Debt Manager App CrediBook Receives Funding and Collaborates with Payfazz

Launched in February 2020, the digital debt manager application CrediBook has now been used by more than 200 thousand users. CrediBook’s Co-Founder & CEO told DailySocial, Gabriel Frans said the service is now available throughout Indonesia, even more than 50% of users are in tier 2 and 3 cities.

It is said to be different from other similar platforms, CrediBook does not only tracking debt but also connects users in two directions. In this case, CrediBook puts its platform like a messaging application, with the concept of debit-credit communication. CrediBook is also able to make bill payments directly on the platform, thereby reducing manual recording and confirmation processes.

“We created an ecosystem where buyers, sellers (including SMEs), even distributors and wholesalers can be connected on a single listing platform. The current monetization strategy is through payments on the CrediBook. In addition, we also provide access to users to apply for loans. capital to enlarge their business,” Gabriel said.

Even though it has experienced positive growth even during the pandemic, the CrediBook still has some barriers. These range from technological literacy to the seamless transition from traditional note-taking to app use.

“My experience and my COO Chris at Kudo and Payfazz allow us to really understand our users’ behavior. CrediBook answers this challenge by continuing to listen to our users and make improvements to our products continuously,” said Gabriel.

Strategic partnership with Payfazz

After securing seed funding from Insignia Ventures Partners and Payfazz, CrediBook has several targets to be achieved. Among those are developing products by adding new relevant features and helping to solve problems, such as the infrastructure for Payfazz’ financial products from Payfazz such as transfers, loans, pulses, and accounts that can provide value for CrediBook merchants.

“There are two goals Payfazz wants to achieve through this strategic partnership. It is to distribute financial products such as balance, transfers, loans, accounts to CrediBook merchants outside of the shop. In addition, we want to integrate the CrediBook debt recording feature as a use case. additional for 250 thousand agents/stalls on the Payfazz platform,” Payfazz’ CEO Hendra Kwik said.

During the pandemic, there were no significant changes in the CrediBook business. The company is currently experiencing very fast business growth. By targeting 60 million businesses to use the CrediBook platform for their digital financial records.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Aplikasi Pencatat Utang CrediBook Terima Pendanaan, Lakukan Sinergi dengan Payfazz

Diluncurkan pada bulan Febuari 2020 lalu, aplikasi pencatat utang digital CrediBook saat ini telah telah digunakan oleh lebih dari 200 ribu pengguna. Kepada DailySocial Co-Founder & CEO CrediBook Gabriel Frans menyebutkan, saat ini layanannya sudah tersebar di seluruh Indonesia, bahkan lebih dari 50% pengguna berada di kota tier 2 dan 3.

Mengklaim berbeda dengan platform serupa lainnya, CrediBook tidak hanya melakukan pencatatan, namun juga terkoneksi antarpengguna secara dua arah. Dalam hal ini CrediBook menempatkan platform mereka seperti aplikasi pesan, dengan konsep komunikasi debit-kredit. CrediBook juga mampu melakukan pembayaran tagihan langsung di dalam aplikasi, sehingga mampu mengurangi proses pencatatan dan konfirmasi manual.

“Kami membuat ekosistem di mana pembeli, penjual (termasuk UKM), bahkan distributor dan wholesaler dapat terkoneksi dalam satu platform pencatatan. Strategi monetisasi sekarang adalah melalui pembayaran yang ada di dalam CrediBook. Selain itu, kami juga memberikan akses kepada pengguna untuk bisa mengajukan pinjaman modal untuk memperbesar bisnis mereka,” kata Gabriel.

Meskipun mengalami pertumbuhan yang positif bahkan selama pandemi, namun hingga saat ini CrediBook masih menemui beberapa kendala saat menjalankan bisnis. Di antaranya adalah literasi teknologi hingga transisi yang seamless dari pencatatan tradisional ke penggunaan aplikasi.

“Pengalaman saya dan COO saya Chris di Kudo dan Payfazz, membuat kami benar-benar mengerti perilaku pengguna kami. CrediBook menjawab tantangan ini dengan terus mendengarkan pengguna kami dan melakukan peningkatan di produk kami secara terus menerus,” kata Gabriel.

Kerja sama strategis dengan PayFazz

Setelah mengantongi pendanaan tahap awal dari Insignia Ventures Partners dan Payfazz, CrediBook memiliki beberapa target yang ingin dicapai. Di antaranya adalah mengembangkan produk dengan menambahkan fitur-fitur baru yang relevan dan membantu menyelesaikan masalah, seperti infrastruktur produk-produk keuangan dari Payfazz seperti transfer, pinjaman, pulsa, dan rekening yang dapat memberikan value untuk merchant CrediBook.

“Melalui kerja sama strategis ini ada dua sasaran yang ingin dicapai oleh Payfazz. Yaitu mendistribusikan produk-produk keuangan seperti pulsa, transfer, pinjaman, rekening ke merchant CrediBook yang di luar warung. Selain itu kami ingin melakukan integrasi fitur debt recording CrediBook sebagai use case tambahan untuk 250 ribu agen/warung di platform Payfazz,” kata CEO Payfazz Hendra Kwik.

Selama pandemi tidak ada perubahan yang berarti dalam bisnis CrediBook. Perusahaan mencatat saat ini perusahaan mengalami pertumbuhan bisnis yang sangat pesat. Dengan menargetkan 60 juta bisnis untuk menggunakan platform CrediBook untuk pencatatan keuangan digital mereka.

Application Information Will Show Up Here

A Logistics Aggregator Platform Shipper is Reportedly Securing 294 Billion Rupiah Worth of Series A Funding

Shipper, the logistics aggregator platform is reported to have secured Series A funding of $ 20 million or equivalent to 294.3 billion Rupiah. The round was led by Naspers with the participation of previous investors, AC Ventures, Insignia Ventures Partners, and Lightspeed Venture Partners.

This news was first released by DealStreetAsia; we have contacted Shipper’s Co-Founder Budi Handoko and AC Venture Managing Partner Adrian Li to get detailed confirmation, however, both are reluctant to comment on the news.

Previously the company closed its seed round in September 2019, raising funds worth $ 5 million or equivalent to 70.3 billion Rupiah. Investors involved included Lightspeed Ventures Partners, Floodgate Ventures, Insignia Ventures Partners, Convergence Ventures, and Y Combinator.

Since it was founded in 2017, Shipper has presented an integrated dashboard to help online sellers in e-commerce manage customer order shipments. In this dashboard, business people can easily get the most efficient logistics service recommendations, including pickup scheduling and integrated reporting.

Shipper’s internal data showed there are currently around 2500 logistic providers in Indonesia with various business scales. The Shipper service has also been used by around 25 thousand online merchants in Indonesia. This year they are targeting to have 1000 micro hubs for pick up and 20 logistics centers. The regional expansion has also been announced, targeting markets in Thailand, Vietnam, and the Philippines.

Shipper has other founder, besides Budi, he is Phil Opamuratawongse. Last year, the startup successfully joined the Y Combinator accelerator program in Silicon Valley, precisely in the Winter 2019.

In Indonesia, the “smart logistic” platform continues to develop. In terms of aggregator platform, besides Shipper, there is also Anjelo officially launched at the end of 2019. They offer logistics services, including last-mile delivery, cargo via air and sea, customs services, and warehousing.

In addition, with a model that is more integrated with its platform, Bukalapak also launched BukaSend. Aggregate services from logistics partners who have joined the company to facilitate consumers with shipments and courier orders.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Agregator Logistik Shipper Dikabarkan Bukukan Pendanaan Seri A 294 Miliar Rupiah

Shipper, pengembang platform agregator logistik dikabarkan telah membukukan pendanaan seri A senilai $20 juta atau setara 294,3 miliar Rupiah. Putaran tersebut dipimpin Naspers dengan keterlibatan investor sebelumnya yakni AC Ventures, Insignia Ventures Partners, dan Lightspeed Venture Partners.

