AwanTunai Receives Debt Funding Over 290 Billion Rupiah from Accial Capital

AwanTunai p2p lending startup announced a “debt” funding of US$20 million (over 290 billion Rupiah) led by private debt investor Accial Capital. Several other banks involved in this round as lenders.

AwanTunai’s Co-Founder & CEO Dino Setiawan explained to DailySocial, the fresh money will be fully channeled back in the form of financing for customers. The company also held stock-based fundraising, which is yet to be announced, and will be focused on technology development.

“The US$20 million fund is led by Accial Capital and our partnership with several banks to finance AwanTunai customers,” he said yesterday (7/21).

In acquiring debt funding, companies do tend to take from institutions as lenders. Some banks have partnered up include OCBC NISP, Jtrust Bank, Credit Saison, and UOB. There some other banks ongoing process.

“Through this partnership banks can enter the SME segment and channel financing securely.”

Accial Capital’s CIO,  Michael Shum said in his official statement, AwanTunai has a unique approach in managing credit risk in the micro segment well, quickly, and responsibly. This allows thousands of micro traders to expand their business even during the Covid-19 crisis.

AwanTunai has a flagship product called AwanTempo released in April 2019. This is a financing product for a grocery store in need of additional capital to buy its store products. The company is working with suppliers to provide financing to the small shop.

Dino said that with the debt funding, it is expected to accelerate the expansion of financing of its wholesale suppliers and its flagship products, therefore, more store owners are helped with capital needs. It is said that AwanTempo has distributed funding up to Rp390 billion.

Before introducing its product, the company used to make a loan distribution product for smartphone purchasing with a maximum range of IDR 4 million. In minimizing risk, the company partners with Blue Bird targeting taxi drivers.

“AwanTempo is now our main product. We are no longer continuing the smartphone products,” he said.

New product development

Dino admitted that the company was quite lucky to continue financing during the pandemic. He mentioned the grocery shop segment can survive during the PSBB period because it’s open to serve basic needs.

“We have a collaborative program with AwanTunai‘s wholesale partner to help stalls heavily affected by Covid-19, especially those in the office area.”

In terms of product development plan, Dino said the company is currently preparing a new product to finance crops for small farmers. They’ve partnered with foreign NGOs and agricultural product aggregator to channel financing from AwanTunai to farmers. The concept of financing is similar to AwanTempo. The aggregator must know the farmers well to minimize the risk of default.

“The risk is very high. In previous cases, the bank entered the SME segment. The NPL turns out very high because no data appears on the SLIK or incorrect KTP. Therefore, the KUR is stuck inside the banks, there is no safe way to expel KUR to unbanked people,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

AwanTunai Peroleh “Debt Funding” Lebih dari 290 Miliar Rupiah dari Accial Capital

Startup p2p lending AwanTunai mengumumkan perolehan pendanaan “debt” sebesar US$20 juta (lebih dari 290 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh investor debt swasta Accial Capital. Beberapa bank lain turut masuk ke dalam putaran tersebut sebagai lender.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO AwanTunai Dino Setiawan menjelaskan, dana ini sepenuhnya digunakan untuk disalurkan kembali dalam bentuk pembiayaan untuk nasabah. Perusahaan juga sedang melakukan penggalangan pendanaan berbasis saham, yang belum bisa diumumkan, nantinya dikhususkan untuk pengembangan teknologi.

“Dana US$20 juta dipimpin oleh Accial Capital dan kemitraan kita sama beberapa bank untuk pembiayaan nasabah AwanTunai,” ujarnya, kemarin (21/7).

Dalam menjaring pendanaan debt, perusahaan memang cenderung mengambil dari kalangan institusi sebagai lender. Beberapa bank yang telah bermitra diantaranya OCBC NISP, Jtrust Bank, Credit Saison, dan UOB. Ada tambahan dari bank lainnya yang masih dalam proses.

“Lewat kemitraan tersebut bank dapat masuk ke segmen UMKM dan menyalurkan pembiayaan secara aman.”

CIO Accial Capital Michael Shum dalam keterangan resminya mengatakan, AwanTunai memiliki pendekatan yang unik dalam mengelola risiko kredit di segmen mikro dengan baik, cepat, tapi juga bertanggung jawab. Hal ini memungkinkan ribuan pedagang mikro untuk memperluas bisnis mereka bahkan saat krisis Covid-19.

AwanTunai memiliki produk flagship yang bernama AwanTempo dirilis pada April 2019. Ini adalah produk pembiayaan untuk toko kelontong yang butuh tambahan modal untuk membeli kebutuhan tokonya. Perusahaan bekerja sama dengan supplier untuk memberikan pembiayaan kepada toko kecil tersebut.

Dino mengatakan dengan pendanaan debt tersebut, diharapkan dapat mengakselerasi ekspansi pembiayaan pemasok grosirnya dan produk flagship-nya agar semakin banyak pemilik toko yang terbantu memenuhi kebutuhan permodalannya. Disebutkan hingga kini AwanTempo telah menyalurkan pembiayaan hingga Rp390 miliar.

Sebelum memperkenalkan produk itu, pada awal perusahaan berdiri membuat produk penyaluran pinjaman untuk pembelian smartphone dengan rentang maksimal Rp4 juta. Dalam meminimalisir risiko, perusahaan menggaet Blue Bird untuk para pengemudi taksi yang berminat.

“AwanTempo sekarang produk utama kami. Kita sudah tidak lanjut produk smartphone lagi,” katanya.

Mengembangkan produk baru

Dino mengaku perusahaan cukup beruntung tetap dapat menyalurkan pembiayaan selama pandemi. Menurut dia, segmen warung kelontong masih bisa beroperasi karena selama masa PSBB tetap buka untuk melayani kebutuhan pokok.

“Kami ada program kerja sama dengan mitra grosir AwanTunai untuk membantu para warung yang terkena dampak berat dari Covid-19, terutama yang ada di area perkantoran.”

Untuk rencana pengembangan produk berikutnya, Dino memaparkan saat ini perusahaan sedang mempersiapkan produk baru untuk pembiayaan hasil bumi untuk petani kecil. Sudah bermitra dengan LSM asing dan mitra aggregator hasil bumi untuk menyalurkan pembiayaan dari AwanTunai ke petani. Konsepnya pembiayaannya mirip dengan AwanTempo. Para aggregator harus kenal para petaninya untuk meminimalisir risiko gagal bayar.

“Risiko tinggi sekali. Banyak kasus sebelumnya, bank masuk ke segmen UMKM. Lalu NPL-nya tinggi sekali karena tidak ada data muncul di SLIK atau KTP tidak tepat. Makanya masalah di KUR mentok di dalam bank-bank tidak ada jalur aman untuk keluarkan KUR ke massa unbanked,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Modal Rakyat Memasuki Bisnis Insurtech dan e-Procurement

Setelah resmi hadir tahun 2018 lalu, platform peer to peer lending digital Modal Rakyat telah menambah beberapa layanan terbaru, yaitu asuransi dan procurement untuk pembelian truk.

Kepada DailySocial Co-Founder & CEO Modal Rakyat Hendoko Kwik mengungkapkan, berangkat dari produk financing down payment pada pengadaan unit truk, perusahaan juga membantu transporter yang menjadi peminjam di platform Modal Rakyat untuk menyediakan perlindungan asuransi pada truk yang di-procure.

“Modal Rakyat melihat pendekatan offline memiliki 3 basis touch point yakni proses pengajuan, proses underwriting, dan proses pengiriman polis fisik; sehingga terbesit ide bahwa pendekatan online memiliki SLA yang lebih baik pada proses perlindungan unit seperti motor, mobil dan truk niaga,” kata Hendoko.

Menggandeng Asuransi Adira, Modal Rakyat mencoba memberikan kemudahan untuk memasarkan produk perlindungan kendaraan bermotor. Kini hanya dalam satu genggaman, para pengguna dapat melindungi kendaraan mereka. Melalui produk asuransi mobil Adira Insurance, yaitu Autocillin, terdapat dua jenis jaminan utama, yaitu Komprehensif dan Total Loss Only (kerugian atau kerusakan total).

Produk asuransi ini baru saja diluncurkan oleh Modal Rakyat beberapa waktu yang lalu. Masih dalam tahapan sosialisasi terhadap captive market user. Perusahaan menargetkan bisa menyumbangkan produksi minimal 50 polis per bulan untuk Asuransi Adira. Kerja sama dengan Adira menjadi terobosan baru bagi Modal Rakyat untuk bisa memberikan manfaat lebih bagi para pengguna, khususnya asuransi kendaraan.

“Kita coba mengutarakan pengembangan penutupan risiko melalui skema online kepada pihak Adira, dan ternyata Adira memiliki animo yang baik pada proses digital dan sudah memiliki infrastruktur pendukung, sehingga terbentuklah produk asuransi kendaraan digital dan platform Modal Rakyat sebagai salah satu reseller mereka,” kata Hendoko

Produk procurement truk

Selain produk asuransi, Modal Rakyat juga memiliki produk baru lainnya yaitu Produk Procurement Truk. Produk Procurement Truk merupakan produk yang lahir dari pengembangan bersama dengan platform truk digital Ritase.

Dalam hal ini fungsi yang dilakukan masing-masing stakeholder adalah, Modal Rakyat berupa pemenuhan down payment 30% dari nilai unit truk. Sisanya akan dilimpahkan ke lembaga finansial seperti bank. Sementara untuk Ritase, pihak yang memiliki kemampuan melakukan verifikasi dari revenue yang akan didapatkan unit truk dan sustainability dari proyek yang akan dikerjakan transporter/borrower.

“Hal ini dimungkinkan karena Ritase membantu melakukan digitalisasi terhadap bisnis transporter/borrower sehingga biaya operasional, penerbitan invoice dan surat jalan, hingga pembayaran dari shipper/pemberi kerja dapat tercatat secara digital. Sementara untuk transportir/borrower, mereka memiliki fleksibilitas untuk mengerjakan proyek yang baik dengan working capital minimum,” kata Hendoko.

Terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak Juni 2018, hingga saat ini total pendana di Modal Rakyat telah mencapai lebih dari 55 ribu orang dengan total penyaluran sekitar Rp370 miliar yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Satgas Waspada Investasi Tutup Hampir 700 Fintech Ilegal di Paruh Pertama 2020

Satgas Waspada Investasi (SWI) mengungkapkan telah menutup 694 fintech lending ilegal pada paruh pertama tahun 2020. Dibandingkan tahun lalu saja, angka ini sudah hampir separuh dari jumlah perusahaan yang ditutup SWI sebesar 1493 perusahaan.

Momentum pandemi, menjadi kesempatan para pemain ilegal itu lebih berkembang lebih liar, terlihat dari jumlahnya yang berlipat ganda dibandingkan sebelum pandemi. SWI mencatat sepanjang Maret-Juni 2020 telah menutup 574 perusahaan ilegal. Adapun pada Januari saja ada 120 perusahaan. Bila ditotal secara akumulatif dari 2018 hingga sekarang SWI telah menutup 2591 entitas.

“Dengan kemajuan teknologi yang memudahkan orang buat aplikasi, sebar SMS, fintech ilegal ini jadi semakin sulit diberantas. Jadi yang kita rutin lakukan setiap hari adalah cyber patrolling bersama Kemenkominfo sebelum jatuh korban lagi,” terang Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing dalam konferensi pers secara online, Senin (13/7).

Dia merinci lebih jauh dari temuan SWI, fintech ilegal tersebut memiliki server mayoritas dari luar negeri. Server dari lokasi tidak terdeteksi jumlahnya mencapai 44%, lalu dari Amerika Serikat (14%), Singapura (8%), Tiongkok (6%), Malaysia (2%), lain-lain (3%), dan sisanya dari dalam negeri (22%).

Seluruh fintech ini menurutnya tidak melakukan kegiatan pinjam meminjam uang seperti apa yang dilakukan oleh perusahaan p2p lending yang sudah tercatat di OJK. Mereka justru bertindak kurang lebih seperti perusahaan pembiayaan (multifinance). Ditambah itu, mayoritas aduan yang diterima berasal dari sisi peminjam, bukan pemberi pinjaman.

“Dari sisi pendana tidak pernah ada yang mengadu, yang mengadu adalah korban yang sering kena tipu karena persyaratan sering berubah-ubah, denda tidak terbatas, dan ada tindakan intimidasi saat mereka tidak mampu membayar,” tambahnya.

Dalam menjalankan kegiatan penutupan ini, SWI mengaku telah berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, mulai dari perbankan, antar kementerian, kepolisian, hingga Google. Dengan perbankan misalnya, SWI meminta untuk memblokir rekening yang terdeteksi melakukan transaksi yang dicurigai dan tidak melayani fintech lending sebelum mengantongi surat tanda terdaftar dari OJK.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede mengingatkan masyarakat agar sebelum melakukan pinjaman, perlu dipastikan pihak yang menawarkan pinjaman online tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.

“Yang legal itu harus terdaftar di OJK dan sudah menjadi anggota AFPI. AFPI adalah asosiasi resmi dan mitra OJK memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada anggota bila terbukti melanggar aturan dan kode etik,” ujar Tumbur.

Kesulitan karena tidak ada payung hukum

Tongam mengaku, dalam praktiknya pelaku memanfaatkan celah dari kekosongan hukum. Adapun perangkat hukum yang dibutuhkan antara lain ketiadaan UU Fintech untuk menjerat yang ilegal dan penyebaran data pribadi dan penagihan tidak beretika dengan KUHP, UU ITE, dan lainnya.

Dari sisi korban, mereka cenderung tidak melapor ke polisi malah lebih memilih lapor ke media sosial yang sebenarnya tidak akan memberi efek jera untuk pelaku fintech ilegal. Pun dari sisi SWI sendiri sulit untuk mencatat nilai valid kerugian ekonomi buat negara dari potensi pajak yang berhasil lari ke luar dari negara. Juga data rill jumlah peminjam dan investor tidak berhasil diperoleh.

Berikutnya, dari sisi penegak hukum belum ada prioritas penanganan perkara. Proses hukum lebih ke arah desk collection. Ditambah, biaya perkara tidak sebanding dengan kerugian yang diderita konsumen. “Kerugian ada di masyarakat, selain rugi materil ada juga psikis karena mereka diteror dan intimidasi saat penagihan.”

Langkah preventif yang bisa dilakukan masyarakat dalam mengetahui ciri-ciri fintech lending, antara lain tidak terdaftar di OJK; bunga dan jangka waktu pinjaman tidak jelas; alamat peminjaman tidak jelas dan sering berganti nama; media yang digunakan tidak hanya memakai aplikasi, tapi juga link unduh yang disebar melalui SMS atau dicantumkan dalam situs milik pelaku.

Berikutnya, ada penyebaran data pribadi peminjam; dan terakhir, tata cara penagihan tidak hanya kepada ke peminjam, tapi juga kepada keluarga, rekan kerja, hingga atasan, penyebaran fitnah, ancaman, hingga pelecehan seksual, dan biasanya penagihan sebelum jatuh tempo.

Bank Mandiri Rilis Aplikasi Khusus Kredit Usaha Mikro

Bank Mandiri merilis aplikasi Mandiri Pintar (Pinjaman Tanpa Ribet) khusus menyasar pengusaha mikro. Melalui aplikasi tersebut, pengajuan kredit hanya akan membutuhkan waktu sekitar 15 menit.

Direktur Utama Bank Mandiri Royke Tumilaar mengatakan, aplikasi ini adalah bagian dari inovasi perseroan dalam mendongkrak kredit mikro produktif di tengah pandemi. Proses pengajuan jauh lebih cepat karena nasabah tidak perlu direpotkan dengan permintaan data dan dokumen.

Aplikasi didesain untuk tenaga pemasar internal Bank Mandiri sehingga tidak bisa diunduh oleh publik melalui App Store atau Play Store. Nasabah yang butuh kredit bisa menghubungi agar langsung didatangi oleh tim dan langsung diajukan melalui aplikasi tersebut.

Nasabah, lanjut Royke, juga tidak perlu mendatangi kantor cabang Bank Mandiri untuk mengajukan kredit mikro. Sebab, melalui aplikasi ini, tenaga pemasar mikro Mandiri yang saat ini berjumlah lebih dari 6.700 orang yang tersebar di seluruh Indonesia, dapat memproses kredit langsung dari lokasi nasabah berada.

“Melalui aplikasi ini, tenaga pemasar mikro dapat langsung memproses pengajuan kredit melalui smartphone kepada nasabah dalam waktu lebih cepat, yaitu hanya 15 menit setelah tenaga pemasar mengajukan data debitur melalui Mandiri Pintar,” ujar Royke dalam keterangan resmi, kemarin (30/6).

Dalam tahap pengembangannya, Mandiri Pintar baru dapat menerima nasabah existing untuk pengajuan pinjaman dengan limit Rp100 juta. Meski demikian, nantinya aplikasi tersebut akan diperluas cakupannya untuk menyasar nasabah baru.

Sejak tahun 2008, Bank Mandiri telah menyalurkan KUR kepada sekitar 1,65 juta Debitur dengan jumlah kredit mencapai Rp97,65 triliun. Selain KUR, selama tahun 2020, Bank Mandiri juga telah menyalurkan KUM (kredit usaha mikro) kepada 301.453 Debitur dengan nilai sebesar Rp13,2 triliun.

Digitalisasi dipercepat

Pandemi membuat semua perusahaan mempercepat proses digitalisasi agar bisnis lebih efisien dan memperluas cakupan bisnis. Inovasi dari Bank Mandiri, tentunya bukan satu-satunya yang dilakukan perbankan Indonesia untuk menjangkau lebih banyak nasabah baru dengan proses lebih singkat.

Sebelumnya, dengan konsep yang mirip BRI yang membuat aplikasi Brispot. Aplikasi tersebut dikhususkan untuk tenaga pemasar atau Mantri BRI untuk memproses pinjaman mikro secara digital tanpa dokumen fisik. Karena tetap mengedepankan konsep kehati-hatian, maka model penyaluran kredit dan assessment dari bank berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh pemain fintech lending.

Di sisi lain, pemain fintech lending dan institusi keuangan konvensional terus memperkuat kerja sama melalui program channeling dan assessment terhadap credit scoring atau alternative scoring dalam menyalurkan pinjaman.

Beberapa kerja sama tersebut di antaranya, Investree bersama Bank Danamon, BRI Syariah dan BRI, untuk loan channeling. Lalu, kerja sama serupa antara Akseleran dengan Mandiri Tunas Finance. Selanjutnya, Modalku dan Bank Sinarmas yang bertindak sebagai pemberi pinjaman institusi serta BCA untuk loan channeling, dan masih banyak lagi kerja sama sejenis. Bagi kedua belah pihak model ini tentunya saling menguntungkan satu sama lain.

Officially Licensed by OJK, Indodana Boosts up PayLater Penetration

Last Tuesday (02/6), OJK announced 8 new licensed p2p lending platforms, one of which was Indodana (PT Artha Dana Teknologi). Indodana’s President Director, Ronny Wijaya told DailySocial that the platform intends to provide solutions for Indonesian people with limited access to financial services. They have been operating since early 2018.

“We provide a loan that is accessible to all Indonesian citizens through their mobile applications. On the other hand, we also ensure expertise and leading management in big data technology, AI, and credit scoring to make credit decisions according to the principle of responsible lending,” he explained.

In total, there are currently 33 p2p lending services that receive licensed status, among 161 companies registered with OJK. Therefore, service differentiation is important for each platform.

In response to that, Ronny said, “We are now focused on developing PayLater products to provide convenience for the public to shop now and pay later. In order to make this happen, Indodana has collaborated with online merchants and e-money players.”

According to the company’s internal statistics, the Indodana application has been downloaded by more than 3 million users throughout Indonesia. To date, they have channeled around 1 trillion Rupiah to 30 thousand customers, both for personal and SME borrowers. Indodana provides loans between 1-8 million Rupiahs with a tenor of 3-6 months.

Affiliated with Cermati

In the boards of directors listed on the company website, it was mentioned that Cermati’s Co-Founder Carlo Gandasubrata took the role as the company’s commissioner. In an interview, we asked about the strategic partnership between the two companies, however, Ronny was reluctant to give any statement.

The thing is if we sign up for Cermati, Indodana platform will also be recommended; for example when choosing a recommendation for a credit card product in the “No Fee” category as follows:

Indodana service become one of Cermati's reccommendation products
Indodana service become one of Cermati’s reccommendation products

In the Cermati recruitment page, there are vacant positions specifically called for Indodana, such as “Partner Success Manager”. Also, the Indodana and Cermati operational offices are located at the same address around Jl. Tomang Raya No. 38, West Jakarta.

Fintech amid pandemic

Our discussion continues, amid the Covid-19 pandemic, Ronny said that Indodana was still optimistic to continue penetrates its products into a wider market share.

“We are kind of in the right position to provide fully digital services along with our call to keep our distance amid this pandemic. In order to mitigate internal credit risk, our team is working hard to improve our AI and credit scoring to apply the precautionary principle to ensure loan performance on platform stable. ”

This year, as we obtain licensed status from OJK, Indodana is still ambitious to improve services, especially for underbanked people in Indonesia. PayLater products that have been rolled to the public are expected to be optimized soon, both for payments at online and offline merchants.

“Using this PayLater, people can meet their various shopping needs up to 10 million Rupiah easily and safely. We will also continue to develop options for product loans that support SMEs and productive sectors to continue to improve financial inclusion.”

The development of fintech in Indonesia

Since 2018, the DSResearch team has analyzed significant growth in the p2p lending business in Indonesia. Besides being proven with hundreds of players already registered with the authority, loan statistics also continue to increase from time to time. Summarized in the 2019 Fintech Report, until Q3 2019, total loans distributed has reached 60.4 trillion Rupiah.

Fintech development in Indonesia
Fintech development in Indonesia


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kantongi Status Berizin dari OJK, Indodana Genjot Penetrasi Produk PayLater

Selasa (02/6) lalu OJK mengumumkan 8 platform p2p lending baru yang menerima status berizin, salah satunya adalah Indodana (PT Artha Dana Teknologi). Kepada DailySocial, Direktur Utama Indodana Ronny Wijaya menyampaikan bahwa platformnya hadir ingin menjadi solusi bagi masyarakat Indonesia yang memiliki keterbatasan dalam mengakses layanan finansial. Mereka sudah mengudara sejak awal 2018.

“Kami memberikan pinjaman yang dapat diakses dengan mudah oleh semua masyarakat di Indonesia melalui aplikasi selulernya. Di sisi yang lain, kami juga memastikan adanya keahlian dan pengendalian terunggul dalam teknologi big data, AI, dan credit scoring untuk membuat keputusan kredit sesuai dengan prinsip responsible lending,” terangnya.

Secara total, saat ini sudah ada 33 layanan p2p lending yang memiliki status berizin, sementara yang terdaftar di OJK sudah berjumlah 161 perusahaan. Untuk itu, diferensiasi layanan penting untuk dihadirkan masing-masing platform.

Menanggapi itu Ronny menyampaikan, “Kami sekarang sedang fokus untuk mengembangkan produk PayLater untuk memberikan kenyamanan untuk masyarakat untuk berbelanja sekarang dan bayar nanti. Untuk melakukan ini Indodana sudah bekerja sama dengan merchant online dan juga pemain e-money.”

Menurut statistik internal perusahaan, aplikasi Indodana sudah diunduh lebih dari 3 juta pengguna di seluruh Indonesia. Sejauh ini mereka sudah menyalurkan sekitar 1 triliun Rupiah untuk 30 ribu nasabah, baik untuk peminjam personal maupun UKM.  Indodana sendiri memberikan pinjaman antara 1-8 juta Rupiah dengan tenor 3-6 bulan.

Terafiliasi dengan Cermati

Dalam susunan direksi yang tertera di situs perusahaan, disebutkan Co-Founder Cermati Carlo Gandasubrata sebagai komisaris perusahaan. Dalam wawancaranya pun kami sempat menanyakan mengenai kemitraan strategis kedua perusahaan, hanya saja Ronny enggan untuk memberikan pernyataan soal ini.

Yang jelas, jika kita membuat situs Cermati, platform Indodana menjadi salah satu yang rekomendasikan; misalnya ketika memilih rekomendasi untuk produk kartu kredit di kategori “No Fee” berikut ini:

Layanan Indodana menjadi produk yang direkomendasikan Cermati
Layanan Indodana menjadi produk yang direkomendasikan Cermati

Dalam laman perekrutan Cermati, juga ada posisi yang dikhususkan untuk Indodana, misalnya “Partner Success Manager”. Dan terakhir, kantor operasional Indodana dan Cermati juga berada di alamat yang sama di seputar Jl. Tomang Raya No. 38, Jakarta Barat.

Fintech di tengah pandemi

Diskusi kami berlanjut, di tengah pandemi Covid-19 ini Ronny mengatakan bahwa Indodana masih optimis bisa terus melanjutkan penetrasi produknya ke pangsa pasar yang lebih luas.

“Kami merasa berada di posisi yang tepat untuk memberikan layanan fully digital seiring dengan imbauan menjaga jarak di tengah pandemi ini. Untuk memitigasi risiko kredit dalam, tim kami bekerja keras untuk meningkatkan AI dan credit scoring kami untuk menerapkan prinsip kehati-hatian untuk memastikan performa pinjaman di platform kami tetap baik.”

Tahun ini, bersamaan dengan diperolehnya status berizin dari OJK, Indodana masih berambisi untuk meningkatkan layanan khususnya untuk masyarakat underbanked di Indonesia.  Produk PayLater yang sudah mulai dikenalkan ke publik juga diharapkan dapat segera dimaksimalkan jangkauannya, baik untuk pembayaran di merchant online maupun offline.

“Dengan PayLater ini, masyarakat dapat memenuhi berbagai kebutuhan belanja mereka hingga 10 juta Rupiah dengan mudah dan aman. Kami juga akan terus mengembangkan pilihan produk pinjaman yang mendukung UKM dan sektor-sektor produktif untuk terus meningkatkan inklusi keuangan.”

Perkembangan fintech di Indonesia

Sejak tahun 2018 tim DSResearch mencatat pertumbuhan signifikan bisnis p2p lending di Indonesia. Selain terbukti dengan ratusan pemain yang sudah terdaftar di otoritas, statistik pinjaman pun terus meningkat dari waktu ke waktu. Dirangkum dalam Fintech Report 2019, hingga Q3 2019, total pinjaman yang didistribusikan mencapai 60,4 triliun Rupiah.

Catatan perkembangan fintech di Indonesia
Catatan perkembangan fintech di Indonesia
Application Information Will Show Up Here

Survei AFPI: 88 P2P Lending Beri Keringanan Kredit Senilai 237 Miliar Rupiah Selama Pandemi

Survei internal AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) teranyar terkait restrukturisasi kredit akibat pandemi kembali dipaparkan. Kali ini mengungkapkan sebanyak 88 platform mendapat permohonan restrukturisasi dari borrower. Jumlah pinjaman yang berhasil difasilitasi dan disetujui lender mencapai Rp237 miliar dari 674.068 akun/transaksi.

Survei tersebut diselenggarakan pada 9-14 Mei 2020 dan diikuti oleh 143 platform penyelenggara p2p lending sebagai responden. Lebih lanjut dijabarkan, sebanyak 61,5% atau 88 platform mendapat permohonan restrukturisasi dari borrower. Sementara, sisanya 38,5% atau 55 platform tidak mendapat permohonan.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede menjelaskan, dari 88 platform yang melaporkan, hanya 60 di antaranya menyampaikan informasi jumlah akun dan nilai total transaksi. Enam platform lainnya menyampaikan nilai total transaksi, dan 14 platform sisanya hanya menyampaikan jumlah akun.

“Total permohonan restrukturisasi mencapai 1,96 juta akun/transaksi, nilainya mencapai Rp1,08 triliun, tapi yang disetujui lender nilainya hanya Rp237 miliar,” katanya dalam konferensi pers secara online, Selasa (2/6).

Dia menekankan, penyelenggara platform p2p lending berbeda dengan industri perbankan. Platform hanya mempertemukan peminjam dengan pemberi pinjaman, sementara bank bertindak langsung sebagai pemberi pinjaman.

Oleh karenanya, platform tidak berwenang untuk memberi restrukturisasi pinjaman tanpa persetujuan dari lender. “Kewenangan ada di pemberi pinjaman, namun penyelenggara dapat memfasilitasi permintaan pengajuan restrukturisasi bagi peminjam.”

Ditambahkan, dalam survei itu juga memperlihatkan terkait Tingkat Keberhasilan Bayar (TKB90). Sebanyak 90 platform menyatakan TKB90 stabil, 34 platform penurunan TKB90, dan 6 platform mengaku TKB90 naik.

TKB90 adalah level kualitas kredit dalam suatu platform. Semakin tinggi dan mendekati level 100, maka semakin baik. Berdasarkan data OJK per Maret 2020, TKB90 industri p2p lending tercatat di level 95,78%.

Persyaratan baru untuk pengajuan izin

Sumber: AFPI
Sumber: AFPI

Pada saat yang sama, AFPI mengumumkan delapan platform yang baru mengantongi izin usaha dari OJK. Mereka adalah Pinjam Modal, Taralite, Danarupiah, Pinjamwinwin, Julo, Indodana, Awantunai, dan Alami. Adapun total platform yang sudah berizin di OJK mencapai 33 platform dari 161 anggota AFPI, yang sisanya masih berstatus terdaftar.

Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menambahkan, ada tambahan persyaratan yang harus dipenuhi oleh platform saat mengajukan izin. Yakni, memiliki keamanan sistem informasi berupa ISO 27001 dan telah terintegrasi dengan sistem Fintech Data Center (FDC). “Ini adalah requirement yang baru untuk pengajuan pada tahun lalu, pada batch sebelumnya belum ada,” ujarnya.

Integrasi dengan FDC menjadi fokus utama asosiasi saat ini agar bisa memberikan dampak yang optimal untuk mengurangi potensi penipuan di industri. Oleh karenanya, seluruh anggota didorong untuk terintegrasi, termasuk untuk platform yang sedang mengajukan izin.

Berkaitan dengan itu pula, asosiasi menutup sementara proses pendaftaran untuk anggota baru pada beberapa waktu lalu. Kus menyebut, ada 35 pemain baru yang masih dalam daftar tunggu dan belum diproses asosiasi.

“Sebentar lagi kami mau rapat untuk menentukan kapan akan buka lagi. Kami pun sedang ada studi bersama dengan OJK untuk melihat seberapa banyak idealnya p2p lending di Indonesia, hasilnya akan segera keluar.”

Dari data teranyar OJK pada April 2020, akumulasi penyaluran pinjaman di industri p2p lending sebanyak Rp106,06 triliun, naik 186,54% secara yoy. Pulau Jawa mendominasi total pinjaman hingga Rp90,88 triliun, sisanya sebanyak Rp15,18 triliun datang dari luar Pulau Jawa. Jumlah lender yang tercatat ada 647.993 dan borrower mencapai 24,77 juta.

Kus juga mencatat angka pinjaman per bulan sepanjang empat bulan ini mengalami tren kenaikan. Sektor-sektor yang naik drastis adalah pembiayaan untuk industri kesehatan, seperti UKM farmasi, obat-obatan, dan alat pendukung kesehatan. Begitu pula sektor yang terkait distribusi pangan, produk agrikultur, dan makanan kemasan.

Sektor lainnya adalah telekomunikasi dan ekosistem online yang semakin banyak digunakan untuk mendukung kehidupan sehari-hari dan berpotensi untuk berkembang seiring pergeseran perilaku konsumsi masyarakat.

Lendable Officially Connects as KoinWorks’ Institutional Lenders, Pouring 149 Billion Rupiah

KoinWorks has scored another funding in a loan form (debt fund) worth $10 million (equivalent to 149 billion Rupiah) from UK-based institution-lender for developing countries, Lendable. This also adds Lendable to the list of institutional lenders invested on the KoinWorks platform.

KoinWorks Co-Founder & CEO Benedicto Haryono said this funding is to be used to build strong businesses of Indonesian digital SMEs.

“In fact, through the support of thousands of retail lenders and other financial institutions that have been together to encourage the growth of digital SME businesses, especially in the pandemic situation,” he said as quoted from an official statement on Monday (5/18).

Thanks to this additional capital, KoinWorks CFO Mark Bruny said that he was confident because he has succeeded in proving that even though the industry is facing the hard times by Covid-19, the company’s capital is still going strong.

Lendable’s CEO Daniel Goldfarb revealed this funding was his debut in Asia, KoinWorks was his first portfolio. “In the current turbulent times, Lendable continues to support the unbanked and underbanked segments of society by providing funding through fintech companies that provide valuable services to them.”

As history speaks, Lendable was founded in 2015, providing commercial financing to fintech companies in Africa and Asia, including off-grid energy companies, SME lenders, consumer loans, and corporate asset financing. It is claimed they have funded more than $ 50 million for fintech which encourages financial inclusion.

Prior to Lendable, KoinWorks recently received funding under two schemes, loans and equity with a total value of $20 million (316 billion Rupiah). In terms of lenders, it’s coming from two financial institutions from Europe, one of them is global banking from the Netherlands, Triodos Bank.

In a previous interview with DailySocial, KoinWorks confirmed that they would announce new global institutional lenders at the end of last year. Currently, there were only local financial institutions, including Sampoerna and Bank CIMB Niaga.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lendable Bergabung Jadi “Institutional Lender” KoinWorks, Beri Pendanaan 149 Miliar Rupiah

KoinWorks kembali mengumumkan pendanaan berbentuk pinjaman (debt fund) senilai $10 juta (setara 149 miliar Rupiah) dari institusi penyedia pinjaman untuk negara berkembang asal Inggris, Lendable. Pengumuman ini sekaligus menambah Lendable ke dalam daftar institutional lender yang menaruh dananya ke platform KoinWorks.

Co-Founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono mengatakan, pendanaan ini akan digunakan untuk memperkuat bisnis yang dijalankan pelaku UKM digital Indonesia.

“Tentunya, juga melalui dukungan dari ribuan pendana ritel dan institusi keuangan lain yang selama ini telah bersama mendorong pertumbuhan bisnis UKM digital, terutama di masa pandemi,” katanya mengutip dari keterangan resmi, Senin (18/5).

Berkat tambahan modal ini, CFO KoinWorks Mark Bruny menuturkan pihaknya percaya diri karena berhasil membuktikan, meskipun dunia dilanda Covid-19, modal perusahaan masih terjaga kuat.

CEO Lendable Daniel Goldfarb mengungkapkan, pendanaan ini merupakan debutnya di Asia, KoinWorks adalah portofolio pertamanya. “Di masa yang bergejolak saat ini, Lendable terus mendukung segmen masyarakat unbanked dan underbanked dengan menyediakan pendanaan melalui perusahaan fintech yang memberikan layanan berharga untuk mereka.”

Dalam kiprahnya, Lendable berdiri sejak 2015, memberikan pembiayaan komersial kepada perusahaan fintech di Afrika dan Asia, termasuk perusahaan energi off-grid, pemberi pinjaman UKM, pinjaman konsumen, dan pembiayaan aset perusahaan. Diklaim mereka telah mendanai lebih dari $50 juta untuk fintech yang mendorong inklusi keuangan.

Sebelum Lendable, KoinWorks baru-baru ini menerima pendanaan dalam dua skema, yakni pinjaman dan ekuitas dengan nilai total $20 juta (316 miliar Rupiah). Untuk pemberi pinjaman, datang dari dua institusi finansial asal Eropa, salah satunya adalah Triodos Bank, perbankan global asal Belanda.

Dalam wawancara bersama DailySocial sebelumnya, pihak KoinWorks mengonfirmasi bahwa mereka akan menambah deretan institutional lender dari luar negeri pada akhir tahun lalu. Sebelumnya baru ada institusi finansial lokal, termasuk Sampoerna dan Bank CIMB Niaga.

Application Information Will Show Up Here