Upaya Vokraf Hadirkan Sumber Belajar untuk Talenta Industri Kreatif

Satu lagi layanan pembelajaran digital muncul di Indonesia. Diperkenalkan dengan nama Vokraf, platform pendidikan online yang berfokus pada peningkatan kemampuan talenta dengan keahlian yang dibutuhkan oleh industri kreatif.

Dikembangkan oleh Fina Silmi, Mahatma dan Dwi Grahantino; Vokraf menempatkan diri sebagai platform yang diharapkan bisa menjadi rujukan bagi anak muda belajar kemampuan yang dibutuhkan di dunia kreatif.

“Kami sungguh-sungguh dalam menyusun kurikulum untuk pembelajaran yang efektif. Kami meneliti materi-materi yang dibutuhkan oleh talent untuk bisa berkarya pada suatu profesi. Kami bekerja sama dengan expert, konten kami komprehensif. Ada practical assignment dari case study di real industry saat ini dan bisa dijadikan portofolio mereka. Selain itu, terdapat fitur feedback expert, pengguna bisa mendapatkan feedback dari para expert untuk practical assignment yang dia unggah di website,” terang Fina.

Vokraf sendiri aktif melakukan riset pasar sejak Mei 2019 dan baru meluncur penuh pada Oktober 2019. Sejauh ini sudah memiliki 4 rencana pembelajaranyakni copywriter, graphic designer, 3D animator dan YouTube content creator. Mereka juga menjalin kerja sama dengan The Little Giantz, salah satu perusahaan animasi di Indonesia.

Di Indonesia saat ini sudah banyak platform belajar yang memanfaatkan teknologi digital dan platform online. Ruangguru sudah memulainya dengan Skill Academy, ada juga Udemy yang sudah masuk ke pasar Indonesia, Hacktiv8 yang mulai meluncurkan Kode.id, HarukaEdu yang meluncurkan Pintaria, Dicoding dan layanan semacamnya.

Potensi industri ini sebenarnya masih cukup besar mengingat belum ada pemain yang mendominasi. Hanya saja untuk memastikan layanannya bermanfaat, kualitas pembelajaran dan sistemnya harus didesain dengan baik. Poin ini yang coba maksimalkan oleh Vokraf.

“Sejak diluncurkan, kami mendapatkan feedback positif dari pengguna. Mereka menemukan konten yang dibutuhkan. Sudah ada early paid users dan growth. Itu berdasarkan data. Tetapi yang paling penting, kenapa kami optimis bisa tumbuh menjadi besar adalah karena tim kami yang passionate, kompak, dan sangat gigih. Tim kami ingin memberikan yang terbaik untuk talent yang ingin masuk ke industri kreatif, dan kami juga ingin membantu perusahaan-perusahaan industri kreatif supaya grow dengan adanya supply talent yang skillnya memenuhi,” imbuh Fina.

Dari segi bisnis, Vokraf saat ini berjalan dari modal yang digelontorkan oleh angel investor. Sedangkan untuk meningkatkan pertumbuhan bisnisnya mereka memanfaatkan berbagai kanal media sosial. Fokus Vokraf saat ini adalah untuk memperbanyak konten melalui kerja sama dengan perusahaan yang bergerak di industri kreatif.

“[Kami] membuat lebih banyak career track, dan me-reach lebih banyak pengguna, sehingga semakin banyak orang yang mendapatkan ilmu dan manfaat,” tutup Fina.

Aplikasi ELSA Speak Ekspansi ke Indonesia, Fokus Tingkatkan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris

ELSA (English Learning Speech Assistant) Speak adalah aplikasi untuk belajar bahasa Inggris yang menerapkan kecerdasan buatan dan pengenalan suara. Teknologi tersebut memungkinkan terjadinya proses belajar dua arah, misalnya pengguna dapat melafalkan kata atau kalimat tertentu, kemudian sistem akan melakukan analisis dan memberikan masukan perbaikan.

Berbasis di San Francisco, aplikasi ELSA Speak didirikan pada tahun 2015 oleh Vu Van. Saat ini mereka mengklaim telah miliki 6,5 juta pengguna yang tersebar di 101 negara. Lantas untuk tingkatkan penetrasi bisnis, perusahaan tengah gencarkan ekspansi, termasuk ke pasar India, Jepang dan Indonesia.

Di Indonesia, saat ini juga ada aplikasi belajar Bahasa Inggris yang dikembangkan startup lokal, yakni Bahaso dan Cakap – beberapa aplikasi lain dari pengembang global seperti DuoLingo juga bisa digunakan gratis oleh pengguna di sini. Beberapa startup edutech seperti Ruangguru (melalui SkillAcademy) dan Zenius juga tawarkan materi belajar Bahasa Inggris.

Untuk Bahaso, selain modul berbasis e-learning interaktif, mereka juga sajikan layanan kursus online dengan tutor. Sementara Cakap, fokus sajikan kanal kursus online untuk pembelajaran bahasa. Mereka menggandeng mitra dari berbagai perguruan tinggi.

Kepada DailySocial, Sandra Wang selaku Indonesia Head of Growth ELSA menyampaikan potensi pasar layanan kursus bahasa Inggris. Dengan tingginya populasi berumur 35 tahun ke bawah, Indonesia berkemungkinan untuk menyumbang tenaga kerja internasional. Akan tetapi, menurut riset yang dilakukan English First English Proficiency Index, Indonesia masih menempati urutan ke 61 dari 100 negara untuk kemampuan berbahasa Inggris.

Segera integrasikan dengan platform pembayaran lokal

Saat ini ELSA telah memiliki tim lokal di Indonesia untuk pemasaran dan pengembangan produk. Beberapa inisiatif yang direncanakan di antaranya mengintegrasikan platform dengan pembayaran digital seperti Gopay, dengan harapan memudahkan proses transaksi.

Aplikasi dapat diunduh secara gratis dan dicoba dengan fitur terbatas. Untuk manfaatkan kapabilitas penuh, pengguna dapat berlangganan dengan harga mulai dari Rp84 ribu per bulan.

