Oculus Rift Terlalu Mahal? Facebook Sedang Siapkan VR Headset Standalone yang Lebih Praktis dan Terjangkau

Ada pengumuman yang menarik di konferensi developer Oculus Connect 3 yang tengah dihelat di kota San Jose, California. Disampaikan langsung oleh Mark Zuckerberg sendiri, Facebook dan Oculus sedang menggarap sebuah VR headset anyar bertipe standalone, yang artinya perangkat tersebut bisa beroperasi tanpa tersambung PC atau smartphone.

Perangkat ini nantinya akan diposisikan di tengah-tengah VR headset berbasis smartphone dan PC. Selain praktis karena tidak membutuhkan perangkat tambahan, harganya juga bisa dipastikan lebih terjangkau ketimbang Oculus Rift yang mewajibkan pengguna untuk memiliki PC berspesifikasi tinggi.

Perangkat ini memiliki prosesor dan layarnya sendiri untuk bisa beroperasi secara mandiri. Kemungkinan besar perangkat juga akan dibekali oleh unit baterainya sendiri sehingga bisa digunakan di mana saja.

Sejauh ini baik Facebook dan Oculus belum siap untuk memamerkan prototipenya. Namun Zuckerberg menjelaskan bahwa perangkat ini nantinya juga dapat melakukan tracking posisi tanpa melibatkan setup kamera yang kompleks seperti Rift.

Sebagai gantinya, unit kamera berada di bodi headset itu sendiri. Alhasil, perangkat dapat mendeteksi posisi pengguna di dalam ruangan secara langsung, mirip seperti fitur yang diusung Microsoft HoloLens. Sayangnya belum ada informasi terkait harga maupun jadwal rilisnya.

Oculus Touch / Oculus
Oculus Touch / Oculus

Dalam kesempatan yang sama, Facebook juga mengumumkan ketersediaan controller Oculus Touch untuk headset Rift yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama. Pre-order akan dimulai pada tanggal 10 Oktober mendatang dengan banderol harga $199. Konsumen yang melakukan pre-order akan diberi bonus dua game secara cuma-cuma, yaitu VR Sports dan The Unspoken.

Absennya Oculus Touch selama ini menjadi alasan mengapa HTC Vive dinilai lebih superior. Namun untuk bisa menikmati fitur tracking posisi seperti yang ditawarkan Vive, pengguna Rift masih harus mengeluarkan dana ekstra senilai $79 untuk membeli tracking unit bernama Constellation.

Sumber: TheNextWeb 1, 2.

Keseriusan MSI di Bidang VR Tampaknya Mendorong Oculus Buat ‘Mendekati’ Mereka

Bagi MSI, manuver mereka di ranah VR dimulai dengan penyediaan laptop VR Ready pertama lalu dilanjutkan oleh pengungkapan prototype backpack PC di Computex 2016. Ide terakhir tersebut MSI realisasikan lewat pengumuman VR One, menjadi produk primadona mereka di Tokyo Game Show kemarin. Keseriusan MSI di virtual reality tampaknya menarik perhatian satu nama besar lagi di bidang itu.

Seperti yang mungkin sudah Anda ketahui, VR One dikembangkan secara kooperatif antar dua raksasa teknologi Taiwan, yaitu MSI dan HTC. Saat ini, perangkat tersebut betul-betul dioptimalkan untuk Vive. Rupanya, sang kompetitor utama HTC tidak mau ketinggalan, berdasarkan laporan dari beberapa sumber anonim. Kabarnya, mereka sempat berunding dengan MSI buat meramu device sejenis backpack PC.

Melalui Digitimes, sang informan menjelaskan bahwa sejak Oculus diketahui telah bekerja sama dengan Microsoft untuk mempromosikan produk-produk VR, ada kemungkinan besar MSI akan turut membantu tim yang dinahkodai Palmer Luckey dan Brendan Iribe tersebut buat meningkatkan penjualan di segmen gaming notebook. Sementara itu, sejumlah brand lain juga kabarnya sudah digandeng Oculus VR.

Hasil kolaborasi MSI dan HTC sejauh ini ialah bundel head-mounted display dan gaming notebook, rencananya akan mulai tersedia di bulan Oktober besok. Dan tidak mengherankan jika Oculus VR mencoba mengambil arahan serupa.

Sang narasumber bilang, kehadiran Oculus VR di segmen laptop gaming akan memberi tekanan pada HTC. Buat sekarang, harga Rift memang sedikit lebih unggul dibandingkan Vive dengan gap US$ 200, namun secara teknis, headset garapan HTC itu sedikit lebih canggih berkat kehadiran kamera dan controller. Sampai sekarang, Oculus VR belum menyingkap harga serta info tanggal rilis Touch, tapi ada indikasi periferal ini dibanderol di harga yang tidak murah.

Tersedianya teknologi Nvidia Pascal lewat kartu grafis GeForce GTX seri 10 di notebook memang mengubah segalanya. Ditopang GPU kelas ‘mainstream‘ GTX 1060, laptop-laptop berukuran ramping kini sanggup melakukan hal yang dahulu dibilang mustahil: menangani headset VR high-end. Memasangkan headset VR di notebook memang sedikit bertentangan dengan gagasan ‘portable gaming‘ dan itu alasannya MSI serta produsen-produsen lain turut bereksperimen meracik PC berwujud ransel.

Kompetisi antara Oculus VR dan HTC memang sengit: Oculus VR adalah pionir yang sukses membawa konsep VR ke khalayak umum, mendapatkan topangan finansial dari Facebook. HTC Vive sendiri terbukti sebagai rival tangguh, dengan dukungan Valve di sisi software.

Via Digital Trends.

Developer Lebih Memilih HTC Vive Ketimbang Oculus Rift?

Menakar dari tingginya harga produk, saat ini headset VR sekelas Rift dan Vive memang masih di luar jangkauan kebanyakan konsumen di Indonesia. Mereka yang punya modal pun dihadapkan pada satu pertanyaan: device mana yang akan mendapatkan konten lebih banyak? Oculus VR memang merupakan pionir, tapi beberapa raksasa teknologi tak ragu mendukung Vive.

Untuk mencari tahu, tentu semuanya kembali ke keputusan developer, dan laporan dari UBM Game Network siap memandu Anda. Tim pelaksana Virtual Reality Developers Conference itu merilis VR/AR Innovation Report, berisi respons dari para profesional di bidang virtual serta augmented  reality mengenai platform favorit mereka.

Tahun ini adalah momen penting bagi VR dan AR: Vive dan Rift dilepas di saat yang tidak begitu berjauhan, Samsung merilis versi up-to-date dari Gear VR, Microsoft lagi sibuk menggodok HoloLens, lalu kabarnya Google juga sedang menggarap headset VR baru. Di kuesioner, UBM Game Network bertanya pada developer, saat ini platform apa yang mereka pilih buat mengembangkan konten?

HTC Vive vs Oculus Rift 1

Sebanyak 48,6 persen developer menjawab HTC Vive, sedangkan Oculus Rift hanya menghimpun 43,2 persen. Di kelas mobile VR, Samsung Gear VR mengungguli Google Cardboard dengan 33,8 versus 29,2 persen. Peminat PlayStation VR dan HoloLens juga cukup kecil, masing-masing 12,9 dan 8,8 persen, sedikit di bawah Google Daydream (14,6 persen). Meski persentasenya terlihat kecil, Google sendiri punya satu proyek VR lagi, yaitu Tango.

HTC Vive vs Oculus Rift 2

Menjawab pertanyaan ‘di mana Anda akan mengembangkan konten VR/AR selanjutnya?’, jarak antara Vive dan Rift kian melebar. 34,6 persen developer percaya diri  pada headset besutan HTC dan Valve itu, dan cuma 23,4 persen dari mereka yang memilih Vive. Untuk pertanyaan ini, Google Cardboard berhasil menghimpun lebih banyak pendukung dari Gear VR, angkanya di 14 persen dan 10,3 persen. Namun tak seperti pertanyaan pertama, ada lebih banyak responden tidak menjawabnya, boleh jadi menandai ketidakyakinan mereka.

