Aturan Turunan POJK Fintech: “Escrow Account” Jadi Isu

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diadakan OJK, (22/11), untuk meminta masukan dari pelaku industri terkait draf aturan turunan (SE) dari POJK No 77/2016 tentang Penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis TI (LPMUBTI), salah satu poin yang cukup menyita perhatian pelaku industri adalah batasan penggunaan escrow account dan virtual account bagi penyelenggara. Pelaku industri mengusulkan penggunaan escrow account dalam praktek p2p lending untuk diperpanjang jadi 60 hari atau dihapuskan.

Dalam draf surat edaran POJK, disebutkan jangka waktu maksimal penempatan dana dari pengguna yang tidak digunakan untuk transaksi pemberian pinjaman pada escrow account tidak melebih tujuh hari kerja.

Escrow account merupakan rekening giro di bank atas nama penyelenggara yang merupakan titipan dan digunakan untuk tujuan tertentu yaitu penerimaan dan pengeluaran dana dari dan kepada pengguna jasa penyelenggara pinjam meminjam uang berbasis TI.

Penyelenggara dilarang melakukan penghimpunan dana dari pengguna dalam bentuk simpanan pada escrow account sebagaimana diatur dalam aturan di perbankan.

CEO dan Co-Founder Modalku Reynold Wijaya menuturkan pihaknya merasa aturan escrow account tersebut dinilai kurang menguntungkan bagi pemain industri p2p lending. Setidaknya kalau bisa diubah menjadi 60 hari, tentunya akan memberi kelonggaran bagi pelaku industri.

Sebab menurutnya, jika waktu diperpanjang, regulator memang mengkhawatirkan terjadi risiko pencucian uang. Akan tetapi, jika tujuannya demikian, dia berpandangan itu tidak mungkin dilakukan. Pasalnya, tidak mungkin orang ingin mengendapkan uang di escrow account yang tidak memiliki bunga sama sekali.

“Kalau tetap tujuh hari, menurut saya kurang ideal. Bisa-bisa industri ini tidak bisa tumbuh,” katanya.

Sisi perbankan pun juga kurang setuju mengenai aturan tersebut. Sebab dalam kurun waktu tujuh hari, mereka harus mengalihkan dana ke bank lain. Tentunya hal tersebut akan mempengaruhi likuiditas perbankan.

Dia menambahkan, bisnis p2p lending itu sudah 100% tunduk di bawah sistem perbankan. Sehingga, mau tak mau mereka harus mematuhi aturan perbankan yang berlaku. Oleh karenanya, dia merasa regulator tidak perlu menambah aturan yang dinilai memberatkan industri.

“P2p lending itu hidup karena regulasi, tapi kita juga bisa mati karena regulasi. Kalau ada sesuatu yang menghambat coba diperhatikan lagi.”

Hal senada diungkapkan CIO Investree Dickie Widjaja. Menurutnya, apabila memang ada kekhawatiran lender tidak aktif, memang perlu pembatasan jangka waktu. Namun dia merasa, bila regulator memang ingin memberi batasan, 60 hari adalah jangka waktu yang cukup.

Kumpulkan masukan

Terkait usulan pelaku industri mengenai escrow account, Direktur Pengaturan, Perijinan, dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan regulator akan menampung dan mempertimbangkan beberapa ketentuan yang berpotensi memberatkan pelaku industri.

“Dari OJK yang selalu kami kedepankan adalah buat aturan yang transparan. Setiap pasal yang kami buat selalu undang pelaku untuk memintai masukannya. Draf yang ada saat ini sudah melewati hasil diskusi yang panjang,” ujarnya.

Dari POJK fintech, menurutnya setidaknya bakal ada enam aturan turunan yang tertuang dalam bentuk surat edaran (SE). Regulator berharap dapat menyelesaikan seluruh aturan turunan tersebut sesegera mungkin sampai akhir tahun ini.

“Kalau semangatnya sama [antara regulator dan pelaku industri], SE OJK ini bisa selesai tahun ini. Kalau ditanya seberapa cepat, ya sesegera mungkin.”

