East Ventures Leads 233 Billion Rupiah Funding to Edtech Startup Geniebook

Singapore-based edtech startup Geniebook obtained series A funding of $16.6 million or around 233 billion Rupiah led by East Ventures through Growth Fund and Lightspeed Ventures Partners. This funding will be used to expand team members.

A series of prominent angel investors include John Danner (Dunce Capital), Gaurav Munjal and Roman Saini (Unacademy), Kunal Bahl and Rohit Bansal (Snapdeal), Alvin Tse (Xiaomi), Linh Pham Giang (Hocmai), as well as several senior executives from the leading companies in Southeast Asia, such as Gojek, Grab, and Shopee, were also participated in this funding.

Previously, Geniebook had secured a $1.1 million pre-series A funding round from Apricot Capital in 2019.

For a general note, Geniebook was founded in 2017 by Neo Zhizong and Alicia Cheong. This platform offers various online learning products through personalization by combining blended learning experiences according to student needs. The subjects provided include English, mathematics, and natural sciences (IPA).

The company claims to have achieved more than 2000% revenue growth with 150,000 user base in Southeast Asia. Currently, the Singapore-based company will continue to expand its business regionally in Indonesia, Vietnam and Malaysia.

Geniebook’s CEO & Co-founder, Neo Zhizhong said he would scale the team for a number of strategic positions, from curriculum, engineering, product, to growth to maximize the online learning experience. To date, Geniebook already has 350 employees worldwide.

“We will continue to innovate on existing Geniebook products. For example, GenieSmart or personalized worksheets with AI, GenieClass or teaching and learning spaces through online classes, and GenieAsk which allows students to chat and receive help from experienced teachers in real-time,” he said in an official statement.

Geniebook’s COO & Co-founder, Alicia Cheong said the company is ready to take the leap to the next step with the extra team, product innovation, and a strong focus on providing a more personalized learning experience supported by technology.

Meanwhile, East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana revealed, the edtech platform played an important role and accelerated the offering of their solutions to users in line with the Covid-19 pandemic situation in its second year. His team also discovered that Geniebook has shown a strong appeal in foreign markets, including in Vietnam, which has experienced growth of up to three times compared to last year.

Edtech momentum

Various edtech players in Southeast Asia continue to benefit from the Covid-19 situation as a momentum to accelerate product and business growth going forward. Especially in Indonesia, face-to-face teaching and learning activities (KBM) in new schools have been opened gradually.

On a separate occasion, East Ventures’ Co-founder and Managing Partner, Willson Cuaca revealed how the pandemic has accelerated digital adoption and boosted investment in Indonesia’s digital sector. Healthtech and edtech are two of the digital sectors playing a significant role since the pandemic first took place.

Sumber: e-Conomy SEA Report 2020
Source: e-Conomy SEA Report 2020

This is also reflected in the increase in services from the East Ventures portfolio, Ruangguru, with an increase of users up to 50%. In addition, Willson highlighted how the pandemic has boosted the investment climate in Indonesia from previously $3.4 million in 2020 to $4.9 million in the third quarter of 2021.

“This number was identified as consumer behavior changed to digital-based or online behavior. All investors became more aggressive and optimistic because digital acceleration happened on top of everything else,” Willson said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Pimpin Pendanaan 233 Miliar Rupiah Startup Edtech Geniebook

Startup edtech asal Singapura, Geniebook memperoleh pendanaan seri A sebesar $16,6 juta atau sekitar 233 miliar Rupiah yang dipimpin oleh East Ventures melalui Growth Fund dan Lightspeed Ventures Partners. Pendanaan ini akan digunakan untuk menambah jumlah timnya.

Sejumlah angel investor terkemuka di antaranya John Danner (Dunce Capital), Gaurav Munjal dan Roman Saini (Unacademy), Kunal Bahl dan Rohit Bansal (Snapdeal), Alvin Tse (Xiaomi), Linh Pham Giang (Hocmai), serta beberapa eksekutif senior dari perusahaan terkemuka di Asia Tenggara, seperti Gojek, Grab, dan Shopee juga ikut terlibat pada pendanaan tersebut.

Sebelumnya, Geniebook telah mengantongi putaran pendanaan pra-seri A senilai $1,1 juta di 2019 dari Apricot Capital.

