Peran Baru Edward Tirtanata: Jadi “Angel Investor” Lewat Kenangan Kapital

Startup new retail Kopi Kenangan telah menuai banyak sorotan berkat bisnis coffee chain Indonesia yang memperoleh pendanaan besar dari sederet VC ternama, termasuk Sequoia Capital dan Co-Founder Facebook Eduardo Saverin.

Menjulangnya bisnis ini tak lepas dari upaya para pendirinya, Edward Tirtanata dan James Prananto. Kini Kopi Kenangan telah menjelma menjadi salah satu brand minuman kopi terkuat, terutama di kalangan anak muda di Indonesia.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Edward Tirtanata, bukan sebagai pendiri bisnis, melainkan pengalaman barunya sebagai angel investor melalui Kenangan Kapital. Bagaimana Edward memaknai peran barunya ini?

Passion di bidang kewirausahaan

Kiprah Edward menjadi angel investor sebetulnya telah berlangsung sejak setahun terakhir. Melalui angel fund miliknya (dengan nama dana kelolaan Kenangan Investment Fund), ia telah berinvestasi di sejumlah startup Indonesia, antara lain BukuKas, GudangAda, OtoKlix, dan Medigo (Klinik Pintar).

Sejak awal, ia mengaku sangat menekuni bidang enterprenuership. Hal ini terbukti dari upayanya membangun Kopi Kenangan. Namun,  kesuksesannya membangun bisnis tak ingin berhenti sampai di situ saja.

Baginya, kewirusahaan dapat diibaratkan sebagai “a good wealth management” yang mana melibatkan asset class yang berbeda. Artinya, apabila ingin melakukan pembedaan, ia tak ingin berinvestasi pada aset bagus (blue chip) atau deposit saja.

A good investor itu harus bisa diversify. Asset class angel investing, dalam satu tahun naik sepuluh kali lipat itu normal. Buat saya itu menarik,” ujar Edward.

Lewat Kenangan Kapital, ia berharap dapat berkontribusi lebih terhadap industri startup Indonesia. Hal ini juga yang mendorong Edward untuk menjajal pengalaman baru dengan terlibat dalam pendanaan startup.

Ketertarikan ke sektor consumer tech

Consumer tech merupakan salah satu vertikal bisnis yang dilirik investor. Produk consumer yang dipadukan dengan teknologi menjadi alasan mengapa bisnis ini dapat di-scale up dengan mudah.

Contoh paling lekat adalah menjamurnya startup yang masuk ke bisnis tradisional dan memanfaatkan teknologi dengan pendekatan direct-to-consumer (DTC). Produk kacamata atau kecantikan kini bisa dipasarkan tanpa perlu membangun jalur distribusi.

Menyadari tren ini, Edward mengaku tertarik bermain lebih banyak pada sektor consumer tech lewat Kenangan Kapital. Ia menilai masih ada missing gap di consumer tech Indonesia.

Menurutnya, Indonesia masih membutuhkan disrupsi lebih banyak mengingat produk/layanan yang menyasar segmen consumer masih terbilang underrated dari sisi teknologi. Di sisi lain, Edward ingin melihat sejauh mana vertikal ini membawanya kepada pengalaman baru dalam berwirausaha.

Hal ini tercermin dari sejumlah portofolionya yang rata-rata bergerak di segmen B2C. Hipotesis yang agak berbeda diambil ketika berinvestasi ke Medigo.

Model bisnis yang diusung Medigo dinilai dapat memberikan impact terhadap segmen consumer. Klinik merupakan pilar utama ekosistem kesehatan di Indonesia. Saat ini, masih banyak klinik yang belum tersandarisasi, sedangkan biaya perawatan di rumah sakit masih terbilang mahal dan belum dapat menjangkau segmen grassroot.

We took an early bet when the numbers are still small, but now they are [Medigo] showing promising results even during the pandemic,” ungkap Edward.

Tantangan

Di luar fokus utamanya di consumer tech, Edward mengungkap ia tidak menetapkan berapa target portofolio yang akan dikejar di tahun 2021. Demikian pula target range investasi yang akan dikucurkan Kenangan Kapital.

Menurutnya, angel investor tidak memiliki pressure tertentu dalam memberikan pendanaan. Hal ini berkebalikan dengan cara kerja VC yang punya KPI tersendiri. Ia cenderung memilih berinvestasi jika melihat peluang yang ada di depan mata.

“Saya pikir menjadi angel investor tidak harus punya target investasi [yang dikeluarkan]. Semua tergantung dari deal per deal. Tentu saja jika ada pengecualian untuk perusahaan tertentu, saya bisa investasi sebanyak mungkin,” paparnya.

Meskipun tidak memiliki KPI tertentu, Edward menekankan bahwa hal terpenting dalam mengikuti pertumbuhan bisnis portofolionya adalah product to market fit. Apabila startup mendulang traksi organik, paling tidak metrik yang ia ukur adalah customer acquisition cost (CAC).

Kendati demikian, Edward mengakui bahwa tantangan menjadi angel investor sebetulnya tak jauh berbeda dengan venture capitalist. Yang paling umum adalah perihal menyeleksi portofolio. Ia cenderung memilih founder yang dapat menjalankan/menemukan bisnis yang tepat.

“Banyak good founder, tapi tak banyak good founder yang pick a good business. Lebih baik berinvestasi di bisnis yang oke meski founder-nya mediocre. Yang utama buat saya sih conviction. Artinya, no matter what happens, mereka tetap bertahan and make the best out of it. Istilahnya ada determination,” tuturnya.

Menjadi CEO dan investor sekaligus

Lalu bagaimana Edward mengelola perannya menjadi CEO dan angel investor seiring berkembangnya jumlah portofolio Kenangan Kapital di masa depan?

“Pertama, saya perlu menegaskan bahwa full time job utama saya adalah sebagai CEO Kopi Kenangan. Saya tidak ingin passion saya untuk membantu para entrepreneur justru menganggu pekerjaan utama saya di Kopi Kenangan,” ucapnya.

Kedua, ia menilai tidak baik bagi setiap pebisnis untuk terlalu bergantung pada investor mereka dalam jangka waktu lama. Idealnya, para founder ini diharapkan bisa menjadi independen dan fokus terhadap bisnisnya dalam tiga hingga enam bulan.

“Karena Kenangan Kapital itu seperti family office atau tidak ada investor luar, saya tidak ada pressure untuk deploy modal seperti halnya private equity atau VC. I can invest in a very few but exceptional founders and help 2-3 founders at a time,” ungkapnya.

Justru ia mengaku senang apabila portofolionya ada yang bergabung di program akselerator ternama. Menurut Edward, itu dapat berarti mereka tidak bakal memerlukan keterlibatannya lebih banyak di bisnis.

Mengakomodasi ekosistem angel investor

Tak dimungkiri bahwa ekosistem angel investor di Indonesia terbilang tak terdengar gaungnya. Padahal angel investor berperan besar dalam memberikan pendanaan startup di fase awal.

Menurut Edward, eksistensi angel investor di Indonesia sangat jauh berbeda dengan di Amerika Serikat (AS). Negara kiblat industri startup ini memiliki platform database yang menjaring ribuan angel investor di sana. Dengan begitu, startup bisa mendapatkan akses langsung dan lebih mudah mencari pendanaan ke angel investor.

“Di sini akses ke angel investor agak sulit, makanya mereka cenderung cari opsi pendanaan ke keluarga. Makanya, ini yang membuat mereka juga ga bisa kasih pengalaman [yang relevan] ke startup yang diinvestasi karena investor-nya bukan dari background startup,” jelas Edward.

Ia memahami situasi ini. Menurutnya fenomenanya sama ketika industri VC baru bermunculan dan populer beberapa tahun belakangan. Seiring berkembangnya industri, ia berharap ekosistem angel investor bakal ikut berkembang juga nanti.

Menunggu Hadirnya Generasi Baru “Angel Investor” di Indonesia

Periode awal menjalankan startup begitu krusial dalam segala aspek. Memperkenalkan produk ke pasar, memvalidasi model bisnis, merekrut SDM yang tepat, dan menjaga keandalan layanan, adalah sedikit dari contohnya. Namun dalam fase awal itu, faktor pendanaan adalah salah satu yang paling penting. Bicara tentang pendanaan di fase awal, maka wajib melihat peran angel investor di sana.

Bisa dibilang angel investor adalah investor dengan risiko terbesar dalam siklus bisnis startup digital. Menaruh modal ke startup anyar berarti bertaruh akan ide dan potensi startup serta kemampuan pendirinya. Seringkali kepercayaan bahkan mereka berikan ketika belum melihat produknya. Namun risiko yang besar ini membawa potensi keuntungan yang sebanding.

Menariknya di Indonesia, eksistensi angel investor masih jauh dari sorotan. Padahal dalam ekosistem startup keberadaan mereka terbilang penting. Masih banyak yang belum diketahui dari angel investor di Indonesia. Kami bicara dengan beberapa angel investor untuk mengenal lebih dalam skena di dalam negeri.

Masih terbatas

Alexander Rusli adalah salah satu pebisnis yang mulai mulai aktif sebagai angel investor. Selesai lengser sebagai pimpinan Indosat Ooredoo, Alex langsung melirik bisnis digital. Alex tercatat sebagai pendiri Digiasia dan investor di 11 perusahaan lain. Ia memperkirakan ada beberapa hal yang menyebabkan nama angel investor tidak begitu terdengar di Indonesia. Pertama karena adalah khawatir kegagalan di satu startup terdengar orang banyak. Kemungkinan lain, menurutnya, adalah mereka tidak ingin “diserbu” oleh orang-orang yang tidak diinginkan.

“Mungkin mereka investasi itu dengan alasan macam-macam, seperti hubungan khusus dengan founder, senang dengan industrinya, [atau] hanya coba-coba. Memang struktur angel investor di Indonesia ini belum matang khususnya untuk digital investment,” ucap Alex.

Venture Partner MDI Ventures Aria Setiadharma membenarkan umumnya lingkungan angel investor di Tanah Air masih didominasi investor tradisional. Mereka adalah pebisnis atau anggota keluarga konglomerat atau yang lama berkecimpung lama di industri besar di Tanah Air. Menurut Aria, dengan latar belakang seperti itu, ekosistem angel investor tidak berkembang secepat di negara-negara lain seperti Singapura contohnya.

Aria bercerita kehadiran kantor raksasa digital di Singapura melahirkan generasi investor baru. Individu yang dulu bekerja di Google, Facebook, ataupun Netflix membuat semacam venture funding untuk membesarkan startup-startup baru yang potensial.

“Siklus itu belum terjadi di Indonesia. Yang punya uang itu kebanyakan masih dari properti, perbankan, dan pertambangan. Dari sana saja mindset-nya sudah berbeda,” imbuh Aria.

Sebastian Wijaya, yang akrab dengan skena angel investment, mengakui tingkat kesulitan startup baru memperoleh pendanaan dari angel cukup tinggi. Menurutnya, pokok permasalahan terletak pada faktor kedekatan seseorang. Ia mengakui untuk mendapatkan investasi dari individu ini bergantung pada kekuatan koneksi ke orang-orang yang tepat.

Masalah ini timbul karena platform ataupun badan yang mengelola angel investment masih terbilang sedikit. Bisa dibilang entitas pengelola paling dikenal di Indonesia sejauh ini hanya Angin.

“Jadi untuk suatu startup mendapatkan angel investing itu benar-benar tergantung kepada koneksi ke orang yg tepat. Setahu saya jika koneksi tersebut sudah terjalin, tingkat kesuksesan startup mendapatkan funding cukup besar,” tukas Sebastian.

Menunggu generasi baru

Walau secara umum angel investor masih banyak berasal dari orang-orang yang tidak berasal dari bisnis digital, saat ini mulai bermunculan gelombang baru angel investor di Indonesia. Mereka ini adalah eksekutif dan pendiri startup yang mencoba peruntungan dengan memutar uangnya di startup baru.

Laporan DealStreetAsia menyebutkan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata, CEO Adrian Gunadi, dan pendiri Koinworks Willy Arifin sebagai contoh yang mewakili generasi baru tersebut. Dalam laporan itu diketahui, kegiatan Edward sehari-harinya tak lagi diisi Kopi Kenangan, tapi juga mengurus investasinya di sejumlah startup, seperti BukuKas, GudangAda, OtoKlix, dan Klinik Pintar.

Di samping nama-nama tadi, ada juga mereka yang dulunya memegang kursi pimpinan di startup besar namun sudah keluar. Beberapa nama yang cukup mewakili adalah Achmad Zaky dan Rohan Monga.

“Sekarang mereka ingin coba make money dengan investasi di industri serupa. Itu juga satu kategori yang sudah mulai banyak. Seperti para pendiri startup unicorn yang mulai investasi di banyak startup juga,” ujar Alex menanggapi kemunculan generasi baru angel investor.

Gelombang baru investor ini tentu membawa semangat baru di lanskap bisnis digital. Ada beberapa alasan yang mendorong kondisi demikian. Pertama mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan relevan di startup mereka. Bagi startup baru, bimbingan yang tepat bagaikan jarum kompas untuk mengarungi berbagai rintangan.

Alasan berikutnya adalah jejaring yang sudah dibangun investor dari kalangan profesional dan pendiri biasanya sudah cukup matang. Hal itu bisa menjadi modal tambahan bagi suatu startup yang ingin menggelar babak pendanaan lebih lanjut. Selain itu, menurut Aria, karakter investor dari kalangan tersebut lebih sabar dengan perkembangan startup yang dimodali, mengingat butuh kepercayaan lebih kepada para pendirinya dalam menahkodai perusahaan.

“Selama angel investor ini masih pakai pemikiran lawas, enggak akan jalan ekosistemnya. Ya tapi bukan berarti tidak ada yang oke. Kalau angel investor-nya di sini bisa ambil backseat, lebih enak untuk startup itu sendiri,” jelas Aria.

Kehadiran gelombang baru angel investor di lanskap bisnis digital Indonesia bukan berarti dapat menyelesaikan semua masalah. Akses ke angel investor di Indonesia masih relatif sulit. Keberadaan organisasi angel investor, seperti Angin, kian dibutuhkan.

“Kita memang belum ada banyak tokoh pendiri yang sukses exit seperti di AS. Kita perlu tunggu beberapa tahun lagi ketika lebih banyak founder yang exit ataupun IPO, pasti suara angel investor di publik akan lebih terdengar,” pungkas Sebastian.

Fore Coffee’s Outlet Cutbacks and the Urgency of Fast Business Adapting

Retail business is getting out of breath amid the Covid-19 pandemic. Relying only on offline business will not cover the whole operation, therefore, online innovation is necessary in order to accommodate orders and deliveries.

Even when the situation is getting normal, there will be nothing like the previous normal, or some people prefer to call it “the new normal”. There will be many strategic adjustments by retails to be relevant to the current condition.

“All retail models will change along with this pandemic. It will lead to social distancing until the vaccine is found. Dine-in may need more space that it becomes inefficient, instead, online delivery and pick-up will be the focus. This will change the landscape and cost structure of all F&B outlets, “East Ventures’ Managing Director Willson Cuaca told DailySocial on Tuesday (19/05).

Cuaca’s prediction is more or less in accordance with what is presented by the BCG Henderson Institute, the work from home situation, for a number of businesses are leading quite miserable output yet some players are harvesting profits. Food delivery services will be the most on-demand service, while dine-ins will be significantly affected.

This condition is reflected in the Fore Coffee’s strategy. Fore Coffee’s CEO Elisa Suteja said management was adapting to changing business situations during the pandemic, one of its initiatives was optimizing offline store services.

It is said several shops have temporarily closed, some stores are merged, and the system is upgraded to improve online sales services. Some assets that will no longer be used as a result of the merging of shops are decided to be sold.

As quoted from Tech In Asia, Fore has permanently closed 16 stores, 45 others were temporarily closed during Ramadan. The remaining 72 stores are still in operation today.

It was confirmed, rumors about the termination of Fore operation were untrue. One of the staff, according to Elisa, had spread some of the company’s internal information, it then delivers wrong perceptions in the public.

“Fore will not shut down and still continue to operate. We closed several outlets and are in the process of selling assets related to these locations. Information circulating that Fore closed all locations permanently is not true, “he said in an official statement on Monday (5/18).

DailySocial contacted Elisa to inquire further on which locations were merged or closed and whether there was a reduction in the number of employees. But until this news was revealed there was no response.

Since the large-scale social restrictions (PSBB), the company follows the applicable rules by limiting services through online delivery and pick-up. According to him, online channels make a high contribution to the Fore business. Claimed to be an increase of 12.8% online sales every week.

To keep up with the demand, the company added more options for coffee and non-coffee beverage products in one-liter packaging that can be purchased at the Fore, Tokopedia, Shopee, and Bukalapak applications. There are nine product variations offered to consumers and sales continue to increase by 22% each week.

Not only that, the company offers Do It Yourself products, consumers can make their own drinks or food with the basic ingredients of Fore products and variety of drinks to support the fitness of the consumer’s body.

This week, he continued, the company launched a delivery service from an application order named Barista Delivery. This only applies to orders less than two kilometers from the Fore outlet, which will be delivered directly by Fore’s Barista.

“We believe this can improve the convenience of consumers who receive their products directly from the team that is always in good health as we monitored.”

Tight competition

The new retail competition map such as Fore Coffee, in the midst of the pandemic will be increasingly fierce, especially as its closest competitor Kopi Kenangan just announced the acquisition of funding of more than 1 trillion Rupiah. So far the funding for Fore has not been that big, both in total and in total.

Optimism to do the next raising, according to Willson, remains wide open for Fore. He thinks, the principle of funding is to create value. As long as Fore can provide more value, funding is definitely available.

“And this is not a winner takes all, which is good to drink one type of coffee, Fore has enough capital to survive.” For the record, Fore is under the East Ventures portfolio. Initially Fore was a trial project until it finally became an official startup.

Adjusting the location of outlets, he continued, is part of adaptation and relevance. Stores that should be closed or combined with locations that clearly have much better operations in these conditions, will certainly be chosen rather than imposing irrelevant strategies.

Kopi Kenangan has also temporarily closed some of its stores. Only 47% of the approximately 300 stores are operating normally. The rest experienced a reduction in operating hours and were temporarily closed due to the pandemic and PSBB situation.

“We are still expanding to open around 30 outlets per month, last April we added 30 more outlets, as well as in the following months,” said Coffee Kenangan’s CEO Edward Tirtanata, as quoted by Bisnis.com.