Anda mungkin sempat mendengar langkah kontroversial Oculus VR buat menyajikan konten eksklusif dengan cara mem-block pemilik Vive sehingga mereka tidak dapat membeli dan memainkan game khusus Rift. Tenang saja, 78,1 persen developer memilih untuk melepas karya digital mereka di lebih dari satu platform.

Tidak sedikit orang merasa ragu, apakah VR merupakan lompatan besar di bidang hiburan, ataukah hype-nya pelan-pelan akan memudar? Anda tidak perlu khawatir, 95 persen developer yakin virtual reality mampu terus tumbuh. Dalam mengembangkan ekosistemnya, 49,7 persen responden memanfaatkan modal sendiri dan 33,4 persen menggunakan dana perusahaan.

Sumber: Gamasutra.

Sengketa Kian Memanas, Pemilik Game Fallout Kini Tuduh Oculus VR Mencuri Teknologi Mereka

Sengketa antara ZeniMax Media dan Oculus VR dimulai di tahun 2014. Saat itu, sang pemilik franchise game-game populer seperti Fallout dan The Elder Scrolls mengajukan gugatan pada perusahaan punya Facebook itu dengan alasan mereka ‘mengumbar’ hasil pengembangan serta teknologi VR ZeniMax. Dan memasuki paruh kedua tahun ini, perselisihan jadi kian memanas.

Berdasarkan diungkapnya pengajuan tuntutan minggu lalu, ZeniMax diketahui mengubah gugatan mereka, kini secara terang-terangan menuduh CEO Brendan Iribe dan CTO John Carmack telah mencuri kekayaan intelektual mereka. Sederhananya, perusahaan hiburan Amerika itu menuding bahwa sebagian teknologi ZeniMax diambil buat menciptakan headset Oculus Rift.

“Selama bertahun-tahun, ZeniMax mencurahkan puluhan juta dolar untuk melakukan riset dan pengembangan, termasuk penelitian di bidang virtual reality dan teknologi immersive,” tulis ZeniMax. “Di tahun 2011 dan 2012, John Carmack selaku programer ahli dan berpengalaman yang bekerja untuk ZeniMax sebagai technical director anak perusahaan kami, id Software, melakukan experimen mengenai VR di kantor ZeniMax, di atas komputer milik ZeniMax, dan menggunakan sumber daya ZeniMax.”

“Bukannya mematuhi kontrak, Carmack malah menyalin ribuan dokumen dari komputer ZeniMax di hari-hari terakhir ia bekerja,” Ungkap tim penggugat. “Dia tidak pernah mengembalikan file-file tersebut ketika masa kerjanya berakhir. Sebagai tambahan, setelah kontrak kerja Carmack dihentikan, ia kembali dan mengambil tool pengembangan VR kepunyaan ZeniMax.”

Tuduhan pada founder Oculus VR tak kalah pedas. Menurut Zenimax, Brendan Iribe sudah memberikan informasi yang keliru pada pers, mengungkapkan kisah ‘fantastis’ bagaimana Palmer Luckey – seorang inventor jenius – membangun teknologi VR di dalam garasi rumah. ZeniMax yakin cerita ini ialah rekayasa, karena Luckey bukanlah pakarnya, tidak terlatih, tidak mempunyai sumber daya, dan tidak tahu cara mengomersialkan produk virtual reality.

Namun dakwaan tersebut berbeda dari perjalanan John Carmack di ranah virtual reality. Eksperimen terhadap VR dahulu ia lakukan berbekal unit personal viewer Sony HMZ, dan sempat merasa skeptis pada kapabilitasnya untuk gaming. Carmack bertemu Luckey secara online, dan sesudah mulai mengenalnya, sang programer legendaris itu meminta Luckey mengirimkan unit prototype hardware Rift, dan melihat banyak terobosan di sana.

Via GameSpot, juru bicara Oculus VR menyatakan, “Keluhan yang diajukan oleh ZeniMax ini berat sebelah, dan hanya mewakilkan interpretasi mereka saja. Kami yakin gugatan tersebut tidak memiliki dasar, dan akan menjawab semuanya secara hukum di pengadilan.”

Sumber: GameSpot dan Polygon.

Kini Tanpa DRM, Game untuk Oculus Rift Bisa Dimainkan di HTC Vive dengan Bantuan Software Revive

Seperti yang kita tahu, VR gaming sejauh ini terbagi menjadi dua kubu, yaitu Oculus Rift dan HTC Vive – paling tidak sampai PlayStation VR dirilis di bulan Oktober nanti. Persaingan antara kedua virtual reality headset kelas kakap tersebut tidak cuma di bidang hardware, tetapi juga merembet ke ranah software alias konten.

Soal konten, sepertinya Rift masih di atas angin dibanding Vive dengan jumlah game yang lebih banyak dan bervariasi. Akan tetapi komunitas pengguna HTC Vive tidak kehabisan akal. Dengan bantuan software bernama Revive yang dirancang oleh tim developer LibreVR, mereka bisa membeli game di Oculus Store, lalu memainkannya menggunakan HTC Vive.

Namun tidak lama setelah Revive dirilis, tim Oculus meluncurkan update krusial yang menerapkan sistem DRM (Digital Rights Management) berbasis hardware. Gampangnya, DRM ini akan lebih dulu mengecek headset yang pengguna pakai apa; kalau bukan Rift, maka game tidak bisa dijalankan.

Kucing-kucingan terus berlanjut; tim LibreVR lalu merilis update untuk Revive yang dapat menonaktifkan DRM tersebut sehingga pengguna Vive tetap dapat memainkan game yang mereka beli dari Oculus Store.

Keputusan tim Oculus yang menerapkan DRM tersebut menuai protes dan dinilai banyak orang sebagai bentuk arogansi, hingga akhirnya mereka merasa tidak enak sendiri. Mulai tanggal 25 Juni kemarin, DRM kontroversial tersebut secara resmi dicabut lewat sebuah update, dan tim LibreVR sendiri juga telah menghapuskan fitur ‘pembunuh’ DRM pada Revive.

Berakhirnya ‘konflik’ ini setidaknya bisa membuat persaingan antara kedua VR headset menjadi lebih sehat. Revive sendiri bukanlah software untuk membajak game dan mendapatkannya secara cuma-cuma; pengguna tetap harus membeli game dari Oculus Store secara resmi, hanya saja Revive memungkinkan mereka untuk memainkannya di HTC Vive.

Sumber: Ars Technica.

VREAL Merupakan Twitch-nya Virtual Reality

Mengambil contoh esport dan kegemaran khalayak terhadap platform seperti Twitch serta YouTube buat berbagi pengalaman mereka menikmati video game, hiburan jenis ini menjadi populer berkat aspek sosial. Tapi konsep VR sendiri cukup bertolak belakang karena umumnya device dikenakan untuk mengisolasi pengguna dan membawa mereka ke alam virtual.

Namun dalam waktu dekat, hal itu tak lagi jadi kendala. Satu startup asal Seattle mengajukan sebuah solusi menarik: platform Virtual Reality Entertainment and Livestreaming, atau disingkat VREAL. Sesuai namanya, pengembang mencoba mengintegrasikan tren live-streaming dan interaksi sosial ke ranah virtual reality. Singkatnya, VREAL merupakan Twitch-nya VR. Tapi tentu saja, penerapannya dan teknologi di belakangnya tidak sesederhana itu.

VREAL tak hanya memudahkan pengguna untuk me-live stream sebuah konten, namun juga mengusung penontonnya masuk ke game via virtual reality. Misalnya, jika Anda sedang bermain Surgeon Simulator di VR, pemirsa juga menyaksikan pemandangan yang sama dengan memakai headset, seolah-olah berdiri bersama-sama sang streamer. Selain itu, mereka bisa berjalan-jalan di sana buat melihat dari sudut lain.

VREAL 02
Seperti inilah cara VREAL bekerja.

Uniknya lagi, jika streamer menginginkannya, ia dapat melihat atau mendengar komentar para penonton. Viewer juga dipersilakan melakukan hal serupa: tampil atau malah tersembunyi dari Anda.

Elemen live-streaming, interaksi sosial dan virtual reality memang terdengar familier, tapi ketika ketiganya dikombinasikan, hasilnya betul-betul baru. Contoh skenario Surgeon Simulator di atas menggambarkan bagaimana VREAL mengaburkan batasan antara kreator dengan viewer.

“Sederhananya, VREAL ialah cara terbaik untuk men-streaming permainan VR,” jelas developer di website. “Kami menghadirkan hiburan tingkat selanjutnya pada gamer lewat memperkenalkan live stream full native. Sejauh ini, pengalaman streaming virtual reality masih mengecewakan. VR hanya bisa dirasakan melalui headset. Streaming video 2D atau bahkan video 360 belum mampu menyuguhkan sensasinya.”

Implementasi VREAL tidak sesederhana Twitch, dan teknologi yang memungkan platform dihidangkan merupakan senjata andalan developer. VREAL tak sekedar menyalurkan rekaman, ia mensinkronisasi dunia virtual di host dan para pemirsanya. Penonton mendapatkan konten dengan visual berkualitas serta kebebasan bergerak di sana. VREAL membutuhkan integrasi khusus antara platform dan aplikasi via SDK, sudah dibekali plug-in Unity dan Unreal, kompatibel ke HTC Vive dan Oculus Rift.

Kabarnya, program beta VREAL akan dimulai pertengahan tahun ini.

Via Forbes. Sumber: VREAL.

Berkat Everest VR, Anda Bisa Taklukkan Gunung Tertinggi di Dunia dari Dalam Kamar

Sebagai gunung tertinggi di dunia, tidak heran apabila Everest selalu menjadi incaran utama yang ingin ditaklukkan oleh para pendaki gunung profesional. Namun berkat kemajuan teknologi virtual reality, Anda tidak perlu repot-repot menjadi pendaki gunung profesional untuk bisa mencapai puncak Everest.

Developer asal Islandia, Sólfar Studios, tengah menyiapkan sebuah proyek ambisius bertajuk Everest VR. Bukan, ini bukannya video 360 derajat yang diambil selama krunya mendaki gunung tersebut, melainkan pengalaman virtual reality interaktif yang nantinya bisa dinikmati di Oculus Rift, HTC Vive maupun PlayStation VR.

Sang pengembang tidak mau main-main soal grafik dan tingkat detail dari Everest VR. Maka dari itu, mereka pun menggandeng RVX, sebuah studio animasi yang bertanggung jawab atas efek-efek visual dari film Everest yang dirilis tahun kemarin.

Salah satu animator dari Sólfar Studios bahkan merupakan seorang pendaki gunung dan pemanjat tebing es yang berpengalaman. Hal ini tentu saja amat krusial dalam proses menciptakan efek animasi yang realistis. Melengkapi semua itu adalah Unreal Engine 4, yang sudah terbukti keandalannya dalam menciptakan grafik seperti sungguhan.

Perihal kontrol, Everest VR nantinya akan terasa jauh lebih mengesankan ketika pengguna memakai controller Oculus Touch atau PlayStation Move, dimana reflek pemain akan diuji untuk bisa bertahan hidup dan menjadi penakluk Everest.

Everest VR rencananya akan diluncurkan tahun ini juga, meski sejauh ini masih belum ada jadwal pastinya. Anda pastinya membutuhkan salah satu dari ketiga perangkat VR high-end yang disebutkan di atas, namun itu pun masih jauh lebih murah daripada biaya yang diperlukan untuk mendaki Everest sebenarnya.

Sumber: Fortune dan Sólfar Studios.

Surround 360 Ialah Kamera 360 Berwujud Seperti Piring Terbang Ciptaan Facebook

Disebut-sebut sebagai tahunnya virtual reality, 2016 membawa sejumlah tantangan nyata bagi para produsen perangkat VR: memenuhi ekspektasi konsumen terutama dari sisi teknis serta ketersediaan konten. Dengan memiliki Oculus VR, Facebook menjadi salah satu pemain besar di ranah itu. Dan kini sang raksasa sosial media ingin memastikan investasi mereka tidak sia-sia.

Dalam konferensi developer tahunan F8 di kota San Francisco, Facebook memperkenalkan Facebook Surround 360, sebuah kamera untuk merekam video 360 derajat berkemampuan me-render otomatis. Melaluinya, Facebook mengikuti jejak Google (Odyssey) dan Samsung (Gear 360). Namun langkah mereka tak sekedar ikut-ikutan, Surround 360 katanya memberikan solusi atas kendala teknis yang ada di device sejenis.

Facebook Surround 360 02

Surround 360 berpenampilan seperti piring terbang. Ia memiliki 17 buah kamera – 14 mengelilingi sisi sampingnya, satu fish-eye di atas dan sepasang lagi di bawah. Desain tersebut tentu saja ada maksudnya: dengan penempatan kamera seperti ini, Surround 360 dapat mengabadikan video secara utuh, tanpa memperlihatkan tiang/mount. Tiap kamera dibekali shutter global sehingga objek-objek cepat tidak menimbulkan efek artefak.

Kamera ini diramu agar tangguh serta kuat, dan produsen juga menemukan cara supaya Surround 360 tidak overheat dalam penggunaan di waktu lama. Rangkaian kamera itu dipasangkan ke chassis aluminium secara kokoh, sehingga rig dan unit kamera tidak bergerak saat dipakai. Di bagian luarnya, Facebook memanfaatkan shell dari baja power-coated untuk memproteksi komponen internal.

Facebook Surround 360 03

Facebook Surround mampu menyajikan output video 4K, 6K, sampai 8K. Khususnya buat 6K dan 8K, produsen menggunakan codec Dynamic Streaming, hasilnya bisa dilihat dari Oculus Rift serta Gear VR. Menariknya, output tersebut tidak eksklusif cuma untuk headset virtual reality saja. Rekaman dapat di-share ke News Feed Facebook (monoscopic), dan teman-teman Anda dipersilakan mengunduh video stereonya.

Device turut ditopang software stitching jempolan supaya bekerja selaras dengan hardware. Exposure, shutter speed, dan sensor, semuanya diatur di sana. Buat mengendalikan kamera-kameranya, Facebook memilih PC berbasis Linux agar sistem mudah dimodifikasi.

Facebook Surround 360 04

Facebook tidak berniat mengerjakannya sendiri. Mereka berencana buat merilis Surround 360 sebagai proyek open-source (baik unit kamera serta software) di GitHub pada pertengahan tahun ini. Developer bisa mengutak-atik desain dan kodenya, sedangkan pencipta konten dapat memakainya untuk produksi video 360. Versi awal Surround 360 tersusun atas komponen-komponen kustom, membutuhkan modal yang sangat banyak: US$ 30.000.

Via The Verge. Sumber: Facebook.

Virtual Reality Diprediksi Hasilkan Pemasukan Hampir $ 900 Juta di 2016

Oculus Rift dan HTC Vive, dua headset VR high-end itu telah mulai dikirimkan ke tangan konsumen, sebuah langkah besar bagi virtual reality dalam menyerbu ruang keluarga Anda. Banyak ahli memperkirakan, produk-produk ini dapat menyaingi smartphone, ditakar dari besarnya perubahan yang mereka berikan bagi cara manusia bekerja serta menghibur diri.

Kini semua pemain di bidang teknologi, besar maupun kecil, tampak berbondong-bondong terjun ke ranah itu. Aksi mereka bisa dipahami. Meski VR kental dengan tema gaming, pada prakteknya ia dapat diimplementasikan ke bermacam-macam skenario penggunaan: industri medis dan kesehatan, edukasi, turisme, serta desain. Analis Strategy Analytics memprediksi, pemasukan dari penjualan produk VR berpeluang mencapai hampir US$ 900 juta di tahun ini.

Tepatnya adalah US$ 895 juta. 77 persen dari nilai itu diperkirakan merupakan hasil dari transaksi Rift, Vive, dan PlayStation VR. Namun bahkan ketika mereka semua dikombinasikan, volume penjualan ketiga device ini terlihat sangat kecil dibanding produk-produk berbasis smartphone yang umumnya lebih terjangkau – hanya 13 persen dari 12,8 juta unit headset virtual reality di 2016.

Hal ini memang wajar karena Rift dan Vive memang bukanlah barang murah. Headset VR milik Facebook tersebut dijajakan di harga US$ 600, sedangkan Vive menuntut harga yang lebih tinggi lagi, yaitu US$ 800. Sementara itu, Google Cardboard terdistribusi secara luas (dibagi-bagikan gratis dan dapat dibeli murah secara online). Pemilik handset flagship Samsung juga sudah bisa menikmati pengalaman VR ‘premium’ berbekal Gear VR.

Harga tinggi memang membatasi penjualan – Strategy Analytics mengestimasi hanya mencapai kurang lebih 1,7 juta perangkat high-end (Rift, Vive, PSVR). Walaupun demikian, di tahun ini khalayak awam akan mulai memahami potensi dan kecanggihan headset mutakhir tersebut. Di saat yang sama, pasar smartphone dibombardir oleh bundel VR. Analis percaya, dengan strategi jitu, headset VR berbasis handset dapat berperan sebagai ‘hidangan pembuka’ untuk mengiring konsumen ke produk yang lebih mumpuni.

Cliff Raskind selaku direktur Wearable Device Ecosystems di Strategy Analytics menyampaikan, 2016 ialah tahun krusial bagi virtual reality akibat perpaduan sejumlah faktor, memberikan tantangan sangat besar bagi produsen dalam memenuhi ekspektasi konsumen terhadap VR, terutama dari sisi ketersediaan konten dan keterbatasan teknis headset virtual reality kelas entry-level.

Direktur Strategy Analytics Cliff Raskind tak lupa menuturkan bahwa virtual reality akan kembali memicu persaingan panas antar produsen hardware, terutama di bidang resolusi layar, kartu grafis, penyimpanan, serta kamera-kamera 3D.

Sumber: Venture Beat.

AltspaceVR Pertemukan Pengguna dalam Virtual Reality Semudah Melakukan Panggilan Video di Skype

AltspaceVR, perusahaan yang bermisi mewujudkan interaksi sosial dalam virtual reality baru-baru ini meluncurkan sebuah aplikasi baru yang akan semakin memudahkan pengguna berinteraksi di dalam sebuah virtual chatroom.

Penjelasan tentang virtual chatroom sendiri bisa Anda baca pada tautan di atas. Pada dasarnya, virtual chatroom akan mempertemukan satu pengguna VR headset dengan yang lain dalam wujud karakter virtual yang bisa dikustomisasi.

Dari situ, pengguna bisa bercakap-cakap, bermain board game, hingga menonton Netflix secara bersamaan, meski pada kenyataannya mereka sedang berada di lokasi yang berbeda – ragam aktivitas yang bisa dilakukan bisa dilihat di situs resmi AltspaceVR. Nah, aplikasi baru AltspaceVR ini sengaja dibuat untuk mempermudah proses bertemu di dunia virtual lewat fitur VR Call.

AltspaceVR VR Call

Berkat fitur VR Call, pengguna Gear VR bisa mengundang rekan-rekannya untuk bergabung dalam virtual chatroom hanya dengan mengklik sebuah tautan. Tautan tersebut bebas dikirim lewat medium apa saja, bisa melalui email, pesan teks, aplikasi chatting maupun media sosial.

Pengguna lain yang hendak bergabung tidak harus menggunakan Gear VR, bisa dengan Oculus Rift maupun HTC Vive yang belum lama ini mulai dipasarkan ke publik – hanya sang pengundang yang wajib memakai Gear VR. Dengan adanya fitur VR Call ini, konsep virtual chatroom yang digagas AltspaceVR pun bisa terkesan semudah melakukan panggilan video di Skype.

Kalaupun rekan yang diundang belum memiliki VR headset, mereka masih bisa bergabung menggunakan PC atau Mac. Satu-satunya syarat lain hanyalah mereka wajib membuat akun di situs AltspaceVR terlebih dulu.

Kalau Anda mempunyai Gear VR dan ingin merasakan serunya kumpul-kumpul dan beraktivitas di dalam virtual reality, silakan unduh aplikasi AltspaceVR lewat Google Play.

Sumber: The Verge dan AltspaceVR.

Application Information Will Show Up Here