Alpha JWC Terlibat dalam Pendanaan 216 Miliar untuk Startup Data Quadrant Protocol

Alpha JWC termasuk dalam jajaran 30 investor di 15 negara yang memberikan pendanaan senilai $15 juta (lebih dari 216 miliar Rupiah) untuk startup data Quadrant Protocol. di Indonesia, salah satu bentuk kemitraan Quadrant Protocol dan Alpha JWC adalah pembentukan komunitas penggiat kripto Alphablock Indonesia.

Bulan lalu kami sempat meliput Quadrant Protocol ketika CEO-nya berkunjung ke Indonesia. Secara sederhana, Quadrant Protocol mengembangkan protokol berbasis blockchain yang menyediakan sistem data terdesentralisasi. Menggunakan protokol ini, individu dan perusahaan dapat membuat, mengakses, dan mendistribusikan data yang otentik.

“Kami lebih ke [menyediakan] infrastruktur teknologi yang memampukan transfer dan pemetaan data,” ujar Founder dan CEO Quadrant Protocol Mike Davie kepada DailySocial.

Tentang penggunaan teknologi blockchain, Davie mengatakan, “Kami memakai blockchain karena melihat banyaknya data yang tidak otentik. Kami pikir blockchain bagus untuk public ledger. Kalau mereka nanti create data, mereka bisa stamp untuk signature data secara real-time. Jadi data jelas dari mana data berasal.”

Selain Alpha JWC, juga turut berpartisipasi dalam putaran pendanaan ini di antaranya adalah Kenetic, Zeroth.AI, ChainRock, dan Merkle Tree Ventures.

Dalam dukungannya untuk komunitas penggiat kripto, Founder Alphablock Indonesia Maxie Soetandi mengatakan, “Quadrant Protocol adalah [produk] yang revolusioner. Kami menyukai model bisnis dan tim berpengalaman mereka dalam mengurusi layanan layanan otentikasi dan penelusuran kepemilikan data. Quadrant menyelesaikan banyak masalah tidak hanya dengan membedakan basisdata, tetapi juga melihat kepemilikan data aslinya. Ada potensi pasar yang begitu besar di Indonesia.”

Kemitraan di Indonesia akan difokuskan untuk mengedukasi komunitas data dan teknologi Indonesia melalui forum dan konferensi.

Kemenkominfo Dukung Inisiasi Dana Ventura yang Didanai Konglomerat Nasional

Menkominfo Rudiantara menyampaikan dalam waktu enam bulan ke depan akan diluncurkan sebuah badan permodalan yang menghimpun dana dari konglomerat di Indonesia untuk berinvestasi di startup teknologi.

Rudiantara memaparkan, saat ini model pelayanan dan strukturnya tengah dibahas kementeriannya dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kendati demikian belum diungkapkan berapa target besaran dana yang akan dihimpun.

Di Indonesia sendiri sudah berdiri beberapa modal ventura yang didukung oleh korporasi, misalnya Sinar Mas Digital Ventures (SMDV didukung Sinar Mas), GDP Venture (didukung Djarum Group), hingga Venturra Capital (didukung Lippo Group).

Modal ventura korporasi yang berjalan sendiri-sendiri dirasa masih tidak cukup. Dengan mengumpulkan investor konglomerat tersebut di satu wadah, diharapkan dapat menyatukan visi untuk menyuntik startup untuk pendanaan Seri A, B, C hingga “unicorn”.

Berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang memiliki pendanaan modal ventura yang berasal dan dikelola negara, pemerintah melihat penghimpunan dana grup konglomerasi sebagai cara untuk mendukung pertumbuhan industri startup teknologi nasional.

Sinar Mas Group, sebagai salah satu raksasa konglomerasi Indonesia, menyatakan siap berkontribusi menyuntikkan pendanaan melalui perusahaan modal ventura tersebut.

Saat ini Indonesia telah memiliki empat startup teknologi yang dikategorikan “unicorn” atau memiliki nilai valuasi di atas $1 miliar. Mereka adalah Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak.