Coffee consumption has become a part of Indonesian culture. Evidently, during the pandemic, the demand remained. In a GDP Venture summary titled “The Impact of Covid-19 Pandemic” added that there were changes in food consumption patterns that occurred during the pandemic, according to Firmenich FAST Survey: Indonesians In Time of Covid-19, W3 Mar20.

It was explained that Indonesians ate healthier foods, marked by the highest increase in purchases of fruit, vegetable, rice and flour products, and fish. Then followed by tea and coffee products, dairy products, and juices to maintain their health. Consumption of carbonated drinks, alcohol, sweets, desserts, processed foods tends to decrease.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pengurangan Gerai Fore Coffee dan Urgensi Adaptasi Bisnis dengan Cepat

Nafas bisnis ritel kini tersengal-sengal harus bertahan di tengah gempuran pandemi Covid-19. Mengandalkan bisnis offline saja, tidak akan cukup mampu menopang operasional, maka perlu berinovasi ke ranah online untuk mengakomodasi pemesanan dan pengantaran.

Pun saat kondisi menuju normal, tidak ada kondisi normal yang biasa dulu terbayang, atau kini lebih familiar disebut “the new normal”. Akan ada banyak penyesuaian strategi yang dilakukan peritel agar tetap relevan dengan kondisi.

“Semua model retail akan berubah dengan adanya pandemi ini. Bakal mengarah ke social distancing, sampai vaksin ditemukan. Dine-in mungkin butuh space lebih besar sehingga tidak efisien, jadi online delivery dan pick-up bakal jadi fokus. Ini akan mengubah landscape dan cost structure semua outlet F&B,” ujar Managing Director East Ventures Willson Cuaca kepada DailySocial, Selasa (19/05).

Pendapat Willson memberikan ramalan yang kurang lebih sesuai dengan apa yang dipaparkan BCG Henderson Institute, implikasi karantina di rumah, bagi sejumlah bisnis ada yang merana ada yang panen untung. Jasa pengiriman makanan akan menjadi layanan yang paling diminati, sementara dine-in paling terdampak.

Kondisi ini tercermin dalam strategi yang dipilih oleh Fore Coffee. CEO Fore Coffee Elisa Suteja mengatakan, manajemen beradaptasi dengan perubahan situasi bisnis selama pandemi, salah satu inisiatifnya adalah optimalisasi layanan toko offline.

Disebutkan ada toko yang ditutup sementara, penggabungan sebagian toko, dan peningkatan sistem untuk meningkatkan layanan penjualan online. Beberapa aset yang tidak akan digunakan lagi akibat dari penggabungan toko diputuskan untuk dijual.

Mengutip dari Tech In Asia, Fore menutup 16 toko secara permanen, 45 toko lainnya ditutup sementara selama Ramadan. Sisanya, 72 toko masih beroperasi saat ini.

Ditegaskan pula, rumor tentang penutupan operasi Fore tidak benar. Salah satu staf, menurut Elisa, telah menyebarkan sebagian informasi internal perusahaan sehingga menimbulkan persepsi yang salah di publik.

“Fore tidak akan tutup dan akan terus beroperasi. Kami menutup beberapa outlet dan sedang dalam proses penjualan aset terkait lokasi-lokasi tersebut. Informasi yang beredar bahwa Fore melakukan penutupan semua lokasi secara permanen adalah tidak benar,” katanya dalam keterangan resmi, Senin (18/5).

DailySocial menghubungi Elisa untuk menanyakan lebih jauh lokasi mana saja yang digabung atau ditutup dan apakah ada pengurangan jumlah karyawan. Namun hingga berita ini diturunkan belum ada respons.

Semenjak pembatasan sosial berskala besar (PSBB), perusahaan mengikuti aturan yang berlaku dengan membatas layanan melalui pengantaran online dan pick up. Menurutnya, kanal online memberikan kontribusi tinggi untuk bisnis Fore. Diklaim ada kenaikan sebesar 12,8% penjualan online tiap minggunya.

Untuk menjaga permintaan, perusahaan menambah variasi produk minuman kopi dan non-kopi dalam kemasan satu liter yang dapat dibeli di aplikasi Fore, Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak. Ada sembilan variasi produk yang ditawarkan kepada konsumen dan penjualan terus meningkat hingga 22% tiap minggunya.

Tidak hanya itu, perusahaan menawarkan produk Do It Yourself, konsumen dapat membuat sendiri minuman atau makanan dengan bahan dasar produk Fore dan variasi minuman untuk menunjang kebugaran tubuh konsumen.

Pekan ini, lanjutnya, perusahaan meluncurkan layanan pengantaran dari pesanan aplikasi bertajuk Barista Delivery. Ini hanya berlaku untuk pesanan berjarak kurang dari dua kilometer dari outlet Fore, akan langsung diantarkan oleh Barista Fore.

“Kami percaya ini bisa meningkatkan kenyamanan konsumen yang menerima produknya langsung dari tim yang kami monitor selalu dalam keadaan sehat.”

Persaingan ketat

Peta persaingan new retail seperti Fore Coffee, di tengah pandemi akan semakin sengit, apalagi pesaing terdekatnya Kopi Kenangan baru mengumumkan perolehan pendanaan lebih dari 1 triliun Rupiah. Pendanaan yang diraup Fore sejauh ini belum sebesar itu, baik ditotal secara keseluruhan.

Optimisme untuk melakukan penggalangan berikutnya, menurut Willson, tetap terbuka lebar untuk Fore. Dia beranggapan, prinsip pendanaan adalah menciptakan sebuah nilai. Selama Fore bisa memberikan nilai lebih, pendanaan pasti tersedia.

“Dan ini bukan winner takes all, mana enak sih minum kopi satu jenis doang, Fore punya cukup modal untuk bertahan.” Sebagai catatan, Fore yang berada di bawah portofolio East Ventures. Awalnya Fore merupakan proyek percobaan hingga akhirnya menjadi startup resmi.

Penyesuaian lokasi gerai, sambungnya, adalah bagian dari adaptasi dan relevansi. Toko yang sebaiknya ditutup atau digabungkan dengan lokasi yang jelas punya operasional jauh lebih baik di kondisi seperti ini, tentu akan dipilih daripada memaksakan strategi yang tidak relevan.

Kopi Kenangan pun juga menutup sementara sebagian tokonya. Dari sekitar 300 toko, hanya 47% di antaranya beroperasi normal seperti biasa. Sisanya, mengalami pengurangan jam operasional dan ditutup sementara karena pandemi dan pemberlakuan PSBB.

“Kami tetap ekspansi membuka sekitar 30 gerai per bulan, kemarin April sudah tambah 30 gerai, begitu pun dengan bulan-bulan ke depan,” kata CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata seperti dikutip dari Bisnis.com.

Konsumsi kopi itu sendiri sudah menjadi bagian dari budaya orang Indonesia. Terbukti, selama pandemi, permintaannya tetap ada. Dalam rangkuman GDP Venture bertajuk “The Impact of Covid-19 Pandemic” menambahkan ada perubahan pola konsumsi makanan yang terjadi selama pandemi, menurut Firmenich FAST Survey: Indonesians In Time of Covid-19, W3 Mar20.

Dipaparkan orang Indonesia mengonsumsi makanan lebih sehat, tertanda dari naiknya pembelian tertinggi untuk produk buah-buahan, sayur, nasi dan tepung-tepungan, dan ikan. Lalu disusul produk teh dan kopi, dairy products, dan jus demi menjaga kesehatan mereka. Konsumsi minuman berkarbonasi, alkohol, gula-gula, desserts, makanan olahan cenderung menurun.

Kopi Kenangan Announces Over 1.6 Trillion Rupiah Worth of Series B Funding

The new retail startup Kopi Kenangan has announced Series B funding worth of $109 million (over 1.6 trillion Rupiah) led by the previous investor, Sequoia Capital India. There are some new investors, such as B Capital, Horizon Ventures, Verlinvest, Kunlun, and Sofina participated in this round, also the seed investor, Alpha JWC Ventures.

It is reported that one of Facebook’s co-founders, Eduardo Saverin has joined Kopi Kenangan’s board of commissioners, through B Capital. His participation is expected to help make a faster business transformation.

“I look forward to working with Kopi Kenangan and building a global brand that celebrates the distinctive flavors of Indonesia and Southeast Asia,” Saverin stated in the official release, Tuesday (5/12).

Historically, Kopi Kenangan has acquired seed funding from Alpha JWC Ventures worth of $8 million in 2018. A year later, they raised a series A round of $20 million led by Sequoia Capital India with additional funds at an undisclosed value from Arrive, Serena Ventures, NBA’s Caris LeVert, and Sweetgreen’s founder, Jonathan Neman.

In separate occasion, Kopi Kenangan’s Co-Founder & CEO, Edward Tirtanata confirmed to DailySocial that the company is yet to acquire the unicorn status. As a general note, Kopi Kenangan’s valuation is said to exceed the centaur position. “Kopi Kenangan is yet to be a unicorn,” he said.

He revealed the plan with this fresh funding is to tighten its positionn in Indonesia. One thing, it’s the plan to offer food and beverages from local partners and developing a cloud kitchen.

“As a startup in the growth stage, we are quickly adapting to challenges through contactless transactions and highly-curated hygiene standards throughout our stores. Employee welfare is a big priority and we are investing in their safety, along with increasing health benefits and additional training to help them cope with this big change,” he said.

The pandemic hits Kopi Kenangan’s business hard. Edward said all other industries, including F&B, are experiencing a significant decline, especially offline outlets. However, thanks to the grab and go business model, the company saw an increase in online orders by 50% in certain locations.

He believes businesses that quickly adapt to conditions can survive in a crisis, unlike the most brilliant or with large capital ones. “Kopi Kenangan has gained investor trust by adopting a grab and go business model that fits the current situation.”

To date, Kopi Kenangan employs 3 thousand employees in 324 outlets in all cities in Indonesia. It is expected that this year the store can add up to 500 stores. The company also has ambitions for post-pandemic regional expansion. Thailand, the Philippines, and Malaysia, are the countries they are after.

“Regional expansion is still on schedule, by adapting to the post-Covid-19 situation,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kopi Kenangan Umumkan Pendanaan Seri B Lebih dari 1,6 Triliun Rupiah

Startup new retail Kopi Kenangan mengumumkan pendanaan seri B senilai $109 juta (lebih dari 1,6 triliun Rupiah) yang dipimpin investor terdahulunya Sequoia Capital India. Beberapa nama baru seperti B Capital, Horizons Ventures, Verlinvest, Kunlun, dan Sofina turut bergabung dalam putaran ini, sekaligus investor pertamanya Alpha JWC Ventures.

Dikabarkan pula, salah satu co-founder Facebook Eduardo Saverin bergabung ke dalam jajaran komisaris Kopi Kenangan, melalui B Capital. Keterlibatannya diharapkan dapat membantu transformasi perusahaan jauh lebih cepat.

“Saya berharap dapat bekerja sama dengan Kopi Kenangan dan membangun merek global yang merayakan citarasa khas Indonesia dan Asia Tenggara,” kata Saverin dalam keterangan resmi, Selasa (12/5).

Dalam rekam jejaknya, Kopi Kenangan pertama kali mengantongi pendanaan tahap awal dari Alpha JWC Ventures senilai $8 juta pada 2018. Setahun kemudian, menggalang pendanaan seri A sebesar $20 juta dipimpin oleh Sequoia Capital India dan tambahan dana dengan nilai dirahasiakan dari Arrive, Serena Ventures, pebasket NBA Caris LeVert, dan pendiri Sweetgreen Jonathan Neman.

Bila ditotal, investasi yang diterima perusahaan mencapai lebih dari $137 juta (lebih dari 2 triliun Rupiah).

Secara terpisah, kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata mengonfirmasi, sampai tahap ini perusahaan belum menyandang status unicorn, sebelumnya diketahui bahwa valuasi Kopi Kenangan sudah tembus status centaur. “Sampai saat ini Kopi Kenangan belum menjadi unicorn,” ujarnya.

Dia menerangkan mengatakan pendanaan segar ini akan digunakan untuk memperkuat posisinya di Indonesia. Salah satunya, rencana untuk menawarkan berbagai produk makanan dan minuman dari pedagang lokal serta mengembangkan cloud kitchen.

“Sebagai startup yang sedang tumbuh, kami cepat beradaptasi terhadap tantangan melalui transaksi tanpa kontak dan standar kebersihan yang tidak kenal kompromi di seluruh toko kami. Kesejahteraan karyawan adalah prioritas besar dan kami berinvestasi untuk keselamatan mereka, bersamaan dengan itu peningkatan manfaat kesehatan dan pelatihan tambahan untuk membantu mereka mengatasi perubahan besar ini,” ujarnya.

Dampak pandemi, juga menghantam bisnis Kopi Kenangan. Edward menuturkan, semua industri lain, F&B juga mengalami penurunan signifikan, terutama di gerai offline. Tapi berkat model bisnis grab & go, perusahaan melihat adanya peningkatan online order sebesar 50% di lokasi-lokasi tertentu.

Dia pun percaya, bisnis yang cepat beradaptasi dengan kondisi dapat bertahan di tengah krisis, bukanlah mereka yang terpintar atau punya modal besar. “Kopi Kenangan mendapatkan kepercayaan investor dengan mengangkat model bisnis grab and go yang cocok dengan situasi saat ini.”

Saat ini Kopi Kenangan memperkerjakan 3 ribu karyawan tersebar di 324 gerai di seluruh kota di Indonesia. Diharapkan pada tahun ini dapat menambah lokasi toko hingga mencapai 500 gerai. Perusahaan juga berambisi untuk ekspansi regional pasca pandemi. Thailand, Filipina, dan Malaysia, menjadi negara yang mereka incar.

“Rencana ekspansi regional akan tetap dilaksanakan, dengan melihat situasi pasca-Covid-19,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Kopi Kenangan Peroleh Tambahan Pendanaan Seri A, Incar Ekspansi Regional

Startup new retail Kopi Kenangan umumkan tambahan pendanaan Seri A dari Arrive, Serena Ventures, pebasket NBA Caris LeVert, dan pendiri Sweetgreen Jonathan Neman dengan nominal dirahasiakan. Sequoia India, yang memimpin pendanaan seri A senilai $20 juta pada Juni 2019, juga berpartisipasi dalam putaran ini.

Arrive adalah VC yang didirikan oleh selebriti internasional Jay-Z, menandakan debut keduanya mendanai startup di ASEAN. Sementara Serena Ventures adalah VC yang dibentuk petenis internasional Serena William. Kedua VC ini sama-sama fokus pada pendanaan tahap awal.

“Kami ingin membangun brand yang legendaris dan kami sangat senang dapat bekerja sama para investor dan penasihat baru kami yang telah sukses membangun waralaba konsumen global di bidang olahraga, hiburan, makanan dan minuman, serta teknologi,” ucap Founder & CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata dalam keterangan resmi.

Edward berujar pendanaan akan dipakai untuk melancarkan ekspansi ke ASEAN, menambah lebih dari 1000 gerai dalam dua tahun ke depan. Tercatat, Kopi Kenangan telah hadir di lebih dari 200 gerai secara nasional di 18 kota, mempekerjakan 1800 pegawai.

Kenaikan pesat ini begitu terasa, sambungnya, tahun lalu perusahaan baru mengelola 16 toko dan menjual beberapa ribu gelas per hari. Sekarang perusahaan berhasil menjual lebih dari 3 juta gelas kopi per bulan.

Diklaim perusahaan telah mencatatkan keuntungan dan menorehkan pertumbuhan pendapatan sebanyak 20 kali lipat sejak menerima pendanaan tahap awal yang dipimpin Alpha JWC pada tahun lalu.

“Kami telah bertumbuh pesat sejak bisnis ini dimulai dua tahun lalu dan kami ingin terus belajar, serta meningkatkan layanan dan produk kami untuk memenuhi harapan pelanggan kami di Indonesia dan negara lain.”

Kopi Kenangan didirikan pada 2017 oleh Edward Tirtanata, James Prananto, dan Cynthia Chaerunnisa. Perusahaan berhasil mengisi kesenjangan antara kopi mahal yang disajikan peritel kopi internasional, yang tidak terjangkau sebagian masyarakat Indonesia, dan kopi instan yang dijual oleh kedai di pinggir jalan.

Menurut Nielsen Company, Kopi Kenangan adalah merek dengan top-of-mind awareness nomor satu untuk kategori Kopi Susu dan merek nomor dua setelah jaringan kopi internasional untuk kategori kopi umum.

Application Information Will Show Up Here

Sinergi Kopi dan Teknologi, Tak Sekadar Pengejawantahan Konsep “New Retail”

Industri coffee chain mulai tumbuh di Indonesia. Tak hanya merk internasional yang membanjiri kota-kota besar di Indonesia, nama-nama lokal pun mulai tumbuh. Beberapa menawarkan kopi dengan berbagai macam pilihan, sementara yang lain mulai menambahkan teknologi untuk memberikan pengalaman lebih dalam berinteraksi dengan kedai kopi.

Tanda-tanda teknologi mulai akan disematkan sudah mulai terlihat di tahun 2018 kedia dua nama pemain coffee chain berhasil mengamankan pendanaan dari venture capital dengan nafas teknologi. Fore Coffee mendapatkan suntikan dari East Ventures dan Kopi Kenangan mendapat suntikan dana dari Alpha JWC Ventures.

Ada juga Anomali Coffee yang sudah mulai menerapkan sistem pemesanan menggunakan aplikasi. Jalan terang menuju kedai kopi bernafaskan teknologi yang mulai dikenal sebagai konsep new retail.

“Semenjak investasi kami di Kopi Kenangan, mulai banyak pelaku bisnis F&B, termasuk kopi, yang mendekati VC [Venture Capital] untuk modal usaha, nampaknya kami telah membuka tren dan kesempatan baru untuk berkembang bagi pelaku bisnis serupa,” terang Co-Founder dan Manager Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Alpha JWC Ventures Oktober silam menyuntikkan dana tak kurang dari Rp121 miliar untuk Kopi Kenangan. Tak hanya membantu mengenai finansial perusahaan modal ventura itu juga menjanjikan dukungan teknologi dan akselerasi bisnis untuk bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dan tentunya meningkatkan pengalaman pengguna.

Kondisi tidak jauh beda juga dilakukan oleh East Ventures. Mereka berinvestasi ke Fore Coffee, coffee chain yang didukung oleh Otten Coffee ini menjanjikan pelayanan pembelian kopi yang lebih baik, tentunya dengan pendekatan teknologi. Terbaru, Fore Coffee baru saja mengantongi pendanaan senilai 118 miliar Rupiah dari sejumlah investor, termasuk East Ventures dan SMDV. Setelah pendanaan ini, Fore Coffee juga berusaha menerapkan sejumlah inovasi teknologi dalam bisnisnya.

“Kami memilih artisan kopi karena pentingnya menumbuhkan demand dan mendidik pasar untuk konsumsi kopi jenis Arabica, dibanding kopi Robusta. Karena dengan begitu, Indonesia akan mampu meningkatkan kesejahterahan petani kopi lokal berlipat- lipat dengan effort yang sama,” ujar Partner East Ventures Melisa Irene.

Ia melanjutkan, “Tujuan utama pendekatan new retail adalah agar mempermudah customer untuk mendapatkan produk atau jasa yang mereka inginkan. Sekian tahun perusahaan- perusahaan berbasis platform digital sudah membangun dasar yang kuat hingga kami rasa infrastuktur digital Indonesia sudah cukup kokoh untuk kita mulai menyusun kategori pokok di atasnya. Kategori kopi, kami rasa strategis, karena ini adalah produk dengan nilai tinggi yang berpotensi untuk dikonsumsi setiap hari oleh kalangan middle class.

New retail tak hanya soal teknologi

Konsep new retail tidak hanya berkaitan dengan teknologi. New retail adalah sebuah konsep yang menyeimbangkan antara pelayanan dan pengalaman pembeli. Tak hanya soal memesan atau membayar melalui aplikasi, tetapi juga menyediakan kebutuhan pengguna.

Hal ini diamini Founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata. Ia menyampaikan bahwa konsep new retail setidaknya harus memiliki skala distribusi yang sesuai. Karena akan sangat sulit membuat ekosistem new retail di Jakarta tanpa distribusi yang sesuai.

Jefrey kepada DailySocial lebih jauh juga menjelaskan bahwa menerapkan sistem new retail tidak semudah menciptakan sistem jual beli. Ada aspek-aspek lain yang juga harus dipenuhi seperti penerimaan masyarakat dan ketersediaan gerai yang mumpuni.

“Tidak seperti kebanyakan orang pikir, untuk mewujudkan konsep ‘new retail’ itu tidak semudah menciptakan aplikasi jual beli, ada banyak hal yang harus diperhatikan, seperti jumlah toko yang memadai, produk yang dapat diterima berbagai lapisan masyarakat, serta sistem dan tim yang memadai untuk melayani puluhan ribu pelanggan setiap harinya. Apakah semua pelaku F&B (termasuk kopi) bisa melakukannya? Tidak. Inilah mengapa kami memutuskan untuk mendukung Kopi Kenangan: visi besar mereka didukung oleh kapabilitas yang memadai,” imbuh Jefrey.

Kopi Kenangan dan Fore Coffee yang berencana menuju moderanisasi untuk coffee chain tengah mencoba memperbanyak ketersediaan mereka. Hingga kini Kopi Kenangan sudah memiliki 29 gerai dari 100 gerai yang ditargetkan di tahun ini. Demikian juga Fore Coffee yang saat ini sudah memiliki 12 gerai dan berusaha untuk terus menambahkannya.

“Fokus inovasi Fore Coffee adalah memberikan online to offline customer experience yang berkualitas tinggi dan seamless– kopi enak, mudah ditemukan, layanan cepat, dan harga bersahabat. Inovasi minuman akan jalan terus, ekspansi outlet sudah mencapai lebih dari 12 outlet dan terus bertambah,” terang Melisa.

Tahun ini setidaknya bisa menjadi awal baru bagi industri coffee chain. Dengan apa yang sudah dilakukan oleh Anomali Coffee dan rencana-rencana inovatif dari Fore Coffee dan Kopi Kenangan yang dipaparkan investor mereka.

Pihak Alpha JWC Ventures bahkan dengan terbuka sudah menyebutkan bahwa berusaha mendukung Kopi Kenangan dari segala aspek, demi ekspansi yang lebih baik. Edward menyampaikan, saat ini menambah gerai menjadi fokus utama. Ketika semua itu terpenuhi kemungkinan besar konsep new retail akan benar-benar optimal diterapkan oleh Kopi Kenangan.

“Untuk tahun depan, kami akan terus mendukung Kopi Kenangan dalam ekspansi mereka. Seperti pada portofolio kami lainnya, Alpha JWC selalu siap memberikan dukungan dalam hal strategi bisnis dan operation, manajemen sumber daya manusia, dan tentu saja, dukungan finansial,” terang Jefrey.

Sedangkan pihak East Ventures menjelaskan, bahwa Fore Coffee akan memadukan aplikasi dengan ketersediaan gerai atau outlet sehingga memudahkan mereka menjangkau konsumen.

Key enabler Fore adalah perpaduan teknologi dalam bentuk aplikasi dan retail presence. Fore membuka outlet- outlet khusus delivery, sehingga customer dari berbagai tempat yang pesan lewat aplikasi Fore atau platform pengantaran lainnya bisa mendapatkan minumannya dengan lebih cepat. Dengan adanya aplikasi pula, customer akan bisa mendapatkan offer yang sesuai dengan preference masing- masing,” terang Melisa.

Aplikasi Anomali Coffee terinspirasi antrean

Anomali Coffee adalah salah satu merk coffee chain yang sudah menyediakan aplikasi untuk penggunanya. Mereka berangkat dari perasaan tidak nyaman melihat pelanggan mereka mengantre cukup panjang untuk mendapatkan beberapa gelas kopi.

Disampaikan oleh Head of Sales and Marketing Anomali Coffee Ryo Limijaya, pihaknya mengamati bahwa dari proses memesan sampai selesai proses pembayaran satu pelanggan mereka membutuhkan rata-rata 3 hingga lima menit.

Dari sana kemudian mereka mengembangkan aplikasi untuk memudahkan pelanggan mereka memesan kopi, dan datang hanya untuk mendapatkan kopi yang mereka pesan.

“Kami melihat hal ini sebagai salah satu jalan keluar atau hal yang dapat kami lakukan untuk membuat customer kami merasa nyaman dan aman untuk melakukan transaksi di Anomali Coffee karena seluruh data transaksi sudah terekam di dalam sistem. Misalnya jika muncul komplain dari customer, dari segi kami pun lebih mudah untuk mencari tahu kronologi serta langkah apa yang harus kami lakukan,” ujar Ryo mengomentari konsep new retail pada bisnis coffee chain.

Sejauh ini Anomali Coffee tercatat sudah memiliki 12 outlet yang tersebar di Jakarta, Bali, Makassar, dan Surabaya. Tahun ini rencananya selain menambah beberapa outlet baru Anomali Coffee juga berencana untuk memperbaiki kualitas sambil menjajaki teknologi apa yang bisa diterapkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

“Menurut kami, trend membeli kopi melalui aplikasi mungkin akan semakin meningkat. Namun semua itu kembali lagi kepada fokus perusahaan dalam memposisikan fungsi aplikasi berdasarkan kebutuhan konsumennya. Karena masing-masing perusahaan, walaupun dalam bidang bisnis yang sama, belum tentu kebutuhan konsumennya juga akan sama untuk diwujudkan ke dalam fitur aplikasi.”

“Mungkin ini adalah tantangan utama dalam trend itu sendiri, supaya jangan sampai aplikasi yang dirancang oleh perusahaan tidak menjawab kebutuhan customer sehingga pada akhirnya menjadi aplikasi yang gagal,” tutup Ryo.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures Raises 121 Billion Rupiah Funding for Kopi Kenangan

Alpha JWC Ventures pours $8 million (equiv. with 121,6 billion Rupiah) funding for Kopi Kenangan. Been operating in 16 locations in Jakarta, Kopi Kenangan is a coffee chain with “grab and go” concept which growth is rapid. It was founded in August 2017 by Edward Tirtanata and James Prananto.

After fundraising, Kopi Kenangan will expand retails to 30 locations before the end of 2018. Next year, they continue for 100 locations all over Indonesia. Founders are confident with the target, of the average sales has reached 175 thousand glasses per month. In addition, funding will be distributed to research and app development activities.

Founder Kopi Kenangan, Edward Tirtanata and James Prananto / Kopi Kenangan
Founder Kopi Kenangan, Edward Tirtanata and James Prananto / Kopi Kenangan

Edward Tirtanata, the Co-Founder & CEO, said that the secret is not only the number of locations/shops, but the quality of its products and recipes. Kopi Kenangan also breaks the foreign brands’ domination with relatively expensive prices for local coffee in town.

Alpha JWC Ventures will support in technology to accelerate business. Jefrey Joe, Alpha JWC Ventures’ Co-Founder and Managing Partner thought technology plays an important role to build a sustainable consumer sector.

“Kopi Kenangan is a good example of technology potential in helping coffee chain which grows rapidly into the bigger scale and create a better experience for customers,” he said.

“We consider Kopi Kenangan not only as a small coffee business but also a thing that can grow into the bigger business with the New Retail concept through technology. Therefore, we decided to partner with Alpha JWC Ventures with an expertise in technology and scale-up,” Tirtanata explained.

The New Retail concept, according to the Co-Founder and COO James Prananto, will be implemented in mobile app development. Some features have been planned are include store search, pre-order, payment support, and many more. The point is to be focused on the more modern user experience.

Previously, East Ventures was doing similar steps. They invested in Fore Coffee. Aside from providing funding, they will also provide incubation, especially to start a digital approach in the sales process.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Alpha JWC Ventures Berikan Pendanaan 121 Miliar Rupiah untuk Kopi Kenangan

Alpha JWC Ventures mengucurkan pendanaan senilai $8 juta (setara dengan 121,6 miliar Rupiah) untuk jaringan Kopi Kenangan. Telah beroperasi di enam belas titik di Jakarta, Kopi Kenangan menjadi coffee chain dengan konsep “grab-and-go” yang cukup bertumbuh pesat. Bisnis tersebut didirikan Agustus 2017 oleh dua orang founder, yakni Edward Tirtanata dan James Prananto.

Pasca pendanaan, Kopi Kenangan menargetkan perluasan kedai menjadi 30 lokasi sebelum akhir tahun 2018. Dan tahun depan akan melakukan ekspansi lanjutan untuk melahirkan 100 kedai di berbagai wilayah. Founder cukup percaya diri dengan target tersebut, pasalnya saat ini rata-rata penjualan sudah mencapai 175 ribu gelas per bulan. Selain itu, pendanaan juga akan difokuskan untuk kegiatan riset dan pengembangan aplikasi.

Kopi Kenangan
Founder Kopi Kenangan, Edward Tirtanata and James Prananto / Kopi Kenangan

Co-Founder & CEO, Edward Tirtanata, menyampaikan bahwa rahasia bisnisnya bukan hanya sekadar pada lokasi/jumlah kedai, melainkan pada kualitas bahan produk dan resep yang disajikan. Hadirnya Kopi Kenangan juga untuk mematahkan dominasi merek asing dengan harga yang relatif mahal untuk produk kopi di perkotaan.

Hadirnya Alpha JWC Ventures juga akan memberikan dukungan dari sisi teknologi untuk mengakselerasi bisnis. Menurut Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures, Jefrey Joe, teknologi dalam berperan untuk membangun sektor konsumen secara berkelanjutan.

“Kopi Kenangan adalah contoh yang baik tentang bagaimana teknologi berpotensi membantu rantai kopi yang berkembang pesat untuk skala lebih besar dan menciptakan pengalaman yang lebih baik bagi pelanggan,” ujar Joe.

“Kami melihat Kopi Kenangan bukan hanya sebagai bisnis kedai kopi kecil, tetapi sesuatu yang dapat tumbuh menjadi usaha besar dengan konsep New Retail melalui dukungan teknologi. Oleh karena itu, kami memutuskan bermitra dengan Alpha JWC Ventures yang memiliki keahlian dalam teknologi dan peningkatan skala,” terang Edward.

Konsep “New Retail” tadi, menurut Co-Founder dan COO James Prananto, akan diajawantahkan dalam pengembangan aplikasi mobile. Beberapa fitur yang telah direncanakan termasuk untuk pencarian toko, pre-order, dukungan pembayaran, dan sebagainya. Intinya akan memfokuskan pada pengalaman pengguna yang lebih modern.

Dengan pendekatan yang hampir sama, sebelumnya East Ventures juga melakukan sepak terjang serupa. Mereka berinvestasi untuk startup kopi Fore Coffee. Selain memberikan pendanaan, mereka juga akan memberikan inkubasi, khususnya guna memulai pendekatan digital dalam proses penjualan.