Strategi Startup Ikuti Rekam Jejak Unicorn Memperoleh Valuasi Tinggi

Untuk menjadi startup unicorn, membutuhkan perhitungan yang matang sesuai kondisi pasar saat ini. Menjadi founder atau pemilik bisnis startup harus lebih aktif mengembangkan pelayanan bisnisnya agar mendapatkan tempat di hati pengguna. Dengan begitu, akan membawa ekspektasi investor mendukung kemajuan bisnis Anda.

Bila perlu trik ini bisa digunakan pelaku startup unicorn untuk memiliki valuasi senilai 1 miliar dolar.

Menemukan model bisnis yang menguntungkan

Untuk bersaing dalam startup unicorn, harus ada pendekatan tahap awal yang lebih unik dan menguntungkan dari sebelumnya. Sebab, investasi akan datang dari suatu ide baru yang muncul di industri bisnis startup nantinya.

Seperti status unicorn pertama di Indonesia yang terjadi pada pertengahan Agustus tahun lalu. Kala itu Go-Jek sebagai layanan pendatang baru dalam pengelolaan transportasi berbasis online. Mereka mendapatkan investasi besar dengan jumlah yang tak terbayangkan sebelumnya dari KKR, Warburg Pincus, Farallon Capital serta Capital Group Private Markets.

Perhitungan kondisi dan waktu yang tepat

Meluncurkan startup dapat menjanjikan sebagai industri bisnis yang besar biasanya memanfaatkan momen yang tepat untuk meluncurkan layanan muktahir.

Dengan begitu gagasan dalam membentuk sebuah startup besar harus menemukan waktu kala mendistribusikan bisnisnya menjadi unicorn. Dengan kata lain, terciptanya pangsa pasar yang tepat sasaran dibantu pendanaan yang matang. Sama seperti unicorn lain, bisa meroket seperti sekarang ini membutuhkan timing yang baik.

Bisnis startup sesuai ekspektasi investor

Startup unicorn masih sangat menikmati struktur transaksi business-to-consumer (B2C), karena transaksi itu tidak memerlukan saham atau penyimpanan benda fisik apa pun. Namun, kondisi ini bisa saja menjadi pressure bila tak sesuai ekspektasi investor untuk menaungi bisnis startup.

Oleh karena itu adanya fase negosiasi dengan investor, dapat kita pahami dengan dua frase kunci, yaitu valuasi pra-investasi dan pasca investasi. Dengan adanya fase ini investor dapat  menentukan harga yang bersedia mereka bayar untuk sebuah investasi.

Dengan trik startup ini bisa jadi jawaban mengenai kondisi unicorn menjadi kenyataan, dengan pendanaan yang besar dan tujuan yang tepat, bisnis Anda jadi mudah di aplikasikan.

4 Hal Penting dalam Menghindari Perilaku Buruk Startup di Tahap Awal

Dalam melakukan sesuatu usaha, tak jarang ada yang menemukan hambatan, rintangan, bahkan kegagalan. Biasanya pelaku bisnis yang pernah mengalami hal seperti itu akan mengerti masalahnya dan mencoba bangkit kembali. Setelah mengetahui indikasi kegagalan, idealnya pelaku startup dapat menghasilkan bisnis yang lebih efektif.

Banyak kemungkinan yang terjadi dalam dinamika startup. Apalagi menyangkut karier atau impian Anda. Namun, tidak semua cara bisnis startup menjanjikan, ada beberapa cara yang salah dari startup yang harus dihindari, sehingga berpotensi gagal.

Terlalu dini memfokuskan pada peluang investasi besar

Dari sini Anda harus menggarisbawahi bahwa pendanaan besar terjadi karena ada peluang pasar yang besar. Padahal tidak semua bisnis startup identik dengan pasar yang tinggi. Melihat kondisi seperti ini bukan tidak mungkin beberapa startup harus mengubur impian dengan saingan bisnis yang lebih dulu besar.

Sering kali pengusaha yang percaya, bahwa mendapat investasi besar terfokus mengejar pangsa pasar yang lebih besar. Padahal, banyak startup besar tumbuh berkembang dari hal terkecil dengan tujuan mencapai keuntungan besar.

Sebagai alternatif, pangsa pasar yang dominanlah yang menarik investor datang. Karena startup dapat memahami dengan cepat pelanggan atau menciptakan keuntungan yang dapat dipertahankan. Melalui lingkup sederhana ini yang dinilai cukup menjadikan startup Anda berkembang pesat mendominasi pangsa pasar kemudian.

Modal besar dengan target tinggi

Fase ini sangat sensitif ketika dilakukan oleh pelaku startup yang baru memulai bisnisnya. Terlebih masih menggunakan pendanaan pribadi (bootstrap), memulai dengan dana besar sesuai target yang tinggi.

Padahal, target tinggi itu diraih ketika startup memiliki tonggak bisnis yang memikirkan perkembangan startup berikutnya. Seperti memperhatikan produk, manajemen yang terstruktur, dan terpenting adalah traksi/target pelanggan di awal pendapatan. Karena berhubungan langsung dengan valuasi dana yang tinggi.

Terpenting pencapaian dengan menetapkan nilai pertama startup untuk melihat target yang wajar, mengejar valuasi yang tinggi dan putaran yang besar setelah substansi tercapai.

Nilai Produk yang Terlalu Tinggi

Di sisi lain, kekayaan ide atau gagasan yang di aplikasikan terkait pengalaman teknologi atau produk Anda sangat menarik perhatian investor. Karena memiliki kualitas yang menjanjikan strategi mengarah ke persaingan bisnis.

Namun, sering kali produk yang memiliki hak cipta membuat marketvalue yang tidak masuk akal bagi para investor. Mungkin bagi startup menjunjung nilai paten akan sangat berarti, tetapi ada baiknya jalin investasi yang berhubungan erat dengan reputasi baik.

Dengan adanya pengalaman suatu ide dalam bisnis startup yang akan Anda jalani, akan percuma bila dilandasi dengan nilai terlalu berlebihan tanpa memikirkan perkembangan startup selanjutnya. Pelajari mengenal ruang bisnis Anda, maka jaminan investor akan lebih besar.

Can Local Individual Retail Investors Invest in Indonesia’s Flourishing Tech Startups?

On August 17, 2017, Tokopedia.com, the largest eCommerce marketplace in Indonesia, announced its latest round of investment of USD 1.1 billion from Alibaba Group. month before that, Traveloka, another unicorn and top online travel booking startup, received a USD 350 million investment from Expedia. The list goes on with other startups like Go-Jek and Tiket.com, both of which secured deals with local and regional/global investment firms.

Indonesia has definitely become one of the magnets for key investments by major venture and private equity funds in quest of another country with potential growth after China and India. Indonesia, with a population of 260 million, is the largest among neighboring ASEAN countries. But with more than 16,000 islands, the world’s largest archipelago faces a more challenging logistical coverage in handling its abundant natural resources and a production age group that comprises 60% of the population.

But chances are scant for Indonesian startups to undergo a public offering once they dominate certain sectors and popular business models already favored by regional/global strategic investors. Those strategic investors are likely to have major stakes already in pre-established companies, making it difficult for Indonesian institutional and retail investors to participate.

As of now, no tech startup company is listed in the Indonesian Stock Exchange. Is this an indication of scant interest from local investors to invest in technology companies?

I would say definitely the answer is not like what we have perceived. In fact, most of Ideosource’s limited partners (investors) are from Indonesia. Our LPs are sophisticated investors, but it does not mean that retail investors are not interested. It is just not possible for them to participate due to a minimum check size of investment, length of fund period that usually spans from five to ten years before getting any return, and other aspects involving limited exposure to startup investment.

Even some of my close friends have asked me whether they are able to participate in the Ideosource fund at a smaller amount. Success stories among tech startups are ubiquitous — traditional companies and local conglomerates have set up their own initiatives and funds to dabble into tech startup investments. However, most individual retail investors have no access to participate in any of those great startup successes. They can only hear about them, wondering in awe.

How about the risks?

Nevertheless, those successful startup companies are only a handful among hundreds or even thousands of startups that have existed in Indonesia — failed companies are ubiquitous too. It is not for the fainted hearts to see some of their investments go down the drain, so it is definitely a reason to call them sophisticated investors. Traditional security and asset management companies would not dare to deal with failed companies in numbers that most VCs see as normal; moreover, most of those so-called successful startup companies are not in blue or bleeding to the bone with their marketing spending to boost revenues and user base.

There is no precedence in Indonesia to a public company like Amazon, which had been in the red for 20 years until mid-2016. Amazon investors understood Amazon would need to invest big and re-invest all of its retained earnings to reach a certain stage where they dominate the market putting a (very) high barrier of entry in the sector. As a result:

“Had the average Joe decided to save $5,000 and spend it on Amazon’s stock when it first hit the public markets 20 years ago, they be worth at least $2.4 million today.”

