Startup Fintech Nikel Resmi Diakuisisi

Startup pengembang layanan embedded finance untuk sistem pinjaman Nikel (sebelumnya bernama Impact Credit Solution) dikabarkan telah diakuisisi. Belum diketahui dengan pasti perusahaan mana yang mencaplok bisnis tersebut, namun menurut informasi yang dilaporkan ke regulator Felgo Capital Pte Ltd. menjadi entitas yang melakukan akuisisi. Dari sumber yang kami dapatkan, seluruh investor juga exit bersamaan dengan aksi korporasi ini.

Pada pertengahan tahun 2022 lalu, Nikel baru mengumumkan pendanaan seri A1 mereka. Dana senilai $2,5 juta berhasil dibukukan dari Vectr Fintech, Patamar Capital, Mitra M Venture, Looking Glass Ventures, dan alokasi dana pribadi dari founder. Di putaran sebelumnya, 500 Starups, BCA, Mitra Integra, dan sejumlah investor lain turut berpartisipasi dalam pendanaan.

Akhir 2021 lalu Nikel juga telah menjalin kerja sama strategis dengan BCA, menawarkan pembiayaan yang terjangkau untuk sektor kesehatan Indonesia selama pandemi. Investasi strategis dengan bank BCA memungkinkan mereka untuk memberikan likuiditas yang dibutuhkan di sektor kesehatan, untuk memastikan keluarga-keluarga di Indonesia menerima perawatan dan pasokan medis yang memadai selama pandemi ini.

Sajikan platform embedded finance

Didirikan oleh Reinier Musters (CEO) dan Mackenzie Tan (COO) di Singapura, Nikel resmi masuk ke Indonesia sejak 2021 dengan menunjuk Dewi Wiranti sebagai Country Head. Mereka membawa “Nikel Lend”, layanan API end-to-end yang memungkinkan bank atau fintech memberikan layanan pinjaman langsung ke UMKM dengan menyediakan sistem credit analytics, origination/underwriting, eKYC, eSignature, dan collateral tracking.

Selain itu Nikel juga menyediakan platform B2B marketplace yang menghubungkan bank dengan fintech. Juga Nikel Fund, untuk memungkinkan investor menciptakan dana kelolaan khusus untuk menjangkau sektor tertentu.

“ICS adalah perusahaan teknologi keuangan yang melayani pinjaman UMKM di Asia Tenggara. Kami membangun embedded lending solution yang dapat digunakan oleh perusahaan teknologi, P2P, atau bank mana pun untuk membuat produk pinjaman,” ujar Mackenzie kala itu kepada DailySocial.id.

Menurut penelitian Research and Markets, ukuran pasar layanan embedded finance di Asia Pasifik berhasil tumbuh 39,7% pada 2022 dengan nilai $108,5 miliar. Diproyeksikan akan tumbuh dengan CAGR 24,4% sampai 2029 dengan proyeksi nilai $357,9 miliar. Dorongan layanan inovasi digital di segmen keuangan menjadi salah satu pendorong utama dalam bisnis ini.

Di Indonesia sendiri, tren embedded finance turut mendapati sorotan dari inovator. Finfra menjadi salah satu startup lokal yang ada di area ini menawarkan layanan embedded lending, mempermudah klien meluncurkan produk berbasis pinjaman digital yang berlisensi OJK.

Cerita Platform Job2Go Jadi Platform Manajemen HR

Kurniawan Santoso dan timnya di Job2Go tidak pernah menyangka bahwa beberapa bulan setelah perusahaannya diumumkan ke publik di Desember 2019, mereka harus memutar otak dan mencari cara untuk tetap bertahan.

Saat itu, Job2Go harus menelan pil pahit ternyata solusi yang ditawarkan pada saat itu —pencarian lowongan kerja berbasis on-demand— tidak bisa dilanjutkan karena semua perusahaan langsung pasang ikat pinggang di awal pandemi.

“Waktu itu [pandemi] pekerjaan yang sifatnya on-demand tidak ada, jadinya kita mulai pindah. Pertama bangun job portal in general sekitar tiga minggu, lalu ditambahkan dengan solusi lainnya hingga yakin dengan solusi manajemen HR inilah yang dibutuhkan oleh banyak perusahaan,” ujar Co-founder dan CEO Job2Go Kurniawan Santoso saat ditemui DailySocial.id, Senin (6/3).

Setelah dipelajari, ternyata ada mispersepsi arti pekerjaan on-demand di Indonesia dibandingkan di luar negeri. Hal ini berdampak pada minimnya tingkat permintaan dan pencarian pekerjaan jenis ini. Bisa dikatakan pekerjaan on-demand seperti ini baru terbukti berhasil di industri transportasi saja, seperti yang disediakan Grab dan Gojek.

“Definisi yang tepat buat di Indonesia itu adalah creative job untuk pekerjaan on-demand. Misalnya, ada orang yang biasa kerja freelance untuk desain, lalu ketika suatu perusahaan cari tenaganya tinggal pilih mana yang cocok.”

Terkait model bisnisnya saat ini, ia tidak bersedia menyebutnya sebagai pivot tetapi penajaman strategi menjadi platform manajemen HR menyeluruh, mulai dari rekrutmen, hiring, onboarding, training, penggajian, dan hubungan industrial. Tak hanya itu, Job2Go juga mulai masuk ke embedded finance melalui produk Job2Go Workforce, tawarkan EWA (earned wage access) dan asuransi mikro, bermitra dengan Kini.id, Beever, dan Asuransi Hanhwa Life.

Job2Go

Menurut Kurniawan, penyediaan solusi menyeluruh ini menjadi nilai lebih perusahaan dibandingkan pemain sejenisnya. Klien hanya perlu membayar management fee untuk seluruh layanan yang tersedia tanpa biaya tambahan, sehingga mereka pun lebih efisien dari sisi pengeluaran. Hal yang sama juga berpengaruh bagi bisnis Job2Go itu sendiri yang dapat menjaga pertumbuhan pendapatannya, terutama dari sisi margin dan komisi (fee based) yang diterima Job2Go dari produk finansial.

Embedded finance merupakan inovasi baru yang memberikan dampak positif dalam rangka meningkatkan literasi keuangan. EWA itu sendiri memungkinkan karyawan untuk mengakses gaji lebih awal apabila dalam keadaan mendesak, sehingga tidak perlu lari ke pinjaman online yang bunganya mencekik. Perkawinan antara solusi HR dan fintech ini diprediksi akan menciptakan solusi-solusi baru yang dapat menguntungkan karyawan dan pemberi kerja.

Rencana untuk mulai mengimplementasikan teknologi blockchain pun sudah diwacanakan. Apabila terjadi, dunia HR tentunya akan sangat terbantu dalam proses hiring karena sebelumnya harus memverifikasi berbagai data jadi tidak perlu dilakukan lagi, masih banyak lagi inovasi yang bisa terjadi melalui blockchain.

“Kami berencana untuk buat fitur investasi karena intinya kami mau meningkatkan literasi finansial bagi orang-orang yang berada di area blue-gray collar ini.”

Rencana Job2Go

Dua tahun dengan bisnisnya saat ini, Job2Go mengklaim telah mencetak pendapatan (revenue) sebesar $10 juta (lebih dari 153 miliar Rupiah) per tahunnya. Kurniawan mengungkapkan pencapaian positif ini akan dilanjutkan pada tahun ini dengan menjaga target pertumbuhan yang sama dengan tahun lalu, dibarengi mengontrol pengeluaran. Ia menargetkan Job2Go mencapai titik impas (BEP) agar segera cetak untung.

“Sekarang almost BEP, sekarang kita sedang lihat cost mana yang harus disesuaikan untuk capai profitabilitas. Target ini yang sedang kita kejar bagaimana jaga pertumbuhan tetap sustainable karena kebanyakan startup tuh tumbuh tapi enggak sustain, kita enggak mau kayak gitu.”

Mereka telah menyiapkan sejumlah strategi untuk mencapai target ini, salah satunya selalu memantau tingkat kepuasan klien sembari terus mengejar penambahan klien baru. Pengembangan produk baruk tidak bakal semasif saat awal beroperasi.

Terhitung klien yang sudah pernah ditangani Job2Go mencapai 50 perusahaan lintas industri. Mereka didominasi sektor teknologi, konsumer, dan finansial. Beberapa nama perusahaannya adalah Grab, Tokopedia, Abbott, dan sebagainya. Tahun ini perusahaan akan menambah industri lainnya, seperti manufaktur dan pelayanan publik.

Berdasarkan data mereka, tenaga kerja yang paling banyak dicari para klien Job2Go banyak berkaitan dengan frontliner dan back office. Untuk frontliner, seperti salesman, telemarketer, dan customer service untuk penempatan di daerah. Sementara back office, pekerjaan umum seperti accounting, finance, administrasi, juga banyak dicari.

“Karena kita ini full service, jadi kita yang rekrut tenaga tersebut, absensi, dan payroll-nya mereka lewat kami, tapi kesehariannya mereka bekerja untuk klien. Kami yang menyediakan seluruh legalitasnya, termasuk jika ada pemutusan hubungan kerja (PHK).”

Tim Job2Go

Untuk rencana jangka panjangnya, Kurniawan memaparkan bahwa ia ingin Job2Go ekspansi ke pasar ASEAN dan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Baginya, melantai di bursa adalah pembuktian bahwa model bisnis manajemen HR yang dijalankan Job2Go ini terbukti dapat bertahan lama dan relevan dengan kebutuhan semua industri.

“Negara ASEAN itu punya karakteristik yang sama satu sama lain, dari sisi region juga berdekatan, jadi secara ekonominya juga akan saling terhubung. Ambisi kita bisa serving ASEAN entah dengan masuk sendiri, partnering dengan pemain sejenis dari negara tersebut, atau merger. IPO atau ekspansi kita lihat mana yang duluan dalam 3-4 tahun lagi.”

Dalam ruang lingkupnya di Indonesia, Job2Go bersaing dengan MyRobin, Workmate, dan Staffinc. Apabila melihat dari industrinya, para startup ini bersaing dengan perusahaan outsourcing yang seluruh sistemnya masih konvensional, belum terintegrasi antar layanannya, baik itu workforce management, penggajian, dan rekrutmen harus pakai/sewa platform yang berbeda-beda. “Tapi kita mengembangkan service outsourcing ini dalam sistem yang sudah satu kesatuan.”

Job2Go yang didukung 50 orang karyawan ini sudah tiga kali mendapat pendanaan eksternal. Pertama kali angel round dari BANSEA (The Business Angel Network of Southeast Asia) dan investor dari Jepang pada Juni 2020. Kedua, terjadi pada tahun yang sama untuk putaran tahap pra-Seri A dari investor asal Korea Selatan. Nominal dana yang diraih dari kedua putaran ini sayangnya dirahasiakan.

Ketiga, pendanaan berbentuk debt (utang) sebesar $1,5 juta dari sejumlah investor dan startup p2p lending, yakni, Xencap, ChocoUp, dan Modal Rakyat dengan menggunakan skema invoice financing.

Finfra Jadi Strategi Danabijak Garap Potensi Fintech-as-a-Service

Inovasi yang terus berjalan membuka kesempatan baru dalam menawarkan solusi yang lebih tepat guna. Kondisi inilah yang terjadi dengan industri fintech yang kini mulai memperkenalkan teknologi baru fintech-as-a-service (FaaS), dan didalami oleh startup fintech lending Danabijak melalui kehadiran Finfra sejak Mei 2022.

Sebagai gambaran, mengutip dari Tech Funnel, penyedia teknologi FaaS ini sepenuhnya bertanggung jawab atas pengembangan, pemeliharaan, pembaruan platform, kepatuhan terhadap persyaratan keamanan, dan lainnya. Sementara, pengguna (penyedia layanan lain) cukup menyematkan fitur fintech tersebut ke dalam platform mereka melalui API. Mereka membayar biaya berlangganan bulanan untuk API tanpa berinvestasi dalam infrastruktur.

“API memungkinkan banyak program komputer untuk berinteraksi satu sama lain. Ini adalah jenis perangkat lunak antarmuka yang menyediakan layanan (FaaS) ke aplikasi perangkat lunak lain (yaitu, platform yang menyematkan fintech/embedding fintech),” tulis Tech Funnel.

Produk yang dihasilkan dari FaaS, seperti e-wallet label privat, penerbitan kartu, penerimaan pembayaran, pembayaran atau remitansi, verifikasi identitas, perlindungan penipuan, akun virtual serta layanan digital untuk merchant, yakni penyediaan, administrasi, dan solusi pelaporan.

Saat dihubungi DailySocial.id, Co-founder dan CEO Danabijak dan Finfra Markus Prommik menyampaikan pendirian Finfra ini mengkuhkan keseriusannya dalam menggarap FaaS atau bisa disebut dengan embedded lending, sekaligus bentuk responsnya terhadap permintaan pasar. Selama beberapa tahun terakhir, ia dan tim telah mengembangkan tech stack yang kuat di pasar, yang memungkinkan pihaknya mengukur produk p2p lending dan operasionalnya secara efektif.

“Klien pertama kami adalah Aspire, dan pernah bekerja sama dengan BNI, yang selanjutnya meningkatkan pengembangan layanan embedded lending kami. Melihat kebutuhan pasar, dan keterampilan serta pengetahuan tim kami yang relevan, kami sangat bersemangat untuk dapat mewujudkannya,” kata Prommik.

Solusi FaaS yang ditawarkan oleh Finfra mulai dari produk pinjaman privat untuk klien, dengan memanfaatkan lisensi fintech p2p lending yang sudah dikantongi Danabijak. Produk-produknya sebagian besar untuk platform digital yang memungkinkan klien untuk meluncurkan produk berbasis pinjaman.

“Prospek dari embedded lending ini sangat bagus, dengan beberapa perusahaan unicorn [dari sektor ini] muncul di seluruh dunia. Model ini mendapatkan daya tarik yang besar di pasar negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, dan kami yakin ini lebih cocok untuk Indonesia dan Asia Tenggara.”

Menurut data yang ia kutip dari Research and Markets, di Asia Pasifik, pangsa pasar embedded finance diperkirakan akan mencapai $358 miliar pada 2029, dengan proyeksi CAGR 24,4% dari 2022 hingga 2029. “Embedded lending diharapkan menjadi salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat, dan kami berencana untuk menjadi yang terdepan.”

Sejak dirilis hingga kini, diklaim Finfra telah dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan lintas industri, kebanyakan bergerak di industri logistik, pendukung UMKM, dan platform eCommerce untuk merchant. Salah satu kliennya adalah CareNow, startup yang mengembangkan platform teknologi solusi bisnis untuk layanan medis.

CareNow memanfaatkan solusi FaaS ini untuk menyediakan alternatif pembayaran tagihan kesehatan dengan metode cicilan. Solusi ini membantu dua sisi, baik dari pasien maupun rumah sakit. Bagi rumah sakit, mereka bisa memberi akses pembiayaan bagi rumah sakit unutk membeli peralatan, perlengkapan, dan membantu arus kas. Tentu saja dari pasien, bisa diringankan beban mereka saat berobat dengan mencicil tagihan.

Ke depannya, Finfra akan fokus menyediakan produk pinjaman berbasis FaaS yang berfokus pada invoice financing, payroll financing, dan term loan. “Kami berencana untuk fokus pada area ini.”

Meski Finfra baru dirilis pada Mei 2022, namun Prommik mengungkapkan kontribusi bisnisnya terhadap keseluruhan (digabung dengan Danabijak) sudah menyamai posisi, alias 50:50 pada kuartal I 2023. Prospek yang cerah untuk solusi FaaS ini membuatnya ia meyakini kontribusinya bahkan bisa menyaingi Danabijak, dengan prediksi 70%-80% dari total volume bisnis sampai akhir tahun ini.

Perkembangan Danabijak

Prommik memastikan Danabijak akan tetap menjadi perusahaan terpisah dari Finfra, bahkan ada strategi tersendiri yang sudah disiapkan. Diklaim, sejak Danabijak beroperasi di 2016, kini produknya telah digunakan oleh 20 ribu pengguna aktif dan bisnis ini beroperasi dengan margin kontribusi yang positif. Total pinjaman yang disalurkan sepanjang Desember 2022 hingga Februari 2023 diklaim sudah berlipat ganda.

Danabijak menerima investasi dari GK Plug & Play setahun setelah diluncurkan. Kemudian, di pertengahan 2021, kembali peroleh pendanaan dari beberapa investor, di antaranya Kristjan Kangro (CEO dari Change Invest), serta investor baru, yakni Walter Marke de Oude (Founder & Chairman Singlife).

“Kami berencana untuk terus menjalankan portofolio ini dan melayani pengguna setia dan berkualitas tinggi kami. Pemberi pinjaman (lender) kami sebagian besar adalah perusahaan, dan saat ini sedang berdiskusi dengan lebih dari setengah lusin bank dan lembaga keuangan untuk menjadikan mereka sebagai pemberi pinjaman di platform kami. Model bisnis kami telah menghasilkan banyak minat di antara klien (platform digital) dan pemberi pinjaman.”

Demi mendukung bisnis, Prommik mengungkapkan saat ini pihaknya sedang menuntaskan putaran pendanaan dana baru dan diharapkan dapat diumumkan segera. “Mudah-mudahan, kami dapat segera membagikan kabar baik ini, mempertimbangkan sulitnya mengumpulkan dana di situasi saat ini. Sekarang adalah saat-saat yang menyenangkan bagi kami dan kami berterima kasih atas dukungan para investor kami,” ujarnya.

Disclosure: DS/X Ventures (bagian DailySocial Group) merupakan salah satu investor Finfra

Mandiri Capital Indonesia Bagikan Strategi Investasi di 2023

Mandiri Capital Indonesia (MCI) membagikan outlook dan strategi investasi mereka untuk tahun ini. Secara umum, MCI memastikan akan tetap agresif untuk mengucurkan pendanaan ke startup di Indonesia, tetapi akan lebih selektif dengan memperkuat risk framework dan tesisnya.

Langkah tersebut diambil karena melihat situasi perlambatan ekonomi yang turut berdampak terhadap industri startup di tanah air. Di sepanjang 2022, kita banyak menyaksikan upaya efisiensi yang ditempuh pelaku startup dengan melakukan PHK.

Tren pendanaan startup juga menunjukkan penurunan, baik di skala global maupun di Indonesia. Diketahui, VC merupakan salah satu sumber permodalan terbesar bagi pelaku startup. CB Insights dalam “State of Venture 2022 Report” mencatat startup global yang memperoleh pendanaan dari VC hanya mencapai $415,1 miliar atau turun 35% dari tahun sebelumnya.

Sementara, berdasarkan data yang dihimpun oleh DailySocial.id, total nilai pendanaan startup Indonesia di 2022 turun hingga 38% menjadi $4,2 miliar dibandingkan 2021 yang tercatat sebesar $6,9 miliar.

Eksplorasi sektor non-fintech

MCI akan menjajaki peluang investasi di sektor supply chain, construction tech, aquatech, embedded finance, proptech, hingga biotech. Chief Investment Officer MCI Dennis Pratistha mengungkap bahwa beberapa investment deal akan segera diumumkan. Pihaknya juga mulai fokus untuk berinvestasi di growth stage karena risiko lebih terukur dan sudah memiliki use case dan sumber pendapatan yang jelas.

Tak disebutkan target portofolio atau nilai investasi yang dialokasikan tahun ini. Dennis berujar, “Hal yang terpenting adalah bagaimana [portofolio] ini dapat menciptakan value bagi Mandiri Group. Kami berupaya dorong sinergi di lingkup Mandiri Group sehingga our portfolios, khususnya di growth stage, punya presence di luar negeri,” ujarnya, Rabu (8/2).

Ambil contoh, construction tech. Investasi di sektor ini memang mengalir deras di sepanjang tahun lalu, tetapi pasarnya masih baru. Menurut Dennis, pihaknya berminat investasi ke construction tech tahun ini karena sejumlah pemain sudah mulai product market-fit dan menemukan model bisnis. Lebih lagi, permintaan konstruksi yang efektif biaya mulai meningkat.

Selama ini, industri konstruksi kurang transparan yang mengakibatkan terjadinya inefisiensi di supply chain. Demikian juga pada embedded finance, semakin ke sini, layanan keuangan digital berkembang pesat dan populasi unbanked masih besar. Hanya dalam jentikan jari, siapapun dapat mengakses layanan keuangan,

Dennis juga bilang tengah menyiapkan thematic fund baru sebagai kendaraan investasi bagi sektor-sektor yang tengah dieksplorasi tersebut. Rencana itu sebelumnya telah diungkapkan Dennis dalam wawancara dengan DailySocial.id beberapa waktu lalu.

Tercatat, MCI punya tiga dana kelolaan, yakni Balance Sheet Fund (Mandiri Group) untuk investasi di seri A-C, Merah Putih Fund (MPF) untuk seri C+ termasuk soonicorn, dan Indonesia Impact Fund (IIF) untuk pra-seri A.

Tahun 2022, MCI telah mengucurkan investasi ke enam startup baru dan tiga investasi lanjutan. Rinciannya, AgriaAku (agritech), Sinbad (B2B marketplace), dan FitAja (healthtech) bersumber dari Balance Sheet Fund. Kemudian, Greenhope (green tech), Cakap (edtech), dan Delos (aquatech) dari Indonesia Impact Fund. Terakhir, iSeller (POS), Mekari (SaaS), dan Qoala (insurtech).

Adapun, tambah Dennis, MPF ditargetkan meluncur pada semester I 2023 yang telah mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan regulator. Sekadar informasi, fase pertama MPF ditutup senilai $300 juta atau Rp4,3 triliun; didukung lima BUMN meliputi Telkom, Telkomsel, Bank Mandiri, BRI, dan BNI.

Strategi MCI

Pada kesempatan sama, Direktur of Finance MCI Rino Bernando memaparkan strategi investasi MCI pada tahun ini. Dalam mengelola portofolio existing, pihaknya memastikan mereka dapat tetap tumbuh sehat dan berkelanjutan, tidak hanya tumbuh kencang.

MCI berupaya memperbaiki strategi dan risk framework sebagai early warning system dalam menghadapi situasi pasar yang tidak menentu. Fokus utamanya adalah memastikan portofolio mengedepankan efisiensi biaya dan path to profitability yang jelas karena berdampak ke bottom line. Riset CNBC menunjukkan bahwa sebanyak 44% startup gagal di 2022 karena perencanaan keuangan yang kurang baik.

“Saya sebut situasi tech winter sebagai normalisasi karena ekonomi selalu ada siklusnya, termasuk industri startup. Ketika valuasi sekarang turun, ini adalah kesempatan bagi kami untuk mendapat valuasi lebih wajar. Dengan begitu, kami bisa masuk ke harga lebih wajar. Bukan berarti kami lengah meski terjadi seleksi alam,” pungkas Rino.

MCI juga menetapkan inisiatif baru untuk menangkap peluang inovasi dan memperluas knowledge dengan membentuk MCI Labs. Program ini memungkinkan kolaborasi startup dengan unit bisnis di Mandiri Group untuk menggarap use case potensial menjadi pilot project. Selain itu, pihaknya masih akan melanjutkan kegiatan business matchmaking Xponent dalam mengidentifikasi masalah dan menghubungkan unit bisnis dengan startup.

Impact Credit Solution Rebranding Menjadi Nikel, Kantongi Pendanaan 36 Miliar Rupiah

Setelah resmi mengumumkan kehadirannya di Indonesia tahun lalu, Impact Credit Solution melakukan rebranding menjadi Nikel. Seperti diketahui sebelumnya, mereka berperan membantu perusahaan teknologi yang ingin menghadirkan kapabilitas pinjaman modal dengan memberikan jembatan akses ke perbankan.

Produk utama mereka “Single API ICS”, memungkinkan klien membuat produk pinjaman yang memenuhi kebutuhan spesifik pelanggan, sambil memberi akses ke modal bank berbiaya rendah untuk mendanai pinjaman. Nikel juga menawarkan beberapa produk seperti Nikel Lend, Nikel Fund, dan Nikel Market.

Berbasis di Singapura Nikel didirikan oleh Reinier Musters (CEO) dan Mackenzie Tan (COO). Untuk memaksimalkan bisnisnya di Indonesia, mereka juga telah menunjuk Dewi Wiranti sebagai Country Head. Indonesia dinilai menjadi pasar yang memiliki potensi besar bagi mereka untuk menghadirkan solusi tersebut.

Kepada DailySocial.id, Mackenzie bercerita bahwa dengan memanfaatkan pelanggan atau merchant yang dimiliki perusahaan teknologi di masing-masing platform, ICS melalui Single API menghadirkan teknologi dan koneksi antara dua pihak pinjaman kepada pelanggan.

“ICS adalah perusahaan teknologi keuangan yang melayani pinjaman UMKM di Asia Tenggara. Kami membangun embedded lending solution yang dapat digunakan oleh perusahaan teknologi, P2P, atau bank mana pun untuk membuat produk pinjaman.”

Kantongi pendanaan Seri A1

Selain melakukan rebranding, Nikel juga telah mengantongi pendanaan tahapan seri A1 dari sejumlah investor. Tercatat Nikel berhasil memperoleh dana segar senilai $2,5 juta atau setara 36 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Vectr Fintech. Investor lain yang terlibat dalam pendanaan kali ini di antaranya adalah Patamar Capital, Mitra M Venture, Looking Glass Ventures, dan alokasi dana pribadi dari pendiri Nikel yaitu Mackenzie Tan.

Disinggung tentang pendanaan baru ini Mackenzie enggan untuk menyebutkan lebih lanjut. Dirinya menegaskan pendanaan ini merupakan tahap pertama dari putaran penggalangan dana yang lebih besar. Informasi lebih lanjut akan dibagikan oleh mereka setelah putaran pendanaan yang lebih besar telah final.

Sebelumnya Nikel telah mengumpulkan pendanaan dari bank dan perusahaan modal ventura terkemuka termasuk BCA, Patamar Capital, 500 Startups, Mitra Integra, Mitra M Venture, dan lainnya. Nikel telah menerima dukungan dari U.S. Development Finance Corporation, USAID, dan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia.

Akhir tahun 2021 lalu Nikel juga telah menjalin kerja sama strategis dengan bank BCA, menawarkan pembiayaan yang terjangkau untuk sektor kesehatan Indonesia selama pandemi. Investasi strategis dengan bank BCA disebutkan oleh Dewi Wiranti sebagai Country Head di Indonesia adalah memungkinkan mereka untuk memberikan likuiditas yang dibutuhkan di sektor kesehatan, untuk memastikan keluarga-keluarga di Indonesia menerima perawatan dan pasokan medis yang memadai selama pandemi ini.