Setidaknya baru ada dua draf yang sedang dimintai masukan oleh publik. Pertama, mengenai Penyelenggaraan LPMUBTI. Kedua, mengenai Pendaftaran, Perizinan, dan Kelembagaan LPMUBTI.

Poin-poin yang dibahas dalam SE Penyelenggaraan LPMUBTI, antara lain tata cara pinjam meminjam serta kontrak dalam penyelenggaraan layanan pinjam meminjam berbasis TI, mitigasi risiko, perlindungan konsumen, dan mekanisme penyelesaian sengketa.

Sementara, poin yang dibahas dalam SE Pendaftaran, Perizinan, dan Kelembagaan LPMUBTI meliputi persyaratan dan tata cara permohonan pendaftaran, perizinan, persetujuan penyelenggara, serta pencabutan izin usaha dan perubahan kepemilikan.

Pemain P2P Lending Telah Kucurkan Pinjaman Rp1,44 Triliun Hingga Agustus 2017

Data statistik internal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut jumlah dana yang telah disalurkan oleh pemain peer-to-peer (P2P) lending mencapai Rp1,44 triliun, tumbuh 496,51% atau senilai Rp242,48 miliar secara year-to-date (ytd) dibandingkan posisi pada Desember 2016. Angka perolehan tersebut merupakan akumulasi 22 perusahaan P2P lending yang telah mendapat surat tanda terdaftar dari OJK.

Kenaikan penyaluran pinjaman, menurut Hendrikus Passagi selaku Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK, dipicu makin dikenalnya perusahaan p2p lending sebagai alternatif pemberi pinjaman sekaligus instrumen instrumen baru yang memiliki tingkat pengembalian yang kompetitif.

Selain itu, hal ini juga dipicu peningkatan kepercayaan konsumen terhadap status sektor usaha tersebut. Lantaran sudah diawasi oleh regulator dan memiliki regulasi yang mengatur aturan mainnya.

“Kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan P2P lending meningkat, tercermin dari hasil kinerja yang dicapai teman-teman kita,” terangnya saat diskusi panel yang diselenggarakan Modalku, kemarin (27/9).

Bila ditelusuri lebih dalam, dari total penyaluran tersebut mayoritas berasal dari Pulau Jawa dengan porsi 83,2% atau senilai Rp1,2 triliun. Sisanya, dikucurkan untuk peminjam di luar Pulau Jawa senilai Rp242,75 miliar.

Yang menarik, penyaluran untuk luar Pulau Jawa bila dibandingkan secara ytd mengalami pertumbuhan yang cukup drastis yakni 1694,98% dari sebelumnya Rp13,52 miliar. Ini menandakan masyarakat luar Pulau Jawa mulai melirik pinjaman dari perusahaan P2P lending sebagai alternatif sumber dana. Tingkat kepercayaannya pun mulai bertambah.

Bila dilihat dari total peminjam (borrower), angkanya mencapai 120.174 peminjam, tumbuh 136,27%. Porsi peminjam dari Pulau Jawa masih mendominasi dengan persentase 94,79% dengan angka 113.912 peminjam. Sisanya, sebanyak 6.145 berasal dari luar Pulau Jawa.

Adapun untuk pemberi pinjaman, hingga Agustus 2017 mencapai 48.034 orang, tumbuh 295,5%. Mayoritas dikuasai oleh pemberi pinjaman dari Pulau Jawa sebanyak 39.706 dan dari luar Pulau Jawa sebanyak 7.918.

Proses pendaftaran masih berlanjut

Selain memaparkan kinerja pemain P2P lending, Hendrikus juga mengungkapkan sebanyak 35 perusahaan tengah memproses permohonan pendaftaran. Sementara, yang menyatakan berminat sebanyak 22 perusahaan. Hingga kini, OJK telah memberikan surat tanda terdaftar ke 22 perusahaan.

Bila dirinci secara lokasi, dari 22 perusahaan terdaftar, 21 perusahaan diantaranya memiliki kantor yang berlokasi di Jabodetabek, sementara sisanya bertempat di Surabaya. Adapun dilihat dari status kepemilikan usaha, 14 perusahaan merupakan perusahaan milik lokal, sementara 8 perusahaan adalah milik asing.