Ideosource is no different during our early years of fund setup. We had failed startups in our list too, and most of those startups failed after not finding the follow-on investors — the ecosystem was not there. So since then, we decided to ensure our startups are cockroaches (resilient creatures) able to stay alive for longer time despite slower follow-on investment process.

It may not be justifiable from the winner-takes-all-type investment thesis, which values only one winner through buying traffic, transaction, and customers. Instead, we look into companies with passionate founders who do not believe in the “blitzkrieg” type of model, most of them believe in winning the space by being a resilient creature, because they are happy doing what they have been doing building the companies from the ground up, creating a strong team, strong culture internally and able to win the customers in the long-term by being trusted and all out to serve.

As a consequence, we have been more selective in our startup investments, but fortunately any investment we made during and after 2015 have flourished and are in a very good stage, primed for next stage exponential growth. We also learned to provide investment with enough runway for them to reach certain numbers attractive for follow-on investors to come in.

Can the risks be mitigated?

The nature of startup investment locally in Indonesia has improved a lot, Ideosource case above is just an example from our internal experience, and other venture capitals even angel investors have matured and have been exposed quite long also having met hundreds of startups and often mingle during startup events giving a much sharper decision on who are investable. Same thing with startups quality now have improved year on year getting into a stage whereby choices are wider and we know the risk to invest on the best among those pool is actually quite save, at least from the eye of an experience and exposed investors. Probably similar to Amazon investors in the early IPO days able to understand and realize Jeff Bezos’ long term goal and they stick to support its vision.

VC investment model can work well in the hand of an experience investment committee and it has to be in quantities to compensate for failed startups, many people have heard the one success or jack-pot investment will provide return and profit for the rest of nine investments or even the whole fund. As in Ideosource Fund I, one financial technology (fintech) startup provided 80x return, normalized to around 8x return as a fund. Although not as a spray and pray model and more of a specific investment thesis, the statistic proved to be true.

So is investing in Indonesian tech startups attractive?

Yes.

And, does it mean that public and individual retail investors can participate freely investing on their own? The answer is better to be “no”, simply due to several factors discussed before:

  1. Liquidity and Investment Size: a five to ten years investment period is common with a minimum check size of $50k to $250k. It may work for angels but probably not for retail and public investors.
  2. Handling the Risks: even sophisticated investors rely on venture capital firms to manage their investment simply to manage the risks. They know that those venture capitals via its investment management team will take care of portfolio screening and due diligence, diversification, and mentoring.
  3. Mentoring: this is one of the most sought after value most startups look for from their institutional and angel investors. They want to speed up the process without:
    • too much trial and error getting advise from veterans, and
    • to be introduced to the right channel and network
    • to get shared resources for back-office administration, accounting, taxation, legal, working space and many others.

How about liquidity issue?

Underwriters, brokers, clearing house, custodian, appraisers, legal firms, trustees and administrators are all part of the ecosystem surrounding the stock exchange to ensure offering and transaction are smooth without glitch and legitimate. However, we certainly know that to list a company publicly assisted by those parties in the ecosystem and to maintain it in the stock exchange are relatively expensive, moreover for smaller cap companies.

The crowdfunding site Kickstarter has radically changed the way creative ventures can raise money in the Internet age. In 2014, 3.3 million people around the world contributed more than $500 million — roughly $1,000 a minute — to finance more than 22,000 projects.

Other equity based crowdfunding startups have also emerged with attractive offering combining researched data and seasoned investor communities such as funnel.com, funderbeam.com, crowdfunder.com and many others.

Can crowdfunding sites be as popular to retail and public investors as the stock-exchange? probably yes if liquidity is there.

We see extreme cases now happening in cryptocurrency trend of raising money via Initial Coin Offering (ICO). The crypto-coin provides instant liquidity, easily tradable via blockchain platform. It is an extreme approach due to many ICOs are not based on real tangible assets, but at the end only a few will sustain its value due to many of them not supported by the right business model suitable for token trading.

A few smart crowdfunding sites now offer extended liquidity via ICO or token creation for easy secondary trading of those crowdfunded assets they have funded, and it is almost like a small private ICO with real assets being appraised and appreciated or depreciated according to the performance of the company. And the ownership of assets that have been tokenized can be traded easily by selling the token/coin to other traders, and this can happen without disturbing the underlying contract of the asset itself.

Conclusion

I truly believe that tech startup investment can be offered to Indonesian retail and public investors as in the case of traditional stock exchanges, perhaps via secondary board implementing a combination of positive factors offered by traditional stock exchanges but agile and efficient as in the new era of cryptocurrency. The key is an ecosystem inviting relevant parties and regulators to contribute according to their roles and responsibilities to ensure checks, re-checks and balances are happening during the process with reasonable costs and ease of participating.


