Laporan EY: IPO di Asia Pasifik Mengalami Penurunan Signifikan di H1 2024

Wilayah Asia-Pasifik mengalami penurunan tajam dalam aktivitas penawaran umum perdana (IPO) selama semester pertama tahun 2024. Menurut laporan terbaru dari EY Global IPO Trends Q2 2024, jumlah IPO turun sebesar 43% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dengan total dana yang dihimpun menurun drastis sebesar 73%.

Data IPO per H1 2024 / EY
Data IPO per H1 2024 / EY

Faktor Penyebab Penurunan

Berbagai tantangan ekonomi dan geopolitik menjadi penyebab utama penurunan ini. Ketegangan geopolitik yang terus berlanjut, perlambatan ekonomi di beberapa negara utama, serta peningkatan suku bunga telah membuat para investor lebih berhati-hati. Dampak ini paling terasa di Tiongkok dan Hong Kong, di mana regulasi yang lebih ketat dan masalah likuiditas telah meredam aktivitas IPO.

Analisis regional berdasarkan pasar:

  • Tiongkok Daratan dan Hong Kong: Tiongkok Daratan mencatat penurunan terbesar di wilayah ini, dengan jumlah IPO turun 75% dan dana yang dihimpun anjlok 85%. Meskipun demikian, sejak Februari 2024, pasar saham A-share menunjukkan tanda-tanda pemulihan berkat kebijakan regulasi yang lebih ketat dan valuasi pasar yang lebih efisien. Hong Kong juga mengalami penurunan jumlah IPO sebesar 7% dan dana yang dihimpun turun 34%.
  • ASEAN: Pasar IPO di ASEAN juga mengalami penurunan, dengan Indonesia, Malaysia, dan Thailand sebagai pasar paling aktif. Indonesia mencatat penurunan tajam dengan hanya 25 IPO yang menghimpun dana US$251,6 juta, turun 43% dalam jumlah dan 89% dalam nilai dana yang dihimpun. Meskipun demikian, stabilitas politik dan ekonomi di kawasan ini menawarkan alternatif yang menarik bagi perusahaan yang menghadapi iklim global yang tidak pasti.
  • Jepang: Pasar IPO Jepang mengalami penurunan moderat dalam jumlah daftar baru dengan total 37 IPO, turun 12% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, sektor teknologi menunjukkan ketahanan dengan beberapa IPO signifikan yang mencerminkan potensi pertumbuhan di masa depan. Jepang juga melihat peningkatan dalam sektor teknologi penerbangan dengan beberapa startup yang berpotensi melakukan IPO di paruh kedua tahun ini.
  • Korea Selatan: Pasar IPO Korea Selatan menunjukkan penurunan, namun industri-industri tertentu seperti industri berat menunjukkan ketahanan. IPO terbesar berasal dari unit perbaikan kapal dari konglomerat pengapalan terbesar di negara ini, yang merupakan IPO terbesar sejak 2022.
  • Australia dan Selandia Baru: Aktivitas IPO di Australia dan Selandia Baru tetap rendah karena kondisi ekonomi yang tidak menentu, meskipun ada minat yang tumbuh dalam inovasi AI dan IPO terkait energi. Peraturan baru mengenai pengungkapan terkait iklim dan potensi “greenwashing” juga mempengaruhi keputusan IPO di sektor ini.

Prospek Masa Depan

Meskipun mengalami penurunan, terdapat tanda-tanda optimisme di wilayah Asia-Pasifik dengan tren ekonomi yang positif, perubahan regulasi, dan dinamika geopolitik yang berkembang. Para calon IPO harus siap untuk memanfaatkan jendela peluang yang cepat berlalu dengan menyusun cerita ekuitas yang menarik bagi investor.

Perusahaan di Asia-Pasifik cenderung mempertimbangkan opsi listing lintas batas untuk mengakses pasar baru, meningkatkan valuasi, dan meningkatkan profil merek, terutama untuk perusahaan teknologi yang berencana go public di AS.

Dengan pemulihan ekonomi yang bertahap dan kebijakan moneter yang lebih mendukung, wilayah Asia-Pasifik diharapkan dapat melihat peningkatan aktivitas IPO di paruh kedua tahun ini, meskipun ketidakpastian geopolitik dan ekonomi tetap menjadi tantangan utama.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Bursa Karbon Indonesia Resmi Diluncurkan, Perdagangan Hari Pertama Tembus Rp29 Miliar

Setelah dinanti-nantikan sejak lama, Indonesia akhirnya resmi memiliki bursa karbon nasional. Peluncuran Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) ini dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada hari Selasa (26/9/2023) kemarin di main hall gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta.

Sebelumnya, BEI memang telah mendapatkan izin usaha sebagai penyelenggara bursa karbon dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK sendiri berperan sebagai pihak yang mengatur perdagangan karbon sekaligus tata cara penyelenggaraannya.

Mengutip siaran persnya, saat ini terdapat empat mekanisme perdagangan di IDXCarbon, yakni auctionregular tradingnegotiated trading, dan marketplace.

Komoditas yang diperdagangkan di Bursa Karbon Indonesia sendiri adalah unit karbon, yang sendirinya merupakan bukti kepemilikan karbon dalam bentuk sertifikat atau persetujuan teknis yang dinyatakan dalam 1 ton karbon dioksida (CO2).

Di IDXCarbon, tersedia dua jenis unit karbon, yaitu Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Bagi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) dan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK). Sesuai peraturan yang diterbitkan OJK, keduanya dikemas dalam bentuk efek atau surat berharga, seperti halnya di bursa saham.

Untuk ulasan selengkapnya kunjungi Solum.id, media online yang membahas terkait bisnis dan teknologi keberlanjutan.

Disclosure: Solum.id adalah bagian dari grup DailySocial.id

AMVESINDO: Strategi “Exit” dan Tingginya Minat Startup untuk IPO

Beberapa waktu terakhir, perjalanan IPO PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO) tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, setelah dinobatkan sebagai salah satu penawaran umum perdana terbesar di dunia tahun ini, harga saham GoTo terpantau terus merosot.

Per hari ini (15/2), harga saham GoTo tercatat di angka Rp96 per saham, turun jauh dibandingkan saat IPO di kisaran Rp338 per saham.

Selain GoTo, perusahaan teknologi lainnya PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) juga bernasib serupa. Harga saham IPO senilai Rp850 per saham di Agustus 2021 lalu kini jeblok di angka Rp280 per saham (“15/12). Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah IPO merupakan strategi exit yang ideal bagi sebuah perusahaan teknologi?

Di awal Desember ini, Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) mengadakan seminar bertajuk “Exit Mechanism for Investors & Startup Companies (IPO vs Acquisition)”. Dalam perhelatan ini, hadir beberapa perwakilan stakeholder untuk membahas strategi exit yang ideal bagi para investor startup di Indonesia.

Strategi exit merupakan salah satu keputusan signifikan dalam runway sebuah perusahaan teknologi, utamanya setelah perusahaan menerima pendanaan dari investor. Seperti diketahui, strategi exit bisa dilakukan melalui IPO, merger maupun akuisisi. Hal ini dilakukan untuk mengakhiri investasi dengan cara yang akan memaksimalkan keuntungan dan atau meminimalkan kerugian.

Terkait strategi exit melalui IPO, perusahaan teknologi masih sering menghadapi tantangan. Bono Daru Adji selaku Senior Partner Assegaf Hamzah & Partners mengungkapkan bahwa peraturan di Indonesia dianggap belum cukup memadai bagi startup untuk melakukan IPO. Selain itu, struktur internal startup tahap pre-IPO sering dianggap belum cukup memadai untuk melantai di bursa.

Namun, peraturan OJK dan BEI belakangan ini sudah mulai disesuaikan dengan kebutuhan startup yang bermaksud untuk IPO. Selain POJK 22/2021 terkait Multiple Voting Shares (MVS), peraturan BEI No. I-A mengenai pencatatan saham tidak lagi mensyaratkan kewajiban profit bagi emiten yang bermaksud mencatatkan sahamnya di Papan Utama.

Hal ini membuka peluang bagi para startup. Strategi exit melalui IPO menjadi salah satu jalur untuk menggalang dana dari investor publik dengan harapan bisa mengembangkan bisnis perusahaan, bukan semata-mata untuk exit. Meskipun begitu, sejumlah investor menganggap mekanisme akuisisi (M&A) lebih menguntungkan dibandingkan IPO.

Hal ini diakui oleh Managing partner of MDI Ventures Kenneth Li. Menurutnya, akuisisi memungkinkan proses likuidasi yang cepat. Sementara IPO memiliki masa tunggu setidaknya 8 bulan. “Itupun kalau harga sahamnya naik,” tambahnya. Namun, ia menegaskan bahwa strategi itu tidak bisa digeneralisasi kepada semua perusahaan.

CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro yang juga menjabat sebagai ketua AMVESINDO mengungkapkan, “bahwa kita sebagai venture capital perlu dana untuk diputar kembali melalui investasi. M&A memungkinkan likuiditas yang ringkas. Sementara IPO memiliki masa tunggu. Sebagai pengelola dana investor, kita juga punya tanggung jawab untuk bisa segera memutar uang tersebut.”

Alternatif penggalangan dana

Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa sepanjang tahun 2022 ada 59 emiten yang melakukan initial public offering (IPO), Venteny menjadi perusahaan terakhir yang resmi tercatat di BEI. Angka ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Tanah Air. Selain itu, perolehan dana IPO pada tahun 2022 ini disebut mencapai Rp32,68 triliun.

Daftar penggalangan dana terbesar melalui IPO di BEI / Sumber: IDX

Head of IDX Incubator Aditya Nugraha mengungkapkan, “untuk animo IPO, rasanya tahun depan masih tetap tinggi. Di pipeline kami, ada 48 yang sedang diproses untuk tahun depan, ini belum termasuk bulan Desember. Kami yakin tahun depan akan lebih ramai. Harapannya, perusahaan yang masuk akan sizeable dan lebih siap untuk go public, termasuk dari aspek compliance. Tidak sekadar IPO dan membuat market jadi tidak sehat,” ungkapnya.

Ia juga mengungkapkan, di bursa sendiri tidak ada definisi startup company melainkan Daftar Saham Teknologi (IDXTECHNO). Dari 48 entitas yang mendaftar untuk IPO di tahun 2023, delapan di antaranya adalah perusahaan teknologi. Sektor ini masih sangat menarik untuk go public, banyak perusahaan yang masih mencari alternatif pendanaan melalui IPO.

Aditya yang akrab disapa Anug ini juga memberi masukan bagi para founder yang berniat IPO di BEI, yaitu dengan membentuk badan hukum di Indonesia agar lebih mudah dalam menjalankan setiap proses. Lalu, founder harus bebenah sejak dini, tidak bisa hanya fokus pada bisnis tetapi lebih detail dalam mengelola aspek administrasi, termasuk legalitas, keuangan, perpajakan, dll.

Selanjutnya, perusahaan harus punya roadmap yang jelas. Ketika IPO, rincian penggunaan danannya harus lengkap. Untuk bisa go public, perusahaan harus bisa menarik minat investor. Mulai dari rencana ekspansi, pengembangan riset, talenta, dll. “Mereka harus punya path yang jelas, tidak bisa mengawang-ngawang. Kalau semuanya lengkap dan jelas, proses IPO bisa lebih lancar,” tutupnya.

BEI Rilis Papan Ekonomi Baru, Setara Papan Utama Tapi Lebih Ramah Bagi Unicorn

Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi meluncurkan papan pencatatan baru, yakni papan ekonomi baru (new economy board) yang diresmikan kemarin (05/12). Papan tersebut disiapkan untuk saham dengan potensi kapitalisasi pasar besar setara papan saham utama, namun kinerja keuangannya belum positif.

“Kami berharap dengan adanya implementasi papan ekonomi baru ini dapat menjadi salah satu pendorong bagi perusahaan-perusahaan sektor new economy untuk tercatat di BEI,” kata Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik seperti dikutip dari Kompas.com.

Di saat yang bersamaan, pengumuman tersebut juga memindahkan tiga saham yang efektif tercatat di papan ekonomi baru, yakni PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), dan PT Global Digital Niaga Tbk (BELI).

Kehadiran papan ekonomi baru merupakan bagian dari upaya perlindungan investor, sekaligus keterbukaan informasi yang dilakukan oleh bursa. Dengan mengelompokkan saham-saham ekonomi baru tersebut dalam papan tersendiri dan diberikan notasi khusus, akan lebih memudahkan investor dalam mengidentifikasi dan membandingkan saham-saham dalam papan tersebut.

Menurutnya, beberapa perusahaan yang sifatnya new economy atau perusahaan berstatus unicorn menyatakan tidak mau masuk ke papan pengembangan tapi papan utama.

“Ini sedikit unik di pasar modal kita ya. Kita ingin menempatkan investor protection, tapi tanpa mengurangi prestisius daripada perusahaan-perusahaan yang masuk dalam papan ekonomi baru. Jadi kita setarakan dengan papan utama, bahkan persyaratannya lebih strict,” tambah Kepala Divisi Pengembangan Bisnis BEI Ignatius Denny W dikutip terpisah dari Antara.

Di sisi lain, BEI bertanggung jawab untuk memberikan proteksi khusus untuk investor, tidak hanya sekadar notasi tapi juga mengimplementasikan dalam bentuk papan. “Sehingga yang mau beli itu langsung kelihatan papannya di mana, paling tidak ada awareness-nya dulu.”

Terdapat dua notasi khusus untuk saham yang dicatatkan di papan ekonomi baru, yaitu notasi khusus “K” yang berarti perusahaan menerapkan saham dengan hak suara multipel (SHSM) dan tercatat di papan ekonomi baru, serta khusus “I” yang berarti perusahaan tidak menerapkan SHSM dan tercatat di papan ekonomi baru.

Penggunaan notasi khusus ini untuk mengidentifikasi bahwa saham perusahaan tercatat di papan ekonomi baru, pada dasarnya bukan merupakan informasi bersifat negatif, melainkan merupakan informasi bahwa perusahaan yang bersangkutan memiliki kondisi tertentu.

Dari sisi holistik, lanjut Denny, target BEI yaitu meningkatkan keragaman alternatif investasi yang ada di pasar modal Indonesia tanpa mengurangi proteksi kepada investor. Di sisi lain, Indonesia kebetulan juga merupakan salah satu penghasil unicorn terbesar di dunia.

“Oleh karena itu, bagaimana kita sebagai regulator mem-balancing-nya. Beberapa inisiatif yang sudah dilakukan bursa, kita sudah buat IDX Industrial Classification (IDX-IC) kita ditempatkan benchmark yang beda. Sebelumnya perusahaan seperti GOTO, BELI, sebelumnya masuk others, sekarang sudah ada sektor IT,” pungkasnya.

Lebih transparan untuk investor

Menurut analis, papan baru ini membuat investor lebih sadar tentang karakteristik khusus emiten yang bergerak di bidang ekonomi baru. Karakteristik tersebut memiliki pertumbuhan tinggi, mengoptimalkan teknologi untuk inovasi dan memacu produktivitas, berdampak pada perekonomian serta memiliki manfaat sosial.

Direktur Equator Swarna Capital Hans Kwee mengatakan, dengan karakteristik tersebut, para pembeli saham di papan ekonomi baru tidak bisa mengharapkan hasil investasi yang instan dan jangka pendek. “Dengan kata lain saham dalam papan ini cocok untuk investasi jangka panjang,” ujarnya.

Manfaat bagi emiten itu sendiri adalah sarana branding sebagai growth company yang prospektif di masa mendatang. Status tersebut akan menarik perhatian investor institusi ataupun fund manager yang memang memiliki minat tinggi di saham teknologi. “Papan ini merupakan peluang yang sangat bagus mengingat saham teknologi mulai rebound, seiring perubahan kebijakan suku bunga The Fed yang bakal lebih moderat.”

Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menambahkan, papan ekonomi baru merupakan pengakuan dari otoritas bursa terhadap sektor bisnis yang telah memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Selama ini new economy selalu diperdebatkan dengan old economy. New economy merupakan perusahaan yang memiliki model bisnis baru yang berkaitan dengan teknologi dan menciptakan ekosistem. Perusahaan seperti itu menjanjikan growth opportunity sehingga saham seperti GOTO, BUKA, dan BELI, masuk dalam kategori new economy.

Dia berpendapat, dari ketiganya, GOTO berpeluang paling menarik perhatian karena kontribusinya yang luar biasa dalam menggerakkan perekonomian, terutama ekonomi digital.

“Memimpin dengan ekosistem yang mereka miliki, tentu saja hal ini memberikan nilai lebih bagi GOTO. Apalagi dengan pencapaian kinerja GOTO pada Q3 2022, jelas memberikan indikasi bahwa GOTO sudah berada di arah yang benar untuk mencetak profitabilitas. Hal ini tentu saja menjadikan GOTO mendominasi di papan new economy nantinya,” kata Nico.

Investasi Masa Kini untuk Generasi Muda Indonesia

Digitalisasi telah memberi dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan dunia investasi di tanah air. Penetrasi teknologi diyakini telah memperkecil entry barrier atau keadaan yang menghalangi orang untuk mulai berinvestasi. Mulai dari kehadiran platform teknologi hingga penyebaran konten literasi menjadi ‘bekal’ untuk para generasi muda memulai investasi.

DailySocial.id mengundang dua figur terkait untuk membahas kondisi industri investasi masa kini untuk para generasi muda Indonesia dalam sesi diskusi #SelasaStartup. Mereka adalah Head of IDX Marco Poetra Kawet dan Head of Financial Education Bibit Vivi Handoyo Lie.

Secara umum, investasi adalah ketika kita menempatkan sesuatu di masa kini dengan harapan bisa berkembang di masa depan. Hal ini termasuk berinvestasi pada diri sendiri. Terkait finansial, investasi sangat dipengaruhi oleh pemilihan instrumen yang tepat. “Instrumen investasi yang tepat akan membawa kalian mencapai tujuan finansial. Kalau tidak berkembang, berarti ada yang salah,” ungkap Marco.

Ada beberapa alasan mengapa banyak orang yang masih enggan untuk mulai berinvestasi. Pertama, anggapan bahwa investasi itu membutuhkan uang yang banyak. Kedua, proses berinvestasi dinilai rumit, ditambah banyak sentimen negatif disebabkan kasus investasi bodong yang banyak menimpa masyarakat awam.

Lain dulu, lain sekarang. Investasi masa kini sudah tidak lagi mengharuskan investor untuk datang secara langsung untuk setiap proses administratif. Peran regulator yang memungkinkan digitalisasi di sektor ini seperti eKYC berdampak signifikan bagi pertumbuhan dunia investasi masa kini. Evolusi dalam sektor ini sangat terbantu oleh infrastruktur digital, penetrasi internet, juga penggunaan smartphone.

Kontribusi platform teknologi

Kehadiran aplikasi wealthtech dengan multi-aset investasi diklaim menjadi salah satu faktor pendorong tren kenaikan investor ritel. Hal ini dikarenakan mereka dapat mengintegrasikan beberapa kelas aset untuk memperluas portofolio, mengawasi asetnya, dan membantu perencanaan untuk tujuan jangka panjang.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia per 14 Oktober 2021, jumlah investor pasar modal telah tumbuh sebesar 489 persen mencapai 6,5 juta investor, dibandingkan pada akhir 2017 lalu yang masih di angka 1,12 juta. Hal ini juga didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap investasi.

Sebagai perwakilan IDX, Marco mengungkapkan bahwa pihaknya menyambut baik startup teknologi yang telah menyediakan platform investasi. Ia turut memaparkan informasi bahwa sekitar 80% dari total investor di pasar modal adalah generasi muda, rata-rata berumur di bawah 40 tahun.

“Peran generasi muda ini sangat besar. Dengan angka yang besar ini, tentunya membutuhkan dukungan dari semua stakeholder. Kita berharap semua stakeholder tetap comply dengan aturan yang ada. Kita beri keleluasaan sebisa mungkin untuk menggaet investor menggunakan berbagai platform dan social media yang ada,” ujarnya.

Bibit sendiri memiliki misi untuk mempermudah akses terhadap investasi, termasuk dengan kolaborasi bersama perusahaan teknologi lainnya. Salah satu partnernya adalah Bank Jago. Pihaknya ingin menciptakan jaringan seluas mungkin. Dengan kolaborasi, harapannya adalah bisa menciptakan fitur yang membuat investasi lebih memiliki value.

“Ke depannya, kami tidak hanya ingin mempermudah untuk para investor memulai, tetapi juga dalam memilih instrumen investasi yang tepat, serta dalam menjalani setiap prosesnya. Kita mau menghadirkan solusi yang scalable. Kita mulai dari Stockbit untuk saham, lalu kita hadirkan Bibit, untuk investor pemula,” ungkap Vivi.

Di Indonesia sendiri, selain Bibit, banyak platform yang menawarkan kemudahan berinvestasi untuk pemula seperti Moduit yang memang secara tegas menargetkan generasi muda sebagai sasarannya. Ada juga Ajaib yang belum lama ini menawarkan investasi aset kripto, salah satu instrumen yang juga tengah diminati masyarakat.

Penyebaran konten literasi

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia berada di level 38,03% pada 2019.  Angka ini menunjukkan, dari setiap 100 jiwa penduduk hanya ada sekitar 38 orang yang memiliki pemahaman tentang lembaga keuangan dan produk jasa keuangan dengan baik. Dengan demikian terdapat 62 jiwa penduduk lainnya yang belum memiliki literasi keuangan.

Salah satu penggerak investasi yang cukup kuat adalah FOMO atau fear of missing out. Banyak orang yang latah dan akhirnya hanya ikut-ikutan. Meskipun hal ini bisa mencemplungkan mereka di kolam investasi, namun tetap harus bijak dalam memilih. Marco menyampaikan pentingnya bagi investor untuk punya analisa sendiri.

Generasi jaman sekarang sudah sangat dimanjakan dengan platform-platform yang menyajikan data perusahaan yang sudah diproses oleh provider. Tidak seperti jaman dulu yang masih harus melihat laporan keuangan masing-masing perusahaan. Platform ini bisa digunakan sebagai referensi, namun tetap disesuaikan dengan preferensi pribadi dan profil risiko.

Demikian pula konten-konten terkait investasi dan literasi keuangan sudah semakin banyak beredar. Meskipun begitu, tetap harus selektif dalam menyaring informasi. Pastikan realibilitas dan legalitas dari sumbernya. Platform teknologi seperti Bibit juga menawarkan kelas gratis untuk mereka yang mau memperdalam pemahaman terkait investasi.

Edukasi mindset itu penting, jangan cuma cari cepat untung. Investasi ini konsepnya lebih ke marathon. Intinya, investasi membutuhkan komitmen dan usaha. “Kalau bisa tanpa usaha dan analisa apapun di saham, semua orang bisa kaya. Harus ada kemauan untuk belajar,” ujar Vivi.

Menurut Vivi, instrumen investasi yang cocok untuk pemula tidak bisa disamaratakan. Pilih investasi yang sesuai jangka waktu dan profil resiko. Saham memiliki profil risiko yang lebih tinggi, pergerakannya lebih volatile. Di sisi lain, obligasi lebih sederhana untuk jangka panjang. Begitu pula untuk jangka pendek, ada pilihan lainnya. Kembali pada pilihan instrumennya.

Instrumen seperti reksa dana bisa menjadi pilihan, karena ada profesional yang bantu mengelola. Selain itu ada juga Surat Berharga Negara (SBN) untuk pemula, namun dana harus disimpan dalam jangka waktu lama. Ada beragam strategi investasi mengacu pada instrumennya.

“Yang mau ditanamkan adalah, ada banyak pilihan instrumen investasi. Tidak masalah condong ke mana. Intinya, generasi muda berinvestasi di jalur yang tepat. Terkait porsinya, bisa disesuaikan,” ujar Marco.

Investasi di tengah isu resesi

Menurut Marco, Indonesia dewasa ini tengah berusaha mengubah pola dari saving society menuju investment society. Ekosistemnya sedang dan masih berlangsung. Bahkan di tengah isu resesi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut kian melejit, dengan kontribusi generasi muda pada 60% PDB negara.

Terkait investasi di tengah ancaman resesi ini, Vivi menegaskan bahwa dalam ekonomi dan pasar modal, naik turun itu biasa. Resesi sendiri bukanlah hal baru. Menurut perhitungannya, separah apapun penurunan yang terjadi, pasar akan selalu kembali ke nilai awalnya, bahkan lebih tinggi. Pesan Vivi, “Untuk yang sudah mulai investasi, kalau kalian khawatir, ingat lagi tujuan awal berinvestasi. Buat yang belum mulai, jangan biarkan isu resesi menjadi alasan untuk tidak mau memulai.”

Marco menambahkan ada empat indikator fundamental ekonomi. Pertama, harga tukar Rupiah dengan USD, rendah bukan berarti kita terpuruk. Ini menlibatkan dominasi global, Amerika menunjukkan itu dengan pengaruh USD. Kedua, terjadinya inflasi yang kemudian coba diredam dengan kenaikan suku bunga. Ketiga, cadangan devisa negara. Lalu, yang terakhir, non-performing loan (NPL) untuk menghitung kemampuan masyarakat dalam menyelesaikan tanggung jawabnya.

