Merangkum Upaya Bank Digital Tetap Relevan Dorong Inklusi Keuangan

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) kembali memperluas sinerginya ke dalam ekosistem Grup GoTo. Setelah Gojek, Bank Jago kini berkolaborasi dengan lini bisnis keuangan untuk menyediakan layanan GoPay Tabungan di aplikasi Jago.

Model kolaborasi ini bisa jadi belum ada di Indonesia mengingat GoPay dikenal sebagai platform pembayaran. Sebelumnya, sinergi awalnya adalah menghadirkan Bank Jago sebagai opsi pembayaran di aplikasi Gojek. Transaksi GoRide, GoFood, atau GoSend akan otomatis memotong saldo di Bank Jago.

“GoPay Tabungan by Jago menjawab tantangan masyarakat unbanked. GoPay Tabungan by Jago adalah rekening transaksi sehari-hari pertama di Indonesia yang menggabungkan layanan uang elektronik (e-money) yang simpel dengan keunggulan bank,” ujar Presiden Unit Bisnis Financial Technology GoTo Hans Patuwo dalam keterangan resminya.

GoPay Tabungan dapat digunakan untuk transfer, menyimpan uang untuk transaksi sehari-hari hingga mengajukan pinjaman di dalam satu aplikasi. Lewat aplikasi GoPay atau Gojek, pengguna dapat mengubah saldo GoPay menjadi GoPay Tabungan by Jago dengan klaim dalam dua menit.

Kolaborasi ini juga memungkinkan mengingat GoPay selama ini terikat dengan aplikasi Gojek. Pasca-spin off beberapa bulan lalu, GoPay dapat memperluas layanan mereka dan dapat menjangkau lebih banyak kebutuhan masyarakat.

Kolaborasi dorong inklusi

Sejak ramai kehadiran bank digital beberapa tahun lalu, kolaborasi terus digencarkan untuk mendorong inklusi keuangan. Misi awalnya adalah menyentuh kalangan unbanked dan underbanked yang punya keterbatasan terhadap akses keuangan. Kalangan ini rata-rata tidak memiliki rekening, terhambat lokasi ATM yang jauh, atau tidak punya akses internet.

Bank digital mengambil berbagai pendekatan berbeda, salah satunya lewat kolaborasi dengan platform digital, baik itu e-commerce, ride hailing, atau e-wallet. Kolaborasi ini juga seiring bertumbuhnya perilaku dan transaksi digital. Menurut data Bank Indonesia (BI), jumlah populasi unbanked di Indonesia mencapai 97,7 juta orang atau 48% dari total penduduk. Adapun, nilai transaksi digital banking di Indonesia menembus hampir Rp4,3 kuadriliun per April 2023.

Berbeda dengan model perbankan konvensional yang masih mengandalkan kantor cabang untuk interaksi fisik dengan teller ketika ingin membuat rekening baru, bank digital menggandeng platform digital untuk memudahkan pembukaan rekening, transaksi pembayaran, atau pinjaman. Beberapa kerja sama yang telah terjalin di antaranya adalah:

  1. Bank Jago dan Gojek
    Proses onboarding Bank Jago hadir di dalam aplikasi Gojek. Sinergi lainnya adalah menghubungkan Kantong (Pocket) sebagai opsi pembayaran di aplikasi Gojek. Pengguna bisa bertransaksi layanan apa pun, mulai dari makanan, transportasi, hingga tagihan.
  2. Standard Chartered dan Bukalapak
    Kerja sama strategis ini menghasilkan produk tabungan BukaTabungan, yang mana memungkinkan pengguna untuk melakukan penarikan dana via jaringan Mitra Bukalapak.
  3. Bank Aladin dan Alfamart
    Berbeda dengan bank digital lain, Bank Aladin meyakini bahwa ekosistem offline menjadi kunci untuk merangkul segmen unbanked dan underbanked di Indonesia, terutama yang menyentuh kegiatan keseharian. Tesis ini menjelaskan kemitraan strategisnya dengan pemilik jaringan ritel nasional Alfamart.

Setelah strategi untuk memudahkan proses onboarding, pemain bank digital terus menggulirkan fitur/layanan agar memudahkan pengguna mengakses keuangannya, seperti pembayaran via QRIS dan setor-tarik tunai tanpa kartu ATM. Apalagi, masyarakat masih terbiasa denga layanan perbankan yang  karena punya presensi fisik.

Baru-baru ini, Direktur Strategy, Corp. Communication, dan Investor Relation Bukalapak Carl Reading mengatakan bahwa kondisi masyarakat saat ini mungkin belum siap untuk menikmati pengalaman digital sepenuhnya. Hal ini juga yang membuat integrasi Bukalapak dengan mitra strategis keuangannya berjalan lambat.

“Kami berencana menggunakan Mitra sebagai penghubung perbankan digital antara dunia digital dan komunitas di pedalaman untuk dapat melakukan setoran dan penarikan uang tunai,” tutur Carl dalam paparan publik Bukalapak beberapa waktu lalu.

Terlepas dengan kolaborasi yang sudah berjalan, nyatanya populasi unbanked tercatat masih besar. Namun, kondisi ini membuka ruang pertumbuhan bagi industri perbankan, keuangan, dan ekosistem digital untuk mengeksplorasi model kemitraan yang beneficial bagi masyarakat, khususnya di daerah.

Sains sebagai Akar Inovasi, Cerita DELOS Dorong Petambak Udang Berdaya Saing

Perjuangan untuk digitalisasi di industri akuakultur terus digalakkan oleh banyak pihak. Di tengah potensinya yang menggiurkan, menurut Food and Agriculture Organization, Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 10 negara peringkat teratas produksi akuakultur, namun banyak proses hulu hingga hilir yang dilakukan secara manual. Kendala tersebut memengaruhi berjalannya proses produksi budidaya di negara ini.

Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, Alexander Farthing, dan Aristya Noerhadi, dengan latar belakang dari multidisiplin, mencakup akuakultur, ilmu kelautan dan mikrobiologi, serta teknologi dan kewirausahaan; memutuskan untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Kemudian DELOS pun lahir pada November 2021. DELOS memperkenal misi “Revolusi Biru”, yakni sebuah cara untuk mengembangkan dan memodernisasi teknologi akuakultur Indonesia agar mampu bersaing dengan pemain sejenis di skala global.

DELOS fokus pada budidaya udang karena merupakan komoditas laut di Indonesia yang paling besar dan berharga. Berdasarkan data yang dikutip DELOS, pertambakan udang adalah industri yang besar tapi tidak optimal. Nilai ekspornya di Indonesia saat ini berada di kisaran $2-2,5 miliar, seharusnya angka tersebut bisa menjadi setidaknya $4-5 miliar per tahun karena Indonesia memiliki garis pantai, iklim, dan masyarakat yang sulit dikalahkan.

“Kenapa industri budidaya maritim Indonesia yang besarnya miliaran USD per tahun, tetap ketinggalan dibandingkan negara lain? Jawaban dari pertanyaan ini menarik, karena jawabannya sama-sama sederhana dan rumit. Sederhananya, tidak banyak petambak yang memiliki kemampuan finansial untuk investasi di bidang teknologi budidaya atau pengertian teknis tentang teknologi budidaya, sehingga akhirnya ketinggalan dengan petambak-petambak di negara lain,” ucap Guntur kepada DailySocial.id.

Ia melanjutkan, jawaban lebih rumitnya ini berkaitan dengan masalah sistemik. Bila dilihat secara makro, masalah-masalah ini berasal dari kurangnya perkembangan dan aplikasi sains pertambakan di Indonesia; kurangnya inklusi finansial di industri pertambakan; kurangnya adopsi teknologi terkini di industri pertambakan; dan kurangnya tenaga-tenaga ahli dan keahlian yang berkembang di industri pertambakan.

“Gabungan dari keempat poin di atas merupakan faktor-faktor yang memengaruhi kurangnya kemajuan industri pertambakan kita. Kurangnya inklusi finansial dari institusi finansial negeri kita berkontribusi kepada seretnya investasi yang bisa diperoleh industri pertambakan, sehingga membuat harga inovasi, bahkan investasi berkepanjangan, tak terjangkau,” sambungnya.

Guntur bilang, “Kurangnya investasi ini membuat pelatihan dan perkembangan tenaga ahli sangat lambat, bahkan tidak mencukupi untuk target perkembangan industri. Kurangnya tenaga ahli dan investasi membuat riset, perkembangan dan aplikasi sains, dan adopsi teknologi menjadi sulit untuk dipercepat.”

Sumber: DELOS

Solusi DELOS

Guntur menjelaskan, sains adalah akar dari industri akuakultur ini karena memiliki proses yang panjang untuk membuat penemuan baru dan menjadikan penemuan-penemuan itu menjadi sesuatu yang bisa diterapkan di lapangan. Dalam menjalani proses tersebut, DELOS mengangkat perspektif yang sedikit berbeda dalam memperkenalkan teknologi kepada petani udang.

“Kita anggap sebuah tambak bagaikan sebuah komputer, maka kita bisa lihat bahwa tambak akan membutuhkan hardware dan software. Selain itu, tambak membutuhkan update sehingga teknologi yang ada sekarang bisa menjadi lebih baik lagi. Teknologi peningkatan produktivitas DELOS dinamakan Aquahero, produk yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan dan daya saing petambak Indonesia.”

Aquahero ini ditenagai dengan algoritma prediktif yang dinamai PrawnHub Engine (PH Engine). Mesin tersebut sedang diprogram agar dapat gunakan ratusan hingga ribuan hektar tambak yang telah dikelola perusahaan sebagai dataset. Dataset akan dicerna oleh mesin sehingga DELOS bisa memberikan rekomendasi operasional kepada petambak.

“Selebihnya, kami juga menginstalasikan SOP yang sudah kami riset ke tambak-tambak mitra kami, sehingga mereka bisa menggunakan SOP yang terbaru dan terbarukan, yang sudah terbukti meningkatkan produktivitas. Ini semua didampingi oleh tim DELOS ahli, full-time, untuk mengawasi dan membimbing tambak-tambak mitra kami.”

Sementara itu, dari sisi perangkat kerasnya, ada beberapa poin instalasi infrastruktur yang sudah ada dan harus diinstalasikan. Contohnya, IoT seperti auto-feeder, sanitasi air, pengolahan limbah, dan laboratorium agar kualitas air tetap terjaga. DELOS juga terus melakukan pembaruan di teknologi tersebut dengan riset agar harga capex bisa ditekan dan harga lebih terjangkau.

“Kami sudah mulai riset tentang genetika udang dan penyakit udang (virus dan bakteri) sehingga bisa mulai membuat proses dan alat uji penyakit lebih cepat dan murah, agar dapat menjangkau semua petambak di Indonesia. Kami juga sedang bekerja sama dengan institusi finansial untuk membuat akses finansial lebih mudah untuk mitra-mitra tambak kami.”

Selain produktivitas, DELOS juga turut mengatasi rantai pasok yang terintegrasi ke pasar luar negeri dan akses keuangan masih menjadi masalah mendasar bagi industri akuakultur Indonesia. Lewat solusi AquaLink, memungkinkan petambak udang dengan pemasok untuk memfasilitasi penjualan hasil panen dengan harga dan sistem pembayaran yang terbaik.

Tantangan selanjutnya yang akan dijawab oleh DELOS adalah akses finansial dan kesulitan permodalan yang dialami banyak petambak independen. Lantaran, banyak petambak terpaksa menggunakan uang dari kantong mereka sendiri sebagai modal usaha. Ini merupakan hambatan besar karena banyak petambak yang tidak memiliki rencana cadangan jika tambak udang mereka tidak menghasilkan keuntungan.

Melalui AquaBank, DELOS menghadirkan layanan pendanaan yang dilengkapi dengan penilaian risiko dan kebutuhan yang unik untuk setiap tambak dan pemiliknya. Dengan demikian, petambak dapat terbantu mencapai kesuksesan.

Guntur melanjutkan, masing-masing produk dan jasa memiliki strategi go-to-market (GTM) dan timeline yang berbeda-beda. Semuanya ini kembali berakar pada sains. Sains memiliki proses yang panjang untuk membuat penemuan baru dan menjadikan penemuan-penemuan itu menjadi sesuatu yang bisa diterapkan lapangan.

Ia pun meyakini lewat kerja sama dengan banyak petambak dan laboratorium di seluruh Indonesia, DELOS optimistis solusinya yang sedang dalam uji riset dapat diaplikasikan dalam satu hingga dua tahun mendatang, terutama yang sifatnya berbasis SOP dan membutuhkan dataset yang besar.

“Untuk hal-hal yang bersifat genetik, mungkin akan membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama. Namun, kami percaya bahwa terobosan-terobosan ilmiah ini harus dikerjakan dan diterapkan, agar Indonesia bisa menjadi pemimpin dunia dalam budidaya maritim.”

Sumber: DELOS

Rencana berikutnya

Di samping bisnis, DELOS juga menaruh perhatian besar bagi pengembangan sumber daya manusia dalam industri akuakultur. Pihaknya akan mendirikan DELOS Maritime Institute (DMI) di Yogyakarta sebagai pusat pelatihan dengan kurikulum kelas dunia dan praktik lapangan, untuk menciptakan generasi baru siap kerja di bidang akuakultur sebagai manajer tambak, teknisi, asisten laboratorium, maupun petugas lapangan.

Selain itu, DMI juga akan menjadi pusat penelitian ilmiah dan teknologi di bidang akuakultur, di antaranya pendeteksian dini dan pencegahan penyakit hewan ternak serta inovasi infrastruktur tambak. “Proses edukasinya cukup panjang, tetapi memang kami siapkan tim untuk mengurus masing-masing mitra petambak. Kami ibaratkan tambak seperti sekolah dan lab besar, sehingga proses pembelajaran tidak pernah berhenti.”

Diklaim, sejak pertama kali beroperasi hingga kini, DELOS on track untuk menjalankan pendampingan 100 hektare tambak udang intensif dan super-intensif dalam waktu dekat. Permintaan dari berbagai wilayah untuk disambangi DELOS turut membludak.

“Lebih dari 600 hektar tambak yang masih menunggu sentuhan DELOS. Kami memang ingin mendorong Indonesia untuk sadar bahwa lautan kita yang luas memiliki potensi besar untuk menjadi sumber penggerak ekonomi nasional yang besar dan berkelanjutan.”

Dalam menjalankan bisnisnya, Guntur mengaku bahwa DELOS memiliki falsafah bisnis yang cukup sederhana: value creation dan value capture. Untuk create value, atau menciptakan nilai tambah, di industri pertambakan dengan cara meningkatkan hasil produksi industri secara menyeluruh.

Selebihnya, pihaknya akan mulai mencari untung ketika industri sudah merasakan dampak positif operasional dan kontribusi DELOS. Semua solusi yang ditawarkan sifatnya kolaboratif. “Semua tambak-tambak kami bermitra dengan kami, entah itu solusi peningkatan produktivitas, solusi supply chain, atau solusi financing. Yang kami berusaha untuk bangun adalah kepercayaan dan hubungan kerja jangka panjang.”

Genjot Inklusi Belakangkan Literasi: Janjikan Untung, Malah Jadi Buntung

Saya ingat betul, awal tahun 2020 lalu memutuskan untuk membeli buku “The Intelligent Investor” karya Benjamin Graham. Buku tersebut saya beli setelah mengikuti beberapa sesi diskusi seputar investasi dan rekomendasi dari teman-teman yang saya percaya. Di balik itu, sebenarnya niatan saya mengkhatamkan buku itu tak lain untuk meyakinkan diri bahwa investasi di pasar modal dan/atau reksa dana bisa menjadi pilihan yang tepat untuk mengamankan aset dari inflasi.

Jujur, saya baru benar-benar mulai fokus berinvestasi di pasar modal dan reksa dana awal 2022 — dengan artian secara konsisten setiap bulan selalu menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk dimasukkan ke sana. Butuh waktu lebih dari 2 tahun untuk meyakinkan diri, riset, belajar, dan eksperimen terkait instrumen investasi ini.  Sebelumnya, saya cukup konvensional dalam berinvestasi.

Dengan proses yang panjang tersebut, ternyata membuat saya tergolong “ketinggalan zaman”, karena banyak teman di sekeliling sudah memulai investasi saham dan reksa dana sejak beberapa tahun belakangan. Persisnya saat wealthtech app ala Ajaib, Bibit, Pluang, dan sejenisnya beranjak populer.

Namun, dengan proses pendalaman yang cukup lama ini, setidaknya saya sudah tidak kaget ketika mendapati salah satu portofolio saham saya mendapati return minus lebih dari 30%. Karena saat membeli saham perusahaan tersebut, saya merasa sudah tahu bagaimana strategi dan arah perusahaan tersebut akan berkembang – toh saya tidak biasa membuka aplikasi investasi setiap hari, bahkan cenderung saat hendak top-up saja, setidaknya untuk masa sekarang.

Menyepelekan pemahaman

Sayangnya tidak semua orang memulai investasi dengan kesiapan – atau setidaknya pemahaman dasar mengenai instrumen yang hendak dimasuki. Alih-alih menempatkan kegiatan tersebut sebagai bagian dari kebutuhan terencana, tidak sedikit yang hanya bermodal motivasi biar tidak ketinggalan jaman, istilah kekiniannya FOMO (Fear Of Missing Out). Lihat saja di forum-forum diskusi investasi, nilai saham naik-turun satu digital sudah banyak yang teriak-teriak merugi atau melaba.

Memang sebagian tujuannya trader, alias mencari keuntungan dari transaksi jual-beli, namun tetap saja tanpa pemahaman yang benar ujung-ujungnya akan merugi sendiri. Tidak usah jauh-jauh, kita saksikan pemberitaan media mainstream yang akhir-akhir ini heboh soal kasus aplikasi binary option yang ternyata terindikasi judi. Bermodal keinginan untuk kaya secara instan, akses mudah ke platform, dan grup diskusi yang dimentori influencer, orang dengan mudah mempertaruhkan aset mereka untuk sesuatu yang kurang dipahami risikonya.

Mudah termakan jargon

Faktanya, menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019 oleh OJK, indeks literasi keuangan sebesar 38,03%; sementara indeks inklusi keuangan sebesar 76,19%. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia secara umum belum memahami dengan baik karakteristik dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan. Sementara terkait akses ke layanan keuangan justru telah terbuka lebar dan sudah banyak dimanfaatkan.

Lantas, apa yang memotivasi orang-orang untuk sangat berani meletakkan aset mereka ke instrumen investasi tertentu – termasuk mereka yang dirugikan karena binary option alias judi berkedok investasi? Seperti diketahui salah satu strategi pemasaran platform investasi adalah dengan menggembor-gemborkan jargon-jargon yang cukup menggugah. Misalnya dengan selalu menggoreng pernyataan kurang lebih: “investasi yang risikonya tinggi akan berbanding dengan hasil pengembalian yang tinggi, pun demikian sebaliknya.” Tidak ada salahnya, tapi kadang kurang pas pemahaman yang ditangkap.

Selain itu masih banyak jargon-jargon persuasif lain yang secara langsung memang membuat para pembacanya terdorong untuk turut andil dalam hype investasi ini. Belum lagi dibumbui dengan promo dan diskon yang banyak disuguhkan untuk pengguna awal. Dengan proses on-boarding ke platform yang memang relatif mudah, tak ayal kemudian banyak yang bergabung dengan bermodal coba-coba. Belum lagi program afiliasi berhadiah fantastis yang turut pengguna untuk mengajak orang-orang di sekitarnya bergabung. Sekali lagi, ini tidak ada salahnya, namun pemahaman mengenai risiko sering dihiraukan.

Kewajiban melakukan edukasi

Terkait kasus binary option yang baru-baru ini terjadi, salah satu strategi yang dilakukan untuk menggaet ‘korban’ adalah dengan memermak seorang ikon menjadi sosok yang sukses berjuluk “crazy rich”. Flexing tersebut ternyata berhasil menyita perhatian publik dan bikin orang bertanya-tanya bagaimana agar bisa menjadi berlimpah harta seperti mereka. Diikutilah cara-cara mereka dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, walau pada akhirnya tidak akan pernah menang seperti mereka.

Teknik tersebut berhasil. Nyatanya sebuah grup Telegram yang dikelola salah satu sosok tersebut mampu menjaring lebih dari 220 ribu anggota aktif.

Korban-korban ini sejatinya ada karena mereka telat memahami tentang apa yang sebenarnya ditawarkan – platform investasi yang ternyata tidak sesuai dengan kaidah investasi. Ini bisa terjadi karena dua hal: (1) tidak adanya transparansi dalam penyampaian informasi; (2) tidak ada sosialisasi mengenai risiko yang mungkin bisa dialami. Proses edukasi yang dilakukan tidak komprehensif, sehingga informasi yang didapat menjadi kurang berimbang.

Padahal dalam beleid yang dilahirkan untuk memayungi platform keuangan berbasis teknologi, otoritas selalu menekankan aspek edukasi sebagai salah satu hal wajib yang dilakukan penyedia layanan. Ambil contoh tertuang dalam Pasal 33 POJK 77/2016, mewajibkan penyelenggara layanan fintech untuk melakukan kegiatan peningkatan literasi dan inklusi berbentuk sosialisasi dan edukasi minimal 12 kali di 12 kota dan provinsi berbeda. Materi edukasi pun ditentukan, mulai dari pengelolaan keuangan, pemahaman industri, sampai dengan produk dan jasa beserta risikonya.

Tidak hanya platform investasi

Niatan ingin menjadi nasabah agar terbantu namun malah menjadi korban – ini sebenarnya tidak hanya berpotensi terjadi pada konteks platform investasi bodong saja. Bahkan bisa mencakup layanan lain yang sudah masuk koridor legal juga. Misalnya layanan payday loan dan paylater yang menjanjikan pinjaman instan; tanpa pemahaman yang benar tentang tata kelola keuangan, alih-alih membantu platform tersebut bisa saja menjadi bumerang yang justru membuat keuangan seseorang menjadi berantakan.

Inklusi keuangan telah terdongkrak naik secara signifikan, membuktikan bahwa digitalisasi berhasil mendapatkan penerimaan baik di tengah masyarakat. Sayangnya literasi keuangan indeksnya masih jauh di bawahnya. Analoginya seperti ini, inklusi ini seperti kemampuan menyetir mobil, sementara literasi adalah pemahaman tentang rambu-rambu. Saat banyak orang menyetir mobil namun tidak paham rambu-rambu, maka akan terjadi kekacauan di jalanan. Sayangnya jalanan yang kacau tidak hanya merugikan pengemudi tersebut, namun bisa berdampak pada pengemudi-pengemudi lain, apalagi yang masih baru.

Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kemudahan akses ke layanan finansial harus benar-benar diimbangi dengan pemahaman yang baik bagi para penggunanya. Banyak upaya yang baiknya digencarkan dalam kaitannya edukasi terus-menerus, termasuk salah satunya dengan menjadikan literasi keuangan menjadi materi wajib di bangku sekolah. Regulator juga dapat terus mendorong para pemilik platform untuk berperan lebih aktif menggencarkan berbagai kegiatan sosialisasi – terutama menyasar kalangan early adopter yang jumlahnya masih sangat banyak.

Collaboration of Startup and Digital Bank to Ramp up Innovation and Financial Inclusion

There was a time when corporations saw startups as a challenge. However, as years passed by, this assumption is getting hazier when the two parties are now collaborating with each other, to complete each other out in winning the market.

In the banking sector, a new phenomenon has occurred, that large startups have started to invest and become majority shareholders in banks that have just transformed into digital banks. For example, Akulaku joined Bank Neo Commerce (BNC), then Gojek invested in Bank Jago, and Sea Group, Shopee’s holding company, which reportedly entered the Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Currently, Akulaku, through PT Akulaku Silvrr Indonesia, is trying to extend ownership in BNC through the rights issue scheme. Therefore, Akulaku’s ownership is to increase from 24.98% to 27.25%. Akulaku has been a shareholder of BNC since 2019.

Moreover, in mid-December 2020, Gojek Group through its subsidiary GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) has invested into Bank Jago in the form of  22% equity at the end of 2020.

Meanwhile, there has not been any confirmation regarding the involvement of Sea Group in BKE. However, there is already strong evidence based on information from the recruitment website which says there is a new placement at “Sea Money-Bank BKE”.

Overseas, the dynamics of digital banks are escalated quickly. For instance, the Monetary Authority of Singapore (MAS) has issued digital bank operating licenses to four corporate groups. The four companies receiving these licenses are (1) Ant Group, a subsidiary of Alibaba Group, (2) the Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel) consortium, (3) the parent Sea Group of Shopee, and (4) a consortium consisting of companies from China, including Greenland Financial Holdings.

Thus, what is the meaning of this synergy between startups and digital banks? How can the synergy between the two be mutually beneficial without breaking the existing rules? The banking sector is a highly regulated sector with high-risk management when it comes to product and service development.

Strong capital and innovation development

Although the terminology for digital banking and the supporting regulations is still unclear, the sign for digital banks has occurred when BTPN launched Jenius. This step was followed by DBS through Digibank. It’s just that Jenius and Digibank are not quite legitimate as digital banks as their business processes are still under the owner’s company.

Therefore, digital banks such as Bank Jago and BNC are experiencing a massive transformation by changing faces and new branding in order to strengthen their position as a digital bank. Bank Jago is a new identity (previously Bank Artos), while BNC was previously named Bank Yudha Bhakti (BYB).

Bank Jago changed the name in June 2020 following its acquisition by a group of investors led by Jerry Ng and Patrick Waluyo through PT Metamorfosis Indonesia (MEI) and Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng is the former President Director of BTPN for a decade and also the person behind the development of Jenius, while Patrick Waluyo is the Co-Founder of Northstar Group, one of the former BTPN owners.

Next, Akulaku became a shareholder in BNC for the first time in March 2019 with 8.9% ownership of the current controlling shareholder, PT Gozco Capital. This fintech platform continues to increase its share ownership to become the controlling shareholder.

In previous reports, Bank Yudha Bhakti’s President Director, Tjandra Gunawan emphasized that his team is transferring the entire work process and business model from a conventional bank to digital, including the existence of branch offices with limited numbers.

In developing internal human resources, BNC recruited many talents in the technology sector, assisted by the collaboration of two giant technology companies, namely Huawei and Sunline.

In recent contact with DailySocial, Gunawan highlighted that BNC is trying to come up with a different positioning through its collaboration with Akulaku. It will target the retail and MSME segments through a number of digital banking products.

“Akulaku as one of the shareholders in BNC is a fintech company that focuses on e-commerce, B2B financing, and other digital financings, therefore, BNC and Akulaku is to combine market segments in the future,” said Tjandra.

Meanwhile, it is still unclear why Sea Group entered through BKE. If it is true, it is possible that BKE will have the same fate as the two banks mentioned above, coming with a new identity. It seems difficult to move forward without a new identity for legacy companies looking to undertake a major transformation.

Product development and integration to the ecosystem

The involvement of Gojek, Akulaku, and Shopee (Sea Group) has the same common thread, namely efforts to integrate innovation into a digital service ecosystem for people who are yet to be exposed to banking services.

Banks are a business of trust, while digital platforms have the strength in technological innovation. In this case, banks can push financial services into a broader platform services ecosystem with a large customer base.

Gojek already has an A to Z service ecosystem. Likewise, Shopee, according to iPrice data, is the e-commerce with the largest monthly visitors in Indonesia in the first quarter of 2020. Meanwhile, Akulaku is targeting a comprehensive financial ecosystem, from marketplaces, P2P lending, to financing.

Quoting KrAsia, Akulaku’s CEO, William Li said that the potential of digital banking in Southeast Asia is enormous. “There are 400 million workers, but only 5% -10% are using digital banking services. That means, we have 300 million potential customers,” Li said. He thought, if Akulaku can work on around 5% -10% of the market share, the company could potentially reap greater achievements.

In terms of technology, Tjandra also said that his team would optimize technology development and digitization of the loan origination system and online financing related to granting approval and lending. In the future, this coordination and integration can become a pilot ecosystem that can be replicated to other marketplaces.

In addition, BNC will develop open banking in the payment system through the formulation of Open API Standards, therefore, the transaction and identification process will be more seamless. “This is a piloting project of the digital product on Akulaku platform as well as the use of the BNC Virtual Account to make it easier for customers to make payments,” Gunawan added.

Platform Category Service Ecosystem User/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 million (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 million (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 million (2020)

Meanwhile, Gojek’s Chief Corporate Affairs, Nila Marita revealed that Gojek and Bank Jago are currently preparing a synergy for digital banking services. This is in line with the company’s efforts to increase financial inclusion at all levels of society.

Based on reports from Google, Temasek, and Bain & Company, as many as 52% or around 95 million adults in Indonesia do not have bank accounts and more than 47 million adults do not have adequate access to credit, investment, and insurance. On the other hand, smartphone penetration in Indonesia has reached up to 70% -80%. This indicates that the Indonesian people are ready to accept digital banking services.

“The number is quite large of people who do not have a bank account in Indonesia. Therefore, Gojek and Bank Jago will provide digital banking services on the Gojek platform to facilitate access to financial services,” she told DailySocial.

Referring to this, collaboration between startups and digital banks can encourage penetration of financial inclusion. One use case is that the digital platform can be a front-end channel for opening an online account. This is what Gojek and Bank Jago are currently preparing as their initial synergy plan. A number of banks in Indonesia have implemented a similar concept, such as opening a BRI online account on the Grab platform.

By utilizing the platform as an entry point, the public can be exposed to the integrated platform service ecosystem. Bank Jago can take advantage of the Gojek service ecosystem to increase its service penetration, as well as BNC-Akulaku and Sea Group-BKE. This means that the government’s efforts to encourage financial inclusion at all levels of society can be realized more quickly.

The next step is technology transfer. This is an expensive price to pay to leverage the technological innovations that have been built by Gojek, Shopee, and Akulaku. It will be free to develop innovations than to work together without investment commitments.

However, considering the current regulations have not accommodated digital banks, financial innovation players are still waiting and wondering about the limitations and potentials for future business development.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kolaborasi Startup dan Bank Digital untuk Memperkuat Inovasi dan Inklusi Keuangan

Ada masa di mana korporasi sempat menganggap eksistensi startup sebagai sebuah tantangan. Namun, dari tahun ke tahun, anggapan ini makin kabur tatkala kedua pihak kini saling berkolaborasi, mengisi satu sama lain untuk memenangkan pasar.

Di sektor perbankan, fenomena baru yang terjadi adalah startup besar mulai berinvestasi dan menjadi pemegang saham mayoritas di bank-bank yang baru bertransformasi menjadi bank digital. Misalnya, Akulaku masuk ke Bank Neo Commerce (BNC), lalu Gojek berinvestasi ke Bank Jago, dan Sea Group, induk usaha Shopee, yang kabarnya masuk ke Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Saat ini Akulaku, melalui PT Akulaku Silvrr Indonesia, tengah berupaya meningkatkan kepemilikan sahamnya di BNC lewat skema right issue. Dengan aksi ini, kepemilikan Akulaku bakal naik dari 24,98% menjadi 27,25%. Adapun Akulaku telah masuk menjadi pemegang saham BNC sejak 2019.

Kemudian, pada pertengahan Desember 2020, Gojek Group melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) menyuntikkan investasi ke Bank Jago berupa penyertaan saham sebesar 22% pada akhir 2020.

Sementara itu, belum ada konfirmasi apapun mengenai keterlibatan Sea Group di BKE. Namun, sudah ada bukti kuat berdasarkan informasi dari laman perekrutan yang menyebutkan ada penempatan baru di “Sea Money-Bank BKE”.

Di luar negeri, dinamika bank digital sudah berjalan cepat. Ambil contoh, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) telah menerbitkan izin operasi bank digital kepada empat kelompok perusahaan. Keempat perusahaan penerima lisensi ini adalah (1) Ant Group anak usaha Alibaba Group, (2) konsorsium Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel), (3) Sea Group induk dari Shopee, dan (4) konsorsium yang terdiri dari perusahaan asal Tiongkok, termasuk Greenland Financial Holdings.

Lalu, apa arti dari sinergi antara startup dan bank digital ini? Bagaimana sinergi keduanya bisa saling menguntungkan tanpa menerobos aturan yang ada? Sektor perbankan adalah high regulated sector yang memiliki manajemen risiko tinggi jika bicara pengembangan produk dan layanan.

Permodalan kuat dan pengembangan inovasi

Meski belum jelas terminologi bank digital dan regulasi yang mendukung, cikal bakal menuju bank digital sebetulnya sudah muncul ketika BTPN meluncurkan Jenius. Langkah ini kemudian diikuti DBS melalui Digibank. Hanya saja, Jenius dan Digibank belum sahih dikatakan sebagai bank digital karena proses bisnisnya masih berada di atap perusahaan empunya.

Untuk itu bank-bank digital seperti Bank Jago dan BNC melakukan transformasi besar-besaran dengan berganti wajah dan branding baru demi mengokohkan posisinya sebagai bank digital. Bank Jago adalah identitas baru dari nama sebelumnya Bank Artos, sedangkan BNC sebelumnya bernama Bank Yudha Bhakti (BYB).

Pergantian nama Bank Jago pada Juni 2020 menyusul aksi akuisisinya oleh grup investor yang dipimpin Jerry Ng dan Patrick Waluyo lewat PT Metamorfosis Indonesia (MEI) dan Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng adalah eks Direktur Utama BTPN selama satu dekade yang juga orang di balik pengembangan inovasi Jenius, sedangkan Patrick Waluyo merupakan Co-Founder Northstar Group, salah satu mantan pemilik BTPN.

Kemudian, Akulaku masuk menjadi pemegang saham di BNC pertama kali pada Maret 2019 dengan kepemilikan 8,9% dari pemegang saham pengendali saat itu PT Gozco Capital. Platform fintech ini terus menambah kepemilikan sahamnya untuk menjadi pemegang saham pengendali.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan telah menegaskan bahwa pihaknya mengalihkan keseluruhan proses kerja dan model bisnis sebagai bank konvensional menjadi digital, tak terkecuali keberadaan kantor cabang yang jumlahnya bakal dibatasi.

Untuk memperkuat SDM di internal, BNC bahkan merekrut banyak talent di bidang teknologi dan turut dibantu kerja sama oleh dua perusahaan teknologi raksasa, yakni Huawei dan Sunline.

Dihubungi DailySocial baru-baru ini, Tjandra kembali menegaskan bahwa BNC berupaya hadir dengan positioning yang berbeda melalui kolaborasinya dengan Akulaku. Pihaknya akan menyasar segmen ritel dan UMKM melalui sejumlah produk digital banking.

“Akulaku sebagai salah satu pemegang saham di BNC adalah perusahaan fintech yang berfokus pada e-commerce, financing B2B, dan pembiayaan digital lainnya, sehingga ke depannya BNC dan Akulaku akan melakukan kombinasi segmen pasar,” ujar Tjandra.

Sementara itu, belum diketahui alasan Sea Group masuk melalui BKE. Jika ini benar, bisa jadi BKE akan bernasib sama seperti dua contoh bank di atas, yakni hadir dengan identitas baru. Tampaknya, akan sulit untuk maju tanpa identitas baru bagi perusahaan legacy yang ingin melakukan transformasi besar-besaran.

Pengembangan produk dan integrasi ke ekosistem layanan

Keterlibatan Gojek, Akulaku, dan Shopee (Sea Group) memiliki benang merah yang sama, yakni upaya untuk memadukan inovasi terhadap ekosistem layanan digital bagi masyarakat yang masih banyak belum terpapar layanan perbankan.

Bank merupakan bisnis kepercayaan, sedangkan platform digital memiliki kekuatan pada inovasi teknologi. Dalam hal ini, bank bisa mendorong layanan keuangan masuk ke dalam ekosistem layanan platform yang lebih luas dengan basis pelanggan besar.

Gojek telah memiliki ekosistem layanan dari A sampai Z. Demikian juga Shopee yang menurut data iPrice merupakan e-commerce dengan pengunjung bulanan terbesar di Indonesia pada kuartal pertama 2020. Sementara Akulaku membidik ekosistem keuangan yang komprehensif, mulai dari marketplace, P2P lending, hingga pembiayaan.

Mengutip KrAsia, CEO Akulaku William Li mengatakan bahwa potensi perbankan digital di Asia Tenggara sangat besar. “Kami melihat ada 400 juta pekerja, tetapi hanya 5%-10% yang menggunakan layanan perbankan digital. Artinya, kami punya 300 juta pelanggan potensial,” tutur Li. Menurutnya, apabila Akulaku dapat menggarap sekitar 5%-10% dari pangsa pasar tersebut, perusahaan dapat berpotensi meraup pencapaian yang lebih besar.

Dari sisi teknologi, Tjandra juga menyebutkan bahwa pihaknya akan mengoptimalkan pengemba ngan teknologi dan digitalisasi loan origination system dan online financing terkait pemberian persetujuan dan penyaluran kredit. Ke depannya, kordinasi dan integrasi ini dapat menjadi percontohan ekosistem yang bisa direplikasi ke marketplace lain.

Selain itu, BNC akan mengembangkan open banking di sistem pembayaran melalui perumusan Standar Open API sehingga proses transaksi dan identifikasi akan lebih seamless. “Ini merupakan piloting project produk digital di platform Akulaku serta untuk penggunaan BNC Virtual Account guna yang memudahkan customer melakukan pembayaran,” tambah Tjandra.

Platform Kategori Ekosistem Layanan Pengguna/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 juta (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 juta (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 juta (2020)

Sementara itu, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengungkap bahwa Gojek dan Bank Jago saat ini tengah mempersiapkan sinergi layanan perbankan digital. Hal ini sejalan dengan upaya perusahaan untuk meningkatkan inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, and Bain & Company, sebanyak 52% atau sekitar 95 juta penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening bank dan lebih dari 47 juta penduduk dewasa tidak memiliki akses memadai kepada kredit, investasi, dan asuransi. Di sisi lain, penetrasi smartphone di Indonesia telah mencapai hingga 70%-80%. Ini menandakan masyarakat Indonesia sudah siap untuk menerima layanan perbankan digital.

“Jumlah penduduk yang belum memiliki rekening bank masih sangat banyak di Indonesia. Maka itu, Gojek bersama Bank Jago akan menyediakan layanan perbankan digital di platform Gojek untuk memudahkan akses terhadap layanan keuangan,” ujarnya kepada DailySocial.

Mengacu pada hal tersebut, kolaborasi startup dan bank digital dapat mendorong penetrasi inklusi keuangan. Salah satu use case-nya adalah platform digital bisa menjadi front-end channel untuk pembukaan rekening online. Inilah yang tengah disiapkan Gojek dan Bank Jago sebagai rencana sinergi awal mereka. Konsep serupa sebetulnya sudah diterapkan sejumlah bank di Indonesia, seperti pembukaan rekening online BRI di platform Grab.

Dengan memanfaatkan platform sebagai jalan masuk, masyarakat dapat terpapar oleh ekosistem layanan platform yang terintegrasi. Bank Jago dapat memanfaatkan ekosistem layanan Gojek untuk meningkatkan penetrasi layanannya, demikian juga berlaku pada BNC-Akulaku dan Sea Group-BKE. Ini berarti upaya pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat bisa semakin cepat terealisasi.

Langkah selanjutnya adalah transfer teknologi. Ini merupakan harga mahal yang harus dibayar untuk me-leverage inovasi teknologi yang telah dibangun oleh Gojek, Shopee, dan Akulaku. Akan lebih leluasa mengembangkan inovasi ketimbang bersinergi tanpa komitmen investasi.

Namun, mengingat regulasi yang ada saat ini belum mengakomodasi bank digital, pemain inovasi keuangan masih wait and see tentang limitasi dan potensi-potensi pengembangan bisnis di masa mendatang.

Mendalami Masalah Utama Inklusi Finansial di Indonesia

Penetrasi layanan keuangan di Indonesia, terutama layanan perbankan, dinilai masih cukup rendah, jika dibandingkan dengan rasio penduduk Indonesia. Merujuk pada hasil riset OJK di tahun 2016 tentang literasi finansial, di Indonesia angkanya mencapai 29,6%. Sementara itu untuk indeks inklusi finansial mencapai 67,8% di tahun 2016. Pemerintah sendiri menargetkan minimal 79% di tahun 2019 mendatang.

Menurut Bank Dunia, inklusi finansial didefinisikan sebagai individu atau bisnis yang memiliki akses ke produk layanan keuangan untuk kebutuhan mereka, meliputi: transaksi, pembayaran, tabungan, kredit, dan asuransi yang disampaikan dengan cara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Secara umum banyak yang mengatakan bahwa kurang optimalnya persebaran layanan finansial di Indonesia disebabkan karena akses yang belum menjangkau secara penuh. Hal ini yang dianggap sebagai kesempatan banyak pemain fintech untuk menghadirkan layanan non-bank yang mengakomodasi kebutuhan transaksi masyarakat unbankable –seperti di desa-desa atau di wilayah pelosok. Namun pertanyaannya: apakah sepenuhnya karena akses saja?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, CXGO Consulting melakukan sebuah riset terpadu dan mempublikasikannya dalam laporan “Financial Inclusion: Is it truly about access?”.

Masalah akses

Berdasarkan data yang didapat OJK, mereka menyimpulkan bahwa ada dua hambatan inklusi finansial di Indonesia. Pertama ialah pada akses ke layanan atau produk finansial. Kemudian yang kedua pada produk finansial itu sendiri, belum mampu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat (yang saat ini unbankable).

Beberapa program terus digencarkan untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat pada layanan finansial. Bank Indonesia dan OJK memprioritaskan pada tiga aspek utama dalam programnya: keagenan, digitalisasi KYC (Know Your Customer — mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan), dan melakukan penyesuaian produk perbankan.

Selain oleh institusi perbankan, menariknya tiga aspek tersebut ditangkap baik oleh para inovator teknologi. Startup fintech yang bermunculan mencoba memberikan layanan yang lebih fit dengan kebutuhan masyarakat unbankable. Saat ini ada tiga wilayah utama yang banyak disasar pemain fintech, yakni e-money & digital wallet, p2p lending, dan non-productive loan.

E-money dan digital wallet menghadirkan pada masyarakat proses transaksi non-tunai, umumnya secara digital dengan sistem yang didesain untuk meningkatkan kepercayaan konsumen. Pendekatan yang saat ini juga banyak dijadikan produk ialah Payment Point Online Banking (PPOB), dinilai sebagai aspek terdekat kebutuhan masyarakat. PPOB meliputi layanan pengisian pulsa, pembayaran listrik, layanan kesehatan dan lain-lain.

P2P (Peer-to-Peer) lending menghadirkan efek positif dengan sistem yang menyederhanakan proses pengajuan pinjaman. Sistem ini melibatkan dua pihak dari kalangan masyarakat, yakni peminjam dan pemberi pinjaman. Platform menjembatani dan memberikan prosedur. Salah satu manfaat yang saat ini sudah dirasakan ialah pinjaman yang dapat diberikan kepada peminjam dengan tingkat risiko yang lebih tinggi, termasuk dari kalangan pelaku UMKM.

Gambaran masyarakat unbankable di Indonesia

Survei CXGO Consulting menanyakan langsung kepada masyarakat dan menemukan beberapa realitas tentang tanggapan penggunaan layanan keuangan perbankan. Seperti salah satunya diungkapkan oleh Daenuri (25) yang bekerja sebagai petugas keamanan. Alasan utama ia membuka rekening bank ialah untuk menampung gaji bulanan. Secara personal, ia tidak pernah dan tidak nyaman menggunakan layanan perbankan. Bahkan jika diperbolehkan ia akan memilih mendapatkan pembayaran gaji secara tunai.

Dua responden lain yang diwawancara secara langsung, Lila (24) dari Ciledug dan Rofiq (28) dari Jakarta Timur, mengungkapkan tidak pernah menggunakan layanan perbankan karena tidak membutuhkan. Keduanya juga lebih memprioritaskan penuntasan kebutuhan secara tunai. Hal menarik yang diungkapkan justru pada kekhawatiran soal biaya layanan perbankan itu sendiri, yang harus memotong saldo yang ada secara bulanan.

Secara umum wawancara langsung terhadap masyarakat yang masuk dalam kategori unbankable menghasilkan pola berikut ini:

Gambar 1

Terhadap layanan perbankan, persepsi dan pemahaman mereka khususnya tentang layanan pinjaman terganjal pada beberapa hal, meliputi isu kepercayaan, biaya operasional, dan proses adopsi. Solusinya mereka membutuhkan beberapa hal:

  • Informasi yang lebih jelas tentang biaya bulanan dan minimal tabungan yang harus ada dalam rekening.
  • Dapat diperiksa kapan saja dan dari mana saja.
  • Dapat menyimpan dan mengambil uang dengan jumlah kecil, di bawah 50 ribu Rupiah.
  • Proses pendaftaran yang mudah dengan biaya bulanan yang kecil.

Kemudian untuk layanan peminjaman persepsi negatif mereka terdapat pada beberapa hal, yakni isu relevansi, tenor dan sistem pembayaran, dan proses penagihan. Mereka merasa tidak memenuhi kriteria untuk mengajukan peminjaman di bank, selain beranggapan bahwa bunga yang dibebankan terlalu besar. Persepsi lain soal debt-collector, yang dianggap akan selalu menghantui dan melakukan penagihan secara paksa. Beberapa solusi yang dibutuhkan meliputi:

  • Pinjaman dengan jumlah, tenor, dan sistem pembayaran yang bisa disesuaikan.
  • Proses yang mudah dan cepat.
  • Jaminan fleksibel (atau tanpa jaminan). Garansi dan verifikasi berdasarkan pengakuan sosial dan masyarakat.

Pendekatan yang dapat dilakukan

Berdasarkan temuan yang ada, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama harus dipahami, kendati mereka tidak akrab dengan layanan perbankan, tidak semata-mata buta dengan kemajuan digital. Penggunaan ponsel pintar sudah sangat erat di masyarakat, sehingga produk finansial sebenarnya bisa mengoptimalkan kultur tersebut untuk menciptakan layanan yang lebih sederhana dan praktis. Dengan transparansi, isu kepercayaan harusnya dapat diselesaikan. Pengguna sebenarnya hanya membutuhkan detail yang sederhana tentang informasi uang yang disimpan.

Dengan rendahnya aspek literasi di kalangan unbankable, menantang para penyedia layanan untuk menghadirkan solusi tepat guna yang mudah “dibaca”. Model keagenan yang melibatkan langsung masyarakat sebagai pengganti unit perbankan akan sangat membantu proses sosialisasi dan adopsi. Institusi non-formal seperti pemain fintech juga akan berpengaruh besar di sini, sehingga dibutuhkan integrasi dan kerja sama untuk antar pemain finansial untuk jangkauan pasar yang lebih menyeluruh.

Unduh laporan CXGO Consulting tentang inklusi finansial masyarakat Indonesia secara gratis melalui tautan ini:


Disclosure: artikel ini adalah hasil kemitraan DailySocial dan CXGO Consulting

Gelontorkan KUR Senilai 1,5 Triliun Rupiah untuk Merchant Go-Food, BNI Resmikan Kemitraan Strategis dengan Go-Pay

Kolaborasi strategis antara BNI dan dua entitas Go-Jek (Go-Pay dan Go-Food) hari ini diresmikan. Kepada media CEO Go-Pay Aldi Haryopratomo mengungkapkan, langkah awal kerja sama strategis ini akan fokus ke merchant Go-Food, kemudian merambah ke merchant di ekosistem Go-Jek lainnya.

“Karena adanya kesamaan visi dan misi dengan BNI, setelah melakukan pembicaraan sekitar 3 bulan yang lalu, kerja sama ini kami resmikan.”

Implementasi kerja sama strategis ini adalah pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga yang ditetapkan BNI sebesar 7%. Nantinya melalui proses penyaringan dan pemilihan, merchant Go-Food terpilih akan mendapatkan kesempatan meningkatkan usaha mereka dari BNI.

“Saat ini ada sekitar 125 ribu merchant Go-Food yang kebanyakan adalah pelaku UKM dengan bisnis makanan skala kecil menengah. Melalui kerja sama ini kami berharap bisa meningkatkan level mereka sebagai bisnis UKM,” kata Chief Commecial Expansion Go-Jek Catherine Hindra Sutjahyo.

Disinggung mengapa menggunakan entitas Go-Pay, Aldi menegaskan fungsi Go-Pay adalah sebagai jembatan untuk melancarkan konsolidasi antar semua layanan yang ada d Go-Jek dengan sektor perbankan.

“Kerja sama dengan BNI melalui Go-Pay adalah langkah awal kami dari Go-Jek. [Langkah] selanjutnya sesuai dengan komitmen kami untuk mendukung UKM di Indonesia,” kata Aldi.

Di tahap pertama Go-Pay, Go-Food, dan BNI akan fokus ke empat kota, yaitu Semarang, Solo, Yogyakarta, dan Malang.

“Selama ini hampir 80% merchant Go-Food adalah mereka yang memiliki tempat makan kaki lima, warung, hingga restoran kecil. Melalui pemberian modal dengan skema KUR ini, kami harapkan bisa mempercepat pertumbuhan bisnis mereka,” kata Catherine.

Target BNI

Menurut SEVP Teknologi Informasi BNI Dadang Setiabudi, penawaran KUR mikro BNI berupa plafon kredit maksimal Rp 25 juta. BNI sendiri telah menyiapkan dana sekitar Rp1,5 triliun untuk pemberian KUR merchant Go-Food.

“Tentunya kami akan melakukan penyeleksian yang ketat serta menerapkan credit scoring kepada merchant Go-Food yang tertarik untuk mendapatkan modal tambahan untuk meningkatkan bisnis mereka,” kata Dadang.

Dadang menambahkan, selama ini BNI masih kesulitan menemukan bisnis UKM yang ideal untuk didanai melalui plafon KUR miliknya. Penyeleksian awal yang dilakukan Go-Food ke merchant mereka diharapkan bisa meminimalkan risiko kredit macet ke depannya.

“Untuk UKM yang ingin mendapatkan modal dari BNI, mereka harus memiliki usaha yang produktif, visible namun masih unbankable yang artinya tidak memiliki jaminan. Jika UKM tersebut telah memenuhi kriteria yang ditentukan bisa dengan mudah mendapatkan modal,” tutup Dadang.

Application Information Will Show Up Here

Corechain Segera Meluncurkan Solusi Berbasis “Blockchain” untuk Bisnis

Blockchain menjadi salah satu teknologi yang digadang-gadang akan menjadi tren di masa depan. Saat ini masyarakat lebih banyak mengenal salah satu implementasi dalam bentuk metode cryptocurrency yang didukung teknologi Blockchain, yakni mata uang digital Bitcoin. Sebagai sebuah fondasi teknologi, Blockchain memiliki banyak prospek pengembangan dalam berbagai solusi finansial.

Kendati belum dikenal luas di Indonesia, sebuah startup bernama Corechain kini tengah menyiapkan debutnya untuk memberikan solusi teknologi berbasis Blockchain. Secara umum Corechain akan menawarkan layanan pengembangan produk inklusi finansial. Peluncuran resmi Corechain sendiri baru akan dilaksanakan bulan Juni mendatang.

[Baca Juga: Membuat Nyata Blockchain untuk Bisnis]

Kendati baru dalam proses pembentukan, portofolio Corechain saat ini sudah dipercaya untuk diadopsi PT Pos Indonesia dan PT Antam. Saat dihubungi DailySocial, CEO Corechain Adryan Malindra masih enggan bercerita detail.

“Corechain adalah perusahaan dengan solusi Blockchain privat di Indonesia. Solusi yang ditawarkan sampai saat ini untuk financial inclusion. [Untuk implementasinya di beberapa mitra] belum bisa kami keluarkan, tapi yang jelas arahnya ke finansial inclusion, baru di-launching sekitar Juni,” ujar Adryan.

Kendati demikian Adryan turut membeberkan alasan mengapa Blockchain akan menjadi signifikan dalam lanskap bisnis teknologi ke depan.

“Karena [Blockchain] sangat menitikberatkan trust, selama ini trust itu dilempar ke pihak ketiga [dalam solusi finansial], di mana kita lihat sekarang bahwa permasalahan dengan itu sangat banyak. Selain juga sifat dari desentralisasi Blockchain mendukung sekali untuk itu. Dengan begitu perlindungan yang menyatakan trust is given itu sangat ada, dan berbuah positif,” terang Adryan.

[Baca Juga: Beyond the Blockchain]

Corechain cukup percaya diri dengan solusi yang ditawarkan. Dari pemaparan yang disajikan dalam situs resminya, layanan Corechain memungkinkan pengembang dan korporasi mengembangkan proof of concept (POC), platform dan aplikasi berbasis Blockchain menggunakan sebuah basis data yang scalable. Dikembangkan dengan konsep open platform, Corechain juga menjanjikan ragam kapabilitas terkait dengan kapasitas layanan dengan dukungan operasi berbasis query.

“Kita adalah salah satu negara dengan tidak adanya pilot Blockchain dan mungkin kita ketinggalan dengan Papua Nugini dan Kamboja. Di Asia Tenggara kita salah satu yang tertinggal. Corechain hadir menggenggam visi untuk membantu Indonesia untuk menjadi jangkar di Asia Pasifik dalam penerapan Blockchain,” ujar Adryan.

Untuk implementasinya sendiri Adryan mengaku sangat siap dari sisi teknologi. Tantangannya yang paling dominan adalah edukasi pasar.