This guest post is written by Edward Ismawan Chamdani, Ideosource Venture Capital’s Co-Founder and Managing Partner.

It’s initially published at Medium and has been republished with permission.

Raksasa E-Commerce JD Dikabarkan Investasi di GO-JEK

Perusahaan e-commerce Tiongkok JD dikabarkan terlibat dapat putaran investasi baru di GO-JEK senilai US$1 miliar, investor GO-JEK sebelumnya yakni Tencent juga disebut terlibat di dalamnya.

Dikutip dari The Information, sebenarnya babak investasi Tencent untuk GO-JEK terdiri atas dua ronde. Pertama, pada Juli 2017 senilai lebih dari Rp2 triliun. Rupanya, pada saat itu JD rupanya ikut berpartisipasi namun tidak dilaporkan. Untuk ronde kedua, kali ini JD yang memimpinnya.

Sebelum kabar ini beredar, JD juga santer disebut-sebut tertarik untuk berinvestasi di Tokopedia. Hanya saja, kabar tersebut akhirnya terbantahkan oleh CEO Tokopedia William yang secara pribadi mengumumkan langsung masuknya Alibaba dalam putaran investasi senilai lebih dari Rp14 triliun.

Kiprah investasi JD di Indonesia, sebelumnya terlihat dari partisipasi minornya untuk startup OTA Traveloka. Startup tersebut dalam setahun terakhir mendapatkan investasi hingga lebih dari Rp6,6 triliun dari East Ventures, Hillhouse Capital Group, dan Sequoia Group. Traveloka pun baru-baru ini mendapat pendanaan baru dari Expedia dengan nilai lebih dari Rp4,6 triliun.

Application Information Will Show Up Here

MDI Ventures: Kolaborasi dengan Perusahaan Besar adalah Strategi Terbaik Membesarkan Startup di Indonesia

Dalam sebuah tulisannya, Head of Rider Growth Uber Andrew Chen menyebutkan kini startup semakin “murah” untuk dimulai, tetapi semakin “mahal” untuk dikembangkan. Seribu startup bisa dibuat dalam waktu setahun-dua tahun, tapi mengembangkan 10% di antaranya hingga sebesar Go-Jek, Tokopedia, atau Traveloka adalah pekerjaan yang jauh lebih sulit.

MDI Ventures, sebuah corporate venture capital yang berada di bawah naungan Grup Telkom, dalam laporannya melihat hal ini karena ekosistem startup di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di Silicon Valley.

Di Silicon Valley sana, arah membesarkan startup melalui “model VC” lebih mudah karena strategi exit-nya lebih jelas, antara diakuisisi perusahaan teknologi raksasa (atau perusahaan investasi besar) atau go public di bursa saham. Yang disebut “model VC” adalah VC memompa dana sebesar-sebesarnya untuk pertumbuhan eksponensial. Hal yang sama dinilai tidak berlaku di tanah air.

Kolaborasi adalah kunci

Hipotesis MDI adalah untuk berkembang, startup harus berkolaborasi dengan perusahaan besar yang bisa mendukung pertumbuhan bisnis startup tersebut. Meskipun sejatinya adalah VC, sebagai CVC, CEO MDI Nicko Widjaja kepada DailySocial mengaku pihaknya kini bertindak sebagai “katalis inovasi”.

MDI berusaha mendorong sinergi portofolio startupnya dengan bisnis Grup Telkom yang fokus di bidang Telekomunikasi, Informasi, Media & Edutaintment, dan Services (TIMES). Contohnya PrivyID yang mengembangkan teknologi tandatangan digital bagi perusahaan-perusahaan Grup Telkom atau Kata.ai yang mengembangkan sistem chatbot untuk layanan pelanggan Telkomsel.

Kondisi di Indonesia

mdi_report_graphic_1

Di tanah air, menurut data yang dikompilasi MDI, disebutkan dari 53 startup yang mendapatkan pendanaan awal di tahun 2015, hanya ada 17 pengumuman perolehan dana Seri A di tahun 2016 dan sejauh ini baru 9 buah selama tahun 2017. Hal ini menunjukkan mayoritas tidak dapat memperoleh pendanaan lanjutan untuk mendukung bisnisnya.

Fakta lain yang disebutkan dalam laporan ini adalah bagaimana proses exit dalam 8 tahun terakhir, sejak Koprol diakuisisi Yahoo!, hanyalah melalui proses akuisisi. Ada 37 proses M&A (merger dan akuisisi) dan belum ada cara lain yang mendukung proses exit, meskipun Bursa Efek Indonesia sendiri bercita-cita untuk mendorong startup teknologi IPO di bursa saham dengan menawarkan berbagai insentif.