Sebagai informasi, Geniebook didirikan pada 2017 oleh Neo Zhizong dan Alicia Cheong. Platform ini menawarkan rangkaian produk pembelajaran online melalui personalisasi dengan menggabungkan pengalaman pembelajaran campuran sesuai kebutuhan siswa. Mata pelajaran yang disediakan antara lain bahasa Inggris, matematika, dan ilmu pengetahuan alam (IPA).

Perusahaan mengklaim telah memperoleh pertumbuhan pendapatan lebih dari 2000% dengan basis pengguna sebesar 150.000 di Asia Tenggara. Saat ini, perusahaan yang berbasis di Singapura ini akan terus mengembangkan bisnisnya secara regional di Indonesia, Vietnam, dan Malaysia.

CEO & Co-founder Geniebook Neo Zhizhong mengatakan akan meningkatkan skala tim untuk sejumlah posisi strategis, mulai dari kurikulum, teknik, produk, hingga pertumbuhan demi memaksimalkan pengalaman pembelajaran online. Hingga saat ini, Geniebook sudah memiliki 350 karyawan di seluruh dunia.

“Kami akan terus berinovasi pada produk Geniebook yang sudah ada. Contohnya, GenieSmart atau lembar kerja yang dipersonalisasi dengan AI, GenieClass atau ruang belajar-mengajar melalui kelas online, dan GenieAsk yang memungkinkan murid untuk mengobrol dan menerima bantuan dari guru berpengalaman secara real-time,” paparnya dalam keterangan resmi.

COO & Co-founder Geniebook Alicia Cheong menambahkan, pihaknya siap untuk melakukan lompatan ke pertumbuhan berikutnya sejalan dengan penambahan tim baru, inovasi produk, dan fokus kuat untuk memberikan pengalaman belajar yang lebih personal dan didukung dengan teknologi.

Sementara itu, Managing Partner East Ventures Roderick Purwana mengungkap, platform edtech memainkan peran penting dan mempercepat penawaran solusi mereka kepada pengguna sejalan dengan situasi pandemi Covid-19 di tahun kedua. Pihaknya juga menilai Geniebook telah menunjukkan daya tarik kuat di pasar luar negeri, salah satunya Vietnam yang telah mengalami pertumbuhan hingga tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu.

Momentum edtech

Berbagai pemain edtech di Asia Tenggara terus memanfaatkan situasi Covid-19 sebagai momentum untuk mengakselerasi pertumbuhan produk dan bisnisnya ke depan. Khusus di Indonesia, kegiatan belajar-mengajar (KBM) secara tatap muka di sekolah baru dibuka secara bertahap.

Dalam kesempatan terpisah baru-baru ini, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengungkap tentang bagaimana pandemi telah mengakselerasi adopsi digital dan mendorong investasi di sektor digital Indonesia. Healthtech dan edtech merupakan dua dari sekian sektor digital yang memainkan peran signifikan sejak pandemi pertama kali berlangsung.

Sumber: e-Conomy SEA Report 2020
Sumber: e-Conomy SEA Report 2020

Dampak ini turut tercermin dari meningkatnya layanan dari portofolio East Ventures, yakni Ruangguru dengan kenaikan jumlah pengguna hingga 50%. Selain itu, Willson menyoroti bagaimana pandemi mendongkrak iklim investasi di Indonesia dari sebelumnya $3,4 juta di 2020 menjadi $4,9 juta di kuartal ketiga 2021.

“Peningkatan ini teridentifikasi karena perilaku konsumen berubah menjadi perilaku berbasis digital atau online. Semua investor menjadi lebih agresif dan optimistis karena akselerasi digital terjadi sebelum hal lain,” kata Willson.

Application Information Will Show Up Here

Kiprah dan Rencana Sequoia India di Indonesia

Sequoia India minggu lalu mengumumkan pengumpulan dana $1,35 miliar atau setara 19,5 triliun Rupiah. Dana ini diperoleh dari sejumlah limited partner, yang dibagi dalam dua program fund: $525 juta untuk venture fund dan $825 juta untuk growth fund. Fokus pendanaannya tetap untuk startup di India dan Asia Tenggara.

DailySocial berkesempatan mewawancara Managing Director Sequoia Capital India Abheek Anand untuk mendiskusikan rencana mereka di ekosistem startup Indonesia pasca pengumpulan dana ini.

Managing Director Sequoia Capital India LLP, Abheek Anand / Sequoia
Managing Director Sequoia Capital India LLP, Abheek Anand / Sequoia

Portofolio Sequoia India di Indonesia

Sequoia India telah berinvestasi ke startup di Indonesia sejak tahun 2014, termasuk turut andil di permodalan bagi Tokopedia dan Gojek. Tahun ini, mereka turut meramaikan arus digitalisasi supply-chain FMCG lokal dengan berinvestasi di GudangAda dan Ula.

Di tahun 2019 mereka meluncurkan program akselerator Surge di wilayah operasionalnya. Beberapa startup Indonesia turut berpartisipasi dan mendapatkan pendanaan, seperti Qoala, Chilibeli, BukuKas, dan beberapa lainnya.

“Sampai saat ini, kami telah bekerja dengan 19 startup teknologi di Indonesia untuk mendemokratisasi sektor-sektor penting seperti perdagangan, pendidikan, finansial, F&B, logistik, hingga perhotelan,” jelas Abheek.

Berikut daftar investasi yang telah ditorehkan Sequoia India untuk startup lokal:

Startup Tahun Investasi
Tokopedia 2014
Gojek 2015
Modalku 2016
Traveloka 2017
OnlinePajak 2017
Moka 2017
Akulaku 2018
Kopi Kenangan 2019
Kargo 2019
GudangAda 2020
Ula 2020

Startup Indonesia peserta program Surge:

Surge 01 1. Qoala

2. Bobobox

Surge 02 1. Rukita

2. Storie

3. Chilibeli

Surge 03 1. Hangry

2. BukuKas

3. CoLearn

Fokus ke startup tahap awal

Abheek menjelaskan, pihaknya melihat tren perkembangan pesat ekosistem startup di Indonesia dalam enam tahun terakhir. Berdasarkan pengalaman investasinya, Sequoia India memilih untuk fokus untuk mendanai startup tahap awal di kawasan ini. Mereka melihat sektor-sektor yang berpotensi tumbuh secara signifikan dan menyelesaikan masalah banyak orang.

“Kami berinvestasi di Tokopedia dan Gojek di masa-masa awal mereka. Saat ini perusahaan tersebut menjadi sumber inspirasi bagi para pendiri startup baru. Faktanya, Indonesia saat ini memiliki unicorn terbanyak di Asia Tenggara,” jelas Abheek.

Ia melanjutkan, “Kami ingin terus melipatgandakan komitmen kami terhadap startup di Indonesia, dengan tidak hanya menjadi bagian dari unicorn generasi pertama, tapi juga setiap generasi berikutnya [..] Kami berpikir bahwa Indonesia berada di titik kritis dan akan meledak dengan peluang populasi yang berkembang dan mengerti teknologi.”

Hipotesis investasi

Melihat track-record investasinya, Sequoia India terlihat cenderung agnostik secara sektoral. Mereka berkolaborasi dengan berbagai model bisnis, mulai dari layanan konsumer, B2B, fintech, hingga healthtech.

“Sekarang, lebih dari sebelumnya, bisnis dengan unit ekonomi yang solid tidak lagi sekadar baik untuk dimiliki [melalui investasi]. Mereka wajib dimiliki. Yang kami cari adalah para pendiri yang membangun bisnis dengan unit ekonomi yang masuk akal di pangsa pasar yang besar,” jelasnya.

Dampak pandemi Covid-19 dirasa tidak memperlambat tensi investasi mereka.

“Kami terus bertemu dengan pendiri yang bersemangat dengan ide dan bisnis yang menarik, terutama di tahap awal. Sebelumnya kami akan melakukan obrolan mingguan dengan para pendiri di Jakarta dan kami akan terus melanjutkan — dan memindahkan percakapan itu secara online.”

Saat ini program Surge 04 juga sudah dibuka pendaftarannya. Mereka berharap lebih banyak startup tahap awal di Indonesia yang dapat terlibat dalam program ini.

Abheek mengatakan, “Satu pesan kami untuk para pendiri adalah: bahwa tidak pernah terlalu dini untuk berbicara dengan kami. Kami tersedia melalui email, semua platform media sosial, dan terus menerus menciptakan lebih banyak saluran. Ekonomi belum ditutup, bisnis masih terus diciptakan setiap hari. Kami terus tertarik untuk bermitra dengan para pendiri yang berani untuk membuat gebrakan di dunia.”

“Penggalangan dana baru-baru ini senilai $1,35 miliar merupakan indikasi komitmen kami dan kami akan terus mengandalkan komitmen ini ketika menyangkut pasar-pasar utama di Asia Tenggara seperti Indonesia, terlepas apakah kami dapat hadir secara langsung ataupun tidak,” pungkasnya.

Beenext Closes 2.2 Trillion Rupiah Fund, Indonesian Startups Remain a Potential

As a Singapore based Venture Capital, Beenext, which actively participated in the seed funding of Indonesian startups, today (16/6) announced the closing for two new managed funds, raising around US$160 million or equivalent to 2.2 trillion Rupiah. Previously, they’ve booked US$110 million in their first fund titled “Beenext Emerging Asia Fund”.

The fresh fund came from institutions in the United States, Japan, family conglomerates, and businesses interested in the digital industry. The new round is designed to connect early-stage startups with Beenext’s founder network, in order to gain global partnership opportunities and access to the best resources.

Beenext’s investment approach is centered on the founder; outside of monetary commitments, they will also provide a key role in accelerating business. The company has invested in more than 180 startups around the world, 45 of those are in the Asia Pacific region.

“Covid-19 has affected every aspect of global business, but we continue to detect novice founders who push boundaries not only to survive but also thrive in these conditions […] we feel required to nurture an entrepreneurial ecosystem to ensure reviving as a strong founding community,” Founder & Managing Partner, Teruhide Sato said.

He added, “Beenext has always believed in building a business together with local founders and co-investors, in order to have a lasting impact. We look forward to being able to create and grow together with more new company founders.”

Also mentioned in the release, the funds will be focused on ecosystems in India, Southeast Asia, and Japan. India will get the 50% portion of the first managed fund while also managed to increase funding in Southeast Asia.

Faiz Rahman from Beenext told DailySocial, “We plan to allocate 40% of the managed funds to Southeast Asia and Indonesia. We continue to focus on early-stage startups, in e-commerce, fintech, healthtech, agritech, logistics, HR-tech, and SaaS.”

Beenext is yet to plant local teams and office buildings in Indonesia, however, they have invested in 16 Indonesian startups and several regional startups that are expanding into the Indonesian market. These include Ralali, Zilingo, Amartha, Dekoruma, Happy Fresh, Sweet Escape, Zenius, Snaphunt, Mekari, Andalin, Janio, Ritase, Provesty, AgenKan, Raena, Jendela360, Akseleran, AdaKerja, and TrustMedis. The last three names secured investments around early 2020.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Beenext Bukukan Dana Kelolaan 2,2 Triliun Rupiah, Startup Indonesia Tetap Jadi Perhatian

Beenext selaku venture capital asal Singapura yang turut aktif berinvestasi untuk startup tahap awal di Indonesia, hari ini (16/6) mengumumkan telah menutup dua dana kelolaan (fund) baru, mengumpulkan dana senilai US$160 juta atau setara 2,2 triliun Rupiah. Sebelumnya mereka telah membukukan US$110 juta dalam fund pertamanya bertajuk “Beenext Emerging Asia Fund”.

Dana ini bersumber dari institusi di Amerika Serikat, Jepang, konglomerasi keluarga, hingga pengusahan yang tertarik di bisnis digital. Dana baru dirancang untuk menghubungkan startup tahap awal dengan jaringan founder Beenext, demi mendapatkan peluang kemitraan global dan akses ke sumber daya terbaik.

Pendekatan investasi Beenext memang terpusat pada founder; karena di luar komitmen moneter, mereka juga akan memberikan peran kunci dalam mengakselerasi bisnis. Perusahaan telah berinvestasi di lebih dari 180 startup di seluruh dunia, 45 di antaranya dari kawasan Asia Pasifik.

“Covid-19 telah memengaruhi setiap aspek bisnis global, tetapi kami terus melihat para pendiri pemula yang mendorong batasan untuk tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang dalam kondisi ini […] kami merasa perlu memelihara ekosistem kewirausahaan untuk memastikan kami bangkit kembali sebagai komunitas pendiri yang kuat,” ujar Founder & Managing Partner Teruhide Sato.

Ia melanjutkan, “Beenext selalu percaya untuk membangun bisnis bersama dengan pendiri dan co-investor lokal, demi memiliki dampak yang langgeng. Kami menantikan untuk bisa menciptakan dan tumbuh bersama dengan lebih banyak pendiri perusahaan baru.”

Dalam rilis disebutkan, dana akan difokuskan ke ekosistem di India, Asia Tenggara, dan Jepang. India akan mendapatkan porsi 50% dari dana kelolaan pertama dengan tetap meningkatkan volume pendanaan di Asia Tenggara.

Kepada DailySocial, Faiz Rahman dari Beenext menjelaskan, “Kami berencana mengalokasikan 40% dari dana kelolaan untuk Asia Tenggara dan Indonesia. Kami terus fokus pada startup tahap awal, di sektor e-commerce, fintech, healthtech, agritech, logistik, HR-tech, dan SaaS.”

Kendati hingga saat ini Beenext belum punya tim dan kantor lokal di Indonesia, mereka telah berinvestasi ke 16 startup Indonesia dan beberapa startup regional yang ekspansi ke pasar Indonesia. Termasuk di antaranya Ralali, Zilingo, Amartha, Dekoruma, Happy Fresh, Sweet Escape, Zenius, Snaphunt, Mekari, Andalin, Janio, Ritase, Provesty, AgenKan, Raena, Jendela360, Akseleran, AdaKerja, dan TrustMedis. Tiga nama terakhir mendapatkan investasi sekitar awal tahun 2020 ini.

Northstar Group Secures First Round of Its Fifth Fund, Targeting 12.5 Trillion Rupiah

The private equity company, Northstar Group has just announced the first round of Northstart Equity Partner V Limited fund (Northstar V). The fifth fund is to focused on the early-stage to growth-stage startups in Indonesia and Southeast Asia.

The first round has represented one third of Northstar V target at US$800 million or equivalent to 12.5 trillion Rupiah, following the two previous flagship funds. In this first round of Northstar V, Northstar Group has raised over US$2 million managed funds.

Some investors come from sovereign wealth funds, insurance companies, institutional investors, family offices, and other high-net-worth individuals.

“As a regional investment company, we set three investment lines for Northstar V, namely financial services, consumers, and digital economy; based on an analysis of insight market data and our experience in tagging along the company’s portfolio,” Head of Corporate Affairs Northstar Group Hiro Whardana told DailySocial.

Furthermore, he mentioned the representation plans, “At the planning stage, we are yet to define specific percentages for each investment line. The selection of funds will be based on our analysis regarding the balance of potential return and investment risk.”

As previously mentioned, Northstar portfolios are quite diverse. In terms of digital landscape, they also invest in some startups, including Gojek, Zenius Education, and three Vietnam-based startups named UPgen, Tiki.vn, and Topika.

“Specifically for the early-growth stage startup, we are currently focusing on the existing portfolio, however, there is always a possibility to explore more deals,” he added.

Northstar Group was founded in 2003 by Patrick Walujo and Glenn Sugita. In 2006, Northstar Group raised its first funding, Northstar Equity Partners (NEP) Limited for US$ 110 million. Followed by NEP II (US$ 285 million) in 2008, NEP III in 2011 (US$ 820 million), and NEP IV in 2014 (US$ 810 million). The company is backed by 27 professional teams in Singapore and Indonesia.

“The Indonesian market, and Southeast Asia in general, offer attractive medium and long-term investment opportunities supported by continuous rapid growth. It is driven by favorable demographic factors, increased consumption and economic standards of the citizen, and literature in education and digitalization,” Northstar Group’s Co-Founder & Managing Partner Patrick Walujo said.

Glenn Sugita, Northstar Group Co-Founder & Managing Partner added, “In this uncertain situation, we want to be the capital provider and partner of choice for business owners in managing challenges and maximizing opportunities in the future. We will continue to bring not only capital to our portfolio companies but also the expertise and experience we have gained in various sectors and business cycles.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Northstar Group Bukukan Tahap Pertama “Fund” Kelimanya, Targetkan Dana 12,5 Triliun Rupiah

Perusahaan private equity Northstar Group baru-baru ini mengumumkan telah merampungkan tahap pertama pendanaan Northstar Equity Partner V Limited (Northstar V). Fund kelima ini akan difokuskan untuk berinvestasi di perusahaan tahap early stage dan growth yang berada di Indonesia dan Asia Tenggara.

Tahap pertama pendanaan ini merepresentasikan sekitar sepertiga dari total target Northstar V sebesar US$800 juta atau setara 12,5 triliun Rupiah, serupa dengan dua flagship funds Northstar sebelumnya. Dengan perampungan tahap pertama Northstar V, Northstar Group kini memiliki lebih dari US$2 miliar dana kelolaan.

Beberapa investor yang turut mendukung termasuk dari kalangan sovereign wealth funds, perusahaan asuransi, investor institusional, family offices, serta investor high net worth individual.

“Sebagai perusahaan investasi regional, kami menetapkan tiga tema investasi untuk Northstar V, yakni financial services, consumers, dan digital economy; berdasarkan analisa dari insight data market dan pengalaman kami mendampingi portfolio company,” ujar Head of Corporate Affairs Northstar Group Hiro Whardana kepada DailySocial.

Lebih lanjut Hiro menjelaskan mengenai rencana pengucuran dana tersebut, “Pada tahap perencanaan, kami tidak secara spesifik mendefinisikan persentase untuk masing-masing tema investasi tersebut. Penentuan penggunaan dana  akan didasari oleh analisa kami mengenai keseimbangan potensi return dan risk investasi.”

Seperti diketahui, sebelumnya cakupan portofolio Northstar cukup beragam. Di lanskap digital, mereka berinvestasi kepada beberapa startup termasuk Gojek, Zenius Education, dan tiga startup asal Vietnam yakni UPgen, Tiki.vn, serta  Topica.

“Specific untuk early growth stage startup, saat ini kami masih akan lebih fokus pada portfolio yang ada, tapi tidak menutup kemungkinan untuk tetap melakukan eksplorasi deal yang ada,” lebih lanjut Hiro menjelaskan.

Northstar Group didirikan tahun 2003 oleh Patrick Walujo dan Glenn Sugita. Pada tahun 2006, Northstar Group menghimpun pendanaan pertamanya yaitu Northstar Equity Partners (NEP) Limited sebesar US$110 juta. Diikuti berturut-turut oleh NEP II (US$285 juta) pada 2008, NEP III di 2011 (US$820 juta) dan NEP IV di 2014 (US$810 juta). Perusahaan didukung 27 tim profesional di Singapura dan Indonesia.

“Pasar Indonesia, dan Asia Tenggara pada umumnya, menawarkan peluang investasi jangka menengah dan panjang yang menarik dengan didukung oleh kelanjutan pertumbuhan yang pesat. Pertumbuhan ini akan dipacu oleh faktor demografis yang menguntungkan, peningkatan konsumsi dan standar ekonomi masyarakat, serta kemajuan edukasi dan digitalisasi”, sambut Co-Founder & Managing Partner Northstar Group Patrick Walujo.

Glenn Sugita, Co-Founder & Managing Partner Northstar Group menambahkan, “Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, kami ingin menjadi penyedia permodalan dan mitra pilihan bagi pemilik bisnis dalam mengelola tantangan serta memaksimalkan kesempatan di masa depan. Kami akan terus menghadirkan tidak hanya kapital untuk perusahaan portofolio kami, melainkan juga keahlian dan pengalaman yang kami dapatkan di berbagai sektor dan siklus bisnis.”

Inisiatif “Growth Fund” untuk Ekosistem Startup Indonesia

Ada perkembangan luar biasa yang terjadi pada ekosistem startup di Asia Tenggara beberapa tahun terakhir. Salah satu takarannya adalah popularitas growth fund – baik dari sisi startup yang telah mencapai tahapan tersebut dan/atau investor yang mengalokasikan investasi untuk tahapan tersebut.

Menurut catatan Cento Ventures, sepanjang tahun 2019 ada beberapa startup yang mulai masuk ke kelompok centaur (memiliki valuasi antara US$100-900an juta), di antaranya Payfazz (fintech), Moka (SaaS), HappyFresh, Xendit, dan Alodokter.

Startup di atas mengokohkan diri dengan valuasi tersebut pada tahun 2019 melalui pendanaan di tahap lanjutan (growth). Ruangguru mengumumkan pendanaan Seri C US$150 juta menjelang akhir tahun. Atau Halodoc yang menggalang pendanaan Seri B mulai awal tahun, termasuk merangkul yayasan ternama Bill & Melinda Gates Foundation sebagai salah satu investornya.

Startup Asia tenggara 2020

Growth fund

Kebalikan dari early stage, later stage adalah tahapan startup yang telah mencapai kematangan dalam bisnis. Variabel yang dihitung cukup beragam, mulai dari kualitas produk, cakupan area, traksi pengguna, jajaran tim hingga nilai investasi yang didapatkan.

Untuk berinvestasi ke startup later stage, ada dua pendekatan yang selama ini dijalankan. Pertama, venture capital (VC) atau corporate venture capital (CVC) menyediakan dana besar –yang didapat dari LP atau modal yang disuntikkan perusahaan induk—untuk diinvestasikan ke startup. Skema kedua, VC berkolaborasi membentuk inisiatif dana gabungan.

Hal menarik lain dalam perkembangan growth fund adalah beberapa diinisiasi investor yang sebelumnya fokus pada early stage. Dana yang lebih besar diguyurkan untuk membantu portofolionya mencapai ekspansi pasar yang lebih luas.

Berikut ini beberapa inisiatif growth fund di Asia Tenggara yang sudah diresmikan atau sudah beroperasi:

Growth Fund in SEA

Desember lalu, Telkom dan KB Financial Group meresmikan dana kelolaan baru Centauri Fund. Fokusnya untuk pendanaan Pra-Seri A hingga Seri B. Sebelumnya CVC milik mereka MDI Ventures juga memberikan porsi pendanaannya di tahap tersebut.

Di bulan yang sama, EV Growth mengumumkan telah membukukan US$250 juta (hard cap) setara 3,4 triliun Rupiah dalam pengumpulan dana pertamanya. Perusahaan mengklaim, saat ini mereka telah menyalurkan lebih dari 50% total dana yang dikumpulkan ke dalam 20 kesepakatan pendanaan. Sebanyak 80% startup yang mendapatkan kucuran dana dari Indonesia. Turut diinformasikan internal rate of return pendanaan berkisar 36%.

Peluang investasi

Dalam sebuah kesempatan, Direktur Lippo John Riady berujar, ia cukup optimis ketika pertama kali membuat proposal untuk berinvestasi di bidang teknologi.  John memproyeksi bahwa dalam 10 tahun pasar tersebut tumbuh bernilai US$20-100 miliar. Tahun 2017 ia mulai membangun OVO dan kini perusahaan digital tersebut sudah mencapai status unicorn dengan valuasi terakhir yang diketahui mencapai US$2,9 miliar.

“Teknologi adalah salah satu aset paling menarik yang dimiliki perusahaan. Teknologi memungkinkan perubahan luar biasa dalam perilaku konsumen. Ini mempengaruhi mata pencaharian hingga tidak dapat dibalik. Saya benar-benar yakin dengan semua perubahan mendasar yang terjadi ini,” kata John.

Kini setidaknya ada 11 startup unicorn di Asia Tenggara. Hipotesis mengenai prakiraan pertumbuhan yang pesar di masa mendatang tampaknya juga dimiliki oleh para investor lain, melihat pertumbuhan startup di Indonesia. Beberapa model bisnis telah tervalidasi dengan baik, lainnya lagi tengah memastikan penerimaan pasar atas solusi yang ditawarkan.

Berikut ini daftar vertikal startup yang telah berhasil memvalidasi model bisnisnya dengan baik – ditandai dengan besarnya investasi yang masuk ke beberapa startup pendominasi pasar:

Vertikal Keterangan
E-commerce Saat ini Indonesia telah memiliki 2 unicorn dari kategori bisnis ini, sementara beberapa pemainnya memiliki sokongan besar dari raksasa teknologi Singapura (Sea) dan Tiongkok (Alibaba, JD.com).
On-Demand Didominasi dua pemain utama, kendati tidak menutup kemungkinan hadirnya beberapa platform baru yang menyasar model layanan spesifik. Seperti Anterin yang tengah dalam proses perampungan akuisisi oleh salah satu unit usaha grup MNC.
Travel & Hospitality Pariwisata menjadi sektor prioritas pemerintah yang terus dioptimalkan, mengharap perputaran ekonomi yang besar –baik dari wisatawan domestik maupun mancanegara—terjadi di sini. Bisnis di bidang OTA dan pemesanan hunian menjadi bagian penting untuk menopang strategi tersebut.
Fintech, Insurtech Menurut laporan Fintech Report 2019, tahun lalu sekurangnya ada 144 perusahaan p2p lending yang telah mendapatkan status terdaftar dan berizin di OJK, sementara ada 39 pemain di bidang pembayaran yang telah kantongi lisensi dari Bank Indonesia. Pergeseran gaya hidup masyarakat Indonesia menjadikan layanan berbasis finansial digital mudah diterima masyarakat.
Online-to-Offline Konsep O2O direpresentasikan dalam berbagai model bisnis, beberapa di antaranya memberdayakan masyarakat/pedagang kecil untuk mitra distribusi, beberapa lainnya menyajikan pengalaman campuran antara melakukan transaksi secara langsung dan melalui aplikasi. Bisnis-bisnis dengan pendekatan ini mendapatkan pertumbuhan signifikan beberapa waktu terakhir.
Healthtech Dengan perolehan pendanaan seri B+, Halodoc mantap masuk ke jajaran startup centaur. Sementara sejak dua tahun terakhir, sektor ini terus dieksplorasi para pemain digital lokal. Termasuk menghadirkan ragam inovasi untuk mendukung gaya hidup sehat dalam layanan wellness.
Edtech Tahun 2019 ada tiga startup yang membukukan pendanaan lanjut, meliputi Ruangguru, HarukaEdu dan Zenius. Ketiganya berambisi untuk merangkul pelajar dengan jumlah yang besar melalui pendekatan baru dalam kegiatan belajar.
SaaS Pada dasarnya produk vertikal ini mendukung proses bisnis digital dari startup lain, misalnya berbentuk layanan POS, kecerdasan buatan, analisis data, sistem perekrutan dan lain-lain.

Potensi terhadap vertikal tersebut di atas senada dengan target investasi yang sudah dicanangkan oleh investor. Salah satunya Telkom Group melalui Centauri.

“Sekarang kami sedang evaluasi lima startup di bidang fintech, insurtech, big data dan artificial intelligence. Sejauh ini semua [dari Indonesia]. Target kami mungkin bisa investasi ke lima sampai sepuluh [startup] di 2020,” ungkap Manaing Partner MDI Ventures Kenneth Li.

Tahun 2020 prospek investasi melambat?

Banyak analis yang menerangkan, tahun ini akan ada perlambatan dalam iklim investasi untuk startup digital. Ada beberapa faktor penyebab, dua di antaranya karena perlambatan ekonomi global di tengah isu-isu internasional yang memanas dan kejadian seperti “WeWork apocalypse” yang berdampak pada kepercayaan investor.

Menelisik lebih dalam kondisi di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya. Startup later stage terus meningkatkan laju bisnis untuk menjadi profitable, beberapa telah menyampaikan rencana IPO. Di tahap early-stage, founder baru mulai realistis. Saat mereka merasa tidak mungkin lagi bersaing dengan model bisnis yang telah diusung pemain besar lainnya, jalan yang ditempuh adalah menghasilkan solusi mendukung model bisnis yang ada – atau satu hal yang benar-benar unik dan menyasar ceruk pengguna yang sangat spesifik.

Faktanya VC masih memiliki ambisi kuat dengan prospek Indonesia. Tahun ini bank OCBC NISP melalui OCBC NISP Ventura debut dengan 400 miliar Rupiah untuk berinvestasi ke startup digital. Tidak hanya menyasar fintech, namun juga proptech hingga edtech. Kinesys Group sebagai “binaan” Northstar Group juga hadir untuk mendampingi segmen early stage dengan menyiapkan dana senilai 280 miliar Rupiah.

Penggalangan dana dari sisi investor juga masih berjalan mengesankan. Salah satu pemain teraktif di Indonesia, Alpha JWC Ventures, akhir tahun lalu mengumumkan penutupan Fund 2-nya dengan status “oversubscribed”, artinya jumlah yang diterima dari LP yang masuk lebih besar dari nilai yang ditargetkan di awal. Mereka mengumpulkan dana 1,7 triliun Rupiah dan masih akan terus disalurkan untuk startup-startup yang sebagian besar beroperasi di Indonesia.