Gayo Capital’s First Move as Ideosource’s New Venture Entity

After the new unit, Ideosource Entertainment, created to accommodate investment in a specific industry, Ideosource plans to target another business coverage. The company has officially announced a new entity named Gayo Capital, in charge of Ideosource Green Initiative.

Gayo Capital’s Co-Founder & Managing Director, Edward Ismawan Chamdani told DailySocial that the new venture has its own managed fund consists of “strategic investors” as Gayo Capital’s partner; later, there will be other funds as the investment thesis developed.

“Gayo was formed in early 2020, in fact, the idea and research have been brewed for 2.5 years,” Chamdani said.

Gayo Capital also has Ishara Yusdian to lead along Chamdani, both are fully responsible for the operation and execution of the defined roadmap. While Jefri Sirait and Andi S. Boediman acted as advisors.

Gayo Capital investment approach

The investment approach is quite unique, they’re focus on two things. First, Gayo targets companies that are working on a large traditional/conventional market share, for example in the agricultural, logistics, retail, supply chain, and others. However, they ensure that technology can be components of disruption. Ideosource’s experience is expected to improve the process of digital transformation in order to improve business.

Second, the founder sees fund pattern in venture capital does not match the investment thesis in conventional companies. There should be a breakthrough in order to connect. Therefore, an operating holding is formed, combining the “venture debt” model. It allows companies to obtain a “working capital” kind of funding, comes with intensive equity; in financial terminology, it is called “quasi-equity”.

“However, this pattern is to be combined with the venture capital model, in general, using a closed-ended fund structure, particularly for our investment in pure-tech companies,” Chamdani continued. “We basically expect to form a ‘reversed conglomeration’, where the companies we help and invest in are able to innovate and put a breakthrough in their respective sectors and make changes to the bottom-up business patterns.”

In addition to capital assistance, as an operating holding, Ideosource expects to play a role in providing direction, opening networks, providing access to capital, and forming inter-company synergies.

“Gayo Capital as an operating holding company has invested in several companies such as Inacom, PT Petani Kakao Lampung, WLabku, Hydro Retailindo, Foom.id, and several other portfolios in the ongoing process of mentorship and initial investment,” Chamdani said.

Optimizing business potential in Indonesia

In particular, Chamdani also told the reason behind Gayo Capital’s focus on business in Indonesia. There are quite principal reasons; He told an example, most of the agricultural sectors, such as coconut, cocoa, pepper, and others are managed by regular farmers. However, there is no disruption in terms of the supply chain that provides efficiency in the buying and selling, export-import, and product innovation processes.

“While we know that Indonesia’s strongest demographics in the world for this sector and archipelago land have indeed been the target of the entire world since the colonial era, it’s time for innovation to grow not from the top-down course, we hope the bottom-up can be more and more bold,” explained Edward.

Gayo through its social foundations will also penetrate the farmer-specialize education sector with a specific curriculum according to their managed land; currently under discussion with the stakeholders to be involved.

Investment amid pandemic

Debuting amid a crisis caused by the pandemic didn’t wash off the spirit of Gayo Capital’s founders. Edward and his team believe that timing as one of the key components along with strategy, roadmap, team, and capital.

“In every crisis, there will be a greater opportunity, just as the ball we press into the water will bounce higher and faster when released,” Chamdani shared a parable. “Every week we’ll be contacted by 1 to 3 Asian and American financial companies wanted to dig more on Gayo Capital, and we believe that we’re working in the right sector.”

We’ve come into anticipation of the “new normal” situation. Edward also said the shaded sectors are now increasingly focused on transparency. That is because each party is getting more literate on technology, creating technological opportunities to be elaborated.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gayo Capital Debut sebagai Entitas Ventura Baru dari Ideosource

Setelah Ideosource Entertainment sebagai anak unit ventura yang mengakomodasi investasi di bisnis hiburan, Ideosource kembali memperlebar cakupan bisnisnya. Kali ini dengan meresmikan entitas baru bernama “Gayo Capital”, menaungi Ideosource Green Initiative.

Kepada DailySocial, Co-Founder & Managing Director Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani menyampaikan, perusahaan ventura baru ini telah memiliki dana kelolaan sendiri, terdiri dari “strategic investor” yang menjadi partner di Gayo Capital; dan ke depannya juga akan ada “fund” sesuai perkembangan tesis investasi yang dikembangkan.

“Gayo dibentuk secara formal awal tahun 2020 ini, namun cikal bakal ide dan riset sudah kita lakukan sejak 2,5 tahun yang lalu,” ujar Edward.

Selain Edward, Gayo Capital dipimpin oleh Ishara Yusdian, keduanya bertanggung jawab penuh pada operasional dan eksekusi roadmap yang sudah didefinisikan. Sedangkan Jefri Sirait dan Andi S. Boediman bertindak sebagai advisor.

Pendekatan investasi Gayo Capital

Pendekatan investasi yang dilakukan cukup unik, fokusnya ada pada dua hal. Pertama, Gayo menargetkan perusahaan yang menggarap pangsa pasar tradisional/konvensional yang sudah besar, misalnya di lanskap pertanian, logistik, ritel, supply chain, dan lainnya. Namun, mereka memastikan bahwa nuansa teknologi dapat menjadi komponen disrupsi. Pengalaman Ideosource diharapkan dapat meningkatkan proses transformasi digital tersebut dalam rangka meningkatkan bisnis.

Kedua, founder melihat pola struktur fund di modal ventura tidak cocok dengan tesis investasi di perusahaan konvensional. Perlu adanya terobosan untuk menjembatani. Maka dari itu dibentuk operating holding, mengombinasikan model “venture debt”. Memungkinkan perusahaan mendapatkan pendanaan yang bersifat modal kerja, namun tetap dengan intensif ekuitas; dalam terminologi finansial disebut “quasi-equity”.

“Namun pola ini setelah berkembang tetap akan kami kombinasikan dengan model venture capital umumnya dengan struktur fund yang close-ended juga, khususnya untuk investasi kami ke perusahaan yang pure-tech,” lanjut Edward. “Yang kami harapkan pada dasarnya membentuk ‘reversed conglomeration’, di mana perusahaan-perusahaan yang kami bantu dan investasikan mampu melakukan inovasi dan terobosan di sektor masing-masing dan membuat perubahan pola bisnis yang sifatnya bottom-up.”

Sehingga selain memberikan bantuan modal, diharapkan sebagai operating holding Ideosource dapat berperan memberikan arahan, membuka jaringan, memberikan akses ke kapital, dan membentuk sinergi antar-perusahaan.

“Gayo Capital sebagai operating holding company sudah memiliki investasi di beberapa perusahaan seperti Inacom, PT Petani Kakao Lampung, WLabku, Hydro Retailindo, Foom.id; dan ada beberapa portfolio lainnya yang sedang dalam proses mentorship dan investasi awal,” kata Edward.

Optimalkan potensi bisnis di Indonesia

Secara khusus Edward juga menceritakan mengapa Gayo Capital difokuskan untuk bisnis di Indonesia. Ada alasan yang cukup prinsipil; ia mencontohkan, sektor pertanian kelapa, kakao, lada, dan lainnya sebagian besar masih dikelola petani rakyat. Namun belum ada disrupsi di sisi supply chain yang memberikan efisiensi pada proses jual-beli, ekspor-impor, hingga inovasi produk.

“Sedangkan kita tahu demografi Indonesia terkuat di dunia untuk sektor ini dan lahan archipelago memang sudah menjadi incaran seluruh dunia sejak jaman penjajahan, sudah waktunya inovasi tumbuh bukan dari top-down saja, kita harapkan bottom-up bisa makin banyak dan berani melangkah,” terang Edward.

Gayo melalui yayasan sosialnya juga akan masuk ke sektor pendidikan khusus petani dengan kurikulum yang spesifik sesuai tanah kelolaan mereka; saat ini tengah dalam tahap diskusi dengan para stakeholder yang akan terlibat.

Investasi di tengah pandemi

Debut dibarengi dengan krisis yang disebabkan karena pandemi tidak membuat semangat pendiri Gayo Capital luntur. Bagi Edward dan tim, timing menjadi salah satu komponen kunci dibarengi dengan strategi, roadmap, tim, dan kapital untuk dieksekusi pada waktunya

“Di setiap krisis pasti ada peluang yang makin besar, sama seperti bola yang kita tekan ke dalam air akan melambung makin tinggi dan cepat pada saat di lepas,” ungkap Edward memberikan perumpamaan. “Dalam setiap minggunya kami di hubungi 1 sampai 3 perusahaan finansial Asia maupun Amerika yang tertarik mengenal Gayo Capital lebih dalam, jadi kami melihat sektor yang kami garap memang sudah tepat.”

Perubahan yang akan menjadi “new normal” juga sudah mulai diantisipasi. Edward turut melihat, sektor-sektor yang dinaungi juga makin memfokuskan pada transparansi. Hal itu dikarenakan setiap pihak makin melek teknologi, sehingga peluang teknologi untuk bisa dielaborasikan di dalamnya.

Dalam Bisnis Kuliner, Perubahan adalah Keniscayaan

Bisnis kuliner merupakan jenis bisnis yang benar-benar mewakili semangat “beradaptasi atau mati”. Beruntung bagi Kulina, Andy Fajar Handika merupakan sosok yang cepat beradaptasi. Founder & CEO Kulina itu sudah beberapa kali melakukan perubahan dalam bisnis kuliner.

Dalam reality show Kitchen Nightmare, masalah yang dihadapi oleh chef kondang Gordon Ramsay paling sering berpangkal pada pemilik restoran yang sama sekali enggan menyesuaikan diri dengan tren dan perilaku konsumen terbaru. Cara mereka mengasingkan diri dengan kenyataan baru menempatkan mereka di ambang kebangkrutan.

#SelasaStartup edisi kali ini menyoroti bisnis Kulina dan upaya Andy yang mengakrabkan diri dengan segala bentuk perubahan yang diperlukan untuk bertahan di industri kuliner.

Akrab dengan perubahan

Andy yang sudah berbisnis kuliner sejak 2007 punya sejarah panjang dalam beradaptasi di bisnis kuliner. Bisnis kuliner bukan hanya soal cita rasa, tapi juga soal lokasi, harga, hingga cara berjualan. Andy bercerita pertama kalinya ia menggeser bisnisnya ke arah online karena kenaikan harga sewa tanah tempatnya berdagang lebih cepat ketimbang pertumbuhan bisnis mereka sendiri.

Growth bisnis restoran paling hanya 10% per tahun, sedangkan growth tanah bisa 50-80% setahun. Tempat yang strategis harganya jadi sangat-sangat mahal. Akhirnya yang bisa jualan di tempat strategis memang orang yang sangat kaya dengan modal sangat kuat,” kenang Andy.

Kulina berdiri pada 2015 dengan motivasi semua orang bisa yang bisa memasak, bisa menjual masakannya. Namun ide itu terbukti gagal. Andy menyebut di bulan pertama hanya ada satu-dua pelanggan yang notabene kawannya sendiri.

Paham ada banyak yang salah di bisnisnya, Andy langsung berbenah. Hanya dalam hitungan beberapa bulan Kulina melakukan pivot. Mereka akhirnya memilih pekerja kantoran yang minim opsi makan siang di Jakarta sebagai target produk Kulina. Pivot ini berhasil dan mengantarkan Kulina seperti yang kita kenal sekarang.

Situasi khusus

Wabah Covid-19 memukul industri kuliner. Kewajiban swakarantina dan beraktivitas dari rumah menyebabkan restoran terancam gulung tikar karena minim pemasukan. Keadaan ini tentu turut memengaruhi bisnis startup kuliner termasuk Kulina.

Andy mengatakan, saat ini ada perubahan komposisi produk yang dipesan oleh pelanggan mereka. Sebelumnya paket makan per orang mendominasi, tapi saat ini paket makan porsi keluarga justru lebih banyak dipesan. Ia mengklaim secara Kulina mengalami penurunan jumlah pemesanan, namun sebaliknya volume makanan yang dipesan justru meningkat.

Perubahan jenis pesanan itu menurut Andi disebabkan oleh banyaknya besarnya waktu masyarakat untuk mengakses peralatan masak atau kebutuhan pokok. Alhasil pelanggan mereka saat ini lebih melirik produk yang berisi lauk-pauk saja.

“Kita juga besok akan ada launch produk-produk frozen food yang siap dimasak atau dihangatkan.”

Andy mengaku, hingga saat ini Kulina selalu mengalami perubahan rutin dalam skala mikro. Ia bahkan tak bisa menjawab berapa lama waktu yang ia butuhkan sampai menemukan model bisnis yang paling tepat untuk Kulina. “Kalau ditanya apakah sudah ketemu model bisnis yang paling tepat, selalu ada penyesuaian di sana-sini,” pungkas Andy.

Digital Strategy to Optimizing Culinary Business

The public appeal to stay at home and reduce the spread of Corona virus resulting impact on some sectors, including culinary business. From the top-tier to the small stalls are struggling to have visitors due to the lockdown season. For some business players, for example, with the cloud-kitchen concept, they actually gain benefit by accommodating food ordering through digital applications.

Meanwhile, the digitization concept is quite easy to duplicate by other business players. Here are some recommended apps for business players to digitize their business followed by simple guidance.

Food delivery service

Currently, GoFood and GrabFood are the two most popular platforms with broad coverage in Indonesia. Business players can register their restaurants here for free as the following steps:

 

GoFood

1. Download the GoBiz app in App Store or Play Store

2. Next, there are two kinds of businesses, individual with homemade scale and company with legal entity.

3. Fill up the business detail and owner profile. User is required to upload the ID or Tax ID (company).

4. Moreover, you have to complete the payment data. It is recommended to use a bank account with the same name as the business owner. If it’s not, there must be power of attorney.

5. Last, read and agree on the terms and conditions. The verification process will be held within 7-14 working days.

GrabFood

1. Complete your profile through this page. Then, confirm your email – Grab recommends to use Gmail based one.

2. Complete your detail information of the business place, including to upload outside figure according to the registered name.

3. Enter the owner’s identity attached to the photo. Make a selfie with your ID in the app for verification. NPWP should be attached also (if there is any).

4. Next, the user will be requested to upload the bank account photo. It is recommended to use a bank account with the same name as a business owner. If it’s not, there must be power of attorney.

5. Last, complete the menu information.

6. Wait for the verification process within 72 hours.

7. Moreover, the next process can be managed through the GrabFood Merchant app available on App Store or Play Store.

By becoming part of the messaging service ecosystem between Gojek and Grab, business owners are automatically asked to activate a digital wallet for transaction management. For GoFood merchants, transactions will be made using GoPay, while for GrabFood using Ovo. Therefore, it is also recommended to have downloaded and registered for both services before registration. Worry not, because the digital wallet balance can easily be transferred to a bank account.

There are some tips to follow:

  • In terms of food photos, make sure it’s in good resolution. Give a good and clean impression on the menu.
  • Because it’s a delivery service, a business should come with good packaging. Don’t make it too simple that the customer feel like it’s not enough.
  • Routinely updating information on availability and schedule.
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Online business profile

Business information should also be easy to find, one way is by setting up an online profile. Includes business identity, address, menu, opening hours, and channels for consumers to provide reviews. One application that is highly recommended to help businesses make an online presence is Google My Business. This application can be downloaded for free, allowing people to find comprehensive information about the business they work at.

Example of culinary business information displayed on Google search engine
Example of culinary business information displayed on Google search engine

Here are few tips to manage culinary business information on Google My Business:

  1. Download the Google My Business app on App Store or Google Play.
  2. Register with your Gmail account.
  3. Submit the business name – it can be already registered, just select. It can happen when someone has been checked-in at the location via Google Maps.
  4. Enter the business category, in this case, you can choose as a restaurant or cafe. Next, add further information related to the location.
  5. Also, don’t forget to display the contact number and website if there’s any: it’s optional.

Furthermore, the business will be displayed on Google pages if there are users entering keywords related to the registered business mark. Users can also provide comments in the form of comments or upload photos from their visit. Ideally, there will always be users who will provide reviews, because for users there are points that can also be obtained from Google.

Application Information Will Show Up Here

Need a further promotion?

Already registered with the online delivery service and directory does not mean that businesses will immediately get a lot of visits. It should be noted, that online there are millions of businesses that are also competing to maximize their presence. So the promotion process must still be carried out by the business owner. Promotional approach can be done for free or paid.

A free example, a business owner can use social media or send messages to surrounding colleagues related to the business. Online presence makes it easy for potential customers to follow up on business information, for example when they want to find out the location or menu available – or want to try but with a delivery service.

How to pay, users can promote business with digital advertising, both through social media or Google Ads. Delivery services also usually promote potential businesses in their applications. The aim is to open up opportunities to reach new consumers.

Supporting business process

In addition, there are also tools that can help entrepreneurs to manage their business. For example online cashier services or financial records. It is important for businesses to keep books, in addition to records, the data obtained can also be studied and analyzed to accelerate business. A full list of applications can be seen in the following article: List of Supporting Services for SME Business Development.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Strategi Digital yang Bisa Dipakai Pengusaha Kuliner Optimalkan Bisnis

Anjuran bagi masyarakat untuk tetap tinggal di rumah demi mengurangi dampak virus Corona memberikan banyak pelajaran, termasuk bagi pebisnis kuliner. Dari restoran besar sampai kedai kecil merasakan betul dampaknya dalam penurunan kunjungan, karena orang-orang urung untuk bepergian. Bagi beberapa pelaku usaha, misalnya kedai kuliner berkonsep cloud kitchen, justru mendulang untung karena mengakomodasi pemesanan makanan via aplikasi digital.

Sementara itu, konsep digitalisasi tersebut sebenarnya bisa dengan mudah ditiru oleh pengusaha kuliner lainnya. Berikut ini beberapa jenis aplikasi yang bisa dicoba pebisnis dan cara singkat penggunaannya.

Layanan pesan antar

Saat ini ada dua platform yang paling populer dan cakupannya luas, yakni GoFood dan GrabFood. Pemilik usaha bisa mendaftarkan bisnisnya gratis dengan cara berikut ini:

GoFood

1. Unduh aplikasi GoBiz di App Store atau Play Store.

2. Selanjutnya ada dua tipe usaha yang dimiliki, yakni perorangan untuk bisnis skala rumahan dan perusahaan untuk bisnis yang sudah memiliki entitas legal.

3. Isikan detail usaha dan data diri pengelolanya. Pengguna juga akan diminta mengunggah identitas seperti KTP atau NPWP (jika berbentuk perusahaan).

4. Kemudian juga akan diminta untuk mengisikan data pembayaran. Disarankan menggunakan rekening bank dengan nama yang sama dengan pemilik usaha. Jika tidak, harus pakai surat kuasa.

5. Terakhir, tinggal membaca dan menyetujui syarat dan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya proses verifikasi akan dilakukan 7-14 hari kerja.

GrabFood

1. Isikan data diri awal melalui laman ini. Lalu konfirmasi email yang digunakan – Grab menyarankan menggunakan email berbasis Gmail.

2. Isikan informasi detail tempat usaha, termasuk mengunggah foto tampak luar yang ada tulisan sesuai nama kedai yang didaftarkan.

3. Masukkan identitas pemilik dengan menyertakan foto KTP. Juga melakukan foto selfie di aplikasi untuk verifikasi. Jika punya, pengusaha juga diminta mengunggah NPWP.

4. Kemudian pengguna diminta untuk mengunggah foto rekening bank. Disarankan menggunakan rekening bank dengan nama yang sama dengan pemilik usaha. Jika tidak, harus pakai surat kuasa.

5. Terakhir masukkan informasi mengenai menu.

6. Tinggal tunggu proses verifikasi dalam 72 jam.

7. Setelah diterima, proses selanjutnya dapat dikelola melalui aplikasi GrabFood Merchant yang dapat diunduh di App Store atau Play Store.

Dengan menjadi bagian ke ekosistem layanan pesan antar Gojek maupun Grab, pemilik usaha secara otomatis diminta untuk mengaktifkan dompet digital untuk pengelolaan transaksi. Untuk merchant GoFood transaksi akan dilakukan menggunakan GoPay, sementara untuk GrabFood menggunakan Ovo. Sehingga sebelum pendaftaran juga disarankan telah mengunduh dan mendaftar ke kedua layanan tersebut. Jangan khawatir, kini saldo dompet digital tersebut bisa dengan mudah dan kapan saja ditransfer ke rekening bank.

Beberapa tips yang bisa diikuti:

  • Untuk foto makanan, gunakan versi sebaik mungkin. Berikan kesan nikmat dan bersih pada sajian yang ditawarkan.
  • Karena untuk pesan antar, ada baiknya bisnis juga menyiapkan kemasan yang sesuai. Jangan sampai karena pengemasan ala kadarnya membuat makanan kurang maksimal ketika diterima konsumen.
  • Rutin memperbarui informasi ketersediaan dan buka/tutupnya kedai.
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Profil bisnis online

Informasi bisnis juga harus mudah ditemukan, salah satu caranya dengan menyiapkan profil secara online. Meliputi identitas bisnis, alamat, menu, jam buka, hingga kanal bagi konsumen untuk memberikan ulasan. Salah satu aplikasi yang sangat disarankan untuk membantu bisnis membuat kehadiran online adalah Google Bisnisku. Aplikasi ini dapat diunduh gratis, memungkinkan orang dapat menemukan informasi yang komprehensif mengenai usaha yang digeluti.

Contoh informasi bisnis kunliner yang tertera dalam laman pencarian Google
Contoh informasi bisnis kunliner yang tertera dalam laman pencarian Google

Berikut ini cara mengelola informasi usaha kuliner melalui aplikasi Google Bisnisku:

  1. Unduh aplikasi Google Bisnisku atau Google My Business di App Store atau Google Play.
  2. Masuk menggunakan akun Gmail yang dimiliki.
  3. Masukan nama usaha yang dimiliki – bisa jadi nama usaha tersebut sudah terdaftar, jika iya tinggal pilih. Biasanya terdaftar lantaran pernah ada orang yang melakukan check-in di lokasi tempat usaha berada melalui Google Maps.
  4. Masukan kategori bisnis, dalam hal ini bisa memilih restoran atau cafe. Kemudian tambahkan informasi mengenai lokasi bisnis.
  5. Masukkan mengenai informasi nomor ponsel dan situs web jika punya; tapi ini langkah opsional.

Selanjutnya bisnis akan terpampang di laman Google jika ada pengguna memasukkan kata kunci berkaitan dengan merek usaha yang didaftarkan. Pengguna juga bisa memberikan ulasan berupa komentar atau mengunggah foto hasil kunjungannya. Idealnya akan selalu ada pengguna yang akan memberikan ulasan, karena bagi pengguna ada poin yang juga bisa didapat dari Google.

Application Information Will Show Up Here

Masihkah perlu promosi?

Sudah terdaftar di layanan pesan antar dan direktori online bukan berarti serta-merta bisnis akan langsung mendapatkan banyak kunjungan. Perlu jadi catatan, bahwa di online ada jutaan bisnis yang juga berlomba memaksimalkan kehadirannya. Sehingga proses promosi tetap harus dilakukan oleh pemilik usaha. Pendekatan promosi bisa saja dilakukan secara gratis ataupun berbayar.

Contoh yang gratis, pemilik usaha dapat menggunakan media sosial atau mengirimkan pesan ke rekan-rekan di sekitarnya terkait bisnis tersebut. Kehadiran online memudahkan calon konsumen untuk melakukan follow up mengenai informasi usaha, misalnya saat mereka ingin mengetahui lokasi atau menu yang tersedia – atau ingin mencoba tapi dengan layanan pesan antar.

Cara berbayar, pengguna bisa mempromosikan bisnis dengan iklan digital, baik melalui media sosial ataupun Google Ads. Layanan pesan antar juga biasanya mempromosikan bisnis-bisnis potensial di aplikasinya. Tujuannya untuk membuka peluang menjangkau kalangan konsumen baru.

Penunjang proses bisnis

Selain di atas, ada juga alat-alat yang bisa membantu pengusaha untuk mengelola bisnis mereka. Misalnya layanan kasir online atau pencatatan keuangan. Penting bagi bisnis untuk melakukan pembukuan, selain untuk arsip, data-data yang didapat juga bisa dipelajari dan dianalisis untuk mengakselerasi bisnis. Daftar selengkapnya mengenai aplikasinya dapat dilihat melalui artikel berikut ini: Daftar Layanan-Layanan Pendukung Pengembangan Bisnis UKM.

The Impact of Covid-19 Pandemic, Digital Transformation Becoming More Real

On Wednesday (3/18), Head of Shopping Center Tenant Association (Hippindo), Budihardjo Iduansjah said to the media that the shopping center’s daily revenue has been declined as the #DiRumahSaja or #SocialDistancing movement was announced to avoid the outbreak of Covid-19. One of the initiatives of brand owners is to rely on transactions outside Jabodetabek – considering some areas are yet to run the appeal.

However, based on the latest news (3/23) at 12 pm WIB, there are 514 positive cases throughout Indonesia. Some regional governments have released an appeal for its citizens to lessen the outside activities. In Central Java, schools have been closed since the past week. Some government offices, such as the Dukcapil, close down some types of crowded services, such as KTP-el matters.

It’s possible that shopping centers in some areas will experience visitor reduction. The thing is, the solution offered related to business scalability may not work as expected – relying on the regional stores.

The map of Covid-19 outbreak per March 23rd, 2020 at 12 pm / Kemenkes
The map of Covid-19 outbreak per March 23rd, 2020 at 12 pm / Kemenkes

It happens not only to the giant retail business, but some SMEs in Blitar have also been complaining about this matter. Most entrepreneurs produce snacks as souvenirs to be distributed to tourist-attraction areas such as Yogyakarta. Usually, their production is to be added to welcome the ‘mudik’ season before Lebaran. However, they have been forced to hold their production since February. Chairman of the Indonesian Tourism Industry Association (GIPI) Yogyakarta, Bobby Ardyanto on Wednesday (11/3) said the impact of Covid-19 resulted in a decrease in the number of tourists 30% -50%.

Transformation is a must

Solution is needed because the trade sector is the second biggest contributor to the Indonesian economy. Until the first quarter of 2019, BPS still recorded 5.26% (YoY) growth. This industry involves various parties, ranging from big players to micro-level companies. When a pandemic occurs, there are several aspects that can be considered to ensure that economic processes continue to run well.

First, sales, related to how retail owners support their consumers with channels to facilitate purchasing. Second, logistics, not only related to the delivery of goods to consumers, but also in the supply chain of raw materials. As PT Sarimelati Kencana Tbk experienced as Pizza Hut franchise brand holder in Indonesia. Director Jeo Sasanto said, there is currently a price increase in raw and supplies with decreasing stock in the market.

A digital approach can certainly provide solutions to these problems, but there must be a business will to do the transformation. As mentioned, many perceive digital transformation as the jargon of mere technology brand campaigns. Moreover, transformation can be interpreted as an effort to accelerate business by involving technological tools. The process is not by replacing all manual business models to digital, but trying to see opportunities that can help certain business processes with digital.

For example, the commercial business case study. Transformation does not mean to close the current traditional retail units to be replaced with e-commerce based business. Instead, technology can enable businesses to embrace a broader target market. One strategy is to take advantage of online-to-offline, for example, brands still have a physical store to enhance their “presence” and shopping experience while providing access to online purchases for convenience.

These efforts will be very beneficial when businesses are forced to “shift” due to emergencies. Instead of being abandoned, the restaurant business, at the time of “lockdown” due to pandemic could intensify the promotion through online applications – in order to solve two problems at once as presented above, on the sales channel and logistics. The supply chain can start relying on online platforms that can connect business people with raw supply producers – for example, the TaniHub application to get fresh vegetable products.

Various snacks produced by SMEs / Unsplash
Various snacks produced by SMEs / Unsplash

In terms of SMEs with limited capital, how to do it? The thing is, to carry out transformation is not merely spending expensive costs for infrastructure and/or application services. Start with the most impactful part of the business. Take a food stall, for example, it can be started by registering the business and the menus into applications such as GrabFood, GoFood or Traveloka Eats. For other businesses, as for SMEs in Blitar case, start utilizing social media and online marketplaces to put product catalogs.

Therefore, is it enough? Certainly not. Digital transformation requires commitment and tenacity. Simply put, online is a market, there are many other traders who sell similar product variants. Just like in traditional markets, what traders need to do is offer their products to passersby. Online, people can offer through social media, use discount promos, take advantage of paid advertising and so on.

The most challenging part

In fact, there are four things that business would ideally get, at least as a general measure of the transformation results. From ensuring the business to remain competitive, presenting efficiency in business processes, increasing customer satisfaction and making it easier for business people to take various strategic decisions.

According to KPMG Singapore’s Head of Enterprise Market Jonathan Ho, there are three challenges most often complained by SMEs in digital adoption. First, it is related to understanding the urgency of digital transformation itself. Digital transformation at one side is not just about technology, but more about how businesses can compete more intensively in current developments. Business people often make the perception that digitalization is a matter of increased operational costs, whereas if applied is just the opposite, technology reduces costs in many aspects.

Second, it is the lack of knowledge about digital skills that are relevant to the business. The fact is that not all businesses need a website, some just need to do promotion through the appropriate channel. A lack of understanding often makes digital transformation decisions taken that are less appropriate to the needs of the business itself. Jam wasting time, maybe a lot of investment disbursed will eventually be in vain. Sometimes what is needed is just to start selling for free through the marketplace platform.

And third, business people sometimes feel “insecure” with the digital world. For example, they are afraid of whether payments will be paid off smoothly – for example, some marketplaces hold payments until the product is really in hand or force businesses to use integrated e-wallet services. Or other concerns, such as fear of being replicated by other people’s product ideas because it is widely publicized on social media. Indeed, all the bad possibilities can happen, but excessive skepticism sometimes makes the business go nowhere, unwilling to transform.

Thus, the most essential part of the transformation effort is to correct the mindset of the businessman himself. In addition, the “catastrophic” moment of the Covid-19 pandemic has now become an important lesson. That digital transformation today is becoming a necessity.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dampak Pandemi Covid-19, Transformasi Digital Tak Sekadar Jargon

Rabu (18/3), Ketum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menyampaikan ke media, omzet harian toko di mall turun mencapai 50%-80% seiring gerakan #DiRumahSaja yang diinisiasi untuk meminimalkan penularan Covid-19. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemilik merek, imbuhnya, mereka mengandalkan transaksi dari cabang toko yang ada di daerah (luar Jabodetabek) – mengingat banyak wilayah yang belum ketat memberlakukan anjuran untuk tidak ke luar rumah.

Sayangnya, menurut data terkini (23/3) pukul 12.00 WIB, sudah ada 514 kasus yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Beberapa pemerintah daerah pun juga sudah menganjurkan warganya untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. Di Jawa Tengah misalnya, sekolah sudah mulai diliburkan sejak satu minggu terakhir. Beberapa kantor pemerintahan, seperti Dinas Dukcapil, menutup beberapa jenis layanan yang biasanya ramai diserbu, seperti perekaman data KTP-el.

Bukan tidak mungkin jika pusat perbelanjaan di daerah juga akan mengalami penurunan jumlah kunjungan. Poinnya, solusi yang coba diandalkan terkait skalabilitas bisnis bisa saja tidak akan bekerja seperti yang diharapkan – mengandalkan cabang toko di daerah.

Data Corona
Data sebaran virus Corona per 23 Maret 2020 pukul 12.00 WIB / Kemenkes

Tidak hanya dirasakan pebisnis ritel besar, di Blitar banyak UKM yang sudah mulai mengeluh. Kebanyakan pengusaha memproduksi jajanan untuk oleh-oleh di tempat wisata seperti untuk dipasarkan di Yogyakarta. Padahal menjelang lebaran, biasanya produksi mereka justru ditambah untuk menyambut arus mudik. Tapi sejak Februari, mereka terpaksa mengerem bisnisnya. Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Yogyakarta Bobby Ardyanto pada Rabu (11/3) mengatakan, dampak Covid-19 mengakibatkan penurunan jumlah wisatawan 30%-50%.

Harus mau bertransformasi

Perlu solusi, pasalnya sektor perdagangan menjadi yang kedua paling berkontribusi dalam perekonomian Indonesia. Hingga kuartal pertama 2019, BPS masih mencatatkan pertumbuhan 5,26% (yoy). Bisnis ini melibatkan banyak pihak, mulai dari pemain besar hingga mikro di level rumahan. Ketika terjadi pandemi, ada beberapa aspek yang bisa diperhatikan untuk memastikan proses ekonomi tetap berjalan dengan baik.

Pertama penjualan, terkait bagaimana pemilik ritel memfasilitasi konsumennya dengan kanal-kanal yang memudahkan proses pembelian. Kedua adalah logistik, tidak hanya terkait penyampaian barang ke konsumen, namun juga pada rantai pasokan bahan baku. Seperti dirasakan PT Sarimelati Kencana Tbk sebagai pemegang merek waralaba Pizza Hut di Indonesia. Direktur Jeo Sasanto menyampaikan, kini terjadi kenaikan harga baku dan pasokan yang mulai menipis.

Pendekatan digital tentu bisa memberikan solusi atas masalah tersebut, namun harus ada kemauan bisnis untuk melakukan transformasi. Saking seringnya diserukan, banyak yang menanggap transformasi digital sebagai jargon-jargon kampanye merek teknologi belaka. Padahal lebih dari itu, transformasi dapat dimaknai tentang upaya melakukan akselerasi bisnis dengan melibatkan alat-alat teknologi. Prosesnya tidak dengan menggantikan semua model bisnis manual ke digital, namun dengan mencoba melihat peluang yang dapat membantu proses bisnis tertentu dengan digital.

Misalnya dengan studi kasus bisnis niaga di atas. Transformasi bukan dengan dimaknai bahwa bisnis harus menutup unit ritel tradisional yang telah dimiliki, lalu menggantinya dengan pendekatan berbasis e-commerce. Sebaliknya, teknologi dapat dijadikan komplementer untuk memungkinkan bisnis merangkul target pasar yang lebih luas. Salah satu strateginya dengan memanfaatkan online-to-offline, misalnya merek tetap memiliki toko fisik untuk meningkatkan “presence” dan pengalaman belanja, sembari memberikan akses pembelian secara online untuk kemudahan.

Upaya tersebut akan sangat bermanfaat saat bisnis dipaksa untuk melakukan “shifting” dikarenakan keadaan darurat. Alih-alih menjadi sepi, sebagai contoh bisnis restoran, di saat “lockdown” karena pandemi bisnis bisa menggencarkan promosi layanan pesan antar melalui aplikasi online – yang menyelesaikan sekaligus dua permasalahan yang disampaikan di atas, soal kanal penjualan dan logistik. Rantai pasokan pun dapat mulai mengandalkan platform online yang bahkan bisa menghubungkan pebisnis dengan produsen bahan baku – sebut saja dengan aplikasi TaniHub untuk mendapatkan produk sayuran segar.

Beragam jajanan yang biasa dijual kalangan UKM / Unsplash
Beragam jajanan yang biasa dijual kalangan UKM / Unsplash

Untuk UKM dengan modal pas-pasan, lantas bagaimana melakukannya? Yang patut dicatat, untuk melakukan transformasi tidak melulu harus mengeluarkan biaya mahal untuk belanja infrastruktur dan/atau layanan aplikasi. Mulailah dari yang paling berdampak bagi bisnis. Ambil contoh untuk warung makan, bisa dimulai dengan mendaftarkan bisnisnya dan menu-menunya ke aplikasi seperti GrabFood, GoFood atau Traveloka Eats. Untuk bisnis lain, misalnya yang diproduksi UKM di Blitar di atas, mulai manfaatkan media sosial dan online marketplace untuk menaruh katalog produk.

Lantas apakah cukup sampai di situ? Tentu tidak. Transformasi digital membutuhkan komitmen dan keuletan. Sederhananya, online adalah sebuah pasar, di sana banyak pedagang lain yang menjajakan varian produk serupa. Sama seperti di pasar tradisional, yang perlu dilakukan pedagang adalah menawarkan produknya kepada orang yang lewat. Di online, orang bisa menawarkan melalui media sosial, menggunakan promo diskon, manfaatkan iklan berbayar dan lain sebagainya.

Yang paling menantang dari transformasi

Dengan demikian, ada empat hal yang idealnya akan didapatkan bisnis, setidaknya sebagai ukuran umum dari hasil transformasi. Yakni memastikan bisnis tetap kompetitif, menghadirkan efisiensi dalam proses bisnis, meningkatkan kepuasan pelanggan dan memudahkan pebisnis untuk mengambil  berbagai keputusan strategis.

Menurut Head of Enterprise Market KPMG Singapura Jonathan Ho, ada tiga tantangan yang paling sering dikeluhkan pelaku UKM dalam mengadopsi digital. Pertama terkait pemahaman urgensi transformasi digital itu sendiri. Transformasi digital di satu sisi bukan hanya tentang teknologi, tapi lebih tentang bagaimana bisnis bisa bersaing secara lebih intensif dalam perkembangan yang ada saat ini. Pebisnis sering membuat persepsi bahwa digitalisasi adalah soal biaya operasional yang bertambah, padahal jika diaplikasikan justru sebaliknya, teknologi menekan biaya di banyak aspek.

Kedua adalah minimnya pengetahuan mengenai keterampilan digital yang relevan dengan bisnis. Faktanya tidak semua bisnis membutuhkan situs web, beberapa hanya perlu melakukan promosi melalui kanal yang sesuai. Pemahaman yang kurang sering kali membuat keputusan transformasi digital yang diambil kurang sesuai dengan kebutuhan bisnis itu sendiri. Selai membuang-buang waktu, mungkin banyak investasi yang dikucurkan pada akhirnya akan menjadi sia-sia. Kadang yang dibutuhkan hanya mulai menjual secara gratis melalui platform marketplace saja.

Dan yang ketiga, pebisnis kadang merasa “insecure” dengan dunia digital. Misalnya mereka takut apakah nantinya pembayaran akan ditunaikan dengan mulus – misalnya beberapa marketplace menahan pembayaran sampai produk benar-benar di tangan atau memaksa pebisnis menggunakan layanan e-wallet yang terintegrasi. Atau kekhawatiran lain, misalnya takut ide produknya direplikasi orang lain karena banyak dipublikasikan di media sosial. Memang, seluruh kemungkinan buruk itu bisa saja terjadi, namun skeptisme berlebih kadang justru membuat bisnis tidak ke mana-mana, tidak mau bertransformasi.

Sehingga poin penting yang tak boleh luput dari upaya melakukan transformasi, membetulkan pola pikir pebisnisnya itu sendiri. Selain itu, momen “musibah” pandemi Covid-19 kini menjadi pelajaran penting. Bahwa transformasi digital di masa sekarang adalah kebutuhan.

“New Economy”, Permata Tersembunyi di Gempita Bisnis Teknologi

Belum lama ini, kami berbincang dengan Fabian Budi Seputro selaku pemilik Sate Ratu di Yogyakarta. Ada yang unik dari bisnis kulinernya, selain sajian sate dengan bumbu spesial, mereka mencatat ratusan kunjungan pelanggan dari luar negeri setiap bulannya. Sekurangnya kedai tersebut sudah dikunjungi wisatawan asing dari 83 negara. Bukan datang begitu saja, empunya merancang strategi khusus untuk memperkenalkan bisnisnya ke tamu internasional.

Konsep pemasaran digital dijalankan secara konsisten oleh Budi, sehingga menguatkan “online presence”. Ia memanfaatkan situs ulasan pariwisata seperti Tripadvisor untuk menginformasikan sajiannya kepada para turis yang berencana mengunjungi Yogyakarta. Juga memanfaatkan layanan iklan berbayar untuk menargetkan suguhan konten promosi yang dibuat kepada calon pelanggan potensial.

Merek sepatu Brodo mungkin tidak asing bagi generasi muda yang gemar mainkan media sosial di tengah gempuran produk sneakers global. Manfaatkan kanal e-commerce dan media sosial, bisnis yang berdiri sejak tahun 2010 tersebut terapkan model bisnis yang berbeda dengan produsen sepatu pada umumnya, yakni menjual langsung ke konsumen (direct-to-consumer), alih-alih melalui ritel distribusi. Dampaknya tentu pada harga jual yang lebih rendah, karena memotong rantai pasok, sehingga bisa fokus pada kualitas produk.

Produk kasur premium yang dijajakan Mimpi melalui kanal online / Mimpi
Produk kasur premium yang dijajakan Mimpi melalui kanal online / Mimpi

Cerita bisnis lainnya, Mimpi. Sebuah produsen kasur premium dengan bahan-bahan yang memungkinkan untuk dikemas sangat ringkas, bahkan untuk dibawa oleh kurir yang menggunakan sepeda motor. Mantap dengan inovasi pengemasan, mereka luncurkan situs jual-belinya sendiri dan hanya melayani penjualan secara online. Memotong rantai penjualan, pihak Mimpi mengklaim dapat memberikan efisiensi harga hingga 1/3 dari produk dengan kualitas yang sama di toko.

Pemberdayaan alat-alat digital dalam aspek spesifik pada bisnis di atas yang kami sebut sebagai “new economy”. Tidak diaplikasikan dalam seluruh proses bisnis, hanya tertentu saja, namun memiliki dampak signifikan-–bahkan menjadi ujung tombak—dalam mengakselerasi penjualan produk.

Sentuhan teknologi dalam takaran yang tepat

Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, per tahun 2018 ada sekitar 64 juta UMKM yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Keberadaannya berhasil menyerap 116,9 juta tenaga kerja, atau setara 97% dari seluruh serapan tenaga kerja nasional. Angka tersebut diproyeksi akan terus meningkat, seiring terbukanya akses dan peluang untuk berbagai usaha baru, termasuk permodalan. Dari total unit yang ada, baru sekitar 8% yang sudah memanfaatkan platform digital untuk mengakselerasi bisnis.

Namun jika ditelusuri, 8% artinya ada sekitar 5,1 juta unit bisnis yang telah memanfaatkan layanan teknologi, dalam artian secara intensif mereka mendapatkan manfaat yang berarti melalui transaksi secara digital – mayoritas memang menggunakan untuk membantu pemasaran produk. Angka tersebut terus diupayakan meningkat, salah satunya melalui rangkai program “go-digital” yang diinisiasi pemerintah menggandeng perusahaan-perusahaan teknologi di Indonesia.

Jargon “transformasi digital” memang kadang terlihat klise, namun nyatanya teknologi tepat guna dapat menghadirkan keuntungan berlipat untuk pebisnis. Sayangnya menurut riset McKinsey, sejauh 70% dari bisnis yang melakukan transformasi mengalami kegagalan. Ada banyak cerita kegagalan yang disampaikan, tapi ada dua yang paling sering diutarakan. Pertama, pemimpin tidak punya tujuan yang jelas dari transformasi yang dilakukan. Yang kedua, kompetensi digital yang tidak mumpuni justru menghadirkan hambatan bisnis. Tampaknya tidak hanya terjadi pada bisnis berskala besar, pun demikian dengan UKM.

Cerita new economy adalah tentang mereka yang berhasil mengadopsi teknologi sesuai takaran. Teknologi diterapkan untuk benar-benar menunjang produktivitas, kendati beberapa malah menjadi “nyawa” dari bisnis itu sendiri. Itu juga cerita tentang kejelian pelaku UKM yang mampu melihat peluang emas yang mungkin tidak terpikirkan pebisnis lain. Seperti yang dilakukan Budi dengan strategi Sate Ratu; siapa sangka bisa menggaet tamu internasional di tengah opsi kuliner sate legendaris yang banyak dijajakan di Yogyakarta.

Mereka yang sudah bersiap mendukung new economy

Di Indonesia ada banyak startup digital yang sengaja mengembangkan produk untuk membantu UKM. Jenisnya sudah cukup banyak merata di semua aspek, mulai dari finansial, operasional, ekspasi hingga dukungan lainnya. Kendati banyak dari UKM yang juga manfaatkan platform luar seperti media sosial populer atau situs yang menjangkau pengguna global.

Pemetaan startup digital Indonesia yang fokus bantu UKM / DSResearch
Pemetaan startup digital Indonesia yang fokus membantu UKM / DSResearch

Peluangnya memang masih terbuka lebar untuk menjadikan UKM sebagai target pengguna. Mengingat produk-produk UKM sendiri juga mengakomodasi semua segmen masyarakat – baik umum maupun spesifik, dari usia batita hingga manula. Daya jangkauan konsumennya pun sangat luas, hingga pada segmen pengguna yang tidak terjamah layanan digital, misalnya dari area 3T.

Secara lebih spesifik, Sensus Ekonomi yang dilakukan BPS pada tahun 2016 berhasil memetakan bidang bisnis UKM di Indonesia. Saat ini bidang perdagangan masih menempati porsi yang paling dominan.

Senada dengan jenis startup digital yang coba hadirkan teknologi untuk UKM, sebagian besar inline untuk diaplikasikan dalam sektor perdagangan – membutuhkan kanal penjualan, logistik, pencatatan hingga pendanaan. Tak ayal para unicorn pun bergegas hadirkan program yang secara khusus untuk menggandeng UKM di bidang tersebut ke dalam bisnisnya, salah satunya melalui program kemitraan.

Persentase jenis usaha yang digeluti pelaku UKM menurut Sensus Ekonomi 2016 / BPS
Persentase jenis usaha yang digeluti pelaku UKM menurut Sensus Ekonomi 2016 / BPS

Strategi lain yang turut dilancarkan bisnis untuk menggandeng UKM salah satunya direpresentasikan dalam program Gojek Xcelerate. Dalam program akselerasi putaran ketiga, mayoritas diisi oleh UKM yang memproduksi produk dan memanfaatkan kanal digital untuk distribusi. Seperti Callista yang menjajakan produk kesehatan kulit, Pijak Bumi sebagai pesaing Brodo, Mayer Food yang coba digitalkan proses jual beli daging ayam, dan lain sebagainya.

Beberapa investor early-stage pun juga tampak bersiap menyambut meledaknya bisnis ini. Teranyar East Ventures pimpin pendanaan Greenly, startup non-teknologi yang menyajikan pilihan makanan dan minuman sehat. Berbasis di Surabaya, bisnis tersebut memang diinisiasi oleh ahli nutrisi. Untuk mendistribusikan produknya, mereka manfaatkan kanal digital, seperti aplikasi GoFood dan GrabFood — juga miliki ritel yang akan dioptimalkan dengan pendekatan online to offline.

Dengan porsi pelaku bisnis yang paling besar, selain penyerapan tenaga kerja, sektor UKM diharapkan dapat meningkatkan perekonomian secara nasional. Menurut Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo), kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2019 mencapai 65% atau sekitar Rp2.394,5 triliun, tumbuh 5% dari tahun sebelumnya. Harapannya dengan makin meleknya pelaku UKM dengan teknologi, diharapkan bisa memacu perkembangan bisnis melalui ekspansi pasar dan inovasi produk yang makin terjangkau.

Gredu Kenalkan Aplikasi Digitalisasi Sekolah

Satu lagi startup edutech resmi diperkenalkan, kali mengusung model bisnis B2B. Bernama “Gredu”, mereka menyajikan layanan berbasis SaaS untuk digitalisasi sistem informasi di sekolah. Layanan yang disajikan cukup variatif, mulai dari penjadwalan, presensi, pembuatan rencana pembelajaran hingga platform evaluasi belajar.

“Gredu adalah solusi untuk digitalisasi sekolah. Kami mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan yang timbul untuk para pemegang peran di sekolah seperti guru, orang tua maupun murid; dan mencoba memberikan platform sesuai kebutuhan masing-masing peran tersebut,” ujar Co-Founder & COO Gredu Ricky Putra.

Paket produk Gredu terdiri dari 4 kategori, yakni School Management System, Learning Management System, Literacy dan Full Version. Masing-masing dapat dilanggan terpisah sesuai kebutuhan.

Gredu
Varian layanan yang ditawarkan Gredu

Untuk media akses, saat ini Gredu menyediakan aplikasi berbeda yang dapat digunakan oleh guru, orang tua dan murid.

Dari sudut pandang murid, melalui aplikasi mereka dapat mengakses berbagai sumber daya pembelajaran dan masukan personal yang diberikan guru. Misalnya jadwal dan materi belajar yang disiapkan sesuai kurikulum.

Sementara di aplikasi guru, dapat membuat soal uji kompetensi, melakukan analisis perkembangan dan memberikan umpan balik untuk setiap perkembangan murid. Sementara di aplikasi orang tua, ada dasbor khusus dengan fitur analisis hasil belajar putra-putrinya.

“Tidak hanya itu, tersedia juga platform untuk sekolah dimana proses administrasi sekarang bisa melalui platform Gredu,” imbuh Ricky.

Bukukan pendanaan pra-seri A

Senin (20/01) lalu bersamaan dengan grand launching layanan, Gredu mengumumkan perolehan pendanaan putaran pra-seri A. Tidak disebutkan nominalnya, pendanaan ini didapat dari Vertex Venture. Sebelumnya mereka telah telah memperoleh pendanaan awal dari angel investor dan Global Wakaf Corporation.

Startup yang sudah diinisiasi sejak pertengahan 2016 ini memiliki kantor di Jakarta. Didirikan oleh tiga orang founder, yakni Mohammad Fachri (CTO), Rizky Anies (CEO) dan Ricky Putra (COO).

Founder Gredu di acara grand launching layanan / Gredu
Founder Gredu di acara grand launching layanan / Gredu

“Gredu saat ini telah bekerja sama dengan 200 sekolah yang terletak di Jakarta, Dharmasraya, Tangerang dan Bangka Belitung,” imbuh Ricky.

Untuk target realistis tahun 2020, mereka ingin bisa melakukan ekspansi ke kota-kota baru di Indonesia dan merangkul hingga 600 sekolah. Dari sisi produk, akan segera diluncurkan beberapa fitur baru sesuai dengan perkembangan kurikulum dan sistem pendidikan yang ada saat ini.

Harapkan kolaborasi antarpemain

Di Indonesia edutech bertumbuh dengan baik. Untuk layanan serupa Gredu sebelumnya juga sudah ada platform Pintro, Kelase, Sikad hingga ZumiApp; tentu dengan keunggulan berbeda. Pemain dengan model bisnis B2C makin banyak lagi, mereka yang menawarkan aplikasi belajar untuk kalangan pelajar atau umum, seperti Ruangguru, Zenius, Quipper dan lain-lain.

Menanggapi banyaknya pemain di sektor serupa Ricky berpendapat, “Kami sangat bersyukur dengan banyaknya rekan edutech yang bermunculan, karena Gredu selalu berpikir bahwa beban kemajuan pendidikan tidak akan bisa dipikul hanya oleh satu atau dua pihak. Gredu berharap ke depannya dapat berkolaborasi dengan para rekan di edutech dan pemerintah demi kemajuan bangsa.”

Gredu dimulai dari kegelisahan para founder tentang minimnya penyerapan teknologi terhadap sistem edukasi yang sedang berjalan. Selain itu, peran guru yang seharusnya mengajar, telah disibukkan oleh pengisian data daripada pengolahan data. Dengan menggunakan aplikasi digital, seharusnya guru dapat lebih fokus di penyampaian materi, evaluasi dan pembangunan karakter.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Medigo Hadirkan “Klinik Pintar”, Program Digitalisasi Layanan Kesehatan Berbasis Kemitraan (Updated)

Startup di bidang kesehatan Medigo akhir tahun ini merilis terobosan baru. Diberi nama “Klinik Pintar”, perusahaan menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menghadirkan solusi untuk permasalahan umum yang sering dialami pemilik klinik dan dokter, terutama dalam hal pelayanan kesehatan primer di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-BPJS).

Medigo percaya bahwa klinik harusnya menjadi ujung tombak sistem pelayanan kesehatan Indonesia dalam bertransformasi secara digital ke arah yang lebih terhubung dan efisien. Namun kebanyakan pemilik klinik masih menjalankan usahanya secara konvensional dan kebanyakan dokter juga masih enggan beralih ke teknologi digital. Inilah yang ingin Medigo pecahkan dengan program Klinik Pintar,” cerita Co-founder & CEO Medigo Harya Bimo.

Klinik Pintar menawarkan solusi total berbentuk joint operation melalui sistem bagi hasil dengan pemilik klinik pratama. Kerja sama ini berupa pemberian solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan; solusi standarisasi; dan solusi investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usahanya dan meningkatkan value based care.

“Tulang punggung Klinik Pintar adalah sebuah ekosistem yang dibangun Medigo untuk memudahkan pasien mengakses layanan, memudahkan manajemen klinik menjalankan operasional secara digital, dan menghubungkan klinik dengan mitra pendukung (mitra rujukan rumah sakit, mitra asuransi, mitra farmasi dan alat kesehatan, dan lain-lain),” lanjut Bimo.

Pendanaan Klinik

Konsep joint venture yang ditawarkan oleh Medigo kepada klinik yang berhasil lolos verifikasi dari IDI dan Medigo adalah dalam bentuk pendanaan. Terdapat dua model pendanaan yang ditawarkan yaitu kepada pemilik klinik yang sudah ada dan kepada mereka yang ingin membangun klinik pintar baru.

Secara khusus Medigo akan memberikan pendanaan dalam bentuk teknologi sementara IDI dalam hal ini akan memonitor semua proses dan tentunya melakukan pengawasan kepada klinik agar bisa mencapai standar akreditasi. Meskipun untuk fase awal Medigo dan IDI hanya fokus kepada klinik pratama, namun untuk merangkul lebih banyak lagi pemilik klinik untuk mengadopsi klinik miliki mereka menjadi klinik pintar, IDI berencana untuk mengajak investor yang berminat untuk melakukan joint venture dengan pemilik klink tersebut.

“Tentunya rencana tersebut sudah ada adalam road map kita, harapannya tentu saja agar semakin banyak klinik di Indonesia yang bertarnsformasi menjadi klinik pintar,” kata Ketua bidang usaha & kesejahteraan anggota PB IDI dr. Efmansyah Iken Lubis, M.M.

Lengkap dan berbeda

Pihak Medigo cukup optimis dengan Klinik Pintar. Karena selain berbasis teknologi yang mampu membuat operasional lebih efektif, solusi yang ditawarkan juga terkait dengan standarisasi pelayanan. Pihak Medigo percaya bahwa mereka hadir di saat yang tepat, di era JKN dan transformasi digital di industri kesehatan.

“Berbeda dengan banyak solusi aplikasi kesehatan digital yang langsung berpengaruh ke konsumen atau pasien, Medigo melalui Klinik Pintar menawarkan solusinya dengan cara memberdayakan fasilitas kesehatan atau klinik yang sudah menjadi destinasi puluhan juta masyarakat Indonesia sehari-hari. Nah, puluhan juta pasien yang datang ke klinik inilah yang merupakan captive market dari Klinik Pintar. Kami percaya dengan kemudahan akses dan peningkatan kualitas layanan kesehatan yang dirasakan pasien, Klinik Pintar bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia,” terang Bimo.

Bimo menargetkan pihaknya bisa membangun 20 sampai 30 Klinik Pintar dan mulai membangun Klinik Pintar Plus, sebuah solusi untuk klinik utama dan rumah sakit yang fokus di praktik rawat jalan dokter spesialis. Dalam waktu dekat rencananya 2 klink pintar akan segera dibangun di Bekasi. Sementara fokus kawasan pembangun klinik pintar adalah Jabodetabek terlebih dahulu.

Update : Tambahan informasi mengenai model pendanaan klinik