“Chaos” dan Imbasnya Terhadap Perkembangan Startup di Indonesia

Dalam sesi diskusi dengan penggiat startup di acara Indonesia Australia Digital Forum 2018, dibahas tantangan dan tren startup ke depannya. Hadir sebagai panel diskusi di antaranya adalah Founding Partner Kejora Ventures Andy Zain, Co-founder Medico Grace Tahir, Mantan CEO OLX Indonesia yang saat ini menjabat sebagai penasihat Menkominfo untuk ekonomi digital Daniel Tumiwa, Staf Khusus Menkominfo Lis Sutjiati dan Direktur Acorns Grow startup asal Australia George Lucas.

Salah satu hal yang dibahas adalah soal “chaos” di Indonesia dan bagaimana entrepreneur dengan startup dan inovasinya memecahkan kekacauan tersebut dengan menghadirkan teknologi. Menurut Daniel Tumiwa, kekacauan yang terjadi di Indonesia, justru menjadi peluang sekaligus tantangan kepada entrepreneur. Hal tersebut dapat terlihat dari perkembangan industri startup saat ini yang sudah mengalami peningkatan sejak 10 tahun terakhir, bahkan telah menghadirkan generasi kedua pendiri startup di Indonesia.

Menurut Andy Zain “chaos” atau kekacauan justru menciptakan peluang yang bagus untuk entrepreneur, agar bisa melakukan navigasi. Di sisi lain pemerintah sebagai regulator dituntut harus bisa mengejar ketinggalan dan beradaptasi dari inovasi yang diciptakan oleh entrepreneur tersebut untuk memecahkan kekacauan.

“Ciptakan inovasi segera jangan tunggu, carilah solusi terbaik, lakukan konsultasi dan raih dukungan dari pemerintah,” kata Andy.

Hal menarik yang dicermati oleh George Lucas, entrepreneur asal Australia adalah, besarnya jumlah entrepreneur muda asal Indonesia yang langsung mendirikan bisnis, sehingga jumlah entrepreneur saat ini di Indonesia makin meningkat jumlahnya.

“Hal tersebut yang membedakan Indonesia dengan Australia. Di Australia tidak banyak anak muda yang mendirikan startup atau perusahaan lainnya, sehingga tidak banyak jumlahnya.”

Besarnya pasar Indonesia

Sementara itu menurut Andy Zain, Indonesia merupakan negara yang paling tepat untuk brand hingga perusahaan teknologi mempromosikan produk mereka. Besarnya minat dan antusiasme pasar Indonesia untuk mencoba dan menggunakan berbagai produk tersebut, disebut Andy merupakan peluang bisnis yang besar dan terbukti telah banyak dimanfaatkan oleh brand ternama seperti Facebook, Google, hingga Instagram.

“Saat ini Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara dengan jumlah pengguna Facebook dan Instagram terbesar. Hal tersebut membuktikan besarnya respons dari pasar di Indonesia untuk mencoba berbagai produk terbaru yang ada.”

Namun demikian saat ini Jakarta sudah menjadi sentral dari startup industri lokal hingga asing. Makin padatnya pemain di Ibukota dinilai oleh Lis Sutjiati sebagai Staf Khusus Menkominfo, kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesia yang tinggal di luar Pulau Jawa. Sehingga idealnya untuk startup lokal hingga asing yang berencana untuk menyasar pasar yang ada, coba lakukan pendekatan kepada pasar di luar pulau Jawa.

Hal senada juga diutarakan oleh Andy Zain dan Daniel Tumiwa, yang mengajak lebih banyak pelaku startup untuk mengembangkan bisnis di pulau lain di luar pulau Jawa.

Belajar dari Australia

Hal lain yang menjadi perhatian dalam sesi diskusi tersebut adalah, masih kurangnya talenta yang memiliki pengalaman hingga edukasi cukup dalam hal pemrograman hingga Informasi Teknologi. Untuk itu belajar dari Australia yang memiliki disiplin dan pendidikan yang baik terkait hal tersebut, bisa dijadikan acuan dan pedoman oleh Indonesia.

“Saat ini sudah banyak entrepreneur asal Indonesia yang belajar di Australia kemudian mendirikan startup di Indonesia. Jika Indonesia bisa mempelajari sistem pendidikan dan disiplin yang dimiliki oleh Australia, bisa membantu Indonesia menciptakan talenta yang berkualitas,” kata Andy.

Di sisi lain, Australia juga bisa memanfaatkan Indonesia sebagai salah satu emerging market, untuk mencoba dan melihat respons pasar terhadap berbagai produk berbasis teknologi yang akan diluncurkan.

“Di Indonesia banyak entrepreneur yang berani mendirikan bisnis, orang Indonesia lebih fleksibel dan mudah beradaptasi, hal tersebut yang membuat kami lebih versatile,” kata Grace Tahir.

Prediksi segmen startup favorit di tahun 2018

Di akhir sesi diskusi, para panelis diminta untuk memberikan prediksi terkait dengan tren segmen startup favorit di tahun 2018. Grace Tahir yang fokus untuk meningkatkan layanan kesehatan di Indonesia menyebutkan healthtech masih menjadi favorit dan memiliki potensi yang besar tahun ini. Sementara Lis Sutjiati menyebutkan, selain healthtech, agro dan aqua culuture, edutech, fintech hingga tour dan travel, masih memiliki peluang besar untuk berkembang di Indonesia.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Indonesia – Australia Digital Forum 2018 (IADF 2018) 

Co-working Fintech Space Officially Launches, UnionSpace Marked Its Presence in Indonesia

Co-working space operator UnionSpace (previously known as Cre8) officially introduce its service in Indonesia by launching co-working Fintech Space in Jakarta specifically for fintech. The new office is targeted to officially operate in June 2018.

In its presence, UnionSpace partners with locals such as Indonesia’s Fintech Association (Aftech), Kejora Ventures and Gan Konsulindo. Through the strategic alliance, UnionSpace will develop partnership network includes GK-Plug and Play Indonesia and Founder Institute. Soon to be launched, a few international level startup accelerate programs.

“We are excited to be a part of business economic growth in Indonesia. One of which is in fintech. We believe that Indonesia will be a promotor for Southeast Asia’s market growth. Through Fintech Space, we support a rapid growth of fintech and an enormous wave of entrepreneurial revivals in fintech segment.” said UnionSpace’s CEO Albert Goh in the official statement.

For him, Fintech Space is expected to be a platform for collaboration among fintech stakeholders, including members of associations, regulators, finance companies, venture capital firms and the startup itself.

Besides, this venue will hold the number of fintech activities in the form of educational and sharing knowledge sessions to support capacity building of business players.

Aftech’s Chairman, Niki Luhur, added that Fintech Space could be a place for collaboration, exchange ideas and solutions as a means to create new innovations, and become the center of network development to accelerate fintech industry growth in Indonesia.

“Such public places are necessary to help accelerating fintech players work, in order to fulfill the priority of the national financial inclusion agenda for opening access to the financial services to at least 75% Indonesia’s population.” he said.

The registered members in Aftech has reached 137 people, bring together 114 fintech startup companies and 23 financial institutions.

UnionSpace itself first came up with the name Cre8 Community + Workspace. In October 2017, it receives invvestment from Kejora Ventures and Gan Konsulindo with undisclosed value. After the new investor, Cre8 in Indonesia with several other brands in Southeast Asia are fully transformed into UnionSpace.

Currently, UnionSpace is available in five locations around Jakarta, three locations in Manila and one located in Malaysia. In addition, it also has an online community platform “Enterprenity” which holds about 24 thousand users throughout the world.

Related to UnionSpace expansion, Albert Goh is targeting this year to add more than 20 locations in major Southeast Asia’s cities to be managed independently.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Resmikan Co-working Fintech Space, UnionSpace Tandai Kehadiran di Indonesia

Operator co-working space UnionSpace (sebelumnya bernama Cre8) meresmikan kehadirannya di Indonesia dengan meluncurkan co-working space Fintech Space di Jakarta khusus menaungi fintech. Kantor baru ini ditargetkan dapat beroperasi resmi pada Juni 2018.

Dalam kehadirannya, UnionSpace menggandeng mitra lokal seperti Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Kejora Ventures, dan Gan Konsulindo. Melalui aliansi strategis ini, UnionSpace akan mengembangkan jejaring kerja sama yang mengikut sertakan GK-Plug and Play Indonesia dan Founder Institute. Juga segera meluncurkan beberapa program akselasi startup bertaraf internasional.

“Kami antusias untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekosistem bisnis di Indonesia. Salah satunya di industri fintech. Kami percaya Indonesia akan menjadi salah satu motor bagi pertumbuhan pasar Asia Tenggara. Melalui Fintech Space, kami mendukung kemajuan fintech yang begitu pesat dan gelombang kebangkitan wirausaha di bidang fintech yang begitu besar,” ujar CEO UnionSpace Albert Goh dalam keterangan resmi.

Menurut Albert, Fintech Space diharapkan dapat menjadi wadah kolaborasi antara para pemangku kepentingan bidang fintech, meliputi para anggota asosiasi, regulator, perusahaan keuangan, perusahaan modal ventura, dan startup itu sendiri.

Di samping itu, tempat ini akan menjadi kegiatan diselenggarakannya sejumlah aktivitas fintech dalam bentuk sesi edukasi dan berbagi pengetahuan untuk mendukung peningkatan kapasitas para pelaku usaha.

Ketua Umum Aftech Niki Luhur menambahkan, Fintech Space dapat menjadi tempat kolaborasi, bertukar gagasan dan solusi sebagai sarana untuk melahirkan inovasi baru, serta menjadi pusat pengembangan jejaring untuk mempercepat pertumbuhan industri fintech di Indonesia.

“Ruang publik semacam ini dibutuhkan untuk membantu mengakselerasi kerja para pelaku fintech, agar dapat memenuhi prioritas agenda inklusi keuangan nasional yaitu membuka akses layanan keuangan kepada sedikitnya 75% penduduk Indonesia,” kata Niki.

Adapun anggota terdaftar dalam Aftech saat ini menghimpun 137 anggota, terdiri atas 114 perusahaan startup fintech dan 23 lembaga keuangan.

UnionSpace sendiri pertama kali hadir dengan nama Cre8 Community + Workspace. Pada Oktober 2017 lalu, menerima investasi dari Kejora Ventures dan Gan Konsulindo dengan nilai yang tidak disebutkan. Pasca investor baru masuk, Cre8 di Indonesia dan sejumlah merek lainnya di Asia Tenggara bertransformasi penuh menjadi UnionSpace.

Sejauh ini, UnionSpace beroperasi di lima lokasi di Jakarta, tiga lokasi di Manila, dan satu lokasi di Malaysia. Selain itu, juga memiliki platform komunitas online “Enterprenity” yang menampung sekitar 24 ribu pengguna dari seluruh dunia.

Terkait ekspansi UnionSpace, Albert menargetkan pada tahun ini dapat menambah lebih dari 20 lokasi di kota besar Asia Tenggara yang akan dikelola secara mandiri.

Kejora Ventures dan InterVest Korea Selatan Siapkan Dana Awal 811 Miliar Rupiah untuk Membantu Startup Korea Berkembang di Asia Tenggara

Perusahaan investasi Indonesia Kejora Ventures dan mitranya, InterVest yang berasal dari Korea Selatan, mengumumkan pembentukan “InterVest Star Southeast Asia Growth Fund I” untuk membantu startup Korea Selatan berekspansi dipasar Asia Tenggara. Dengan target total dana hingga $100 juta (lebih dari 1,3 triliun Rupiah), mereka telah mengumpulkan $60 juta (lebih dari 811 miliar Rupiah) sebagai dana awal. Kebanyakan investor yang bergabung di dana ini berasal dari Korea Selatan.

Seperti dikutip dari Bloomberg, Kepala bagian Asia Tenggara Korea Venture Investment, sebuah badan investasi yang mendukung dana ini, Kim Sang-Soo, menyebutkan Asia Tenggara sebagai pasar yang menjanjikan bagi ventura Korea.

“Dana ini akan menjembatani mereka [investor Korea] dengan mitra lokal, sehingga mereka bisa berkembang dan berekspansi di kawasan [Asia Tenggara].”

Founding Partner Kejora Ventures Andy Zain, di sumber yang sama, menyebutkan, “Bagian strategi kami adalah membawa pendiri-pendiri dan teknologi berpengalaman ke sini [Asia Tenggara] dan membantu mereka, dengan dana dan jaringan kami, untuk dengan cepat menjadi no. 1 di sektornya.”

Kejora sendiri, di luar core business awalnya di Indonesia, sudah berekspansi ke berbagai negara di Asia Tenggara, termasuk membuka kantor di Thailand, Singapura, dan Filipina. Sebelumnya, awal tahun ini, mereka juga telah menyiapkan dana sebesar $80 juta (lebih dari 1 triliun Rupiah) untuk berinvestasi di startup Asia Tenggara.

Tentang ExpandIn dan Dukungan Ekspansi Startup asal Malaysia dan Singapura ke Indonesia

Besarnya potensi pasar Indonesia menjadi salah satu alasan startup asal Malaysia dan Singapura kini makin banyak yang melakukan ekspansi ke Indonesia. Untuk memastikan bahwa bisnis yang dijalankan bakal berjalan sukses dan berkelanjutan, dibutuhkan pengenalan dan pendekatan yang cukup intensif kepada partner lokal hingga target pasar yang diincar.

Dalam hal ini Yacademy bersama dengan Malaysia Digital Economy Corporation (MDEC) menggelar kegiatan mentoring hingga networking kepada startup asal Malaysia dan Singapura yang berniat untuk melakukan ekspansi ke Indonesia melalui program ExpandIn (sebelumnya disebut Frequent Flyer Geek Program).

Dari kegiatan tersebut terdapat 4 startup asal Malaysia dan 1 startup asal Singapura yang terdaftar dan telah mengikuti kesempatan untuk bertemu dan networking dengan beberapa rekanan strategis seperti, ICEA (Indonesian Creative Entrepreneur Academy), Plug and Play, Markplus dan Tempo. Selain itu lima startup tersebut juga memiliki kesempatan untuk bertemu dengan dua venture capital yaitu Venturra Capital dan Monk’s Hill Capital Indonesia.

“Dengan mengikuti program ini diharapkan bisa memberikan persiapan hingga pemahaman bisnis kepada startup asal Malaysia dan Singapura tersebut untuk bertemu langsung dengan partner lokal agar bisa segera meluncurkan startupnya di Indonesia,” kata CEO Yacademy Arne Van Looveren.

Sementara itu Kejora Ventures yang juga mendukung kegiatan ini, menyambut baik kedatangan startup asal Malaysia dan Singapura ke Indonesia, agar nantinya startup asal Indonesia pun bisa belajar dari startup asal kedua negara tetangga tersebut, seperti yang diungkapkan oleh VP Investment dan Portfolio Kejora Andreas Surya.

“Lingkup bisnis di Malaysia tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Namun dengan adanya program ini kami bisa mengidentifikasi perbedaan kecil dalam perilaku pengguna, sehingga startup tersebut bisa beradaptasi dengan pengguna di Indonesia.”

Sementara menurut perwakilan dari Malaysia Digital Economy Corporation (MDEC) Paranee Damodaran mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi besar untuk berbagai bisnis startup mengembangkan hingga memulai usaha yang sukses. Jika diterapkan dengan tepat prosesnya, mampu memberikan pendapatan dan bisnis yang lebih tahan lama di Indonesia.

“Dengan program ExpandIn ini startup asal Malaysia dan Singapura bisa mengerti kebiasaan dan bisa melakukan pendekatan yang tepat saat melancarkan bisnis di Indonesia. Sehingga meminimalkan terjadinya kegagalan saat menjalankan bisnis di Indonesia.”

Lima startup peserta program ExpandIn

Dari kelima startup yang berencana untuk melakukan ekspansi di Indonesia, sebagian besar masih dalam tahap pembelajaran. Sehingga kebanyakan belum memiliki tim lokal secara khusus. Namun demikian lima startup ini sudah membuktikan eksistensinya di negara asal mereka Malaysia dan Singapura. Berikut adalah 5 startup peserta program ExpandIn.

Swingvy, startup asal Malaysia ini memberikan layanan HR Platform kepada perusahaan. Dengan konsep B2B, Swingvy berharap bisa memberikan layanan kepada semua perusahaan dengan konsep gratis di awal. Mengklaim memiliki platform yang komprehensif, Swingvy menargetkan untuk merangkul sebanyak 300 perusahaan di Indonesia dan menempatkan tim lokal.

Getslurp, startup asal Malaysia ini ingin memberikan layanan POS (Point of Sales) untuk restoran. Berbasis komputasi awan, Getslurp juga memberikan analitik hingga kebutuhan lainnya yang relevan untuk restoran.

Evenesis, startup asal Malaysia yang telah berdiri sejak tahun 2010 ini secara resmi telah menempatkan tim di Indonesia sejak Desember 2016 lalu. Platform yang menyediakan Event Management System, memudahkan event organizer hingga pihak lainnya untuk mengadakan acara dari awal hingga proses akhir.

iKargo, layanan B2B asal Malaysia ini, merupakan marketplace logistik untuk skala besar. Dengan platform iKargo, perusahaan yang membutuhkan logistik untuk ekspor dan impor bisa memanfaatkan platform ini dengan mudah.

EuropeanBedding, layanan marketplace asal Singapura yang menyediakan berbagai kasur dan bantal untuk tidur dengan kualitas terbaik asal Eropa. Dengan harga yang tergolong premium, EuropeanBedding ingin menjangkau lebih banyak pasar Indonesia.

Persoalan Ekosistem dan Masa Depan Startup di Indonesia

Sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang mengalami pertumbuhan paling cepat dari sisi teknologi, penetrasi smartphone dan lainnya, Indonesia juga dikenal memiliki potensi untuk investasi startup dan teknologi. Namun demikian dengan berbagai masalah yang ada, seperti kemacetan, regulasi yang kadang “tidak jelas” hingga kurangnya infrastruktur dan ekosistem starup saat ini, bagaimana masa depan Indonesia selanjutnya?

Dalam kesempatan Global Mobile Internet Conference (GMIC) Jakarta 2017, dihadirkan pelaku startup lokal hingga asing yang sudah cukup lama berkecimpung di lanskap tersebut, seperti CMO GDP Venture Danny Oei Wirianto, Co-CEO, Lazada Indonesia Florian Holm dan President Go-Jek Andre Soelistyo. Dipandu oleh Founding Partner Kejora Ventures Sebastian Togelang sebagai moderator, mengupas beberapa hal menarik terkait dengan masa depan startup di Indonesia.

Makin maraknya kehadiran investor asing

Sejak kemunculan nama besar di dunia startup yang telah sukses di Indonesia seperti GO-JEK, Tokopedia dan Traveloka, secara otomatis menarik perhatian investor dari berbagai negara. Dengan pendanaan yang bisa mencapai jumlah yang fantastis, para investor tersebut menunjukkan ketertarikan mereka untuk berinvestasi di Indonesia. Di satu sisi dinamika ini dipandang oleh CMO GDP Venture Danny Oei Wirianto merupakan hal yang positif. Dengan demikian investor asing dan lokal bisa saling belajar.

“Terkadang investor asing yang belum mengetahui kondisi startup di Indonesia banyak belajar dari investor lokal, begitu juga dengan investor lokal ada baiknya untuk melihat lebih jauh kemampuan dari investor asing.”

Menurut President GO-JEK Andre Soelistyo, meskipun saat ini sudah banyak investor asing yang masuk ke Indonesia, namun sebagian besar dari mereka menanamkan modal hanya kepada angel investor. Untuk itu calon pelaku startup harus bisa memahami dengan jelas kesepakatan yang dituntut oleh investor asing tersebut.

Hal senada juga diungkapkan oleh Co-CEO Lazada Indonesia Florian Holm, masuknya berbagai modal asing ke Indonesia, idealnya wajib dicermati dengan baik oleh startup sebelum menyetujui perjanjian tersebut.

Ekosistem startup Indonesia

Bicara mengenai ekosistem startup yang melibatkan peranan investor, stakeholder hingga pelaku startup sendiri, menurut Danny saat ini masih belum maksimal. Salah satu kendala masih belum banyaknya pendanaan yang langsung masuk ke Indonesia dan masih disimpan di Singapura, karena kondisi kemacetan di ibukota, yang menyebabkan sebagian besar investor asing enggan untuk hijrah ke Indonesia.

“Kondisi jalan dan kemacetan di Jakarta merupakan salah satu kendala mengapa saat ini masih belum banyak investor asing yang langsung memberikan pendanaan ke Indonesia.”

Sementara itu menurut Florian, persoalan talenta yang masih minim kualitas dan jumlahnya, hingga mahalnya untuk mempekerjakan tenaga engineer asing, merupakan salah satu hal yang menghambat perkembangan dunia startup di Indonesia.

Berbeda dengan Danny dan Florian, menurut Andre berbagai kendala tersebut seharusnya bukan menjadi hambatan untuk menciptakan ekosistem startup yang baik di Indonesia. Saat ini meskipun perlahan tapi pasti, Indonesia didukung oleh pemerintah, tengah mengejar ketinggalan tersebut, dan pada akhirnya bakal mampu tampil lebih unggul.

“Saya melihat 2-3 tahun ke depan bisnis vertikal bakal tumbuh dengan baik dan tidak kalah dengan negara lainnya. Berikan sedikit waktu, jika nantinya semua sudah establish pasti akan menjadi indah pada waktunya.”

Andre melanjutkan, dengan berbagai permasalahan yang ada, GO-JEK bisa hadir menjadi transportasi alternatif di awal, dan saat ini berkembang menjadi layanan pembayaran digital yang memiliki potensi sangat luas untuk dikembangkan.

––

Disclosure: DailySocial adalah media partner Global Mobile Internet Conference Jakarta 2017.

Mengupas Persoalan Krisis Talenta dan Rendahnya Minat Generasi Muda Terjun ke Dunia Teknologi

Persoalan talenta hingga kini masih menjadi perbincangan di kalangan pelaku startup, investor hingga akademisi. Makin besarnya pertumbuhan startup saat ini ternyata belum bisa merekrut secara maksimal talenta muda yang berkualitas, khususnya di bidang pemrograman/developer.

Dalam kesempatan Global Mobile Internet Conference (GMIC) Jakarta 2017, para pakar yang terdiri dari investor, entrepreneur dan akademisi yang berkecimpung langsung di dunia teknologi, membicarakan persoalan tersebut. Dari hasil diskusi terungkap beberapa hal, mulai dari rendahnya kualitas pendidik dan masih minimnya jumlah anak muda yang ingin terjun ke dunia teknologi, menjadi beberapa faktor penyebab rendahnya jumlah hingga kualitas “supply” developer di Indonesia saat ini.

Meningkatkan kualitas pengajar

Sebagai salah satu sekolah IT-Preneur yang sudah hadir sejak tahun 1987 lalu, Purwadhika Startup dan Coding School, konsisten untuk selalu memberikan pelajaran hal-hal yang terkait dengan teknologi. Jika dulunya fokus pengajaran lebih kepada pembuatan komputer, tahun 2017 ini fokus pengajaran lebih kepada pemrograman. Menurut Founder dan President Purwadhika Startup & Coding School dan Neurosoft Indonesia Purwa Hartono, salah satu kendala yang menghambat pertumbuhan tenaga ahli di bidang tersebut adalah minimnya kualitas dan kemampuan pengajar hingga lemahnya kurikulum di Indonesia saat ini. Sehingga tidak bisa menarik perhatian anak muda untuk kemudian terjun ke dunia teknologi.

“Masih banyak anak muda saat ini yang lebih senang mengejar gelar dan bekerja di perusahaan pemerintah hingga swasta. Selain itu sebagian besar dari mereka masih melihat coding dan pemrograman adalah pelajaran yang sulit untuk dicerna,” kata Purwa.

Senada dengan Purwa, CEO Hacktiv8 yang selama ini telah melahirkan tenaga coder yang sukses bekerja di startup lokal ternama seperti GO-JEK hingga Tokopedia mengungkapkan, pengajar yang berkualitas dan memiliki kesabaran tinggi menjadi faktor penentu keberhasilan siswa. Dalam hal ini Hacktiv8 yang merupakan kelas Pemrograman Full Stack JavaScript di Jakarta, memiliki misi untuk melahirkan tenaga kerja baru yang bisa diandalkan dan memiliki akuntabilitas. Seperti yang diungkapkan oleh CEO, Hacktiv8 Ronald Ishak.

“Untuk memastikan siswa dari Hacktiv8 nantinya bakal langsung diterima di startup ternama di Indonesia saat ini, kami terus melakukan kolaborasi dengan startup seperti GO-JEK hingga Kudo.”

Dukungan investor dan pemerintah

Untuk bisa menciptakan sebuah peluang sekaligus mengumpulkan tenaga muda yang memiliki minat menjadi engineer, dukungan dari investor lokal hingga asing dan pemerintah juga memiliki peranan penting. Dalam hal ini menurut Founding Partner Kejora Ventures dan Direktur Founder Institute Andy Zain, melalui venture capital dan Founder Institute yang ia pimpin diharapkan bisa menghasilkan calon entrepreneur dan startup berkualitas, melalui program binaan yang dilakukan oleh Kejora sekaligus Founder Institute.

“Hingga kini kami cukup bangga telah memiliki startup binaan yang berhasil memenangkan kompetisi startup. Sesuai dengan tujuan dari kami yaitu mencetak startup juara yang berkualitas.”

Bukan hanya hadiah berupa uang Rp100 juta yang diberikan oleh Founder Institute, namun juga kesempatan untuk mengembangkan produk hingga proses validasi. Jika startup telah melewati proses tersebut, Founder Institute akan mendukung hingga peluncuran produk tiba.

Untuk itu pemerintah melalui Bekraf, idealnya juga bisa memikirkan cara-cara baru yang bisa memancing minat dari anak muda Indonesia untuk menjadi entrepreneur di bidang teknologi yang berkualitas.

“Selain dari roadmap yang dimiliki oleh Bekraf, tentunya dukungan dari investor, kelas pemrograman dan sekolah startup bisa turut membantu untuk menciptakan engineer hingga startup baru lebih banyak lagi,” kata Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari.

––

Disclosure: DailySocial adalah media partner Global Mobile Internet Conference Jakarta 2017.

Gandeng Kejora Ventures, H-Cube Resmikan Komunitas Healthtech di Indonesia

Dalam beberapa kesempatan, para investor dan pelaku startup kerap menyebutkan bahwa healthtech, industri teknologi kesehatan, bakal menjadi salah satu sektor menjanjikan yang bisa dikembangkan startup. Masih minimnya kemudahan dan fleksibilitas dari layanan kesehatan konvensional di tanah air, memberikan celah kepada pengembang hingga pelaku startup untuk menghasilkan layanan berbasis digital di bidang kesehatan.

Untuk mendukung lebih banyak pelaku startup dan ekosistem berkembang lebih cepat, H-Cube coworking space yang secara khusus menargetkan startup di kategori kesehatan, gaya hidup dan life science, bersama dengan Kejora Ventures telah menyetujui Nota Kesepahaman (MoU) untuk kemajuan healthtech di Indonesia.

Fokus utama dari kerja sama ini adalah membentuk komunitas Healthtech 1.0. Acara peresmian tersebut turut dihadiri Dr Ivan Rizal Sini, SpOG (Komisaris BMHS), Sebastian Togelang (Founding Partner Kejora Ventures), Dr Bimantoro (Founder Prosehat), Christina (Founder Medis Online Indonesia), dan Alva Erwin (Big Data Expert).

Kepada DailySocial, Community Manager H-Cube Herman Sutiono mengungkapkan komunitas ini bisa menjadi wadah yang tepat untuk pelaku startup yang serius untuk menciptakan inovasi di bidang kesehatan sekaligus menjadikan healthtech sebagai sektor startup yang memiliki potensi cerah di masa mendatang.

Healthtech  community adalah komunitas yang di harapkan di penuhi oleh seluruh penggiat startup kesehatan, baik yang sudah mendapatkan pendanaan atau masih melakukan bisnis secara boostrapping untuk saat ini.”

Menggandeng Kejora Ventures

Masuknya Kejora Ventures mendukung komunitas healthtech diharapkan bisa menambah dukungan serta perluasan informasi untuk merangkul lebih banyak talenta muda yang memiliki ketrampilan dan produk yang relevan dengan dunia kesehatan.

“Saya harap ini adalah permulaan dari bangkitnya healthtech di Indonesia. Kita menggabungkan ide-ide, pikiran serta tenaga,” tambah Sebastian.

Sebagai langkah awal, komunitas healthtech bakal menggelar berbagai kegiatan yang terintegrasi. Hal ini untuk mempermudah para pelaku startup mendapatkan informasi, bertemu dengan pihak terkait yang relevan, dan membuka lebih banyak kesempatan talenta muda melakukan eksplorasi terhadap layanan kesehatan di Indonesia.

Perkembangan Andalin, Ayoslide, dan Stylecation Setelah Ikuti Program Ideabox Batch Keempat

Tiga startup yang terpilih ke dalam batch keempat program akselerator Ideabox merayakan kelulusannya, kemarin (22/8). Ketiga startup tersebut ialah Andalin, Ayoslide, dan Stylecation. Mereka berhasil melalui mentoring 120 hari dan konsultasi intensif dengan pakar bisnis dari berbagai industri baik lokal maupun internasional. Kelulusan sekaligus menandai berakhirnya program akselerasi yang telah dimulai sejak April 2017.

Dalam sambutannya, Chief of New Business and Innovation Indosat Ooredoo Prashant Gokarn mengungkapkan pihaknya bangga dengan ketiga startup tersebut karena telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam keterampilan berbisnis dan kepemimpinan.

“Program ini telah membantu mereka membukakan pintu untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan bereputasi besar di bidangnya. [..] Indosat Ooredoo memiliki komitmen jangka panjang untuk tetap mendukung lulusan Ideabox melalui dukungan komersial ke market untuk mengembangkan bisnis masing-masing,” kata dia.

Founding Partner Kejora dan Managing Director Ideabox Andy Zain menambahkan, “Ukuran batch yang kecil ini membantu kami untuk lebih fokus pada kebutuhan individu setiap startup. Kami bekerja sangat dekat dengan para founder dan bekerja melalui iterasi produk mereka.”

Melalui dukungan sehari-hari, workshop, dan sesi mentoring memberi pengaruh dan dampak yang penting dalam pengembangan ketiga bisnis startup tersebut. Berikut adalah rangkumannya:

Andalin

Sebelumnya, Andalin adalah layanan integrasi satu pintu yang fokus pada kepabean untuk membantu usaha kecil hingga menengah. Layanan yang ditawarkan awalnya adalah air cargo, pengiriman kontainer skala kecil, dan custom handling.

Namun kini Andalin mengubah fokus bisnisnya untuk segmen usaha menengah ke atas dengan layanan pengiriman lewat angkutan udara dan laut, lisensi ekspor impor, dan custom handling.

“Setelah lalui banyak seminar, kami putuskan untuk redefine bisnis model. Kami juga menambah orang dari awalnya tiga co-founder, kini menjadi tujuh orang,” terang Co-Founder dan CEO Andalin Rifki Pratomo.

Andalin juga telah bekerja sama dengan perusahaan logistik, seperti Agility Logistics, BDP, DexTrans, JNE, Samudera Indonesia, dan Yusen Logistics. Lewat kerja sama tersebut, layanan Andalin kini dapat mencakup pengiriman untuk lebih dari 50 rute internasional. Beberapa pengguna Andalin di antaranya NutriFood dan Wings.

Beberapa inisiatif antara Andalin dan Indosat termasuk penawaran produk B2B kepada klien Indosat, affiliate partnership, dan lainnya.

“Tahun depan kami berencana untuk mengajukan lisensi pengiriman barang, trade finance integration, keanggotaan WCA, dan data mining & AI integration.”

Ayoslide

Ayoslide adalah plaform iklan marketing yang memberi insentif bagi konsumen melalui lockscreen ponsel, berupa koin virtual untuk ditukarkan ke berbagai hadiah.

Aplikasi Ayoslide sendiri baru hadir pada Maret 2017. Perkembangan Ayoslide sejak berdiri hingga lulus dari Ideabox berhasil mengakuisisi 100 ribu pelanggan organik terdaftar dalam empat bulan, meski pada April 2017 baru mendapat 5 ribu pengguna terdaftar.

“Selain itu aplikasi Ayoslide sudah di-click lebih dari 600 ribu kali, 1 juta impresi, dan sudah diunduh 120 ribu kali. Tim Ayoslide juga bertambah dari awalnya tiga orang menjadi enam orang,” terang Founder dan CEO Ayoslide Rizki Fitriana Sari.

Bersama Indosat, Ayoslide menyediakan ruang iklan untuk mengunduh aplikasi Indosat kepada para penggunanya, juga mengirim SMS blast.

Stylecation

Stylecation atau dulu lebih dikenal dengan Sevva, kini berganti model bisnis sekaligus nama startup. Sebelumnya Sevva adalah platform rental marketplace, memudahkan pengguna untuk sewa menyewa online berbagai macam produk. Sevva resmi berdiri Juni 2016.

Perusahaan akhirnya mengubah strategi bisnisnya menjadi fokus soal sewa menyewa baju dan fesyen yang telah diseleksi dari butik dan desainer.

“Perubahan model bisnis kami dimulai sejak Juli 2017 lalu. Kami memutuskan untuk mengganti fokus bisnis setelah kami mendapat berbagai arahan dari mentor,” ujar Co-Founder dan CEO Stylecation Erik Hormein.

Meski baru mengganti bisnis, Stylecation kini sudah memiliki lebih dari 200 desain baju terseleksi dengan foto berkualitas tinggi. Ke depannya Stylecation akan fokus menambah inventori mereka dari desainer dan butik ternama. Lokasi yang disasar tahun ini adalah Jabodetabek, sementara tahun depan akan mulai berekspansi ke Surabaya, Bandung, dan Bali.

Dalam presentasinya, Erik mengungkapkan hal pertama yang ia lakukan saat menjadi peserta Ideabox adalah merekrut orang hebat. Saat ini tim Stylecation bertambah jadi sembilan orang, dari awalnya empat orang.

“Setelah itu, kami banyak belajar untuk test fast and iterate, sebab ide itu hanya akan percuma jika tidak segera diaplikasikan,” pungkas Erik.

Layanan Tutor Online Hong Kong SnapAsk Optimis Masuki Pasar Indonesia

Seminggu yang lalu, Kejora Ventures mengumumkan penambahan portofolio dengan berpartisipasi di pendanaan Pra-Seri A senilai total lebih dari 65 miliar Rupiah untuk startup teknologi pendidikan Hong Kong SnapAsk. DailySocial berkesempatan bertemu langsung dengan pendiri dan CEO SnapAsk Timothy Yu dan berdiskusi tentang bagaimana rencananya berekspansi di pasar Indonesia.

Kepada DailySocial, Managing Partner Kejora Ventures Eri Reksoprodjo menjelaskan bahwa pihaknya memiliki “niat mulia” dengan berinvestasi di ranah pendidikan dengan harapan bisa membantu pemerintah meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan ke seluruh pelosok negeri. Khusus soal investasinya, SnapAsk dianggap sebagai startup yang tepat untuk menjawab soal isu scalability.

SnapAsk sudah tersedia di Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan dengan ambisius ingin berada di 30 negara yang terletak di 5 benua pada tahun 2020.

SnapAsk sendiri adalah layanan tutor online, dalam bentuk aplikasi mobile berbasis messaging, yang membantu siswa menyelesaikan permasalahan soal-soal pendidikan yang dihadapinya. Seperti layaknya berkomunikasi menggunakan platform messaging, pengguna dapat menggunakan SnapAsk untuk memilih tutor dan meminta mereka membantu memecahkan soal-soal sekolah yang dihadapi. Berdasarkan data yang mereka miliki, diklaim bahwa setiap pertanyaan bakal mendapatkan respon jawaban dalam waktu 8 detik.

Timothy yakin terhadap platform-nya karena biasanya di kelas siswa Asia cenderung malu untuk bertanya. Mereka bakal lebih nyaman untuk bertanya soal hal yang tidak dimengerti karena pengalaman one-on-one yang diberikan, layaknya chatting dan berdiskusi dengan teman.

Strategi ekspansi ke Indonesia

Meskipun belum mengenal pasar Indonesia, SnapAsk yakin produknya diterima siswa Indonesia. Kejora Ventures, sebagai bagian dari investasinya, membantu SnapAsk mengembangkan layanan dan tim lokal di sini.

Setelah memulainya dengan bertemu stakeholder penting, SnapAsk akan fokus merekrut tutor terverifikasi sebanyak-banyaknya. Diharapkan dalam 2-3 bulan ke depan SnapAsk bisa digunakan di sini.

Indonesia jelas merupakan pasar penting karena populasinya yang besar. Menurut data Kemendikbud, data siswa SMA (yang menjadi sasaran utama SnapAsk) adalah lebih dari 4 juta siswa. Secara berangsur-angsur mereka akan meningkatkan layanan dengan menjangkau siswa SMP.

Di Indonesia target SnapAsk adalah mendapatkan pengguna sebanyak-banyaknya. Mereka memiliki konsep langganan freemium, dengan disebutkan pelanggan berbayar saat ini mencapai 4% dari total pengguna di musim tertentu (terutama saat ujian).

SnapAsk bersama dengan sejumlah startup teknologi pendidikan lokal diharapkan bisa membantu meningkatkan taraf pendidikan nasional yang relatif masih tertinggal dibanding negara tetangga. Menurut data PISA tahun 2015, Indonesia berada di ranking 62 dari 72 negara yang disurvei. Sebagai perbandingan, di metrik yang sama Singapura berada di posisi puncak.

Tak sekedar platform tutor

SnapAsk memahami platform-nya bisa dimanfaatkan tidak hanya sekedar sebagai platform tanya jawab bersama tutor. Data yang dikumpulkan bisa menjadi evaluasi bagi guru, sekolah, dan di skala besar Kementerian Pendidikan untuk memahami permasalahan riil yang dihadapi siswa.