Kabar ini pertama kali dirilis oleh DealStreetAsia; kami telah menghubungi Co-Founder Shipper Budi Handoko dan Managing Partner AC Venture Adrian Li untuk mendapatkan konfirmasi lebih lanjut, hanya saja keduanya enggan berkomentar mengenai kabar tersebut.

Sebelumnya perusahaan menutup seed round mereka pada September 2019, kumpulkan dana senilai $5 juta atau setara 70,3 miliar Rupiah. Investor yang terlibat meliputi Lightspeed Ventures Partners, Floodgate Ventures, Insignia Ventures Partners, Convergence Ventures, dan Y Combinator.

Sejak didirikan pada tahun 2017, Shipper menyuguhkan sebuah dasbor terpadu untuk membantu online seller di e-commerce mengelola kiriman pesanan pelanggan. Dalam dasbor tersebut pelaku bisnis dapat dengan mudah mendapatkan rekomendasi layanan logistik yang paling efisien, termasuk untuk melakukan penjadwalan penjemputan dan pelaporan secara terpadu.

Dari data internal Shipper pun tercatat saat ini ada kurang lebih 2500 penyedia logistik di Indonesia dengan berbagai skala bisnis. Layanan Shipper juga sudah digunakan sekitar 25 ribu pedagang online di Indonesia. Tahun ini mereka menargetkan bisa memiliki 1000 hub mikro untuk penjemputan dan 20 pusat logistik. Ambisi ekspansi regional juga sudah disampaikan, targetnya juga bisa layani pasar Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Selain Budi, Shipper turut didirikan oleh Phil Opamuratawongse. Tahun lalu, mereka berhasil tergabung dalam program akselerator Y Combinator di Silicon Valley, tepatnya pada periode Winter 2019.

Di Indonesia platform “smart logistic” terus berkembang. Untuk platform agregator, selain Shipper ada juga Anjelo yang diresmikan akhir 2019 lalu. Jenis layanan logistik yang ditawarkan meliputi last mile delivery, kargo via udara maupun laut, layanan kepabeanan, hingga pergudangan.

Selain itu, dengan model yang lebih terintegrasi dengan platformnya, Bukalapak juga luncurkan BukaSend. Mengagregasi layanan dari mitra logistik yang telah tergabung ke perusahaan untuk memudahkan konsumen melakukan pengiriman dan pemesanan kurir.

Shipper Bags 70 Billion Rupiah, Tightening Its Position as the Logistics Aggregator

The logistics aggregator platform, Shipper, today announced seed funding worth of $5 million or equivalent to 70.3 billion Rupiah. The investors include Lightspeed Ventures, Floodgate Ventures, Insignia Ventures Partners, Convergence Ventures and Y Combinator. It tops up the previous round for $150 thousand after participated in the Y Combinator accelerator program.

The fund is to focus on talent and user acquisition. After its launching in 2017, Shipper is now serving more than 25 thousand online sellers. The increasing e-commerce traction and sales through social media has boosted the logistics business initiated by Phil Opamuratawongse and Budi Handoko.

Indonesia has a unique order in terms of geographic. It consists of many islands and has its own challenge for logistics business. They believe the condition cannot be solved by a single company. Based on Shipper’s internal data, there are about 2,500 registered logistics working on various segments in Indonesia.

Many of the logistics cover the small areas, but they didn’t really understand the location – related to the access reliability, for some locations are hard to reach. Shipper allows sellers to have relevant logistics services, that can accommodate efficient delivery to each destination.

They also provide pick-up courier and to include pick-up point for the package. In addition to track, the technology is also designed to help logistics in managing the package. It includes to calculate the best route. A special API also created for business consumer, to connect Shipper solution to partner’s platform.