“Di Indonesia, ELSA bertujuan untuk mendukung masyarakat dengan berbagai latar belakang, berbagai macam pendidikan dan pekerjaan, dalam meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Inggris yang dapat berguna untuk meningkatkan kesempatan mereka dalam dunia kerja dan kehidupan sehari-hari,” jelas Sandra menceritakan segmentasi pengguna yang ditargetkan.

ELSA telah membukukan pendanaan sekitar US$12 juta dari Monk’s Hill Ventures, Gradient Ventures dan sejumlah investor lainnya.

Fokus tingkatkan kualitas berbicara bahasa Inggris

Dengan teknologi yang dimiliki, prioritas utama ELSA pada latihan pengucapan bahasa Inggris secara akurat. Aplikasi disebut bisa  mendeteksi kesalahan pengucapan pengguna dengan tingkat akurasi sampai 95%. Pengguna juga dapat menerima umpan balik detail untuk memperbaiki kesalahan pengucapannya, seperti ulasan setiap suku kata yang salah diucapkan hingga analisis pelafalan kata.

ELSA telah menyediakan lebih dari 1.200 pelajaran serta lebih dari 60 topik bagi pengguna untuk melatih pengucapan, mulai dari latihan pengucapan kata, frasa serta kalimat bahasa Inggris. Fitur lain yang ditawarkan adalah kamus interaktif, yang akan membantu pengguna cara mengucapkan kata atau frasa yang dicarinya.

Founder & CEO ELSA Vu Van menyampaikan, pengucapan merupakan tantangan terbesar dalam belajar bahasa Inggris, sehingga menjadi penghalang untuk berbicara dengan lancar dan percaya diri. “Di zaman sekarang, kita perlu berbicara bahasa Inggris dengan jelas, dan dengan aksen yang bersih untuk berkomunikasi dengan baik di tempat kerja, sekolah, dan tempat lainnya.”

Hal itu sejalan juga dengan pengalaman yang dialami Van hingga akhirnya mendirikan ELSA. “Saya pindah ke Amerika untuk mengambil gelar MBA. Tahun pertama saya di Stanford sangat menantang karena ketidakmampuan saya untuk berbicara bahasa Inggris dengan lancar. Padahal, saya termasuk berprestasi dalam mata pelajaran bahasa Inggris ketika sekolah di Vietnam.”

ELSA Vu Van
Founder & CEO ELSA Vu Van / ELSA

“Kami percaya bahwa jika seseorang mampu berbicara bahasa Inggris dengan baik, tingkat pendapatan mereka akan naik juga. Kualitas hidup mereka pun menjadi semakin meningkat. Dengan demikian, lebih banyak kesempatan terbuka bagi mereka,” ujar Van.

ELSA juga miliki model bisnis B2B, mereka menawarkan platform terpadu untuk membantu perusahaan, organisasi atau instansi pendidikan memberikan solusi belajar bahasa Inggris bagi karyawan, anggota atau pelajarnya. Dilengkapi juga dasbor analisis hasil pembelajaran yang dapat dipantau pengelola.

Application Information Will Show Up Here

Zenius Plans Business Growth, to Rocus on Tech Development and Content Production

The huge market potential in the edtech sector in Indonesia has encouraged Zenius to accelerate business growth in order to acquire more students while raising positive retention.

Zenius’ CEO Rohan Monga told DailySocial, after receiving US$20 million Series A funding (around 260 billion Rupiah), the company plans to develop technology, increase the variety of content, as well as recruit talent to strengthen the team. Aside from Northstar Group, Kinesys Group and BeeNext also participated in this round.

“The power of online learning platform positioned is the ability to analyze and diagnose each student based on collected data. Using a personal approach, it is expected to provide students with improved abilities. In order to create technology, it requires a very large cost.

The company also plans to launch massive marketing activities. Regarding marketing activities, Rohan said it will be similar to other players, all online and offline activities will be carried out as authentic. Zenius’ engineer team are based in Indonesia and India, with the objective to build technology that supports business processes.

Zenius focus as an edtech platform

zenius

Prior to the CEO position, Rohan Monga was a former Gojek’s COO and contributed to establishing first Indonesia’s decacorn at the early stage. He also the angel investor for Zenius’ seed funding. The sharp vision and mission of Zenius’ Co-Founder, Sabda PS who currently serves as Chief Educational Officer at Zenius, is one reason Monga is digging into the edtech sector in Indonesia.

“I am very enthusiastic about Sabda’s vision and Zenius team to present an even better online learning platform. This is in line with my experience mission in the technology era and my passion for social impact,” Monga said.

Was founded in 2004, Zenius claims to have formulated a learning approach using technology that prioritizes conceptual understanding and thinking model. The basic competency is to form a deep understanding of scientific concepts, not just a matter of remembering and memorizing.

Therefore, students should ideally have a good mindset after learning and be able to adapt and find solutions to the current problems they’re facing. The thinking ability is quite essential for future generations to adapt, collaborate and compete.

“I am very happy and glad for Monga to join Zenius. Monga, with his character that is focused on solutions and has deep insight and extraordinary experience in his field, is the most appropriate person for this role. I hope to encourage Zenius’ growth to continue improving the education sector in Indonesia,” said Sabda.

Zenius offers several types of products, the core business is Zenius.net, an online learning website contains more than 80 thousand leaning videos and hundreds of thousands of practice question

Zenius has several types of products, with the main product being Zenius.net, an online learning website that contains more than 80 thousand learning videos and hundreds of thousands of practice questions for elementary and high school levels that have been adapted to the national curriculum. Throughout 2019, the site has been accessed by more than 12.8 million users. Zenius has also launched mobile applications on Google Play and the App Store.

“I predict within the next 2-3 years there will be more and more edtech startups in Indonesia to bring new innovations around the online learning platform with diverse skills material to formal education as we have,” Rohan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Strategi Pertumbuhan Bisnis Zenius, Fokus Kembangkan Teknologi dan Produksi Konten

Besarnya potensi pasar sektor teknologi pendidikan di Indonesia menjadi salah satu alasan mengapa Zenius awal tahun ini ingin mempercepat proses pengembangan bisnis, agar bisa merangkul lebih banyak siswa sekaligus mendapatkan retention positif.

Kepada DailySocial CEO Zenius Rohan Monga mengatakan, usai mendapatkan pendanaan seri A sebesar US$20 juta (sekitar 260 Miliar Rupiah), perusahaan berencana mengembangkan teknologi, meningkatkan variasi konten, sekaligus merekrut talenta untuk memperkuat tim. Selain Northstar Group, investor lain yang turut berpartisipasi dalam pendanaan adalah Kinesys Group dan BeeNext.

“Kekuatan dari online learning platform adalah kemampuan untuk melakukan analisis dan diagnosis masing-masing siswa berdasarkan data yang masuk. Dengan pendekatan personalisasi, diharapkan bisa meningkatkan kemampuan siswa untuk lebih baik lagi. Untuk bisa menciptakan teknologi tersebut tentunya dibutuhkan biaya yang sangat besar.”

Perusahaan juga berencana untuk melancarkan kegiatan pemasaran yang masif. Disinggung apakah kegiatan pemasaran akan serupa dengan pemain lainnya, Rohan menyebutkan semua kegiatan online dan offline akan dilakukan secara autentik. Zenius juga telah memiliki tim engineer berbasis di Indonesia dan India, berfungsi untuk membangun teknologi yang menyokong proses bisnis.

Fokus Zenius sebagai platform edtech

Sebelum menjabat sebagai CEO, Rohan Monga pernah menempati posisi COO Gojek dan turut membantu membangun decacorn pertama Indonesia tersebut di fase awal. Ia juga menjadi angel investor untuk pendanaan tahap awal Zenius. Ketajaman visi dan misi yang dimiliki oleh Co-Founder Zenius Sabda PS yang saat ini menjabat sebagai Chief Eductaional Officer di Zenius, menjadi alasan Rohan tertarik menyelami sektor edtech di Indonesia.

“Saya sangat antusias dengan pandangan yang dimiliki oleh Sabda dan tim Zenius untuk menghadirkan online learning platform lebih baik lagi. Hal tersebut sejalan dengan misi pengalaman saya di dunia teknologi dan passion saya terhadap social impact,” kata Rohan.

Berdiri sejak 2004, Zenius mengklaim telah merumuskan pendekatan belajar dengan teknologi yang mengutamakan pemahaman konseptual dan pembentukan daya nalar. Kompetensi dasar yang ingin dibentuk adalah pemahaman mendalam mengenai konsep keilmuan, bukan hanya soal mengingat dan menghafal.

Sehingga setelah belajar pembelajar idealnya dapat memiliki pola pikir yang baik dan mampu beradaptasi serta mencari solusi dari masalah yang dihadapi. Kemampuan berpikir ini juga yang nantinya dibutuhkan oleh generasi masa depan untuk beradaptasi, berkolaborasi dan bersaing.

“Saya sangat senang dan turut mengucapkan selamat atas bergabungnya Rohan ke Zenius. Rohan dengan karakternya yang fokus pada solusi serta memiliki wawasan mendalam dan pengalaman yang luar biasa di bidangnya adalah orang yang paling tepat untuk peran ini. Saya berharap dapat terus mendorong pertumbuhan Zenius untuk terus memajukan dunia pendidikan di Indonesia,” kata Sabda.

Zenius memiliki beberapa jenis produk, dengan produk utama berupa Zenius.net, sebuah situs web pembelajaran online yang memuat lebih dari 80 ribu video pembelajaran dan ratusan ribu latihan soal untuk jenjang SD-SMA yang telah disesuaikan dengan kurikulum nasional. Sepanjang tahun 2019, situs tersebut telah diakses oleh lebih dari 12,8 juta pengguna. Zenius juga telah meluncurkan aplikasi mobile di Google Play dan App Store.

“Saya prediksi dalam waktu 2-3 tahun ke depan akan makin banyak lagi startup edtech di Indonesia yang menghadirkan inovasi baru seputar online learning platform dengan materi skill yang beragam hingga formal education seperti yang kami miliki,” kata Rohan.

Application Information Will Show Up Here

Arkademi Terima Pendanaan Awal dari SOSV

Startup teknologi pendidikan (edutech) Arkademi mengumumkan pendanaan awal dari SOSV, sebuah venture capital berbasis di Amerika Serikat. Tidak disebutkan nominal pendanaan yang diterima, pihaknya hanya menyampaikan akan memanfaatkan modal tambahan ini untuk menjadikan perusahaan lebih agresif mengakuisisi mitra lembaga kursus.

Berdiri sejak tahun 2018, Arkademi menghadirkan pilihan berbagai macam kursus online terkait vokasi atau keahlian. Kegiatan belajar diselenggarakan mitra lembaga kursus terverifikasi.

Sejauh ini mereka sudah memiliki 50 kelas yang diikuti sekitar 25 ribu peserta didik. Target tahun 2020, mereka ingin menambah cakupan kursus menjadi 200 kelas melalui kerja sama dengan 150 mitra. Untuk pengguna diharapkan bisa bertambah sampai 200 ribu orang.

“Pada 2019 kemarin kami berhasil tumbuh 1400% YoY dalam GMV. Product market fit kami makin kuat dengan begitu banyaknya siswa di kelas-kelas kursus online berharga tinggi sekitar Rp1 juta. Selain itu kami juga meluncurkan versi pertama mobile app Android dan iOS yang langsung diadopsi dengan cepat oleh pengguna. Sedangkan daily active user ada di angka 4000+,” terang CEO Arkademi Hilman Fajrian.

Lebih jauh Hilman menerangkan, dengan pendanaan ini pihaknya akan berusaha menumbuhkan bisnis dengan cara memperbesar skala operasi, mulai dari lini penetrasi pasar, akuisisi pengguna, hingga pengembangan produk.

“Dari sisi teknologi, kami akan merilis mobile app versi terbaru di bulan Maret yang merupakan lompatan besar dibandingkan versi yang ada saat ini. Dengan app versi terbaru nanti, pengalaman belajar online menjadi lebih kaya, lebih mobile-oriented dan lebih menyesuaikan diri dengan kualitas konektivitas di Indonesia,” lanjut Hilman,

Di Indonesia Arkademi berada di segmen yang sama dengan Udemy, Skill Academy dari Ruangguru, Kode.id dan beberapa pemain lainnya. Bagi konsumen tentu menarik, karena semakin banyak pilihan. Namun bagi bisnis salah satu tantangannya adalah memastikan kualitas dan fitur pembelajaran yang disajikan.