Menurut Marco, orang yang berhasil adalah orang yang bisa melihat momentum. “It’s about momentum. Anda mau jadi orang yang termakan isu atau mengambil momentum? Resesi bisa jadi pertimbangan, tetapi tidak menghalangi investasi,” tutupnya.

OJK Terbitkan Aturan Multiple Voting Shares, Semakin Ramah Buat Perusahaan Teknologi

OJK akhirnya menerbitkan aturan mengenai multiple voting shares (MVS). Hal ini tertuang dalam POJK No. 22 Tahun 2021 tentang Penerapan Klasifikasi Saham Dengan Hak Suara Multipel oleh Emiten dengan Inovasi dan Tingkat Pertumbuhan Tinggi yang melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas Berupa Saham.

Penerbitan beleid ini merupakan upaya mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya sektor pasar modal, dengan cara mengakomodasi perusahaan yang menciptakan inovasi baru dengan tingkat produktivitas dan pertumbuhan yang tinggi (new economy) dalam melakukan listing di Bursa Efek Indonesia.

POJK ini mengatur mengenai penerapan saham dengan hak suara multipel, yaitu satu saham memberikan lebih dari satu hak suara kepada pemegang saham yang memenuhi persyaratan tertentu. Tujuannya untuk melindungi visi dan misi perusahaan sesuai dengan tujuan para pendiri dalam mengembangkan kegiatan usaha yang dijalankan perusahaan.

OJK menetapkan syarat emiten yang dapat menerapkan saham dengan MVS adalah:

  1. Menggunakan teknologi untuk menciptakan inovasi produk dan terdapat pemegang saham yang berkontribusi signifikan terhadap pemanfaatannya;
  2. Aset perusahaan minimal Rp2 triliun dan telah melakukan kegiatan operasional minimal tiga tahun;
  3. Pertumbuhan tahunan (compounded) selama tiga tahun terakhir minimal 20% untuk aset dan 30% untuk pendapatan;
  4. Belum pernah melakukan penawaran umum efek ekuitas.

Lebih jauh, OJK tetap berusaha melindungi hak suara bagi pemegang saham publik. Ada empat poin yang ditetapkan:

  1. Jangka waktu penerapan saham MVS paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang satu kali dengan jangka waktu paling lama 10 tahun dengan persetujuan Pemegang Saham Independen dalam RUPS;
  2. Setiap pemegang saham MVS dilarang unntuk mengalihkan sebagian atau seluruh saham MVS yang dimilikinya selama dua tahun setelah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif;
  3. Saham MVS memiliki hak suara yang setara dengan saham biasa pada mata acara tertentu dalam RUPS; dan
  4. Dalam setiap penyelenggaraan RUPS, jumlah saham biasa yang hadir dalam RUPS paling rendah mewakili 1/20 dari jumlah seluruh hak suara dari saham biasa yang dimiliki pemegang saham, selain pemegang saham MVS.

Selain itu, OJK juga mengatur rasio hak suara MVS terhadap hak suara biasa:

  1. Dalam hal pemegang saham MVS baik sendiri maupun secara bersama-sama memiliki saham MVS paling rendah 10% sampai dengan 47,36% dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh, rasio hak suara MVS terhadap hak suara saham biasa sebesar 10:1
  2. Untuk MVS paling rendah antara 5%-10% dari seluruh modal, rasionya 20:1
  3. Untuk MVS paling rendah antara 3,5%-5% dari seluruh modal, rasionya 30:1
  4. Untuk MVS paling rendah antara 2,44%-3,5% dari seluruh modal, rasionya 40:1
  5. Apabila hak suara saham MVS tidak lebih dari 50% dari seluruh hak suara, emiten dapat meningkatkan rasionya, sehingga rasio hak suara MVS terhadap saham biasa menjadi paling tinggi sebesar 60:1

Fenomena MVS

Penerapan dual class shares (DCS) dengan struktur multiple voting shares (MVS) menjadi hal lumrah bagi penerapan IPO di bursa Amerika Serikat. Banyak negara yang mengatur rata-rata rasio antara hak suara saham MVS dengan hak saham biasa berbanding 10:1. Praktek ini berbeda dengan saham biasa yang hanya memiliki satu hak suara, sering disebut ordinary share.

Di Amerika Serikat, tercatat sebanyak 26 dari 134 perusahaan go public pada tahun 2018, 25 dari 112 perusahaan baru yang terdaftar pada tahun 2019, dan 32 dari 165 perusahaan yang baru terdaftar pada tahun 2020 mengadopsi DCS.

Fakta tersebut membuat bursa di negara lain seperti Hong Kong, Singapura, dan Shanghai termotivasi melakukan pelonggaran aturan agar bursanya jadi lebih menarik, khususnya perusahaan teknologi. Apalagi Hong Kong sebelumnya telah kehilangan saat Alibaba dan perusahaan besar lainnya berpaling dan memilih go public di New York.

Saat menjadi perusahaan publik, DSC berfungsi untuk meyakinkan para investor bahwa di bawah kontrolnya perusahaan dapat mencapai visi dan misi tertentu dalam jangka panjang. Meski founder tersebut secara teknis sahamnya lebih sedikit, tapi hak suaranya lebih besar daripada saham biasa.

“Kalau bursa bisa menerapkan ini, akan jadi hal positif karena rata-rata perusahaan teknologi itu di-drive oleh sosok founder,” ucap Managing Partner Ideosource Edward Chamdani dalam wawancara bersama DailySocial.

Pada umumnya, saat go public, biasanya tolak ukur perusahaan dilihat dari laporan keuangan dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Perusahaan teknologi yang bersifat disruptif dan inovatif sangat dipengaruhi sosok founder untuk menguatkan visi misi perusahaannya yang masih abstrak.

Kendati begitu, penerapan MVS selalu ada sisi negatif yang dikhawatirkan karena sistem kapitalisme ini menghilangkan unsur demokratis. Satu saham tidak lagi dinilai satu hak suara. Google bahkan memiliki tiga jenis saham, Class A, B, dan C. Tiap lembar saham Class B menguasai 10 hak suara diisi oleh orang-orang dalam Google. Sementara saham biasa Class A yang dijual ke publik hanya bernilai satu hak suara dan Class C tidak memiliki hak suara.

Perubahan Persepsi Perusahaan Teknologi Terhadap Bursa Efek Indonesia

Bursa Efek Indonesia atau BEI akan memasuki masa sibuk. Setelah berbulan-bulan masa spekulasi, perusahaan e-commerce Bukalapak siap untuk menandai debutnya pada 6 Agustus, menjadi unicorn Indonesia pertama yang terdaftar di BEI. Kemungkinan besar, raksasa teknologi lokal lainnya seperti GoTo dan Traveloka akan menyusul.

Investor menyambut baik langkah Bukalapak. Perusahaan e-commerce ini berhasil mengumpulkan USD 1,5 miliar setelah menetapkan harga sahamnya di atas kisaran Rp 750-850, penerbitan terbesar sejauh ini di Indonesia, menurut sumber yang dikonsultasikan oleh Reuters.

Pembeli saham IPO Bukalapak meliputi investor institusi jangka panjang, pengelola dana kekayaan negara, dan investor ritel.

Meningkatkan kepercayaan diri untuk melantai di BEI

Karena perusahaan teknologi lain seperti GoTo Group, Traveloka, Tiket, dan Kredivo dilaporkan berencana untuk segera go public dengan skema dual listing di AS dan Indonesia, BEI saat ini sedang mempersiapkan peraturan baru untuk mengakomodasi sektor teknologi. Misalnya, bursa dan otoritas keuangan Indonesia, OJK, sedang mengkaji aturan baru terkait hak suara berganda (MVR), yang dimaksudkan untuk memberi pemegang saham yang ada kontrol lebih besar atas perusahaan.

Rancangan peraturan menetapkan bahwa total aset bagi perusahaan untuk menerapkan MVR harus minimal Rp 2 triliun (USD 138 juta), sedangkan bisnis harus telah beroperasi setidaknya selama tiga tahun. Pemegang saham dengan MVR, baik secara individu maupun kolektif, hanya dapat memiliki hingga 47,3% dari seluruh saham. Menurut aturan baru, jika mereka memiliki lebih dari itu, kelebihan MVR akan dianggap sebagai saham biasa.

“Alasan penerapan MVR adalah untuk memberikan kontrol yang lebih besar kepada para pendiri—yang merupakan orang-orang yang memegang peran kunci di perusahaan—untuk mempertahankan dan mewujudkan visi dan misi jangka panjang perusahaan setelah go public,” sebut I Gede Nyoman Yetna Setya, direktur penilaian perusahaan BEI, melalui pesan yang dikirim ke wartawan lokal melalui WhatsApp.

Regulasi baru tersebut masih menjadi pembahasan oleh OJK dan lembaga swaregulasi seperti BEI, PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Kliring Penjaminan Efek Indonesia, dan pemangku kepentingan lainnya di pasar modal.

Vishal Sridhar, seorang analis Asia Tenggara di The Economist Intelligence Unit di India, percaya bahwa jajaran baru perusahaan teknologi besar yang diperdagangkan di BEI akan memberikan dorongan signifikan terhadap kapitalisasi pasar bursa. Hal ini juga akan menarik investor ritel muda dan menginspirasi perusahaan internet lain di kawasan ini untuk memasuki pasar IPO lokal, ujarnya.

“Koalisi uang tunai yang melimpah serta munculnya investor ritel baru di area suku bunga rendah makin meningkatkan volume perdagangan dan memicu serangkaian penawaran umum perdana yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2020. Kita akan melihat banyak startup dari Asia Tenggara memasuki pasar perdana di tahun 2021–2022 saat ekosistem telah matang. Investor mencari exit sementara gelombang perusahaan teknologi berikutnya mulai muncul,” pungkas Vishal kepada KrASIA.

Saham teknologi akan menambah kepercayaan pada Bursa Efek Indonesia, para analis percaya. Dokumentasi oleh Afif Kusuma via Unsplash

Sementara kawasan Asia, secara umum, telah menjadi target akuisisi utama bagi banyak perusahaan SPAC, makin banyak reformasi pasar modal diperlukan bagi bursa regional untuk memikat perusahaan teknologi untuk go public di dalam negeri, kata para analis. “Bursa seperti BEI harus mengambil langkah keluar dari buku panduan Hong Kong dan menghasilkan reformasi ramah pasar independen yang terkait dengan berbagai kelas saham dan kerangka kerja khusus untuk perusahaan inovatif, dengan ambang batas keuntungan dan pendapatan yang rendah,” kata Sridhar.

Sejalan dengan optimisme Sridhar, Suresh Dalai, direktur senior manajemen operasi di perusahaan konsultan bisnis global Alvarez & Marsal, mengatakan bahwa saham teknologi baru akan membantu secara signifikan meningkatkan persepsi BEI sebagai bursa tujuan untuk IPO. Namun, yang lebih penting lagi, ini merupakan peningkatan kepercayaan yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.

“Bukalapak direncanakan menjadi IPO terbesar dalam sejarah untuk BEI, yang akan meningkatkan merek bursa. Jumlah dan nilai listing di BEI tahun lalu menurun akibat pandemi, namun listing Bukalapak akan mendorong perusahaan lain untuk listing dan membangkitkan minat investasi pada 2021, menarik BEI keluar dari ‘kelesuan’ di 2020,” kata Suresh.

Antusiasme tinggi dari investor retail

Berdasarkan data KSEI, terdapat 5,6 juta investor saham pada Juni 2021 di Indonesia, naik 44,45% dibandingkan akhir tahun 2020 yang sebanyak 3,88 juta investor. Para ahli berpendapat, angka-angka tersebut menunjukkan peningkatan minat di pasar modal negara. Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, mengatakan kepada media lokal bahwa minat masyarakat terhadap instrumen pasar modal merupakan pergeseran pengeluaran dari konsumsi ke investasi, sehingga meningkatkan permintaan di pasar keuangan.

CEO platform wealth management Moduit, Jeffry Lomanto, mengatakan kepada KrASIA bahwa antusiasme investor ritel dalam berburu saham berbasis teknologi saat ini sangat tinggi, terlihat dari “euforia” terhadap saham-saham bank digital yang terdaftar seperti Bank Jago ( ARTO), Bank Capital (BACA), dan Bank Neo Commerce (BBYB) pada tahun lalu. “Namun pada akhirnya, investor akan mempertimbangkan kembali dan menganalisis kecocokan antara harga saham dengan valuasi perusahaan sesuai dengan kondisi fundamentalnya,” imbuhnya.

Karena Bukalapak akan menjadi unicorn pertama yang go public, investor ritel makin ingin memiliki bagian dari perusahaan, kata Dalai dari Alvarez & Marsal. Dia membandingkan dengan harga saham Sea Group, yang meningkat pesat tahun lalu, menjadikannya perusahaan publik paling berharga di Asia Tenggara.

“Investor ritel telah melihat peningkatan belanja online sejak pandemi dan melihat landasan luar biasa dalam sektor e-commerce di Indonesia. Pasar e-commerce di Indonesia telah tumbuh lebih dari lima kali lipat antara 2015 dan 2020 dan naik lebih dari 10% di tengah pandemi tahun lalu. Saya yakin konsumen akan berbelanja online lebih banyak lagi pasca pandemi,” ucap Suresh. “Fakta bahwa perusahaan e-commerce seperti Shopee dan Bukalapak telah mencapai valuasi tinggi, meskipun mengalami kerugian yang signifikan, menunjukkan minat yang luar biasa untuk investasi dari investor ritel.”

Apakah tren ini akan berlanjut?

Jeffry dari Moduit mengatakan bahwa investor mungkin saja membeli saham dan bereksperimen—sebagian karena hype tetapi juga karena tidak mau ketinggalan. Investor pada tahap ini biasanya lebih intuitif daripada rasional, lebih agresif, dan fokus pada akumulasi kekayaan, sebutnya.

“Mereka bersedia mencoba instrumen investasi apa pun, terutama jika sedang hype. Namun, jenis investasi yang menawarkan pengembalian jangka pendek, seperti saham, emas, dan crypto, lebih disukai,” katanya.

Melihat situasi tersebut, tampaknya antusiasme investor terhadap saham teknologi kemungkinan akan terus meningkat seiring dengan perusahaan besar Indonesia yang akhirnya mencatatkan sahamnya di BEI. Namun, Jeffry mencegah risiko berinvestasi di perusahaan yang tidak menguntungkan. “Ada beberapa pertimbangan yang bisa dilakukan. Pertama, kami melihat pendorong pertumbuhan utama seperti margin operasi dan arus kas. Dengan begitu, investor bisa mengetahui seberapa mahal atau murahnya valuasi perusahaan.”

Kemudian, setelah mengalami siklus pasar penuh, termasuk untung dan rugi, investor akan berkembang, kata Jeffry. Mereka akan lebih serius membangun portofolio dan lebih fokus untuk melestarikan kekayaan. Akibatnya, instrumen investasi seperti reksa dana dan obligasi, yang memberikan stabilitas dan pengembalian jangka panjang, akan tetap diminati, tambahnya.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

The Way SPAC and Dual Class Shares Drive Unicorns to Go-Public

The Indonesia Stock Exchange (IDX) has been improved since earlier this year to welcome three unicorns. Some relaxation has been prepared, one of which is allowing them to go public using SPAC (Special Purpose Acquisition Company) and dual class shares. These are currently being discussed in the internal unit.

DailySocial received a statement that IDX’s Company Assessment Director,  I Gede Nyoman Yetna Setia said SPAC and dual-class shares (DCS) are currently in internal review, discussing with authorities and stakeholders regarding the potential for implementation and regulation in Indonesia.

He said, in every process of regulation drafting, his team will first make comparisons with several other stock exchanges in other countries to determine the best practices in Indonesia.

“Indeed, by considering several things such as corporate governance, protection of public investors, and compliance with applicable laws and regulations,” he said.

Separately, quoting from Bisnis.com, Nyoman said that the IDX is currently studying the potential for implementing DCS with a multiple voting share (MVS) structure. MVS is a type of share with more than one vote for each share.

MVS implementation in several countries usually regulates the maximum ratio between shares with voting rights is 1:10 or 1 share has 10 voting rights. This is different from ordinary shares, with only one voting right for each share, which is called the ordinary share.

“In terms of best practice in several global exchanges, DCS with MVS classification usually can only be held by founders who also involve as company management or key parties who can ensure the sustainability of the company’s vision or innovation in the long term.”

Pros and Cons

Essentially, SPAC and DCS are trends in the United States which is the hub for all tech companies. Amvesindo’s Chairman, Edward Chamdani observed whether SPAC can be implemented in Indonesia, it will be quite similar to the practice of reverse listing but with a guarantee of a much cheaper cost and process.

“In reverse listing, there is a risk that the company’s shell suddenly has a tax or legal problem. Meanwhile, the SPAC is guaranteed to be clean as it is new. Of all the companies intend to merge with SPAC, the sponsor is flexible, as long as it can provide sufficient value and funds,”  Edward said to DailySocial.

The downside also applies to founders, because they have to sell a percentage of shares and at a lower value than the market price.

The DCS practice is capturing lots of attention in the United States. Around 26 of the 134 companies that went public in 2018, 25 of 112 new companies registered in 2019, and 32 of the 165 companies that were newly registered in 2020 adopted DCS.

This fact has motivated stock exchanges in other countries such as Hong Kong, Singapore and Shanghai to create relaxation to regulations expecting markets to be more attractive, especially for tech companies. Moreover, Hong Kong had previously lost as Alibaba and other big companies turned around and go public in New York.

Edward explained that his team would really appreciate the IDX’s steps if DCS practice could be implemented in Indonesia because this will be a new breakthrough. For investors, DCS is not a strange concept as it is similar to preferred stock when investors signed the shareholder agreement issued by the company during the rights issue.

The preferred shareholders have higher voting rights than common shareholders, although this practice is less common in Indonesia.

The DCS existence is essential for tech startup founders because in  startup journey they are likely to make various series of funding which causes their shares diminished.

When it becomes a public company, DSC serves to convince investors that the company can achieve a certain vision and mission in the long term under its control. Although the founder has technically less shares, the voting rights are greater than the common stock.

“If the stock exchange can implement this, it will be a positive thing because most of tech companies are driven by a founder figure.”

When go public, company benchmarks are usually valued from the financial statements and good corporate governance (GCG). Disruptive and innovative technology companies are strongly influenced by the founder figure to strengthen the company’s abstract vision and mission.

Edward also expects that from the investor’s point of view, he will be more familiar in the future with the characteristics of technology companies which benchmarks are invisible from EBITDA, enterprise value (EV), or price to earnings ratio (PE). Therefore, even though they still around negative profit and loss (P&L), in the next 10-20 years, by understanding the disruptive roadmap of these companies, it will become a valuable company.

“The closest example is when Amazon go public, every income is always converted into assets, therefore, they do not pay dividends to shareholders. With such knowledge, investors can think long term, not just quarterly.”

Behind the glittering promises of DCS, there is always a negative vibe as the capitalist system eliminates democratic elements. One share is no longer valued as one vote. Google even has three types of shares, Class A, B, and C. Each Class B share has 10 voting rights filled by Google insiders. Meanwhile Class A common stock sold to the public is worth only one vote and Class C does not have voting rights.

Academics from Queen Mary University of London, Min Yan said that another debate is about a shift to how to contain governance-related risks. Such steps as termination and restrictions on voting differences are designed to withhold control over several classes of shares by voting and provide mandatory protection for shareholders with lower votes. However, this action, intentional or not, jeopardizes the value of the different voting rights.

Such action is like a double-edged sword, not only helping to reduce governance risk but also undermining the isolation of controllers from external investors and market influence.

The lack of enthusiasm for technology companies to go public on the Hong Kong, Singapore and Shanghai exchanges reflects the diminishing attractiveness of the DCS structure when safeguards are tight. This situation is the opposite of what happened in the United States, because there are no such compulsory precautions there.

Yan also highlighted the key safeguards, including final provisions, maximum vote differentials, and improved corporate governance standards, as ex ante strategies. Given the objective of such action is to prevent potential managerial unaccountability and opportunism by restricting the ability of controlling shareholders to exercise some of their voting rights.

Because the strict ex ante strategy, with too much restriction of controlling power and jeopardizing the benefits of weighted voting rights under dual class shares, the action to make ex post as an alternative needs to be reconsidered.

He said, no financial authority in Asia has an effective and strong ex post regime. DCS’s true success lies in its market acceptance. Whether a few or no companies intend to go public with that kind of structure, allowing two-class listing will be futile.

“Therefore, I suggest exploring more ex post mechanisms, such as aggregate litigation through a representative process that provides solutions to disadvantaged shareholders when the problem of lack of managerial accountability occurs, to reduce dependence on ex ante constraints as mandatory safeguards,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Foto header: Depositphotos.com

Bagaimana Kehadiran SPAC dan “Dual Class Shares” Dorong Kehadiran Startup Unicorn Melantai di Bursa Efek

Bursa Efek Indonesia (BEI) banyak melakukan pembenahan sejak awal tahun demi menyambut kehadiran tiga perusahaan unicorn. Sejumlah relaksasi telah disiapkan, salah satunya adalah membolehkan mereka go public menggunakan SPAC (Special Purpose Acquisition Company) dan menerbitkan saham kelas ganda (dual class shares). Dua rencana ini sedang dibahas di internal bursa.

Dari pernyataan yang DailySocial terima, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna Setia menuturkan SPAC dan dual-class shares (DCS) sedang dalam kajian internal, berdiskusi dengan otoritas serta pemangku kepentingan terkait potensi penerapan dan pengaturannya seperti apa di Indonesia.

Menurutnya, dalam setiap proses penyusunan peraturan bursa, pihaknya akan terlebih dahulu melakukan perbandingan dengan beberapa bursa lain di negara lain untuk dapat menentukan best practice yang akan diterapkan di Indonesia.

“Tentunya dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti corporate governance, perlindungan investor publik, dan kesesuaian peraturan dengan perundangan yang berlaku,” katanya.

Secara terpisah, mengutip dari Bisnis.com, Nyoman menerangkan kajian yang sedang dilakukan BEI adalah melihat potensi penerapan DCS dengan struktur multiple voting share (MVS). MVS itu sendiri adalah suatu jenis saham yang memiliki lebih dari satu hak suara untuk setiap lembar sahamnya.

Penerapan MVS di beberapa negara rata-rata mengatur maksimal rasio antara saham dengan hak suara adalah 1:10 atau 1 saham memiliki 10 hak suara. Ini berbeda dengan saham biasa yang hanya memiliki satu hak suara untuk tiap lembar sahamnya, biasa disebut ordinary share.

“Secara best practice di beberapa bursaa global, penerapan DCS dengan klasifikasi MVS biasanya hanya akan dipegang oleh para founder yang bertindak sekaligus menjadi manajemen perusahaan atau pihak kunci yang dapat memastikan keberlangsungan visi atau inovasi perusahaan dalam jangka panjang.”

Plus minus SPAC dan DCS

Pada hakikatnya, SPAC dan DCS adalah tren yang terjadi di Amerika Serikat sebagai kiblat perusahaan teknologi. Ketua Amvesindo Edward Chamdani melihat jika SPAC dapat diterapkan di Indonesia, sebenarnya ini tak jauh beda dengan praktik reverse listing (back door listing) namun dengan jaminan biaya dan proses yang jauh lebih murah.

“Yang sering ditakutkan saat reverse listing adalah cangkang perusahaan tersebut tahu-tahu ada masalah pajak atau hukum. Sementara kalau SPAC sudah dijamin bersih karena masih baru. Dari perusahaan yang mau di-merger-kan dengan SPAC juga bisa pilih sponsor mana yang ia suka, yang bisa berikan value dan dana yang cukup,” kata Edward saat dihubungi DailySocial.

Sisi minusnya juga berlaku bagi founder, karena mereka harus melepas sebagian persen saham dan dijual dengan harga lebih murah dari harga pasar.

Praktik DCS sendiri banyak dilirik di Amerika Serikat. Tercatat, sebanyak 26 dari 134 perusahaan go public pada tahun 2018, 25 dari 112 perusahaan baru yang terdaftar pada tahun 2019, dan 32 dari 165 perusahaan yang baru terdaftar pada tahun 2020 mengadopsi DCS.

Fakta tersebut membuat bursa di negara lain seperti Hong Kong, Singapura, dan Shanghai termotivasi melakukan pelonggaran aturan agar bursanya jadi lebih menarik, khususnya perusahaan teknologi. Apalagi Hong Kong sebelumnya telah kehilangan saat Alibaba dan perusahaan besar lainnya berpaling dan memilih go public di New York.

Edward menjelaskan pihaknya bakal sangat mengapresiasi langkah BEI bila praktik DCS dapat diimplementasi di Indonesia karena ini adalah terobosan baru. Di mata investor, DCS bukan barang asing karena tak jauh berbeda dengan saham preferen saat investor menandatangani perjanjian pemegang saham yang diterbitkan perusahaan saat rights issue.

Pemegang saham preferen (preferred share) juga punya hak suara yang lebih tinggi daripada saham biasa (common share), kendati praktik ini kurang umum di Indonesia.

Kehadiran DCS, bagi para founder startup teknologi, sangat bermakna karena dalam perjalanan startup kemungkinan besar sudah melakukan berbagai rangkaian pendanaan yang menyebabkan sahamnya kian terkikis.

Saat menjadi perusahaan publik, DSC berfungsi untuk meyakinkan para investor bahwa di bawah kontrolnya perusahaan dapat mencapai visi dan misi tertentu dalam jangka panjang. Meski founder tersebut secara teknis sahamnya lebih sedikit, tapi hak suaranya lebih besar daripada saham biasa.

“Kalau bursa bisa menerapkan ini, akan jadi hal positif karena rata-rata perusahaan teknologi itu di-drive oleh sosok founder.”

Pada umumnya, saat go public, biasanya tolak ukur perusahaan dilihat dari laporan keuangan dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Perusahaan teknologi yang bersifat disruptif dan inovatif sangat dipengaruhi sosok founder untuk menguatkan visi misi perusahaannya yang masih abstrak.

Edward juga berharap dari sisi investor sendiri dapat lebih familiar ke depannya dengan karakteristik perusahaan teknologi yang tolak ukurnya bukan dilihat dari EBITDA, enterprise value (EV), atau price to earning ratio (PE). Jadi, meski profit and loss (P&L) masih negatif, tapi dengan mengerti roadmap dari perusahaan tersebut yang disruptif, pada 10-20 tahun mendatang akan menjadi perusahaan yang valuable.

“Contoh terdekatnya adalah Amazon saat go public, setiap pendapatannya selalu dialihkan menjadi aset, sehingga mereka tidak memberikan dividen kepada pemegang sahamnya. Dengan pengetahuan seperti itu, investor dapat berpikir jangka panjang, tidak kuartalan saja.”

Dibalik gemerlapnya janji yang ditawarkan DCS, selalu ada sisi negatif yang dikhawatirkan karena sistem kapitalisme ini menghilangkan unsur demokratis. Satu saham tidak lagi dinilai satu hak suara. Google bahkan memiliki tiga jenis saham, Class A, B, dan C. Tiap lembar saham Class B menguasai 10 hak suara diisi oleh orang-orang dalam Google. Sementara saham biasa Class A yang dijual ke publik hanya bernilai satu hak suara dan Class C tidak memiliki hak suara.

Akademisi dari Queen Mary University of London, Min Yan, menambahkan, perdebatan lainnya adalah mengenai pergeseran ke cara menahan risiko tata kelola terkait. Langkah-langkah seperti ketentuan penghentian dan pembatasan perbedaan hak suara dirancang untuk menahan kontrol yang berasal dari beberapa kelas saham dengan suara dan memberikan perlindungan wajib bagi pemegang saham dengan suara yang lebih rendah. Namun, tindakan ini, disengaja atau tidak, membahayakan nilai hak suara yang berbeda.

Tindakan tersebut ibarat pedang bermata dua, tidak hanya membantu mengurangi risiko tata kelola tetapi juga merusak isolasi pengontrol dari investor eksternal dan pengaruh pasar.

Minimnya antusiasme perusahaan teknologi untuk melantai di bursa Hong Kong, Singapura, dan Shanghai mencerminkan berkurangnya daya tarik struktur DCS ketika pengamanan wajib ketat. Situasi ini berbanding terbalik dengan Amerika Serikat, sebab di sana tidak ada tindakan pengamanan wajib seperti itu.

Yan juga menekankan, tindakan pengamanan utama, termasuk ketentuan akhir, perbedaan suara maksimum, dan standar tata kelola perusahaan yang ditingkatkan, adalah strategi ex ante. Mengingat objektif dari tindakan tersebut adalah mencegah potensi tidak akuntabilitas dan oportunisme manajerial dengan menahan kemampuan pemegang saham pengendali untuk menggunakan beberapa hak suara mereka.

Karena strategi ex ante yang cenderung ketat, terlalu mengekang kekuasaan pengontrol dan membahayakan manfaat hak suara tertimbang di bawah saham kelas ganda, maka tindakan ex post sebagai alternatif perlu dipertimbangkan.

Menurutnya, tidak ada otoritas keuangan di Asia yang memiliki rezim ex post yang efektif dan kuat. Keberhasilan DCS sebenarnya terletak pada penerimaan pasarnya. Jika sedikit atau tidak ada perusahaan yang memilih untuk go public dengan struktur saham seperti itu, mengizinkan pencatatan dua kelas akan sia-sia.

“Oleh karena itu, saya menyarankan eksplorasi mekanisme yang lebih ex post, seperti litigasi agregat melalui proses perwakilan yang memberikan solusi kepada pemegang saham yang dirugikan ketika masalah dari kurangnya akuntabilitas manajerial terjadi, untuk mengurangi ketergantungan pada kendala ex ante sebagai pengaman wajib,” tutupnya.


Foto header: Depositphotos.com

Pandu Sjahrir Mengungkap Impian Besarnya untuk Industri Startup Nusantara

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Dalam beberapa tahun terakhir, Pandu Sjahrir menjadi sorotan dalam industri teknologi. Dari Ketua SEA Group Indonesia, Anggota Dewan Gojek, dan yang terbaru ditunjuk menjadi Komisaris BEI termuda.

Dimulai dari hobi yang produktif, investasi kini menjadi bisnis utamanya sebagai profesional juga sebagai salah satu investor terkemuka di Asia Tenggara untuk perusahaan tahap awal dan yang mulai berkembang. Pandu juga menjabat sebagai Managing Partner of Indies Capital yang mengelola Indies Special Opportunities Fund, manajer aset alternatif terkemuka di kawasan ini, serta Indies Pelago, secondary fund teknologi di Asia Tenggara. Dan yang belum lama ini diperkenalkan, adalah entitas baru bernama AC Ventures.

Dengan pola pikir ekonomi yang mengalir dalam gen-nya, Pandu Sjahrir berhasil bertahan melalui perjuangan finansial dan mengakui tidak takut akan kegagalan. Selama ia masih memiliki keluarga yang luar biasa mendukung serta tim yang solid di sisinya. Ia memiliki impian yang cukup besar untuk industri teknologi Indonesia, dan inilah skenarionya.

Sebagai seorang investor yang fokus pada perusahaan berkembang, bagaimana Anda melihat lanskap industri investasi di Indonesia di masa pandemi COVID-19 ini?

Dunia sebelum pandemi COVID adalah dunia yang berbeda dari yang ada saat ini, teknologi telah berkembang jauh lebih besar dari sekadar bisnis. Setiap paruh, perkembangannya semakin pesat karena banyaknya adopsi. Dalam hal belanja, bermain game, bahkan sekarang bekerja dan belajar online. Orang-orang beradaptasi dengan dunia baru ini menggunakan platform teknologi untuk terhubung satu sama lain.

Hal ini turut mengubah cara kita memandang investasi. Mulai dari bisnis yang dapat mengambil manfaat dari cara baru berinteraksi dan berkomunikasi. Namun, kehidupan terus berjalan dan masyarakat tetap harus memenuhi kebutuhannya sehari-hari, tetapi cara untuk memenuhi hal-hal tersebut telah berubah. Kita harus berpikiran terbuka menghadapi dunia baru setelah pandemi COVID-19 ini, bagaimana fase baru ini akan berjalan.

Hal lain yang juga layak dibahas adalah peran deglobalisasi. Apa yang terjadi di perusahaan-perusahaan AS tidak serta merta terjadi di Indonesia. Hal yang sama berlaku untuk perusahaan Cina. Kita telah melihat lebih banyak solusi lokal untuk masalah sehari-hari, tidak melulu tentang solusi global. Hal-hal baik yang terjadi dalam 30 tahun terakhir dari “globalisasi” ini adalah peningkatan aset manusia serta kasta negara, negara-negara berkembang semakin bergerak menjadi negara-negara yang lebih maju.

Menurut Anda, bagaimana posisi Indonesia dalam skema deglobalisasi ini?

Indonesia akan tetap menjadi Indonesia. Ketika globalisasi membentuk perkembangan ekonomi begitu juga di negara besar lainnya, dengan perusahaan bernilai miliaran dolar yang sekarang ada dalam portofolio ekonomi kita, pada akhirnya kita harus bisa menemukan solusi lokal.

Jika ini benar menjadi sebuah tesis, tentu saja, akan memakan waktu. Dalam hal logistik saja, kita tidak bisa lepas dari rantai pasok global karena masih bergantung pada negara lain untuk mengembangkan suatu produk. Bayangkan jika faktanya ada banyak negara yang menerapkan deglobalisasi. Karena itu, muncul satu alasan lagi untuk lebih mendalami penilaian risiko.

Satu hal menarik, jaman dulu ada defisit kepercayaan yang besar pada perusahaan baru di Indonesia. Generasi kita sebelum ini mungkin belum bisa berpikiran digital, tetapi generasi saat ini benar-benar mengadopsi dan mampu memberikan kepercayaan. Tidak hanya untuk perusahaan besar berumur lebih dari 20 tahun yang dijalankan oleh pemerintah atau lembaga milik negara, tetapi juga untuk perusahaan baru yang dirintis 10 tahun terakhir.

Bayangkan apa saja yang bisa dilakukan oleh semua perusahaan teknologi dalam satu dekade terakhir dan juga perilaku generasi muda yang mau mencoba. Saat ini, semuanya jelas sangat berdampak. Kepercayaan itu dibangun tidak dengan waktu singkat.

Anda pertama kali dikenal sebagai pimpinan Toba Bara Sejahtera, juga mengepalai asosiasi terkait. Namun, beberapa tahun terakhir, Anda terlihat aktif dalam industri teknologi dalam negeri. Apa yang mendorong Anda untuk masuk ke dalam industri digital?

Ketika saya akhirnya kembali ke Jakarta untuk meneruskan bisnis keluarga di sektor energi, keluarga saya belum memiliki mindset digital. Karena itu, pada awalnya saya sendiri. Sebagai karyawan pertama di Toba, saya memberi nama Toba Bara dan membawanya public pada tahun 2012.

Sejujurnya, saya mulai berinvestasi dalam teknologi pada tahun 2013-2014, tanpa sorotan. Saat itu, tidak ada yang tahu nama perusahaan kami, mulai dari Garena lalu menjadi SEA, tetapi kemudian Shopee lahir sebagai perusahaan yang mereka rintis. Saya telah berinvestasi selama 7 tahun terakhir, tetapi tidak ada yang tahu sampai beberapa tahun terakhir karena meningkatnya popularitas perusahaan.

Selama itu, saya bertemu banyak teman investor, juga mempelajari berbagai hal seiring perjalanan. Semua dana yang keluar adalah dari kantong saya sendiri sampai sekitar tahun 2017, saya bergabung dengan Indies Capital, manajer aset alternatif terkemuka yang berfokus pada industri di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Dan belum lama ini, ada entitas baru juga di AC Ventures. Sebenarnya itu berawal dari hobi produktif yang berkembang menjadi bisnis utama. Sekarang, orang mengenal saya sebagai investor di tahap awal serta beberapa hal lainnya.

Anda baru saja dilantik sebagai salah satu komisaris BEI, boleh share sedikit mengenai rencana ke depan untuk mendorong industri teknologi Indonesia menjadi lebih baik?

Pandu Sjahrir pada saat pelantikan komisaris BEI
Pandu Sjahrir pada saat pelantikan komisaris BEI

Tujuannya adalah untuk melangkah lebih jauh dalam 10-12 tahun ke depan. Faktanya, sepuluh perusahaan teratas Amerika adalah perusahaan teknologi. Di Indonesia, daftar ini masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan perbankan dan telekomunikasi – persis seperti 10 tahun yang lalu. Adalah tugas kami untuk menangkap nilai ekonomi dari semua perusahaan teknologi ini untuk sampai ke sana. Saya menyebutnya outlier, perusahaan luar biasa yang berkembang sangat cepat, bisa melihat Indonesia, terdaftar, dan menjadikan kita sebagai tujuan utama.

Selanjutnya, untuk menyeriusi pasar modal dan memberikan tempat investasi yang aman dan andal menuju masa depan yang lebih baik. Selalu ada satu atau dua masalah dalam hal ini, intinya berkaitan dengan institusi saat ini. Kita harus proaktif dalam hal mengelola setiap masalah. Kita harus bisa mengatakan, “Kami terbuka bagi setiap investor, tidak terkeciuali investor minoritas, dan kami dapat membuat perusahaan besar terdaftar di Indonesia.” Mengikuti tujuan utama untuk menjadi lima ekonomi teratas di dunia pada tahun 2025, industri pasar modal kita juga harus ada di sana.

Berada pada posisi Anda saat ini, apakah ada kendala untuk berpacu dengan geliat industri yang cenderung cepat? Adakah kisah atau pengalaman sulit selama berkecimpung dalam industri?

Ada sebuah masa kelam, dimana saya sempat mengalami kehilangan anggota keluarga juga penyusutan secara finansial. Lalu saya banyak berinvestasi, namun mengalami beberapa kegagalan. Sepanjang jalan, saya belajar bagaimana mengelola risiko dengan lebih baik dan belajar lebih banyak dalam hal ini. Namun, saya lega mengetahui fakta bahwa hal ini tidak mungkin lebih buruk daripada masa kelam itu. Selama itu tidak melumpuhkan saya, secara finansial, semua akan baik-baik saja. Saya belajar banyak tentang karakter manusia dengan cara ini. Pada akhirnya, saya berinvestasi dalam prinsip, karakter, dan model bisnis.

Kegagalan tidak bisa dihindari, tetapi bagaimana Anda berdiri lagi adalah yang terpenting. Ini sebuah ungkapan klasik, tetapi terbukti. Saya sangat senang memiliki keluarga yang luar biasa, istri yang sangat mendukung juga aktif dalam membangun bisnisnya, dan seorang putri yang cantik. Dalam hal pekerjaan, kami telah membentuk sebuah tim yang solid.

Sejujurnya, situasi Covid-19 seharusnya bisa menjadi alasan saya untuk kecewa, sebaliknya, saya merasa sehat dan bersyukur secara pribadi. Meskipun, seluruh ketidakpastian ini menciptakan efek finansial dimana saya beserta kebanyakan orang tidak dapat menyangkal. Saya selalu mengatakan pada diri sendiri bahwa hal ini layaknya krisis lain yang harus Anda lalui sebelum mulai beradaptasi.

Apa atau siapa yang sudah berjasa dalam kesuksesan serta berbagai pencapaian Anda? Adakah sosok yang menjadi inspirasi atau support system di balik kerja keras selama ini?

Dalam hal teladan, ayah saya adalah nomor satu. Dia adalah seorang yang idealis, dengan cara berpikir beliau yang memiliki efek tersendiri bagi saya. Selain itu, ibu saya juga sosok yang memiliki pendirian kuat, sama seperti paman saya yang sekarang menjabat sebagai salah satu menteri Indonesia. Belian adalah salah satu yang mendorong saya untuk kembali ke Indonesia dan membantu saya memahami negara ini lebih baik melalui sudut pandangnya.

Ada satu kisah yang menarik, ketika orang tua saya mengatakan, “Kami tidak punya warisan apapun untuk kamu selain pendidikan dan etos kerja”. Seketika, rasa takut akan hidup tanpa memiliki apapun menghantam saya dan mendorong saya untuk mulai bekerja sejak dini. Jika saya tidak akan mewarisi kekayaan materi, saya harus bisa mendapatkannya sendiri. Hal ini menjadi awal dari hobi investasi saya. Selain itu, keluarga akan selalu menjadi support system nomor satu saya.

Dari sisi pendidikan, apakah menurut Anda latar belakang studi di luar negeri menjadi sebuah privilege dalam membangun mindset?

Memiliki kedua orang tua yang hanya peduli tentang pendidikan menciptakan perasaan yang campur aduk. Mereka benar-benar prihatin dengan cara saya belajar sehingga mengirim saya ke luar negeri demi memberikan pendidikan terbaik. Saat itu, adalah di Amerika. Saya belajar ekonomi di Chicago, kemudian pergi ke Standford untuk sekolah bisnis. Saya bertemu banyak perusahaan berbasis teknologi juga banyak teman.

Untungnya, tinggal di luar negeri membentuk rasa disiplin saya, dengan biaya tinggi dan segala permasalahannya. Kembali ke Jakarta, menjadi masa-masa sulit bagi yang memiliki mindset New Yorker seperti saya. Selama dua hingga tiga tahun pertama, Indonesia sangat sulit. Namun, dari usaha menjadi pendengar yang baik juga lancar berkomunikasi, saya belajar secara progresif untuk membuat keputusan yang lebih baik. Saya mendapat pelajaran dengan tinggal di luar negeri, tetapi kembali ke Indonesia adalah berkah lain.

Pandu Sjahrir
Pandu Sjahrir

Pernahkan Anda membayangkan menjadi seorang Founder? Melihat banyaknya VC di Indonesia yang dibentuk oleh ex-Founder atau mereka yang bekerja di perusahaan teknologi.

Saya belum berpikir sejauh itu. Saya tidak pernah menempatkan diri saya atau berfikir bahwa akan menjadi seperti itu. Bahkan, saya sudah merasaa bersyukur dengan kesempatan untuk berbincang seperti ini. Saya belum merasa pantas untuk disebut expert dalam marketing. Pola pikir saya selalu tentang berinvestasi dulu. Saya masih harus banyak belajar.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian