Fuse Kantongi Tambahan Dana Seri B+, Perkuat Ambisi ke Pasar Regional

Startup insurtech Fuse hari ini (13/12) mengumumkan tambahan pendanaan dalam putaran seri B+ dengan total nilai lebih dari $25 juta (sekitar 363 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh investor global spesialis penggelontor dana untuk fintech dengan identitas dirahasiakan, serta dukungan dari investor sebelumnya seperti East Ventures (Growth Fund), GGV Capital, eWTP, dan EMTEK.

Selama enam bulan ini, Fuse telah menutup tiga putaran pendanaan Seri B dengan total perolehan lebih dari $50 juta (sekitar 725 miliar Rupiah). Dengan kata lain, mengokohkan posisi Fuse ke dalam jajaran startup centaur. Dana segar yang didapat perusahaan akan digunakan untuk membawa platform Fuse ke lebih banyak negara di Asia Tenggara. Perusahaan saat ini memiliki lebih dari 460 pegawai, dengan kantor cabang di Indonesia, Vietnam, dan Tiongkok.

Founder & CEO Fuse Andy Yeung menuturkan, rasa senangnya karena Fuse mendapat pengakuan dari investor fintech skala global di tengah pesatnya persaingan insurtech di Asia Tenggara. Pihaknya bersemangat untuk mendapatkan akses dan wawasan dari perusahaan portofolio fintech dan insurtech lainnya di jaringan global ini.

“Minat yang kuat dari investor global, bersama dengan prestasi terbaru kami masuk daftar World’s Top 100 Insurtechs 2021 yang diterbitkan oleh Sønr Global dan Ernst & Young, menegaskan kembali pendekatan ekosistem kami saat ini. Platform teknologi yang dikembangkan Fuse membuat asuransi lebih mudah diakses oleh masyarakat di Asia Tenggara,” ucap Yeung dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, menurut laporan yang ia kutip, pada tahun ini kelas menengah Asia Tenggara diprediksi akan tumbuh menjadi 350 juta konsumen dengan pendapatan $300 miliar dan semakin melek digital. Menurutnya, Fuse berada di posisi yang tepat untuk memasuki pasar asuransi besar yang kurang terpenetrasi ini melalui platform teknologi uniknya, yang menghadirkan kanal-kanal distribusi yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan konsumen.

“Dengan kepercayaan dari investor, perusahaan asuransi, partner bisnis dan end-customer, Fuse akan terus berusaha sebaik mungkin untuk mengembangkan produk asuransi yang paling terjangkau dan sesuai kebutuhan. Kami sangat percaya bahwa transformasi asuransi digital dapat membantu lebih banyak orang mendapatkan proteksi asuransi, dan semoga tingkat penetrasi asuransi dapat meningkat secara substansial di tahun-tahun mendatang di Indonesia maupun Asia Tenggara.”

Sejak beroperasi di 2017, Fuse mengambil pendekatan aplikasi untuk memungkinkan penjualan asuransi dengan model bisnis B2A (Business to Agent/Broker). Perusahaan memiliki bisnis model yang komprehensif, yakni B2A, B2C comparison, B2B2C (asuransi mikro dan financial institute), yang memungkinkan untuk membantu partner mendistribusikan produk asuransi dengan biaya operasional yang terjangkau kepada end-customer.

Terdapat lebih dari 60 ribu tenaga pemasar/partner yang menggunakan aplikasi Fuse Pro untuk memasarkan produk asuransi. Fuse juga bekerja sama dengan lebih dari 40 perusahaan asuransi, mulai dari perusahaan asuransi umum hingga perusahaan asuransi jiwa, yang mendukung Fuse untuk menyediakan lebih dari 300 produk asuransi bagi end-customer.

Sejak kuartal ketiga 2021, Fuse telah resmi ditunjuk oleh Tokopedia sebagai mitra insurtech strategis untuk menyediakan semua produk asuransi umum bagi user Tokopedia. Pada September lalu, pendapatan premi bruto (Gross Written Premium/ GWP) Fuse telah melampaui Rp1 triliun, yang menjadikan Fuse sebagai perusahaan insurtech terbesar di Indonesia.

Sebelumnya dalam wawancara bersama DailySocial.id, Yeung memaparkan bahwa agen/broker memainkan peran penting dalam rantai penjualan asuransi dan mereka tidak akan terganggu teknologi dalam waktu dekat. Akhirnya diputuskan untuk membangun aplikasi Fuse Pro untuk mengaktifkan dan mendukung agen/broker dalam digitalisasi. Sekaligus, membantu mereka mengubah bisnis offline menjadi online.

“Dengan kata lain, kami ‘menggeser asuransi yang ada’ ke online, daripada mencoba ‘menciptakan’ pasar asuransi baru seperti asuransi mikro. Itu sebabnya kami fokus pada model bisnis agen/broker ini terutama sejak hari pertama,” ujarnya.

Peran vital keagenan

Sebenarnya, startup insurtech saat ini juga memiliki layanan keagenan untuk mendongkrak penjualan produk asuransi lewat agen (B2B) selain kanal ritel (B2C). PasarPolis punya PasarPolis Mitra dan Qoala dengan Mitra Qoala Plus. Hanya saja, keduanya fokus dari ritel dulu baru ke bisnis, sementara Fuse sebaliknya. Tidak ada yang salah dengan kedua segmen bisnis ini karena semangat sama, yakni ingin meningkatkan penetrasi produk asuransi di Indonesia.

Agen adalah garda terdepan perusahaan asuransi dalam memacu bisnis. Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), jalur ini memberikan kontribusi terhadap 36,1% dari total pendapatan premi asuransi jiwa hingga kuartal III 2020. Kemudian, disusul jalur bancassurance 46,95% dan jalur telemarketing 1,88%, dan lainnya 15,06%. Secara total, jumlah agen asuransi berlisensi naik 2,1% menjadi 635.326 orang dalam periode tersebut.

Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengatakan, bagi perusahaan asuransi jiwa, agen itu ibarat darah segar. Bila tidak melakukan rekrutmen, akan membahayakan perusahaan yang mengadopsi strategi agency. “Harap dicatat bahwa tidak semua perusahaan asuransi jiwa menggunakan agency sebagai kanal distribusinya. Jadi hal ini hanya berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa yang menggunakan agen sebagai tenaga penjual,” ucapnya seperti dikutip dari Kontan.

Application Information Will Show Up Here

Cakap Language Learning Platform Secures Series B Funding, Advancing the “Artificial Intelligence” Tech Features

After securing the series A+ funding of $3 million or equivalent to IDR42.6 billion in late 2020, Cakap recently received Series B funding worth $10 million (more than IDR140 billion IDR). This funding round was led by the KB-MDI Centauri Fund and Heritas Capital. Participating also the KB Investment and other undisclosed investors.

The company plans to use the fresh money to expand the certified-course offerings, as well as to drive market expansion in providing better access to high-quality education in Indonesia. Cakap aims to improve its learning technology by exploring the machine learning and artificial intelligence application, which allows more personal learning progress for each student through adaptive learning.

“We are proud and excited to be part of the educational transformation in Indonesia, where we combine high-quality learning content, state-of-the-art technology, and professional teachers in our ecosystem to provide the best learning experience for our students,” Cakap’s Co-Founder & CEO, Cakap Tomy. Yunus said.

Cakap has been a profitable company in the last two years, managed to build credibility and gain growth by acquiring 1.5 million students with 500% YoY growth and downloads of more than 1 million applications. The Series B funding round settles the company’s achievements this year, with good growth through profitability and a role in supporting distance learning as a solution to minimize the impact of the pandemic.

Empowering students and teachers

Cakap is one of the largest edtech platforms in Indonesia that develops online learning applications with two-way interaction between students and teachers through video calls and texts. This concept enables two-way learning interactions for life skills learning across Asia Pacific.​

To date, Cakap claims to have led online language courses for the Adult and Children segment in Indonesia. As a technology platform, it is possible for Cakap to offer its subscription services at affordable prices compared to the concept of offline tutoring services. Cakap has empowered more than 1,000 teachers in all regions. Furthermore, the company plans to expand to the new markets and technological advances.

“Therefore, to support our mission of elevating people’s lives, we are consistently studying the unique behavior of students and improving our solutions by developing our machines around AI and machine learning, to deliver localized and personalized learning to accelerate student learning progress.” Tommy said.

Application Information Will Show Up Here

Flip Secures 688 Billion Rupiah Series B Funding, Entering the Centaur List

A payment platform and cross-bank transfer startup, Flip, closed a $48 million (688 Billion Rupiah) Series B funding led by Sequoia Capital India, Insight Partners and Insignia Venture Partners. The investment marks Insight Partners’  debut in Indonesia for the New York-based global private equity and venture capital firm.

There is no further information on Flip’s latest valuation, yet the total $65 million since its seed has taken the company into the centaur list valued at over $100 million, following OY!, the closest competitor.

Previously, Flip’s series A in 2020 was led by Sequoia Capital India and the seed funding round in 2019 was co-chaired by Sequoia Capital India and Insignia Ventures Partners.

Flip is to use the fresh money to accelerate business expansion, strengthen operations in Indonesia, invest in technology to deliver better quality, and develop talent focusing on engineering and product teams.

“We are honored to receive the trust and continuous support of our partners. We are also pleased to welcome a leading global private equity and venture capital firm, Insight Partners, which has proven successful in the global financial technology industry landscape. We believe that this partnership will help us in pursuing growth and realizing our vision to present the fairest financial product in Indonesia,” Flip’s Founder and President Director, Rafi Putra Arriyan in an official statement, Wednesday (8/12).

Sequoia India’s VP, Aakash Kapoor said bank transfers are the most dominant payment method in Indonesia’s rapidly growing digital economy. Flip has a large and fast-growing user base with remarkably good retention metrics.

“Partnering with more than 50 fintech companies and some of the distribution-first payment unicorns, Sequoia Capital India believes that Flip is the most attractive consumer fintech company in Indonesia. We are very pleased to co-lead the third consecutive round as a testimony to our high confidence in Flip,” Kapoor said.

Flip has grown significantly amidst the increasing adoption of the technology. The company has served more than seven million users to process various types of financial transactions from various regions in Indonesia as well as abroad remittances.

In addition, Flip provides business solutions for hundreds of companies with various industry scales, including MSMEs (Small and Medium Enterprises), through cash disbursement and remittance services such as employee payroll, customer refunds, invoice/supplier payments, and international transfers.

This solution was created due to several obstacles faced by bank account owners in Indonesia when transferring money. Starting from the convenience of using the product, admin fees for different bank transfers, seamless transaction and faster process.

Rafi also mentioned, there is still room to renew and simplify various financial transactions. “Flip seeks to help individuals and businesses minimize the complexity of these transactions and reduce money transfer cost.”

Flip’s ambition is to become the world’s most customer-centric financial technology company and enable users to make fair financial transactions from anywhere to anyone.

Some of Flip’s main products include online P2P payments with bank transfers to more than 100 domestic banks, international remittances, top-up e wallet and other business solutions. It is claimed that Flip’s  transaction value has reached more than IDR 2 trillion per month.

BI Fast

The central bank is aware of the high transfer fees that consumers often complain as they make digital transaction. In response to this, Bank Indonesia recently launched a new system called BI Fast to reduce interbank transfer fees.

Through BI Fast, registered cross-bank transfer fees have been reduced from IDR 6,500 to IDR 2,500 per transaction. This system will be valid on December 2021 in 22 banks at an early stage. BI Fast is a real-time retail payment system that operates 24/7 replacing the Bank Indonesia’s National Clearing System (SKNBI).

Next, there will be more banks register as participants. Also, it is stated in the regulation that banks that can become BI Fast participants are conventional commercial banks, Islamic commercial banks, sharia business units, and branch offices of foreign banks in Indonesia.

BI Fast will certainly become a threat to both Flip and OY!. Flip alone does not charge an administration fee for individual customers with a nominal transfer of under IDR 5 million a day. If the transaction is at the maximum threshold, the user will be charged at IDR 2,500 per transaction. It is the exact nominal charged by BI Fast.

Recently, the company has provided 24-hour operational hours to provide users with more flexible access to transfer funds at several banks. Previously, Flip has limited its operating hours from 7am to 8pm.

Application Information Will Show Up Here

Platform Pembelajaran Bahasa Cakap Kantongi Pendanaan Seri B, Fokus Kembangkan Fitur Berteknologi “Artificial Intelligence”

Setelah mengantongi pendanaan seri A+ senilai $3 juta atau setara Rp42,6 miliar Rupiah akhir tahun 2020 lalu, bulan Desember ini Cakap kembali memperoleh pendanaan Seri B senilai $10 juta (lebih dari Rp140 miliar Rupiah). Putaran pendanaan ini dipimpin oleh KB-MDI Centauri Fund dan Heritas Capital. Turut berpartisipasi KB Investment dan invstor lainnya yang tidak diungkapkan lebih lanjut.

Dana segar tersebut nantinya akan digunakan perusahaan untuk memperluas penawaran kursus bersertifikat, serta untuk mendorong ekspansi pasar dalam menyediakan akses yang lebih baik ke pendidikan berkualitas tinggi di Indonesia. Cakap juga ingin meningkatkan teknologi pembelajaran mereka dengan mengeksplorasi penerapan machine learning dan artificial intelligence, yang memungkinkan kemajuan belajar menjadi lebih personal bagi setiap siswa melalui pembelajaran adaptif.

“Kami bangga dan bersemangat untuk menjadi bagian dari transformasi pendidikan di Indonesia, di mana kami menggabungkan konten pembelajaran berkualitas tinggi, canggih teknologi, dan guru profesional di ekosistem kami untuk memberikan pengalaman belajar terbaik bagi kami siswa,” kata Co-Founder & CEO Cakap Tomy Yunus.

Tercatat dalam waktu dua tahun terakhir Cakap telah mendapatkan profit, telah berhasil membangun kredibilitas dan memperoleh pertumbuhan dengan mengakuisisi 1,5 Juta siswa, dengan pertumbuhan 500% YoY pada siswa aktif dan unduhan lebih dari 1 juta aplikasi. Putaran pendanaan Seri B ini sekaligus menutup pencapaian perusahaan tahun ini, dengan pertumbuhan yang baik melalui profitabilitas dan peran dalam mendukung pembelajaran jarak jauh sebagai solusi untuk meminimalisir dampak pandemi.

Memberdayakan siswa dan guru

Cakap adalah salah satu platform edtech terbesar di Indonesia yang mengembangkan aplikasi pembelajaran online dengan interaksi dua arah antara siswa dan guru melalui panggilan video dan percakapan teks. Konsep ini memungkinkan interaksi pembelajaran dua arah untuk pembelajaran life skill di seluruh Asia Pasifik. ​

Selama ini Cakap mengklaim telah memimpin kursus bahasa online untuk segmen Dewasa dan Anak-anak di Indonesia. Sebagai platform teknologi memungkinkan Cakap untuk menawarkan layanan berlangganan mereka dengan harga terjangkau dibandingkan dengan konsep layanan bimbingan belajar offline. Cakap juga telah memberdayakan lebih dari 1.000 guru di seluruh daerah. Ke depannya Cakap memiki rencana untuk perluasan pasar baru dan kemajuan teknologi.

“Oleh karena itu, untuk mendukung misi kami dalam mengangkat kehidupan masyarakat, kami secara konsisten mempelajari perilaku unik siswa dan meningkatkan solusi kami dengan mengembangkan mesin kami di sekitar AI dan machine learning, untuk memberikan pembelajaran yang terlokalisasi dan terpersonalisasi dalam mempercepat kemajuan belajar siswa,” kata Tomy.

Application Information Will Show Up Here

Flip Kantongi Dana Segar Seri B 688 Miliar Rupiah, Masuk ke Jajaran Centaur

Flip, startup penyedia platform pembayaran dan transfer dana antarbank, mengumumkan penutupan pendanaan Seri B senilai $48 juta (688 Miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Sequoia Capital India, Insight Partners, dan Insignia Venture Partners. Investasi di Flip menandakan debut Insight Partners di Indonesia bagi perusahaan ekuitas swasta dan modal ventura global yang berbasi di New York ini.

Meskipun belum ada informasi soal valuasi terbaru Flip, total dana $65 juta yang telah diperoleh Flip sejak pendanaan awal membawa Flip masuk ke jajaran centaur bervaluasi lebih dari $100 juta, menyusul OY!, kompetitor terdekatnya.

Sebelumnya, putaran Seri A Flip pada 2020 dipimpin Sequoia Capital India dan putaran pendanaan awal pada 2019 dipimpin bersama oleh Sequoia Capital India dan Insignia Ventures Partners.

Flip akan menggunakan dana segar tersebut untuk mempercepat ekspansi bisnis, memperkuat operasional di Indonesia, berinvestasi pada teknologi untuk memberikan kualitas yang lebih baik, serta mengembangkan talenta dengan fokus pada tim teknik dan produk.

“Kami merasa terhormat untuk tetap menerima kepercayaan dan dukungan terus menerus dari mitra kami. Kami juga senang menyambut perusahaan modal ventura dan ekuitas swasta global terkemuka, Insight Partners, yang telah terbukti sukses dalam lanskap industri teknologi keuangan global. Kami percaya bahwa kemitraan ini akan membantu kami dalam mengejar pertumbuhan dan mewujudkan visi kami untuk menghadirkan produk keuangan yang paling adil di Indonesia,” ucap Founder dan Direktur Utama Flip Rafi Putra Arriyan dalam keterangan resmi, Rabu (8/12).

VP Sequoia India Aakash Kapoor mengatakan, transfer beda bank merupakan metode pembayaran paling dominan dalam ekonomi digital Indonesia yang berkembang pesat. Flip memiliki basis pengguna yang besar dan tumbuh cepat dengan metrik retensi yang luar biasa baik.

“Bermitra dengan lebih dari 50 perusahaan fintech dan beberapa unicorn pembayaran pertama distribusi, Sequoia Capital India percaya bahwa Flip adalah perusahaan fintech konsumen paling menarik di Indonesia. Kami sangat senang untuk memimpin bersama putaran ketiga berturut-turut sebagai bukti keyakinan yang tinggi terhadap Flip,” kata Kapoor.

Flip telah tumbuh secara signifikan di tengah meningkatnya adopsi teknologi. Perusahaan telah melayani lebih dari tujuh juta pengguna untuk memroses berbagai jenis transaksi keuangan dari dan ke berbagai daerah di Indonesia serta untuk pengiriman uang ke luar negeri.

Selain itu, Flip menghadirkan solusi bisnis bagi ratusan perusahaan dengan berbagai skala industri, termasuk UKM (Usaha Kecil Menengah), melalui layanan pencairan uang dan pengiriman uang seperti penggajian karyawan, pengembalian uang pelanggan, pembayaran faktur/pemasok, dan transfer internasional.

Solusi ini hadir karena di Indonesia terjadi beberapa kendala yang dihadapi pemilik rekening bank saat melakukan transfer uang. Mulai dari, kenyamanan penggunaan produk, biaya admin transfer beda bank, alur transaksi hingga kelancaran dan kecepatan proses transaksi.

Menurut Rafi, masih terdapat ruang untuk memperbaharui dan mempermudah berbagai transaksi keuangan. “Flip berupaya membantu para individu dan bisnis untuk meminimalkan kerumitan transaksi tersebut dan melakukan transfer uang dengan biaya rendah.”

Flip berambisi menjadi perusahaan teknologi keuangan yang paling mengutamakan pelanggan (customer-centric) di dunia dan memungkinkan para pengguna untuk melakukan transaksi keuangan yang adil dari mana saja kepada siapa saja.

Beberapa produk Flip yang paling dominan di antaranya, pembayaran P2P online dengan transfer beda bank ke lebih dari 100 bank domestik, pengiriman uang ke luar negeri (international remittance), isi ulang dompet digital (top-up e-wallet), dan produk-produk solusi bisnis. Tercatat, nilai transaksi yang diproses Flip telah tembus lebih dari Rp2 triliun per bulannya.

BI Fast

Bank sentral menyadari biaya transfer yang tinggi sering dikeluhkan konsumen saat betransaksi digital. Menjawab hal tersebut, Bank Indonesia baru-baru ini meluncurkan sistem baru bernama BI Fast untuk meringankan biaya transfer antarbank sebagai salah satu tujuannya.

Lewat BI Fast, biaya transfer antarbank yang sudah terdaftar diturunkan dari Rp6.500 menjadi Rp2.500 per transaksi. Sistem ini awalnya direncanakan mulai berlaku per Desember 2021 di 22 bank pada tahap awal. BI Fast merupakan sistem pembayaran retail secara real-time yang beroperasi 24/7 menggantikan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).

Berikutnya, akan semakin bertambah bank yang mendaftar diri sebagai peserta. Pasalya, dalam beleid disebutkan, bank yang dapat menjadi peserta BI Fast adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, unit usaha syariah, dan kantor cabang bank asing di Indonesia.

Kehadiran BI Fast tentunya menjadi ancaman tersendiri baik bagi Flip maupun OY!. Flip sendiri tidak membebankan biaya administrasi untuk nasabah individu dengan nominal transfer di bawah Rp5 juta dalam sehari. Apabila transaksi di ambang batas maksimal, maka pengguna dibebankan biaya Rp2.500 per transaksi. Nominal tersebut persis sama dengan yang dibebankan oleh BI Fast.

Baru-baru ini perusahaan telah menyediakan jam operasional 24 jam untuk memberikan akses transfer dana yang lebih leluasa kepada penggunanya di sejumlah bank. Sebelumnya, Flip membatasi jam operasionalnya dari jam 7 pagi sampai jam 8 malam.

Application Information Will Show Up Here

AC Ventures Leads Series A+ Funding of Malaysian Based SaaS F&B Startup Food Market Hub

AC Ventures led Series A+ funding for Malaysian based SaaS startup Food Market Hub (FMH) worth of $8.5 million (over 121 billion IDR). As for the latest funding, FMH’s valuation is estimated to reach $40 million. FMH is a platform provider that simplifies and automates back-end operations for food and beverage (F&B) businesses.

In this round, AC Ventures invested through a special fund in Malaysia named Penjana Kapital Fund. Participated also new investors, including East Ventures, Velocity Ventures, Capital Code, and several angel investors. There are also  previous investors, including Go-Ventures, SIG, and 500 Global.

FMH received a total fresh funds of $12.5 million (more than 179 billion Rupiah) through the Series A and Series A+ rounds due to the company’s rapid growth and the digital acceleration in the F&B sector.

The funding allows FMH to accelerate its expansion to Indonesia, deeper penetration into the Malaysian market, and strengthen its presence in Singapore and Thailand by 2022.

In an official statement, Food Market Hub‘s CEO, Anthony See said, the platform built by FMH has helped many F&B businesses reduce their food costs. In addition, it helps them thrive, especially during the difficult times caused by this pandemic.

“We have observed a significant increase in demand for our solutions as more and more businesses recognize the value of technology in enabling them to achieve greater efficiencies – especially in today’s evolving business climate,” Anthony said.

Founded in 2017, the FMH platform automates the purchasing process and inventory tracking, helping F&B businesses minimize waste while managing food and inventory costs more efficiently.

By leveraging FMH function, F&B restaurants can easily order from the existing and new suppliers while automatically synchronizing data from Point-of-Sales (POS), inventory, and accounting systems for procurement decision making on a single platform. In addition, other integrations to third-party software, provide comprehensive real-time data for business owners to enable them to manage their business efficiently.

Today, many businesses have been forced to digitize in order to address the challenges posed by the COVID-19 pandemic. Since early 2020, FMH has experienced exponential growth, doubling its active users to 5,000 with an overall retention rate of 87%. Its total annual order value has quadrupled in the past 12 months to $600 million in October 2021.

Most FMH users use the platform daily to process 90% of all purchase transactions, showing how important FMH is to their operations. Some FMH users come from cafe chains, large restaurant groups, and franchises, such as The Coffee Academics, Din Tai Fung, Yum Brands, KFC, and Pizza Hut.

The company recently expanded its offerings by launching a payment service in Malaysia, enabling F&B businesses to seamlessly send invoices and collect payments within the platform.

“Our mission is to support disruptions that will create value through their technological innovations, especially in the ASEAN. Food Market Hub’s track record in Hong Kong, Singapore, Malaysia and Taiwan has shown strong potential to accelerate the transformation of the F&B business. We look forward to their continued growth across the region and beyond,” AC Ventures’ Partner, Ng Yi Chung said.

This year, FMH becomes one of three winners of HLB Launchpad 2020 collaborating with Hong Leong Bank on a pilot project. The company recently signed a Memorandum of Understanding (MoU) with Saladplate, a marketplace for F&B and hospitality, to help provide local businesses source F&B digitally.

Moreover, they also partner with Malaysia Digital Economy Corporation (MDEC) in the virtual Go-eCommerce Expo 2021 to encourage local businesses to adopt eCommerce. It also encourages partnership with Southeast Asia’s first Hospitality and Travel technology investor, Velocity Ventures to strengthen its position in the FMH F&B industry and expand into new markets rapidly.

Aside from Malaysia, FMH has a footprint in other Asian markets such as Hong Kong, Taiwan, Thailand and Singapore. With its recent expansion into Indonesia, the company is already available in six countries.

The company will continue to support the digitization of Southeast Asian businesses with deeper regional coverage and a desire to enter new markets such as Vietnam. Over the next year, FMH plans to provide financing tools to support the recovery of the regional F&B business.

SaaS solution in Indonesia

In the list AC Ventures portfolios, there is a startups that offers similar solutions for the F&B industry like Esensi Solusi Buana (ESB). ESB is an all-in-one culinary business operational system software provider that connects front-end, back-end, consumers, and supply chain partners for restaurants.

On a general note, based on the 2021 MSME Empowerment Report published by DSInnovate, there are several basic problems experienced by MSME players in Indonesia, including:

In order to overcome this problem, 83% of MSME players admit to using services from digital startups. From this hypothesis, the founders are passionate about presenting a variety of products with different value propositions. Currently, there are dozens of startups that present various types of SaaS in this segment.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

AC Ventures Pimpin Pendanaan Seri A+ untuk Startup SaaS F&B Malaysia Food Market Hub

AC Ventures memimpin pendanaan Seri A+ untuk startup SaaS Malaysia Food Market Hub (FMH) sebesar $8,5 juta (lebih dari 121 miliar Rupiah). Pasca perolehan dana ini, valuasi FMH diperkirakan mendekati $40 juta. FMH adalah penyedia platform yang menyederhanakan dan mengautomatisasi operasi back-end untuk bisnis makanan dan minuman (F&B).

Di putaran ini, AC Ventures berinvestasi melalui fund khusus di Malaysia bernama Penjana Kapital Fund. Juga menjadi investor baru adalah East Ventures, Velocity Ventures, Capital Code, dan beberapa angel investor. Investor terdahulu yang turut berpartisipasi termasuk Go-Ventures, SIG, dan 500 Global.

Secara total, di putaran Seri A dan Seri A+, FMH memperoleh dana segar $12,5 juta (lebih dari 179 miliar Rupiah) akibat pertumbuhan perusahaan diklaim sangat cepat dan dorongan percepatan digitalisasi di sektor F&B.

Pendanaan ini memungkinkan FMH mempercepat rencana ekspansinya ke Indonesia, menembus lebih dalam ke pasar Malaysia, dan memperkuat kehadirannya di Singapura dan Thailand pada tahun 2022.

Dalam keterangan resmi, CEO Food Market Hub Anthony See menuturkan, platform yang dibangun FMH berhasil membantu banyak bisnis F&B mengurangi biaya makanan dan pemborosan mereka. Tak hanya itu, membantu mereka berkembang pesat, terutama selama masa-masa sulit yang disebabkan oleh pandemi ini.

“Kami telah mengamati peningkatan permintaan yang signifikan untuk solusi yang kami berikan karena semakin banyak bisnis menyadari nilai teknologi dalam memungkinkan mereka mencapai efisiensi yang lebih besar – terutama dalam iklim bisnis yang terus berkembang saat ini,” kata See.

Didirikan pada tahun 2017, platform FMH mengotomatiskan proses pembelian dan pelacakan inventaris, membantu bisnis F&B meminimalkan pemborosan sambil mengelola biaya makanan dan inventaris dengan lebih efisien.

Dengan memanfaatkan FMH, restoran F&B dapat dengan mudah memesan dari pemasok mereka yang sudah ada dan yang baru sambil secara otomatis menyinkronkan data dari Point-of-Sales (POS), inventaris, dan sistem akuntansi untuk pengambilan keputusan pengadaan pada satu platform. Selain itu, integrasi lain ke perangkat lunak pihak ketiga, menyediakan data yang komprehensif secara real-time untuk pemilik bisnis agar mereka dapat mengelola bisnis secara efisien.

Saat ini, banyak bisnis telah dipaksa untuk melakukan digitalisasi dalam mengatasi tantangan yang dibawa oleh pandemi COVID-19. Sejak awal 2020, FMH telah mengalami pertumbuhan eksponensial, menggandakan pengguna aktifnya menjadi 5.000 dengan tingkat retensi keseluruhan 87%. Nilai total pesanan tahunannya telah tumbuh lebih dari empat kali lipat dalam 12 bulan terakhir menjadi US$600 juta pada Oktober 2021.

Para pengguna FMH sebagian besar menggunakan platform setiap hari untuk memproses 90% dari semua transaksi pembelian, menunjukkan betapa pentingnya FMH untuk operasi sehari-hari mereka. Beberapa pengguna FMH datang dari jaringan kafe (cafe chain), grup restoran besar, dan waralaba, seperti The Coffee Academics, Din Tai Fung, Yum Brands, KFC, dan Pizza Hut.

Perusahaan baru-baru ini memperluas penawarannya dengan meluncurkan layanan pembayaran di Malaysia, memungkinkan bisnis F&B untuk mengirim faktur dan mengumpulkan pembayaran dengan lancar di dalam platform.

“Misi kami adalah untuk mendukung disrupsi yang akan menciptakan nilai melalui inovasi teknologi mereka, terutama di kawasan ASEAN. Rekam jejak Food Market Hub di Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Taiwan telah menunjukkan potensi yang kuat untuk mempercepat transformasi bisnis F&B. Kami menantikan pertumbuhan berkelanjutan mereka di seluruh kawasan dan sekitarnya,” kata Partner AC Ventures Ng Yi Chung.

Pada tahun ini, FMH adalah salah satu dari tiga pemenang HLB Launchpad 2020 yang berkolaborasi dengan Hong Leong Bank dalam proyek percontohan. Perusahaan baru-baru ini menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Saladplate, marketplace untuk F&B dan perhotelan, untuk membantu bisnis lokal mendapatkan sumber F&B secara digital.

Serta, bermitra dengan Malaysia Digital Economy Corporation (MDEC) dalam virtual Go-eCommerce Expo 2021 untuk mendorong bisnis lokal mengadopsi eCommerce. Ini juga menandai dimulainya kemitraan dengan investor teknologi Perhotelan dan Perjalanan pertama di Asia Tenggara, Velocity Ventures untuk memperdalam pijakan industri F&B FMH dan memperluas ke pasar baru dengan cepat.

Di luar Malaysia, FMH telah memiliki jejak di pasar Asia lainnya seperti Hong Kong, Taiwan, Thailand, dan Singapura. Dengan ekspansi baru-baru ini ke Indonesia, perusahaan kini hadir di enam negara.

Perusahaan akan terus mendukung digitalisasi bisnis Asia Tenggara dengan cakupan wilayah yang lebih dalam dan keinginan untuk memasuki pasar baru seperti Vietnam. Selama tahun depan, FMH berencana untuk menyediakan alat pembiayaan untuk mendukung pemulihan bisnis F&B regional.

Solusi SaaS di Indonesia

Dalam portofolio AC Ventures, juga terdapat startup dengan solusi sejenis untuk industri F&B, yakni Esensi Solusi Buana (ESB). ESB adalah penyedia software sistem operasional bisnis kuliner all-in-one yang menghubungkan front-end, back-end, konsumen, dan mitra rantai pasokan untuk restoran.

Secara umum, menurut laporan MSME Empowerment Report 2021 yang diterbitkan DSInnovate, terdapat beberapa permasalahan mendasar yang saat ini dialami oleh pelaku UMKM di Indonesia, di antaranya:

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, 83% dari pelaku UMKM mengaku menggunakan layanan dari startup digital. Dari hipotesis tersebut, para founder pun bergairah untuk menghadirkan ragam produk dengan proposisi nilai yang berbeda-beda. Saat ini ada puluhan startup yang menghadirkan berbagai jenis SaaS di segmen tersebut.

David De Gea Buat Organisasi Esports: Rebels Gaming, 100 Thieves Dapat Investasi US$60 Juta

Minggu lalu, ada dua atlet olahraga yang memasuki dunia esports dengan membuat organisasi esports. Pertama adalah kiper Manchester United, David De Gea, yang membuat Rebels Gaming. Kedua adalah Kenny Vaccaro, mantan atlet NFL, yang meluncurkan G1 atau Gamers First. Sebelum De Gea dan Vaccaro, ada banyak atlet olahraga yang mencoba untuk aktif di industri esports, seperti David Beckham. Selain itu, pada minggu lalu, 100 Thieves mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan kucuran dana sebesar US$60 juta.

David de Gea Perkenalkan Organisasi Esports Baru: Rebels Gaming

Kiper Manchester United, David de Gea menjajaki industri esports dengan meluncurkan organisasi esports bernama Rebels Gaming. Nantinya, organisasi itu akan merekrut tim untuk bertanding di League of Legends, VALORANT, dan Rainbow Six Siege. Selain pemain profesional, Rebels Gaming juga akan merekrut kreator konten dan streamers. Bagi para pemain, streamers, dan kreator konten, Rebels Gaming akan menyediakan fasilitas latihan yang terletak di Madrid, Spanyol.

“Peluncuran Rebels Gaming di dunia esports adalah mimpi lain yang jadi kenyataan,” kata De Gea, menurut laporan Esports Insider. “Organisasi ini betujuan untuk membuat generasi muda paham akan nilai-nilai yang saya pelajari dari karir saya di dunia sepak bola.”

100 Thieves Dapat Investasi Senilai US$60 Juta

Organisasi esports asal Amerika Utara, 100 Thieves, baru saja mendapatkan investasi sebesar US$60 juta. Ronde pendanaan Seri C dari 100 Thieves kali ini dipimpim oleh Green Bay Ventures dan didukung oleh beberapa investor lama dan baru, seperti Aglae Ventures, Breyer Capital, Tao Capital, dan Willoughby Capital. Dengan kucuran dana segar terbaru ini, valuasi dari 100 Thieves diperkirakan mencapai US$460 juta.

100 Thieves baru saja mendapatkan pendanaan Seri C.

“Performa kami di 2021 lebih baik dari perkiraan,” kata Matthew “Nadeshot” Haag, pendiri dan CEO dari 100 Thieves, menurut laporan Esports Insider. “Kami berhasil merealisasikan janji kami untuk mengembangkan budaya gaming. Pada saat yang sama, kami juga dapat membangun bisnis dan brand yang kuat untuk masa depan. 100 Thieves sekarang punya modal untuk membuat dan mengakuisisi perusahaan-perusahaan yang akan dicintai oleh komunitas kami.”

IESF Bekerja Sama dengan ESWF

International Esports Federation (IESF) telah menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) dengan Esports World Federation (ESWF). Dengan begitu, kedua federasi itu akan bekerja sama untuk “mengembangkan dan menyatukan esports” di seluruh dunia. ESWF akan memimpin Esports for all Commission, program baru yang ditujukan untuk membuat komunitas esports menjadi lebih inklusif. Sementra itu, Stephan Carapiet, Deputy President of the ESWF, juga akan ikut berpartisipasi dalam program tersebut sebagai Honorary Vice President of IESF.

“Kami senang dapat bekerja sama dengan ESWF untuk merealisasikan tujuan kami bersama,” kata Vlad Marinescu, President of IESF, seperti dikutip dari Esports Insider. “IESF akan berkolaborasi dengan ESWF untuk memberikan dukungan terbaik bagi organisasi dan pemain esports di dunia. Kami juga akan terus menyokong kebiasaan bermain game yang sehat untuk keluarga World Esports.”

Malaysia Digital Creativity Festival 2021 Dihadari Lebih dari 10 Ribu Fans Esports

Malaysia Digital Creativity Festival (MYDFC) 2021 diadakan pada 27-28 November 2021 lalu. Digelar oleh Malaysia Digital Economy Corporation (MDEC), event itu dihadari oleh lebih dari 10 ribu penggemar esports di Malaysia. Salah satu hal yang menjadi daya tarik dari event tersebut adalah 10 turnamen esports yang digelar di sana. Game-game yang diadu dalam kompetisi itu antara lain PUBG Mobile, Mobile Legends, Apex Legends, Free Fire, VALORANT, Wild Rift, FIFA 22, Guilty Gear, dan Ejen Ali: Agents Arena. Total hadiah yang ditawarkan mencapai RM70 ribu atau sekitar Rp239 juta, lapor IGN.

MYDCF 2021. | Sumber: IGN

Selain turnamen esports, MYDFC juga menyediakan masterclasses yang diadakan pada 6-7 November 2021. Kelas itu menampilkan Cheng Jin Xiang alias “NothingToSay“, pemain Dota 2 profesional asal Malaysia yang bermain di PSG.LGD, runner-up dari The International 10. Di MYDFC juga digelar konferensi “Sembang Game”, yang menyertakan sejumlah speaker ternama, seperti Team Director, Fnatic, Eric Thor, Senior Manager of Esports Global Operations, Moonton, Siew Hao Zhen, streamer MissRose, dan caster Mathhew Issac.

Mantan Atlet NFL Buat Organisasi Esports, G1

Mantan atlet american football, Kenny Vaccaro mengumumkan bahwa dia akan mengundurkan diri dari dunia olahraga fisik untuk bisa berkarir dunia esports. Bersama Hunter Swensson dan Cody Hendrix, Vaccaro mengumumkan keberadaan organisasi esports G1, yang juga dikenal dengan nama Gamers First. G1 akan bermarkas di Austin, Texas, Amerika Serikat.

Sekarang, Vaccaro, Swensson, dan Hendrix tengah fokus untuk merekrut para pemain esports. Sejauh ini, G1 telah menandatangani kontrak dengan delapan orang, yaitu empat kreator Destiny dan empat pemain Halo profesional. Memang, G1 ingin bisa berkompetisi di Halo World Championship, menurut laporan VentureBeat. Selain delapan orang tersebut, G1 juga telah mempekerjakan seorang pelatih.

Sumber header: Daily Esports

Wise Egg Announces Pre Series A Funding, Launching “MoneyDuck” Financial Products Aggregator in Indonesia

The Singapore based fintech startup Wise Egg announced a pre-series A funding with convertible notes led by Genesia Ventures, which was also a previous investor in the seed round. The new investors include Money Ventures and some angel investors. The value in this round is undisclosed.

The company will use this fresh money to build teams in Indonesia and Thailand, as well as expand its expert network and recruit engineers. Next, MoneyDuck plans to expand its business to other Southeast Asian countries by improving features to support sales for professionals.

Genesia Ventures’ General Partner, Takahiro Suzuki said, there are many consumers in Southeast Asia with limited access to financial services although the region’s economy continues to grow. “This business is in line with six of our challenges, including ‘Enriching People’s Lives’ and ‘Equality of Information and Opportunities’, therefore, we are re-investing in this round after the previous one,” he said in an official statement, Wednesday (12/1).

In Southeast Asia, the working age population continues to grow, creating a pyramid where the younger generation took bigger space than the older generation. It will give birth to a “demographic bonus” in the future. As income grows, people can access financial services and products.

Financial products such as insurance, loans, and fintech product innovations have been offered in the market and currently growing, however, there are many challenges on the way. One of the challenges is the lack of public financial literacy, that makes it difficult to optimize financial services experience.

Wise Egg is the company behind MoneyDuck, a financial solutions platform for consumers and financial providers. Wise Egg’s Founder & CEO, Takashi Matsuura said, “Through MoneyDuck, we want to increase user access to financial services, create efficient relationships between consumers and financial companies, and contribute to creating a richer life by solving financial inclusion and social problems.

“MoneyDuck is not only trying to provide financial inclusion solutions for the public as users of financial services, but also solutions to financial providers for appropriate financial services,” Matsuura said.

Some players in Indonesia have offered similar services, such as CekAja, Cermati, Lifepal and what GoBear used to do until it finally went out of business. However, MoneyDuck offers an added value that allows users to get financial advice from experts through the chat feature on MoneyDuck, WhatsApp, or other communication platforms.

In terms of experts, they will be able to find prospects and carry out promotions, and get access to a dashboard to contact potential consumers based on their profiles. Meanwhile,in terms of users, they can consult with financial experts through a friendly UI, after answering a few simple questions to connect with experts according to their financial needs, for free.

The company also ensures that the information entered by this user is shared with suitable experts, and nothing to worry about getting a massive sales offers.

“Financial services are an important foundation for living a stable life. However, there are many people who are yet to have access to financial services due to the low level of user literacy in Southeast Asia. Meanwhile, the digital transformation of financial institution is yet to be improved, it creates inefficiency to approach new customers,” Matsuura said.

Based on its website, MoneyDuck provides credit card products, loans, savings, insurance, investments, and others together with related partners. Starting from J Trust Bank, Bank Mega, BNI, DBS Bank Indonesia, CTBTC Bank, Bank Danamon, BCA, BRI, Panin Bank, and many more. In terms of investment products, forex is currently the sole trading products.

Similar business in Indonesia

The opportunity to become an aggregator of financial products is widely open. In Indonesia alone, the potential for the unbanked is still higher than the bankable. This is the right aggregator solution to reach those with low financial literacy and have not been able to keep up with the fast changing market. On the regulatory side, the aggregator platform is currently work under the Digital Financial Innovation at OJK.

Another issue is the inability to choose and conduct personal research on financial products, causing problems due to choosing illegal products without realizing the consequences; users cannot access certain financial products due to difficulties in filling out forms and incorrectly preparing the required documents; and there are still few sources of financial advice providers with friendly UX.

It creates difficulty for financial institutions to switch to more efficient features such as AI chat bots or communication methods without a human touch due to user resistance. Users need sales people and customer service personnel to offer and explain products, as well as guide them through the application process.

Both CekAja and Cermati, currently with their aggregator business bases that have been operating for a longer time, have transformed into various other fintech business units. CekAja, for example, ventured into the credit scoring business to see how much loan and credit card applications were approved. Meanwhile, Cermati entered the insurtech realm with the Cermati Protect brand, Indodana p2p lending, and Bank-as-a-service (BaaS) solutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Terima Pendanaan Pra-Seri A, Wise Egg Luncurkan Agregator Produk Keuangan “MoneyDuck” di Indonesia

Startup fintech asal Singapura Wise Egg mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A dengan instrumen convertible notes yang dipimpin oleh Genesia Ventures, yang juga merupakan investor sebelumnya dalam putaran tahap awal. Investor baru yang turut berpartisipasi ada Money Ventures dan sejumlah angel investor. Tidak disebutkan nominal yang didapat perusahaan dalam putaran ini.

Perusahaan akan memanfaatkan dana segar ini untuk membangun tim di Indonesia dan Thailand, serta memperluas jaringan expert dan perekrutan tenaga engineer. Ke depannya, MoneyDuck berencana untuk ekspansi bisnis ke negara-negara Asia Tenggara lainnya dengan meningkatkan fitur yang mendukung proses penjualan untuk para profesional.

General Partner Genesia Ventures Takahiro Suzuki menuturkan, masih banyak konsumen di Asia Tenggara yang mengalami keterbatasan akses ke layanan keuangan, kendati pertumbuhan ekonomi di regional ini terus mengalami tren pertumbuhan. “Bisnis ini sesuai dengan sesuai dengan enam dari tantangan kami, yaitu ‘Memperkaya Kehidupan Orang’ dan ‘Kesetaraan Informasi dan Peluang’, sehingga kami kembali berinvestasi dalam putaran ini setelah sebelumnya di putaran awal,” ucapnya dalam keterangan resmi, Rabu (1/12).

Di Asia Tenggara, populasi usia produktif terus tumbuh sehingga menciptakan diagram piramida penduduk dengan populasi generasi muda lebih banyak dibandingkan generasi tua. Hal ini akan melahirkan “bonus demografi” di masa depan. Dan seiring pertumbuhan pendapatan, masyarakat dapat mengakses layanan dan produk keuangan.

Produk-produk finansial seperti asuransi, pinjaman, dan inovasi produk fintech telah ditawarkan di pasar dan terus berkembang, namun ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangannya adalah masih minimnya literasi keuangan masyarakat sehingga mereka sulit menikmati manfaat layanan keuangan secara optimal.

Wise Egg merupakan perusahaan di balik MoneyDuck, platform solusi keuangan bagi konsumen dan penyedia keuangan. Founder & CEO Wise Egg Takashi Matsuura menuturkan, melalui MoneyDuck pihaknya ingin meningkatkan akses pengguna layanan keuangan, menciptakan hubungan yang efisien antara konsumen dengan perusahaan keuangan, dan berkontribusi untuk melahirkan kehidupan yang lebih kaya lagi dengan memecahkan masalah inklusi keuangan dan masalah sosial.

“MoneyDuck tidak hanya berusaha memberikan solusi inklusi keuangan bagi masyarakat selaku pengguna layanan keuangan, namun juga solusi bagi penyedia keuangan agar layanan keuangan yang mereka miliki tepat guna,” ucap Matsuura.

Solusi ini tak jauh berbeda dengan yang ditawarkan pemain sejenis di Indonesia, seperti CekAja, Cermati, Lifepal dan dulu sempat digeluti oleh GoBear sampai akhirnya gulung tikar. Namun nilai tambah yang ditawarkan MoneyDuck adalah memungkinkan pengguna mendapat saran finansial dari expert melalui fitur chat di MoneyDuck, WhatsApp, atau platform komunikasi lainnya.

Dari sisi expert, mereka akan dapat menemukan prospek dan melakukan promosi, dan mendapat akses dasbor untuk menghubungi potensial konsumen yang disaring berdasarkan profilnya. Sementara itu, dari sisi pengguna, mereka dapat berkonsultasi dengan expert keuangan melalui UI yang bersahabat, setelah jawab beberapa pertanyaan sederhana untuk terhubung dengan expert sesuai dengan kebutuhan finansial secara gratis.

Perusahaan turut memastikan bahwa informasi yang dimasukkan pengguna ini hanya dibagikan ke expert yang cocok, sehingga tidak perlu khawatir akan mendapat tawaran sales yang bertubi-tubi.

“Layanan keuangan merupakan pondasi penting untuk menjalani kehidupan yang stabil. Namun, masih banyak masyarakat yang belum dapat menikmati keuntungan dari layanan keuangan karena rendahnya literasi pengguna di Asia Tenggara. Sementara itu, transformasi digital dari perusahaan keuangan belum mengalami peningkatan sehingga pendekatan ke pelanggan baru tidak efisien,” tutup Matsuura.

Berdasarkan hasil pantuan situsnya, MoneyDuck menyediakan produk kartu kredit, pinjaman, tabungan, asuransi, investasi, dan lainnya bersama dengan rekanan terkait. Mulai dari J Trust Bank, Bank Mega, BNI, DBS Bank Indonesia, CTBTC Bank, Bank Danamon, BCA, BRI, Panin Bank, dan masih banyak lagi. Sedangkan untuk produk investasi, sejauh ini baru menghadirkan produk forex trading.

Perkembangan dari bisnis sejenis di Indonesia

Kesempatan untuk menjadi pemain agregator produk keuangan masih begitu luas karena di Indonesia saja, potensi unbanked masih lebih tinggi daripada bankable. Solusi agregator ini tepat untuk menjangkau mereka yang memiliki literasi keuangan masih rendah dan belum mampu menyeimbangi perubahan pasar yang cepat. Di sisi regulasi, platform agregator saat ini masih dinaungi dalam Inovasi Keuangan Digital di OJK.

Isu lainnya yang timbul adalah ketidakmampuan dalam memilih dan melakukan riset pribadi mengenai produk keuangan, sehingga menimbulkan masalah akibat memilih produk ilegal tanpa menyadari akibatnya; pengguna tidak bisa mengakses produk keuangan yang diinginkan karena kesulitan mengisi formulir dan salah menyiapkan dokumen yang diperlukan; dan masih sedikit sumber penyedia saran finansial dengan UX bersahabat.

Kondisi tersebut juga mempersulit lembaga keuangan beralih ke fitur yang lebih efisien seperti AI chat bots atau metode komunikasi tanpa sentuhan manusia karena adanya penolakan dari pengguna. Pengguna masih membutuhkan sales person dan petugas customer service untuk menawarkan dan menjelaskan produk, serta memandu mereka melewati proses aplikasi.

Baik CekAja dan Cermati, saat ini dengan basis bisnis agregatornya yang telah lebih lama beroperasi, sudah menjelma ke berbagai unit bisnis fintech lainnya. CekAja misalnya, merambah ke bisnis skoring kredit untuk melihat seberapa besar disetujuinya pengajuan pinjaman dan kartu kredit. Sementara itu, Cermati masuk ke ranah insurtech dengan brand Cermati Protect, p2p lending Indodana, dan solusi Bank-as-a-service (BaaS).