Tantangan lain yang menjadi sorotan pihak Arkademi adalah banyaknya pengajar yang belum terbiasa dengan mekanisme online dan pemanfaatan teknologi yang mumpuni. Harus ada yang membantu memotivasi para profesional mengajar dan memproduksi konten secara digital.

Di samping itu perlu pengembangan berkelanjutan untuk menemukan teknologi yang pas dalam konsumsi video, dalam hal ini yang diterapkan Arkademi adalah teknologi auto bitrate streaming (ABS).

“Tahun 2020 ini menurut kami adalah awalan industri edutech masuk ke pasar mainstream — yang menurut prediksi kami akan main mainstream di tahun 2022. Selain akan munculnya unicorn dari edutech dalam waktu dekat, juga karena makin dirangkulnya teknologi dalam sektor pendidikan oleh Menteri Nadiem Makarim. Maka, pemain-pemain baru edutech nasional akan makin banyak bermunculan dan investasi di sektor ini akan makin besar,” tutup Hilman.

Application Information Will Show Up Here

Gredu Kenalkan Aplikasi Digitalisasi Sekolah

Satu lagi startup edutech resmi diperkenalkan, kali mengusung model bisnis B2B. Bernama “Gredu”, mereka menyajikan layanan berbasis SaaS untuk digitalisasi sistem informasi di sekolah. Layanan yang disajikan cukup variatif, mulai dari penjadwalan, presensi, pembuatan rencana pembelajaran hingga platform evaluasi belajar.

“Gredu adalah solusi untuk digitalisasi sekolah. Kami mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan yang timbul untuk para pemegang peran di sekolah seperti guru, orang tua maupun murid; dan mencoba memberikan platform sesuai kebutuhan masing-masing peran tersebut,” ujar Co-Founder & COO Gredu Ricky Putra.

Paket produk Gredu terdiri dari 4 kategori, yakni School Management System, Learning Management System, Literacy dan Full Version. Masing-masing dapat dilanggan terpisah sesuai kebutuhan.

Gredu
Varian layanan yang ditawarkan Gredu

Untuk media akses, saat ini Gredu menyediakan aplikasi berbeda yang dapat digunakan oleh guru, orang tua dan murid.

Dari sudut pandang murid, melalui aplikasi mereka dapat mengakses berbagai sumber daya pembelajaran dan masukan personal yang diberikan guru. Misalnya jadwal dan materi belajar yang disiapkan sesuai kurikulum.

Sementara di aplikasi guru, dapat membuat soal uji kompetensi, melakukan analisis perkembangan dan memberikan umpan balik untuk setiap perkembangan murid. Sementara di aplikasi orang tua, ada dasbor khusus dengan fitur analisis hasil belajar putra-putrinya.

“Tidak hanya itu, tersedia juga platform untuk sekolah dimana proses administrasi sekarang bisa melalui platform Gredu,” imbuh Ricky.

Bukukan pendanaan pra-seri A

Senin (20/01) lalu bersamaan dengan grand launching layanan, Gredu mengumumkan perolehan pendanaan putaran pra-seri A. Tidak disebutkan nominalnya, pendanaan ini didapat dari Vertex Venture. Sebelumnya mereka telah telah memperoleh pendanaan awal dari angel investor dan Global Wakaf Corporation.

Startup yang sudah diinisiasi sejak pertengahan 2016 ini memiliki kantor di Jakarta. Didirikan oleh tiga orang founder, yakni Mohammad Fachri (CTO), Rizky Anies (CEO) dan Ricky Putra (COO).

Founder Gredu di acara grand launching layanan / Gredu
Founder Gredu di acara grand launching layanan / Gredu

“Gredu saat ini telah bekerja sama dengan 200 sekolah yang terletak di Jakarta, Dharmasraya, Tangerang dan Bangka Belitung,” imbuh Ricky.

Untuk target realistis tahun 2020, mereka ingin bisa melakukan ekspansi ke kota-kota baru di Indonesia dan merangkul hingga 600 sekolah. Dari sisi produk, akan segera diluncurkan beberapa fitur baru sesuai dengan perkembangan kurikulum dan sistem pendidikan yang ada saat ini.

Harapkan kolaborasi antarpemain

Di Indonesia edutech bertumbuh dengan baik. Untuk layanan serupa Gredu sebelumnya juga sudah ada platform Pintro, Kelase, Sikad hingga ZumiApp; tentu dengan keunggulan berbeda. Pemain dengan model bisnis B2C makin banyak lagi, mereka yang menawarkan aplikasi belajar untuk kalangan pelajar atau umum, seperti Ruangguru, Zenius, Quipper dan lain-lain.

Menanggapi banyaknya pemain di sektor serupa Ricky berpendapat, “Kami sangat bersyukur dengan banyaknya rekan edutech yang bermunculan, karena Gredu selalu berpikir bahwa beban kemajuan pendidikan tidak akan bisa dipikul hanya oleh satu atau dua pihak. Gredu berharap ke depannya dapat berkolaborasi dengan para rekan di edutech dan pemerintah demi kemajuan bangsa.”

Gredu dimulai dari kegelisahan para founder tentang minimnya penyerapan teknologi terhadap sistem edukasi yang sedang berjalan. Selain itu, peran guru yang seharusnya mengajar, telah disibukkan oleh pengisian data daripada pengolahan data. Dengan menggunakan aplikasi digital, seharusnya guru dapat lebih fokus di penyampaian materi, evaluasi dan pembangunan karakter.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Teknologi Sebagai Masa Depan Pendidikan di Indonesia

Bayangkan sebuah dunia di mana tugas-tugas yang bersifat repetitif telah diambil alih oleh robot. Sebuah dunia di mana pabrik mesin mencetak mobil-mobil self-driving, drone antar-jemput dari rumah ke rumah, serta mesin chatbot kecerdasan buatan bisa  melayani pelanggan melalui telepon. Hal-hal ini telah terjadi, dan itu hanya sebagian kecil contoh. Setiap hari, di seluruh dunia, pekerjaan formal yang dulu dianggap sebagai domain eksistensi manusia kini telah bertransformasi menjadi lebih otomatis atau digital.

Model pendidikan saat ini sedang mempersiapkan anak-anak kita untuk bekerja dalam ekonomi yang akan punah ketika mereka lulus dari universitas. Tenaga kerja masa depan yang terbangun akan lebih berpusat pada manusia dan layanan kreatif, yang beroperasi melalui saluran sarat digital. Dengan demikian, adalah hal yang vital bagi sektor pendidikan Indonesia untuk berporos ke arah kurikulum modern yang menekankan teknologi dengan sentuhan manusia.

Teknologi pendidikan — biasa disebut ‘edtech’ oleh para pemangku kepentingan dalam permulaan dan permodalan ventura — seringkali diabaikan dibandingkan dengan sub-sektor lain dari ekosistem teknologi. Hal ini dapat terjadi karena pemikiran usand terhadap pendidikan yang menempatkan fokus pada menghafal dan gagasan ‘etika’ yang tidak jelas.

Sementara nilai-nilai tradisional memiliki tempatnya, akan jauh lebih baik menggunakan pendekatan pragmatis untuk pendidikan dan mempertimbangkan fakta bahwa tanggung jawab pertama dan utama lembaga pendidikan di Indonesia adalah untuk membantu siswa tumbuh menjadi kontributor yang sesuai untuk ditempatkan dalam masyarakat.

Lagipula, sentimentalitas tidak memiliki tempat dalam persiapan tenaga kerja yang kompetitif, namun hal ini bukan berarti tenaga kerja digital masa depan akan berperilaku seperti robot. Sebaliknya, mereka akan melakukan hal-hal yang paling manusiawi yang tak terkikis oleh automasi. Pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, kolaborasi, serta komunikasi intim antar manusia tidak dapat digantikan oleh algoritma. Penting sekali untuk melengkapi sekolah-sekolah di Indonesia dengan kapasitas penuh dalam mempersiapkan kaum muda kita untuk ekonomi yang lebih lanjut dengan memaksimalkan transformasi digital sistemik.

Posisi negara saat ini

Indonesia berada pada peringkat 41 dari total 63 negara dalam indeks IMD (Lembaga Manajemen Pengembangan). Sementara negara ini memiliki daya tarik yang diposisikan pada urutan ke 24, kita juga berada di urutan ke-51 berdasarkan faktor investasi dan pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja Indonesia memiliki potensi tinggi untuk berpartisipasi dalam ekonomi global, relatif terhadap posisinya saat ini.

Untuk bisa memaksimalkan potensi ini, jika kita tilik lebih dalam, ada lebih dari 87,2 juta siswa yang terdaftar dalam sistem pendidikan Indonesia. Kebutuhan akan sosok guru juga sangat mengejutkan dan tidak terpenuhi; terwujud dalam rasio 7: 100 antara guru dan siswa. Rasio ini bahkan lebih buruk di pulau-pulau terpencil, di mana sepanjang sejarah sekolah mengalami kekurangan dana dan kekurangan tenaga.

Untuk meningkatkan rasio di atas dan melengkapi para pendidik dengan alat dan teknologi terbaru, sektor publik dan swasta harus bekerja sama untuk mengatasi beberapa hambatan utama dalam digitalisasi.

Pertama, kita harus mengatasi kurangnya modal inovatif di sektor pendidikan. Pemerintahan Jokowi mengusulkan anggaran Rp585,8 triliun ($ 35,51 miliar) untuk pendidikan pada tahun 2020, meningkat 50 persen dari tahun 2015. Sementara sebagian besar dari anggaran pendidikan selama ini telah dialokasikan untuk beasiswa dan pemeliharaan sekolah, sebagian juga harus disisihkan untuk investasi edtech.

Kedua, ada isu pembangunan infrastruktur tidak merata di setiap sekolah. Terdapat perbedaan mencolok antara sekolah di daerah pedesaan dengan sekolah modern di kota-kota besar yang harus dijembatani. Melengkapi guru dengan kurikulum digital ketika siswa tidak memiliki laptop atau koneksi internet sama dengan hal yang sia-sia. Proyek Palapa Ring, jalan raya serat optik bawah laut baru yang membentang dari Sabang hingga Merauke, adalah salah satu dari banyak solusi potensial untuk masalah ini yang lahir dari kemitraan publik-swasta.

Ketiga, dan yang paling penting, Indonesia membutuhkan lebih banyak guru untuk berpartisipasi menjadi tenaga kerja. Banyaknya inovasi edtech serta uang untuk dibelanjakan pada digitalisasi hanya akan menjadi janji-janji kosong jika tidak ada pendidik yang mau mengajar di lapangan. Memberikan nilai tambah menarik seperti insentif, finansial atau lainnya, bagi para pendidik kelas dunia untuk mengajar di Indonesia adalah salah satu cara untuk men ‘doktrin’ , serta meningkatkan prospek negara.

Edtech di Indonesia

Sektor edtech Indonesia pada dasarnya dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu marketplace, platform kelas online, sistem manajemen sekolah dan pinjaman siswa. Ruangguru, sebuah marketplace les privat online, telah berhasil mendapatkan lebih dari 6 juta pengguna [siswa] untuk mempelajari lebih dari 100 mata pelajaran secara online. Zenius, dengan model bisnis yang sama, menyediakan bahan belajar mandiri untuk siswa di bawah program sekolah nasional 12 tahun di seluruh Indonesia.

Platform edtech lainnya, HarukaEdu, juga menyediakan layanan administrasi di samping kursus pembelajaran online mereka. Layanan mereka berkisar dari membantu universitas selama proses seleksi hingga menyediakan konten dan bantuan operasional untuk institusi. Satu hal menarik adalah program pembelajaran korporat yang mereka sediakan, yang diarahkan untuk meningkatkan keterampilan orang usia kerja.

Di dunia di mana pekerja harus mempelajari ulang pekerjaan mereka per-dekade atau lebih (atau berisiko menjadi usang), keterampilan lebih sama pentingnya dengan pendidikan tinggi. Model pembelajaran yang disesuaikan yang disediakan oleh Ruangguru, Zenius dan HarukaEdu masih dalam tahap awal. Mereka, bagaimanapun juga, memberikan proyeksi masa depan di mana pendidikan tidak dibatasi oleh jarak, usia, atau strata sosial.

Pengikisan Ujian Nasional Indonesia yang baru-baru ini dilakukan oleh Departemen Pendidikan, standar kinerja usang yang menempatkan siswa dalam hierarki pendidikan, harus dianggap sebagai lampu hijau untuk perubahan dari sektor publik.

Hal ini menunjukkan, untuk benar-benar mereformasi sistem pendidikan Indonesia, mengandalkan kebijakan tidaklah cukup. Perubahan harus dilakukan secara sistematis pada skala nasional. Peluang ini membutuhkan para pendiri startup yang inovatif untuk berpartisipasi dan memanfaatkan keahlian mereka dalam membentuk sistem baru. Pasar berkesempatan untuk mengumpulkan guru yang mampu menyediakan bahan yang tepat, dan kelas online dapat memberikan ruang bagi siswa untuk meninjau kembali pemahaman mereka tentang materi pembelajaran.

‘Bagaimana’ bukan ‘apa’

Hanya 16 persen orang dewasa berumur 25 hingga 34 berhasil mengenyam perguruan tinggi, jauh di bawah rata-rata OECD 44 persen. Dekade berikutnya akan mewakili tonggak penting untuk kita bisa mendigitalkan sektor pendidikan dan menyiapkan kaum muda menghadapi ekonomi berbasis pengetahuan, atau tetap berpegang pada model-model yang menyiapkan mereka untuk pekerjaan yang cenderung akan punah ketika mereka tumbuh dewasa.

Upaya sukses Cina dalam menumbuhkan dan mempertahankan bakat domestik adalah contoh dari apa yang bisa dicapai oleh reformasi pendidikan sektor publik yang didukung oleh teknologi sektor swasta. Seperti halnya Indonesia, Cina saat ini sedang dalam proses mereformasi ujian masuk universitas dan kurikulumnya untuk lebih menekankan ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, seni, dan matematika. Perbedaannya adalah bahwa reformasi mereka didukung oleh tujuh dari 10 edtech unicorn dunia dan pasar pembelajaran digital terbesar di dunia dengan 172 juta pelajar online.

Teknologi maju dengan kecepatan eksponensial dan ikut memboyong masyarakat di dalamnya. Untuk mempertahankan tenaga kerja kompetitif di dunia global di mana satu hal yang konstan adalah perubahan, kita harus mendidik siswa tentang bagaimana cara berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan. Dengan demikian, platform, teknologi, dan institusi yang mendidik generasi muda kita harus mencerminkan hal ini.

Sebagai pendiri Go-Jek lulusan Harvard serta Menteri Pendidikan Indonesia yang baru dicetak, Nadiem Makarim, baru-baru ini menyatakan:

“Kita [orang Indonesia] harus mempersiapkan generasi baru kita untuk mencari ilmu berdasarkan kemauan mereka sendiri karena apa yang mereka pelajari saat ini di sekolah tidak lagi berlaku. Isi studi kami tidak lagi menjadi masalah — yang penting adalah keterampilan [skill] yang dipelajari. Bagaimana berpikir, bagaimana menyusun ide, bagaimana memecahkan masalah dan bagaimana berkolaborasi satu sama lain. Itu adalah keterampilan yang penting.”


Artikel asli ditulis oleh Markus L. Rahardja, VP-Investor Relations BRI Ventures. Ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Kristin Siagian.

Ruangguru Umumkan Terima Pendanaan Seri C Lebih dari 2 Triliun Rupiah

Startup edtech Ruangguru mengumumkan perolehan pendanaan seri C senilai $150 juta (lebih dari Rp2 triliun) dipimpin General Atlantic dan GGV Capital. Investor sebelumnya, EV Growth, UOB Venture Management dan sejumlah investor baru lainnya turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Pendanaan ini diklaim sebagai salah satu terbesar untuk startup edtech di Asia Tenggara. Angka yang dikonfirmasi oleh pihak Ruangguru lebih besar dari yang dirumorkan sebelumnya, sebesar $100 juta.

Dari keterangan resmi disebutkan, pendanaan akan dimanfaatkan untuk pengembangan produk dan layanan untuk pasarnya di Indonesia dan Vietnam. Managing Director General Atlantic untuk Indonesia Ashish Saboo akan bergabung dalam jajaran komisaris di Ruangguru.

“Kami berkomitmen untuk mendukung perkembangan dunia pendidikan di Indonesia, termasuk dalam membantu pemerintah, guru-guru, dan orang tua dalam mengoptimalkan kegiatan belajar yang holistik dan membantu pelajar di Indonesia untuk menjadi lebih kooperatif secara global,” kata Saboo.

Co-Founder & CEO Ruangguru Belva Devara berharap kemitraan ini dapat membantu perusahaan untuk mencapai misinya yang ingin membangun perusahaan pendidikan yang berdampak sosial tinggi dan berkelanjutan.

“Kedua perusahaan investasi ini memiliki rekam jejak yang kuat dalam membantu pengusaha lainnya di dunia dalam mengembangkan bisnis di sektor pendidikan dan teknologi,” imbuh Belva.

Produk Ruangguru tidak hanya Ruangbelajar untuk pelajar SD, SMP, dan SMA, juga bimbingan belajar langsung dari aplikasi, jasa penyediaan guru les, materi pelatihan profesi dan keterampilan, dan platform manajemen belajar untuk perusahaan.

Co-Founder & CPO Ruangguru Iman Usman menambahkan, perusahaan berkomitmen untuk terus membangun kurikulum yang komprehensif dan menggunakan teknologi AI untuk memberikan pengalaman pembelajaran yang mudah dimengerti dan menyenangkan.

“Saat ini, 80% pengguna kami berada di luar Jakarta. Hal tersebut menunjukkan bahwa produk kami diterima secara luas dan terdistribusi secara efektif,” ujar dia.

Diklaim perusahaan memiliki 4 ribu karyawan dan memberikan akses untuk lebih dari 300 ribu guru privat. Adapun untuk jumlah pengguna disebutkan telah lebih dari 15 juta pengguna terdaftar.

General Atlantic dan GGV sebelumnya pernah berinvestasi untuk sejumlah startup edtech di berbagai belahan dunia. General Atlantic adalah salah satu investor dari startup Byju (India), Hotmart dan Arco (Brazil), Open Classrooms (Perancis), dan Little Golden Star (Tiongkok).

Sementara, GGV Capital adalah investor untuk FengBian, HuoHua, ZuoYebang, XiaoBu, LiuLiShuo (Tiongkok), dan Lambda School (Amerika Serikat).

Kiprah General Atlantic di Indonesia dimulai pada Desember 2018 dengan membuka kantor perwakilannya di Jakarta. Ruangguru adalah pendanaan lokal kedua yang diberikan perusahaan setelah MAP Boga Adiperkasa, perusahaan ritel yang mengoperasikan tujuh merek eksklusif di Indonesia.

Perusahaan ini juga tercatat menjadi investor untuk induk Shopee, Sea, dan Zimmerman, brand fesyen global untuk kalangan ekonomi atas.

Application Information Will Show Up Here

Kaleidoskop Startup Teknologi Pendidikan Selama Tahun 2019

Tahun 2019 ini bisa dibilang tahun yang penting untuk industri teknologi pendidikan di Indonesia. Selain inovasi yang tak berhenti sejumlah startup menunjukkan potensi lebih untuk bisa menjadi lebih berkembang.

Beberapa investasi didapat para pemain di industri teknologi pendidikan, bahkan ada yang sudah mencoba peruntungan di negara tetangga. Berikut kami rangkum beberapa hal penting yang terjadi di industri teknologi pendidikan Indonesia.

Investasi datang menghampiri

Di sepanjang tahun ini ada tiga startup pendidikan yang dikabarkan mendapat pendanaan. Pertama adalah Zenius. Perusahaan yang mencoba merevolusi cara belajar siswa di Indonesia ini dikabarkan mengantongi pendanaan sebesar Rp283 miliar dari Northstar Group. Pendanaan kali ini merupakan pendanaan eksternal pertama bagi Zenius sejak diluncurkan pada 2007 silam.

Startup kedua yang mendapat pendanaan adalah HarukaEdu. Startup yang memiliki tagline “Solusi Teknologi Edukasi Terintegrasi” ini bulan Desember ini mengamankan pendanaan Seri C dengan nominal yang dirahasiakan. Pendanaan kali ini dipimpin oleh SIG dengan melibatkan beberapa pihak lain, seperti AppWorks, sebuah akeselerator startup yang berbasis di Taipei, GDP Venture dan Gunung Sewu, dan investor yang sebelumnya Samator Group.

Kabar pendanaan ketiga hadir dari Ruangguru. Startup yang sempat menjadi perhatian karena salah satu co-founder mereka dijadikan staf khusus presiden ini disebut sudah mengantongi pendanaan Seri C dari General Atlantic. Hanya saja pihak Ruangguru belum mau mengomentari kabar pendanaan ini.

Sebagai perusahaan teknologi, Ruangguru memang digadang-gadang akan menjadi unicorn selanjutnya dari Indonesia, menyusul Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, Ovo, dan Gojek.

Ekspansi

Tahun ini bisa dibilang tahun yang penting bagi industri teknologi pendidikan di Indonesia. Salah satu pemainnya, Ruangguru, mengumumkan kehadirannya di Vietnam. Ruangguru memutuskan Vietnam sebagai negara pertama target ekspansi karena dirasa memiliki kemiripan permasalahan dengan Indonesia.

Ekspansi ini selain menjadi kali pertama bagi Ruangguru juga menjadi yang pertama bagi startup teknologi pendidikan di Indonesia. Sebuah langkah historis yang kembali menegaskan bahwa solusi teknologi di Indonesia juga bisa menjadi solusi di negara lain, terutama yang memiliki karakteristik yang serupa dengan Indonesia.

Selain startup Indonesia yang ekspansi, Indonesia juga kedatangan startup teknologi pendidikan dari luar negeri, Udemy. Layanan belajar MOOC (Massive Open Online Course) ini hadir di Indonesia dan menargetkan masyarakat luas, non akademik, dan lainnya.

Yang menghiasi tahun ini

Selain investasi dan ekspansi sejumlah inovasi dan strategi pun tercatat dilakukan para pemain startup teknologi pendidikan. Seperti branding, produk baru, bahkan vertikal baru.

Di tahun 2019 ini startup yang fokus pada pembelajaran bahasa Squline, memutuskan untuk branding menjadi Cakap (Cakap by Squline). Di tahun ke enamnya beroperasi startup besutan Tomy Yunus juga meluncurkan sejumlah inovasi dan pembaruan. Salah satunya adalah menghadirkan Cakap Chat, sebuah fitur yang memungkinkan pengguna Cakap belajar bahasa inggris melalui media pesan singkat.

Tahun ini juga bisa dibilang sebagai tahun “produk baru”. Selain kabar pendanaan dan ekspansi, Ruangguru juga melakukan sejumlah perubahan dan meluncurkan beberapa produk baru. Perubahan paling kentara dilakukan Ruangguru pada Februari tahun ini guna menyambut UN dan SBMPTN tahun 2018/2019. Ruangguru juga meluncurkan sejumlah produk baru, seperti Brain Academy, sebuah bimbingan belajar yang memadukan pendekatan online dan offline, dan Skill Academy, sebuah layanan yang menyediakan kursus atau pembelajaran untuk non akademik.

HarukaEdu juga tak ketinggalan. Mereka memperkenalkan CorporateEdu, sebuah sistem pembelajaran online yang diterapkan bagi korporasi. Model binsis CorporateEdu juga rencanakan akan menjadi model bisnis utama. Mitra pertama yang akan menggunakan siste CorporateEdu adalah Samator Group, yang juga termasuk salah satu investor mereka.

Inovasi berupa produk baru juga diluncurkan Kelase. Bekerja sama dengan RingerLaktat, mereka meluncurkan platform kursus online di bidang kedokteran. Platform belajar ini diharapkan bisa membuka akses lebih lebar kepada para mahasiswa kedokteran kepada informasi atau materi pembelajaran.

Dicoding, startup yang  berusaha memberikan kursus pembelajaran teknologi juga meluncurkan inovasinya tahun ini. Mereka memperkenalkan fitur job marketplace yang diharapkan bisa membantu lulusannya mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Fitur ini juga sekaligus berusaha menjembatani perusahaan dengan talenta-talenta IT yang mumpuni.

Selain inovasi industri teknologi pendidikan di tahun ini juga mendapat pendatang baru, di vertikal baru, Neliti. Platform ini semacam perpustakaan online dan jurnal ilmiah online. Platform ini dikembangkan dengan tujuan memudahkan siapa pun mencari rujukan materi ilmiah dan insitusi untuk mengelola repositori ilmiah mereka.

Menerka yang terjadi di tahun 2020

Tahun 2020 tampaknya akan menjadi tahun penting bagi industri teknologi pendidikan di Indonesia. Bukan hanya karena berkaca dari apa yang telah terjadi di tahun 2019, tetapi juga karena sekarang pemangku kebijakan, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, merupakan orang yang sangat dekat dengan teknologi. Kebijakan baru yang nantinya dikeluarkan bisa menjadi peluang untuk kembali berinovasi.

Yang pasti, industri ini terus tumbuh. Pemain baru semakin melengkapi ekosistemnya dengan fitur atau layanan baru. Beberapa model bisnis terbukti sudah diminati banyak pengguna, beberapa lainnya mulai menjajaki model bisnis baru bersama masuk ke segmen korporasi untuk menyediakan solusi lebih lengkap.

Strategi Zenius Dongkrak Bisnis dan Jangkau Lebih Banyak Pengguna

Startup edtech Zenius mulai agresif menarik pengguna baru dengan membuka akses lebih dari 80 ribu konten secara cuma-cuma. Strategi ini bisa dikatakan usaha perusahaan mengukuhkan posisinya sebagai pionir edtech di Indonesia sejak 15 tahun beroperasi.

Co-Founder Zenius Sabda PS mengatakan, strategi ini bisa dikatakan radikal, namun sudah mendapatkan persetujuan dari semua pemangku kepentingan di perusahaan. Dia juga belum memastikan rentang waktu program ini akan berlangsung.

“Terkait monetisasinya, biar kita yang pikirkan nanti. Yang pasti Kami selalu berusaha untuk jadi market leader,” ujarnya, Rabu (18/12).

Pertimbangan ini diambil salah satunya karena riset internal yang dilakukan perusahaan. Disebutkan dampak yang dirasakan pelajar adalah lebih memahami ilmu pengetahuan dan tidak mendikotomi ilmu hanya dipelajari di sekolah, sehingga efeknya lebih terasa dan bisa diterapkan dalam sehari-hari.

“Dari temuan itu, makanya kami buka aksesnya supaya semakin banyak orang-orang yang ketagihan untuk belajar.”

Sabda juga memaparkan kinerja Zenius sejak Januari 2011 hingga Desember 2019. Di antaranya, situs Zenius.net telah dikunjungi 51 juta pengguna unik, meningkat tajam dari awal berdiri hanya 268 ribu kunjungan saja.

Lalu ada 1 juta pengguna terdaftar di aplikasi, lebih dari 200 juta kali video diputar secara online, paket soal sudah diunduh 3 juta kali,  dan aplikasi telah diunduh lebih dari 500 ribu kali sejak dirilis pada Maret 2019.

Sebagai pionir vertikal edtech, Zenius merumuskan pendekatan pembelajaran efektif demi menciptakan sumber daya manusia yang unggul di masa depan. Perusahaan fokus pada pemahaman konseptual dan pembentukan daya nalar, sehingga kompetisi dasar yang ingin dibentuk adalah pemahaman mendalam mengenai konsep keilmuan.

Bukan hanya soal mengingat dan menghafal. Dengan demikian, pelajar dan pembelajar diproyeksikan untuk memiliki pola pikir yang baik dan mampu beradaptasi serta mencari solusi atas masalah yang dihadapi.

“Untuk menyesuaikan dengan sistem pendidikan, kami tetap memasang target praktikal agar pelajar tetap memenuhi target nilai di sekolah. Yang kita selipkan sebagai core materialnya adalah perkembangan intelektual. Bila fundamentalnya sudah benar, ujian apapun pasti bisa.”

Dengan misi di atas, Sabda mengaku pihaknya cukup percaya diri dengan tingkat persaingannya dengan pemain di ranah sejenis. Semua konten disusun oleh tim in-house Zenius, dengan menekankan aspek dampak yang ingin dihasilkan. Lantaran, menurutnya bisnis di dunia pendidikan tidak bisa sembarang, ada pertanggung jawabannya.

“Saingan kita justru di media sosial dan game, bagaimana caranya buat konten semenarik mereka tapi jauh buat mereka produktif. Ketika semua ini sudah teruji dan terbukti kualitasnya, kita enggak akan takut untuk jauh lebih terekspos [publik].”

Rencana bisnis berikutnya

Sabda enggan merinci lebih dalam bagaimana target berikutnya untuk pengembangan Zenius pada tahun depan. Termasuk juga mengenai rumor soal pendanaan dari Northstar Group yang diterima perusahaan. Ia hanya menyebut tahun depan akan menjadi tahun yang ramai karena ada banyak inisiatif yang akan dilakukan.

“Urusan backend Zenius pasti akan banyak pengumuman, nanti dikabari lagi karena ada banyak sekali program yang mau kita lakukan tahun depan.”

Dia juga menyebut saat ini internal perusahaan sedang adakan restrukturisasi, ada penambahan talenta baru dalam jumlah banyak untuk mewujudkan ambisi perusahaan. Jumlah karyawan terus bertambah, untuk guru saja diperkirakan telah lebih dari 60 orang.

Zenius tidak hanya memiliki Zenius.net untuk media belajar online berbasis situs dan aplikasi. Mereka juga memiliki bimbel offline Zenius Center dan platform untuk training karyawan bernama Agora.id berisi konten edukasi vokasi.

Perusahaan juga menjual konten video secara offline bernama Zenius Box, berupa server intranet yang memuat konten produksi Zenius tanpa harus terhubung dengan internet.

“Kami ada konten dari SD, SMP, SMA dan SMK, nantinya dengan kemerdekaan akses edukasi dari kami pasti akan jauh lebih banyak hal-hal yang mereka butuhkan, kita bisa masuk ke sana,” pungkas Sabda.

Application Information Will Show Up Here