OJK sendiri sebenarnya memutuskan untuk memperpanjang proses pendaftaran kepada pemain P2P lending sampai akhir tahun ini, dari batas waktu yang ditentukan pada tahap awal sampai 29 Juni 2017 sesuai isi POJK Nomor 77 Tahun 2016.

Setelah menerima surat tanda bukti terdaftar, dalam jangka waktu maksimal satu tahun perusahaan harus menaikkan modal disetor menjadi Rp2,5 miliar untuk mendapatkan izin usaha.

Marketplace P2P Lending Investree Ekspansi ke Jawa Tengah

Investree, startup penyedia marketplace peer-to-peer (P2P) lending hari ini meresmikan ekspansi bisnisnya ke wilayah Jawa Tengah. Untuk memantapkan langkah ini, Investree juga baru saja meresmikan kantor perwakilan di Kota Semarang.

Disampaikan Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi, ekspansi ke Jawa Tengah bukan tanpa alasan. Berdasarkan data dari BPS Jateng, terdapat peningkatan jumlah UMKM sebanyak lebih dari 40 ribu dan hal tersebut merupakan potensi yang besar untuk dieksplorasi. Seperti diketahui bahwa salah satu fokus Investree ialah memberikan pinjaman bagi UMKM di Indonesia.

“Hadirnya kantor perwakilan Investree yang berlokasi di Semarang akan memudahkan kami dalam menjangkau calon borrower yang mayoritas adalah pegiat UMKM di Jawa Tengah dan sekitarnya, sehingga transaksi dapat berjalan lebih efektif dan efisien,” ujar Adrian.

[Baca: Investree Segera Ekspansi ke Vietnam dan Luncurkan Pembiayaan Syariah]

Langkah serius untuk mengakomodasi pasar UMKM di Indonesia dilakukan pasca Investree resmi terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak bulan Mei 2017 lalu. Investree dinyatakan terdaftar sebagai Penyelenggara Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan diatur dalam administrasi Direktorat Kelembagaan dan Produk Industri Keuangan Non-Bank (IKNB).

“Seluruh aktivitas atau transaksi pinjam meminjam di Investree dilakukan secara online, khususnya bagi lender. Setiap tahapan mulai dari registrasi, melihat daftar pinjaman di marketplace, hingga mentransfer pendanaan dijalankan melalui situs Investree. Untuk pengelolaan dana, kami juga telah bekerja sama dengan bank rekanan Danamon dalam hal sistem manajemen kas berupa fasilitas automatic payment dan automatic posting atau yang biasa disebut dengan host-to-host service, sehingga mempercepat proses pemberian pinjaman kepada borrower,” imbuh Adrian.

Saat ini Investree memiliki dua produk unggulan, yakni Pinjaman Bisnis (Business Loan) dan Pembiayaan Karyawan (Employee Loan). Pinjaman Bisnis adalah modal kerja untuk memperlancar arus kas (cashflow) dengan menjaminkan tagihan atau invoice. Sedangkan Pembiayaan Karyawan adalah pinjaman serbaguna yang diberikan kepada karyawan yang bekerja di perusahaan yang bekerja sama dengan Investree.

[Baca juga: Investree: Tingkat Kepercayaan Konsumen terhadap Bisnis “P2P Lending” Mulai Meningkat]

Sampai dengan saat ini, Investree berhasil membukukan catatan total fasilitas pinjaman sebesar Rp 237 Miliar, nilai pinjaman tersalurkan sebesar Rp 187 Miliar, dan nilai pinjaman lunas sebesar Rp 144 Miliar dengan tingkat pinjaman gagal bayar atau default 0%. Kebanyakan peminjam di Investree masih merupakan pemain bisnis kecil dan menengah dari kategori kreatif.

Modalku Kini Sediakan Aplikasi Mobile untuk Investor

Layanan peer-to-peer lending Modalku mengumumkan ketersediaan aplikasi mobile yang bisa memudahkan investor mengalokasikan dananya. Aplikasi mobile ini sudah tersedia untuk platform iOS dan Android dan merupakan aplikasi kedua Modalku yang tersedia untuk publik. Sebelumnya Modalku memiliki aplikasi Modalku Dana Usaha yang ditujukan untuk kebutuhan peminjam.

