IFC Berinvestasi 451 Miliar Rupiah ke Induk AnterAja

PT Adi Sarana Armada (IDX: ASSA), atau induk platform logistik AnterAja, mendapatkan pendanaan dari International Finance Corporation (IFC). Nilainya mencapai $31 juta atau sekitar 451 miliar Rupiah. Sebelumnya konsorsium di bawah World Bank tersebut juga berinvestasi ke startup insurtech PasarPolis awal tahun ini.

Investasi didapat melalui pembelian obligasi konversi (convertible bond), yakni surat utang yang dapat ditukarkan menjadi saham dengan rasio yang sudah disepakati. Dalam kasus ini, obligasi akan tercatat di pasar modal selama dua tahun tanpa bunga — diterbitkan melalui right issue oleh ASSA.

Salah satu fokus utama perusahaan pascapendanaan ini adalah meningkatkan bisnis logistik dan konektivitas jaringan transportasi. AnterAja turut di-mention secara khusus, karena diharapkan perkembangannya nanti dapat memberikan manfaat untuk UMKM di tengah pertumbuhan pesat bisnis e-commerce di Indonesia.

AnterAja diperkenalkan ASSA Rent pada Februari 2019, sebagai sebuah unit usaha di bidang logistik last mile. Unit usahanya sendiri sudah didirikan sejak Agustus 2018 dalam joint venture bersama layanan logistik asal Tiongkok SF Express dan PT Semangat Bambu Runcing yang sahamnya dimiliki oleh William Tanuwijaya.

Saat itu disampaikan ASSA menjadi pemegang saham mayoritas sebesar 55%, SF Express 20%, dan Semangat Bambu Runcing 25%.

Fokus melayani sektor e-commerce, AnterAja memiliki beberapa opsi logistik, mulai dari same day delivery, next day day delivery, dan reguler. Dikatakan, mereka telah memiliki sekitar 15 ribu kurir dan mampu mengirim sekitar 700 ribu paket per hari.

ASSA sendiri merupakan bagian dari konglomerasi Triputra Group. Di bawahnya membawahi 10 perusahaan terkait penyewaan aset otomotif dan logistik. Selain AnterAja, bisnis yang erat dengan digital adalah platform penyewaan mobil ASSA Mobility (ShareFleet untuk B2B dan ShareCar untuk B2C) dan marketplace mobil Caroline.

Kemudian untuk Triputra Group sendiri, mereka sempat terlibat dalam pendanaan pra-seri A Waresix pada tahun 2018. Perusahaan juga berinvestasi pada Kedai Sayur di tahun berikutnya. Putaran di kedua startup tersebut dipimpin East Ventures.

Investasi bisnis logistik

Dengan hipotesis yang sama, investor juga terus berbondong-bondong menambah daftar portofolionya dari bisnis logistik. Aliran pendanaan untuk startup ini pun meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun – termasuk di tengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi.

Sejak tahun 2019 hingga paruh pertama tahun 2021 ini, terdapat 16 putaran pendanaan yang melibatkan startup di bidang logistik. Dari 13 informasi putaran pendanaan yang menyebutkan nilainya, terkumpul investasi ekuitas mencapai $455 juta. Trennya meningkat dari sisi kualitas pendanaan dari tahun ke tahun.

Tren investasi startup logistik dalam 3 tahun terakhir / DailySocial

Adapun tipe layanan logistik yang disajikan juga cukup beragam, mulai dari first mile, last mile, manajemen armada, aggregator, dan lain-lain. Bahkan beberapa pemain fokus untuk pengiriman di level tertentu, misalnya mencakup kebutuhan eskpor-impor dengan menyediakan akses ke armada kapal laut atau kargo pesawat terbang.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Dikabarkan Pimpin Pendanaan Seri A Moladin

Startup marketplace otomotif Moladin dikabarkan mengantongi pendanaan seri A yang dipimpin investor di tahap sebelumnya, yakni East Ventures. Menurut informasi yang diperoleh DailySocial, nominal dana dalam putaran ini bila digabung dengan putaran sebelumnya mencapai $4,5 juta (sekitar 65 miliar Rupiah). Putaran terakhir yang diumumkan perusahaan terjadi pada Januari 2020.

DailySocial mencoba mengonfirmasi ke pihak terkait, namun hingga berita ini diturunkan belum ada informasi yang diberikan.

Dalam putaran teranyar ini, investor dari putaran sebelumnya CyberAgent Capital juga ikut berpartisipasi, serta sejumlah angel investor dari Singapura turut meramaikan jajaran shareholder.

Moladin dinakhodai oleh Jovin Hoon dan Mario Tanamas sejak November 2017. Awalnya platform tersebut fokus pada platform pembelian motor baru, kini memperluas layanannya motor bekas dan mobil baru yang diluncurkan pada tahun ini. Perusahaan bekerja sama dengan dealer dan lembaga leasing untuk memudahkan proses pembelian. Lokasi dealer disebutkan tersebar di Jabodetabek, Bandung, Solo, Yogyakarta, dan Semarang.

Perusahaan juga menyediakan layanan dana tunai untuk konsumen, bermitra dengan perusahaan leasing, untuk pinjaman mulai dari Rp3 juta dengan jaminan BPKB motor untuk tahun keluaran mulai 2012, hingga Rp20 juta dengan jaminan BPKB mobil tahun keluaran mulai 2004.

“Sejak 2018, Moladin sudah berhasil membuat transaksi lebih dari Rp290 miliar. Kami juga memiliki 8 ribu agen Moladin yang tersebar di berbagai kota besar untuk membantu meningkatkan penjualan,” kata Jovin dikutip dari Kompas.com.

Industri otomotif

Tahun 2020 merupakan periode yang penuh tantangan bagi banyak sektor, termasuk industri otomotif. Hal ini tercermin dari data yang dikeluarkan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil wholesale (penjualan dari pabrik ke dealer) turun 48,35% secara YOY, sedangkan penjualan mobil ritel turun 44,55%.

Kemudian kondisi mulai membaik pada tahun ini, ditandai dengan total penjualan mobil nasional naik 33,5% menjadi 393.469 unit pada semester I 2021. Nasib yang sama juga terjadi di penjualan motor. Mengutip dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), lebih dari 2,45 juta unit sepeda motor dikirim ke pasar.

Dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya, penjualan motor hanya sebanyak 1,88 juta unit. Kontributor penjualan motor datang dari motor jenis skuter matik (86,61%), motor bebek (6,95%), dan motor sport (6,24%).

Di ranah startup, vertikal marketplace otomotif ini dihuni banyak pemain. Mereka adalah OLX Autos, Carro, Carsome, Garasi.id, Otoasia, Mobil123, Carmudi, Rajamobil, Oto.com, dan masih banyak lagi.

Gambaran ekosistem platform penjualan kendaraan / MomentumWorks

Di segmen pembelian (C2B) dan penjualan (B2C) mobil bekas, Carro berkompetisi langsung dengan Carsome — keduanya sama-sama pemain regional yang juga memiliki basis bisnis di Indonesia dan sejumlah negara.

Model bisnisnya nyaris mirip, untuk C2B mereka membeli mobil konsumen secara instan dengan melakukan inspeksi menyeluruh. Perusahaan menyediakan titik-titik pemeriksaan di lokasi strategis — adapun permintaan pembelian bisa dilakukan melalui situs web. Mobil yang dibeli selanjutnya dijual kepada para pemilik dealer mobil untuk kembali dipasarkan.

Sementara untuk model B2C, mobil yang berhasil dibeli dan diinspeksi kembali dijual melalui platform digital yang mereka miliki. Nilai unik yang coba dihadirkan adalah hasil inspeksi, mengingat barang yang dijual adalah bekas. Mereka juga bekerja sama dengan lembaga finansial untuk menjajakan skema kredit.

HappyFresh Secures 940 Billion Rupiah Series D Funding, Valuation Exceeds 2.8 Trillion Rupiah

The online grocery marketplace, HappyFresh secures a series D funding worth of $65 million or equivalent to 940 billion Rupiah. The round was led by Naver Financial Corporation and Gafina B.V. Participated also some investors, including Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund and Z Venture Capital.

Previously, HappyFresh announced a series C funding in April 2019 worth of $20 million. Based on DailySocial’s calculations, all the closed rounds has brought the company’s valuation to $200 million.

Regarding the focus of this funding, HappyFresh’s CEO, Guillem Segarra said that his team is working hard to improve the company’s operations in various markets and maintain the company’s quality and safety standards. “We are still at the beginning of the journey and with all the support received, are very excited for the adventures ahead,” he said.

In a previous discussion with DailySocial, HappyFresh Managing Director, Filippo Candrini has revealed that the company’s current focus is to improve the user experience in online grocery shopping using a personal shopper approach. In addition, his team will also continue to carry out local expansion to tier 2 and 3 cities in Indonesia.

“We did not intend to be a super app, but we want to be a super in grocery app for our customers and partners,” Candrini added.

Debuting in Indonesia since 2015, HappyFresh has expanded its business to Malaysia and Thailand. The company claims to have experienced 10 to 20 times traffic growth. In the local market, this service is also available in 11 cities throughout Indonesia, including Greater Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, Makassar, and Bali.

The e-grocery industry is said to be growing rapidly throughout Asia, especially Southeast Asia. The retail market for this industry is reported to have reached $350 billion supported by rapid adoption and fundamental changes in consumer behavior.

“We are seeing major changes in customer behavior; Retention rates and frequency have increased significantly while overall basket size has grown consistently. We attribute this to a major shift in wallet share from offline to online, which will remain,” Guillem said.

Indonesian market still dominated by offline

Despite the increasing penetration of online shopping, the offline market still dominates the online grocery industry in Indonesia. A research from L.E.K Consulting on the online grocery industry revealed that 82% of total food sales are still dominated by traditional markets.

This is in contrast to what happened in China and South Korea where the offline market only accounted for 30% and 19% of total grocery sales in 2019.

Sumber: L.E.K Consulting

However, along with the increasing availability of services in various regions and people who are well educated from popular consumer applications, it is not impossible that the statistics of e-grocery will increase exponentially in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

HappyFresh Kantongi Pendanaan Seri D 940 Miliar Rupiah, Tembus Valuasi 2,8 Triliun Rupiah

Pengembang layanan marketplace online grocery HappyFresh berhasil meraih pendanaan seri D senilai $65 juta atau setara dengan 940 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Naver Financial Corporation dan Gafina B.V. Beberapa investor yang turut berpartisipasi adalah Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund dan Z Venture Capital.

Sebelumnya, perusahaan terakhir kali mengumumkan pendanaan seri C pada bulan April 2019 senilai $20 juta.  Menurut perhitungan tim DailySocial, dari keseluruhan putaran yang berhasil ditutup HappyFresh membawa valuasi perusahaan mencapai $200 juta.

Terkait fokus pendanaan kali ini, CEO HappyFresh Guillem Segarra mengungkapkan bahwa timnya sedang berusaha keras untuk meningkatkan operasional perusahaan di berbagai pasar dan mempertahankan standar kualitas dan keamanan perusahaan. “Kami masih berada di awal perjalanan dan bersama semua dukungan yang diterima, sangat bersemangat untuk menghadapi petualangan ke depannya,” ujarnya.

Dalam diskusi sebelumnya bersama DailySocial, Managing Director HappyFresh, Filippo Candrini juga telah mengungkapkan bahwa fokus perusahaan saat ini adalah untuk bisa meningkatkan pengalaman pengguna dalam berbelanja bahan makanan daring menggunakan pendekatan personal shopper. Di samping itu, timnya juga akan terus menjalankan ekspansi lokal ke kota-kota tier 2 dan 3 di Indonesia.

“Kami tidak berniat untuk menjadi super app, namun kami ingin menjadi aplikasi super dalam grocery untuk pelanggan dan mitra kami,” tambah Candrini.

Hadir di Indonesia sejak tahun 2015, HappyFresh telah mengembangkan bisnisnya ke Malaysia dan Thailand. Perusahaan mengklaim telah mengalami pertumbuhan trafik sebesar 10 hingga 20 kali lipat. Di pasar lokal, layanan ini juga sudah tersedia di 11 kota di seluruh Indonesia, termasuk Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, Makassar, dan Bali.

Industri e-grocery disebut meningkat pesat di seluruh Asia khususnya Asia Tenggara. Pasar ritel untuk industri ini dilansir telah mencapai $350 miliar didukung dengan adopsi yang cepat dan perubahan mendasar dalam perilaku konsumen.

“Kami melihat perubahan besar dalam perilaku pelanggan; tingkat retensi dan frekuensi telah meningkat secara signifikan sementara basket size secara keseluruhan telah tumbuh secara konsisten. Kami mengaitkan ini dengan perubahan besar dalam pangsa dompet dari offline ke online, yang akan tetap ada,” ujar Guillem.

Di Indonesia, sistem offline masih mendominasi

Namun, di balik angka penetrasi belanja online yang meningkat, pasar offline masih mendominasi industri bahan makanan di Indonesia. Sebuah riset dari L.E.K Consulting tentang industri online grocery mengungkapkan bahwa 82% total penjualan bahan makanan masih dikuasai oleh pasar tradisional.

Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Tiongkok dan Korea Selatan di mana pasar offline hanya menyumbang 30% dan 19% pada total penjualan bahan makanan di tahun 2019.

Sumber: L.E.K Consulting

Namun demikian, seiring meningkatnya ketersediaan layanan di berbagai wilayah dan masyarakat yang teredukasi baik dari aplikasi konsumer populer, bukan tidak mungkin kalau statistik e-grocery akan meningkat eksponensial di kemudian hari.

Application Information Will Show Up Here

Tren Positif Bisnis Pemasaran Influencer Landasi Strategi Ekspansi Partipost

Setelah menerima pendanaan seri A $3,5 juta yang dipimpin SPH Ventures dengan partisipasi Quest Ventures dan investor lainnya, platform influencer marketing Partipost, kembali merampungkan pendanaan extended seri A senilai $5 juta. Kali ini dipimpin Quest Ventures, turut terlibat SPH Ventures, iGlobe Partners, dan jaringan angel investor XA Network.

Kepada DailySocial, Co-Founder & COO (sekaligus Head of Indonesia) Partipost Benyamin Ramli mengungkapkan, dengan dana segar yang telah diterima rencana selanjutnya adalah melakukan ekspansi dan berupaya untuk menyediakan solusi di kawasan Asia Tengara lainnya.  Negara tujuan berikutnya Partipost Vietnam dan Thailand. Perusahaan juga ingin memperkuat positioning di Singapura, Indonesia, Taiwan, Malaysia, dan Filipina yang telah disinggahi sebelumnya.

“Dengan dana yang kami terima, strategi utama kami adalah untuk dapat menjangkau lebih banyak brand yang belum mengenal kami atau belum memanfaatkan platform Partipost. Salah satu caranya adalah menambah jumlah tim sales, tetapi pada saat yang sama kami ingin mengembangkan produk kami untuk membantu klien dengan menambah jumlah tim teknologi,” kata Benyamin.

Hingga saat ini Partipost telah memiliki sekitar 600 ribu influencer yang telah mengunduh aplikasi dan telah bekerja dengan lebih dari 2000 brand. Partipost telah hadir ke pasar Indonesia dengan menghadirkan platform digital untuk influencer. Platform tersebut mencoba menjembatani para influencer populer dengan brand yang ingin melancarkan kegiatan pemasaran dan memanfaatkan jasa mereka.

Di Indonesia sendiri hingga saat ini sudah banyak platform serupa yang menawarkan layanan influencer marketing, di antaranya GetCraft, Sociabuzz, dan Hiip.

“Kami di sini bukan untuk bersaing, namun untuk menciptakan produk hebat. Jika pesaing kita melakukannya lebih baik dari kita, maka kita bisa belajar dari mereka. Namun fokus utama kami adalah mendengarkan kebutuhan pengguna kami dan membuat platform yang bisa untuk di-scale tanpa batas sesuai kebutuhan,” kata Benyamin.

Pertumbuhan influencer marketing saat pandemi

Meskipun sempat mengalami kendala saat awal pandemi, namun dengan adopsi digital yang cepat dan memaksa semua orang untuk melakukan interaksi secara online, diklaim membantu bisnis Partipost hingga saat ini. Besarnya permintaan untuk kegiatan digital marketing terutama yang memanfaatkan influencer tumbuh secara signifikan jumlahnya.

“Bisnis masih perlu berfungsi dan cara paling efektif untuk melakukannya adalah melalui aktivitas online. Anggaran pemasaran bergeser dari kegiatan pemasaran offline ke online, dan Partipost dengan rendah hati dapat melayani bisnis untuk memasarkan produknya melalui influencer yang bekerja sama dengan kami,” kata Benyamin.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Influencer Marketing Hub, pandemi telah mempercepat pertumbuhan influencer marketing pada tahun 2020, dan jumlah ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2021.

Dari hanya $1,7 miliar pada tahun 2016, influencer marketing diperkirakan telah tumbuh menjadi ukuran pasar sebesar $9,7 miliar pada tahun 2020 dan diperkirakan akan melonjak lebih jauh ke $13,8 miliar pada tahun 2021.

Data menarik lainnya yang juga dibagikan adalah, para marketer dan brand percaya pada efektivitas marketing memanfaatkan influencer, fakta tersebut telah menyebabkan ledakan jumlah konten baru yang dibuat selama setahun terakhir. 90% responden survei percaya bahwa influencer marketing menjadi bentuk kegiatan pemasaran yang efektif. Statistik ini relatif statis sejak tahun 2017, dan diperkirakan akan semakin tumbuh jumlahnya di masa depan.

Salah satu kanal marketing yang kemudian menjadi pilihan adalah media sosial Instagram. Dalam laporan tersebut terungkap, ada peningkatan besar dalam pengguna Instagram selama era Facebook, dengan lebih dari 1,074 miliar pengguna aktif saat ini. Stories juga sangat populer, dengan 500 juta orang menggunakan Instagram Stories setiap hari.

Application Information Will Show Up Here

Startup D2C dr soap Perkuat Strategi Omnichannel, Bukukan Pendanaan dari SALT Ventures

Didirikan oleh kakak-adik Eunike Selomith dan Joycellynne Stefanie, dr soap hadir menawarkan produk personal care dan household needs yang higienis. Masih rendahnya kesadaran masyarakat di Indonesia tentang pentingnya kebersihan, menjadi salah satu alasan diluncurkannya startup tersebut.

Kedua pendiri memiliki ide untuk mengemas dr soap dalam paket yang cantik dan menarik, agar menarik untuk dibagikan di media sosial. Untuk bisa mendukung konsep tersebut, mereka juga membuat produk kimia berkualitas yang ampuh membersihkan kotoran dan bakteri. Produk yang ditawarkan oleh dr soap saat ini di antaranya adalah home care, personal care, refill (isi ulang), dan aksesoris.

We aim to make simple and effective products with the safest and cleanest ingredients, dan ini adalah karya anak bangsa Indonesia, dengan harga yang terjangkau berkualitas internasional,” kata Eunike.

Sukses menjalankan bisnis sejak tahun 2015 lalu, dr soap, telah mengantongi dana segar dari SALT Ventures. Kepada DailySocial, Managing Partner SALT Ventures Danny Sutradewa mengungkapkan, alasan mereka berinvestasi ke dr soap karena besarnya pertumbuhan industri home care dalam waktu dua tahun terakhir. Pemicunya adalah pandemi yang memaksa banyak orang untuk tinggal di rumah dan semakin peduli akan kebersihan yang higienis.

Salt Ventures sendiri saat ini makin banyak berinvestasi kepada startup yang memiliki konsep D2C. Di antaranya adalah Sneakershoot, Hangry, Syca dan  Amazara.

Dana segar tersebut selanjutnya akan dimanfaatkan oleh dr soap untuk melakukan ekspansi dengan pendekatan omnichannel, terutama memperkuat positioning mereka secara offline. Rencana lainnya adalah melakukan konvergensi model bisnis D2C dan non-D2C dalam kondisi new normal, meluncurkan produk baru, memperluas produk yang sudah ada, merekrut talenta baru dan melakukan brand building.

“Dengan mengedepankan moto perusahaan yaitu sebagai life saver, mimpi dr soap lainnya adalah menjadi top of mind untuk basic daily hygiene needs masyarakat Indonesia,” kata Joycellynne.

Direct to Consumer

Memanfaatkan konsep direct to consumer (D2C), dr soap mengklaim juga tengah melakukan eksperimen model distribusi. Hal ini dilakukan setelah menyadari kompleksnya persoalan logistik saat ini. Perusahaan memutuskan untuk melancarkan proses tersebut dan memperkuat kehadiran mereka dengan menjalin kolaborasi dengan pengecer dan brand lainnya .

Secara keseluruhan, saat ini dr soap telah tersedia di seluruh Indonesia. Selain menyediakan akses langsung di situs web, mereka juga memanfaatkan kanal layanan marketplace seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada.

“dr soap menawarkan lebih dari sekadar bisnis, tapi pengalaman pelanggan yang konsisten. dr soap mengemas produk dengan bahan-bahan premium, desain yang bagus dan berkomitmen untuk sustainable, selaras dengan nilai perusahaan yaitu creativity, safety, sustainability,” kata Eunike.

dr soap juga ingin mengajak lebih banyak orang membuat keputusan terbaik. Salah satu caranya adalah melalui gerakan sosial bernama dr soap Heals Earth, dan membuat beberapa kampanye CSR juga loyalty program seperti “Return & Earn” (Program Pengembalian Botol) dan “1 botol = 1 liter air bersih” (pendanaan untuk amal).

Tercatat perusahaan telah mendekati 95% sama sekali tidak menggunakan plastik dan kertas dalam pengemasan online shipment. Bahkan dengan mengembalikan botol bekas pakai dr soap, pelanggan juga diberikan reward menarik.

“Jadi bisa dikatakan yang sangat membedakan kami yaitu produk yang sangat bagus kualitasnya dan kemasannya, terjangkau dan mudah didapat dimana-mana, bahkan memberi rasa aman dan bangga kepada pengguna,” kata Joycellynne.

Model bisnis yang sustainable

Konsep seperti ini sebelumnya telah ditawarkan oleh The Honest Compay. Perusahaan asal Amerika Serikat yang berawal sebagai startup namun saat ini menjadi perusahaan sukses dan telah IPO. Didirikan pada tahun 2012, The Honest Company telah mengumpulkan lebih dari $530 juta melalui tujuh putaran pendanaan.

Perjalanan pendanaan The Honest Company / Source : Owler
Perjalanan pendanaan The Honest Company / Source : Owler

Diposisikan sebagai penyedia produk bayi dan perlengkapan rumah yang ramah lingkungan dan alami, The Honest Company lahir dari pencarian pendiri mereka yaitu aktris Jessica Alba. The Honest Company mengalami pertumbuhan yang luar biasa di tahun pertama mereka, mencapai pendapatan $12 juta pada tahun 2012. Kemudian tumbuh menjadi $150 juta pada tahun 2014, dan akhirnya lebih dari $1 miliar pada tahun 2015.

Meskipun memiliki produk yang berbeda, namun dari sisi model bisnis dan pendekatan terhadap proses hingga kegiatan pemasaran yang mengandalkan media sosial, menjadikan dr soap dan The Honest Company memiliki kesamaan.

“Kami yakin hal yang sudah berhasil dilakukan di Amerika Serikat atau dimanapun juga bisa berhasil di Indonesia. Namun kami akan melakukannya dengan pendekatan yang lebih localize dan relevan sesusai kondisi dan customer behavior di Indonesia,” kata Eunike.

dr soap kemudian berupaya untuk menganalisis permasalahan, dan selalu menciptakan atau menghadirkan inovasi yang bisa menjadi jawaban, diharapkan dr soap bisa menjadi solusi. Tidak hanya itu mereka juga terus berupaya untuk menjadi yang pertama dalam membuat produk-produk terobosan yang belum pernah ada di Indonesia, khususnya dalam personal care & home care industry.

“Pada intinya, kami ingin membangun legacy brand yang memberikan nilai yang menjadi perhatian dari pelanggan dan bisa tetap relevan untuk generasi yang akan datang,” kata Joycellynne.

Alpha JWC Pimpin Investasi ke Venti, Paparkan Hipotesisnya di Teknologi Otonomos

Startup pengembang teknologi otonomos untuk logistik Venti Technologies memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $8 juta atau sekitar 115,9 miliar rupiah. Putaran pendanaan ini dipimpin oleh dua VC terkemuka, yakni LDV Partners dan Alpha JWC Ventures.

Tak hanya itu, pihaknya juga mengumumkan bergabungnya Partner di LDV Partners Lake Dai dan Co-founder &General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan ke dalam dewan direksi yang kini totalnya berjumlah lima orang.

Founder & CEO Venti Heidi Wyle mengatakan, pendanaan ini akan digunakan untuk mendukung pengembangan sistem kendaraan otonomos logistik berbasis AI. Termasuk juga memperkuat kesepakatan dengan klien pelanggan baru dan lama. Salah satunya dengan Port of Singapore Authority (PSA) Corporation Limited yang saat ini mengelola sebanyak 60 pelabuhan.

“Melalui investasi ini, kami ingin meningkatkan skala operasi dan bisnis secara global, yang mana kami mengincar peluang pertumbuhan di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat,” ujar Wyle dalam keterangan resminya.

Berdiri di 2018, Venti Technologies mengembangkan teknologi otonomos untuk transportasi, pergudangan, hingga hub logistik. Saat ini, produk otonomos Venti telah digunakan di berbagai lintas sektor di Asia, mulai dari kawasan industri, logistik, residensial, kawasan wisata, hingga pasar logistik global.

Chandra Tjan mengatakan, Venti menjadi portofolio investasi pertama pada kendaraan otonomos di Alpha JWC Ventures. Pihaknya berkomitmen untuk terus menemukan founder hebat dalam membangun perusahaan. Maka itu, iya meyakini Venti akan menjadi game changer sekaligus yang pertama di Asia.

Founder, visi, produk, dan rekam jejak Venti sejauh ini sangat baik. Kami bersemangat bekerja sama dengan Venti untuk merevolusi industri kendaraan otonom dan mencapai kesuksesan di skala global,” ujar Chandra.

Hipotesis investasi

Investasi Alpha JWC ke Venti menandai langkah awal untuk masuk ke teknologi otonomos. Partner di Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi mengungkapkan, Venti menjadi satu dari sedikit pemain yang teknologinya digunakan secara komersial di Asia, serta yang pertama di Asia Tenggara.

Alasan lain yang mendorong Alpha JWC untuk berinvestasi adalah rekam jejak gemilang para founder Venti, yaitu Heidi Wyle yang dikenal sebagai pemimpin di industri teknologi dan AI serta Daniela Rus yang merupakan pionir teknologi otonomos dan AI di global.

Lebih lanjut, Eko menilai penggunaan kendaraan otonomos dinilai dapat memberikan nilai tambah bagi industri logistik, seperti menghemat biaya transportasi, meningkatkan penggunaan kendaraan, dan mendorong tingkat keselamatan bagi pengendara. Maka itu, kendaraan otonomos dianggap cocok dipasarkan ke industri yang biaya logistiknya tinggi.

“Apalagi, pasar mobility autonomous untuk industri logistik, supply chain, dan transportasi barang bergerak sangat menjanjikan dengan potensi nilai pasar sebesar $200 miliar di dunia,” paparnya dalam keterangan terpisah kepada DailySocial.

Ambil contoh Singapura yang memiliki regulasi ketat pada penggunaan alat berat. Kondisi ini membuat biaya tenaga kerja di sana sangat tinggi. Penggunaan kendaraan otonomos memungkinkan pelaku industri di Singapura untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja.

Venti bermitra dengan Port of Singapore Authority (PSA) Corporation Limited untuk menyediakan kendaraan pemindah otonomos (prime mover) untuk mengotomatisasi pengangkutan distribusi kontainer.

Eko mengungkap, saat ini Singapura menjadi pasar utama Venti di Asia Tenggara, dan juga Tiongkok. Namun, pihaknya tak menutup mata terhadap peluang dan kemungkinan ekspansi ke Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan biaya logistik tinggi, Indonesia turut diperhitungkan sebagai pasar potensial untuk barang bergerak.

Ekspansi ke Indonesia memungkinkan pelaku di logistik, pergudangan, dan industri terkait yang menggunakan alat berat untuk memperoleh manfaat signifikan dari penggunaan kendaraan otonom. “Kami percaya Indonesia akan menjadi pasar yang besar bagi Venti karena solusi teknologi mereka dapat diterapkan di banyak industri.”

Ukuran pasar mencapai $3,39 miliar

Di Asia Pasifik, ukuran pasar kendaraan otonomos di tahun 2020 diperkirakan telah mencapai $3,39 miliar dan akan bertumbuh (CAGR) 13% dari 2021 sampai 2028 nanti. Dalam laporan riset yang dipublikasi Grand View Research ini juga menyoroti tentang pemanfaatan mesin-mesin otonomos untuk menunjang bisnis logistik dan manufaktur. Dengan efektivitas fungsi pengangkutan yang dimiliki, penggunaan mesin otomatis dinilai dapat mengurangi biaya dan risiko kerusakan produk.

Bonza Reportedly Receiving Additional Investment from Future Shape

DailySocial recently informed that one of the East Ventures portfolios, big data analysis startup Bonza, has received an additional investment worth of $500 thousand (over 7.2 billion Rupiah) from Future Shape. There has been no official statement until this news published.

Future Shape is a French based VC that invests in engineers and scientists developing deep technology. They participated in Finantier’s seed funding last month, which is also one of East Ventures’ portfolios.

Previously, East Ventures led Bonza’s $2 million seed funding round with Elev8.vc in May 2021. East Ventures was also an early investor in the startup, which was started last year by Elsa Chandra and Philip Thomas.

In the announcement of company’s last round, Bonza’s CEO, Elsa said that the fresh money is expected to accelerate the company’s vision to become a leading data company in Southeast Asia. The company is developing a platform to support companies to better process data and use AI solutions through a no-code platform (does not require coding).

Value proposition

The no-code approach developed by Bonza will enable technical and non-technical teams to build and deploy big data-driven solutions.

Elsa said, the distinction is that its platform removes the frictions and barriers faced by organization when creating and deploying data-driven solutions for the first time. Organizations can integrate multiple data sources within the organization, then build and deploy machine learning models in a responsive user interface.

Bonza’s platform workflow illustration / Bonza

Users can automate long-winded data integration to generate report, reducing implementation time of AI solutions from months to days. The implementation includes helping fintech service owners build real-time fraud detection machines and monitoring tools for fraud operations teams to gain insights from different places and unstructured data sources, in order to reduce fraud.

Big data potential

The market share for big data services has a tendency to grow from year to year, not least in the Asia Pacific region. In 2020, its market size is projected to reach $138.9 billion and will increase to $229.4 billion in 2025.

The main factor for this market’s growth is the availability of abundant [digital] data in organizations. Through the digital transformation program launched, business people always try to be more competitive in formulating strategies. One approach is to convert this data into useful insights. Through big data analysis, a business can also improve operational efficiency.

Today’s big data tools have the capability to process structured and unstructured data from a variety of sources, such as logs in apps, social media, service forms, and even from third-party data sources.

Most service providers provide a cloud-based platform, in the form of SaaS that can be subscribed according to the certain specifications. With specific solutions similar to Bonza continue to emerge, service fulfillment in the global market is still dominated by technology giants such as Microsoft, Teradata, IBM, Oracle, Google, Cloudera, Salesforce, to SAP.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Ribbit Capital Reportedly Led Series A Funding for Pihhome

Pinhome proptech startup reportedly received a series A funding worth of $25.5 million or equivalent to 369.3 billion Rupiah. We received the information that Ribbit Capital led this round. It is also its second investment in Indonesia after previously leading the series A funding of Ajaib platform.

Some other investors also participated in Pinhome’s recent investment, including Goodwater Capital, Insignia Ventures Partners, and Global Founder Capital as the investment unit of Rocket Internet.

As DailySocial’s team reached out, Pinhome refused to provide a response regarding investment. They only said that their main focus is currently to incerease the number of listings and expanding collaboration with stakeholders in the property sector.

In addition, they also said that they are expanding intensively for the on-demand services, Pinhome Home Service. Currently, the service is available in 14 cities including Jabodetabek, Bandung, Malang, Sleman, Sidoarjo, and Surabaya. Users can access it through the GoService feature in the Gojek application.

Service differentiation

Was founded by Dayu Dara Permata (CEO ) and Ahmed Aljunied (CTO ) last year, Pinhome aims to facilitate easier, faster, and transparent property transactions with the help of technology.

In an interview, Dara explained, “Pinhome is very unique, we are an online platform that facilitates interaction between property owners, buyers, and agents. As a property owner, it will be very easy as in the future we will have access to hundreds of thousands of agents who are ready to help market their properties.”

In Indonesia, the proptech sector is rapidly growing. Some players, especially with the listing feature, find the traction quite impressive. In addition, several other business models are starting to appear in the digital landscape, such as financing services.

Startup proptech di Indonesia
Indonesia’s proptech startups, data as of the end of 2019

Meanwhile in the regional, competition is narrowing into two major groups, PropertyGuru (its units in Indonesia: Rumah.com and Rumahdijual.com) and 99.co (has acquired Urbanindo). 99.co also has a strategic partnership with REA Group, which previously acquired iProperty — including the Rumah123 platform in Indonesia.

However, with services more specific and emphasize the cultural matters, local startups such as Pinhome, Travelio, Mamikos, Rukita, and others are trying to win the local market.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GudangAda Closes Series B Round with 1.49 Trillion Rupiah Funding

The B2B marketplace platform for FMCG, GudangAda, has secured another investment of $100 million or around 1.49 trillion rupiah. This is a series B funding round led by Asia Partners and Falcon Edge.

Also, Sequoia Capital India, Alpha JWC Ventures, and Wavemake Partners are participated in this funding. For GudangAda, this investment has exceeded its initial target, which was $75 million. With the additional funding, GudangAda has now raised a total investment of up to $135 million.

Falcon Edge’s Co-Founder, Navroz D. Udwadia said, after years of investing in a number of marketplace, Stevensang seemed to have the ability to execute business in a short time. Therefore, he is optimistic that GudangAda will become the largest marketplace for Indonesian MSMEs

“With our research and discussion with principals, wholesalers and retailers, we are confident in GudangAda’s return on investment (ROI) and the benefits it offers to the entire ecosystem,” he said.

Enhance the supply chain business

GudangAda’s Founder and CEO, Stevensang said the company is now in the right path to empower all players in the Indonesian supply chain ecosystem, from producers, distributors, wholesalers, to retailers. GudangAda said its services have been used by nearly half a million users in more than 500 cities in tier 1 to tier 3 with a comprehensive monetization model and complete ecosystem.

“We will expand GudangAda’s team and enhance our service ecosystem from logistics, payment systems (POS/SaaS), marketing, data, to financial services. We will also strengthen our position by developing artificial intelligence to offer the best personalized services to SME traders,” he said in an official statement.

Meanwhile, GudangAda’s CFO, JJ Ang said that investors’ enthusiasm has proven GudangAda’s success in building a platform with efficient capital while reaping growth. GudangAda is said to start monetizing its business since the first quarter of 2020.

GudangAda claims to be one of the B2B marketplace platforms with the fastest growth and most productive capital in the Southeast Asia region. Based on the records, GudangAda has raised $6 billion Net Merchandise Value (NMV) in less than three years.

Meanwhile, the total investment value is less than $35 million with an efficiency ratio of 170 times. Moreover, the GudangAda Logistik service has been recorded to have doubled every two months since its launching in mid-2020.

Applying the asset-light and capital-efficient business concept, GudangAda has collaborated with vehicle and warehouse business owners, including its MSMEs members. In addition, GudangAda offers a dynamic transportation and warehouse management service system to make it easier for partners to digitize their business.

GudangAda offers a one-stop solution for MSME players to make it easier to access various products. By targeting the FMCG sector, GudangAda has expanded its product categories to medicines, pharmaceuticals, and household appliances. Since the category expansion, GudangAda has experienced an increase in transactions from tens of thousands of MSMEs.

Currently, GudangAda has officially partnered with more than 65 principals, both local, national and multinational. One of these investments is used to expand cooperation with more principals.

MSME as the target market

In a general note, the number of MSME players in Indonesia is estimated to reach more than 65 million as of 2020. With the digital acceleration last year, SIRCLO’s e-commerce enabler report revealed that online retailers are expected to contribute 24% in 2022. In the report, sales on digital channels can be maximized, especially by FMCG brands which market everyday products.

B2B marketplace services such as GudangAda allow these MSME actors to get product stock more efficiently.

Actually, GudangAda is not thesole player in this sector. There are others, including Ula that also working on the existing potential. In addition, with a different approach, the online marketplace giants are promoting O2O strategies to make it easier for small traders to access various products — for example, by Mitra Bukalapak or Mitra Tokopedia.

The digitization, in the long term, also provides MSMEs with potential to gain more benefits, including financially. One of the scenarios started to be promoted is that recorded transaction data can be used as a credit scoring variable to help MSME players gain access to capital financing. Thus, it will support their efforts to increase the capability and size of the business they are starting.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here