GO-JEK Partners with Findaya, Dana Cita, and Aktivaku

GO-JEK (8/31) announced a strategic partnership with three fintech lending companies, Findaya, Dana Cita, and Aktivaku. It aims to add up financial service options in GO-JEK ecosystem for merchants, drivers, and users. In fact, Dana Cita is a p2p lending service focused on academic purposes.

Findaya is a financial product of PT Mapan Global Reksa focused on lending for GO-JEK and GO- LIFE teams. Aktivaku, on the other hand, is a p2p lending platform focused on property products.

“Our enthusiasm in GO-JEK ecosystem is the partnership with financial technology providers for bridging consumers and partners, particularly those having difficulty to access formal financial services. We rely on the solid partnership between financial service providers with technology companies can reach broader public haven’t had an access to banking services,” Andre Soelistyo, GO-JEK’s President said.

Moreover, Susli Lie, Dana Cita’s Co-Founder, explained, “We believe our platform can help GO-JEK ecosystem to access financial services, particularly those related to academic financial. Our vision is to widen academic access for all students by reducing financial constraints.”

Ricky Gandawijaya, Aktivaku’s Co-Founder, through this partnership, optimistic that GO-JEK ecosystem can get a safe and transparent financial service. “We can provide housing financial service options for GO-JEK ecosystem in need. Aktivaku also supports the ecosystem development through an easy capital access for SMEs,” he added.

The official launching is attended by OJK representatives. Hendrikus Passagi, OJK’s Fintech Regulation, Licensing, and Supervision Director, said in his speech that this synergy could increase financial inclusion in Indonesia. He also emphasized that OJK will continue to boost the existence of digital economy ecosystem in Indonesia to improve public welfare.

This is not GO-JEK’s first partnership to advance its financial service. Previously, in late 2017, GO-JEK has made some acquisition over three fintech startups at a time, Midtrans, Kartuku, and Mapan. Nevertheless, it was issued by authority related to the procedure, Bank Indonesia in this case. BTN, BNI, Bank Permata Syariah, Allianz, and BPJS Ketenagakerjaan was previously engaged in a strategic partnership with the first local unicorn.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

OJK Cabut Tanda Terdaftar Lima Penyedia Fintech Lending

OJK mencabut tanda bukti terdaftar yang sebelumnya sudah dikantongi oleh lima perusahaan fintech p2p lending. Alasan regulator, seperti dikutip dari Tech In Asia, karena kelimanya terbukti melakukan pergantian pemegang saham tanpa persetujuan OJK.

Kelima perusahaan tersebut adalah Relasi, Tunaiku (produk KTA online dari Bank Amar), Dynamic Credit, Pinjamwinwin, dan Karapoto. Surat keputusan telah terbitkan sejak 24 Agustus 2018, alhasil perusahaan yang terkena dampak dari putusan ini harus menghentikan seluruh layanan, menyelesaikan hak dan tanggung jawab pengguna.

Mereka juga dilarang menggunakan logo OJK, serta tidak boleh mencantumkan pernyataan bahwa mereka terdaftar dan diawasi OJK dalam setiap kegiatannya.

OJK juga mengimbau masyarakat yang merupakan pengguna layanan tersebut untuk menghubungi perusahaan terkait. Tujuannya dalam rangka penyelesaian hak dan kewajiban pengguna.

DailySocial mencoba untuk menghubungi salah satu dari lima perusahaan tersebut, yakni Tunaiku. Pihak Tunaiku menolak untuk memberikan tanggapannya pada hari ini, Senin (3/9) dan berdalih pernyataan resmi baru akan dikeluarkan esok hari.

Tunaiku merupakan salah satu produk andalan yang sudah berusia empat tahun dari Amar Bank, bank swasta daerah dari Surabaya. Diklaim Tunaiku adalah salah satu pionir layanan fintech lending di Indonesia.

Dalam wawancara terdahulu, Vishal menyebut Tunaiku mengincar penyaluran pinjaman lebih dari Rp1 triliun sepanjang tahun 2018 untuk 100 ribu nasabah di seluruh Indonesia.

GO-JEK Jalin Kerja Sama dengan Findaya, Dana Cita, dan Aktivaku

GO-JEK hari ini (31/8) mengumumkan kerja sama strategis dengan tiga perusahaan fintech lending, yakni Findaya, Dana Cita dan Aktivaku. Kerja sama tersebut ditujukan untuk memperkuat pilihan layanan pembiayaan yang ada di ekosistem GO-JEK, baik bagi mitra, merchant, maupun pengguna. Sebagai informasi, Dana Cita merupakan layanan p2p lending yang fokus memberikan pinjaman untuk kebutuhan pendidikan.

Findaya merupakan produk finansial berbasis p2p lending di bawah naungan PT Mapan Global Reksa yang berfokus memberikan pinjaman modal untuk mitra GO-JEK dan GO-LIFE. Saat ini CEO mereka, Aldi Haryopratomo, juga merupakan CEO dari GO-PAY. Sedangkan Aktivaku merupakan platform p2p lending yang memfokuskan pada pendanaan produk properti.

“Semangat kami di ekosistem GO-JEK adalah berkolaborasi dengan penyedia jasa keuangan untuk menjadi jembatan kepada konsumen dan mitra, terutama bagi mereka yang kesulitan mengakses layanan keuangan formal. Kami percaya kolaborasi yang kuat antara penyedia jasa keuangan dengan perusahaan teknologi bisa menjangkau lebih luas masyarakat yang belum mengakses layanan perbankan,” sambut President GO-JEK, Andre Soelistyo.

Sementara itu, Susli Lie, Co-Founder Dana Cita memaparkan, “Kami yakin platform kami dapat memudahkan anggota ekosistem GO-JEK mengakses layanan keuangan terutama yang terkait dengan pembiayaan pendidikan. Visi kami adalah memperluas akses pendidikan bagi semua pelajar dengan menurunkan kendala keuangan.”

Ricky Gandawijaya, Co-Founder Aktivaku yakin melalui kerja sama ini anggota ekosistem GO-JEK bisa mendapatkan layanan pembiayaan yang aman dan transparan. “Kami bisa memberikan pilihan layanan pembiayaan perumahan bagi anggota ekosistem GO-JEK yang membutuhkan. Aktivaku juga mendukung pengembangan anggota ekosistem melalui kemudahan akses permodalan bagi usaha kecil dan menengah,” ujarnya.

Peresmian kerja sama ini juga dihadiri perwakilan dari OJK. Dalam sambutannya Hendrikus Passagi selaku Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK mengatakan bahwa sinergi ini dapat meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Ia juga menegaskan bahwa OJK akan terus mendorong lahir dan hadirnya ekosistem ekonomi digital di tanah air supaya bisa membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ini adalah kemitraan kesekian kalinya yang digenjot GO-JEK untuk memperkuat layanan finansial miliknya. Sebelumnya pada akhir 2017 lalu GO-JEK melakukan akuisisi kepada tiga startup fintech sekaligus, yakni Midtrans, Kartuku, dan Mapan. Kendati demikian proses tersebut sempat diisukan oleh otoritas terkait prosedur yang dijalankan, dalam hal ini Bank Indonesia. BTN, BNI, Bank Permata Syariah, Allianz dan BPJS Ketenagakerjaan sebelumnya juga telah bermitra strategis dengan unicorn lokal pertama tersebut.

Application Information Will Show Up Here

OJK Launches “OJK Infinity”, Digital Financial Innovation Center

OJK announces the operation of digital financial innovation center “OJK Infinity”, a place where discussion with industries, regulators, government, academics, and innovation hub. The fintech center is located in OJK office at Wisma Mulia 2, Jakarta.

“Through OJK Infinity, the fintech industry is expected to be capable in bringing a financial service which is innovative, effective, efficient, and prioritize the consumer protection,” Wimboh Santoso, OJK’s Head of Commissioner, explained on Monday (8/20).

OJK Infinity has three main functions. First, providing regulatory sandbox facility as a fintech incubator to balance innovation with consumer protection. Then, as an innovation hub, for digital financial industry development (IKD) as well as a whole IKD’s ecosystem development.

Lastly, as an education center for financial service players, consumers, or academics expecting to be a part of IKD as future Indonesia’s economic players.

In running these three functions, OJK will collaborate for getting information and resources with many stakeholders, such as State Institutions and Ministries, all financial service industry players, associations, and universities to create a comprehensive digital financial ecosystem.

Publics can also visit OJK Infinity to get the latest information related to IKD and for IKD’s associates to get further detail about its regulations.

Later, OJK Infinity will expand partnership with academic institutions or private sectors which commitment goes along with the digital financial sector development. One of which is the collaboration with Telkom University through an MoU in the scope of the research and the development of IKD’s Master Program.

Applying the new regulations

In addition to the fintech center, OJK also releases the latest rules on digital financial innovation which will be the legal base to cover all innovations in the scope of the digital financial sector. POJK (OJK’s regulations) was made due to the need of a legal base for innovation in the existing financial sector, therefore, it can benefit and protect public affair.

Currently, there are 63 p2p lending companies have registered in OJK with a total distribution of IDR 7.64 trillion funding by June 2018. It has been distributed to 1.09 million borrowers.

Nurhaida, Deputy Chairman of OJK’s Board of Commissioners, added that this regulation applies market conduct-based supervision with OJK’s regulations to control the principal base matters.

Also, monitoring regulatory sandbox activity to study, analyze, understanding risk, business model management to determine risk profiles. As well as supervision and regulatory model that goes along with the certain IKD business model.

“IKD must have a reliable system to protect customer’s data. They’re also obliged to monitor system independently and run risk management that meets the precautionary principle,” she explained.

The POJK, following principal based concept, requires ethics code that is fully under Indonesia’s Fintech Association to be further detailed.

“Unlike the regulations, it can be enforced for the implementation with legal actions. However, if the ethics code being violated, there will be a moral impact. It is what we boost to the association, and monitoring the implementation among members,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

OJK Resmikan “OJK Infinity”, Pusat Inovasi Keuangan Digital

OJK meresmikan operasional pusat inovasi keuangan digital “OJK Infinity”, sebuah wadah untuk pembicaraan diskusi bersama industri, regulator, pemerintah, akademisi, dan innovation hub. Fintech center ini berlokasi di kantor OJK di Wisma Mulia 2, Jakarta.

“Melalui OJK Infinity, industri fintech diharapkan bisa menghadirkan layanan jasa keuangan yang inovatif, efektif, efisien, dan tetap mengedepankan perlindungan konsumen,” terang Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, Senin (20/8).

OJK Infinity memiliki tiga fungsi utama. Pertama, memberi fasilitas regulatory sandbox selaku inkubator fintech untuk menyeimbangkan inovasi dengan perlindungan konsumen. Kemudian, sebagai innovation hub untuk pengembangan industri keuangan digital (IKD) sekaligus pengembangan ekosistem IKD secara menyeluruh.

Terakhir sebagai sentra edukasi baik bagi pelaku jasa keuangan, konsumen maupun akademisi yang akan menjadi pegiat IKD sebagai pelaku ekonomi Indonesia ke depan.

Untuk melaksanakan ketiga fungsi ini, OJK akan bekerja sama dalam hal pertukaran informasi serta sumberdaya dengan berbagai stakeholder, antara lain dengan Kementerian dan Lembaga Negara, seluruh pelaku industri jasa keuangan, asosiasi, dan perguruan tinggi agar dapat membentuk ekosistem keuangan digital yang komprehensif.

Masyarakat umum pun bisa berkunjung ke OJK Infinity untuk mendapatkan informasi terkait IKD dan bagi pelaku IKD dapat mengetahui lebih dalam terkait regulasi IKD.

Ke depannya OJK Infinity akan memperluas kerja sama dengan institusi pendidikan maupun sektor swasta yang memiliki komitmen sejalan dalam pengembangan sektor keuangan digital. Salah satunya kerja sama yang sudah diumumkan OJK bersama Telkom University melalui Nota Kesepahaman dalam lingkup penelitian dan pembentukan program Pendidikan Magister di bidang IKD.

Terapkan aturan baru

Tak hanya meresmikan fintech center, OJK juga merilis aturan teranyar soal inovasi keuangan digital yang akan menjadi payung hukum untuk menaungi seluruh inovasi yang ada di lingkup sektor keuangan digital. POJK ini dibentuk atas dasar perlunya landasan hukum untuk inovasi bidang keuangan yang saat ini sudah ada agar dapat memberikan manfaat dan melindungi kepentingan masyarakat.

Saat ini jumlah perusahaan p2p lending yang telah terdafar di OJK sebanyak 63 perusahaan dengan total penyaluran dana sebesar Rp7,64 triliun hingga Juni 2018. Telah disalurkan kepada 1,09 juta akun peminjam.

Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menambahkan, peraturan ini menerapkan pengawasan berbasis market conduct dengan peraturan OJK hanya akan mengatur hal-hal yang bersifat principal base.

Kemudian mengatur kegiatan regulatory sandbox untuk mempelajari, menganalisis, memahami risiko, tata kelola model bisnis untuk mengetahui profil risiko. Serta model pengawasan dan pengaturan yang sesuai dengan model bisnis IKD tertentu.

“IKD harus punya sistem yang andal untuk melindungi data nasabahnya. Mereka juga wajib memantau sistem secara mandiri dan melakukan manajemen risiko yang memenuhi prinsip kehati-hatian,” terangnya.

POJK ini, karena menganut konsep principal based, membutuhkan kode etik yang sepenuhnya diserahkan ke Asosiasi Fintech Indonesia agar bisa didetailkan lebih lanjut.

“Bedanya dengan peraturan, itu bisa di-enforce untuk penerapannya ada tindak hukum. Sedangkan kalau kode etik dilanggar maka ada dampak moral. Kode etik ini yang kami dorong ke asosiasi, lalu pantau bagaimana penerapannya di anggotanya,” pungkasnya.

Investree dan Tanamduit Bermitra, Tambah Varian Akses Berinvestasi

Bertujuan  menambah pengguna dan menambah kolaborasi dengan layanan P2P lending, platform reksa dana online Tanamduit yang merupakan produk PT Star Mercato Capitale hari ini meresmikan kemitraan dengan Investree. Kerja sama ini diharapkan bisa memberdayakan idle money yang dimiliki lender (pemberi pinjaman) Investree dengan melakukan investasi reksa dana di Tanamduit. Produk reksa dana yang ditawarkan adalah reksa dana pasar uang.

“Selama ini cukup banyak para lender yang kehabisan borrower (peminjam) untuk kemudian dana yang dimiliki bisa diinvestasikan. Kerja sama ini memungkinkan para lender di Investree melakukan investasi uang mereka dalam bentuk reksa dana,” kata Direktur Tanamduit Muhammad Hanif.

Sebagai platform reksa dana yang telah mengantongi izin OJK, Tanamduit aktif mengembangkan infrastruktur, menambah talenta dan kemitraan dengan perusahaan asset management. Secara keseluruhan saat ini Tanamduit telah memiliki delapan mitra perusahaan asset management, 2500 pengguna aktif, dan aplikasi untuk platform Android dan iOS.

Tanamduit juga berencana mengumumkan pendanaan baru dari investor lokal dan asing. Masih dalam tahap penjajakan, nantinya dana baru ini akan digunakan untuk menambah infrastruktur Tanamduit.

“Saat ini Tanamduit sudah memiliki sekitar 20 anggota tim. Jumlah tersebut masih kita maksimalkan sambil mengembangkan teknologi dan produk kami,” kata Hanif.

Idle money dan aturan OJK

Perihal idle money tersebut ternyata mendapat sorotan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator. Rencananya dalam waktu dekat peraturan terkait uang tersimpan dalam investasi yang tidak dimaksimalkan dan mengendap akan diatur OJK dalam peraturan khusus.

“Kami melihat hal tersebut bisa menjadi peluang bagi Tanamduit untuk melancarkan kegiatan penjualan dan pemasaran kami dengan menjalin kolaborasi dengan layanan fintech seperti Investree,” kata Hanif.

Hanif menambahkan, selama ini Tanamduit dan platform serupa lainnya masih kesulitan melakukan edukasi untuk mulai melakukan investasi dalam bentuk reksa dana. Dengan kolaborasi ini, Tanamduit berharap bisa menambah jumlah pengguna sekaligus melakukan edukasi lebih masif lagi terkait produk reksa dana online.

“Untuk saat ini jenis reksa dana yang kita jual adalah tipe pasar uang, namun tidak menutup kemungkinan ke depannya kerja sama akan dikembangkan dalam bentuk produk dan layanan yang berbeda,” kata Hanif.

Alternatif bagi lender Investree

Lender Investree yang telah terdaftar akan mendapatkan notifikasi untuk bisa berinvestasi dalam bentuk reksa dana. Setelah pilihan dan verifikasi dilakukan, lender bisa melakukan proses tersebut hanya dalam tiga langkah mudah. Dengan nilai investasi yang terjangkau, mulai dari Rp 100 ribu, lender nantinya bisa mendapatkan return yang dikelola manajer investasi profesional sehingga dapat menjaga lender dari risiko pendanaan tunggal secara online.

Layanan reksa dana ini tidak mengenakan biaya apapun untuk keseluruhan prosesnya. Kerja sama yang dijalin antara Investree dan Tanamduit merupakan kolaborasi pertama yang dilakukan oleh layanan fintech P2P lending dan agen penjual efek reksa dana (APERD). Menurut CEO Investree Adrian Gunadi, ke depannya akan lebih banyak lagi kolaborasi antara layanan fintech dengan bank dan institusi keuangan lainnya.

Reksa dana for lender merupakan layanan khusus yang dihadirkan Investree sebagai nilai tambah dan alternatif bagi lender untuk mendiversifikasi portofolio dan cash-in-hand di akun Investree mereka.

“Saya melihat kolaborasi ini sangat ideal untuk Investree. Menggandeng Tanamduit yang sudah memiliki pengalaman dan kredibilitas dalam hal manajemen aset, kami berharap bisa memberikan pilihan lebih kepada lender,” kata Adrian.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

OJK Tegaskan Dukungan untuk Layanan Fintech di Indonesia

Melihat perkembangan layanan financial technology saat ini, Indonesia sudah menjadi pasar yang memiliki potensi sangat cerah dan banyak dilirik oleh startup fintech, baik lokal maupun asing. Masih sulitnya pelaku UKM untuk meminjam tambahan modal ke bank dinilai menjadi pemicu banyaknya layanan peer-to-peer (p2p) lending di Indonesia.

Dalam acara Fintech Inclusion Forum, Deputi Komisioner Institute OJK Sukarela Batunanggar menegaskan, perlunya perubahan yang cukup drastis dilakukan bank untuk bisa memberikan layanan yang lebih baik ke pelaku UKM. Makin maraknya layanan fintech saat ini diharapkan bisa menjadi pemicu bagi bank untuk bisa merevisi aturan mereka.

“Saat ini Bank Indonesia sudah menetapkan peraturan kepada bank untuk memberikan pinjaman 20% kepada pelaku UKM. Namun masih banyaknya aturan yang diterapkan untuk mereka masih menyulitkan pelaku UKM untuk mendapatkan pinjaman modal dari bank,” kata Sukarela.

Di situlah akhirnya layanan fintech mulai masuk dan memanfaatkan celah yang ada. Menurut Co-Founder & CEO Investree Adrian A. Gunadi, mengedepankan teknologi dan data alternatif layanan fintech mampu untuk memberikan solusi mudah dan cepat kepada peminjam yang kebanyakan berasal dari kalangan UKM.

“Bukan hanya pelaku bisnis tapi kalangan individu untuk berbagai kebutuhan sudah banyak memanfaatkan layanan fintech, karena kemudahan dan akses cepat yang ditawarkan,” kata Adrian.

Namun demikian, agar layanan fintech bisa berjalan dengan baik, harus tetap melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan regulator, dalam hal ini adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan kerangka dan struktur yang ditetapkan, bisa meminimalisir terjadinya layanan fintech yang terlalu banyak dan tidak terdaftar seperti yang terjadi di Tiongkok.

Untuk itu OJK berencana untuk mendirikan fintech center pada pertengahan bulan Agustus 2018 mendatang. Nantinya semua peraturan OJK yang akan diterbitkan bakal diumumkan secara terbuka dan transparan di fintech center tersebut.

Konsolidasi bank dan layanan fintech

Agar pertumbuhan layanan fintech bisa sempurna, teknologi tidak selalu menjadi andalan. Dalam hal ini Sukarela menyebutkan peranan agen untuk melakukan verifikasi calon nasabah juga bisa membantu akuisisi nasabah yang terdaftar dengan tepat. Perusahaan fintech harus bisa melakukan verifikasi data untuk bisa menyediakan layanan keuangan kepada pelaku UKM. Kolaborasi antara bank dengan layanan fintech juga bisa membantu mempercepat pertumbuhan layanan fintech dibawah naungan regulatory sandbox dari OJK.

“Tantangannya bagaimana mengimplementasikan dengan bank, saat ini saya melihat sudah ada 10 bank ternama di Indonesia yang mulai ‘open’ dan bersedia untuk melakukan kolaborasi dengan layanan fintech,” kata Adrian.

Untuk memastikan kolaborasi antara bank dan layanan fintech bisa berjalan dengan baik, OJK akan melakukan monitoring sekaligus memberikan saran kepada bank agar bisa lebih open. Tidak hanya kepada layanan fintech, tetapi juga persaingan dengan bank lain.

“Bagi kami di OJK penting bisa memfasilitasi kompetisi, dalam hal ini melakukan konsolidasi dengan bank dan menyediakan bank “ruang” untuk melakukan konsolidasi. Kami juga meminta bank untuk melakukan revisi dan membuat framework open policy,” kata Sukarela.

Satgas OJK Cabut 227 Platform P2P Lending Ilegal, Mayoritas Berasal dari Tiongkok

Satuan Tugas Waspada Investasi OJK mencabut 227 perusahaan p2p lending ilegal yang beroperasi di Indonesia karena dinilai dapat membahayakan perlindungan konsumen dan potensi pencucian uang. Lebih dari separuh perusahaan tersebut berasal dari Tiongkok, tidak memiliki badan hukum, dan tidak memiliki kantor resmi di Indonesia.

Pencabutan dilakukan pasca menggelar dua kali rapat satgas pada 19 Februari 2018 dan 25 Juli 2018 untuk upaya penertiban, namun tidak dihadiri oleh sebagian besar perusahaan tersebut. Padahal dalam rapat tersebut, OJK mendorong kewajiban mereka untuk terdaftar dan terizin sebagai penyelenggara p2p lending sesuai dengan POJK Nomor 77 Tahun 2016.

Alhasil OJK bertindak tegas dengan meminta mereka untuk menghentikan kegiatan bisnisnya di Indonesia. Kemudian bentuk aplikasi yang terdapat dalam Google Play, App Store, dan media sosial lainnya agar dihapus. Satgas juga akan berkolaborasi dengan berbagai pihak seperti Bareskrim untuk pelaporan informasi.

Termasuk meminta Kominfo untuk memblokir aplikasi pada situs dan media sosial, juga meminta manajemen Google Indonesia memblokir aplikasi di Google Play. Tak hanya itu, Satgas sedang menjajaki kemungkinan untuk meminta bank agar memblokir rekening fintech p2p lending yang ilegal tersebut.

“Kami akan rutin menyampaikan informasi perusahaan fintech p2p lending yang tidak berizin. Selain itu peran serta masyarakat sangat diperlukan terutama untuk tidak menjadi peserta kegiatan entitas tidak berizin tersebut,” ucap Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing, Jumat (27/7).

Menurut Tongam, keberadaan perusahaan ilegal ini dikhawatirkan dapat digunakan untuk tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme. Bisa jadi data dan informasi pengguna dapat disalahkan, ditambah potensi penerimaan pajak tidak ada karena bukan masuk sebagai badan hukum resmi.

Bila dirinci, 227 perusahaan ini dibuat oleh 155 developer. Artinya, bisa digambarkan satu developer bisa membuat dua hingga tiga layanan serupa untuk jaring banyak pengguna. Tentunya hal ini bisa merugikan masyarakat karena perusahaan tersebut tidak memiliki kewajiban untuk melindungi hak pengguna. Jika hal ini dibiarkan, masyarakat bisa tidak percaya terhadap fintech p2p lending.

Sayangnya, karena keberadaan seluruh perusahaan tersebut ilegal, maka Satgas tidak bisa mendeteksi seberapa besar operasional bisnis mereka di Indonesia. Namun bila dilihat dari beberapa perusahaan berdasarkan angka unduhan di Google Play, ada yang sudah diunduh lebih dari 100 ribu orang tapi ada juga yang masih nol.

Dari daftar perusahaan ilegal yang dipaparkan OJK, beberapa nama perusahaan dengan tingkat unduhan tinggi menurut pantauan DailySocial seperti AyoRupiah, Ayopop, Bee Cash, BosPinjaman, Cash Bon, Cashstore, DokterUang, RpNow, Rupiah Kita, Rupiah Sapi, Super Uang, UangSaku, We Cash, Pinjaman Flash, Pinjaman Kilat, PinjamanKilat, Pipipi, Zidisha, dan masih banyak lagi.

Pemain Tiongkok cari lahan baru

Membludaknya pemain Tiongkok yang diam-diam mencari peluang bisnis di Indonesia, menurut Tongam terjadi karena pengetatan regulasi yang dilakukan oleh otoritas Tiongkok. Sehingga membuat mereka tercekik, akhirnya memilih untuk masuk ke Indonesia, tapi secara ilegal karena dipandang sebagai negara dengan potensi cuan yang tinggi.

Padahal menurut regulasi OJK, ada kebebasan yang diberikan kepada pemain asing. Pemain asing boleh memiliki maksimal 85% kepemilikan saham dan sisanya 15% dimiliki lokal.

“Mereka diperbolehkan masuk ke Indonesia, asalkan mematuhi aturan yang ada. Tidak secara ilegal, kantor harus jelas dan ada di sini, tidak boleh di coworking space. Harus memiliki badan hukum PT atau koperasi, pengurus dan server harus di sini juga.”

Untuk mencegah hal yang sama terjadi, Tongam juga berencana meminta Google untuk melakukan filter dari setiap aplikasi apakah sudah terdaftar dan mendapat izin dari OJK sebelum muncul di publik. Dia juga meminta masyarakat untuk selektif dalam sebelum berinvestasi atau mencari pinjaman hanya dari perusahaan yang logonya sudah terpampang di situs OJK.

Adapun saat ini ada 63 perusahaan p2p lending yang sudah berizin dan terdaftar di OJK. Nama-nama tersebut dapat di cek di situs OJK. Di antaranya, Danamas, KoinWorks, Amartha, Investree, Modalku, Danacepat, AwanTunai, KlikACC dan sebagainya.

As of May 2018, VC Investment Exceeds Rp8.22 Trillion

Approaching the mid-year, OJK (Indonesia’s FSA) records the venture capital industry has invested Rp8.22 trillion by May 2018. The number has increased by 14.95% compared to the same period last year with Rp7.15 trillion.

The business portfolio is still dominated by profit sharing scheme with 78%, followed by equity participation with 16.3%, and the rest is the conversion obligation with 5.7%.

Rimawan Yasin, Vice Secretary-General of Indonesia’s Startup and Venture Capital Association (Amyesindo) said the positive performance is a result of the players’ business improvement. A business development also contributes to the good performance, including an intense expansion.

Currently, the profit-sharing scheme is still dominant. Furthermore, the association will keep pushing its members to start redirecting business into equity participation according to its core business.

“It’s not easy to change the mindset, it takes time. As the player’s understanding is important right now,” Yasin said, quoted from Kontan.

By the end of this year, he projected the venture capital business can still increase by two digits. The tax incentive from the government, he added, will take part in improving the business performance.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pembiayaan Modal Ventura Tembus Rp8,22 Triliun

Menjelang pertengahan tahun, OJK mencatat industri modal ventura telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp8,22 triliun hingga Mei 2018. Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 14,95% bila dibandingkan dalam periode yang sama di tahun sebelumnya dengan angka Rp7,15 triliun.

Portofolio kegiatan usaha masih didominasi pembiayaan bagi hasil dengan persentase 78%, kemudian disusul penyertaan saham 16,3%, dan sisanya obligasi konversi 5,7%.

Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Rimawan Yasin mengatakan kinerja positif ini merupakan hasil dari perbaikan bisnis para pelaku usaha. Pengembangan bisnis juga turut andil dalam memberikan kinerja yang moncer, salah satunya gencar berekspansi.

Saat ini pembiayaan bagi hasil masih dominan. Untuk itu ke depannya, asosiasi bakal terus mendorong anggotanya untuk mulai secara bertahap mengalihkan kegiatan usaha menjadi penyertaan saham, sesuai khitah bisnisnya.

“Untuk mengubah mindset-nya kan tidak mudah, butuh waktu. Sehingga pemahaman kepada pelaku memang menjadi penting saat ini,” terang Rimawan dikutip dari Kontan.

Sampai akhir tahun ini, dia memproyeksikan bisnis modal ventura masih bisa tumbuh dobel digit. Adanya insentif pajak dari pemerintah, sambungnya, bakal sedikit banyak turut mendongkrak kinerja bisnis ini.

Merujuk kembali ke data OJK, kinerja bisnis modal ventura sepanjang tahun lalu mencapai Rp6,78 miliar. Dari jumlah ini, pembagian hasil jadi kontributor utama sebesar 73,16% atau Rp4,96 triliun. Disusul penyertaan saham 17,7% atau Rp1,2 triliun, dan sisanya pembiayaan obligasi konversi Rp607 miliar.