Modalku mengklaim telah menyalurkan dana 215 miliar Rupiah ke 400 pinjaman UKM di Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Dalam bentuk Funding Societies, layanan p2p lending ini juga tersedia di Malaysia dan Singapura dan secara total telah menyalurkan dana sebesar lebih dari 500 miliar Rupiah.

Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya menyebutkan saat ini risiko default melalui platform-nya di Indonesia hanya sekitar 0,1%, jauh lebih rendah ketimbang di Singapura yang mencapai 2%. Modalku sendiri resmi terdaftar di OJK per bulan Juni lalu.

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menyebutkan saat ini ada 165 layanan p2p lending yang sudah mendaftarkan diri ke OJK dan di Indonesia sendiri diharapkan ada 800 layanan agar bisa memenuhi tujuan inklusi finansial di seluruh pelosok Indonesia.

“Ketersediaan aplikasi mobile Modalku bagi pemberi pinjaman akan memperluas akses masyarakat untuk memberikan pinjaman atau peer-to-peer lending ke Pelaku Usaha Berkebutuhan Khusus (PUBERKU), antara lain seperti pelaku UKM di Indonesia,” ujar Hendrikus.

Tidak ada target khusus yang dicanangkan Modalku terkait ketersediaan aplikasi ini, meskipin demikian OJK disebutkan berharap dalam jangka waktu setahun sebuah layanan p2p lending bisa menyalurkan dana hingga 1 triliun Rupiah.

Untuk aplikasi mobile-nya sendiri, Reynold mengatakan ada beberapa fitur yang menjadi unggulan yang diharapkan bisa meningkatkan pengalaman pengguna. Selain faktor keamanan, seperti penggunaan sistem enkripsi dan akses login menggunakan sidik jari, pihaknya memberikan fitur “Pendanaan Otomatis” yang memungkinkan peminjam mendanai pinjaman UKM berdasarkan preferensi yang sudah ditentukan. Begitu ada pinjaman yang memenuhi kriteria, aplikasi bisa langsung memasukkan dana tanpa harus secara manual mengalokasikan dana tersebut.

“Modalku menawarkan win-win relationship bagi para pelanggan kami, baik UKM di Indonesia maupun pencari alternatif investasi. P2P lending, bila didukung dengan diversifikasi merupakan instrumen alternatif investasi yang menguntungkan. Melalui platform kami, pemberi pinjaman dapat mendanai UKM dengan jumlah Rp 1 juta per pinjaman. Mereka akan mendapatkan return menarik setiap bulan dengan risiko yang relatif terkontrol sebagai pengembalian. Aplikasi terbaru kami memudahkan dan memperbesar akses ke P2P lending bagi pencari alternatif investasi di Indonesia,” tutup Reynold.

Application Information Will Show Up Here

Laporan OJK: Modal Ventura Konvensional Realisasikan Kucuran Investasi Sebesar Rp6,75 Triliun Hingga April 2017

Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan hingga April 2017, perusahaan modal ventura konvensional telah merealisasikan investasi sebesar Rp6,75 triliun. Namun, angka tersebut turun dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 11,51% atau senilai Rp7,52 triliun.

Dari total investasi, pemain modal ventura kebanyakan memberikan investasi berbentuk pembiayaan bagi hasil senilai Rp5,06 triliun, menempati porsi sebanyak 75,07%. Kemudian, berbentuk penyertaan saham sebanyak Rp1,12 trilun dan obligasi konversi Rp563 miliar.

Adapun sektor pembiayaan yang banyak menerima investasi adalah perdagangan, restoran, dan hotel dengan total Rp2,95 triliun. Lalu, diikuti oleh sektor pertambangan Rp955 miliar, dan pertanian, perikanan dan kehutanan Rp739 miliar.

Total aset yang dihimpun oleh 62 perusahaan modal ventura lokal yang tercatat oleh OJK sebesar Rp9,99 triliun, dengan liabilitas Rp5,51 triliun, dan ekuitas Rp4,48 triliun.

Dorong keterbukaan

Bila mengacu pada total keanggotaan yang tercatat di Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) sebanyak 85 perusahaan. Sekitar 61 anggota diidentifikasikan sebagai PMV konvensional, sementara sisanya memilih untuk merahasiakan investasinya.

Dikutip dari DealStreetAsia, Ketua Amvesindo Jefri Sirait mengatakan dalam jangka pendek asosiasi memiliki misi untuk membuat perusahaan modal ventura untuk lebih terbuka satu sama lain, terutama berkaitan investasi. Menurutnya, hal ini penting agar setiap orang bisa mendapatkan gambaran realistis tentang apa yang terjadi di lapangan, namun menjadi sulit.

Beda definisi

Khitah modal ventura adalah adalah perusahaan investasi dalam bentuk pembiayaan berbentuk penyertaan modal untuk perusahaan swasta sebagai investee untuk jangka waktu tertentu. Namun, di Indonesia, konsep bisnis ini lambat laun bergeser karena berbagai alasan.

Misalnya, sumber dana yang mismatch, menyebabkan bunga pinjaman jadi lebih tinggi dari perbankan, dan alasan lainnya. Sehingga, bagi pemain startup digital hal ini menjadi masalah ketika mereka mencari pinjaman dana.

Hal inilah yang melatarbelakangi mulai hadirnya berbagai modal ventura yang datang dari luar negeri untuk membiayai startup. Dengan kematangan edukasi dan sumber dana yang mumpuni, PMV asing jadi lebih berani.

Kemudian, hadirlah dua jenis PMV di Indonesia. Pertama, PMV konvensional yang berinvestasi untuk sektor tradisional seperti manufaktur, CPO, otomotif, jasa, dan lainnya. Kedua, PMV yang lebih berorientasi pada teknologi dan startup digital atau lebih kenal dengan venture capital (VC).

Meski terjadi perbedaan definisi, pelaku PMV konvensional meyakini lambat laun ke depannya para pemain akan mulai melirik startup digital. Hal ini mulai dilakukan oleh Astra Mitra Ventura (AMV), Jefri yang juga merupakan CEO AMV mengatakan kini perusahaannya mulai menargetkan 70% investasinya akan diarahkan untuk startup digital.

“Kebanyakan dari pelaku usaha menggunakan teknologi digital sebagai bagian dari kegiatan penyaluran dan pemasarannya. Digital akan memberi mereka akses pasar yang lebih luas. Kami telah berinvestasi di bidang otomasi dan teknologi robotik,” tutup Jefri.

Capai 10 Ribu Investor, Layanan P2P Lending Koinworks Mantapkan Fitur “Multi Auto Purchase”

Startup penyedia layanan Peer-to-Peer Lending (P2P Lending) Koinworks dalam rilis terbarunya mengklaim telah memiliki 10 ribu investor untuk layanannya. Mengimbangi jumlah peminat investasi yang besar tersebut, Koinworks menghadirkan pembaruan fitur Multi Auto Purchase. Fitur Auto Purchase memungkinkan investor untuk mengalokasikan dana investasinya ke berbagai pinjaman yang tersedia sesuai dengan kriteria pilihannya secara otomatis.

Sebenarnya fitur tersebut sudah ada sejak tahun 2016 lalu bernama Auto Puchase. Dengan adanya pembaharuan yang dibubuhkan, fitur Multi Auto Purchase hadir dengan sistem yang lebih inovatif. Investor bisa mengelola dan mengembangkan portofolio investasinya secara otomatis setelah mengatur berbagai parameter yang meliputi grade peminjam, nominal investasi, hingga tenor pinjaman. Ini juga memungkinkan manajemen portofolio investasi secara otomatis.

“Fitur Multi Auto Purchase ini diharapkan dapat mempermudah para investor KoinWorks dalam menginvestasikan uang mereka. Kami sadar bahwa kepercayaan KoinWorks sangat meningkat sekali. Dari situ, kita meningkatkan kualitas fitur Auto Purchase yang sudah ada dan terus mengembangkannya, sehingga setiap investor akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk berinvestasi, tidak ‘siapa cepat dia dapat’ lagi,” ujar COO KoinWorks Bernard Arifin.

Fitur Multi Auto Purchase dari Koinworks
Fitur Multi Auto Purchase dari Koinworks

Tidak hanya bertumbuh dari sisi jumlah investor, menurut pemaparan Bernard, sampai saat ini Koinworks memiliki lebih dari 300 peminjam. Total dana yang disalurkan hingga bulan Mei 2017 sudah mencapai angka 30 miliar rupiah.

Selain Multi Auto Purchase yang sudah dijelaskan sebelumnya, Koinworks juga membubuhkan teknologi canggih untuk berbagai kebutuhan operasi. Salah satunya penerapan teknologi machine learning. Teknologi ini diterapkan untuk mempercepat proses verifikasi fraud terhadap aplikasi pinjaman dan investor. Dengan sistem tersebut, KoinWorks merasa sangat terbantu dalam mengelola berbagai data points dan mempelajari pattern-nya.

Di bawah naungan PT Lunaria Annua Teknologi, Koinworks juga menjadi salah satu startup P2P Lending pionir yang telah resmi terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selama satu tahun beroperasi, KoinWorks cukup aktif berkomunikasi dengan OJK dalam menanggapi pemanfaatan teknologi informasi dalam layanan keuangan khususnya di bidang pinjam-meminjam uang.

“Sebelumnya, KoinWorks dan pihak OJK pun aktif berdiskusi bahkan sebelum diterbitkannya Peraturan OJK Nomor 77/01-2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi pada Desember 2016 silam,” ujar Bernard.

Bernard melanjutkan, “Kami resmi terdaftar di dalam administrasi Direktorat Kelembagaan dan Produk IKNB OJK melalui surat yang dikirimkan kepada kantor kami pada tanggal 27 April 2017 dengan nomor registrasi yang tertera di S-1862/NB.111/2017. Implikasinya kami harus mengirimkan audit dan laporan kepada OJK setiap kuartal.”

KoinWorks sendiri menyediakan layanan finansial berupa pinjaman dan investasi. Salah satu kelebihan yang ditawarkan seluruh proses pendaftaran, pengajuan, hingga aktivitasnya bisa dilakukan sepenuhnya secara online. Pebisnis UKM, misalnya, dapat mengajukan pinjaman modal usaha hingga Rp 500 juta dengan tenor paling lama 24 bulan.

Simak juga sesi DStour #22 mengunjungi kantor Koinworks: “Rumah Kedua” Karyawan KoinWorks.

Modalku Tambah Layanan “Merchant Cash Advance” untuk UKM dan Merchant Online

Platform peer to peer lending (P2P lending) Modalku menambah layanan baru Merchant Cash Advance (MCA) untuk UKM yang underbanked dan merchant online di Indonesia yang belum dilayani institusi keuangan untuk mendapatkan akses pinjaman yang berkualitas.

Dalam meluncurkan layanan ini, Modalku bekerja sama dengan layanan payment gateway untuk menyediakan pinjaman MCA tanpa agunan jangka pendek yang fleksibel. Bila pinjaman reguler dibayarkan kembali lewat pokok dan bunga fixed per bulan, maka setiap bulan pihak payment gateway akan menampung sebagian pendapatan peminjam dan menyalurkannya ke Modalku. Proses repayment jadi lebih mudah bagi peminjam.

Bagi pemberi pinjaman, layanan MCA juga diklaim menguntungkan karena model bisnisnya yang rendah risiko. Hal inilah yang diklaim menjadi selling point dari MCA. Sebagai produk pinjaman maupun alternatif investasi, MCA telah dianggap sukses di berbagai negara seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.

“Modalku bangga jadi platform fintech pertama di Indonesia yang menyediakan MCA,” ucap Co-Founder dan COO Modalku Iwan Kurniawan dalam keterangan resmi, Kamis (8/6).