Hal-hal diyakini MDI sebagai bukti bahwa “model VC” tidak cocok dengan pasar Indonesia. Tidak adanya kesetiaan konsumen, kesulitan kesempatan pertumbuhan, dan ketiadaan ekosistem yang mendukung proses exit yang solid membuat aktivitas investasi di sektor ini menjadi rapuh.

mdi_report_graphic_2

MDI menyatakan sangat sulit bagi firma modal ventura independen di Indonesia untuk mengumpulkan dana lebih besar dari $50 juta (sekitar 650 miliar Rupiah) dan memperoleh kesuksesan di dalam waktu dekat. Disebutkan “model VC” baru dianggap sukses jika dana yang dikelola memberikan keuntungan 3-5 kali lipat dalam jangka waktu 5-8 tahun.

Penawaran MDI

MDI melihat bahwa meskipun pasarnya sangat potensial, membesarkan startup di Indonesia sangatlah menantang. Untuk itu MDI menawarkan dua pendekatan untuk memenangkan ekosistem startup di Indonesia.

Yang pertama adalah “akses ke pertumbuhan”. Akses di sini tidak cuma soal dana tapi juga kanal pengembangan bisnis. MDI menyugestikan startup untuk memanfaatkan potensi besarnya berbagai unit bisnis korporasi di Indonesia, mengubahnya “from bricks to bits” atau dengan bahasa mudahnya mendigitalkan proses bisnis konvensional yang sudah ada.

Menurut Nicko, kredo “bricks to bits” ini menjadi manifesto MDI, seperti halnya “spray and pray” dari 500 Startups atau “sprinkle and reflect” dari Wavemaker Partners.

Yang kedua adalah mengemulasi model Alibaba dalam mengembangkan ekosistem dari ujung ke ujung, dengan menciptakan perusahaan enabler di sektor logistik, finansial, dan operator e-commerce.

mdi_report_graphic_3

MDI percaya bahwa startup di Indonesia akan sukses jika mampu menciptakan ekosistem dari ujung ke ujung seperti ini, di vertikal manapun.

MDI mengakui bahwa penawaran ini tidak serta merta menjawab permasalahan di ekosistem startup Indonesia saat ini. Meskipun demikian, mereka percaya bahwa kemitraan strategis antara bisnis yang sudah ada/matang (legacy) dan startup teknologi terbukti memberikan nilai yang substansial untuk semua pihak yang terlibat.

Dua Hal yang Perlu Disiapkan Founder sebelum Bertemu Calon Investor

Bagi founder startup, mencari investor bisa menjadi alternatif yang dapat ditempuh saat dana bootstrapping mulai menipis. Namun hal-hal apa saja yang perlu disiapkan para founder sebelum bertemu mereka?

Edisi #SelasaStartup pekan kedua Agustus 2017 yang diselenggarakan DailySocial menghadirkan angel investor dari ANGIN Stephanie Hermawan dan Analyst MDI Ventures Gani Lie. Menurut mereka, setidaknya ada dua hal yang perlu disiapkan para founder. Berikut rangkumannya:

1. Tunjukkan traksi untuk membuktikan model bisnis itu sukses

Stephanie mengungkapkan, pada dasarnya angel investor itu lebih menyukai investasi startup saat masih berada dalam tahap early stage. Setiap angel investor pun memiliki selera startup yang berbeda satu sama lainnya, terlebih lagi di ANGIN.

Secara pribadi, Stephanie menyukai startup digital maupun non-digital yang berorientasi pada dampak sosial. Salah satu startup yang pernah dia investasikan adalah Kitabisa.

Saat bertemu Kitabisa ataupun startup lainnya, Stephanie selalu menekankan bahwa founder startup harus mampu menghasilkan traksi saat perusahaannya baru berdiri. Menciptakan traksi sama artinya dengan membuktikan bahwa bisnis yang dijalani jelas terbukti dapat menghasilkan uang, tanpa harus didorong dari subsidi atau dana dari investor.

Dirinya mengaku selalu melihat startup digital atau bukan, sama halnya dengan bisnis tradisional. Makanya orientasi yang selalu dia tekankan adalah menciptakan traksi.

“Waktu saya investasi ke Kitabisa, saya lihat mereka sudah ada traksi meski baru tiga bulan berdiri. Artinya model bisnis mereka itu proven, terlihat dari traksinya. Meski mereka itu startup yang memiliki social impact, namun harus memiliki unsur bisnis agar perusahaannya bisa berlangsung lama,” ucapnya.

Ia menambahkan dengan memiliki traksi, startup tersebut dapat berdiri sendiri tanpa harus disokong bantuan dari investor. Hanya saja, pertumbuhannya tidak gencar. Hadirnya investor sekadar menjadi batu loncatan bagi startup tersebut untuk melangkah lebih cepat.

“Sebab banyak founder yang dirikan startup karena ingin mendirikan startup, banyak yang tidak paham apa tujuannya. Malah ada yang sekadar cari funding saja, tanpa memerhatikan startupnya sudah menciptakan traksi atau belum.”

2. Persiapan mental dari founder startup itu sendiri

Senada dengan Stephanie, Gani menambahkan bahwa dirinya selalu meminta founder startup untuk bertemu tatap muka sebelum pihaknya berinvestasi di tempat mereka. Menurut Gani, dengan tatap muka dia dapat melihat sendiri bagaimana ambisi founder dalam mengembangkan perusahaan mereka sendiri.

“Founder harus open minded. Idealism is good, but too much is hell. Sebab pada akhirnya founder itu harus mikirin revenue,” kata Gani.

Untuk mendapat investasi tahap awal, sambungnya, startup minimal sudah harus memiliki produk dan market. Dari situ akan terlihat apakah founder bisa mengeksekusi model bisnis yang dia percaya dengan menjual produknya atau tidak.

Bantuan dari investor, sambungnya, tidak hanya berbentuk finansial saja melainkan mentoring. Investor dapat mengarahkan arah bisnis seperti apa yang perlu diubah, produk seperti apa yang dibutuhkan pengguna, dan lainnya.

Untuk peserta startup yang tergabung dalam program inkubasi di Telkom, bila mereka memiliki bisnis yang cocok, bakal diintegrasikan dengan ekosistem yang dibutuhkan perusahaan.

“Akan kami lihat bagaimana sinerginya dengan Grup Telkom bila startup punya model bisnis yang bagus.”

MDI sendiri memiliki preferensi segmen sendiri untuk startup yang dibidiknya, yakni bergerak di produk telekomunikasi, business to business (B2B), big data, analytics, dan asuransi.

EMTEK Mulai Berinvestasi di Ice House, Juga Memiliki Saham Grab

EMTEK, sebagai perusahaan terbuka, akhir Juli lalu mengumumkan laporan keuangan konsolidasian interim per tanggal 30 Juni 2017. Hal menarik yang terjadi selama triwulan kedua 2017 adalah perusahaan, melalui KMK, kini memiliki kepemilikan minoritas saham di layanan on-demand Grab dan software house Ice House. Perusahaan juga memastikan telah menjual kepemilikan 25% saham Kudo yang diakuisisi penuh oleh Grab.

Disebutkan dalam laporan ini EMTEK memiliki 1.684.455 (0,003%) saham Grab, yang kemungkinan merupakan bagian dari penjualan Kudo di atas. Secara total nilai akuisisi Kudo disebutkan berada di kisaran $70-100 juta.

Di sisi lain, EMTEK berinvestasi untuk pengembangan sumberdaya teknologi dengan mengakuisisi 2.857.535 (18,47%) saham Ice House Holdings Pte Ltd. Ice House kita kenal sebagai salah satu software house terkemuka di Jakarta yang fokus di pengembangan aplikasi dan game mobile.

Kami belum menemukan informasi soal perusahaan patungan EMTEK dan Ant Financial (operator Alipay) di laporan keuangan periode ini.

EMTEK bisa dibilang menjadi salah satu konglomerasi media besar yang memiliki visi dalam mengembangkan layanan digitalnya. Dengan BBM sebagai perekat, EMTEK berinvestasi di layanan e-commerce (Bukalapak, Lakupon), layanan pembayaran online (DOKU dan Espay), layanan travel online (Reservasi), layanan kesehatan online (KlikDokter dan Klik-Apotek), layanan video on-demand (iflix dan Vidio), layanan marketplace properti (rumah.com), layanan marketplace otomotif (carbay), dan layanan portal pekerjaan (karir.com).

Rengkuh Pendanaan 4,6 Triliun Rupiah dari Expedia, Traveloka Pastikan Status Unicorn

Di dunia industri travel online, ada dua raksasa yang menguasai pasar ini. Pertama adalah Priceline, kedua Expedia. Priceline sudah memiliki Agoda di Asia dan hari ini Expedia mengumumkan investasinya di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dengan mengambil saham minoritas di Traveloka senilai $350 juta (lebih dari 4,6 triliun Rupiah) untuk menyainginya. Selain dari Expedia, dalam setahun terakhir Traveloka secara total sudah mendapatkan dana $500 juta (lebih dari 6,6 triliun Rupiah) dari East Ventures, Hillhouse Capital Group, JD.com, and Sequoia Capital.

Menurut The Information, yang pertama kali memberitakan informasi ini, Traveloka kini bervaluasi lebih dari $2 miliar dan menjadikannya startup unicorn pertama di industri travel online Indonesia. Nilai valuasinya di Indonesia hanya kalah dari Go-Jek yang disebutkan mencapai $3 miliar pasca perolehan pendanaan dari Tencent.

Dua tahun yang lalu kami memprediksi keduanya bakal menjadi unicorn bersama Tokopedia. Tokopedia sendiri kabarnya memang sudah menjadi unicorn, tapi belum mengumumkan valuasi terbaru pasca pendanaan terakhir dari Softbank dan Sequoia di tahun 2014.

Pasca perolehan pendanaan ini, SVP Expedia Greg Schulze akan masuk ke jajaran board of director Traveloka.

Agresif mengejar pertumbuhan

Sebagai startup yang agresif mencari pertumbuhan, Traveloka aktif mengeluarkan dana untuk periklanan, termasuk baru-baru ini menjadi sponsor utama liga sepakbola utama Indonesia (bersama Go-Jek) dan acara televisi Asia’s Got Talent 2017. Di tahun 2015, menurut data Adstensity, budget periklanan Traveloka mencapai lebih dari 550 miliar Rupiah.

Traveloka bisa dibilang termasuk startup yang cukup tertutup soal pendanaan. Perolehan pendanaan terakhir yang diumumkannya adalah pendanaan Seri A di bulan September 2013 dari perusahaan investasi Rocket Internet, Global Founders Capital. Setelah itu Traveloka tidak mau berkomentar soal rumor pendanaan.

Pendanaan kali ini adalah milestone bagi Traveloka karena menjadi bagian keluarga jaringan pemain travel besar global dan mendukung rencana Traveloka menguasai pasar regional. Traveloka, yang didirikan oleh 3 orang yang pernah berkarier di Silicon Valley, kini telah hadir di 6 negara Asia Tenggara.

Co-Founder dan CEO Traveloka Ferry Unardi dalam pernyataan resminya mengatakan, “Bermitra dengan perusahaan travel global terdepan akan membantu kami fokus ke pertumbuhan berkelanjutan di dunia travel online untuk memenuhi tujuan kami menyediakan opsi travel terbaik dan pengalaman reservasi yang berkualitas.”

“Traveloka adalah pemimpin di pasar travel Indonesia dan berekspansi secara agresif di Asia Tenggara. Kemitraan kami akan memberikan keuntungan dengan keunggulan dan pengetahuan lokal masing-masing untuk mengakselerasi perkembangan bersama,” ujar President dan CEO Expedia Inc Dara Khosrowshahi.

Persaingan industri travel yang makin memanas

Kemitraan Traveloka dan Expedia adalah jawaban dari akuisisi Blibli terhadap Tiket.com. Untuk menjadi pemimpin di industri ini mereka harus bergerak agresif. Data Google dan Temasek menyebutkan di tahun 2025 nilai pasar di industri travel Asia Tenggara akan mencapai $76 miliar, dengan konsumsi di sektor travel akan mencapai 38% dari total konsumsi masyarakat Asia Tenggara di tahun tersebut.

Selain Traveloka dan Tiket.com, dua pemain travel online di Indonesia yang cukup relevan adalah Pegipegi dan Nusatrip. Meskipun demikian, Traveloka tidak lagi sekedar ingin menguasai Indonesia dan Asia Tenggara. Tersirat bahwa Traveloka bakal menggunakan jaringan Expedia untuk ekspansi Traveloka yang lebih luas.

“Kami menantikan kolaborasi dengan Expedia untuk memperluas layanan kami ke Asia dan negara-negara selanjutnya,” ujar Ferry.

Application Information Will Show Up Here

kumparan Peroleh Pendanaan dari Grup GDP Venture

Startup media hybrid kumparan mengumumkan perolehan dana dengan jumlah yang tidak disebutkan dari Global Digital International (GDI), unit investasi GDP Venture. Investor sebelumnya juga ikut berpartisipasi dalam putaran kali ini. Dana yang diperoleh disebutkan bakal digunakan untuk rekrutmen dan memperkuat tim teknologi dan tim pengembangan bisnis.

kumparan, sebagai layanan media berbasis platform media sosial, hadir secara beta sejak bulan Januari 2017, didukung tokoh-tokoh yang ikut mendirikan Detikcom. Dengan konsep sosial, pembaca kumparan dapat memilih topik-topik konten yang disukainya.

kumparan juga memudahkan masyarakat untuk memasukkan tulisannya secara UGC. On-board dalam konsep ini adalah media-media online lain, seperti Swa dan beberapa media yang berbasis di Jawa Timur.

Tentang investasi ini, CEO kumparan Hugo Diba berkomentar, “GDI merupakan mitra yang sangat cocok untuk kumparan berkat pengalaman berharga mereka dalam bidang teknologi dan internet. Di samping itu, GDI juga memiliki keahlian dan jaringan yang mampu mempercepat pertumbuhan kumparan.”

Perwakilan GDI Jerry Kasung mengatakan, “Kami berinvestasi di kumparan bukan semata karena para co-foundernya yang merupakan tokoh media ternama dengan kumpulan pengalaman lebih dari 30 tahun. Namun, konsep penyedia berita hybrid kumparan menghembuskan nafas baru dalam industri media Indonesia. Kami menyukai ide dimana pembaca juga bisa berpartisipasi dan berinteraksi dengan orang lain tentang berbagai topik berita.”


Disclosure: kumparan, DailySocial, dan GDP Venture berada di bawah naungan investor yang sama

Application Information Will Show Up Here

Layanan KTA Online JULO Peroleh Pendanaan Awal

JULO bukan Jualo atau Jualio. JULO, layanan peminjaman online yang bisa memberikan dana cepat tanpa agunan atau mudahnya KTA online, hari ini mengumumkan perolehan pendanaan awal, yang tak disebutkan jumlahnya, dari East Ventures, Skystar Capital, Convergence Ventures, dan sejumlah angel investor. Dana yang diperoleh akan digunakan untuk mengakselerasi misi JULO memberikan layanan finansial untuk seluruh masyarakat, khususnya yang tidak terjangkau perbankan.

JULO didirikan Adrianus Hitijahubessy, Hans Sebastian, dan Victor Darmadi yang bertemu saat sama-sama berkarier di Silicon Valley. Berdasarkan informasi yang kami peroleh, JULO memiliki dua produk, yaitu JULO Cicil (pinjaman KTA Rp2-8 juta dengan jangka waktu 3 – 6 bulan) dan JULO Mini (pinjaman KTA Rp 1 juta dengan jangka waktu 1 bulan). Yang dibutuhkan hanya KTP dan slip gaji. Secara umum tampak kemiripan bisnis antara JULO dan UangTeman.

Proses permintaan peminjaman dan penyertaan dokumen bisa dilakukan melalui aplikasi Android dengan verifikasi dalam jangka waktu maksimal 24 jam.

Co-Founder dan CEO JULO Adrianus Hitijahubessy dalam rilisnya menyebutkan:

“Ide JULO bermula ketika saya membangun solusi penilaian kredit berbasis AI untuk sebuah negara berkembang di perusahaan tempat kerja saya sebelumnya. Saya menyadari ketimbang membantu konsumen negara-negara Amerika Latin dan Afrika untuk memperoleh akses kredit, saya lebih baik membantu orang-orang di negara saya sendiri.”

“Setelah tinggal di luar negeri selama 20 tahun, saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan membangun JULO bersama co-founder saya,” lanjutnya.

JULO berusaha mengatasi permasalahan kurangnya akses ke peminjaman yang selama ini menjadi momok bagi 100 juta orang Indonesia. Selama ini pasar dikuasai oleh lintah darat, tetapi layanan berbasis online seperti JULO mencoba memberikan solusi yang lebih mudah dan bunga yang relatif lebih terjangkau.

Para investor memberikan pendanaan bagi JULO karena mereka percaya dengan latar belakang para pendiri yang memiliki pengalaman panjang di bidang teknis dan finansial.

Partner Skystar Capital Edward Gunawan menyebutkan pihaknya percaya bahwa memiliki algoritma penilaian kredit yang kuat merupakan kunci pembeda [JULO] dibanding startup p2p lending lainnya.

Sementara Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dengan optimis mengatakan, “JULO dapat menawarkan bunga yang secara signifikan jauh lebih rendah dibanding kompetitor (online dan offline) karena penilaian risiko kredit yang jauh lebih baik, dibantu oleh algoritma proses underwriting yang berbasis machine learning.”

Application Information Will Show Up Here