya juga berinvestasi ke Pluang.

Namun demikian, secara umum pengalaman Ribbit membersamai berbagai aplikasi fintech top dunia diharapkan dapat menghadirkan dukungan untuk mencapai ekosistem layanan finansial yang luas.

Terus meningkatkan integrasi

Kharim juga mengatakan, fokus perusahaannya tahun ini memang mengembangkan kemitraan strategis untuk memperluas cakupan ekosistem layanan. Use case yang ingin dibangun, nantinya pengguna Bank Jago diharapkan bisa menggunakan  berbagai jenis layanan finansial tanpa harus berpindah-pindah aplikasi.  Dalam memilih rekanan strategis, kesamaan visi dan passion menjadi hal pertama dilihat.

Model bisnis Bank Jago / Bank Jago

Ke depannya, Bank Jago masih akan terus meningkatkan kapabilitas aplikasi dengan berbagai layanan yang berfokus pada gaya hidup dan pengelolaan finansial.