Vidio Umumkan Pendanaan Eksternal Pertama Senilai 2,1 Triliun Rupiah dari Affinity

Vidio, salah satu platform OTT lokal terbesar, mengumumkan pendanaan senilai $150 juta (Rp2,1 triliun) dari Affinity Equity Partners (Affinity), ekuitas swasta terbesar di Asia. Sebelumnya, Vidio dimiliki sepenuhnya oleh Emtek Group di bawah Surya Citra Media (SCM), ini merupakan pendanaan eksternal pertama mereka. Platform ini memiliki valuasi pre-money $750 juta, pendanaan telah meningkatkan valuasinya hingga mendekati status unicorn/soonicorn.

Menurut laporan keuangan terbaru Emtek (Q3 2021), Vidio memiliki total aset sebesar Rp362 miliar.

Dengan investasi ini, Affinity akan bergabung dengan dewan direksi Vidio dan akan bermitra untuk mempercepat pertumbuhannya dan memperluas kepemimpinan pasarnya di Indonesia. Perusahaan juga berencana untuk memperluas konten serial orisinil, memperkaya program dengan menambahkan lisensi konten olahraga, dan berinvestasi dalam meningkatkan pengalaman pengguna.

“Hal ini menandai tonggak baru bagi Vidio sebagai platform OTT terbesar di Indonesia. Kami berusaha untuk terus fokus pada pengguna dengan menawarkan pengalaman streaming terbaik dan konten premium eksklusif terlengkap untuk pengguna. Kami sangat bangga dapat bermitra dengan Affinity, dan dengan kemitraan ini serta didukung oleh talenta terbaik yang kami miliki, kami akan mengambil lompatan besar selanjutnya dalam memberikan kualitas dan value yang luar biasa kepada pelanggan Vidio,” ujar CEO Vidio Sutanto Hartono.

Hingga September 2021, Vidio telah memiliki 62 juta pelanggan. Beberapa firma riset juga menempatkan mereka sebagai platform OTT #1 di Indonesia. Pada Agustus 2021, Comscore menempatkan Vidio sebagai aplikasi peringkat #1 dengan pengguna unik terbesar. Selain itu, MPA menempatkan mereka sebagai OTT dengan pengguna aktif harian tertinggi di Asia Tenggara pada Q2 2021.

Vidio menawarkan program langsung dan video sesuai permintaan. Ini termasuk serial orisinil, film lokal/internasional, dan pertunjukan langsung. Salah satu proposisi nilai perusahaan ada pada program olahraga, seperti UEFA Champions, La Liga, NBA, F1, dan banyak lagi.

“Kami sangat senang dapat bermitra dengan Emtek Group dan Vidio untuk terus membangun OTT terbaik yang mewakili masa depan sektor media di Indonesia. Ekosistem digital dan media Emtek, ditambah posisi Vidio di garis depan, dan tim manajemen yang kuat, merupakan faktor penting dalam perjalanan sukses Vidio di industri OTT Indonesia yang sangat dinamis. Affinity akan memanfaatkan jaringannya yang luas di seluruh Asia untuk mendukung inisiatif pertumbuhan Vidio, khususnya di bidang konten dan gamifikasi untuk memperkaya konten streaming langsung,” sebut Benny Lim, Managing Director dan Head of Affinity South East Asia.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Vidio Announced Its First External Injection, $150 Million from Affinity

Vidio, one of the largest local OTT platforms, announced it has received $150 million (Rp2.1 trillion) funding from Affinity Equity Partners (Affinity), the largest private equity in Asia. Previously fully owned by Emtek Group under Surya Citra Media (SCM), it’s Vidio’s first external injection. The platform has a $750 million pre-money valuation and the funding has inflated its valuation to near unicorn/soonicorn status.

According to Emtek’s latest (Q3 2021) financial report, Vidio has Rp362 billion of total assets.

With this investment, Affinity will join Vidio’s board of directors and will partner to accelerate its growth and expand its Indonesian market leadership. The company also plans to expand the original series contents, enrich the program by adding sports content licenses, and invest in advancing user experience.

“This marks a new milestone for Vidio as the largest OTT platform in Indonesia. We strive to continue to focus on users by offering the best streaming experience and the most complete exclusive premium content for users. We are very proud to partner with Affinity, and with this partnership and supported by the best talent at our disposal, we will take a huge leap forward in delivering outstanding quality and value to Vidio customers,” Sutanto Hartono, Vidio’s CEO, said.

As of September 2021, Vidio has 62 million subscribers. Several research firms also rank them as the #1 OTT platform in Indonesia. In August 2021, Comscore ranked Vidio as the #1 ranked app with the largest unique viewers. And MPA ranks them as the OTT with the highest daily active users in Southeast Asia in Q2 2021.

Vidio offers live programs and video on-demands. It includes original series, local/international movies, and live shows. One of the value propositions is on sports programs, such as UEFA Champions, La Liga, NBA, F1, and many more.

“We are very pleased to partner with Emtek Group and Vidio in continuing to build the best OTT, which represents the future of the media sector in Indonesia. Emtek’s digital and media ecosystem, plus Vidio’s position at the forefront, and a strong management team, are important factors in Vidio’s success journey in Indonesia’s highly dynamic OTT industry. Affinity will leverage its extensive network across Asia to support Vidio’s growth initiatives, particularly in the areas of content and gamification to enrich live streaming content,” said Benny Lim, Affinity’s Managing Director and Head of South East Asia.

Application Information Will Show Up Here

Mantan CEO CIMB Niaga Dikabarkan Akan Pimpin Bank Digital Milik EMTEK dan Grab

Bankir senior Tigor M Siahaan dikabarkan bergabung ke bank digital yang didirikan oleh konglomerasi media PT Elang Mahkota Tbk (IDX: EMTK) dan platform super app Grab.

Kabar ini diturunkan usai Tigor resmi mengundurkan diri dari posisinya sebagai Presiden Direktur dan CEO PT Bank CIMB Niaga Tbk (IDX: BNGA) tertanggal 21 Oktober 2021. DailySocial sudah mencoba mengonfirmasi ke Tigor, tapi belum mendapatkan jawaban.

Dalam artikelnya, Katadata menyebut bahwa Tigor akan memimpin bank digital hasil joint venture EMTEK dan Grab, yang kabarnya akan terintegrasi dengan ekosistem digital.

“Tigor akan memimpin bank digital yang terintegrasi dengan ekosistem bisnis digital yang mencakup berbagai layanan commerce, baik online maupun offline (O2O), pembayaran digital, dan layanan teknologi lainnya,” ungkap sebuah sumber seperti dilaporkan Katadata.

Tigor sebelumnya pernah memegang jabatan kunci di perusahaan terdahulu, yakni Country Head for Institutional Clients Group, Head of Corporate & Investment Banking and Country Risk Manager. Kemudian, Tigor juga menjabat sebagai Chief Country Officer of Citi Indonesia pada periode 2011-2015.

Baik EMTEK dan Grab sama-sama memiliki ekosistem kuat di bisnis media dan digital. EMTEK menaungi stasiun televisi SCTV dan Indosiar, KapanLagi Networks, dan platform streaming Vidio. Sementara Grab memiliki ekosistem layanan lengkap, seperti ride hailing, food delivery, dan kurir instan. Katadata melaporkan jumlah penggguna Grab diestimasi sebesar 22 juta pengguna.

Selain itu keduanya juga memiliki afiliasi kuat di mana Grab memiliki 2,59% sagam EMTEK yang dibeli pada Maret 2021. Saat ini, Grab dikabarkan memiliki 5,88% saham di perusahaan konglomerasi milik taipan Sariaatmadja ini.

Sinergi bank digital

Apabila kabar tersebut betul, ini akan menambah kembali deretan sinergi korporasi dan platform digital untuk merealisasikan bank digital selama dua tahun terakhir ini. Sinergi ini tak lagi terjadi di lingkup sektor perbankan saja, tetapi meluas ke sektor lainnya.

Pada sektor perbankan, publik telihat melihat berbagai sinergi yang dilakukan perbankan untuk memperkuat konsep bank digital mereka. Contohnya, Bank Artos dan Gojek (Bank Jago), Bank Yudha Bhakti dan Akulaku Group (Bank Neo Commerce), serta Bank Kesejahteraan Ekonomi dan Sea Group (Seabank).

Sementara di sektor media juga ada Bank Harda Internasional yang dicaplok oleh konglomerat Chairul Tanjung pada 2020 (Allo Bank). Lainnya, ada BCA melalui BCA Digital, BRI melalui Bank Raya, dan Bank Mandiri yang memilih untuk mengembangkan platform super app ketimbang mendirikan bank digital baru.

Kolaborasi menandakan persaingan bank digital di Indonesia akan semakin ketat sejalan dengan upaya perbankan untuk memperkuat ekosistem layanan digitalnya di masa depan.

Grab, Emtek dan Bukalapak Memulai Program Percepatan Digitalisasi UMKM di Kota-kota Kecil Dengan Vaksinasi

Sebagai salah satu roda penggerak ekonomi bangsa, sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) patut didorong menuju pertumbuhan yang lebih signifikan. Target pemerintah pun tak main-main. Dalam 2024, diharapkan ada sekitar 30 juta pelaku UMKM melakukan transformasi digital demi meraih peluang dan akses pasar yang tak terbatas. Dalam mewujudkan target tersebut, tentu butuh peran dari multi-stakeholder, salah satunya dari entitas teknologi. Adalah sinergi antara Grab, Emtek, dan Bukalapak yang baru-baru ini meluncurkan inisiatif bertajuk “Kota Masa Depan”. Seperti apa?

Dalam rilis yang kami peroleh, inisiatif “Kota Masa Depan” merupakan program akselerator ekstensif bagi para pelaku bisnis UMKM – khususnya yang datang dari daerah tier 2 dan 3 alias kota-kota kecil di Indonesia. Dikatakan, inisiatif ini berfokus pada tiga hal yakni; Vaksinasi, Adopsi Platform Digital (onboarding ke aplikasi Grab dan Bukalapak), dan Pemberdayaan UMKM melalui pelatihan dan pendampingan untuk pengembangan usaha melalui teknologi digital. Program ini juga akan dimulai dari wilayah kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, menyusul kemudia secara bertahap di Solo, Gowa, Malang, hingga Pekanbaru yang akan berakhir pada Desember 2020 dengan membidik lebih dari 10.000 UMKM.

“Grab bersama Emtek dan Bukalapak ingin merangkul UMKM terutama yang ada di kota-kota kecil. Terutama agar tidak hanya dapat menggunakan teknologi dan memperoleh manfaat dari ekonomi digital namun mereka dapat menjalankan usaha mereka di platform yang aman dan terpercaya. Kami percaya masa depan besar juga ada di kota kecil. Harapan kami, program #KotaMasaDepan dapat membuka pintu ke pasar yang lebih luas bagi UMKM di kota-kota kecil tanpa harus berpindah lokasi, dan pada akhirnya akan memberikan dampak menyeluruh bagi perekonomian daerah,” jelas Neneng Goenadi, Country Managing Director, Grab.

Di tengah harapan pemulihan ekonomi akibat pandemi, vaksinasi menjadi langkah yang esensial. Dalam program akselerator #KotaMasaDepan, vaksinasi menjadi pembuka rangkaian kegiatan dengan menargetkan 1500 UMKM di lima kota tujuan.

Selain vaksinasi, Grab, Emtek, bersama Bukalapak akan berfokus dalam pelatihan dan bimbingan terhadap pelaku UMKM terkait mempersiapkan bisnis dalam memasuki ranah digital. Salah satu implementasi yang ditawarkan tentu penggunaan platform Grab dan Bukalapak, sebagai platform digital yang dapat diadaptasi oleh berbagai macam jenis usaha, mulai dari kuliner, non-kuliner (pengrajin batik, pengrajin kulit, pengrajin perak, dan lainnya), ritel tradisional (warung sembako, toko kelontong, pedagang pasar), hingga usaha agen yang mencakup kios pulsa dan sembako.

Pemanfaatan di atas diharapkan tentu bakal membantu para UMKM, untuk memperoleh peluang pendapatan baru melalui toko digital demi terjaganya stabilitas bisnis di masa pandemi, dan dapat menjadi mitra merchant Grab (GrabFood dan GrabMart) dengan sekian keuntungan yang akan diperoleh antara lain; subsidi layanan selama tiga bulan, akses ke layanan lain dari platform Grab, hingga promosi bebas biaya pengiriman dari Bukalapak dapat dimanfaatkan oleh pebisnis.

UMKM yang bergabung dalam program Kota Masa Depan berpeluang untuk mendapatkan beragam manfaat, di antaranya memperoleh peluang pendapatan baru dengan memiliki toko digital sehingga menjaga stabilitas bisnis mereka meskipun di masa pandemi, selain itu UMKM juga bisa mendapatkan subsidi selama 3 bulan sesuai dengan syarat dan ketentuan berlaku, serta kesempatan untuk mengakses untuk layanan lain di platform Grab untuk meningkatkan performa bisnis lebih pesat. Sementara untuk mitra merchant Bukalapak dapat memanfaatkan promo No Ongkir dengan minimal transaksi Rp25.000 sepuasnya untuk menarik sebanyak mungkin pelanggan.

Kekuatan Konten Original dan Olahraga Dukung Pertumbuhan Vidio

PT Vidio Dot Com (Vidio) awalnya diciptakan sebagai situs berbagi video yang didirikan sejak 2014. Situs ini dikelola PT Kreatif Media Karya (KMK), anak usaha PT Elang Mahkota Teknologi (Grup Emtek). Seiring berjalannya waktu, kini Vidio bertransformasi menjadi platform over the top (OTT) yang mampu bertahan di tengah kencangnya persaingan platform serupa selama beberapa tahun terakhir.

Pandemi memperkuat posisi Vidio sebagai platform lokal yang menawarkan konten original dan program unggulan mereka, yaitu olahraga. Kepada DailySocial, Chief Product Officer (CPO) Vidio Hadikusuma Wahab mengungkapkan strategi dan dukungan Emtek terhadap Vidio.

Layanan digital unggulan grup

Bagi Emtek, Vidio merupakan produk unggulan digital yang didorong melengkapi portofolio audienceship—dari TV, portal, hingga platform OTT sebagai satu end-to-end audience reach di pasar Indonesia.

Roadmap Vidio saat ini berfokus pada hal yang dibutuhkan pengguna, mulai dari content journey yang lebih baik untuk eksplorasi konten yang beragam, personalisasi konten yang lebih relevan, sampai perluasan bisnis partnership supaya pengguna bisa akses Vidio lebih murah dan mudah,” kata Hadikusuma.

Secara khusus, Vidio membagi konten mereka antara audiens TV, olahraga, dan entertainment — yang menyukai film, baik lokal seperti original series, sampai konten Asia dan luar negeri. Sports dan Entertainment saat ini diklaim sedang berkembang pesat sesuai dengan animo masyarakat.

“Kami juga melihat bagaimana kekuatan lokal konten, baik di Sports dan Entertainment makin semarak. Penonton Liga 1, Liga 2, dan (nantinya Liga 3), beserta penonton original series lokal Vidio terus menunjukkan peningkatan positif yang memperkuat kedudukan konten lokal sebagai raja konten di Indonesia.”

Beberapa waktu lalu Vidio telah meluncurkan inovasi baru di OTT yang bisa meningkatkan interaksi dengan atau sesama pengguna, dengan meluncurkan fitur Fantasy Team. Pengguna bisa menyusun tim dari klub Liga 1 dan Liga 2 dan berkompetisi sesuai statistik permainan sesungguhnya.

Kerja sama eksklusif dengan Wattpad juga memberikan keuntungan tersendiri bagi perusahaan. Tahun depan Vidio berencana menggandakan jumlah titel original series yang akan diluncurkan. Hal ini diklaim terbanyak dari yang pernah ada di Indonesia.

“Konten original masih relatif baru dan kami harus terus membuat banyak judul. Saat ini Vidio bisa dibilang OTT yang paling agresif memproduksi konten originals dan memanfaatkan data untuk paham audiens user. [..] Kami berencana lebih agresif lagi dengan membuat lebih banyak konten lokal dan juga membeli konten luar, baik sports dan non sports yang menarik bagi pengguna di Indonesia,” kata Hadikusuma.

Dorong pertumbuhan pelanggan berbayar

Selain berlangganan, Vidio juga menyajikan konten-konten gratis dengan iklan. Meskipun demikian, mereka terus mengedukasi masyarakat menikmati konten melalui OTT agar ke depannya bisa dikonversi menjadi pelanggan berbayar.

Di tahun 2021 ini Vidio mencatat peningkatan jumlah pelanggan berbayar lebih dari 2 kali lipat dibandingkan akhir tahun lalu. Hingga saat ini, Vidio sudah memiliki lebih dari 1,5 juta pelanggan berbayar.

“Vidio berkomitmen untuk terus mengedukasi masyarakat Indonesia agar bisa menghargai konten premium dengan menyajikan paket berbayar yang sangat terjangkau, 19 ribu Rupiah per minggu dan 29 ribu Rupiah per bulan, dengan konten yang bisa menjangkau semua anggota keluarga,” kata Hadikusuma.

Selama pandemi Vidio mencatat peningkatan jumlah pelanggan yang baik. Pertumbuhan dari sisi revenue pada Q1 2020 meningkat 3-4x lipat dibanding periode tahun sebelumnya. Lonjakan trafik eksponensial terjadi sekitar bulan April 2020. Kala itu, Vidio menggratiskan tontonan untuk memfasilitasi perubahan perilaku konsumen di fase PSBB pertama.

Application Information Will Show Up Here

Fuse Insurtech Announces the Closing of Series B Funding

Fuse insurtech today (09/8) announced the closing of its series B funding with an undisclosed amount. The round was led by GGV Capital with the participation of previous investors, including East Ventures Growth, SMDV, Golden Gate Ventures, Heyokha Brothers, Emtek, and some undisclosed investors.

The fresh funds will be focused on developing its digital platform and continuing the expansion to other countries in Southeast Asia, outside of Indonesia and Vietnam. Previously, Fuse has secured series A funding in late 2019, led by EV Growth.

This insurtech platform was founded in 2017 by Andy Yeung and Ivan Sunandar. The company claimed to be a pioneer application that focuses on the agent-base model. This is considered relevant to Indonesia, as 97% of the population is still underinsured due to lack of confidence in the current insurance system.

Using the approach, the company is said to record Gross Written Premium (GWP) exceeding $50 million or equivalent to Rp720 billion in 2020 and is confident enough to claim as the largest insurtech platform in Indonesia [by transaction].

Fuse has partnered with 30 insurance companies, offering more than 300 products, including through employee benefit programs and integrated e-commerce sites.

“We always focused on product innovation and will continue to invest in developing platforms that make insurance accessible and affordable to everyone in Southeast Asia. A total of 7 insurance companies have chosen Fuse to be their strategic insurtech partner in Indonesia,” the CEO, Andy Yeung said.

Market competition

Discovering the current insurtech landscape in Indonesia, Fuse’s two closest competitors, in terms of business size, are PasarPolis and Qoala. With different metrics, PasarPolis confirmed, as of August 2020 they had issued 70 million new policies every month. The total successful policies released in 2019 reached 650 million in its operational countries, Indonesia, Thailand and Vietnam.

Earlier this year, PasarPolis secured IDR 70 billion funding from IFC, following the IDR 796 billion Series B round which was announced in September 2020. The startup is backed by several investors, including LeapFrog Investments, SBI Investment, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, etc.

Another insurtech startup is Qoala. Last April 2020 the firm announced 209 billion Rupiah series A funding led by MDI Ventures through the Centauri Fund. Also participated several investors including Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, Mirae Asset Sekuritas, Central Capital Ventura, SeedPlus, etc.

Since March 2020, the company claims to have proceed more than 2 million policies per month, the number increased from the previous one 7,000 policies per month in March 2019.

Market potential

According to DSInnovate data in the “Insurtech Report 2021“, the GWP recorded by the insurance industry in Indonesia has reached $20.8 billion in 2020. The number is dominated by Life insurance with 73.8%.

Although the pandemic has affected its emerging penetration in Indonesia, this sector was relatively able to recover quickly as viewed from the Gross Premium Income.

The insurtech potential to democratize the insurance business in Indonesia is wider than ever, including in the context of capturing new users and educating the market. Further from the report, there are several important factors to encourage insurance adoption in Indonesia in relation to digital services.

First, in terms of the claim process, convenience is the key (48% of respondents). Moreover, the service provider brand must be convincing (39%). Furthermore, proceed with costs (37%) and benefits provided (11%).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup Insurtech Fuse Umumkan Perolehan Pendanaan Seri B

Startup insurtech Fuse hari ini (09/8) mengumumkan penutupan pendanaan seri B. Tidak disampaikan nominal investasi yang didapat. Adapun putaran ini dipimpin oleh GGV Capital dengan keterlibatan investor sebelumnya, termasuk East Ventures Growth, SMDV, Golden Gate Ventures, Heyokha Brothers, Emtek, dan sejumlah investor yang tidak disebut identitasnya.

Dana segar yang didapat akan difokuskan untuk pengembangan platform digital mereka dan melanjutkan ekspansi ke negara lain di Asia Tenggara, di luar Indonesia dan Vietnam. Sebelumnya Fuse mendapatkan pendanaan seri A pada akhir 2019, dipimpin oleh EV Growth.

Platform insurtech ini didirikan sejak 2017 oleh Andy Yeung dan Ivan Sunandar. Mereka mengklaim sebagai aplikasi pionir yang berfokus pada model keagenan. Hal ini dinilai relevan dengan kondisi di Indonesia, sebanyak 97% dari populasi masih berstatus underinsured dikarenakan kurang percaya dengan sistem perasuransian yang ada saat ini.

Dengan pendekatan tersebut, perusahaan juga mengatakan telah mampu membukukan Gross Written Premium (GWP) melebihi $50 juta atau setara Rp720 miliar pada 2020 dan cukup percaya diri untuk mengklaim jadi platform insurtech terbesar di Indonesia [secara transaksi].

Fuse juga telah bermitra dengan 30 perusahaan asuransi, menyajikan lebih dari 300 produk, termasuk melalui program employee benefit dan terintegrasi di situs e-commerce.

“Kami selalu fokus pada inovasi produk dan akan terus berinvestasi dalam mengembangkan platform yang membuat asuransi dapat diakses dan terjangkau oleh semua orang di Asia Tenggara. Sebanyak 7 perusahaan asuransi telah memilih Fuse untuk menjadi mitra strategis insurtech mereka di Indonesia,” kata CEO Andy Yeung.

Kompetisi pasar

Melihat lanskap insurtech di Indonesia saat ini dua pesaing terdekat Fuse, jika dilihat dari sisi ukuran bisnis, adalah PasarPolis dan Qoala. Dengan metrik yang berbeda, PasarPolis menyebut, per Agustus 2020 mereka telah menerbitkan 70 juta polis baru setiap bulan. Adapun total polis yang berhasil dirilis pada tahun 2019 mencapai 650 juta polis di negara mereka beroperasi, yakni Indonesia, Thailand, dan Vietnam.

PasarPolis awal tahun ini mendapatkan pendanaan 70 miliar Rupiah dari IFC, melanjutkan perolehan pendanaan 796 miliar Rupiah untuk putaran seri B yang diumumkan pada September 2020 lalu. Startup ini didukung beberapa investor, termasuk LeapFrog Investments, SBI Investment, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, dll.

Adapun startup insurtech lainnya ada Qoala. April 2020 lalu mereka membukukan pendanaan seri A senilai 209 miliar Rupiah yang dipimpin MDI Ventures melalui Centauri Fund. Turut mendukung beberapa investor termasuk Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, Mirae Asset Sekuritas, Central Capital VEntura, SeedPlus, dll.

Sejak Maret 2020, perusahaan mengklaim telah mampu memroses lebih dari 2 juta polis per bulan, naik dari sebelumnya sebanyak 7.000 polis per bulan pada Maret 2019.

Potensi pasar

Menurut data yang diolah DSInnovate dalam “Insurtech Report 2021“, GWP yang telah dibukukan industri perasuransian di Indonesia telah mencapai $20,8 miliar pada tahun 2020. Asuransi jiwa mendominasi angka dengan persentase 73,8%.

Kendati sempat terdampak pandemi di awal kemunculannya di Indonesia, namun sektor ini relatif bisa cepat pulih jika dilihat dari Gross Premium Income yang didapat.

Potensi insurtech untuk mendemokratisasi bisnis asuransi di Indonesia masih terbuka sangat lebar, termasuk dalam rangka menjaring pengguna baru dan mengedukasi pasar. Masih dari laporan di atas, dari survei yang dikutip terdapat beberapa faktor penting yang dapat mendorong adopsi asuransi di Indonesia, dalam kaitannya dengan layanan digital.

Pertama dari sisi proses klaim yang harus memudahkan (48% responden). Kemudian yang kedua terkait brand penyedia layanan yang harus meyakinkan (39%). Lalu dilanjutkan biaya (37%) dan manfaat yang diberikan (11%).

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Berniat Melantai di Bursa AS dengan IPO Lokal sebagai Pendahulu

Tampaknya 2021 akan banyak diramaikan oleh rencana IPO dari sejumlah startup Indonesia. Setelah GoTo dan Tiket.com, baru-baru ini Bukalapak dikabarkan telah mengajukan permohonan untuk melakukan penawaran saham perdananya di Jakarta.

Berita ini sekaligus mengonfirmasi kabar Bukalapak yang sempat mempertimbangkan IPO beberapa waktu lalu. Namun, perwakilan Bukalapak, seperti diberitakan SCMP, menyebut pihaknya belum membuat keputusan apapun terkait hal ini.

Menurutnya, saat ini Bukalapak masih mencari peluang pertumbuhan dan akses permodalan. “Fokus kami adalah menemukan strategi yang tepat untuk menjadi perusahaan sustainable dan menciptakan value bagi mitra dan pengguna dalam jangka panjang,” ungkapnya.

Jika IPO ini terealisasi, aksi korporasi ini akan menjadikan Bukalapak sebagai salah satu startup teknologi besar pertama yang go public di Indonesia. Adapun, DailySocial telah mencoba mengonfirmasi kabar ini ke eksekutif Bukalapak, namun belum ada respons dari pihak terkait hingga berita ini diturunkan.

Jajaran investor Bukalapak

Sebagaimana dirangkum DealStreetAsia, saat ini ada tiga pemegang saham mayoritas yang menguasai sebesar 61,9% kepemilikan di Bukalapak, antara lain PT Kreatif Media Karya (31,9%), API (Hong Kong) Investment Limited (17,4%), dan GIC Singapore melalui Archipelago Investment Pte Ltd (12,6%).

Secara keseluruhan, terdapat total 47 pemegang saham di Bukalapak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13 pemegang saham menggenggam 90,46%. Sementara, 34 lainnya hanya memegang kepemilikan saham dalam jumlah kecil, termasuk Co-founder Bukalapak Achmad Zaky Syaifudin yang menguasai 5,8%, Muhamad Fajrin Rasyid sebesar 3,53%, dan Nugroho Herucahyono 2,78%.

Sekadar informasi, Kreatif Media Karya (KMK) adalah anak usaha bisnis digital dari PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTEK), perusahaan konglomerasi media dan teknologi milik Sariaatmadja. Ant Group selaku induk usaha Alibaba menguasai saham Bukalapak melalui API (Hong Kong) Investment Limited.

Baik EMTEK dan API, sama-sama mayoritas saham di platform uang digital DANA. Sebagai tambahan, API memiliki 45% saham DANA lewat anak perusahaan tidak langsung, yakni PT Elang Andalan Nusantara.

Lebih lanjut, beberapa investor menggunakan lebih dari satu kendaraan untuk berinvestasi di Bukalapak. Ambil contoh, Indies Capital Partners berinvestasi lewat dua perusahaan, yaitu Komodo Indigo Investment Ltd (0,51%) dan Komodo Opportunity Venture 1 Ltd (0,51%).

Kemudian, perusahaan ventura berbasis di AS 500 Startups mengalokasikan investasi melalui sejumlah dana kelolaan antara lain 500 Durians II LP, 500Durians LP, 500 Kimchi LP, 500 Startups III, dan 500 Startups IV LP.

Jika dirinci berdasarkan negara asal, tiga pemegang saham teratas Bukalapak terdiri dari Indonesia sebesar 50,96%, diikuti Hong Kong di urutan kedua sebesar 21,62%, dan Singapura 16,58%.

Listing AS lewat pendahulu jalur lokal

Bukalapak juga dilaporkan telah mengajukan listing proposal ke Bursa Efek Indonesia (BEI), dan diperkirakan dapat terealisasi pada awal Agustus. Untuk itu, platform e-commerce ini menunjuk Mandiri Sekuritas dan UBS AG Indonesia sebagai underwriter untuk listing di dalam negeri.

Sementara itu, Bukalapak juga menunjuk Merrill Lynch untuk mengeksplorasi peluang go public di Amerika Serikat (AS). Rencana IPO di Indonesia diyakini sebagai upaya awalan sebelum mendarat di bursa saham AS yang berpotensi terjadi melalui kendaraan Special Purpose Acquisition Company (SPAC).

Selain Bukalapak, startup lainnya juga tengah menjajaki upaya serupa lewat kendaraan perusahaan cek kosong atau SPAC, seperti Traveloka, GoTo, Grab, dan Ticket.com. Bahkan pemerintah telah memberikan lampu hijau dengan menyiapkan sejumlah relaksasi. Salah satunya adalah menerbitkan saham kelas ganda (dual class share).

Dengan upaya IPO sebagai upaya mencari akses permodalan, Bukalapak ingin membidik target pasar yang lebih luas, yaitu ke wilayah-wilayah pedalaman. Hal ini juga dilakukan untuk menghindari head-to-head dengan dua pesaing terbesarnya Tokopedia dan Shopee yang lebih banyak menguasai pasar di kota-kota besar atau metropolitan.

Bukalapak juga melihat peluang di mana sebanyak 70% retailer di Indonesia adalah toko yang dikelola keluarga. Untuk membidik segmen ini, mereka telah bermitra dengan 500 ribu warung di Indonesia.

Terlebih di situasi pandemi Covid-19, tak sedikit pelaku bisnis dan merchant di Indonesia yang terpaksa mengalihkan layanannya ke online demi mempertahankan bisnis. Sejumlah platform e-commerce mendapatkan keuntungan dari akselerasi digitalisasi ini.

Dengan strategi tersebut, Bukalapak ingin mengadaptasi taktik online-to-offline (O2O) yang digunakan raksasa e-commerce Alibaba Group dan Amazon kepada pasar yang lebih matang. Di sini, pelanggan memiliki pilihan untuk menjelajah di toko fisik yang dikombinasikan dengan penawaran dari platform digital.

Application Information Will Show Up Here

Behind the Participation of Local Conglomerates in Grab’s Pre-IPO

Grab has officially announced to go public on the United States stock exchange using SPAC in collaboration with Altimeter Growth Corp ($AGC). Although it is not fixed on the finalization process, the market currently shows a positive response.

It is proven by the participation of several conglomerates in Indonesia to for the pre-IPO. There are three Indonesian representatives interested in participating through PIPE (Private Investment in Public Equity), Djarum Group, Sariaatmadja Family (EMTEK Group), and Sinar Mas Group. In total there are 14 investors involved in PIPE.

Grab is targeting $ 39.6 billion (around Rp.580 trillion) valuation and raising $500 million fresh fund from $AGC and $4 billion through PIPE. A total $750 million poured as Altimeter’s commitment.

The arrival of the three local conglomerates deserves attention, as they are also affiliated with various digital businesses in the ecosystem. We tried to make the outline through the following mind map :

The figure above shows an interesting (indirect) relationship. Each of them can be said to be affiliated with digital business leaders in Indonesia today – even though they are also competing in the same market share.

Apart from its own service, Grab in Indonesia is affiliated with Ovo (supported by the Lippo Group) – the local unicorn Tokopedia also owned shares in the payment platform. Regarding payments, Grab also involved in LinkAja’s funding, which Gojek is also part of. It implies that both superapps provide a payment option from the service formerly known as TCash.

Recently, Grab (via H Holdings) also reportedly entered into Emtek through PMTHMETD, along with Naver. It stirs up the rumors of the merger between Ovo and Dana – especially since the disclosure of Emtek that is no longer Dana’s main shareholder. Since 2019, Grab has been one of the parties that encouraged the merger of the two payment platforms.

In the loop of three Indonesian conglomerates that have joined PIPE, Grab has several strategic attachments in supporting startups operating in Indonesia. On the other hand, with its competitors [including the Gojek-Tokopedia merger plan] some of the investors are crossing path.

The entrance of Djarum, Emtek and Sinar Mas in the Grab IPO comes with two perspectives. First, there is activity in corporations to take a deeper share in working on the digital economy in Southeast Asia. Second, it is not impossible if even greater consolidation between players will occur at a later date – previously Grab-Gojek had been rumored to merge before the IPO.

Market enthusiasm for the Grab IPO can also set a good precedent for similar exit initiatives for other unicorns and take the digital ecosystem – particularly in Indonesia – to the next level. The success of their exit [unicorn] can be interpreted as business maturity and open the door of opportunities for the next unicorn-to-be.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Memaknai Bergabungnya Beberapa Konglomerat Lokal di Pra-IPO Grab

Grab telah resmi mengumumkan rencananya untuk go public di bursa saham Amerika Serikat menggunakan SPAC bekerja sama dengan Altimeter Growth Corp ($AGC). Kendati belum ada kepastian kapan proses persiapan akan selesai, sejauh ini pasar menyambut cukup baik inisiatif ini.

Salah satunya dibuktikan dengan minat beberapa konglomerat di Indonesia untuk berpartisipasi dalam penawaran pra-IPO. Ada tiga pihak dari Indonesia yang tertarik berpartisipasi melalui PIPE (Private Investment in Public Equity), yakni Grup Djarum, Keluarga Sariaatmadja (Grup EMTEK), dan Grup Sinar Mas. Secara total ada 14 investor yang terlibat dalam PIPE.

Grab menargetkan valuasi $39,6 miliar (sekitar Rp580 triliun) dan perolehan dana segar $500 juta dari $AGC dan melalui PIPE senilai $4 miliar. Senilai $750 juta di antaranya merupakan komitmen Altimeter.

Masuknya tiga konglomerat lokal tersebut layak menjadi perhatian, pasalnya mereka juga telah terafiliasi pada berbagai bisnis digital di ekosistem. Kami mencoba memetakannya melalui mind map berikut ini:

Peta di atas menunjukkan hubungan (tidak langsung) yang menarik. Masing-masing bisa dikatakan terafiliasi dengan pemimpin bisnis digital yang ada di Indonesia saat ini – kendati juga bersaing di pangsa pasar yang sama.

Selain mengoperasikan layanannya sendiri, Grab di Indonesia terafiliasi dengan Ovo (didukung konglomerat Grup Lippo) – unicorn lokal Tokopedia juga memiliki saham di platform pembayaran tersebut. Terkait pembayaran, Grab juga terlibat dalam pendanaan LinkAja, yang mana Gojek juga melakukan hal yang sama. Implikasinya di kedua superapp tersebut kini ada opsi pembayaran dari layanan yang dulunya bernama TCash tersebut.

Baru-baru ini Grab (via H Holdings) juga dikabarkan masuk ke dalam kepemilikan saham Emtek melalui PMTHMETD, bersama dengan Naver. Membuat rumor rencana merger antara Ovo dan Dana makin kencang – terlebih berdasarkan keterbukaan saat ini Emtek bukan lagi jadi pengendali induk Dana. Sejak 2019 lalu Grab memang menjadi salah satu pihak yang mendorong penggabungan bisnis kedua platform pembayaran tersebut.

Bersama tiga konglomerat Indonesia yang masuk ke PIPE, Grab memiliki beberapa keterikatan strategis dalam mendukung startup yang beroperasi di Indonesia. Di lain sisi, dengan para kompetitornya [termasuk rencana gabungan Gojek-Tokopedia] sebenarnya masih ada irisan sama di barisan investor.

Masuknya Djarum, Emtek, dan Sinar Mas di IPO Grab sejauh ini dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, adanya geliat pada korporasi untuk ikut andil lebih dalam lagi menggarap ekonomi digital di Asia Tenggara. Kemudian yang kedua, bukan tidak mungkin jika konsolidasi antarpemain yang lebih besar lagi akan terjadi di kemudian hari – sebelumnya memang sudah beredar kabar Grab-Gojek akan merger sebelum IPO.

Antusias pasar terhadap IPO Grab juga dapat menjadi preseden baik untuk inisiatif exit serupa bagi unicorn lainnya dan membawa ekosistem digital – khususnya di Indonesia – beranjak ke tingkatan selanjutnya. Keberhasilan exit mereka [unicorn] dapat diartikan sebagai kematangan bisnis dan terbukanya peluang untuk regenerasi calon unicorn selanjutnya.


Gambar Header: Depositphotos.com