Datasaur Dapatkan Pendanaan Lanjutan, Kuatkan Platform Pelabelan Data

Startup pengembang platform pelabelan data Datasaur baru saja membukukan investasi baru senilai $1 juta atau setara 14,2 miliar Rupiah. Putaran ini masih sama dengan pendanaan awal yang sebelumnya didapat dari GDP Venture. Terdapat beberapa angel investor yang terlibat, salah satunya Calvin French-Owen selaku Co-Founder & CTO Segment.

Pendanaan ini akan digunakan untuk memperkuat kapabilitas platform, termasuk meminimalisir terjadinya bias dalam pelabelan teks. Seperti diketahui, proses pelabelan data jadi salah satu aspek krusial dalam pengembangan layanan berbasis kecerdasan buatan (AI), khususnya dalam pemodelan natural language processing (NLP).

Datasaur mengembangkan alat untuk membantu pemberi label data bekerja secara lebih produktif dan efisien. Termasuk meningkatkan privasi dan keamanan data – terlebih sering kali pekerjaan pelabelan data dilakukan secara outsource.

“Pada dasarnya saat ini kami menangani semua bentuk NLP, termasuk entity recognition, parts of speech, document labeling, coreference resolution dan dependency parsing. Kami telah membangun kecerdasan ke dalam sistem untuk membantu membuat pelabelan lebih efisien dan akurat, memungkinkan perusahaan mengatur seluruh tim pelabelan mereka pada platform manajemen yang mudah,” terang Founder & CEO Datasaur Ivan Lee kepada DailySocial.

Ivan Lee dan tim Datasaur
Ivan Lee (tengah) dan tim Datasaur / Datasaur

Saat ini tim Datasaur juga tengah mengikuti program akselerasi Y Combinator untuk batch Winter 2020 di San Francisco. Basis perusahaan sendiri ada di California dan Indonesia.

NLP jadi implementasi AI paling populer di Indonesia

AI menjadi makin populer seiring munculnya layanan yang mampu mengotomatiskan beberapa proses bisnis. Salah satu produk yang paling banyak digunakan adalah chatbot, korporasi ramai-ramai gunakan platform tersebut untuk sajikan balasan otomatis pada setiap pesan yang diberikan oleh pelanggan. Beberapa di antaranya BCA (nama chatbot: Vira), Telkomsel (Veronika), BNI (Cinta) dan lain sebagainya.

Di balik teknologi chatbot, ada ragam alat AI yang diaplikasikan, salah satu yang paling signifikan adalah NLP. Fungsinya untuk membuat sistem komputer memahami bahasa dan konteks yang dituliskan oleh pengguna. Nyatanya produk chatbot yang ada saat ini masih miliki banyak kekurangan, termasuk yang paling fundamental yakni pemahaman kosa kata yang masih kurang. Dampaknya pada layanan yang masih terasa sangat kaku, belum natural layaknya perbincangan antar-manusia.

Keuntungan dan tantangan implementasi chatbot untuk bisnis / DailySocial
Keuntungan dan tantangan implementasi chatbot untuk bisnis / DailySocial

Hasil pelabelan data salah satunya digunakan untuk melatih mesin (dikenal dengan konsep machine learning) agar memiliki pemahaman bahasa yang lebih baik, dengan cara mengklasifikasikan kata-kata tertentu ke dalam kelompok yang telah didefinisikan. Beberapa skenario yang dilakukan misalnya, secara berkelanjutan mempelajari kata-kata baru yang disampaikan oleh pengguna.

“Terlepas dari semua hype, AI jadi teknologi yang masih terus dikembangkan. Banyak perusahaan yang tengah mencari praktik terbaik dalam proses pelabelan mereka. Solusi generasi pertama yang dilakukan adalah melakukan outsourcing seluruh pekerjaan pelabelan. Banyak perusahaan yang membangun ‘Mechanical Turk’, tapi untuk AI,” jelas Ivan.

Ia melanjutkan, “Sekarang kami melihat perusahaan mengidentifikasi bahwa data berkualitas adalah salah satu aset paling berharga untuk membangun dan meningkatkan model AI. Datasaur hadir sebagai solusi generasi berikutnya, kami membangun perangkat lunak untuk meningkatkan praktik terbaik dalam pelabelan data, untuk membantu mengembangkan alur kerja AI perusahaan.”

Seiring dengan perkembangannya, pangsa pasar produk berbasis AI akan terus meningkat. Riset memproyeksikan nilainya secara global akan capai US$390 miliar pada 2025 mendatang. Untuk pelabelan data sendiri, selain Datasaur, di kancah global ada beberapa layanan lain yang dapat membantu seperti Labelbox, Cloudfactory, bahkan produk Google Cloud juga tengah merilis versi beta untuk AI Data Lebeling Services.

Skenario implementasi pelabelan data

Contoh proses pelabelan data yang dilakukan di aplikasi Datasaur / Datasaur
Contoh proses pelabelan data yang dilakukan di aplikasi Datasaur / Datasaur

Dengan memahami data masukan, ada banyak hal yang bisa dilakukan. Dari studi kasus yang ada, Datasaur banyak membantu perusahaan untuk melakukan berbagai hal, seperti memahami dokumen kontrak, membuat transkrip percakapan layanan pelanggan, membuat analisis ulasan produk, hingga mendeteksi berita palsu.

“Perangkat lunak kami telah digunakan untuk mendeteksi dan menandai artikel berita palsu yang mencurigakan oleh pemerintah Indonesia. Sebuah studi kasus dengan salah satu klien kami menunjukkan 70% peningkatan efisiensi pelabelan setelah mengadopsi platform Datasaur, dan kami masih memiliki lebih banyak ruang untuk diperbaiki,” ujar Ivan.

Saat ini platform pelabelan data tersebut sudah digunakan oleh beragam vertikal bisnis, mulai dari industri teknologi finansial, kesehatan, layanan pelanggan, media sosial hingga chatbot.

Visinema Receives Rp45.5 Billion Series A Funding Led by Intudo Ventures

Today (2/26) Visinema announced series A funding worth of US$3.25 million or equivalent to Rp45.5 billion. This round led by Intudo Ventures, followed by the previous investors, GDP Venture and Ancora Capital. In terms of seed, the company had a GDP investment worth of US$2 million.

Additional capital raised is to be focused on building capacity in terms of animation content production, talent acquisition, and international expansion.

“The Indonesian film industry has experienced rapid growth in recent years, both in feature films and other unique content formats, and there continues to gain significant demand for high-quality local content. With our self-produced Hollywood-caliber content, we believe that Visinema is well-positioned to convey more Indonesian stories to the audience, both local and worldwide,” Intudo Ventures’ Founding Partner, Patrick Yip said.

Bekraf, on one occasion, said, the number of Indonesian cinema audiences has grown 230% in the last five years. Followed by the number of cinema that grown rapidly in the last three years, from 800 to 1800 screens. While quoting MPAA data, Indonesia is now ranked 16th for the world’s Box Office market share. The resulting market value reaches $345 million.

In fact, with the work of local filmmakers, several films managed to seize the attention of millions of viewers. In 2016 for example, there are 30 million people acquired from the top 15 films. The data collected by Ideosource explained the well-filled value chain in the Indonesian film industry. Both in terms of production to distribution.

List of companies in the value chain of the national film industry / Ideosource
List of companies in the value chain of the national film industry / Ideosource

In the report published in 2017, also explained the amount of funding received by the industry. It is said that 50% of investment is targeting various companies in the film industry, not only the IP (intellectual property) owners but also the marketing and distribution channels, with the other 20% poured on filmmakers or independent producers

Visinema is to build the whole production ecosystem

The current market motion is enough for players in the industry to be optimistic. Wearing an ambitious vision, armed with available resources, Visinema wants to develop a comprehensive studio ecosystem. The aim is to help end-to-end film processes, from concept advancement, talent development, production, distribution to monetization.

The company currently has sub-organizations such as Visinema Music which produces music for films; Visinema Campus for creative recruitment and labs; and Skriptura as spaces for writers. Not only appearances in theaters or television, the produced film and serial content also began to be distributed through digital channels such as Netflix, iflix, and Goplay.

Besides being favored by consumers due to convenience, the on-demand video platform clearly provides better benefits for film creators as a fairly efficient distribution channel. Especially in the midst of cross-platform competition which now has reached over ten fingers, one of the strategies is that each player wants to present their original series. Through their work, such as Filosofi Kopi The Series, Visinema also gained profits.

The economic value produced from films is quite large – along with the increasing quality. Below listed the biggest films achievements of local studio productions based on revenue:

the highest record of local film revenue in the last two decade / Statista
the highest record of local film revenue in the last two decade / Statista

Visinema’s Founder & CEO, Angga Dwimas Sasongko founded the company in 2008. Through the successful story of Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini and Keluarga Cemara, this studio is getting well-known by the public.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Visinema Terima Pendanaan Seri A Rp45,5 Miliar Dipimpin Intudo Ventures

Hari ini (26/2) Visinema mengumumkan pendanaan seri A senilai US$3,25 juta atau setara Rp45,5 miliar. Putaran ini dipimpin oleh Intudo Ventures, didukung investor sebelumnya yakni GDP Venture dan Ancora Capital. Di tahap awal, perusahaan telah mendapatkan investasi dari GDP senilai US$2 juta.

Modal tambahan yang didapat akan difokuskan untuk membangun kapasitas dalam produksi konten animasi, akuisisi talenta dan ekspansi internasional.

“Industri film Indonesia telah mengalami pertumbuhan pesat selama beberapa tahun terakhir, baik dalam film panjang maupun format konten unik lainnya, dan terus ada permintaan yang signifikan untuk konten lokal bermutu tinggi. Dengan konten ‘Hollywood-caliber’ yang diproduksi sendiri, kami percaya bahwa Visinema memiliki posisi yang baik untuk menyampaikan lebih banyak cerita Indonesia kepada audiens, baik di dalam negeri maupun di seluruh dunia,” ujar Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip.

Di sebuah kesempatan Bekraf menyampaikan, dalam lima tahun terakhir pertumbuhan jumlah penonton bisokop Indonesia capai 230%. Bahkan jumlah layar lebar bertumbuh cepat dalam tiga tahun terakhir, dari 800 menjadi 1800 layar. Sementara mengutip data MPAA, Indonesia kini berada di peringkat ke 16 untuk pangsa pasar Box Office dunia. Nilai pasar yang dihasilkan mencapai $345 juta.

Pun demikian dengan karya sineas lokal, beberapa film berhasil menyita perhatian jutaan penonton. Pada tahun 2016 contohnya, dari 15 film teratas penonton yang dirangkul capai 30 juta orang. Data yang dihimpun Ideosource memaparkan bahwa sebenarnya value chain dalam industri perfilman Indonesia sudah terisi dengan baik. Baik dari sisi produksi hingga distribusi.

Jajaran perusahaan yang mengisi value chain industri perfilman nasional / Ideosource
Jajaran perusahaan yang mengisi value chain industri perfilman nasional / Ideosource

Dalam laporan yang diterbitkan tahun 2017 tersebut juga dirinci besaran alokasi pendanaan yang diterima industri. Disebutkan 50% investasi menyasar beragam perusahaan yang bermain dalam ekosistem perfilman, tidak hanya pemegang IP (intellectual property), tapi juga kanal distribusi dan pemasaran. Sementara 30% fokus pada investasi perusahaan produksi film, lalu sisanya 20% dikucurkan pada filmaker atau produser independen.