Shipper is to target 1,000 micro hubs for pick up and 20 logistics center. They also have ambition for regional expansion, targeting Thailand, Vietnam, and the Philippines for the next years.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Shipper Bukukan Pendanaan Awal 70 Miliar Rupiah, Perkuat Posisinya sebagai Agregator Layanan Logistik

Startup pengembang platform agregator layanan logistik Shipper hari ini mengumumkan telah membukukan putaran pendanaan awal senilai $5 juta atau setara 70,3 miliar Rupiah. Investor yang terlibat meliputi Lightspeed Ventures, Floodgate Ventures, Insignia Ventures Partners, Convergence Ventures dan Y Combinator. Investasi ini meningkatkan perolehan sebelumnya senilai $150 ribu pasca keterlibatannya di program akselerasi Y Combinator.

Modal yang didapat akan difokuskan untuk perekrutan dan akuisisi pelanggan. Sejak diluncurkan tahun 2017, Shipper kini telah melayani lebih dari 25 ribu pedagang online. Peningkatan traksi e-commerce dan jual beli via media sosial turut membuat bisnis logistik yang diusung Phil Opamuratawongse dan Budi Handoko ini melejit di pasar.

Secara geografis Indonesia memiliki tatanan yang unik. Wilayah yang terbagi menjadi banyak pulau memberikan tantangan tersendiri bagi bisnis logistik. Pihak Shipper meyakini, kondisi tersebut tidak mungkin untuk diselesaikan oleh satu pemain saja. Dari data internal Shipper pun tercatat saat ini ada kurang lebih 2500 penyedia logistik di Indonesia dengan berbagai skala bisnis.

Banyak bisnis logistik yang hanya mencakup wilayah kecil, namun mereka tahu betul mengenai lokasi tersebut — termasuk terkait keandalan akses, karena beberapa lokasi juga sulit dijamah. Platform Shipper memungkinkan para pedagang untuk mendapatkan layanan logistik yang relevan, yang mampu mengakomodasi pengiriman secara efisien ke daerah-daerah yang dituju.

Shipper juga menghadirkan layanan kurir penjemputan paket ke lokasi pengguna, pun mulai menyediakan lokasi penjemputan atau pengambilan paket. Selain untuk pelacakan, teknologi yang dikembangkan turut didesain membantu penyedia logistik untuk mengelola pengiriman. Termasuk mengalkulasi rute pengiriman terbaik. API khusus juga disediakan untuk konsumen bisnis, menghubungkan solusi Shipper ke platform yang dikembangkan mitra.

Hingga tahun depan Shipper targetkan miliki 1000 hub mikro untuk penjemputan dan 20 pusat logistik. Ambisi ekspansi regional juga sudah disampaikan, targetnya juga bisa layani pasar Thailand, Vietnam, dan Filipina di tahun-tahun mendatang.

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi RateS Ingin Mudahkan Siapa Saja Mulai Berjualan Online

Besarnya penggunaan media sosial di Indonesia dimanfaatkan oleh startup asal Singapura Rate untuk menciptakan platform yang bermanfaat untuk pemilik usaha kecil mengadopsi teknologi. Bernama RateS, produk tersebut kini sudah resmi meluncur di Indonesia.

Didirikan pada tahun 2016, inovasi Rate ingin menjadikan transaksi e-commerce lintas negara lebih efisien dan mudah diakses. Pada Maret 2019, Rate lulus dari program PayPal Incubator di Singapura. Sebelumnya, Rate juga ini telah berhasil mendapatkan investasi sebesar $2.3 juta dari Alpha JWC Ventures dan Insignia Ventures Partners pada babak pra-seri A.

Bantu siapa saja memulai berjualan online

Konsep kerjanya RateS bertindak sebagai perantara antara pengguna dan supplier untuk mendapatkan produk, menangani inventori dan logistik. Para pengguna aplikasi hanya perlu melakukan penjualan dan pemasaran produk-produk yang mereka temukan di RateS.

Pengguna dapat menelusuri katalog produk di RateS dan memilih produk yang ingin mereka masukkan ke ‘toko’ online yang mereka buat di aplikasi. Selain itu, mereka juga dapat memanfaatkan jaringan sosial mereka dan membagikan detail produk secara langsung ke media sosial.

Pengguna dapat menentukan harga akhir dari produk yang mereka jual dan mendapatkan laba dari hasil penjualan mereka. Setelah pesanan berhasil dilakukan, produk akan dikirimkan langsung oleh supplier ke pembeli.

Menurut CEO Rate Jake Goh, Indonesia memiliki kemiripan dengan Singapura, mulai dari kebiasaan hingga gaya hidup yang hampir serupa. Dengan alasan itulah mengapa RateS pertama kali hadir di Indonesia dengan mengedepankan konsep Social Commerce.

“Untuk pertama kalinya RateS kami hadirkan di Indonesia, melihat besarnya penggunaan media sosial di Indonesia. Meskipun konsep social commerce bukan hal yang baru di Indonesia, kami melihat metode tersebut masih sangat fragmented sifatnya dan kurang efektif untuk dikembangkan, misalnya penggunaan berbagai chat app hingga grup media sosial, sementara proses pembayaran masih dilakukan secara offline.”

Bakal hadirkan versi premium

RateS juga telah meluncurkan aplikasi dan telah memiliki sekitar 1000 lebih pengguna aktif.  Aplikasi baru ini bertujuan untuk menciptakan infrastruktur bagi pedagang mikro yang ingin memulai bisnis online mereka tanpa modal dan inventori produk.

Saat ini, RateS dapat diunduh secara gratis, tetapi ke depannya RateS akan meluncurkan program keanggotaan premium. Setiap anggota mendapatkan akses ke kategori produk eksklusif dan lebih banyak konten pembelajaran. Setelah Indonesia, RateS juga nantinya akan dikembangkan di Vietnam dan Singapura.

“Kami sangat senang bisa meluncurkan aplikasi kami di Indonesia. Ke depannya, kami memiliki rencana besar untuk RateS, termasuk mengajak lebih banyak supplier untuk bergabung bersama kami, dan mengembangkan fitur-fitur menarik untuk seller kami,” kata Jake.

Di Indonesia sendiri startup yang menawarkan konsep serupa adalah TokoTalk, yakni layanan yang memungkinkan pemilik toko membuat website pribadi untuk tokonya dengan teknologi dan fitur yang disesuaikan.

Pada bulan April 2019 lalu, TokoTalk mengantongi pendanaan senilai $3,2 juta atau 45 miliar Rupiah dari Altos Ventures yang berasal dari Silicon Valley, Amerika Serikat. Pasca perolehan pendanaan, perusahaan akan lebih fokus pada peningkatan layanan untuk menggenjot pertumbuhan bisnis.

Selain itu konsep serupa juga pernah diinisiasi startup besutan Hadi Kuncoro yang bernama Feedr.

Application Information Will Show Up Here

Fore Coffee Dapatkan Pendanaan Lanjutan Senilai 118 Miliar Rupiah

Fore Coffee, startup “on-demand specialty coffe” hari ini (31/1) mengumumkan perolehan pendanaan lanjutan senilai $8,5 juta (setara dengan 118.7 miliar Rupiah). Pendanaan kali ini didapat dari sejumlah investor, meliputi East Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Agaeti Venture Capital, Insignia Ventures Partners, dan beberapa angel investor.

Sebelumnya Fore Coffe telah terlebih dulu mendapatkan pendanaan awal dari East Ventures pada September 2018 lalu. Sebagai informasi, Fore Coffee adalah proyek binaan East Ventures, setelah Ev Hive dan Warung Pintar.

Dana modal baru ini akan dimanfaatkan Fore Coffee untuk mempercepat inovasi dalam memberikan pengalaman online-to-offline (O2O) untuk penjualan produknya. Selain itu pihaknya mengaku akan mempergunakan dana untuk berinvestasi pada mesin teknologi guna menghasilkan kopi yang lebih berkualitas.

Startup ini didirikan oleh tiga orang co-founder, yakni Robin Boe, Jhoni Kusno, dan Elisa Suteja — Elisa adalah mantan Associate East Ventures. Visinya ingin mengembalikan kejayaan kopi di Indonesia, khususnya biji kopi arabika untuk specialty coffee.

“Kami menggunakan berbagai teknologi, mulai dari aplikasi mobile yang kami buat sendiri, serta teknologi yang telah ada, seperti MokaPOS untuk memantau pembayaran, Member.id untuk loyalty platform, serta GO-FOOD, GrabFood, dan TravelokaEats sebagai platform distribusi,” terang CEO Fore Coffee Robin Boe menerangkan pemanfaatan teknologi dalam startupnya. Jika diperhatikan, mitra penyedia teknologi tersebut kebanyakan bagian dari portofolio East Ventures.

“Visi kami adalah untuk menjadikan Fore Coffee sebagai pemain penting yang bisa memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen kopi berkualitas tinggi nomor satu di dunia. Berbeda dengan pemain lain, kami tidak melihat kopi sebagai tren minuman yang hanya bersifat sementara, namun sebagai sebuah komoditas penting yang bisa mendorong ekonomi domestik dan bisa dinikmati sebagai gaya hidup masyarakat Indonesia untuk jangka panjang,” lanjut Co-Founder Fore Coffee lainnya Elisa Suteja.

Gunakan strategi O2O, Fore Coffee mengintegrasikan teknologi seperti aplikasi mobile dengan kehadiran toko ritel. Aplikasi dibuat untuk memudahkan pelanggan dalam mendapatkan produk yang diinginkan. Di sisi outlet, Fore Coffee mendesain beberapa kedai hanya untuk melayani pemesanan secara online saja. Saat ini pihaknya telah mengoperasikan 16 outlet di berbagai lokasi di Jakarta.

Menanggapi investasi ini, Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, Fore Coffee merupakan persilangan hipotesis antara industri kopi dan ekonomi digital Indonesia. Pihaknya terus berusaha untuk memperbaiki rantai industri kopi melalui konteks ekonomi digital masa kini.

“Fore Coffee adalah UKM baru yang tidak bisa eksis di Indonesia beberapa tahun lalu. Namun sekarang, ekosistem digital yang telah berkembang di Indonesia membuat UKM seperti Fore Coffee mendapatkan momentum […] Fore Coffee adalah sebuah model ‘UKM Super’, sebuah UKM yang berhasil memanfaatkan teknologi dan ekosistem digital. Bila kami bisa melakukannya, UKM lain tentu juga bisa,” ujar Willson.

Soal investasi untuk startup pengembang kedai kopi, ini bukan satu-satunya di Indonesia. Sebelumnya Alpha JWC Ventures juga telah mengucurkan pendanaan senilai $8 juta untuk Kopi Kenangan. Industri kedai kopi secara kasat mata memang tengah menggeliat naik, khususnya di kalangan konsumen milenial – baik berbentuk cafe maupun brand minuman kopi.

Application Information Will Show Up Here

TADOtv Tawarkan Konsep Video Interaktif, Pengguna yang Tentukan Alur Cerita

TADOtv merupakan aplikasi video ponsel yang menawarkan konsep interaktif. Model penyampaian kontennya seperti ini, misal pengguna memilih menonton sebuah film pendek, tiap beberapa menit pengguna akan disuguhkan opsi guna menentukan jalan ceritanya. Dari video-video yang sudah ada, rata-rata ada dua pilihan opsi yang diberikan untuk tiap skenario.

Sebagai contoh di film pendek berjudul “Bucin”, di sebuah adegan makan malam dua sejoli, sang perempuan bertanya kepada laki-laki yang terus-menerus sibuk dengan ponselnya: “lagi sibuk chatting sama siapa?”. Lantas pengguna aplikasi disuguhkan dua opsi: (1) dengan teman atau (2) dengan Ayu. Setiap pilihan akan memiliki jalan ceritanya masing-masing.

Dapatkan pendanaan awal dari Insignia Ventures Partners

Diberitakan oleh DealStreetAsia, pengembang TADOtv yakni PT Karya Anak Digital baru saja mendapatkan pendanaan awal (seed funding) dari Insignia Ventures Partners. Tidak disebutkan nominal pendanaan yang didapat platform video interaktif tersebut.

Dari kabar yang sama, sebelumnya TADOtv juga sudah mendapatkan dana modal dari Merah Putih Incubator, Stellar Kapital, Prasetia Dwidharma, Benson Capital dan Everhaus. Kami sudah mencoba menghubungi founder TADOtv untuk menanyakan lebih lanjut seputar pendanaan tersebut dan akan memperbarui artikel ini.

Sebelum merilis TADOtv, pengembang terlebih dulu menghadirkan aplikasi TADO (Tanya Dong). Masih berkutat dengan video, namun konsepnya tanya-jawab antara influencer dengan penggemarnya. Konsep gamifikasi diterapkan, untuk memberikan reward kepada pemainnya.

Startup ini didirikan oleh dua founder, yakni Steven Koesno dan Dominik Laurus.

Bekerja sama dengan pembuat konten

Pada situs resminya, TADOtv turut menginformasikan bahwa pihaknya membuka peluang untuk pembuat konten bergabung di jaringannya. Setiap konten yang dibuat diharuskan memiliki alur cerita lebih dari satu, sehingga diharapkan memberikan pengalaman yang unik untuk tiap pemirsa.

Untuk mengelola video tersebut, dari sisi pengembang konten TADOtv menyiapkan CMS (Content Management System) khusus sehingga memudahkan pembuat video membubuhkan opsi skenario.

Application Information Will Show Up Here

AwanTunai Secures 64 Billion Rupiah in Series A Round

A financial technology platform, AwanTunai, has secured Series A funding worth of $4.3 million or equivalent with Rp64 billion. It was led by Insignia Venture Partners and AMTD Group. Participated also in this round are Global Brains, Fennox Venture Capital, and some related parties. Using the fresh funding, AwanTunai aims to tighten its position in the Indonesian market with the prepared strategies and innovations.

Founded by Dino Setiawan, Windy Natriavi, and Rama Notowidigdo, AwanTunai has made digital distributions to thousands of micro-retail sellers for them to have access to working capital and payment receipts from AwanTunai consumer’s credit. As a platform, AwanTunai offers Indonesian banking and multi-finance company the ability to reach customers which their branches cannot. By digitization, the borrowing cost should be reduced and access will be provided to those haven’t been served.

As per October 2018, AwanTunai has served 300,000 loans and on this year’s Q4, the company aims to facilitate capital for 5,000 micro-merchants.

“We realize the fintech capacity is to help financial institutions to make a broader distribution for underserved market and low-cost organizations. We intend to allow banks in Indonesia providing access for all countries to the affordable and high-quality credit service.” Dino Setiawan, AwanTunai’s CEO, said.

About this investment, Yinglan Tan, Insignia Venture Partners’ Managing Partner said that he was very confident about the future of financial service is in the digital bank.

“Our investment in AwanTunai reflects their ability to be incumbent bank enabler, adopting necessary technology to distribute digital banking products,” he explained.

AMTD Group through Calvin Choi, AMTD Group’s Chairman mentioned that they are interested in the great potential ASEAN has and their investment in AwanTunai was an effort to gain a broad insight into the Indonesian market.

“We hope to make a deeper trace in Indonesia as well in the surrounding areas, and it means a partnership with AwanTunai in digital financial solution segment, including insurtech and wealthtech,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian