GetPlus Platform Offers “Coalition Loyalty” Program for Retail Business

GetPlus was first developed to help the retail business through the coalition loyalty program, allowing users to connect further with the shopping center and gain more benefits of each transaction.

Through the application, customers who currently visiting shopping centers can get points from their transactions with various brands and product categories. Points are to be accumulated in one account, making it easier to claim the rewards.

GetPlus’ Co-Founder & COO, Adrian Hoon said, they’ve been using some approaches to help retails improving their business performance. “First is to acquire new users through a membership system. Then, the coalition model for loyalty platform is said to significantly increase visitors and transactions.”

“GetPlus also tried to keep retail’s margin using reward points to acquire users in the early season – reducing massive discounts during the sales period. With digital-based business, collected data can be used in mapping users’ behavior and demographics.”

In the previous release, GetPlus is currently available in Grand Indonesia Shopping Center. Users can exchange their shopping receipts into points. There’s also an integration with Grand Indonesia’s G CARD. The points are now redeemable into GetPlus point.

Backed by GDP Venture

Since the launching on February 21st, 2019, GetPlus has acquired 150 thousand users, with 12 earning partners/channels. The application is available on Android and iOS.

GetPlus’ Adrian has another co-founder named Antonny Liem. In its debut, the company has secured seed funding from GDP Venture. A positive notion in Jakarta, will increase expansion level, including to all Indonesia’s first-tier cities per 2021.

He also mentioned the different coalition model with the current loyalty program, such as a single-brand model (e.g. Starbucks Card) or close-Loop (e.g. MAP Club).

Coalition

“Coalition is designed to give advanced value for merchant, consumers, and operators. This program helps sellers to acquire new users, boost-up retention, and increase consumerism. With all the benefits, we do believe in GetPlus to have rapid growth in Indonesia,” he added.

Within the next year, GetPlus is to be focused on adding more merchants and members, particularly in Jabodetabek area. In addition, they’re also to educate retail industry on the coalition loyalty program and consumer data management for business development. While improving the UI/UX for user experience in the application.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Platform GetPlus Tawarkan Program “Coalition Loyalty” untuk Bisnis Ritel

GetPlus dikembangkan untuk membantu bisnis ritel melalui program loyalitas koalisi (coalition loyalty), mungkinkan pelanggan untuk dapat terhubung lebih dekat dengan pusat perbelanjaan dan mendapatkan keuntungan lebih dari setiap transaksi.

Melalui aplikasi GetPlus, pelanggan di pusat perbelanjaan bisa mendapatkan poin hadiah dari aktivitas belanjanya di berbagai merek dan kategori produk. Poin-poin tersebut akan diakumulasikan dalam satu akun, sehingga memudahkan dalam mengklaim berbagai jenis hadiah.

Co-Founder & COO GetPlus Adrian Hoon menyampaikan, terdapat beberapa pendekatan yang coba diberikan untuk membantu peritel meningkatkan performa bisnisnya. “Pertama untuk akuisisi pelanggan baru, melalui sistem keanggotaan. Kemudian model coalition untuk platform loyalitas diklaim meningkatkan kunjungan dan besaran belanja secara signifikan.”

“GetPlus juga mencoba membantu melindungi margin ritel dengan menggunakan poin hadiah bonus untuk mendorong pelanggan di awal musim – mengurangi diskon besar-besaran selama periode penjualan. Berbasis digital, bisnis juga bisa memanfaatkan data yang didapat untuk memetakan demografi dan kebiasaan pelanggan.”

Dalam rilis sebelumnya dikabarkan, saat ini GetPlus sudah diaplikasikan di pusat perbelanjaan Grand Indonesia. Pengguna dapat menukarkan struk belanja menjadi poin. Integrasi juga dilakukan, sebelumnya Grand Indonesia sudah memiliki G CARD. Sekarang pengguna bisa menukarkan poin mereka menjadi poin GetPlus.

Mendapatkan pendanaan dari GDP Venture

Sejak resmi dirilis pada 21 Februari 2019 lalu, GetPlus kurang lebih telah digunakan oleh 150 ribu pengguna, dengan 12 earning partners/channels. Saat ini aplikasi sudah tersedia untuk platform Android dan iOS.

Selain Adrian, co-founder GetPlus lainnya adalah Antonny Liem. Mengawali debutnya, perusahaan mendapatkan pendanaan awal dari GDP Venture. Catatan positif di Jakarta, akan meningkatkan agresivitas ekspansi, termasuk ke berbagai kota besar di seluruh Indonesia per tahun 2021 nanti.

Adrian turut menjelaskan perbedaan model coalition dengan program loyalitas yang ada sejauh ini, misalnya model single-brand (contoh: Starbucks Card) atau close-Loop (contoh: MAP Club).

coalition loyalty

Coalition dirancang untuk memberikan value berkelanjutan untuk merchant, konsumen, dan operator. Program ini membantu pedagang memperoleh pelanggan baru, mendorong retensi, dan meningkatkan pengeluaran belanja. Dengan catatan itu, kami percaya GetPlus memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi di Indonesia,” terang Adrian.

Selama setahun ke depan, fokus GetPlus meningkatkan merchant dan anggota, khususnya di area Jabodetabek. Selain itu mereka juga ingin mengedukasi industri ritel mengenai program coalition loyalty dan pemanfaatan data konsumen untuk peningkatan bisnis. Sembari terus meningkatkan UI/UX aplikasi untuk kenyamanan pengguna.

Application Information Will Show Up Here

GDP Venture Pimpin Pendanaan Gushcloud, Agensi Talenta Berbasis Digital Asal Singapura

Agensi talenta berbasis digital Gushcloud International baru saja mengumumkan perolehan pendanaan lanjutan senilai $11 juta atau setara dengan 154,8 miliar Rupiah. GDP Venture memimpin putaran investasi ini, dengan keterlibatan KB Investments, Golden Equator Capital and Korea Investment Partners, dan Kejora Ventures.

Sebelumnya pada bulan Juli 2019 lalu, perusahaan juga baru saja membukukan pendanaan $3 juta dari YG Investment. Salah satu ambisinya ialah membuka pasar di Indonesia, Filipina dan Vietnam. Dengan adanya suntikan modal baru, startup berbasis di Singapura tersebut ingin segera merambah ke wilayah Amerika Serikat dan China.

“Amerika adalah rumah bagi talenta dan brand besar dunia, sementara China jadi salah satu kunci utama di bidang teknologi dan konsumen dunia. Dengan investor dan mitra baru yang telah bergabung, kami akan memanfaatkan jaringan dan bakat yang dimiliki untuk mencapai pertumbuhan signifikan di tahun mendatang, ujar Co-Founder Gushcloud International Vincent Ha.

Salah satu strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, bersamaan dengan pengumuman investasi ini, perusahaan juga memaparkan suksesi di jajaran manajemen. Penguatan dilakukan di beberapa posisi terkait brand, strategi dan finansial.

Terdapat beberapa unit bisnis yang dimiliki Gushcloud, selain sebagai agensi telenta, mereka juga menggerakkan pemasaran, investasi, dan mengembangkan platform teknologi untuk menghubungkan brand, influencer, hingga pembuat konten.

Pada tahun 2015, Gushcloud diakuisisi oleh Yello Mobile, perusahaan digital di bidang O2O asal Korea Selatan. Namun kemudian para founder memutuskan untuk kembali menjadi shareholders utama. Investasi dari GDP menjadi debut putaran pendanaan setelah para founder kembali memegang kepemilikan bisnis mayoritas.

Mengukur Untung Rugi Korporasi Kolaborasi Bisnis dengan Startup

Korporasi besar makin mawas diri dengan keberadaan startup. Sadar daripada berlomba-lomba untuk mengejar startup, namun tidak ingin terlena dengan terjangan inovasi yang dihadirkan pemain startup, kini sudah eranya melakukan kolaborasi bisnis.

Founder & CEO DailySocial Rama Mamuaya mengatakan bahwa sebetulnya korporasi harus berpikir seperti startup. Namun dengan segala keterbatasan, korporasi tidak bisa langsung bekerja seperti startup. Justru yang perlu didorong terletak di sisi kolaborasi antara keduanya.

“Teknologi yang ada di lima tahun lalu, sudah tidak relevan lagi untuk dipakai lagi sekarang. Makanya perlu dorong kolaborasi dengan startup karena inovasi begitu cepat bergeraknya,” ucapnya saat mengisi sesi di The ICON, kemarin (13/11).

Mengutip dari riset Thomson Reuters, pada tahun ini secara global anggaran belanja untuk mendirikan R&D meningkat 11,4% atau senilai US$782 miliar. Peringkat pertama anggaran paling banyak dihabiskan untuk investasi perangkat lunak dan internet yang memakan porsi hingga 16,5% dibandingkan porsi lainnya.

Bentuk kolaborasi

Menurutnya bentuk kolaborasi antara korporasi dan startup ada tiga bentuk. Bentuk pertama dengan mengadakan hackathon. Kedua membuat inkubator atau akselerator, atau dukungan layanan (service support).

Hackaton yang rutin digelar, di antaranya BCA yang menantang startup untuk berinovasi di sektor keuangan digital, berikutnya Bank BTN yang spesifik mengatasi kebutuhan KPR lewat inovasi digital. Sedangkan untuk program inkubator dan akselerator yang cukup dikenal seperti Plug and Play, Indigo, dan Barclays Accelerator.

Bentuk ketiga berupa dukungan layanan, maksudnya memberikan kesempatan kepada startup untuk menyelesaikan suatu isu tertentu yang ada di internal korporasi. Nantinya startup tersebut akan didedikasikan menangani hal tersebut. Contoh program semacam itu ada Startup Connect dan Startup Xchange.

Korporasi dengan kapital yang besar, ada yang lebih memilih untuk melakukan investasi secara langsung ke startup yang sesuai dengan selera masing-masing. Menurut laporan 500 Startups, jumlahnya mencapai 60%. Dari persentase tersebut, 48% dilakukan lewat merger dan akuisisi (M&A).

Lainnya sebanyak 77% menyebut melakukan kemitraan bisnis dengan startup. Hal inilah yang ramai dilakukan oleh berbagai pihak. Di Indonesia saja, kemitraan ini sudah dilakukan di antaranya, Pos Indonesia – Tokopedia, Blue Bird – Traveloka, Bank Danamon – Investree, Telkom Indonesia – Privy ID, Unilever – Kata.ai, Djarum – Cermati, dan sebagainya.

Hasil kolaborasi

Masih dikutip dari sumber yang sama, disebutkan hasil dari kolaborasi ini buat korporasi belajar sesuatu yang baru (85%). Korporasi bisa mendapatkan solusi pemecahan masalah dengan cara yang baru dan bisa di-scale up (80%) dan terakhir tentunya berbicara soal efisiensi yang berhasil diraih dapat meningkat (81%).

Pada intinya, menurut Rama, pelajaran lainnya yang bisa dipetik adalah saatnya korporasi untuk bertransformasi, dengan mengubah mindset dan budaya seperti yang dilakukan startup.

Memasang mindset dengan selalu mengacu pada data, terus bereksperimen, dan fokus pada konsumen (consumer centric), bukan lagi pada proses (process centric). Lalu membuat budaya kerja yang penuh inovasi, transparan, toleransi pada risiko, dan bekerja cepat.

“Dalam eksperimen itu selalu ada kegagalan dan perusahaan harus siap untuk menghadapinya. Oleh karena itu butuh startup yang lebih agile dan enggak ada birokrasi untuk saling bantu, sebab kegagalan itu buat korporasi adalah harga yang sangat mahal.”

Setiap korporasi meluncurkan produk baru, setidaknya butuh waktu yang lebih lama untuk riset secara mendalam untuk memperkecil risiko kegagalan. Sebab setiap produk yang diluncurkan harus sukses besar karena di awalnya sudah menghabiskan banyak ongkos.

Untuk bisa bekerja seperti startup, kata Rama, sebaiknya dibuat tim kecil yang dikhususkan bekerja selayaknya seperti startup dalam suatu korporasi. Tim tersebut dianggap akan lebih fokus dalam berinovasi, lincah, apabila gagal mudah untuk terus maju dan berinovasi menuangkan idenya tanpa harus terbentur dengan birokrasi yang terbelit-belit.

Tim kecil disebutkan mampu bekerja dengan cepat hingga 200% dibandingkan tim biasa. Hal ini tentunya mempengaruhi pada siklus inovasi yang mereka ciptakan tumbuh sampai 75%.

Tempati Kantor Baru, Tiket.com Klaim Pertumbuhan Pesat Pasca Akuisisi

Setelah mengumumkan rebranding aplikasi dengan mengubah tampilan dan logo pada akhir tahun 2017 lalu, perusahaan online travel agent (OTA) Tiket.com menempati kantor baru di kawasan Jakarta Pusat. Kantor baru yang mampu menampung sekitar 400 orang tersebut sengaja dipilih Tiket.com untuk mempermudah komunikasi antara divisi, termasuk dengan Blibli sebagai induk perusahaannya.

Kepada media, Chief Communication Officer Tiket.com Gaery Undarsa mengungkapkan, proses renovasi gedung kantor baru Tiket.com selesai hanya dalam tiga bulan usai akuisisi.

“Saya mendapat ultimatum dari manajemen untuk bisa menyelesaikan kantor baru ini hanya dalam waktu tiga bulan. Meskipun belum semua karyawan yang pindah ke kantor baru, namun hampir semua sudah mulai bekerja di kantor baru Tiket.com.”

Gedung yang sarat dengan nuansa warna biru, kuning dan putih tersebut, memiliki desain modern dengan berbagai ruangan yang berfungsi untuk lounge, kantin hingga ruang pertemuan. Meskipun belum dilengkapi dengan play room, Gaery menyebutkan untuk menarik perhatian talenta, terutama kalangan millennial, nantinya akan ditambah fasilitas permainan lainnya.

“Kami dari Tiket.com melihat talenta adalah aset. Untuk itu kami mencoba menghadirkan kantor dengan suasana yang nyaman untuk bekerja, sekaligus menarik perhatian calon pegawai bekerja di Tiket.com,” kata Gaery.

Pertumbuhan pasca akuisisi

CEO Tiket Geroge Hendrata dan CMO Tiket Gaery Undarsa / DailySocial
CEO Tiket.com Geroge Hendrata dan CMO Tiket.com Gaery Undarsa / DailySocial

Dalam kesempatan tersebut, Gaery juga menyampaikan beberapa informasi seputar pertumbuhan Tiket.com usai diakuisisi. Pihaknya mengklaim transaksi per hari untuk semua layanan mencapai sekitar 20 ribu transaksi, naik dibanding tahun sebelumnya yang membukukan sekitar 10-15 ribu transaksi per hari.

“Kita juga mulai melihat ternyata pemesanan hotel semakin banyak jumlahnya, salah satu alasan karena adanya perjanjian eksklusif kami dengan hotel-hotel domestik,” kata Gaery.

Hal lain yang disampaikan Gaery adalah jumlah unduhan aplikasi yang saat ini mencapai sekitar 6 juta. Transaksi paling banyak diklaim Tiket.com berasal dari aplikasi mobile yang mencapai hingga 70%.

Berencana meluncurkan fitur baru

Sejak diluncurkannya fitur Smart Refund beberapa waktu lalu yang hanya bisa digunakan di aplikasi, Tiket.com akan merilis fitur tersebut di semua platform dalam waktu dekat. Fitur lain yang segera diluncurkan Tiket.com adalah,fitur Smart Reschedule untuk semua penerbangan dan hotel secara real time dan fitur aktivitas berupa paket wisata.

“Sebelumnya kami sudah memiliki paket wisata yang termasuk dalam layanan di Tiket.com. Nantinya fitur tersebut akan kami pisahkan dan akan kami perbanyak jumlahnya,” kata Gaery.

Untuk bisa bersaing dengan kompetitor, Gaery menegaskan akan menambah kemitraan dengan partner dalam hal pembayaran. Jika sebelumnya Tiket.com telah memiliki jenis pembayaran cicilan tanpa kartu kredit dengan mitra Akulaku, ke depannya Tiket juga akan menambah kemitraan dengan layanan lain yang serupa.

“Hal tersebut kami lakukan karena ternyata banyak sekali transaksi yang masuk saat promosi dengan mitra terkait. Untuk itu kami akan memperluas kemitraan ini selanjutnya,” kata Gaery.

Disinggung apakah nantinya ada konsolidasi dengan Go-Jek, usai investasi strategis Blibli ke Go-Jek, Gaery menyebutkan belum ada rencana yang pasti hingga saat ini, namun menyambut baik jika ada peluang untuk konsolidasi.

“Saat ini Go-Jek sudah menjadi perusahaan yang sangat menonjol di Indonesia dengan berbagai layanannya. Dalam hal ini saya melihat jika ada kesempatan melakukan integrasi dengan Go-Pay akan menjadi hal yang menarik bagi kami di Tiket.com,” tutup Gaery.

Application Information Will Show Up Here

Memahami Pola Pikir Investor Startup di Indonesia

Agar startup berkembang, umumnya butuh sokongan kapital untuk membantu melancarkan eskalasi. Startup bisa mengandalkannya dari perputaran uang secara organik ataupun anorganik. Akan tetapi, ketika ingin mencoba cara anorganik artinya perlu mencari investor yang tepat, tak sekadar mengincar uangnya saja.

Kapan saat yang tepat mencari investor? Menurut CEO MerahPutih Incubator & Investment Partner GDP Venture Antonny Liem, jawaban yang tepat adalah saat startup sedang tidak butuh uang. Dalam #SelasaStartup edisi (30/1), Antonny hadir dan memberikan tips apa saja yang sebenarnya dalam pikiran investor untuk diketahui dan dipersiapkan sebelum bertemu dengan mereka.

Tipe investor

Antonny menerangkan satu per satu jenis investor. Pertama adalah angel investor. Menurutnya, angel investor adalah orang yang paling “mudah percaya” kepada founder. Maka dari itu biasanya mereka cenderung investasi ke diri founder itu sendiri, bukan ke perusahaannya. Biasanya besaran suntikan yang mereka berikan berkisar antara US$50 ribu sampai US$100 ribu.

Kedua, ada venture capital. Mereka memiliki fund manager yang mengelola uang dari investor yang sudah dikumpulkan. Karena berinvestasi di startup berisiko tinggi, umumnya VC juga mengejar imbal hasil yang tinggi antara 4 sampai 20 kali lipat.

“Di Indonesia ada banyak VC karena industri startup kita masih awal, makanya banyak VC yang sangat aktif berinvestasi,” ucap Antonny.

Keempat, ada corporate VC. Biasanya mereka adalah bagian dari suatu grup besar yang sengaja dibentuk untuk mengelola uang dan diinvestasikan ke startup. Lalu kelima, ada private equity (PE). Mereka lebih menyukai perusahaan yang sudah ada di tahap akhir, misalnya IPO. PE membeli penuh perusahaan tersebut untuk kemudian dikelola sendiri.

Keenam, terdapat pula family office. Sumber dananya berasal dari kantong sendiri. GDP Ventures tergolong ke dalam jenis ini. Ketujuh, investment bank. Mereka menjual jasa sebagai perantara antara emiten sekuritas dan investor, melakukan underwriting dan bertindak sebagai broker. Terakhir, adalah pemegang saham publik yang dilakukan lewat IPO.

Langkah-langkah menggalang dana


Pertama, membuat presentasi dan pitching ke investor. Antonny menerangkan ini adalah proses yang cukup lama karena jarang sekali bisa langsung dapat. Untuk itu, tips yang perlu dilakukan adalah terus memperbaiki cara presentasi saat bertemu investor. Karena prosesnya yang lama, untuk itu memulai proses penggalangan dana harus dimulai lima bulan sebelum founder merasa butuh uang.

“Kalau mau pitching ke corporate VC malah akan lebih lama lagi prosesnya. Untuk itu harus spesifik mengejar investor apalagi ketika sudah ada tanda-tanda positif [setelah pitching].”

Kedua, membuat term sheet. Ketika sudah capai proses ini, kata Antonny, kemungkinan besar investor sudah tertarik dengan perusahaan Anda. Tapi dana segar tersebut belum cair, maka dari itu jangan senang dulu.

Dalam tahap ini, saat membuat term sheet dokumen harus menguraikan persyaratan finansial dari sebuah proposal investasi, terkait aksi perusahaan, kontrol perusahaan, perjanjian kerja, dan harus mencantumkan tanggal kedaluwarsa ditakutkan bila transaksi batal.

Ketiga, proses due dilligence. Dalam proses ini semakin awal usia sebuah perusahaan, maka semakin cepat prosesnya. Investor akan melihat dokumen internal, bagaimana laporan keuangannya, apakah ada hutang, struktur pemegang sahamnya akan di cek kembali, dan sebagainya.

“Kira-kira proses due dilligence bisa selesai dalam 1-2 bulan. Tapi tergantung seberapa kompleks, nanti ketika sudah selesai akan buat term sheet baru.”

Keempat, membuat definitive documents yang di dalamnya terdapat share subscription aggreement (SSA) dan shareholders’ agreement (SHA). Terakhir, tahap closing dan eksekusi. Setelah tahapan mencapai garis akhir, uang investasi umumnya akan cair dan masuk ke rekening bank sekitar tiga sampai enam bulan setelah tahap keempat diterima.

Angel investor biasanya lebih cepat cairnya, corporate VC justru akan lebih lama karena prosesnya yang berjengjang. Karena prosesnya cairnya yang lama, sebaiknya jangan langsung diumumkan ke publik. Kalau bisa, uang investasi jangan dihambur-hamburkan untuk kebutuhan yang tidak relevan dengan eskalasi bisnis.”

Isi pikiran investor

Yang pasti, kata Antonny, dalam pikiran investor adalah mengincar imbal hasil (return of investment/ROI) dari setiap investasi yang dilakukan. Tapi yang membedakan adalah besaran ROI dari masing-masing tipe investor. Misalnya, untuk VC yang pasti adalah ROI dan kinerja dari hasil portofolio investee-nya.

Sementara, corporate VC melihat strategi, inovasi, dan branding bagaimana investee-nya tersebut dapat berkontribusi ke bisnis grup. Sementara untuk ROI-nya dilihat di bagian terakhir.

“Makanya corporate VC itu hanya berinvestasi ke startup-startup yang sejalan dengan core bisnis grup. Semisal, Mandiri Capital yang hanya investasi di sekitar fintech saja.”

Adapun untuk angel investor melihat brand, eksekusi bisnis dari startup tersebut, dan ROI. Sedangkan, family office melihat ROI, mengambil kontrol, dan brand.

“Sedangkan PE melihat bagaimana kontrol perusahaan karena dia beli perusahaan. Misal perusahaan yang mereka ambil sedang persiapan IPO, mereka persiapkan return yang mau diambil, persentase ROI-nya memang kecil tapi nilai uangnya yang besar.”

Antonny melanjutkan, mengingat setiap investor itu memiliki pandangan yang berbeda-beda. Untuk itu, founder startup harus tahu tipe investor apa yang akan dibidik. Jangan asal sembarang saja.

Apa yang investor lihat

Setiap investor, menurut Antonny, selalu melihat pertama kali dari sisi founder-nya itu sendiri. Seberapa besar kemampuannya untuk mengeksekusi suatu ide dan apakah dia memiliki passion untuk menyelesaikan problem dengan berbagai solusi yang akan dimunculkan.

Tak hanya itu, founder yang dilihat investor adalah mereka yang tidak terlalu bangga dengan ide, mau menerima masukan, dan yang terpenting siap untuk selalu belajar.

Berikutnya, melihat pangsa pasar apakah berhubungan dengan bisnis model. Seberapa besar pangsa pasar yang bisa disasar lewat produk. Pasalnya, produk itu selalu berubah demi beradaptasi dengan kondisi pasar dan kompetitor. Tidak ada produk yang selalu sama dari waktu ke waktu.

Terakhir melihat partner investornya. Siapa saja yang sudah investasi ke perusahaan tersebut. Kalau sudah ada nama investor besar yang terlibat, investor baru biasanya akan lebih yakin dengan startup tersebut ke depannya. Tak hanya itu, perlu di cek pula dari isi term sheet, hak-hak apa saja yang dipegang investor. Hal ini erat kaitannya dengan manajemen risiko.

Cara menghitung valuasi

Tidak ada rumus pasti dalam menghitung valuasi perusahaan. Setiap investor memiliki benchmark yang berbeda-beda. Namun bila dilihat secara piramida, di posisi terbawah ada seed round, yang dihitung ke dalam valuasi adalah gabungan metode yang dipersentasekan.

Lalu di atasnya ada posisi scaling, yang dihitung mulai dari traksi, benchmark, dan multiple. Posisi paling atas ada exit, menghitung valuasi dari benchmark, multiple, dan aset.

“Semakin ke atas posisi startupnya, makin mudah membuat valuasi. Namun semakin ke bawah semakin susah karena early stage itu makin berseni, hingga susah untuk dijelaskan.”

Namun yang pasti, nilai valuasi itu adalah angka yang disepakati oleh investor dan founder. Sehingga, menurutnya sangat disarankan untuk startup yang masih early stage untuk tidak ketinggian dalam menilai perusahaannya, ditakutkan ketika penggalangan dana berikutnya nilai valuasi turun, akan berbahaya bagi perusahaan.

“Valuasi itu adalah harga yang disepakati founder dan investor. Lagipula kebanyakan uang saat masih early stage itu tidak baik. Untuk startup yang raise money besar, seperti Go-Jek itu buat kebutuhan kompetisi dengan pasar,” pungkas Antonny.

Persoalan Ekosistem dan Masa Depan Startup di Indonesia

Sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang mengalami pertumbuhan paling cepat dari sisi teknologi, penetrasi smartphone dan lainnya, Indonesia juga dikenal memiliki potensi untuk investasi startup dan teknologi. Namun demikian dengan berbagai masalah yang ada, seperti kemacetan, regulasi yang kadang “tidak jelas” hingga kurangnya infrastruktur dan ekosistem starup saat ini, bagaimana masa depan Indonesia selanjutnya?

Dalam kesempatan Global Mobile Internet Conference (GMIC) Jakarta 2017, dihadirkan pelaku startup lokal hingga asing yang sudah cukup lama berkecimpung di lanskap tersebut, seperti CMO GDP Venture Danny Oei Wirianto, Co-CEO, Lazada Indonesia Florian Holm dan President Go-Jek Andre Soelistyo. Dipandu oleh Founding Partner Kejora Ventures Sebastian Togelang sebagai moderator, mengupas beberapa hal menarik terkait dengan masa depan startup di Indonesia.

Makin maraknya kehadiran investor asing

Sejak kemunculan nama besar di dunia startup yang telah sukses di Indonesia seperti GO-JEK, Tokopedia dan Traveloka, secara otomatis menarik perhatian investor dari berbagai negara. Dengan pendanaan yang bisa mencapai jumlah yang fantastis, para investor tersebut menunjukkan ketertarikan mereka untuk berinvestasi di Indonesia. Di satu sisi dinamika ini dipandang oleh CMO GDP Venture Danny Oei Wirianto merupakan hal yang positif. Dengan demikian investor asing dan lokal bisa saling belajar.

“Terkadang investor asing yang belum mengetahui kondisi startup di Indonesia banyak belajar dari investor lokal, begitu juga dengan investor lokal ada baiknya untuk melihat lebih jauh kemampuan dari investor asing.”

Menurut President GO-JEK Andre Soelistyo, meskipun saat ini sudah banyak investor asing yang masuk ke Indonesia, namun sebagian besar dari mereka menanamkan modal hanya kepada angel investor. Untuk itu calon pelaku startup harus bisa memahami dengan jelas kesepakatan yang dituntut oleh investor asing tersebut.

Hal senada juga diungkapkan oleh Co-CEO Lazada Indonesia Florian Holm, masuknya berbagai modal asing ke Indonesia, idealnya wajib dicermati dengan baik oleh startup sebelum menyetujui perjanjian tersebut.

Ekosistem startup Indonesia

Bicara mengenai ekosistem startup yang melibatkan peranan investor, stakeholder hingga pelaku startup sendiri, menurut Danny saat ini masih belum maksimal. Salah satu kendala masih belum banyaknya pendanaan yang langsung masuk ke Indonesia dan masih disimpan di Singapura, karena kondisi kemacetan di ibukota, yang menyebabkan sebagian besar investor asing enggan untuk hijrah ke Indonesia.

“Kondisi jalan dan kemacetan di Jakarta merupakan salah satu kendala mengapa saat ini masih belum banyak investor asing yang langsung memberikan pendanaan ke Indonesia.”

Sementara itu menurut Florian, persoalan talenta yang masih minim kualitas dan jumlahnya, hingga mahalnya untuk mempekerjakan tenaga engineer asing, merupakan salah satu hal yang menghambat perkembangan dunia startup di Indonesia.

Berbeda dengan Danny dan Florian, menurut Andre berbagai kendala tersebut seharusnya bukan menjadi hambatan untuk menciptakan ekosistem startup yang baik di Indonesia. Saat ini meskipun perlahan tapi pasti, Indonesia didukung oleh pemerintah, tengah mengejar ketinggalan tersebut, dan pada akhirnya bakal mampu tampil lebih unggul.

“Saya melihat 2-3 tahun ke depan bisnis vertikal bakal tumbuh dengan baik dan tidak kalah dengan negara lainnya. Berikan sedikit waktu, jika nantinya semua sudah establish pasti akan menjadi indah pada waktunya.”

Andre melanjutkan, dengan berbagai permasalahan yang ada, GO-JEK bisa hadir menjadi transportasi alternatif di awal, dan saat ini berkembang menjadi layanan pembayaran digital yang memiliki potensi sangat luas untuk dikembangkan.

––

Disclosure: DailySocial adalah media partner Global Mobile Internet Conference Jakarta 2017.

Beritagar.id Ingin Merawat Indonesia

beritagar.id berharap bisa memberikan sajian pemberitaan yang berbeda / Shutterstock

Beritagar hadir kembali dengan wajah dan konsep berbeda. Beritagar.id menjadi gabungan teknologi dan personel Beritagar versi lama (Beritagar.com) dan Lintas.me. Ia menyasar pembaca anak muda dengan menggabungkan kemampuan robot agregator untuk memilah berita-berita penting dan kebernasan jurnalisme yang netral. Di sisi pendanaan, GDP Ventures menjadi pendukung utama layanan yang dihadirkan secara resmi 24 Agustus hari ini.

Continue reading Beritagar.id Ingin Merawat Indonesia