Visinema ingin bangun ekosistem produksi secara menyeluruh

Geliat pasar yang ada cukup membuat para pemain di industri optimis. Taruh visi ambisius, berbekal sumber daya yang ada, Visinema ingin kembangkan ekosistem studio yang komprehensif. Tujuannya untuk membantu proses film secara end-to-end, mulai dari pematangan konsep, pengembangan bakat, produksi, distribusi hingga monetisasi.

Saat ini perusahaan telah memiliki sub-organisasi seperti Visinema Music yang memproduksi musik untuk film; Visinema Campus untuk perekrutan dan lab kreatif; dan Skriptura yang menjadi ruang bagi penulis. Tidak hanya tampil di bioskop atau televisi, konten film dan serial yang diproduksi juga mulai didistribusikan melalui kanal digital seperti Netflix, iflix dan Goplay.

Selain digemari konsumen karena kemudahan yang diberikan, platform video on-demand nyata-nyata memberikan manfaat lebih baik kreator film sebagai kanal distribusi yang cukup efisien. Terlebih di tengah persaingan antar-platform yang kini jumlahnya sudah mencapai belasan, salah satu strateginya masing-masing pemain ingin sajikan serial orisinal mereka. Melalui karyanya, seperti Filosofi Kopi The Series, Visinema pun ikut dapat untung darinya.

Nilai ekonomi yang dihasilkan dari film juga sangat besar – sejalan dengan kualitas yang makin meningkat. Berikut ini catatan capaian terbesar film yang diproduksi studio lokal berdasarkan revenue:

Capaian revenue tertinggi dari film lokal selama dua dekade terakhir / Statista
Capaian revenue tertinggi dari film lokal selama dua dekade terakhir / Statista

Founder & CEO Visinema Angga Dwimas Sasongko mendirikan perusahaannya pada tahun 2008. Melalui kesuksesan film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, Keluarga Cemara membuat studio ini main dikenal kalangan masyarakat.

Corporate Venture Capital as an Answer to the Disruption Era

In June 2010, UberCab has launched in San Fransisco for easier access to book a cab. Soon, the platform was getting popular in the area, although the fare was higher. Users are willing to pay more for efficiency.

Five months later, the company received seed funding worth $1.25 million from several investors. The brand changed into Uber following its decision to include other transportation besides taxi. In early February next year, Uber announced Series A funding of $11 million.

Settled with $60 million valuations, they finally had its grand launching in New York. The public expressed their enthusiasm with the new innovation, the big apple later become the early biggest market share in the US. Some taxi provider companies have issued an intervention, asking for the business legal.

In late 2011, Uber secured $32 million Series B funding, including Jeff Bezos. The international expansion begins, aimed at Paris. User’s feedback, on the fare and availability, has encouraged the company to release some variant products, including UberX for more affordable service.

Halfway to 2014, Uber made expansions to India and Africa. Along with the Series C investment worth of $258 million. Valuation exceeds $3.76 billion and the company is officially a unicorn. Next, they secured another investment worth of $1.2 billion in July 2016 and took the company to a decacorn valuation at $17 billion.

In brief, with the current business dynamics, including expansion, downsizing business, and follow on funding, they finally had an IPO in May 2019 in NYSE with a market capitalization reached $75.5 billion.

Based on the business journey, there are some points to be highlighted: (1) a rapid growth business, (2) disrupted business, (3) business with fantastic valuation growth.

“Disruption” term as a barrier

Uber business model is getting replicated by others, including Gojek with the local wisdom – in this case, ojek (two-wheeler) transportation. After running a business in a semi-conventional way since 2011, they finally launched the first app on the Android and iOS platforms on January 7th, 2015. It used to provide only transportation, instant courier and groceries.

Similar to Uber, the offered services are in high demand. Traction rise up now and then, as well as financial support from investors. It applies to the rejection issue, both the motorcycle taxi drivers and transportation companies had a hard time. Sometimes, the “pressure” comes from regulation, due to no legal umbrella to accommodate the business model, at that time.

It’s from the ride-hailing sector, the truth is new platforms (e-commerce, digital wallet, SaaS, online learning and so on) are created as a way to replace traditional businesses and it’s getting the hype as the increasing number of smartphone users in Indonesia. Suddenly the term “disruption” became the main topic in various news, public discussions, to scientific publications.

Some companies have passed the term and feel encouraged to follow the existing trends, in order to not be eliminated. In the end, the jargon “digital transformation” turned into a campaign. Businessmen massively go-digital, trying to adopt the latest technology to accelerate the business model. From the simplest as creating a social media account for marketing and applying the concept of data science to business.

Technology holds an important role in the disruption era. Moreover, it has the right medium to connect a service to its user, the computing devices – including smartphones. If not through the mobile apps, maybe the growth of Uber, Gojek, Tokopedia, Moka, Bridestory and other startups won’t be that fast.

Strategic partnership through investment

Some of the large companies with high demand in market share were made flustered by digital startups. As the few shopping centers said to be empty of visitors – and some reduce the number of outlets – after the booming e-commerce services in Indonesia. “Natural law” in business seems to start showing results: adapting or slowly dying.

Some retailers are trying to change their approach, for example, Matahari Department Store which finally released an e-commerce portal. Other shopping centers are starting to optimize application-based services, such as the GetPlus loyalty platform at Grand Indonesia. Its vision is to improve the customer experience. So far, the consumer sector is where the disruption impacted the most.

There are two options, to develop independently or collaborate with existing startups. Each option comes with implications. First, if you choose to build a digital foundation independently, you must invest in a variety of resources including infrastructure and experts. As for the second option, a strategic partnership can be one solution and most likely to be effective.

Digital transformation should be fast. Even technology is dynamically evolving. While corporate executives stay focused on improving the core business, they don’t think there’s enough time to create digital solution experiments. Digital products require some process in order to reach market-fit – research, market validation, and others.

Corporates can adjust the synergies with business vision of both. As for the companies in the financial sector, they can collaborate with fintech startups which appropriate to support business development. Companies in the insurance field can start cooperating with insurtech startups to increase the presence and easy access to public services.