Sun SEA Capital Siap Berinvestasi di Startup Asia Tenggara

Perusahaan konglomerasi Malaysia Sunway Berhad mengumumkan kolaborasinya dengan pendiri KK Fund untuk mendirikan Sun SEA Capital. Diharapkan bisa mengumpulkan dana kelolaan $50 juta (lebih dari 700 miliar Rupiah), dana yang tersedia akan dialokasikan untuk berinvestasi tahap Seri A untuk startup-startup Asia Tenggara dan Hong Kong. Sunway sendiri menanamkan modal awal $5 juta.

Startup yang disasar khususnya yang berkecimpung di bidang online-to-offline convergence, enterprise solutions, logistics, digital media/entertainment, financial technology (fintech), dan digital health (healthtech). Investasi yang diberikan per startup berkisar di nominal $1-2 juta.

Pembentukan modal ventura ini akan memungkinkan Sunway Group untuk mempercepat transformasi digital melalui investasi ke dalam sinergi startup digital.

“Penandatanganan ini merupakan pembuktian bagi Sunway Group untuk mengakselerasi langkah digital kami sebagai bagian dari perluasan regional. Selanjutnya diharapkan Sun SEA Capital bisa menarik talenta baru di seluruh kawasan, agar bisa tumbuh bersama kami,” kata President of Sunway Group Dato’ Chew Chee Kin.

Didukung investor berpengalaman

Sebagai salah satu inisiator yang bertanggung jawab memimpin Sun SEA Capital, Koichi Saito (pernah bergabung dengan IMJ Investment, kini dikenal dengan Spiral Ventures) dan Kuan Hsu (pernah bersama GREE Ventures), mendirikan VC berbasis di Singapura yang bernama KK Fund pada tahun 2015. Di Indonesia KK Fund berinvestasi ke layanan furnitur online Fabelio.

“Sun SEA Capital akan membantu Sunway Group untuk menciptakan inovasi baru dengan berinvestasi k teknologi, seperti IoT, AI dan blockchain agar bisa membangun bisnis yang stabil,” kata Koichi.

Sun SEA Capital juga akan menyediakan skenario plug-and-play kepada startup terpilih dengan memasukan startup tersebut dalam ekosistem yang telah dimiliki Sunway Group.

“Kami telah memiliki pengalaman cukup lama di Asia Tenggara. Kami akan menggabungkan sumber daya yang dimiliki Sunway Group dengan pengalaman kami selama bekerja sebagai investor di Asia Tenggara,” tutup Koichi.

Strategi Investasi MDI Ventures untuk Startup Asing

Hari ini (04/7) MDI Ventures mengumumkan pendanaannya untuk startup pengembang platform manajemen e-commerce asal Singapura, Anchanto. Pendanaan ini sekaligus menambah panjang daftar perusahaan luar yang diinvestasi melalui perusahaan modal ventura Telkom Group ini. Sejak Januari 2018, DailySocial memberitakan sudah ada 5 perusahaan asing yang mendapatkan suntikan dana melalui MDI Ventures, termasuk di antaranya Postr (Selandia Baru), Whispr (Australia), Intelligence Element (Amerika Serikat), dan Roambee (California).

Untuk memindai bagaimana strategi apa di balik sepak terjang tersebut, kami mewawancara CEO & Investment Director MDI Ventures, Nicko Widjaja. Mengawali perbincangan Nicko menjelaskan soal misi strategis pendanaan yang ditujukan pada startup luar. Ia menegaskan bahwa seluruh startup yang diinvestasi akan membuka bisnisnya di Indonesia, sekaligus memperkuat ekosistem Telkom Group di berbagai lini bisnis. Misalnya, yang terbaru, Anchanto akan bersinergi dengan Metra Logistics.

Namun di luar sana banyak yang melihat bahwa MDI Ventures erat kaitannya dengan pendanaan startup lokal. Hal tersebut dikarenakan Telkom sendiri cukup serius dalam memberdayakan startup di Indonesia melalui program-programnya. Terkait dengan ekosistem startup lokal Nicko menjelaskan bahwa ada pola sinergi yang dapat diterapkan, untuk scaling up dan product localization.

“Biasanya startup lokal di dalam portofolio kami bekerja sama dengan portofolio luar, dan tidak menutup kemungkinan portofolio luar kami melakukan investasi juga kepada startup lokal tersebut. Contohnya salah satu portofolio IoT kami telah memiliki pangsa pasar di 9 negara. Di Indonesia mereka melihat salah satu startup IoT lokal yang diinvestasi oleh MDI Ventures mengerti sekali kondisi Indonesia. Biasanya kami pertemukan agar bersinergi. Selain transfer pengetahuan dan teknologi yang terjadi adalah startup IoT luar mendapatkan kearifan lokal dari startup IoT lokal, dan sebaliknya startup IoT lokal dibawa scaling oleh startup IoT luar,” terang Nicko.

Kriteria yang ditekankan

Kendati kebanyakan startup luar yang diinvestasi memiliki model bisnis B2B, Nicko memaparkan tidak menutup kemungkinan untuk model bisnis lain, misal B2B2C atau B2G sekalipun. Jurtru ia menekankan bahwa lanskap deep-tech yang menjadi prioritas ke depannya, termasuk untuk kategori digital enterprise, AI/deep learning, IoT, big data dan sebagainya. Penguatan ekosistem startup non e-commerce dan fintech mulai menjadi perhatian MDI Ventures.

Terkait kriteria startup, MDI Ventures menyaratkan pada dua aspek utama. Pertama ialah fundamental keuangan yang solid. Lalu yang kedua, bisnis startup tersebut harus dapat bersinergi dengan unit yang terdapat dalam Telkom Group.

“Bagaimanapun kami tidak akan se-fleksibel investor lain yang kriterianya lebih dominan kepada sesuatu yang ‘intangible’ (misalnya: founder, ide, dsb). Fundamental keuangan harus solid, ini yang telah kami pelajar selama 4 tahun terakhir: cash-poor startup only result in poor collaboration. Karena akhirnya mereka hanya menjadi ‘vendor’ bukan ‘founder’. Kami lebih memilih startup menggarap new market opportunity daripada mengerjakan proyek-proyek yang sifatnya vendoring,” jelas Nicko.

Terlepas dari investasinya terhadap startup luar, MDI Ventures juga berkomitmen akan terus menggelontorkan investasi besar di Indonesia. Tahun ini dipastikan akan melanjutkan investasi ke startup lokal, bahkan dengan porsi yang lebih besar.

Startup Layanan Otomotif Montir Raih Pendanaan Seri A dari East Ventures

Startup layanan otomotif dan suku cadang on demand Montir mengumumkan perolehan dana segar seri A dari East Ventures dengan nilai yang tidak disebutkan. Dana ini akan digunakan untuk mempercepat misi perusahaan sebagai solusi ‘satu atap’ untuk kebutuhan servis otomotif.

Montir didirikan oleh Mikhail Laurus dan Dennis Eka Putra pada 2016 dengan misi yang ingin menciptakan inovasi dalam industri otomotif dengan mengaplikasikan teknologi untuk membentuk proses servis kendaraan yang lebih sederhana dan nyaman. Di Jakarta saja, pasar perbaikan kendaraan (tidak termasuk reparasi bodi kendaraan) diperkirakan mencapai US$1 miliar per tahunnya.

Namun bagi banyak orang, melakukan servis kendaraan menjadi beban tersendiri karena prosesnya yang panjang dan tidak efisien. Mereka harus menghabiskan waktu berjam-jam, bahkan hingga berhari-hari, hanya untuk mengantre dan memperbaiki mobil.

Seiring dengan pertumbuhan industri e-commerce yang cepat, Montir menyadari banyak pemilik mobil menginginkan solusi mobil ‘satu atap’. Artinya, mereka dapat menghemat waktu dan uang tanpa mengorbankan kualitas layanan. Hal ini yang ingin disasar Montir.

Montir menawarkan layanan dan perbaikan mobil on-demand, mulai dari perawatan rutin seperti penggantian oli dan servis rem, hingga perbaikan yang lebih berat seperti penggantian radiator dan perbaikan AC. Pelanggan dapat memesan layanan Montir melalui situs web atau aplikasi. Selain servis mobil, Montir juga menyediakan jasa salon mobil dan derek.

“Mendapatkan harga serta kualitas terbaik selalu menjadi tantangan di industri otomotif. Jika pemilik mobil pergi ke bengkel resmi, kualitasnya akan sangat baik tapi harganya relatif tinggi. Sementara, jika ke bengke tidak resmi, tentu akan lebih murah tapi kualitas layanannya di pertanyakan. Montir hadir dan memberikan yang terbaik dari keduanya,” terang Co-Founder Montir Mikhail Laurus dalam keterangan resmi.

Dia menerangkan untuk proses pemesanannya, pelanggan cukup membuka situs Montir. Lalu mengisi masalah mobil apa yang mereka hadapi dan memilih jadwal untuk konsultasi. Penasihat Montir akan datang untuk memeriksa mobil dan memberi saran layanan atau suku cadang apa yang perlu dibeli. Setelah pelanggan setuju, Montir akan mengirim suku cadang tersebut beserta tenaga ahlinya untuk melakukan servis mobil di lokasi pelanggan berada.

Co-Founder Montir Dennis Eka Putra mengklaim dari alur tersebut, pelanggan puas dengan layanan yang diberikan. Pihaknya juga bangga karena menjadi satu-satunya perusahaan yang dapat melakukan perbaikan skala berat dan penggantian suku cadang di rumah pelanggan dan bukan di bengkel.

“Tak hanya itu, kami juga menyediakan berbagai suku cadang dengan tingkat kualitas berbeda-beda untuk memenuhi anggaran pelanggan. Seperti kualitas asli, suku cadang aftermarket, hingga suku cadang bekas. Melalui platform kami, pelanggan akan menghemat banyak waktu dengan tidak pergi ke bengkel dan meninggalkan mobilnya selama beberapa hari,” ujar Dennis.

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan Montir memecahkan masalah inefisiensi dalam industri otomotif yang sedang tumbuh. Indonesia memiliki lebih dari 129 juta kendaraan di jalan (80% sepeda motor dan 20% mobil).

“Para pendiri berhasil menunjukkan kemampuan mereka dalam memberikan layanan otomotif berkualitas tinggi yang lebih cepat dan lebih murah di lokasi manapun. Kami percaya bahwa Montir siap untuk membawa industri jasa otomotif ke tingkat berikutnya,” tuturnya.

Bertambahnya Montir, turut melengkapi portofolio East Ventures sepanjang tahun ini. Sebelumnya perusahaan modal ventura ini juga mengumumkan sejumlah kucuran dana untuk startup seperti Nodeflux, COCOWORK (sebelumnya bernama EV Hive), PHI Integration, Sociolla, Waresix, Warung Pintar, dan masih banyak lagi.

Lippo Group Provides Funding for Tencent

Lippo Group reports a funding for China’s tech giant company Tencent. The value has reached $44 million or about Rp628 billion. Quoted from Kompas, Rudy Ramawy, Lippo Group’s Director, said that Tencent investment consists of shares and equity-linked notes (ELNs). The investment was made by Lippo’s subsidiary in Hong Kong.

“The investment is highlighting Lippo’s commitment in digital transformation and investment in the fourth industrial revolution,” he explained.

Currently, Tencent is China’s first company which market capitalization has succeeded through $500 billion in the last November and placed as one of the biggest tech company worldwide.

Tencent is the owner of WeChat and listed as the shareholder in several top-tier digital companies, such as Snapchat, Spotify, and JD.com. Tencent also involves in Go-Jek’s investment.

One thing to be highlighted from Lippo Group is their active contribution in supporting tech companies, including the on-demand transportation Grab and fintech company Ovo, which is Go-Jek’s competitor.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lippo Group Berikan Pendanaan untuk Tencent

Lippo Group mengumumkan pendanaan untuk raksasa teknologi asal Tiongkok Tencent. Pendanaan mencapai $44 juta atau sekitar Rp628 miliar. Dikutip dari Kompas, Direktur Lippo Group Rudy Ramawy mengatakan bahwa investasi di Tencent terdiri atas saham Tencent dan equity-linked notes (ELNs). Investasi ini dilakukan oleh anak perusahaan Lippo di Hong Kong.

“Investasi ini menegaskan komitmen Lippo dalam transformasi digital dan investasi di revolusi industri keempat,” jelas Rudy.

Saat ini Tencent merupakan perusahaan Tiongkok pertama yang kapitalisasi pasarnya berhasil melalui $500 miliar pada November tahun lalu dan mengukuhkan diri sebagai salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia.

Tencent merupakan pemilik aplikasi WeChat dan juga tercatat memiliki kepemilikan saham di beberapa perusahaan digital kenamaan, seperti Snapchat, Spotify, dan JD.com. Tencent juga berinvestasi di Go-Jek.

Yang menjadi salah satu sorotan adalah Lippo Group cukup aktif terlibat dalam dukungan ke perusahaan teknologi, salah satunya perusahaan on demand transportasi Grab dan perusahaan pembayaran Ovo, yang merupakan pesaing Go-Jek.

Grab Ventures Is Now Official, Ready for Startup Acceleration in Southeast Asia

Grab announces Grab Ventures as an investment unit with an objective to find and build regional innovation. Some vertical industries targeted include online payments, finance, shopping, logistics, and food delivery. Previously, Grab has made some investments (and few acquisitions) in startups, one of those is Kudo in Indonesia.

One of the reasons for the developmental urgency of Grab Ventures is for O2O (Online-to-Offline) platform acceleration as Grab’s business model. By partnering with related tech startups, it’s considered more effective to support the business demand that keeps shifting dynamically. In the near future, Grab Ventures will start a Velocity program, it’s a startup accelerator in Southeast Asia.

The accelerator program is targeting at least 10 startups to be trained in the next 24 months, includes funding and opportunity for synergy. The registration is currently open on the official site ventures.grab.com.

“Grab will play an active role to grow and develop the startup ecosystem in Southeast Asia. It’s about empowerment and we invite the developing startups wanted to grow in the region to partners with Grab Ventures,” Anthony Tan, Group CEO & Co-Founder Grab, said as quoted by e27.

One of the succession strategies, Grab Ventures will partner with several strategic institutions, both government and private. It started off as the debut in Singapore, where Grab Ventures has partnered with Info Communications Media Development Authority (IMDA). The same strategy will also be applied in other operational areas, including Indonesia, Philippines, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, and Cambodia.

Anthony Tan, in another session with CNBC, said that one thing being offered to the startups [to be trained] is an opportunity to use Grab’s capabilities, include technology, network, experts, and financial support. It includes GrabPay (electronic payment platform) that currently operating in many countries. The platform is expected to be able to support operations for the startup’s developing app.

He emphasized the key criteria for the selected startup is in growth-stage and willing to make the regional expansion. In terms of ownership, it will be flexible, he said. Some might be fully acquired, some will take minority ownership or others. With the current Grab valuation, Anthony Tan is confident that this will be a strategic step to help partners, customers, and startups to grow.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Grab Ventures Diresmikan, Siap Akselerasi Startup di Asia Tenggara

Grab mengumumkan pembentukan Grab Ventures sebagai sebuah unit investasi yang bertujuan untuk menemukan dan menumbuhkan inovasi di wilayah regional. Beberapa vertikal industri yang disasar meliputi online payments, finance, shopping, logistic, dan food delivery. Sebelumnya Grab memang sudah banyak berinvestasi (dan melakukan akuisisi) startup, salah satunya Kudo di Indonesia.

Urgensi pengembangan Grab Ventures salah satunya untuk mengakselerasi penguatan platform O2O (Online-to-Offline) yang terus dimatangkan sebagai model bisnis Grab. Karena dengan menggandeng startup teknologi di bidang terkait dinilai lebih efektif mendukung kebutuhan bisnis yang terus berubah dinamis. Dalam waktu dekat Grab Ventures akan memulai program Velocity, yakni akselerator untuk startup di Asia Tenggara.

Program akselerator tersebut menargetkan setidaknya 10 startup untuk dibina dalam 24 bulan mendatang, termasuk diberi investasi permodalan dan kesempatan sinergi dengan Grab. Saat ini pendaftaran juga sudah mulai dibuka melalui situs resminya di ventures.grab.com.

“Grab akan memainkan peran aktif untuk menumbuhkan dan mengembangkan ekosistem startup di kawasan Asia Tenggara. Ini tentang pemberdayaan, dan kami mengundang startup di tahap pertumbuhan yang ingin berkembang di wilayah regional untuk bermitra dengan Grab Ventures,” ujar Group CEO & Co-Founder Grab Anthony Tan seperti dikutip e27.

Salah satu strategi suksesi ini, Grab Ventures akan bermitra dengan beberapa institusi strategis, baik di kalangan pemerintahan maupun swasta. Ini sudah dimulai dari debutnya di Singapura, di sana Grab Ventures telah bermitra dengan Info Communications Media Development Authority (IMDA). Termasuk nantinya juga akan dilakukan hal sama di wilayah operasional lain, meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja.

Di sesi lain, Anthony Tan dalam sebuah wawancara bersama CNBC mengungkapkan, salah satu yang ditawarkan kepada para startup yang nanti dibina ialah kesempatan untuk memanfaatkan kapabilitas yang dimiliki Grab, meliputi aset teknologi, jaringan, pakar dan dukungan finansial. Termasuk platform pembayaran elektronik (GrabPay) yang saat ini sudah beroperasi di banyak negara. Harapannya platform pembayaran tersebut dapat menunjang operasional aplikasi yang dikembangkan para startup.

Anthony Tan juga menegaskan, kriteria kunci untuk startup yang dipilih ialah tengah dalam growth-stage dan memiliki kemauan kuat untuk melakukan ekspansi regional. Soal kepemilikan, ia mengatakan akan cukup fleksibel. Beberapa mungkin akan diakuisisi sepenuhnya, beberapa akan diambil kepemilikannya secara minoritas, dan lainnya. Dengan valuasi Grab saat ini, Anthony Tan cukup percaya diri langkah ini akan menjadi strategis untuk membantu mitra, pelanggan, dan startup untuk bertumbuh.

EV Hive Secures $20 Million Series A Funding

EV Hive co-working space has scored a Series A funding worth of $20 million (277 billion Rupiah) led by Softbank Ventures Korea, H&CK Partners, and Tigris Investment. All three are based in Korea. Several new investors involved in this round are Naver, LINE Ventures, and STIC Investment. Also participated are the previous investors, such as East Ventures, SMDV, Sinar Mas Land, Insignia Venture Partners, Intude Ventures, and angel investors (Michael Widjaya and Chris Angkasa).

The company plans to use the funding for expansion, including regional opportunities, to a 100 new locations. They’re claimed to have more than 3000 active members.

Previously, EV Hive has received Pre-Series A Funding worth of $3.5 million or around 46 billion Rupiah in September 2017.

EV Hive was established in June 2015 by East Venture as a “pet project” and in May 2017 has become a separate company. Currently, the co-working space company already has 21 locations in Jabodetabek and Medan. In total, the area has reached 30 thousand sqm.

Carlson Lau, EV Hive’s CEO told DailySocial, “The co-working space business has a huge potential in Indonesia because of the sheer numbers of SMEs in the country, many of whom require affordable access to workspaces and businesses services. Co-working is a powerful platform to effectively help lower these small businesses and startups’ cost of doing business. Besides, co-working currently only occupies less than 1% of the total commercial real estate space, and we think that in the future co-working will a mainstream business where more than 20% of all commercial real estates are fitted out as co-working spaces.”

In Indonesia, co-working space still considered as a new business and tend not to gain profit. However, the big players are marking their territory. US giant co-working space, WeWork, has confirmed its presence in Indonesia, while Chinese co-working space UrWork investing in local service Go-Rework.

Although it’s still focused in Jabodetabek area, Lau assured to expand to other big cities in Indonesia. He said, “Outside of Jabodetabek, we are already in Medan, and we are planning to open co-working spaces in all the major cities in Indonesia. Our expansion decision is largely to cities with strong entrepreneurial communities who require access to services, and with whom we think there are great cross city collaboration opportunities with our existing members.”

Regarding the regional expansion, Lau ensures that his team will focus on Indonesia this year but still opens opportunities for neighbor countries.

“We have already received a number of enquiries from landlords and business partners to expand into their cities in SEA countries. We see great potential in Philippines, Vietnam, Thailand and Malaysia where we witness a lot of startup activity. In fact, some of our existing members are already making plans to expand into these countries, and we plan to follow our customers in their regional expansion plans,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian