Human Resource as The Biggest Challenge Towards The Industrial Revolution 4.0

Some of the experts consider Indonesia requires to improve its human resource skills in the manufacturing field towards adapting to the era of Industry 4.0.

In the panel discussion at ConnectTechAsia titled “Digital Innovation in the Manufacturing Sector in Indonesia”, a number of technology observers and players leaked some biggest challenges towards the automation era.

Chairman of the National Association of Information and Communication Technology Entrepreneurs (Aptiknas) Fanky Christian said we still have low skilled talents in the manufacturing field. It happens not only in Indonesia but also in the Asia-Pacific region.

In order to adapt towards Industry 4.0, Christian highlighted the urgent need to improve talent’s skillset. He said the challenges will make different impacts on the more tech-friendly environment sectors, such as telecommunication.

“Entering the Industry 4.0, digitize and digitization become two main elements towards efficiency. Before we get there, manufacturing companies should use two approaches, it’s upskilling and reskilling, in order to stay adaptive,” he said, Wed (12/5).

In the same occasion, the Chairman of Indonesia’s Big Data & AI Association, Rudi Rusdiah saw a different obstruction in terms of technology, it’s the lack of implementation of tech-solution, such as big data and Artificial Intelligence (AI). It shows that many companies didn’t consider technology adoption as important for the business.

In fact, Industry 4.0 is the data exchange and automation trend where the implementation will be very related to the sophisticated technology adoption, such as Internet of Things (IoT), cloud, big data, and AI.

“The number of experts in the big data or AI sector isn’t large. It’s hard to find a good data scientist in Indonesia. The development cost [big data and AI] also extravagant,” he added.

Before even discussed the kinds of sophisticated technologies as mentioned, cloud adoption as the basic tech-solution is in fact low. Quoted from Gartner, the shifting from data to cloud is estimated to increase to 28% by 2022.

“In ours [service], there aren’t many implementations for manufacturing sector. They are mostly from banking institutions. Whereas, the cloud has been very useful in terms of asset revitalization, agile innovation, and digital economy growth,” Telkom Telstra’s VP Product Management Cloud & UC, Arief Rakhmatsyah said.

Another highlight is from Deputy General Manager Mitsubishi Electric, Ivan Chandra on the importance of ideation to solution and innovation that is scalable. Thus, the industry can calculate the costs incurred to be in accordance with the desired results.

Indonesia is currently in the preparation stage. The Ministry of Industry even has made a roadmap of Making Industry 4.0 stated that this revolution will be a big step for the manufacturing sector to amplify Indonesia’s economy.

The research recently published by Informa Tech has revealed some of the challenges in the manufacturing sector. In terms of technology, the main challenges are (1) the cybersecurity and backup data (57%), (2) upskilling human resources (43%), and (3) looking for a reliable tech-supplier (36%).

In terms of business, the biggest challenges are (1) skillset for competition (53%), (2) looking for new customers (47%), and (3) following or adapting through new technology (34%).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kesiapan SDM Jadi Tantangan Utama Menuju Revolusi Industri 4.0

Sejumlah pengamat menilai Indonesia perlu meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor manufaktur dalam rangka mempersiapkan diri untuk beradaptasi di era Industri 4.0.

Pada sesi diskusi panel ConnecTechAsia bertajuk “Digital Innovation in the Manufacturing Sector in Indonesia”, sejumlah pengamat dan pemain teknologi mengungkap sejumlah tantangan besar yang akan dihadapi di era otomasi tersebut.

Chairman Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Aptiknas) Fanky Christian menilai, kemampuan SDM di sektor manufaktur masih rendah. Ini terjadi tak hanya di Indonesia, tetapi juga SDM di kawasan Asia Pasifik.

Untuk beradaptasi menuju Industri 4.0, Fanky menggarisbawahi pentingnya peningkatan kemampuan SDM. Menurutnya, tantangan tersebut tentu akan sedikit berbeda dirasakan pada sektor industri yang lebih ramah dengan perkembangan teknologi terkini, misalnya sektor telekomunikasi.

“Untuk menuju Industri 4.0, digitasi dan digitalisasi menjadi dua elemen penting dalam mencapai efisiensi. Sebelum ke sana, perusahaan manufaktur perlu melakukan dua approach, yakni upskilling dan reskilling agar terus belajar beradaptasi,” ujar Fanky, Rabu (5/12).

Pada kesempatan sama, Chairman Asosiasi Big Data & AI Indonesia Rudi Rusdiah melihat tantangan lain dari sisi teknologi, yaitu masih rendahnya implementasi solusi teknologi, seperti big data dan Artificial Intelligence (AI). Ini menandakan belum banyak perusahaan melihat pentingnya adopsi teknologi terhadap bisnis.

Padahal Industri 4.0 merupakan tren otomasi dan pertukaran data di mana pelaksanaannya akan sangat lekat dengan pemanfaatan teknologi canggih, seperti Internet of Things (IoT), cloud, big data, dan AI.

“Jumlah tenaga yang kompeten di ranah big data maupun AI tidak banyak. Sulit mencari data scientist di Indonesia. Biaya pengembangan [big data dan AI] juga tidak sedikit,” ungkap Rudi.

Jangankan bicara teknologi canggih seperti contoh di atas. Adopsi cloud sebagai solusi teknologi mendasar juga belum tinggi. Mengutip data Gartner, perpindahan data ke cloud diestimasi naik menjadi 28 persen pada 2022.

“Di [layanan] kami, belum banyak sektor manufaktur yang pakai. Kebanyakan masih dari perbankan. Padahal, cloud itu memberikan manfaat pada pembaruan aset, inovasi yang lebih lincah, dan peningkatan ekonomi digital,” papar VP Product Management Cloud & UC TelkomTelstra Arief Rakhmatsyah.

Tak kalah penting, Deputy General Manager Mitsubishi Electric Ivan Chandra juga menyoroti pentingnya penciptaan solusi atau inovasi bagi industri yang seharusnya dapat terukur. Dengan demikian, industri dapat mengetahui apakah biaya yang dikeluarkan dapat sesuai hasil yang diinginkan.

Indonesia saat ini tengah berada di posisi untuk mempersiapkan hal ini. Bahkan Kementerian Perindustrian telah menerbitkan Peta jalan (roadmap) Making Industri 4.0 yang menyebutkan bahwa revolusi ini akan menjadi lompatan besar bagi sektor manufaktur untuk mendongkrak perekonomian di Indonesia.

Riset yang dirilis Informa Tech menyebutkan sejumlah tantangan yang dihadapi sektor manufaktur Indonesia. Dari sisi teknologi, tantangan utamanya antara lain (1) keamanan siber dan cadangan data (57%), (2) peningkatan kemampuan teknologi karyawan (43%), dan (3) mencari supplier teknologi andal (36%)

Sementara dari sisi bisnis, tantangan terbesarnya adalah (1) kemampuan menghadapi kompetisi (53%), (2) mencari customer baru (47%), dan (3) mengikuti atau beradaptasi dengan perkembangan teknologi baru (34%).

Pengembangan Produk Internet of Things Berskala Industri ala Telkomsel Intank

Implementasi teknologi Internet of Things (IoT) di Indonesia menunjukkan potensi yang luar biasa, mulai dari perangkat yang mempermudah kehidupan sehari-hari, hingga solusi yang mampu memecahkan masalah berskala industri. Salah satunya ditunjukkan oleh Telkomsel yang telah meluncurkan Intank (Intelligent Tank Monitoring System), solusi industrial untuk fuel management berbasis IoT.

DailySocial.id berkesempatan untuk berbincang dengan Alfian Manullang, General Manager Industrial IoT Telkomsel. Ia bercerita mengenai proses pengembangan produk IoT yang memiliki keunikan tersendiri, serta kompleksitas yang lebih tinggi daripada produk digital lainnya. Tak lupa, ia juga berbagi wawasan dan tips kepada startup dan pengembang produk yang berminat mengembangkan produk IoT di Indonesia. Berikut hasil perbincangan dengan Alfian yang telah kami rangkum.

Jika dideskripsikan secara garis besar, apa itu Intank?

Secara singkat, Intank adalah solusi industri end to end berbasis IoT yang mampu melakukan monitoring inventory secara real time pada tangki yang dimiliki perusahaan. Isi dari tangki tersebut biasanya merupakan aset berharga (valuable goods) yang berwujud bahan bakar (fuel) atau zat kimia lain yang berbentuk cairan (liquid chemical).

Apa manfaatnya bagi perusahaan?

Dengan visibilitas yang akurat terhadap aset likuid tersebut, perusahaan dapat melakukan berbagai efisiensi operasional dan perencanaan kapasitas. Misalnya untuk mengetahui kapan sebuah tangki dapat diisi ulang (replenish), serta berapa jumlah optimalnya sesuai kapasitas tangki yang dimiliki.

Apa yang menjadi tantangan dalam mengembangkan produk berbasis IoT?

Dalam IoT, selain software ada pula komponen hardware dan firmware yang dibutuhkan. Jadi, tantangan utamanya adalah menemukan hardware yang tepat. Dalam contoh Intank, menemukan hardware dan sensor yang tepat, memiliki presisi yang tinggi serta cost effective serta measurement tool yang akurat. Iterasinya juga membutuhkan waktu lebih lama, bisa sampai 6 sampai 10 kali, dan pastinya membutuhkan lebih banyak biaya untuk melakukan hal tersebut.

Oleh karena itu, dari awal kita harus mengetahui ketersediaan hardware yang kita butuhkan di pasaran. Jika sudah banyak tersedia, tinggal kita pilih berdasarkan kualitasnya, lalu cari supplier atau pemasoknya. Barulah kita dapat membangun sistem ICT dan membuatnya secara online. Namun jika hardware-nya belum tersedia di pasaran, akan lebih banyak waktu yang dibutuhkan untuk mendesain dan menciptakan hardware tersebut dari nol. Untuk contoh Intank, kebetulan sensornya sudah banyak tersedia di pasaran, dan kami pilih yang paling tinggi kualitasnya.

Bagaimana proses pengembangan inovasi di Telkomsel, khususnya untuk Intank?

Inovasi perusahaan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang dari luar ke dalam (outside in) seperti contohnya The Next Dev atau TINC yang dimiliki Telkomsel. Lalu ada pula yang sifatnya dari dalam ke luar (inside out) innoXaction atau Organisasi khusus untuk melakukan inovasi sperti IoT Business.

Di Telkomsel ada dua jenis inovasi internal yang biasa dilakukan. Pertama adalah karyawan umum yang melihat masalah dilapangan, lalu ia mencoba mengembangkan solusi atau prototype-nya. Biasanya ini dilakukan di area kerja masing-masing dan untuk kebutuhan pekerjaan mereka sendiri.

Kedua adalah organisasi atau divisi yang memang dibuat untuk melakukan inovasi. Misalnya Research Management, Business Incubation, serta Industrial IoT. Solusi Intank/Remote Tank Monitoring ini termasuk dalam inovasi dari organisasi, dimulai dari TINC batch pertama. Pada saat itu ada Bike Sharing, Aqua culture (fish feeding) , dan Smart Trash Bin. Namun yang paling terlihat tinggi potensi komersialnya adalah Intank. Sebab, dalam pengembangan bisnis IoT biasanya dimulai dari B2B atau enterprise.

Alasannya adalah karena ada potensi pasar yang besar di sana. Singkatnya pasarnya ada, kemampuan untuk pembelian/pembayarannya ada, serta masalah dan keresahan (pain points) yang dialami pun nyata. Berbeda dengan consumer IoT yang masih berkembang.

Dari sisi permasalahan dan teknologi IoT-nya, manakah yang lebih dahulu dilihat oleh Intank?

Tentu dari permasalahannya terlebih dahulu. Dalam melakukan inovasi, kami tetap menggunakan metode lean startup. Diawali dengan customer discovery & Customer Validation, mencari pain point dan masalah utama yang dihadapi customer, kemudian divalidasi lagi sampai benar-benar yakin bahwa masalah tersebut yang perlu diselesaikan. Prosesnya memang butuh waktu cukup lama, bisa sampai 2-3 bulan. Tapi memang harus seperti itu. Bahkan Albert Einstein pernah bilang, “If I had an hour to solve a problem I’d spend 55 minutes thinking about the problem and 5 minutes thinking about solutions.” Jadi pastikan dulu masalahnya apa, baru berinovasi.

Setelah masalahnya jelas, baru masuk ke fase mencari ide untuk menyelesaikan masalah tersebut. Cari berbagai kemungkinan solusi dan alternatif ide, butuh perangkat apa saja, dan sebagainya. Kalau dalam contoh Intank, kami cari tahu sensor apa saja yang diperlukan. Ternyata butuh level sensor untuk mengetahui jumlah aset, serta flow sensor untuk mengukur penggunaan dan seberapa banyak konsumsinya. Setelah sensornya terpasang, barulah dikoneksikan dengan aplikasi monitoringnya.

Setelah berhasil dijalankan, barulah kami masuk ke tahap POC (proof of concept) serta membuat prototipenya. Hal ini penting, sebab dalam sektor industri berskala besar, mereka harus dapat melihat produk dan cara kerjanya secara nyata. Tidak bisa jika kita hanya menawarkan mockup saja. Harus benar-benar ada produknya yang dapat digunakan, dan kita harus rela mengeluarkan biaya untuk mewujudkannya. Mulai dari membeli perangkat sensornya, membangun konektivitasnya, hingga membuat MVP berupa dashboard monitoring-nya. Setelah POC-nya berhasil dan seluruh konsep solusinya bekerja seperti yang diharapkan, barulah kita bisa masuk ke tahap piloting.

Dalam customer discovery selama 2-3 bulan itu, apa saja temuan yang didapatkan terkait potensi pasar dari Intank hingga sampai ke tahap ideation?

Salah satu temuan kami bahwa fuel alias bahan bakar adalah aset likuid yang paling banyak dikonsumsi. Bagi beberapa sektor industri, bahan bakar bahkan menjadi pengeluaran utama, contohnya di pembangkit listrik, pertambangan, atau BTS yang berada di wilayah terpencil. Dalam manajemen bahan bakar tersebut, berbagai masalah timbul karena tidak adanya visibilitas. Volume bahan bakar tidak dapat diukur setiap hari, tetapi sebulan sekali. Akurasi pengukurannya pun rendah, banyak terjadi human error karena mengandalkan manusia.

Karena visibilitas yang rendah, perusahaan sulit untuk memprediksi kapan harus melakukan pengisian dan pemesanan ulang stok bahan bakar tersebut. Jika terlambat diisi ulang, maka operasional akan terganggu karena bahan bakarnya sempat habis. Pengisian ulang terlalu dini juga menimbulkan masalah lain, yaitu kapasitas tangki yang tidak mencukupi, sehingga sisanya harus dikembalikan.

Dengan solusi visibilitas real time yang ditawarkan Intank, perusahaan dapat memprediksi kapan bahan bakar tersebut harus diisi ulang, serta seberapa banyak kebutuhannya menyesuaikan dengan kapasitas tangki yang dimiliki. Faktor lain seperti pencurian, kecurangan, dan pembobolan di jalan juga dapat diminimalisir dengan solusi ini.

Di mana POC pertama yang dilakukan oleh Intank?

Kami melakukan POC pertama kali di Mitratel yang juga merupakan anak perusahaan Telkom Indonesia. Banyak BTS Telkomsel berada di tempat yang dikelola oleh Mitratel. Jadi, dapat dikatakan kami memulai dengan masalah yang dialami di dalam lingkup perusahaan kami sendiri. Masalahnya besar, nilainya besar, sehingga valid dan memiliki nilai ekonomis yang bagus. Setelah melakukan piloting di sana, ternyata hasilnya bagus, dan terbukti dapat menurunkan biaya operasional mereka hingga 35%.

Validasi solusi di Mitratel tersebut membuat kami semakin yakin dan percaya diri untuk merambah pasar yang lebih luas. Mulai dari perusahaan minyak dan gas bumi, pembangkit listrik, dan sektor lainnya pasti banyak yang memerlukan sistem monitoring bahan bakar dan cairan. Akhirnya kami putuskan untuk menjadi komersial. Setelah Mitratel, saat ini ada beberapa POC yang sudah berjalan. Mulai dari Pertamina Patra Niaga (industri minyak dan gas bumi), Semen Merah Putih (industri semen), Pamapersada Nusantara (industri kontraktor pertambangan), dan Kapuas Prima Coal (industri pertambangan).

Dalam contoh Intank, karena berada dalam lingkup Telkomsel, bisa lebih mudah melakukan testing pasar ke ruang lingkup sendiri atau ke sister company. Bagaimana dengan startup yang skalanya lebih kecil?

Dalam menyasar segment B2B, kita memang harus bertemu langsung dengan korporatnya. Langkah yang paling tepat dilakukan oleh startup adalah dengan memperbesar networking. Saat ini banyak korporat yang membuka kesempatan bagi inovasi dari luar untuk masuk, misalnya dengan mengadakan program inkubasi, akselerasi, dan sebagainya. Banyak keuntungan yang akan didapatkan dengan mengikuti berbagai program tersebut. Pertama dari segi inovasi, kita dapat memvalidasi secara langsung ide inovatif yang kita miliki. Jadi bukan hanya berdasarkan hipotesis kita sendiri, tapi juga memastikan ide tersebut sesuai dengan masalah nyata yang dihadapi perusahaan tersebut.

Untuk Telkomsel sendiri apakah sudah membuka diri bagi startup yang ingin berinovasi?

Untuk masalah yang kita hadapi dalam internal perusahaan, kami akan tetap berusaha untuk mencari solusi dan berinovasi lewat berbagai divisi yang ada. Namun kami juga membuka kesempatan bagi inovasi dari luar, termasuk untuk menyelesaikan masalah di korporat yang menjadi klien Telkomsel. Salah satunya dengan membangun ekosistem lewat program TINC yang tujuan utamanya adalah mengakomodasi inovasi lewat kolaborasi dengan para inovator.

Lewat TINC, kami membuka kesempatan bagi setiap startup atau developer untuk berinovasi lewat hipotesis atau prototype yang mereka miliki, tapi tetap harus sesuai dengan tema yang telah dirancang sebelumnya agar lebih spesifik dan fokus. Misalnya saat ini fokusnya adalah industrial IoT, kami akan fokus pada hal tersebut. Hal-hal lain yang tidak berhubungan, agrikultur misalnya, akan kami kesampingkan terlebih dahulu. Namun mungkin dapat mengikuti program lain Telkomsel seperti The Next Dev yang lebih variatif.

TINC akan lebih spesifik pada industrial IoT, namun perlu kita lihat teknologi yang digunakan, serta harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kesiapan pasar saat ini. Sebab dalam IoT, banyak teknologi baru yang sedang dikembangkan, misalnya penggabungan IoT dengan AI dan machine learning, atau teknologi robotik dengan IoT.

Dengan teknologi baru tersebut, perlu kita pertimbangkan apakah kebutuhannya bagi industri sudah tinggi? Bagaimana harganya? Apakah perusahaan akan bersedia membayar dengan harga tersebut? Sebab bisa jadi konsep solusi yang ditawarkan bagus. Namun harga untuk pengembangannya, terutama dari sisi hardware masih sangat tinggi, sehingga butuh beberapa tahun lagi sampai harganya terjangkau, dapat diproduksi secara masif, serta dapat menjangkau pasar yang lebih luas.

Seberapa tinggi biaya yang dibutuhkan untuk POC tersebut?

Produk IoT sangat variatif. Ada masalah kecil, ada pula masalah besar. Untuk masalah yang lebih sederhana, seperti melakukan pengukuran temperatur dan kelembapan misalnya, sensor yang dibutuhkan lebih mudah didapat dengan harga yang lebih terjangkau. Dalam contoh Intank, kami menyediakan solusi untuk masalah yang besar dan mahal bagi perusahaan. Hardware-nya juga tidak murah, karena banyak prasyarat yang harus dipenuhi, terutama dari segi Health Safety Security Environment (HSSE). Oleh karena itu, kami harus memilih hardware dengan kualitas dan akurasi tinggi, serta telah memenuhi sertifikasi sesuai prasyarat yang dibutuhkan.

Bagaimana tips untuk startup untuk melakukan growth hacking dengan sumber daya yang terbatas?

Tidak ada yang dapat melakukan inovasi sendirian, khususnya di IoT. Bahkan perusahaan besar seperti Telkomsel tetap membutuhkan bantuan startup dan developer untuk melakukan inovasi. Lewat program TINC, kami membuka diri kepada startup dan developer untuk dapat menjangkau pasar yang lebih luas, serta memvalidasi masalah yang ditemui atau diprediksi dari hipotesis yang dilakukan.

Disclosure: Artikel ini adalah artikel bersponsor yang didukung oleh Telkomsel.

5 Tren Teknologi yang Terus Membantu Bisnis di Tahun 2020

Ekspansi dan pertumbuhan teknologi tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melambat dalam waktu dekat. Teknologi digital tak jarang menjadi disrupsi utama dalam industri. Bahkan saat ini, digital membentuk kembali bagaimana industri dan berbagai perusahaan di dalam industri tersebut dalam beroperasi dan berkinerja. Yang menarik adalah bahwa teknologi baru diadopsi dengan cepat, yang memaksa berbagai bisnis untuk beradaptasi dengan cepat atau berisiko ketinggalan.

Adaptasi teknologi teranyar punya sifat disruptif. Hal tersebut seringkali mengubah cara sebuah perusahaan beroperasi sedikit demi sedikit, bahkan terkadang mengubah secara keseluruhan. Dengan kata lain, teknologi selalu berdampak pada bisnis. Di penghujung 2019 ini, masih banyak menyisakan pertanyaan tentang bagaimana teknologi dapat terus memberikan impact terhadap sebuah industri. Oleh karena itu, berikut ini adalah tren teknologi yang akan membantu bisnis di masa depan, khususnya di tahun 2020.

Artificial Intelligence (AI) dan Big Data

Walaupun masih ada perdebatan seputar Artificial Intelligence (AI) dan perkembangannya—sebagian orang khawatir AI akan menggantikan peran manusia sementara yang lain cukup antusias tentang manfaatnya—pengembangan AI di Indonesia masih dalam tahap awal pengembangan dan masih jauh dari perkembangan true AI. Namun, apa yang berkembang sejauh ini telah menemukan jalannya ke industri dan perusahaan.

Saat ini, AI dan Big Data hadir di hampir semua bidang bisnis mulai dari fitur chatbot hingga layanan transkripsi hukum bertenaga AI yang digunakan oleh firma hukum hingga penggunaan praktis dalam industri, seperti kesehatan, manufaktur, pendidikan, dan lain-lain. AI bisa dibilang adalah teknologi yang paling cepat diadopsi karena menggunakan machine learning, pembelajaran yang dalam, dan kemampuan pengenalan alami yang dapat digunakan oleh berbagai bisnis baik besar maupun kecil. Karena potensinya yang tampaknya tidak terbatas, tren AI akan terus mempengaruhi bisnis dan mendorong inovasi melalui industri di tahun-tahun mendatang.

Selain AI, Implementasi big data atau himpunan data dalam jumlah besar umumnya lebih sering ditujukan untuk kebutuhan bisnis. Dewasa ini, big data banyak dijadikan sebagai salah satu penentu dalam pengambilan keputusan bisnis.

Berbicara dalam scope yang lebih luas, big data tak hanya diandalkan semata-mata untuk itu. Big data dapat diaplikasikan pada jenis usaha yang dapat memberikan perubahan lebih baik terhadap masyarakat.

Internet of Things (IoT)

Internet of Things (IoT) dipercaya sebagai satu teknologi yang semakin memengaruhi kinerja bisnis berbagai lini kegiatan organisasi. Transformasi digital dimungkinkan dengan memanfaatkan teknologi ini. Industry 4.0, Intelligent Transportation System dan Smart City adalah bidang yang memanfaatkan IoT sebagai enabler nya. Tren ini sudah mulai mempengaruhi bisnis modern dan akan terus meningkat di masa depan. Permintaan ini menciptakan kebutuhan akan lebih banyak perangkat IoT. Saat ini, perangkat pintar dan gadget perlahan menjadi standar tidak hanya untuk konsumen tetapi juga untuk bisnis. Perangkat, seperti Amazon Alexa, Echo, Google assitant, dan lainnya cukup populer di kalangan konsumen akhir-akhir ini.

Selain fokus pada kota-kota yang sudah melek digital. Bidang industri juga memiliki pasar yang besar untuk pengembangan dan implementasi IoT. Syarat yang sama juga berlaku pada perusahaan-perusahaan pasar IoT. Memang, untuk skala Nasional, Indonesia masih jauh dikatakan siap untuk implementasi proyek IoT ini. Namun, dengan mulai pada beberapa area yang sudah “matang” bukanlah langkah yang buruk, hal tersebut akan mempercepat pengembangan dan implementasi IoT sehingga, proyek IoT tidak berhenti.

Fintech

Fintech merupakan kolaborasi antara finansial/keuangan dan teknologi. Cepatnya kemajuan teknologi membantu para startup membangun inovasi produk keuangan yang berbeda dari perbankan konvensional. Di banyak negara, inovasi keuangan dari startup tersebut terbukti tidak hanya memunculkan solusi-solusi baru yang inovatif buat konsumen, tetapi sekaligus menggoyang industri keuangan yang sudah mapan.

Fintech merupakan salah satu contoh primadona dibandingkan industri lainnya karena terus bertransformasi. Fintech tidak melulu berbicara soal sistem pembayaran dan lending, tapi ada juga vertikal bisnis lainnya seperti insurtech, remitansi, regtech, blockchain, kripto, data analytics, dan lain sebagainya.

Alasan pertama, layanan Fintech menawarkan kecepatan. Dengan teknologi big data, penggunaan algoritma, dan proses online, keputusan kredit bisa diambil dalam rentang waktu sangat cepat jika dibandingkan bank konvensional. Pengisian aplikasi dilakukan sepenuhnya melalui online dengan desain teknologi yang sangat memahami perilaku para penggunanya. Pinjaman diproses tanpa perlu tatap muka dengan nasabah

Health Tech

Salah satu vertikal startup yang diprediksi bakal mengalami perkembangan adalah health tech. Dalam survei Gallen Growth Asia dilaporkan beberapa tren perkembangan layanan healthtech, mulai dari kategori, pendanaan, hingga sebarannya di wilayah Asia Pasifik.

Bidang kesehatan menjadi salah satu segmen yang saat ini banyak digarap oleh para pengembang di level startup. Umumnya menyediakan layanan reservasi dan direktori dokter, namun beberapa lainnya mengeluarkan inovasi baru yang siap diandalkan untuk kebutuhan medis penggunanya.

Di Indonesia, layanan teknologi kesehatan diprediksikan sebagai sektor yang menyimpan potensi besar. Salah satu layanan yang ada di industri ini adalah layanan konsultasi dokter online. Sudah banyak penyedia layanan ini tersedia di Indonesia. Sebagai bisnis yang bergantung kepada kepercayaan pengguna, tantangan besar bagi para penyedia layanan untuk bisa menjaganya.

Cloud Computing

Cloud computing (atau komputasi awan) saat ini sudah menjadi sesuatu yang sangat umum, terutama di kalangan pengembang software. Berbagai keunggulan cloud computing, seperti dalam skalabilitas, keandalan dan portabilitas membawakan daya tarik tersendiri, terlebih sistem pembayaran layanan cloud kebanyakan cukup fleksibel, yakni dibayarkan sesuai dengan penggunaan atau umum disebut dengan istilah “pay as you use”. Teknologi telah menjadi komponen kritis dalam operasional bisnis, berbagai kegiatan, terutama yang menghubungkan langsung dengan konsumen banyak ditompang olehnya, dan salah satu platform yang banyak digunakan tak lain adalah cloud computing.

Pembiayaan untuk kebutuhan teknologi dalam lebih diefisienkan dengan pemanfaatan teknologi cloud computing, seperti meminimalisir biaya pembelanjaan hardware dan pemeliharaan, namun untuk menciptakan nilai yang optimal bisnis juga harus mengenal betul kemampuan dan kebutuhannya. Cloud computing menawarkan sistem pembayaran yang cukup fleksibel, gunakan sumber daya tinggi saat penggunaan tinggi, dan minimalkan penggunaan sumber daya saat kebutuhan rendah. Hal ini bisa dicontohkan di beberapa skema bisnis, misalnya sistem yang ramai di masa tertentu, sebut saja toko online baju muslim.

Sudah cukup banyak pilihan layanan cloud yang saat ini tersaji. Karena bisnis membutuhkan teknologi yang handal untuk operasional bisnis yang berkelanjutan, pastikan bisnis memilih layanan cloud yang sudah teruji dan terpercaya. Setidaknya sudah ada case study atau pihak bisnis yang sebelumnya pernah menggunakan layanan tersebut dan memberikan testimoni baik. Terlepas dari itu layanan global ataupun layanan lokal.

Tren teknologi tersebut akan terus subur jika pengembangan produk terus dilakukan. Inisiatif inovasi dari korporasi menjadi penting dalam hal ini, terutama perusahaan dengan market access yang besar. Telkomsel sebagai perusahaan telekomunikasi dengan lebih dari 163 juta pengguna, lebih dari 189.000 BTS yang beroperasi di 11 wilayah Indonesia, dan lebih dari 5.500 talenta di dalamnya, saat ini tengah melakukan upaya transformasi digital dengan kegiatan yang dapat membuka potensi inovator Tanah Air.

Telkomsel memperkuat keseriusannya dalam mendorong inovasi digital di Indonesia tersebut melalui program Telkomsel Innovation Center (TINC). Bentuk dukungannya antara lain berupa penyediaan laboratorium IoT (bagi startup yang menggunakan teknologi ini), development funding, development kit, platform, 5G Lab, working space, serta networking access bagi para startup, developer, maupun system integrator dengan para pemain industri terkait.

Tertarik dengan program inovasi dan segala keuntungan yang bisa kamu dapatkan dengan kolaborasi bersama TINC? Telkomsel telah membuka batch 4 dari program inovasi mereka. Informasi lebih lengkap, masuk ke www.instagram.com/tinc.id dan tinc.id.

Disclosure: Artikel ini adalah artikel bersponsor yang didukung oleh Telkomsel.

Telkomsel dan Pertamina Berkolaborasi, Implementasi Solusi IoT pada Truk Pengangkut BBM

Telkomsel resmi melakukan penandatanganan kerja sama dengan PT Pertamina Patra Niaga untuk menerapkan solusi FleetSight pada kendaraan operasional truk pengangkut Bahan Bakar Minyak (BBM).

Direktur Utama Telkomsel Emma Sri Hartini mengungkapkan, kolaborasi ini adalah salah satu langkah perusahaan untuk menggenjot bisnis di segmen B2B melalui solusi berbasis teknologi, seperti IoT, big data, dan digital advertising.

“Ke depannya, kami akan menggaungkan bisnis B2B lewat mobile solution dengan mengintegrasikan ke nomor [SIM]. Cakupan jaringan 4G kami kan luas. [Solusi] ini tentu akan memudahkan akses,” ujar Emma di acara MoU dengan Pertamina Patra Niaga, Senin (2/9).

Sementara Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Nina Sulistyowati menyebutkan, penerapan FleetSight adalah bagian dari inovasi digital yang dilakukan untuk mencapai efisiensi dan produktivitas perusahaan.

“Banyak sekali kecelakaan kerja atau hal lain yang terjadi pada pendistribusian BBM. Makanya, lewat solusi ini dapat meningkatkan keamanan dan kenyamanan berkendara, termasuk menekan penipuan,” ujar Nina di sela-sela MoU ini.

Mewujudkan Smart Mobil Tangki (MT)

Dalam penjelasannya, GM Fleet Management Telkomsel Arief Teguh Hermawan mengatakan, solusi berbasis Internet of Things (IoT) ini akan diimplementasikan dalam tiga tahap. Tahap pertama, pemasangan FleetSight telah dilakukan di 1.800 armada dan siap beroperasi mulai September ini.

Sedangkan tahap kedua dan ketiga adalah peningkatan fitur FleetSight dengan mengintegrasikan sejumlah sensor tambahan dengan fungsi berbeda-beda, seperti mengidentifikasi parameter rem kendaraan dan kekentalan oli mesin.

Ia menyebut ada total 17 fitur FleetSight yang akan ditanamkan Telkomsel ke dalam moda transportasi distribusi BBM. Saat ini, sudah ada tiga yang telah beroperasi dan lima fitur yang masih dalam tahap pengembangan.

Sebetulnya, kata Arief, Fleetsight bukanlah solusi baru, melainkan solusi existing untuk segmen ritel yang diluncurkan sejak 2017. FleetSight dievolusi sejak tahun lalu sejalan dengan fokus baru Telkomsel di segmen B2B.

Big picture dari Fleetsight ini adalah [solusi] kendaraan karena kami sekarang fokus di B2B bukan di B2C. Setidaknya sekarang ada 4-6 juta kendaraan komersial, di mana adopsi [fleet management] masih di bawah 20 persen,” tuturnya.

Secara fungsi, solusi FleetSight dikembangkan untuk memonitor dan mengontrol armada kendaraan melalui perangkat berbasis satelit yang disematkan pada berbagai jenis sensor atau peralatan tambahan kendaraan.

FleetSight mampu merekam mobilitas kendaraan dan mengumpulkan informasi dalam bentuk insight dan data. Informasi ini akan diolah agar dapat memberikan peringatan secara real-time saat kendaraan melebihi kecepatan beroperasi atau melintasi rute yang bukan seharusnya.

“Kami sedang jajaki dengan beberapa sektor lain untuk implementasi solusi fleet management. Beberapa use case juga sudah disiapkan. Misalnya, monitoring genset untuk transportasi publik atau melacak pengiriman di sektor logistik,” tutup Arief.

Telkomsel Supports Bluebird in “Taksi IoT” Implementation

Telkomsel is now providing IoT for Bluebird e-taxi units. The collaboration marked by the agreement signing today (8/26).

Telkomsel’s President Director, Emma Sri Martini said, Telkomsel’s IoT implementation on Bluebird’s digital ecosystem is the realization of corporate commitment to support the government vision of Making Indonesia 4.0.

The company created IoT Control Center, a cloud-based solution that is claimed safe and secure to manage the IoT devices. IoT Control Center is capable to provide visibility and security of the company’s assets, maintain the quality, optimize the device performance and to predict costs spent.

IoT Control Center is said capable to tighten the IoT system overall through integrated devices in the Bluebird network. One is the Bluebird IoT to replace Fleety as fare-meter device and the current 2G based order receiver.

The IoT device will be supported by 4G LTE Telkomsel as a multi-functioned device attached to all types of Bluebird units. The features include fare-meter, consumer order, GPS tracking, contact with passenger and operator, also payment.

“The device is directly connected with the vehicle and capable to read data from its current condition, also send it to the Bluebird app system,” Martini said in the official release.

Blue Bird Group’s President Director, Noni Purnomo expected the latest solution to encourage corporates in accelerate work productivity and performance, in order to deliver additional value for customer service.

“We expect this collaboration to produce not only efficiency for Bluebird operation but also positive impact for Indonesia’s transportation industry through quality improvement for passengers, drivers and vehicles,” she added.

To date, Bluebird aims to distribute the IoT ecosystem to 10 thousand units by the end of 2019. Overall, it’s to reach 25 thousand units by the mid-year of 2020.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Dukungan Operator Telekomunikasi dalam Pengembangan IoT di Indonesia

Banyak alasan mengapa hingga saat ini pihak operator telekomunikasi sebagai mitra paling relevan untuk pengembangan IoT di Indonesia belum berjalan maksimal. Salah satunya masih sedikitnya data yang bisa dibagikan kepada pihak terkait untuk mengembangkan teknologi tersebut.

Dalam acara Asia IoT Business Platform 2019 di Jakarta hari ini (28/08), Director General Kominfo Ismail MT mengungkapkan, diperlukan dukungan dan keterlibatan operator telekomunikasi untuk bisa mempercepat pertumbuhan inovasi teknologi IoT saat ini. Bukan hanya dari sisi ide dan potensi, namun juga pengolahan data analitik yang sudah banyak dikumpulkan oleh pihak operator.

Menanggapi persoalan tersebut SVP – EGM Digital Service Telkom Indonesia Joddy Hernandy mengungkapkan, masih sedikitnya data yang dikumpulkan oleh operator  untuk pengembangan masih menjadi kendala. Meskipun saat ini data yang dimiliki oleh operator telekomunikasi sudah banyak dikumpulkan, namun belum bisa untuk menjadi sebuah sumber daya yang bisa dikembangkan oleh pemerintah hingga pihak terkait untuk membantu UKM.

Menurut Chief Business Officer Indosat Ooredoo Intan Abdams Katoppo, mengapa data masih sulit untuk dikumpulkan karena saat ini kebanyakan data yang disimpan di cloud computing services adalah milik asing dan tidak dimiliki oleh pihak lokal. Untuk itu ke depannya, pihak operator masih memiliki rencana dan roadmap untuk bisa mengolah data analisis untuk mendukung pengembangan IoT di Indonesia.

Kurangnya talenta digital

Persoalan lain yang juga dibahas dalam acara Asia IoT Business Platform 2019 adalah kurangnya talenta digital yang bisa mengembangkan inovasi dan produk IoT. Sementara dari sisi pihak operator, ketika data sudah dikumpulkan, mereka mengklaim masih kesulitan untuk mengolah data karena masih sedikitnya jumlah data scientist hingga data analyst yang berkualitas. Untuk itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah agar bisa mencetak talenta digital yang relevan untuk bisa membantu pihak terkait mengembangkan teknologi IoT.

Salah satu upaya yang diklaim sudah dikembangkan oleh Indosat Ooredoo adalah menjalin kemitraan strategis dengan universitas hingga pencipta produk atau product maker untuk bisa berkolaborasi memanfaatkan sumber daya yang ada dalam hal pengolahan data hingga penerapan teknologi IoT pada khususnya.

Salah satu upaya yang bisa dimaksimalkan oleh pihak terkait adalah dengan menciptakan Co-Creation, artinya ada sebuah wadah yang bisa memayungi mereka yang memiliki ide hingga solusi yang relevan memanfaatkan IoT.

“Pesan saya buatlah sebuah produk IoT yang bisa memecahkan masalah yang banyak ditemui oleh masyarakat saat ini. Secara umum pemerintah sudah menciptakan berbagai infrastruktur yang bisa dimanfaatkan oleh pihak terkait untuk menerapkan IoT. Bukan hanya smart cities namun juga teknologi IoT yang bisa menjadi enabler pelaku UKM dan industri terkait lainnya,” kata Ismail.

Kondisi konektivitas saat ini

Secara umum saat ini koneksi yang masih banyak dimanfaatkan oleh operator untuk teknologi IoT adalah 4G. Untuk jaringan 5G sendiri yang diklaim bakal membantu teknologi IoT berkembang lebih baik belum bisa diterapkan karena berbagai persoalan dan hambatan yang ada. Namun demikian pihak Indosat Ooredoo dalam hal ini, berupaya untuk meningkatkan 4G Latency untuk bisa dimanfaatkan pihak terkait yang ingin mengembangkan teknologi IoT.

Telkomsel sendiri baru-baru ini telah meresmikan kerja sama strategis mereka dengan armada taksi listrik Bluebird (e-taxi). Implementasi IoT Telkomsel ke dalam ekosistem digital Bluebird merupakan perwujudan komitmen perseroan dalam mendukung visi Making Indonesia 4.0 dari pemerintah. IoT Control Center dianggap mampu memperkuat ekosistem IoT secara menyeluruh melalui berbagai perangkat yang saling terkoneksi di dalam jaringan Bluebird. Salah satunya IoT Bluebird yang akan menjadi solusi pengganti Fleety sebagai perangkat penghitung argo, serta penerima pesanan berbasis jaringan 2G yang selama ini dipakai armada Bluebird.

“Selain dengan Bluebird, nantinya Telkomsel juga akan menjalin kolaborasi untuk mengembangkan teknologi IoT dengan Pertamina. Untuk fase pertama fokus kami masih kepada SPBU yang dimiliki oleh Pertamina. Bentuknya seperti apa intinya adalah, mendigitalkan Pertamina memanfaatkan teknologi IoT,” kata Joddy.

Telkomsel Dukung Bluebird Implementasi “Taksi IoT”

Telkomsel menjadi penyedia IoT untuk armada taksi listrik Bluebird (e-taxi). Kolaborasi ini ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS) pada hari ini (26/8).

Direktur Utama Telkomsel Emma Sri Martini mengatakan, implementasi IoT Telkomsel ke dalam ekosistem digital Bluebird merupakan perwujudan komitmen perseroan dalam mendukung visi Making Indonesia 4.0 dari pemerintah.

Perseroan menghadirkan IoT Control Center, solusi cloud-based yang diklaim aman dan terpercaya untuk melakukan manajemen perangkat IoT. IoT Control Center mampu memberikan visibilitas dan keamanan aset perusahaan, menjaga kualitas layanan, memastikan kinerja perangkat selalu optimal, serta memprediksi biaya pengeluaran.

IoT Control Center dianggap mampu memperkuat ekosistem IoT secara menyeluruh melalui berbagai perangkat yang saling terkoneksi di dalam jaringan Bluebird. Salah satunya IoT Bluebird yang akan menjadi solusi pengganti Fleety sebagai perangkat penghitung argo, serta penerima pesanan berbasis jaringan 2G yang salama ini dipakai armada Bluebird.

Perangkat IoT Bluebird akan didukung jaringan 4G LTE Telkomsel sebagai perangkat komputer multi-fungsi yang terpasang di semua tipe armada Bluebird. Fiturnya meliputi argo meter untuk taksi, pengiriman order penumpang, pelacakan posisi GPS, komunikasi dengan penumpang dan operator pusat, termasuk pembayaran.

“Perangkat ini juga terhubung langsung dengan kendaraan sehingga mampu membaca data-data vital dari kondisi kendaraan dan mengirimkannya langsung ke sistem aplikasi Bluebird,” tambah Emma dalam keterangan resmi.

Direktur Utama Blue Bird Group Noni Purnomo menambahkan dengan solusi baru ini diharapkan dapat membantu perseroan dalam mengakselerasikan produktivitas dan kinerja, sehingga mampu memberikan nilai tambah dalam melayani pelanggan.

“Kami percaya bahwa kolaborasi ini tidak hanya menghasilkan efisiensi di dalam operasional Bluebird, namun juga berdampak positif bagi industri transportasi di Indonesia melalui peningkatan kualitas layanan penumpang, pengemudi, dan kendaraan,” terang Noni.

Saat ini ekosistem IoT di armada taksi Bluebird ditargetkan dapat tersedia pada 10 ribu unit hingga akhir tahun 2019. Secara keseluruhan potensi armada yang dapat diterapkan mencapai 25 ribu unit. Angka tersebut akan dicapai hingga pertengahan tahun 2020.

Application Information Will Show Up Here

Miota Kembangkan Solusi IoT “Smart Metering”

PT Miota Internasional Teknologi (Miota) adalah salah satu perusahaan pengembang solusi berbasis Internet of Things (IoT). Mereka mengklaim telah membuat beragam solusi di berbagai bidang, seperti pertanian, telekomunikasi, kelistrikan dan lain-lain. Di tahun 2019 ini mereka mencoba fokus pada perbaikan budaya perusahaan dan melengkapi anggota tim dengan talenta-talenta berbakat.

Miota awalnya merupakan berusahaan bernama Magnar yang berkantor pusat di Depok, Jawa Barat. Setelah berhasil mendapatkan seed funding pada tahun 2018 silam mereka rebranding menjadi Miota dan pindah kantor ke kawasan Jakarta Selatan.

“Setelah mendapatkan seed funding di tahun 2018 akhirnya Magnar berpindah kantor ke Jakarta Selatan dan mengubah namanya menjadi Miota. Di tahun ini juga kami mengakusisi sebuah perusahaan product design bernama DTech Engineer di Salatiga dengan tujuan strategis,” terang CTO Miota Wawan Wiratno.

Pihak Miota cukup percaya diri menyebut dirinya sebagai penyedia layanan end to end IoT dengan tagline everything talks. Mereka mengembangkan solusi mulai dari desain dan manufakturing, konektivitas, manajemen data, analisis data, hingga machine learning.

Sejauh ini Miota telah mengerjakan beberapa solusi untuk beberapa klien perusahaan. Seperti IoT dashboard untuk weather station, Water Level Radar di Sungai Barito Kalimantan, Automation System untuk Telkomsel, Transformer Box untuk PLN Medan, Monitoring System untuk Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, dan lain sebagainya.

Setelah pendanaan dan akuisisi, mereka berusaha mengembangkan produk IoT yang bisa langsung digunakan untuk end user atau masyarakat secara umum.

“Produk unggulan Miota saat ini adalah smart metering untuk pengguna rumahan untuk listrik, air dan gas. Memberikan solusi kepada masyarakat agar dapat memonitor penggunaan energi. Dengan menggunakan teknologi LoRa, produk riset dan MVP saat ini sedang dalam proses pengembangan bekerja sama dengan BUMD sebagai produk percontohan yang berlokasi di Kabupaten Musi Banyuasin, Palembang,” terang Wawan.

Wawan lebih jauh menjelaskan layanan yang sedang mereka kembangkan akan memungkinkan pengguna untuk dapat memonitor dan melakukan pembayaran penggunaan listrik, air dan gas masyarakat. Rencananya juga akan ada aplikasi yang tersedia di perangkat mobile.

Kominfo Akan Gandeng Inkubator dalam Memberikan Sertifikasi Produk IoT

Untuk mendukung inovator di bidang IoT, Kementerian Kominfo tengah menyiapkan terobosan terkait dengan sertifikasi perangkat. Proses sertifikasi nantinya akan melibatkan inkubator startup IoT yang telah beroperasi di Indonesia, sehingga diharapkan pengajuan dan pengujian dapat terlaksana secara lebih efektif.

“Untuk melakukan sertifikasi dan memenuhi persyaratan lainnya, makers bisa dibantu oleh inkubator, contohnya seperti inkubator Telkomsel (TINC), XL dan lainnya. Pemerintah selain menjadi policy maker dan regulator, saat ini berusaha menjadi fasilitator,” ujar Direktur Standardisasi Perangkat Pos dan Informatika Mochamad Hadiyana.

Menurutnya, kolaborasi seperti ini diperlukan agar ekosistem IoT di Indonesia dapat berkembang pesat. Sejauh ini regulasi IoT mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Nomor 3 Tahun 2019 tentang Persyaratan Teknis Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi Low Power Wide Area.

“Persyaratan teknis ini mengatur perangkat LPWA baik non-seluler dan juga seluler yaitu Narrow Band IOT (NB-IoT) dan LTE Machine (LTE-M),” jelas Hadiyana.

Para pengembang IoT –dalam konteks penelitian—saat ini bisa merilis perangkat IoT selama enam bulan tanpa sertifikat. Namun jika setelah satu tahun produk berjalan dan diluncurkan ke publik, maka wajib mengajukan sertifikasi. Standar dan persyaratan teknis untuk perangkat IoT merupakan mandat Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000.

Menurut Hadiyana, tujuan sertifikasi untuk menjamin keterhubungan dalam jaringan dan mencegah saling mengganggu antar perangkat telekomunikasi. Selain itu juga sebagai tindakan preventif untuk melindungi masyarakat dari risiko kerugian dari penggunaan alat tersebut.