After finding a suitable startup and they have proven product-market-fit, further cooperation is required for a more exclusive stage. One way is by giving investments – acquiring a few percent of ownership shares – to related startups. Furthermore, if this soon become a concern to the corporation, they can create a new venture capital sub-company.

Indonesian corporate venture capital

Corporate venture capital (CVC) usually takes form as a separate business unit (subsidiary) that is focused on channeling company investment funds to startups. It involves a strong team to do analysis and screening, in order to find startups that fit the company’s requirements.

CVC is getting popular in Indonesia, along with its achievements – both in terms of strategic partnerships to increase business or exit (IPO or acquired with a higher valuation value) as a mechanism for investors to get financial returns.

Daftar CVC di Indonesia

The investment focus is simple, each company explores the sectors with the highest potential to strengthen corporate lines. As an example, Central Capital Ventura from BCA, it’s targeting startups which provides access to financial convenience for consumers and businesses. The derivatives are quite diverse, ranging from credit platforms, financial technology supporting businesses, to insurance. Apparently, Astra International follows the rule, the company focuses on startups that empower automotive products, around transportation and logistics.

A bigger chance for growth-stage startups

After previously debuting with up to 3.5 trillion Rupiah managed funds. Recently, BRI has re-injected additional capital worth 500 billion Rupiah for BRI Ventures. In addition to increasing the portion of share ownership to 99.97%, it is expected to accelerate the subsidiary. Quite a fantastic number for a business kick-off in the new venture capital business.

Another CVC, Mandiri Capital Indonesia (MCI) has invested in 13 startups by the end of 2019. The CEO, Eddi Danusaputro said to have 50 billion Rupiah ready to be invested in other fintech startups. Their latest lead is the investment to the Halofina financial planning platform in the pre-series A.

The large value poured by corporations into the CVC is not random. From the existing trends, they are usually investing in startups at the growth stage. In this phase, startups are usually have proven the traction of the targeted market. As with Telkomsel Mitra Innovation (TMI), which was recently formed halfway to the end of last year, they made a debut investment to Kredivo’s series C.

A deeper approach was taken by the Telkom Group by establishing the Indigo Creative Nation’s integrated incubation and acceleration program. MDI Ventures is involved to invest in the startups graduated from the program.

More CVC to come

Although it’s not explicit, several companies reportedly participated as Limited Partners (LP) in venture capital. Acting as an LP means that they entrust the designated party to channel funds to the right startup, instead of forming their own team or subsidiary in processing investments from top to bottom.

Digital startups with the success story in demonstrating competitive value in the market and support for the current industry, are believed to attract more corporates involved in the ecosystem, specifically forming CVC. Aside from local case studies, overseas even world-class companies have also intervened in the ecosystem.

The latest news is that several other state-owned companies are also interested in forming a subsidiary in the field of venture capital. BNI and Pegadaian are said to be finalizing an investment strategy to strengthen the company’s business line.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Modal Ventura Korporasi Jadi Cara Jitu Hadapi Disrupsi

Pada bulan Juni 2010, aplikasi UberCab diluncurkan di San Francisco untuk memudahkan masyarakat memesan taksi. Tak butuh waktu lama, platform tersebut populer di seluruh kawasan setempat, kendati tarif layanan yang dikenakan jadi lebih mahal. Pengguna mau membayar lebih untuk efisiensi yang didapat.

Lima bulan kemudian perusahaan mendapatkan pendanaan awal $1,25 juta dari sejumlah investor. Merek pun diubah menjadi Uber karena mengakomodasi jasa transportasi yang merangkul pengemudi di luar taksi. Februari awal tahun berikutnya, Uber umumkan pendanaan seri A $11 juta.

Mantap dengan valuasi $60 juta, mereka resmikan kehadiran di New York. Masyarakat antusias dengan layanan baru tersebut, bahkan di fase awal wilayah ini jadi pangsa pasar terbesar Uber. Beberapa perusahaan taksi mulai menyerukan penolakan keras, mempertanyakan legalitas bisnis.

Akhir tahun 2011, Uber amankan pendanaan seri B senilai $32 juta, termasuk dari Jeff Bezos. Ekspansi internasional pun dimulai, Paris jadi sasaran utama. Umpan balik dari konsumen, soal harga dan ketersediaan, membuat perusahaan merilis berbagai varian produk, termasuk UberX untuk opsi layanan terjangkau.

Pertengahan tahun 2013, Uber ekspansi ke India dan Afrika. Dibarengi dengan pendanaan seri C senilai $258 juta. Valuasi perusahaan tembus $3,76 miliar, resmi dapatkan gelar unicorn. Lalu Juli 2016 mereka dapatkan pendanaan baru lagi $1,2 miliar dan membawa perusahaan pada valuasi decacron $17 miliar.

Singkat cerita, dengan dinamika bisnis yang ada termasuk ekspansi, perampingan bisnis dan pendanaan lanjutan, pada Mei 2019 mereka melakukan IPO di NYSE dengan kapitalisasi pasar menyentuh $75,5 miliar.

Dari perjalanan bisnis tersebut, ada beberapa hal yang bisa digaris bawahi: (1) bisnis yang berkembang cepat, (2) bisnis yang mengganggu, (3) bisnis dengan pertumbuhan nilai fantastis.

Terminologi “disrupsi” jadi momok

Model bisnis Uber lalu banyak direplikasi, termasuk oleh Gojek dengan menyertakan kearifan lokal – dalam hal ini moda transportasi ojek. Setelah jalankan bisnis dengan cara semi-konvensional sejak tahun 2011, pada 7 Januari 2015 mereka perkenalkan aplikasi perdana di platform Android dan iOS. Waktu itu menyajikan layanan transportasi, kurir instan dan belanja.

Sama dengan Uber, layanan yang disajikan banyak diminati. Traksi melonjak tinggi dari waktu ke waktu, juga dukungan finansial dari investor. Pun demikian soal isu penolakan, baik oleh kalangan pengemudi ojek dan perusahaan transportasi, mereka juga sempat merasakannya. Bahkan beberapa kali mendapatkan “tekanan” regulasi, karena belum adanya payung hukum yang mengakomodasi model bisnis tersebut, waktu itu.

Itu baru dari ride-hailing, nyatanya masih terus bermunculan berbagai platform baru (e-commerce, digital wallet, SaaS, online learning dan lain sebagainya) yang coba menggantikan proses bisnis tradisional, juga mendapatkan sambutan luar biasa di tengah makin tingginya jumlah pengguna ponsel pintar di Indonesia. Sontak istilah “disrupsi” menjadi bahasan utama di berbagai pemberitaan, diskusi publik, hingga publikasi ilmiah.

Banyak perusahaan yang sudah melenggang sebelumnya merasa perlu untuk mengikuti tren yang ada, agar tidak tersingkir. Pada akhirnya jargon “transformasi digital” pun jadi ramai dikampanyekan. Pebisnis berbondong-bondong go-digital, mencoba mengadopsi teknologi terkini untuk mengakselerasi model bisnis. Dari yang paling sederhana seperti membuat akun media sosial untuk pemasaran, hingga menerapkan konsep ilmu data ke dalam bisnis.

Teknologi memiliki peran penting dalam disrupsi. Terlebih ia telah memiliki medium yang tepat untuk menghubungkan suatu layanan kepada penggunaanya, yakni perangkat komputasi – termasuk ponsel pintar. Jika tidak melalui aplikasi mobile, mungkin pertumbuhan Uber, Gojek, Tokopedia, Moka, Bridestory dan startup lainnya tidak secepat itu.

Kemitraan strategis melalui investasi

Banyak perusahaan besar yang sebelumnya moncer di pangsa pasar dibikin kalang kabut oleh startup digital. Sebut saja beberapa pusat perbelanjaan yang mengaku sepi pengunjung –dan sebagian mengurangi jumlah gerai—pasca booming layanan e-commerce di Indonesia. “Hukum alam” dalam bisnis tampaknya mulai tampakkan hasil: turut beradaptasi atau pelan-pelan mati.

Beberapa peritel mencoba mengubah pendekatan, misalnya Matahari Departement Store yang akhirnya merilis portal e-commerce. Pusat perbelanjaan lain mulai mengoptimalkan layanan berbasis aplikasi, seperti platform loyalty GetPlus di Grand Indonesia. Visinya pada peningkatan pengalaman pelanggan. Sejauh ini sektor consumer memang yang terlihat paling merasakan dampak disrupsi.

Pilihan memang ada dua, mengembangkan secara mandiri atau berkolaborasi dengan startup yang ada. Masing-masing punya implikasi. Pertama, jika memilih membangun pondasi digital secara mandiri, maka harus berinvestasi pada berbagai sumber daya termasuk infrastruktur dan pakar. Sementara untuk opsi kedua, jalinan kemitraan strategis dapat menjadi solusi, dan tampaknya jadi yang paling efektif untuk diadopsi.

Perubahan menuju ranah digital harus dilakukan secara cepat. Pasalnya teknologi itu sendiri berkembang sangat dinamis. Sementara eksekutif di korporasi harus tetap fokus pada peningkatan komoditas bisnis utamanya, merasa tidak punya waktu lebih untuk melakukan percobaan membuat solusi digital. Produk digital yang mencapai market-fit membutuhkan proses yang tidak sederhana – harus melakukan riset, validasi pasar, dan lain-lain.

Korporasi dapat menyesuaikan sinergi yang akan dibangun dengan visi bisnis yang dijalankan. Sebut saja untuk perusahaan di bidang finansial, mereka dapat merangkul startup fintech yang sesuai untuk mendukung pengembangan bisnis. Perusahaan di bidang asuransi, dapat mulai menggandeng startup insurtech untuk meningkatkan kehadiran dan kemudahan akses layanan ke publik.

Setelah menemukan startup yang sesuai dan mereka telah membuktikan product market-fit, selanjutnya dibutuhkan kerja sama untuk tahapan yang lebih eksklusif. Salah satunya dengan memberikan investasi –mengakuisisi beberapa persen kepemilikan saham—kepada startup terkait. Lantas jika inisiatif pengembangan kerja sama strategis ini menjadi perhatian khusus korporasi, pembentukan sub-perusahaan modal ventura dapat dilakukan.

Modal ventura korporasi di Indonesia

Modal ventura korpoarasi atau lebih dikenal dengan istilah corporate venture capital (CVC) umumnya berbentuk unit usaha terpisah (anak perusahaan) yang difokuskan untuk menyalurkan dana investasi perusahaan ke startup. Di dalamnya terdapat tim yang kuat untuk melakukan analisis dan penyaringan, guna menemukan startup yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Praktik pembentukan CVC mulai populer di Indonesia, seiring dengan kesuksesan yang berhasil ditorehkan – baik dalam bentuk kemitraan strategis dalam rangka peningkatan bisnis ataupun exit (IPO atau diakuisisi dengan nilai valuasi yang lebih tinggi) sebagai mekanisme investor dapatkan keuntungan finansial.

Daftar CVC di Indonesia

 

Fokus investasinya pun mudah dibaca, masing-masing mendalami sektor yang berpotensi untuk memperkuat lini korporasi. Ambil contoh Central Capital Ventura besutan BCA, portofolio yang disasar startup yang memberikan akses kemudahan finansial bagi konsumen maupun bisnis. Turunannya cukup beragam, mulai platform kredit, teknologi pendukung bisnis finansial, hingga asuransi. Pun demikian Astra Internasional yang fokus pada startup yang memberdayakan produk otomotif, seputar transportasi dan logistik.

Porsi lebih untuk startup tahap berkembang

Setelah sebelumnya debut dengan dana kelolaan hingga 3,5 triliun Rupiah. Beberapa waktu terakhir BRI kembali menyuntik modal tambahan senilai 500 miliar Rupiah untuk BRI Ventures. Selain untuk meningkatkan porsi kepemilikan saham menjadi 99,97%, diharapkan mampu mengakselerasi anak perusahaannya tersebut. Angka yang fantastis untuk kick-off bisnis modal ventura baru.

CVC lain, Mandiri Capital Indonesia (MCI) telah berinvestasi ke 13 startup hingga akhir tahun 2019. CEO Eddi Danusaputro menyebutkan di tahun ini mereka masih punya amunisi 50 miliar Rupiah untuk diinvestasikan ke startup fintech lainnya. Terbaru mereka pimpin pendanaan pengembang platform perencanaan keuangan Halofina dalam putaran pra-seri A.

Nilai besar yang dikucurkan oleh korporasi ke CVC bukan tanpa alasan. Dari tren pendanaan yang ada, rata-rata mereka berinvestasi untuk startup di tahap berkembang (growth stage). Di fase ini startup biasanya sudah mampu membuktikan traksi dari ceruk pasar yang disasar. Seperti halnya Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) yang baru dibentuk pertengahan tahun lalu, debut investasi pada putaran seri C Kredivo.

Pendekatan yang lebih mendalam dilakukan Telkom Group dengan membentuk program inkubasi dan akselerasi terpadu Indigo Creative Nation. MDI Ventures dilibatkan untuk mendanai startup yang dinyatakan lulus dari program tersebut.

Diproyeksikan akan makin banyak CVC

Meskipun tidak secara eksplisit mengumumkan keterlibatannya berinvestasi ke startup, beberapa perusahaan dikabarkan turut menjadi Limited Partner (LP) di  venture capital. Bertindak sebagai LP artinya mereka mempercayakan kepada pihak yang ditunjuk untuk menyalurkan dana ke startup yang tepat, alih-alih membentuk tim atau anak perusahaan sendiri dalam memproses investasi dari hulu ke hilir.

Startup digital yang berhasil tunjukkan nilai kompetitif di pasar dan dukungannya terhadap industri yang sudah berjalan, diyakini akan menarik perhatian lebih banyak korporasi untuk terlibat ke dalam ekosistem, khususnya membentuk CVC. Selain studi kasus dari dalam negeri, sebenarnya di luar negeri pun perusahaan kelas dunia juga sudah turun tangan ke dalam ekosistem.

Kabar terkini beberapa perusahaan milik negara lain juga tertarik untuk membentuk anak usaha di bidang modal ventura. Bank BNI dan Pegadaian disebut-sebut tengah matangkan strategi investasi untuk perkuat lini binsis perusahaan.

HarukaEDU Konfirmasi Perolehan Pendanaan Seri C, Akan Fokus Rambah Pasar Korporasi

Startup pendidikan (edtech) HarukaEDU mendapatkan pendanaan seri C dengan nilai yang tidak disebutkan. Putaran investasi dipimpin oleh perusahaan dagang asal Amerika Serikat bernama SIG, dengan keterlibatan AppWorks akselerator startup bebasis di Taipei, dua investor lokal GDP Venture dan Gunung Sewu, serta investor di tahap sebelumnya Samator Group.

Kabar mengenai pendanaan ini dikonfirmasi langsung oleh Co-Founder & CEO HarukaEDU Novistiar Rustandi, ia sekaligus menyampaikan ambisinya untuk mendorong perusahaan mendalami sektor B2B. Penggalangan dananya sendiri memang sudah dikabarkan sejak tahun lalu.

Sebelumnya HarukaEDU telah membukukan pendanaan seri B senilai $2,2 juta. PALF, Semator, dan investor dalam putaran sebelumnya CyberAgent Capital turut terlibat dalam putaran tersebut.

Mirip dengan edtech populer lainnya, seperti Ruangguru atau Zenius, layanan dasar HarukaEDU adalah platform belajar online. Tahun lalu merek Pintaria mulai santer dikenalkan ke publik, didesain sebagai marketplace pelatihan dan pembelajaran dengan beragam topik, fokus pada pengembangan kemampuan profesional. Layanan tersebut kini jadi cikal-bakal lahirnya CorporateEdu, model bisnis baru yang akan coba digenjot tahun depan.

Dalam sebuah kesempatan Novistiar menceritakan alasan perubahan segmen bisnis yang disasar HarukaEDU –dari kalangan akademik, menuju kalangan profesional, dan kini menyasar korporasi. Ia dan timnya menangkap ada kebutuhan di pasar terkait, yang dipengaruhi tren disrupsi akibat perkembangan teknologi. Dicontohkan banyak pekerjaan lama yang sudah mulai dikikis dengan automasi, mengharuskan setiap pekerja harus selalu memiliki kompetensi yang relevan dengan kebutuhan industri.

“Banyak pekerjaan lama mulai hilang, misalnya penjaga pintu tol atau kasir. Sementara banyak pekerjaan baru muncul, misalnya data scientist atau AI trainer. Revolusi industri 4.0 memang memberikan tantangan sendiri, tapi dengan memiliki prinsip harus selalu belajar, kita bisa terus mengikuti perkembangan zaman. Itu menjadi potensi bisnis yang coba diakomodasi HarukaEDU,” terang Novistiar.

Terkait pendidikan untuk kalangan profesional, beberapa waktu lalu Ruangguru juga memperkenalkan Skill Academy. Melalui kanal tersebut, materi belajar yang lebih umum seperti mengenai teknik presentasi, tips penjualan, dan lain-lain ditawarkan.

Coba mendirupsi kegiatan pelatihan bisnis

CorporateEdu dikembangkan untuk membantu perusahaan memfasilitasi kanal pengembangan kompetensi bagi para karyawannya. Pendekatan digital dinilai lebih efektif, dengan jam pelaksanaan yang lebih fleksibel dan hasil yang lebih terukur. Dari sisi perusahaan, juga dinilai akan menghemat lebih banyak anggaran.

Dalam perjalanan bisnisnya, HarukaEDU menggandeng banyak institusi, mulai dari universitas hingga kalangan profesional untuk menyampaikan materi ajar. Kerja samanya dengan institusi pendidikan terakreditasi juga memungkinkan Pintaria untuk menjual materi kuliah online dengan pedagogi setara dengan pembelajaran di kampus.

Dengan pendanaan seri C yang diperoleh, HarukaEDU cukup optimis bahwa layanannya ini akan diterima baik di pasar korporasi lokal dan berharap menuai hasil serupa dengan startup lain di luar negeri yang sudah menginjakkan kaki terlebih dulu di segmen tersebut, misalnya 2U.com.

“Di luar negeri ada 2U.com, itu juga menjadi benchmark produk kami. Platform ini menghadirkan layanan blended-learning, semacam kuliah online. Dulu 2U.com mencapai valuasi $1 miliar saat mereka hanya memiliki 12 ribu pengguna. Per tahun 2018 ini penggunanya sudah mencapai 32 ribu, valuasi pun meningkat senilai $4,8 miliar. Di edtech, akuisisinya sekali, tapi pelanggan akan bayar selama 4 tahun,” jelas Novistiar saat ditemui di acara Nexticorn di Bali tahun lalu.

Catapa Implements Artificial Intelligence, Offering “Human Resources Intelligent System”

In its development, artificial intelligence (AI) implementation is getting broader and specific, for business in particular. One of the examples is Catapa, by presenting a smart system to support human resource division at the office.

A graduate from GDP Venture incubation has developed a Human Resources Intelligent System that serves various employee requirements, such as data management, payroll, taxes, and insurance.

In addition to the employee dashboard, Catapa’s Founder & CEO, Stefanie Suanita said, what distinct its platform with others in general is, they’ve applied Artificial Intelligence. One of those is represented in the form of virtual assistant named “Claudia”, with interactive design to help employees submitting leave, overtime work, and others.

The chatbot can be integrated to Facebook Messenger, LINE, Slack, or Telegram for business.

Claudia, a virtual assistant for employee issues related to HR
Claudia, a virtual assistant for employee issues related to HR

 

As the usual SaaS (Software as a Service), Catapa subscription model is quite flexible, accumulated based on usage. In its implementation, the system will automatically count the payment/deduction for BPJS Kesehatan (Health) and Ketenagakerjaan (Employee), including PPh 21 accumulation for employee taxes. Catapa platform has also fully integrated with Klik BCA Bisnis.

Currently, there are some modules ready to be attached to the system. Starts from Recruitment for new employees, Time Management to manage absence and leaves. Also, Talent Management module to monitoring some actions related to the staff competency, and Reimbursement for any kinds of business-related submission or reimbursement.

Catapa was founded on April 21st, 2017. Stefanie said, they’ve handled thousands of payslips every month from various business users. In order to improve features, integration with “sister company” and other supporting platform is being developed to facilitate users in the near future.

The other highlight of Catapa is about data security and privacy. In the release, they guarantee the secure Personally Identifiable Information (PII) by adding the basic data encryption (communication apps), server (communication client), Network Demilitarized Zone (DMZ) implementation, and avoid data loss (disaster recovery).

Aside from Catapa, there are some startups providing digital services for employee-related needs. There are GreatDay HR, Talenta, Gadjian, Mekari, Jojonomic, and others.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Prosa.ai Dapatkan Pendanaan Seri A dari GDP Venture

Prosa.ai startup pengembang platform artificial intelligence (AI) untuk teknologi pemrosesan teks (NLP – Natural Language Processing) dan pengenalan suara dalam Bahasa Indonesia, hari ini (20/6) mengumumkan perolehan pendanaan seri A yang dipimpin oleh GDP Venture. Tidak disebutkan nominal dana diterima. Investasi tersebut melanjutkan pendanaan awal yang diterima tahun lalu dari Kaskus (juga merupakan portofolio GDP Venture)

“Walaupun jumlah talent AI terbatas termasuk di Indonesia, tetapi para pendiri Prosa.ai menunjukkan bahwa Indonesia mampu untuk mengembangkan teknologi AI dan Prosa.ai pun telah menunjukkan progress yang sangat baik dalam waktu singkat,” sambut CEO GDP Venture Martin Hartono.

Ia juga mengatakan, AI merupakan teknologi yang sedang berkembang dan sangat dibutuhkan untuk menunjang berbagai industri. Sehingga berinvestasi pada teknologi AI merupakan langkah strategis bagi perusahaannya dan diharapkan dapat berpartisipasi dalam kemajuan teknologi di Indonesia.

Prosa.ai didirikan sejak tahun 2018, berawal dari hasil riset para co-founder yakni Ayu Purwarianti, Dessi Puji Lestari dan Teguh Eko Budiarto. Belum lama ini, Prosa.ai bekerja sama dengan Kominfo meluncurkan Chatbot AntiHoaks yang berfungsi untuk mengecek berita, artikel atau tautan yang diberikan oleh masyarakat melalui fitur chat.

“Pendanaan yang kami dapatkan akan kami gunakan untuk memperkuat tim kami, meningkatkan kualitas produk dan data kami menjadi lebih baik lagi. Beberapa produk yang akan kami tingkatkan lagi kualitasnya, seperti Prosa Hoax Intel, NLP Toolkit API, Concept-Sentiment, Chatbot NLP Processing, Text Data Sets, Voice Biometrics, Speech Datasets, Speech-to-Text, Text-to-Speech, Conversational Analytics and Meeting Analytics for Bahasa Indonesia,” ungkap CEO Prosa.ai Teguh Eko Budiarto.

On Lee selaku CTO GDP Venture dan CEO & CTO GDP Labs yang merupakan salah satu Board Directors dari Prosa.ai mengatakan, “GDP Venture sangat senang diberi kesempatan untuk mendanai Prosa.ai karena perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan AI terbaik di Indonesia yang didirikan oleh founders yang kredibel dan mempunyai pengalaman dibidang AI dibarengi dengan tim yang solid dan teknologi yang andal.”

Terapkan Kecerdasan Buatan, Catapa Tawarkan “Human Resources Intelligent System”

Seiring perkembangannya, penerapan kecerdasan buatan (artificial intelligence – AI) mulai meluas dan spesifik, khususnya untuk bisnis. Salah satunya seperti yang dilakukan Catapa dengan menghadirkan sistem cerdas untuk membantu divisi sumber daya manusia di perkantoran.

Startup hasil inkubasi GDP Venture tersebut mengembangkan sebuah Human Resources Intelligent System yang melayani berbagai kebutuhan kepegawaian, seperti pengelolaan data personalia, penggajian, perpajakan, hingga tanggungan asuransi.

Selain dasbor kepegawaian yang dapat dikelola perusahaan, Founder & CEO Catapa Stefanie Suanita menjelaskan, pembeda utama platformnya dengan sistem informasi kepegawaian pada umumnya ialah mereka telah mengaplikasikan AI. Salah satunya direpresentasikan dalam bentuk asisten virtual bernama “Claudia”, didesain interaktif agar membantu karyawan dalam pengajuan cuti, persetujuan lembur dll.

Chatbot tersebut dapat diintegrasikan dengan Facebook Messenger, LINE, Slack atau Telegram yang digunakan perusahaan.

Claudia Chatbot
Claudia, asisten virtual untuk membantu kebutuhan karyawan terkait HR

Layaknya SaaS (Software as a Services), model berlangganan Catapa cukup fleksibel, dihitung berdasarkan penggunaan. Saat diaplikasikan ke bisnis, sistem juga dapat secara otomatis melakukan perhitungan pembiayaan/potongan untuk BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, termasuk melakukan perhitungan PPh 21 untuk pajak pegawai. Platform Catapa juga sudah terintegrasi penuh dengan Klik BCA Bisnis.

Beberapa modul pendukung telah dimiliki dan dapat ditambahkan ke sistem. Mulai dari modul Recruitment untuk proses perekrutan pegawai baru, Time Management untuk mengelola data kehadiran dan pengajuan cuti. Ada juga modul Talenet Management untuk mengelola berbagai hal terkait pengembang kompetensi pegawai, dan Reimbursement untuk pengajuan pengajuan atau pengembalian dana keperluan pekerjaan.

Catapa dirilis pertama kali pada 21 April 2017. Menurut pemaparan Stefanie, saat ini Catapa telah menangani ribuan playslip setiap bulan dari berbagai pengguna bisnis. Untuk meningkatkan fitur, integrasi dengan “sister company” dan platform pendukung lainnya tengah dilakukan sehingga ke depannya dapat memudahkan pengguna.

Hal lain yang turut menjadi perhatian dari pengembang Catapa ialah mengenai keamanan dan privasi data. Dalam keterangannya, pihaknya menjamin keamanan Personally Identifiable Information (PII) dengan membubuhkan enkripsi basis data (komunikasi apps), server (komunikasi client), implementasi Network Demilitarized Zone (DMZ), dan pencegahan terhadap kehilangan data (disaster recovery).

Selain Catapa, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang menyajikan layanan digital untuk kebutuhan kepegawaian. Ada GreatDay HR, Talenta, Gadjian, Mekari, Jojonomic dan sebagainya.

AI Data Labeling Startup Datasaur Announces Seed Round from GDP Ventures

Datasaur, a startup for data labeling, has announced their seed round from GDP Venture. The development of this new service was due to the rise of AI. Behind every AI algorithm are thousands of human-labeled training examples. Organizing and labeling such data today is tedious, time-consuming and expensive.

Datasaur develops smart tools to make labeling more productive and efficient. It emphasizes a policy of privacy and data safety – previously, labeling was often outsourced and data could end up in the wrong hands. Based on the announcement by Datasaur’s Founder & CEO, Ivan Lee, the system will use AI-based models and Natural Language Processing (NLP) to proactively suggest labels and save time.

Project management tools are included for organizing data and assuring accuracy. Labels that do not match previous labels or do not make sense contextually will be submitted to another labeler for verification. In the first phase, Datasaur is focused on text-based data. It has plans to expand to audio in the near future.

“We have secured a seed round of funding. Since announcing last week, several investors have reached out and we are keeping the round open for a select few we think would make for good strategic partners,” the Datasaur team said to DailySocial.

Ivan Lee is the CEO and Founder of Datasaur.ai. He graduated with a Computer Science B.S. from Stanford University in 2009. He took a leave of absence from pursuing his Computer Science Master’s degree to co-found Loki Studios with three other Stanford students. After raising institutional funding and building a profitable game, Loki was acquired by Yahoo in 2013.

Ivan went on to participate in Yahoo’s inaugural Associate Product Manager program. He spent two years as a Product Manager defining and re-building mobile search using artificial intelligence. Ivan went on to serve as VP of Product at GoButler, working to define a new genre of virtual personal assistant. He most recently spent two years working on AI Products at Apple.

He currently lives in Silicon Valley. Aside from thinking about technology and its application to products, he enjoys playing Ultimately Frisbee on warm California days.

“Datasaur is co-located in California and Indonesia. We believe Indonesia’s rich tech ecosystem and abundance of data provide excellent opportunities for us to help out growing startups and established companies working on AI. We are very grateful to be partnering with GDP, a well-connected and respected firm. We see ourselves as a global company from the very start, and are happy to democratize access to AI worldwide,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian