Xurya Dikabarkan Bukukan Pendanaan Seri A 200 Miliar Rupiah

Xurya dikabarkan telah mendapatkan pendanaan untuk putaran seri A senilai $14 juta atau setara 200 miliar Rupiah. Berdasarkan data yang kami dapat, putaran ini dipimpin oleh East Ventures dan AC Ventures, dua pemodal ventura yang juga terlibat di pendanaan tahap awal mereka.

New Energy Nexus Indonesia kembali terlibat dalam putaran ini, juga Clime Capital melalui inisiatif The Southeast Asia Clean Energy Facility (SEACEF).

Ketika dihubungi DailySocial.id, tim manajemen Xurya memilih tidak berkomentar terkait dengan hal ini. Namun demikian turut disampaikan, dalam waktu dekat perusahaan akan mengumumkan aksi sebuah strategis [yang disinyalir terkait pendanaan] ke publik.

Xurya Daya Indonesia (Xurya) memiliki beberapa produk, meliputi solusi energi berbasis surya, yang diaplikasikan pada atap bangunan. Startup ini didirikan pada Juli 2018 oleh Eka Himawan, Edwin Widjonarko, dan Philip Effendy. Saat ini layanannya sudah dijajakan di sektor komersial dan industri di wilayah Jabodetabek, Jawa Timur, Palembang, dan Makassar.

Saat ini mereka sudah memiliki sekitar 50 pelanggan, sebagian besar dari kalangan industri. Menghasilkan setara 31,7 juta kWh energi hijau. Selain jasa pemasangan dan perangkat, mereka juga mengembangkan platform aplikasi untuk memudahkan pemilik aset melakukan pengelolaan energi.

Selain itu Xurya juga mempelopori metode no investment (tanpa investasi) untuk beralih ke tenaga surya dengan model biaya bulanan. Dalam implementasinya, solusi mereka berbasis satu pintu, Xurya akan membantu dari proses design, pemilihan equipment, perizinan, konstruksi sampai dengan pemilihan produk pembiayaan untuk listrik surya pelanggan.

Dalam sebuah kesempatan wawancara, Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan mengatakan, “Di tengah perlambatan investasi PLTS utilitas, kami percaya bahwa pelanggan komersial dan industri telah menjadi titik terang bagi para investor ketenagalistrikan di Indonesia, tidak hanya dari perspektif keuntungan, tetapi lebih penting lagi dari perspektif dampak iklim.”

Dalam menyajikan produk-produknya, Eka mengakui bahwa edukasi konsumen menjadi salah satu tantangan terberat. Karena masih banyak perusahaan dan individu yang kurang paham mengenai solar panel dan banyak yang salah sangka mengenai stabilitas listrik dari PLTS.

“Target utama tahun ini melakukan ekspansi bisnis ke seluruh wilayah Indonesia untuk menawarkan solusi go green ke lebih banyak perusahaan,” tutup Eka.

Peluang pengembangan PLTS Atap di Indonesia sangat besar, melebihi potensi kapasitasnya yang mencapai 200 ribu megawatt. Saat ini biaya komponen PLTS Atap lebih rendah dibandingkan energi terbarukan lainnya, namun pasar tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga baru terpasang kurang dari 150 megawatt di seluruh Indonesia.

Selain Xurya, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang turut bermain di ranah tersebut. Beberapa di antaranya Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

Fuse Closes Series B+ Round, Expanding to the Regional Market

Fuse Insurtech (12/13) announced additional series B+ funding of over $25 million (approximately 363 billion Rupiah). This round was led by an undisclosed global investor with specialization in raising funds for fintech, with the participation from previous investors such as East Ventures (Growth Fund), GGV Capital, eWTP, and EMTEK.

Over the past six months, Fuse had closed three Series B funding rounds of over $50 million (approximately 725 billion Rupiah) in total. In other words, strengthening Fuse’s position in the centaur list. The fresh funds will be used to expand to more countries in Southeast Asia. The company currently has more than 460 employees, with branch offices in Indonesia, Vietnam and China.

Fuse’s Founder & CEO, Andy Yeung expressed his delight that Fuse has been recognized by global-scale fintech investors amidst the rapid competition in Southeast Asia’s insurtech market. We are excited to gain access and insight from other fintech and insurtech portfolio companies in this global network.

“The strong interest from global investors, along with our recent achievement by entering the World’s Top 100 Insurtechs 2021 list published by Sønr Global and Ernst & Young, reaffirms our current ecosystem approach. The technology platform developed by Fuse makes insurance more accessible to people in Southeast Asia,” Yeung said in an official statement.

He continued, based on a report, Southeast Asia’s middle class is predicted to grow to 350 million consumers with $300 billion income and increasing digital literacy. He said, Fuse is well positioned to enter this large, under-penetrated insurance market through its unique technology platform, which provides a variety of distribution channels adjusting to consumer needs.

“With the investor’s trust, insurance companies, business partners and end-customers, Fuse will continue to do its best to develop the most affordable insurance products and meet their needs. We strongly believe that the transformation of digital insurance can help more people get insurance protection, and hopefully insurance penetration rates can increase substantially in the years to come in Indonesia and Southeast Asia.”

Since its debut in 2017, Fuse has taken an application approach to enable insurance sales with a B2A (Business to Agent/Broker) business model. The company has a comprehensive business model, B2A, B2C comparison, B2B2C (micro insurance and financial institute), which allows it to help partners distribute insurance products with affordable operating costs to end-customers.

There are more than 60 thousand marketers/partners are using the Fuse Pro application to market insurance products. The company also collaborates with more than 40 insurance companies, ranging from general insurance companies to life insurance companies, which supports Fuse to provide more than 300 insurance products for end-customers.

Since the third quarter of 2021, Fuse has been officially appointed by Tokopedia as a strategic insurtech partner to provide all general insurance products for Tokopedia users. As of last September, Fuse’s gross premium income (Gross Written Premium/GWP) has exceeded IDR 1 trillion, making Fuse the largest insurtech company in Indonesia.

In a previous interview with DailySocial.id, Yeung explained that agents/brokers play an important role in the insurance sales chain and they will not be disrupted by technology in the near future. Finally it was decided to build a Fuse Pro application to enable and support agents/brokers in digitization. At the same time, helping them turn their offline business into online.

“In other words, we are ‘shifting existing insurance’ online, rather than trying to ‘create’ new insurance markets like microinsurance. That’s why we focus on this agent/broker business model, especially from day one,” he said.

The agent’s essential role

Actually, insurtech startups currently also have agency services to boost sales of insurance products through agents (B2B) in addition to retail channels (B2C). PasarPolis has PasarPolis Partners and Qoala with Qoala Plus Partners. However, both of them focus from retail first to business, while Fuse is the opposite. There is nothing wrong with these two business segments as it has the same objective, to increase the penetration of insurance products in Indonesia.

Agents are at the forefront of insurance companies in driving its business. According to Indonesian Life Insurance Association (AAJI), this channel contributed to 36.1% of the total life insurance premium income until the third quarter of 2020. Moreover, followed by the bancassurance line 46.95% and the telemarketing line 1.88%, and others 15 0.06%. In total, the number of licensed insurance agents rose 2.1% to 635,326 people during the period.

AAJI’s Executive Director, Togar Pasaribu said, for life insurance companies, agents are like fresh blood. If you don’t do recruitment, it will endanger the company that adopts the agency strategy. “Please note that not all life insurance companies use agencies as their distribution channel. Therefore, this only applies to life insurance companies that use agents as salespeople,” he said as quoted from Kontan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fuse Kantongi Tambahan Dana Seri B+, Perkuat Ambisi ke Pasar Regional

Startup insurtech Fuse hari ini (13/12) mengumumkan tambahan pendanaan dalam putaran seri B+ dengan total nilai lebih dari $25 juta (sekitar 363 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh investor global spesialis penggelontor dana untuk fintech dengan identitas dirahasiakan, serta dukungan dari investor sebelumnya seperti East Ventures (Growth Fund), GGV Capital, eWTP, dan EMTEK.

Selama enam bulan ini, Fuse telah menutup tiga putaran pendanaan Seri B dengan total perolehan lebih dari $50 juta (sekitar 725 miliar Rupiah). Dengan kata lain, mengokohkan posisi Fuse ke dalam jajaran startup centaur. Dana segar yang didapat perusahaan akan digunakan untuk membawa platform Fuse ke lebih banyak negara di Asia Tenggara. Perusahaan saat ini memiliki lebih dari 460 pegawai, dengan kantor cabang di Indonesia, Vietnam, dan Tiongkok.

Founder & CEO Fuse Andy Yeung menuturkan, rasa senangnya karena Fuse mendapat pengakuan dari investor fintech skala global di tengah pesatnya persaingan insurtech di Asia Tenggara. Pihaknya bersemangat untuk mendapatkan akses dan wawasan dari perusahaan portofolio fintech dan insurtech lainnya di jaringan global ini.

“Minat yang kuat dari investor global, bersama dengan prestasi terbaru kami masuk daftar World’s Top 100 Insurtechs 2021 yang diterbitkan oleh Sønr Global dan Ernst & Young, menegaskan kembali pendekatan ekosistem kami saat ini. Platform teknologi yang dikembangkan Fuse membuat asuransi lebih mudah diakses oleh masyarakat di Asia Tenggara,” ucap Yeung dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, menurut laporan yang ia kutip, pada tahun ini kelas menengah Asia Tenggara diprediksi akan tumbuh menjadi 350 juta konsumen dengan pendapatan $300 miliar dan semakin melek digital. Menurutnya, Fuse berada di posisi yang tepat untuk memasuki pasar asuransi besar yang kurang terpenetrasi ini melalui platform teknologi uniknya, yang menghadirkan kanal-kanal distribusi yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan konsumen.

“Dengan kepercayaan dari investor, perusahaan asuransi, partner bisnis dan end-customer, Fuse akan terus berusaha sebaik mungkin untuk mengembangkan produk asuransi yang paling terjangkau dan sesuai kebutuhan. Kami sangat percaya bahwa transformasi asuransi digital dapat membantu lebih banyak orang mendapatkan proteksi asuransi, dan semoga tingkat penetrasi asuransi dapat meningkat secara substansial di tahun-tahun mendatang di Indonesia maupun Asia Tenggara.”

Sejak beroperasi di 2017, Fuse mengambil pendekatan aplikasi untuk memungkinkan penjualan asuransi dengan model bisnis B2A (Business to Agent/Broker). Perusahaan memiliki bisnis model yang komprehensif, yakni B2A, B2C comparison, B2B2C (asuransi mikro dan financial institute), yang memungkinkan untuk membantu partner mendistribusikan produk asuransi dengan biaya operasional yang terjangkau kepada end-customer.

Terdapat lebih dari 60 ribu tenaga pemasar/partner yang menggunakan aplikasi Fuse Pro untuk memasarkan produk asuransi. Fuse juga bekerja sama dengan lebih dari 40 perusahaan asuransi, mulai dari perusahaan asuransi umum hingga perusahaan asuransi jiwa, yang mendukung Fuse untuk menyediakan lebih dari 300 produk asuransi bagi end-customer.

Sejak kuartal ketiga 2021, Fuse telah resmi ditunjuk oleh Tokopedia sebagai mitra insurtech strategis untuk menyediakan semua produk asuransi umum bagi user Tokopedia. Pada September lalu, pendapatan premi bruto (Gross Written Premium/ GWP) Fuse telah melampaui Rp1 triliun, yang menjadikan Fuse sebagai perusahaan insurtech terbesar di Indonesia.

Sebelumnya dalam wawancara bersama DailySocial.id, Yeung memaparkan bahwa agen/broker memainkan peran penting dalam rantai penjualan asuransi dan mereka tidak akan terganggu teknologi dalam waktu dekat. Akhirnya diputuskan untuk membangun aplikasi Fuse Pro untuk mengaktifkan dan mendukung agen/broker dalam digitalisasi. Sekaligus, membantu mereka mengubah bisnis offline menjadi online.

“Dengan kata lain, kami ‘menggeser asuransi yang ada’ ke online, daripada mencoba ‘menciptakan’ pasar asuransi baru seperti asuransi mikro. Itu sebabnya kami fokus pada model bisnis agen/broker ini terutama sejak hari pertama,” ujarnya.

Peran vital keagenan

Sebenarnya, startup insurtech saat ini juga memiliki layanan keagenan untuk mendongkrak penjualan produk asuransi lewat agen (B2B) selain kanal ritel (B2C). PasarPolis punya PasarPolis Mitra dan Qoala dengan Mitra Qoala Plus. Hanya saja, keduanya fokus dari ritel dulu baru ke bisnis, sementara Fuse sebaliknya. Tidak ada yang salah dengan kedua segmen bisnis ini karena semangat sama, yakni ingin meningkatkan penetrasi produk asuransi di Indonesia.

Agen adalah garda terdepan perusahaan asuransi dalam memacu bisnis. Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), jalur ini memberikan kontribusi terhadap 36,1% dari total pendapatan premi asuransi jiwa hingga kuartal III 2020. Kemudian, disusul jalur bancassurance 46,95% dan jalur telemarketing 1,88%, dan lainnya 15,06%. Secara total, jumlah agen asuransi berlisensi naik 2,1% menjadi 635.326 orang dalam periode tersebut.

Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengatakan, bagi perusahaan asuransi jiwa, agen itu ibarat darah segar. Bila tidak melakukan rekrutmen, akan membahayakan perusahaan yang mengadopsi strategi agency. “Harap dicatat bahwa tidak semua perusahaan asuransi jiwa menggunakan agency sebagai kanal distribusinya. Jadi hal ini hanya berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa yang menggunakan agen sebagai tenaga penjual,” ucapnya seperti dikutip dari Kontan.

Application Information Will Show Up Here

Desty Announces Additional 71.3 Billion Rupiah Funding in Pre Series A Round

The e-commerce enabler platform Desty announced additional $5 million or around 71.3 billion Rupiah in pre-series A funding. This round was led by East Ventures with the participation of Jungle Ventures and previous investors, Fosun RZ and January Capital.

He further explained, this is an additional fuding from investors after Desty’s latest fundraising worth of $3.2 million (about 46 billion rupiah) in a pre-series A round led by 5Y Capital in July 2021.

The company will then use these funds to accelerate product development and merchant acquisitions as well as launch innovative products in the next few months.

“Desty is one of the fastest growing startups in this field. What’s even more impressive is that most of that growth has come from organic, word-of-mouth acquisitions. With attractive products and business growth, we believe Desty will create more value for online sellers and Indonesian creators,” said Willson Cuaca, Co-Founder & Managing Partner of East Ventures.

Desty’s main feature

Was launched in October 2020, Desty started as a digital platform for sellers, influencers, and creators to build an online destination to market and sell their products. Currently, there are two main products, including Desty Page (landing page ) and Desty Store (online store), for users to develop their existence and business in the digital ecosystem.

“Desty was founded when Covid-19 arrived in Indonesia, when a massive digitalization was happening. Sellers, influencers, and creators have used digital platforms to affirm its existence in the digital world that is becoming very crucial for growth. Soon, we will have 1 million creators and sellers using our platform. Some of our main sellers set Desty as their main channel rather than other marketplaces,” Desty’s Co-Founder & CEO, Mulyono Xu said.

One of Desty’s main features allows sellers to create their own online shop pages / Desty

Today, around 50% of Desty users are online sellers, while 30% of users are creators or influencers. Some well-known sellers are using its services, including DAMN I Love Indonesia, Luna Habit & Nama Beauty by Luna Maya, Kurumi, Janji Jiwa, and Haus!. The creators within Desty’s ecosystem are Dagelan, Greysia Polii (Indonesian Olympic Gold Winner), Choky Sitohang, Tahi Lalats (Mindblowon Studio), Daisuke Botak, Marcella Eteng, Filda Salim, FootNoteStories, and many more.

Market size

In Indonesia, more online sellers are getting tech-savvy because of the demands of today’s customers, both for interactions and transactions. Various groups, from big brands to MSME players, continue to maximize the use of services such as marketplaces and social commerce. It is expected when the Indonesian e-commerce sector has experienced double-digit GMV (Gross Merchandise Value) growth over the past year reaching $52 billion.

Using this great opportunity, Desty aims to maximize the momentum. The company has experienced 60% and 50% growth (month to month) in traffic and GMV, respectively for the last 6 months.

“This funding marks our third fundraising in a year since the seed funding round in November 2020. With more than 60 people on the Desty team, we are constantly looking for new talent to make a more impactful solutiion for millions of Indonesians to strengthen their digital presence,” Mulyono added.

According to the survey summarized in the MSME Empowerment Report 2021 by DSInnovate, one of the main issues of MSME players is to market their products (32%). They expect digital solutions to help them manage online channels in the correct and proper manner. This pain point was captured by the innovators, resulting in the presence of e-commerce enabler services.

Currently, most of the enablers are still focused on medium and large businesses, helping well-known brands to manage their transactions on online platforms. However, with the MSMEs business potential – especially in terms of quantity  – these enabler service providers have started to provide services in line with the MSME pain points.

Apart from Desty, several other players offer similar solutions, including Sirclo, Lakuuu, Jubelio, iSeller and others. Some players in other sectors are even starting to target similar segment, for example Xendit (unicorn) which recently released an Online Store platform for MSMEs that is integrated with its payment system.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Desty Umumkan Tambahan Pendanaan 71,3 Miliar Rupiah di Putaran Pra-Seri A

Startup pengembang platform e-commerce enabler Desty mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A lanjutan senilai $5 juta atau sekitar 71,3 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh East Ventures dengan partisipasi dari Jungle Ventures dan investor terdahulu, yaitu Fosun RZ dan January Capital.

Dijelaskan lebih lanjut, dana segar ini merupakan tambahan yang diberikan investor setelah Desty meraih $3,2 juta (sekitar 46 miliar rupiah) dalam putaran pra-seri A yang dipimpin oleh 5Y Capital pada Juli 2021 lalu.

Selanjutnya perusahaan akan menggunakan dana ini untuk mempercepat pengembangan produk dan akuisisi merchant serta meluncurkan produk-produk inovatif dalam beberapa bulan ke depan.

“Desty adalah salah satu startup dengan pertumbuhan tercepat di bidang ini. Yang lebih mengesankan adalah sebagian besar pertumbuhan tersebut berasal dari akuisisi organik, dari mulut ke mulut. Dengan produk dan pertumbuhan bisnis yang menarik, kami percaya Desty akan menciptakan nilai lebih bagi penjual online dan kreator Indonesia,” sambut Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Produk utama Desty

Dihadirkan sejak Oktober 2020, Desty bermula sebagai platform digital bagi penjual, influencer, dan kreator untuk membangun sebuah destinasi online guna memasarkan dan menjual produk mereka. Saat ini terdapat dua produk utama, yaitu Desty Page (untuk pembuatan landing page) dan Desty Store (pembuatan toko online), bagi pengguna untuk mengembangkan eksistensi dan bisnis mereka di ekosistem digital.

“Desty lahir saat Covid-19 masuk ke Indonesia, ketika digitalisasi terjadi secara masif. Penjual, influencer, dan kreator telah menggunakan platform digital untuk menunjukkan eksistensi mereka di dunia digital yang menjadi sangat penting untuk berkembang. Dalam waktu dekat kami akan mempunyai 1 juta kreator dan penjual yang menggunakan platform kami. Beberapa penjual utama kami menjadikan Desty sebagai kanal penjualan utama mereka dibandingkan dengan marketplace lain,” kata Co-Founder & CEO Desty Mulyono Xu.

Salah satu layanan utama Desty memungkinkan penjual membuat laman toko onlinenya sendiri / Desty

Saat ini sekitar 50% pengguna Desty adalah penjual online, sementara 30% pengguna adalah kreator atau influencer. Beberapa penjual ternama yang memakai layanannya antara lain DAMN I Love Indonesia, Luna Habit & Nama Beauty by Luna Maya, Kurumi, Janji Jiwa, Haus. Kreator dalam ekosistem Desty adalah Dagelan, Greysia Polii (Peraih Emas Olimpiade Indonesia), Choky Sitohang, Tahi Lalats (Mindblowon Studio), Daisuke Botak, Marcella Eteng, Filda Salim, FootNoteStories, dan masih banyak lagi.

Ukuran pasar layanan

Di Indonesia, semakin banyak penjual online yang paham teknologi karena tuntutan pelanggan masa kini, baik untuk interaksi maupun transaksi. Berbagai kalangan, dari brand besar hingga pelaku UMKM, terus memaksimalkan penggunaan layanan seperti marketplace hingga social commerce. Tak heran jika sektor e-commerce Indonesia mengalami pertumbuhan GMV (Gross Merchandise Value) dua digit selama satu tahun terakhir mencapai $52 miliar.

Dengan peluang besar ini, Desty berambisi untuk memaksimalkan momentum. Perusahaan telah mengalami pertumbuhan trafik dan GMV masing-masing 60% dan 50% (bulan ke bulan) selama 6 bulan terakhir.

“Pendanaan ini menandai penggalangan dana ketiga kami dalam satu tahun sejak ronde pendanaan tahap awal di November 2020. Dengan lebih dari 60 orang dalam tim Desty, kami terus mencari talenta baru demi memberikan dampak yang lebih berarti untuk jutaan penduduk Indonesia dalam memperkuat eksistensi digital mereka,” tambah Mulyono.

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam MSME Empowerment Report 2021 oleh DSInnovate, salah satu isu utama yang dihadapi oleh pelaku UMKM adalah memasarkan produknya (32%). Mereka mengharapkan solusi digital yang dapat membantu mereka melakukan pengelolaan kanal-kanal online secara baik dan benar. Pain point tersebut ditangkap baik oleh para inovator, hingga melahirkan layanan e-commerce enabler.

Sejauh ini para pemain enabler kebanyakan masih fokus ke usaha menengah dan besar, membantu brand ternama untuk mengelola transaksinya di platform online. Kendati demikian, dengan potensi bisnis dari kalangan UMKM –khususnya saat meninjau dari sisi kuantitas—para penyedia layanan enabler tersebut mulai menghadirkan layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan UMKM.

Selain Desty, beberapa pemain lain yang membantu pedagang kecil untuk masuk ke ranah online antara lain Sirclo, Lakuuu, Jubelio, iSeller dan lain-lain. Bahkan beberapa pemain di sektor lain kini juga mulai masuk ke ranah yang sama, misalnya unicorn Xendit yang baru saja merilis platform Online Store untuk UMKM sekaligus terintegrasi dengan sistem pembayaran miliknya.

SaladStop! Dapat Pendanaan Seri B dari Temasek, East Ventures, dan Lainnya; Memvalidasi Ketangguhan “Cloud Kitchen”

Startup pengembang food chain yang fokus pada makanan sehat, SaladStop! Group, mengumumkan penutupan pendanaan seri B senilai SGD12 juta atau setara 125,7 miliar Rupiah. Putaran tersebut dipimpin Temasek, dengan keterlibatan East Ventures, Vulcan Capital, K3 Ventures, dan DSG Consumer Partners.

Saat ini layanannya sudah digunakan 3,5 juta orang per tahun oleh pengguna di Indonesia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, dan beberapa negara lainnya. Di Indonesia sendiri, layanan SaladStop! baru bisa dinikmati oleh pengguna di Jakarta dan Surabaya. Mereka juga telah mengoperasikan beberapa merek, termasuk Heybo, Wooshi, dan GoodFoodPeople dengan 69 gerai di seluruh negara basis operasionalnya.

Sesuai namanya, menu yang disuguhkan berupa salad, memadukan bahan segar nabati dan hewani. Selain itu ada beberapa menu lain juga seperti Wraps, Protein Bowl, dan makanan Korea. Menariknya, melalui situs yang disuguhkan untuk pemesanan, kita bisa menyusun makanan kita sendiri dengan memilih bahan dasar, sayuran, topping, sampai dressing-nya.  Setiap makanan yang dipesan akan dihitung kandungan nutrisinya.

“Misi kami untuk membentuk masa depan makanan di Asia dan memastikan bahwa makanan sehat itu nyaman dan dapat diakses oleh semua orang. Pandemi menunjukkan ketahanan bisnis kami di semua pasar dan mempercepat penetrasi online. Dipicu oleh teknologi inovatif, jaringan cloud kitchen, dan generasi baru merek makanan sehat  kami sangat senang dapat bermitra dengan investor strategis untuk meningkatkan skala bisnis,” ujar Co-Founder & CEO SaladStop! Adrien Desbaillets.

Manfaatkan cloud kitchen

Dalam menjajakan produknya, SaladStop! memanfaatkan konsep cloud kitchen. Ini dipilih agar dapat mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi, terlebih didukung dengan teknologi yang mereka kembangkan. Di proses distribusi, mereka juga memanfaatkan ekosistem food delivery di masing-masing negara tujuannya. Seperti di Indonesia, mereka bermitra dengan GoFood dan Grab Food untuk pemesanan dan pengantaran makanan.

Selain itu, di Indonesia SaladStop! turut menggandeng operator cloud kitchen untuk membantu mereka memproduksi makanan untuk pelanggan. KitaKitchen menjadi platform yang mereka gandeng saat ini. Sebenarnya banyak opsi yang bisa digunakan juga, DailySocial.id mencatat setidaknya ada 15 operator yang kini terus memantapkan bisnis.

No Nama Operator Tahun berdiri Lokasi Minimum kontrak Ukuran dapur Harga sewa (mulai dari) Mitra brand
1 GrabKitchen 2018 45 outlet 1 tahun 10-20 m2 Bagi hasil Geprek Bensu, Reddog, The Good Habit Express
2 Dapur Bersama GoFood 2019 27 outlet 1 tahun 14-25 m2 Bagi hasil FamilyMart, Banzai, I am Geprek Bensu
3 Everplate 2019 9 outlet 1 tahun 6-17 m2 Biaya tetap, 6 juta/bln 2080 Burger, The Moo, Bakso Gembul
4 Yummy Kitchen 2019 40 outlet 6 bulan 5-10 m2 Bagi hasil, 7 juta/bln Dailybox, KyoChon, Se’i Sapi Lamalera
5 Kita Kitchen 2020 3 outlet 6 bulan 6-17 m2 Biaya tetap, 5 juta/bln Burgreens, Thai Alley, Yoshinoya, SaladStop
6 Telepot 2020 1 outlet 6 bulan 7-19 m2 Bagi hasil, 6 juta/bln Yuks Bowl, Kaka Bakes, CWIMS
7 Hangry 2020 40 outlet N/A N/A N/A Own brand
8 Popitsnack N/A 1 outlet N/A N/A N/A Segara Market, Tehna
9 Tabula 2020 53 outlet N/A N/A N/A Mujigae, Palava, Fondre
10 Eden Kitchen 2020 1 outlet N/A N/A Biaya tetap, 5 juta/bln Oppa Corn Dog, Unicorn Burger
11 Foodstory 2021 2 outlet N/A N/A N/A Ayam Sunda Empire, Nasi Goreng TikTok, Chick Pok!
12 Lookalkitchen 2021 50 outlet N/A N/A N/A Dapoer Bang Jali by Denny Cagur
13 DishServe 2021 100 outlet N/A N/A Komisi Phago, Daipan
14 Eatsii 2021 N/A N/A N/A N/A Nasi Goreng Endoy, Simply Fry
15 Boga Kitchen 2020 16 outlet N/A N/A N/A Own brand

Dengan mereduksi beban di sisi operasional, brand pengembang produk makanan memang cenderung bisa lebih gesit dalam melakukan inovasi produk dan ekspansi. Sebaran penyelenggara cloud kitchen yang terus meluas juga menjadi kesempatan tersendiri bagi pemain untuk memperluas pangsa pasarnya di tengah pergeseran kebiasaan pelanggan pascapandemi. Ini terbukti, sepanjang pandemi, lebih dari 50% penjualan SaladStop! dihasilkan secara online.

“Untuk mencapai strategi pertumbuhan ambisius kami berencana untuk memperdalam akar kami di pasar yang ada, sementara juga memperluas jejak di negara-negara baru yang dipilih. Kami telah membangun infrastruktur yang luas di seluruh wilayah selama beberapa tahun terakhir dan akan terus memanfaatkan kemampuan teknologi dan model operasi cloud kitchen eksklusif kami untuk mempercepat pertumbuhan kami di pasar negara berkembang,” imbuh Chief Growth Officer of SaladStop! Frantz Braha.

Konsep bisnis serupa di Indonesia

Hangry, Foodstory, Legit Group, dan beberapa pemain lokal lain sebenarnya juga telah mengadopsi model bisnis yang serupa, yakni “multi-brand cloud kitchen”. Melalui gerai-gerai mini yang tersebar di berbagai kota, bahkan sebagian tidak menyediakan opsi dine-in, mereka menghadirkan beberapa brand makanan sekaligus ke dalam satu opsi pemesanan. Contohnya Hangry!, dalam kedainya mereka memberikan beberapa opsi makanan mulai dari Moon Chicken, San Gyu, Kopi Dari Pada, dan Ayam Koplo.

Dari sisi pengguna model multi-brand ini juga menghadirkan keuntungan tersendiri. Dalam satu kali pemesanan, mereka bisa memperoleh varian item makanan dari merek yang berbeda — termasuk menghemat ongkos kirim.

Penerimaan pasar yang apik ternyata turut membuka mata pemodal ventura untuk turut menggarap lini industri ini. East Ventures berinvestasi ke Legit Group, sementara Alpha JWC Ventures juga turut mendukung Hangry! sejak debut awalnya.

Model bisnis yang dijalankan saat ini seperti bisa menjadi “template” untuk pengusaha kuliner generasi selanjutnya. Selain memungkinkan mereka bisa bergerak lincah untuk memperluas area bisnis, penerimaan pasar juga menjadi aspek penting yang kini mulai terbentuk. Di sisi lain infrastruktur yang mengakomodasi bisnis tersebut juga terus diperdalam. Sebut saja, untuk layanan pemesanan kini tidak hanya terpaku ke duo Grab-Gojek, platform lain seperti Shopee dan Traveloka mulai meningkatkan kualitas layanan food delivery mereka.

Tantangannya justru bagaimana ini pengusaha makanan menciptakan brand yang relevan dengan pangsa pasar di Indonesia – demi menghadirkan produk makanan berkualitas dengan biaya terjangkau. Toh di sisi operasional banyak biaya yang seharusnya bisa ditekan untuk diprioritaskan ke produk.

East Ventures Leads Investment for TreeDots, Providing Social Commerce for Groceries

TreeDots, a Singapore-based social commerce startup for groceries (also maximizing the decent potential of the leftovers), announced a series A funding round of $11 million (over 157 billion Rupiah) led by East Ventures (Growth Fund) and Amasia. There are other investors join this round, including ACTIVE Fund, Seeds Capital, Nir Eyal (writer), and Fiona Xie (actress).

The funds will be used for platform development, the company’s food logistics optimization, TreeLogs and regional expansion, post entering the Malaysian market last year.  The company didn’t mention its next target country.

TreeDots’ Co-founder & CEO, Tylor Jong said to DailySocial that his team is currently in discussion regarding the plan. “We have plans to expand our regional coverage and we are in the middle of comprehensive exploration [the next country] where it will make sense for us,” Jong said.

TreeDots was founded by Tylor Jong, Lau Jia Cai, and Nicholas Lim in 2018. The company is a marketplace for surplus and imperfect groceries, in response to the wasted food isssues, especially decent food that is being thrown away. TreeDots technology helps redistribute unsold inventory from suppliers to businesses such as restaurants and cafes, enabling them to obtain affordable food supplies.

Globally, there is one-third food produced for consumption is wasted. In Asia, most of these problems are caused by inefficient supply chains. Imperfect food in terms of aesthetic is often dumped even though it is considered decent as the ones commonly found on grocery store shelves. This surplus food is often burned or left to rot, producing methane and other greenhouse gases with 86 times more harmful impact on global warming than carbon dioxide.

“We realized that grocery store chains tend not to buy a huge chicken or in the imperfect shape because it would look weird on the shelves. However, F&B outlets could not care less as it will be cut and processed to be served. Therefore, they’ll be very happy to be able to buy the same products for up to 90 percent cheaper than the alternatives. It encourages us to start a surplus food marketplace to match the supply and demand for these products,” Jong explained separately in an official statement, Thursday (11/11).

TreeDots’s target market is F&B franchises and social commerce to accommodate group purchasing. Thus, consumers can buy the same product with much cheaper price. TreeDots sends multiple orders at once to a single address and group buyers can pick up their individual orders from that address. It allows buyers to save on logistics costs, as well as reduce emissions compared to traditional e-commerce models that require a special trip for each order.

In terms of sales. prior to joining TreeDots, suppliers often paid for a delivery service to send their waste to a landfill. In this case, they can now earn additional income from these imperfect products in a way helping to preserve the earth.

TreeDots also helps digitize suppliers’ operations using an app, and they recently launched TreeLogs, a cold-chain logistics to improve the supplier’s operation efficiency. This vertically integrated ecosystem allows upstream suppliers to focus their efforts on their area of ​​excellence, food processing and production.

“Food wasted has becocme a trillion dollar issue, but what excites us is the fact that suppliers are starting to use the TreeDots system for their entire income, not just leftovers. When one of their trucks can make one delivery to an area, TreeDots can make five deliveries on the same trip by working with the entire supplier group. The increased network density allows for lower logistics costs and emission levels,” East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana said.

TreeDots Gross Merchandise Value (GMV) has grown more than 4 times year on year. “There are a lot of businesses serving the F&B industry that comes with difficulty during the pandemic. However, we are very impressed with the ability of the TreeDots team to drive exponential growth amid difficult circumstances,” Amasia’s Managing Partner, who also led TreeDots’ initial funding round in 2019, John Kim said.

As TreeDots business expands, Janet Sarah Neo, Vice President, Corporate Sustainability & Government Affairs at Lazada and Executive Board Member at Temasek Foundation Liveability, will join TreeDots as a Board Observer.

Startups with resembled energy

With the resembled energy to maximize the potential of surplus food, a local startup called Surplus has launched in Indonesia. The platform allows F&B businesses to sell excees and imperfect yet decent food products at certain hours before closing the shop with a half price discount.

More than 400 Surplus partners come from across Jabodetabek, Bandung and Yogyakarta. Most of them are engaged in businesses that produce a lot of excess food products, such as bakery & pastry, cafes, restaurants, hotels, supermarkets, catering, and agriculture.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Pimpin Pendanaan TreeDots, Hadirkan Solusi “Social Commerce” untuk Bahan Makanan

TreeDots, startup social commerce asal Singapura untuk bahan makanan (termasuk memaksimalkan potensi bahan makanan layak yang tersisa), mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $11 juta (lebih dari 157 miliar Rupiah) yang dipimpin East Ventures (Growth Fund) dan Amasia. Beberapa investor lain yang turut bergabung adalah ACTIVE Fund, Seeds Capital, penulis Nir Eyal, dan aktris Fiona Xie.

Pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk pengembangan platform, pengoptimalan logistik makanan milik perusahaan, TreeLogs, dan ekspansi secara regional, setelah masuk ke Malaysia pada tahun lalu. Tidak disebutkan negara berikutnya yang dibidik.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO TreeDots Tylor Jong menuturkan, pihaknya berada di tengah diskusi lebih dalam terkait rencana tersebut. “Kami memiliki rencana untuk memperluas cakupan regional kami dan kami berada di tengah pemahaman [negara berikutnya] di mana akan masuk akal bagi kami,” kata Jong.

TreeDots didirikan oleh Tylor Jong, Lau Jia Cai, dan Nicholas Lim pada 2018. Perusahaan adalah marketplace untuk bahan makanan yang surplus dan tidak sempurna, dalam menyikapi permasalahan makanan yang terbuang sia-sia, terutama makanan yang dapat dikonsumsi namun dibuang. Teknologi TreeDots membantu pendistribusian ulang inventaris yang tidak terjual dari pemasok kepada bisnis seperti restoran dan kafe, memungkinkan mereka untuk mendapatkan pasokan makanan dengan harga terjangkau.

Secara global, sepertiga dari semua makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi terbuang sia-sia. Di Asia, sebagian besar dari masalah tersebut disebabkan oleh rantai pasok yang tidak efisien. Makanan yang tidak sempurna secara estetis sering kali terbuang ke tempat pembuangan akhir padahal masih dalam kondisi segar dan bergizi sebagaimana makanan yang biasa ditemukan di rak-rak toko grosir. Makanan surplus tersebut sering dibakar atau dibiarkan membusuk, sehingga menghasilkan metana dan gas rumah kaca yang memiliki dampak 86 kali lebih berbahaya pada pemanasan global daripada karbon dioksida.

“Kami menyadari bahwa rantai toko grosir mungkin tidak akan membeli ayam yang terlalu besar atau memiliki tulang yang patah karena akan terlihat aneh di rak mereka. Tetapi gerai F&B tidak peduli karena mereka akan memotong dan menata makanan sebelum mereka sajikan. Jadi, jika mereka dapat membeli produk yang pada dasarnya sama dengan harga hingga 90 persen lebih murah daripada produk alternatif, mereka akan sangat senang. Hal tersebut mendorong kami untuk memulai marketplace makanan surplus untuk mencocokkan pasokan dan permintaan produk-produk tersebut,” terang Jong secara terpisah dalam keterangan resmi, Kamis (11/11).

Target pengguna platform TreeDots adalah waralaba F&B dan social commerce untuk mengakomodasi kebutuhan pembelian kelompok. Dengan demikian, konsumen dapat membeli produk yang sama dengan harga diskon yang lebih besar. TreeDots mengirimkan beberapa pesanan sekaligus ke satu alamat dan para pembeli dalam grup bisa mengambil barang pesanan masing-masing dari alamat tersebut. Langkah ini memungkinkan penghematan biaya logistik bagi para pembeli, juga mengurangi emisi jika dibandingkan dengan model e-commerce tradisional yang memerlukan perjalanan khusus untuk setiap pesanan yang dikirimkan.

Dari sisi penjualan, sebelum bergabung dengan TreeDots, para pemasok sering kali membayar layanan pengiriman untuk mengirim barang limbah mereka ke tempat pembuangan akhir. Dengan adanya TreeDots, sekarang mereka dapat memperoleh pendapatan tambahan dari barang bahan tersebut dan merasa puas karena dapat membantu melestarikan bumi.

TreeDots juga membantu digitalisasi operasi para pemasok menggunakan sebuah aplikasi, dan baru-baru ini mereka meluncurkan TreeLogs, penawaran logistik rantai dingin (cold-chain logistics) yang meningkatkan efisiensi proses operasi para pemasok. Ekosistem terintegrasi yang vertikal ini memungkinkan para pemasok di hulu untuk memfokuskan upaya mereka di area keunggulan mereka, yaitu pemrosesan dan produksi makanan.

“Makanan yang terbuang sudah menjadi sebuah masalah bernilai triliunan dolar, tetapi yang membuat kami sangat bersemangat adalah fakta bahwa para pemasok mulai menggunakan sistem TreeDots untuk seluruh pendapatan mereka, bukan hanya produk sisa makanan. Jika salah satu truk mereka dapat menjalankan satu pengiriman ke suatu daerah, TreeDots dapat melakukan lima pengiriman pada perjalanan yang sama dengan bekerja bersama seluruh kelompok pemasok. Kepadatan jaringan yang telah meningkat memungkinkan penurunan biaya logistik dan tingkat emisi,” kata Managing Partner East Ventures Roderick Purwana.

Nilai Gross Merchandise Value (GMV) TreeDots telah tumbuh lebih dari 4 kali lipat dari tahun ke tahun. “Terdapat banyak bisnis yang melayani industri F&B yang mengalami kesulitan selama pandemi. Akan tetapi, kami sangat terkesan dengan kemampuan tim TreeDots untuk mendorong pertumbuhan eksponensial di tengah keadaan yang sulit,” kata Managing Partner Amasia John Kim, yang juga memimpin ronde pendanaan awal TreeDots pada 2019.

Sejalan dengan pengembangan bisnis TreeDots, Janet Sarah Neo, Vice President, Corporate Sustainability & Government Affairs di Lazada dan Executive Board Member di Temasek Foundation Liveability, akan bergabung dengan TreeDots sebagai Board Observer.

Startup dengan semangat yang sama

Dengan semangat yang sama ingin memaksimalkan potensi dari makanan surplus, startup lokal bernama Surplus telah hadir di Indonesia. Surplus memungkinkan para pelaku usaha F&B untuk menjual produk makanan berlebih dan imperfect produce yang masih aman dan layak untuk dikonsumsi di jam-jam tertentu sebelum tutup toko dengan diskon setengah harga.

Mitra Surplus yang telah bergabung disebutkan telah lebih dari 400 yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Yogyakarta. Kebanyakan mereka bergerak di usaha yang menghasilkan banyak produk makanan berlebih, seperti bakery & pastry, kafe, restoran, hotel, supermarket, katering, dan pertanian.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Leads Seed Funding for Kasual, a Fashion Startup Combining Technology and D2C Approach

The direct-to-consumer (D2C) startup Kasual has secured seed funding led by East Ventures. They developed products for everyday wear, with an initial focus on men’s trousers. The fresh funds will be used to strengthen the team, technology and factory capabilities, and to expand the company’s operational to Solo, Central Java.

In order to facilitate consumers to access its products, Kasual has developed its own website. In addition to the sales platform, it also provides several features. The first is called “Build Your Own Product”, allowing customers to choose the type of cut and size tailored to their preferences. There is also a “Virtual Fitting” service, providing direct consultation services with the Kasual team via video calls regarding sizes, personalized fittings, and product recommendations.

With more efficient ordering process and in-house garment production, products can be delivered to customers in less than 5 days. The personalization and technological approach is said to put Kasual the first fashion-tech and instant commerce in Indonesia.

“We realize that the e-commerce trend has rapidly mushroomed and helped customers shop comfortably from home, therefore, they demand manufacturers or sellers who can provide daily necessities, especially pants, more quickly and reliably. However, local brands are currently ignores technology which can actually be a vital aspect in fashion production. This means that customers still don’t have a reliable platform to get personalized fashion products instantly,” Kasual’s Founder & CEO, Alam Akbar said.

It is said that Kasual has experienced a 3x growth when the first pandemic entered Indonesia in 2020 compared to 2019 (YoY). To date, they have served around 80 thousand users and have produced more than 3 thousand products per month.

D2C Trend

Based on data compiled in the “Driving Growth with D2C” report by Ogilvy, Commercetolls, and Verticurl, current brand owners must have a D2C digital strategy to win the market. The main goal is to build a more personal relationship with customers, thereby creating a more effective and engaging brand experience as a value proposition. D2C provides invaluable ownership of customer data.

One case study that is widely told is the success of Perfect Diary, a cosmetic brand from China. Was founded in 2016, the startup achieved impressive growth throughout its 2 years of business. In 2019, they became one of the mos selling of three brands. Eventually, they decided to IPO in 2020 with $7 billion valuation. Its main strategy is solely D2C.

There are three main pillars that brand owners ideally have in its D2C strategy. First, it allows them to find product differentiation, this unique value is considered to invite more customers. Second, the ability to empower customer data to better understand their needs and characteristics. Third, to encourage brand leadership with more agility approach, including on the operational side.

With the same opportunities, some local players try their luck in the sector. East Ventures alone has also invested in another D2C startup in the skin care field named Base and a plant-based beverage called Mohjo. There is also Hypefast to help brand owners sharpen their D2C strategies — including to provide capital, network, access, and operational support.

On the investor side, apart from East Ventures, several other local venture capitalists have also started to enter the sector. From Alpha JWC Ventures, AC Ventures, and BRI Ventures through Sembrani. Recently, Kinesys has collaborated with The-Wolfpack specifically to strengthen the D2C ecosystem in its portfolio.

In terms of fashion business, sales is currently dominated by online shopping in global. Innovation is required to maintain this growth, along with changing trends that occur among consumers.

The most popular product categories in global online shopping throughout 2021 / Statista

Kasual’s further development

Various personalization features will be developed to support Kasual’s fashion commerce system. One of which is body measurement with 3D technology to strengthen custom personalization to be introduced by Kasual at its annual event “Custom Week 2021” on 17-19 December 2021 in Jakarta. By using an electronic body scanner, visitors can place custom orders instantly and accurately.

“We are delighted to welcome East Ventures and other investors to the Kasual family. With this funding, we will build a new team, improve the digital experience for customers and manufacturing processes, launch more product categories and marketing initiatives, and use new technologies such as AR measurement to create Indonesia’s first 3D body measurement. Going forward, we want to increase and process daily orders by 10x and process more than 5 thousand products every day,” Alam said.

Meanwhile, East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca said, “Indonesia has one of the most robust digital infrastructures in the region that allows small, custom-made companies like Kasual to thrive. We want to see how far they can go and support them along the company’s growth journey.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Pimpin Pendanaan Awal Kasual, Startup Fesyen yang Memadukan Teknologi dan Strategi D2C

Startup direct to consumer (D2C) Kasual mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal yang dipimpin East Ventures. Produk yang mereka kembangkan adalah pakaian sehari-hari, dengan fokus awal pada celana pria. Dana segar akan dimanfaatkan untuk memperkuat tim, kapabilitas teknologi dan pabrik, serta memperluas ekspansi operasional perusahaan ke Solo, Jawa Tengah.

Untuk memudahkan konsumen mengakses produknya, saat ini Kasual memiliki situs sendiri. Selain platform penjualan, di dalamnya turut disediakan beberapa fitur. Pertama disebut dengan “Build Your Own Product”, memungkinkan pelanggan dapat memilih jenis potongan dan ukuran yang disesuaikan dengan preferensi mereka. Ada juga layanan “Virtual Fitting”, menyediakan layanan konsultasi langsung dengan tim Kasual melalui panggilan video terkait ukuran, fitting yang dipersonalisasi, dan rekomendasi produk.

Dengan proses pemesanan yang lebih sederhana dan produksi garmen internal, produk dapat dikirim ke pelanggan dalam waktu kurang dari 5 hari. Personalisasi dan pendekatan teknologi yang disuguhkan diklaim menjadikan Kasual sebagai fashion-tech dan instant commerce pertama di Indonesia.

“Kami menyadari bahwa tren e-commerce telah menjamur dengan sangat cepat dan membantu pelanggan belanja dengan nyaman dari rumah, sehingga mereka menuntut produsen atau penjual yang bisa menyediakan barang kebutuhan sehari-hari, khususnya celana, lebih cepat dan terpercaya. Namun, brand lokal saat ini masih mengabaikan teknologi yang sebenarnya bisa menjadi aspek vital dalam produksi fashion. Artinya, saat ini pelanggan masih belum memiliki platform yang dapat diandalkan untuk mendapatkan produk fashion yang dipersonalisasi secara instan,” kata Founder & CEO Kasual Alam Akbar.

Turut disampaikan, kasual telah mengalami pertumbuhan 3x lipat sewaktu pandemi pertama masuk ke Indonesia di tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2019 (YoY). Hingga kini, mereka telah melayani sekitar 80 ribu pengguna dan telah memproduksi lebih dari 3 ribu produk per bulan.

Tren D2C

Menurut data yang dihimpun dalam laporan “Driving Growth with D2C” oleh Ogilvy, Commercetolls, dan Verticurl, pemilik brand saat ini dinilai harus memiliki strategi digital D2C untuk dapat memenangkan pasar. Tujuan utamanya untuk membangun hubungan yang lebih personal dengan pelanggan, sehingga bisa menciptakan pengalaman brand yang lebih efektif dan menarik sebagai proposisi nilai. D2C memberikan kepemilikan data pelanggan yang tak ternilai.

Salah satu studi kasus yang banyak diceritakan adalah kesuksesan Perfect Diary, sebuah brand kosmetik asal Tiongkok. Didirikan sejak tahun 2016, startup tersebut mencapai pertumbuhan yang mengesankan sepanjang 2 tahun bisnis berjalan. Bahkan di 2019, mereka menjadi salah satu dari tiga brand dengan penjualan terbanyak. Hingga akhirnya pada tahun 2020 memutuskan IPO dengan valuasi $7 miliar. Strategi utama mereka tidak lain dengan D2C.

Ada tiga pilar utama yang idealnya didapat pemilik brand dalam strategi D2C mereka. Pertama, memungkinkan mereka menemukan diferensiasi produk, nilai unik tersebut dinilai akan mengundang lebih banyak pelanggan. Kedua, kemampuan memberdayakan data pelanggan untuk lebih memahami kebutuhan dan karakteristiknya. Dan ketiga, mendorong kepemimpinan brand dengan tingkat ketangkasan lebih secara menyeluruh, termasuk di sisi operasional.

Melihat peluang yang sama, beberapa pemain lokal mencoba keberuntungan di sektor tersebut. East Ventures sendiri turut berinvestasi ke startup D2C lainnya di bidang perawatan kulit bernama Base dan minuman nabati bernama Mohjo. Ada juga Hypefast yang hadir membantu pemilik brand untuk menajamkan strategi D2C mereka — termasuk dengan memberikan dukungan permodalan, jaringan, akses, dan operasional.

Di sisi investor, selain East Ventures beberapa pemodal ventura lokal lainnya juga mulai masuk ke sana. Mulai Alpha JWC Ventures, AC Ventures, hingga BRI Ventures melalui Sembrani. Terbaru ada Kinesys yang menjalin kerja sama dengan The-Wolfpack khusus untuk memperkuat ekosistem D2C di portofolionya.

Untuk bisnis fesyen sendiri, hingga saat ini masih mendominasi penjualan di online shopping secara global. Inovasi diperlukan untuk menjaga pertumbuhan tersebut, seiring dengan perubahan tren yang terjadi di kalangan konsumen.

Kategori produk paling populer di online shopping global sepanjang 2021 / Statista

Pengembangan Kasual selanjutnya

Berbagai fitur personalisasi juga akan terus dikembangkan untuk menunjang sistem fashion commerce yang dimiliki Kasual. Salah satunya pengukuran tubuh dengan teknologi 3D untuk menguatkan personalisasi kustom yang akan diperkenalkan Kasual pada acara tahunan mereka “Custom Week 2021” pada 17-19 Desember 2021 mendatang di Jakarta. Dengan menggunakan pemindai tubuh elektronik, pengunjung dapat melakukan pesanan custom secara instan dan akurat.

“Kami senang menyambut East Ventures dan investor lainnya dalam keluarga Kasual. Dengan dana ini, kami akan membangun tim baru, meningkatkan pengalaman digital bagi pelanggan dan proses manufaktur, mengeluarkan lebih banyak kategori produk dan inisiatif marketing, serta menggunakan teknologi baru seperti pengukuran AR untuk membuat pengukuran tubuh 3D pertama di Indonesia. Ke depannya, kami ingin meningkatkan dan memproses pesanan harian sebesar 10x lipat dan memproses lebih dari 5 ribu produk setiap harinya,” jelas Alam.

Sementara itu Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, berkata, “Indonesia memiliki salah satu infrastruktur digital paling kuat di kawasan ini yang memungkinkan perusahaan kecil penjual barang custom seperti Kasual berkembang. Kami ingin melihat seberapa jauh mereka bisa melangkah dan mendukung mereka di sepanjang perjalanan pertumbuhan perusahaan.”