Produk MCA Modalku menawarkan pinjaman maksimal sebesar Rp2 miliar sebagai modal kerja untuk mengembangkan usaha dan sudah dapat didanai pemberi pinjaman Modalku sebagai alternatif investasi.

Berdasarkan data terakhir, Modalku telah menyalurkan pinjaman usaha senilai lebih dari Rp178 miliar untuk 320 UKM.

Lima perusahaan dapat surat tanda bukti terdaftar dari OJK

Dalam pengumumannya, Modalku (PT Mitrausaha Indonesia Group) juga mengumumkan pihaknya telah mendapat surat tanda bukti terdaftar dari OJK. Tak hanya Modalku, OJK juga memberikan surat tanda bukti lainnya untuk empat perusahaan p2p lending. Yakni, PT SimpleFi Teknologi Indonesia (SimpleFi), PT Investree Radhika Jaya (Investree), PT Amartha Mikro Fintek (Amartha), dan PT Pendanaan Teknologi Nusa (Pendanaan).

OJK mulai gencar memberikan surat tanda bukti terdaftar untuk para pemain p2p lending mengingat tenggat waktu tahap pertama bakal berakhir pada 29 Juni 2017 mendatang. OJK sendiri memberikan tenggat waktu sampai akhir tahun ini untuk segera memenuhi ketentuan tersebut.

OJK sebelumnya menyebutkansecara total ada 28 perusahaan p2p lending yang mengajukan pengajuan izin tersebut.

OJK Beri Kelonggaran Pendaftaran Layanan P2P Lending Sampai Akhir Tahun

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan kelonggaran proses pendaftaran kepada pemain p2p lending sampai akhir tahun ini, dari awal batas waktu yang ditentukan sampai 29 Juni 2017.

Padahal bila mengacu dari isi POJK Nomor 77 disebutkan bahwa tenggat waktu yang diberikan untuk mengantongi surat tanda bukti terdaftar adalah enam bulan sejak aturan diberlakukan atau 29 Juni 2017. Setelah itu, mereka diharuskan menaikkan modal disetor menjadi Rp2,5 miliar untuk mengajukan perizinan maksimal satu tahun setelah perusahaan terdaftar di OJK.

“Menimbang-nimbang dari bisnis fintech p2p lending yang kebanyakan adalah perusahaan startup, yang notabenenya memiliki tingkat gagal yang tinggi. Maka dari itu kami beri relaksasi proses pendaftaran sampai akhir tahun ini,” terang Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan OJK Tuahta Aloysius Saragih, Selasa (23/5).

Aloysius menerangkan relaksasi itu akan diberlakukan untuk seluruh perusahaan fintech p2p lending yang saat ini tengah mengajukan proses pendaftaran. Apabila dalam kurun waktu akhir tahun ini, masih ada perusahaan yang belum memperoleh surat tanda bukti terdaftar regulator akan memeriksa kembali perusahaan tersebut.

Sumber OJK
Sumber OJK

“Bila nanti waktunya [pendaftaran] sudah habis, namun masih ada perusahaan yang belum dapat surat tanda bukti, kami akan periksa mereka dan mengeceknya kembali.”

Sekadar informasi, dari 28 perusahaan yang mengajukan proses pendaftaran, baru ada tiga perusahaan yang sudah mengantongi surat tanda bukti terdaftar. Yakni PT Pasar Dana Pinjaman (Danamas), PT Danakita Data Prima, dan PT Lunaria Annua Teknologi (KoinWorks).

Jangan dipersulit

Di samping itu, Asosiasi fintech Indonesia (AFTECH Indonesia) meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk tidak mempersulit proses pendaftaran p2p lending yang dinilai terlalu teknis.

Direktur Kebijakan Publik AFTECH Indonesia Ajisatria Sulaeiman mengatakan pihaknya menyayangkan persyaratan yang harus dipenuhi OJK terlalu teknis karena harus melampirkan berbagai bukti.

Dia mencontohkan, salah satu ketentuan yang harus dipenuhi adalah bukti modal disetor sebesar Rp1 miliar. Pelaku harus melampirkan bukti tanda transfer, meski sebenarnya bisa dicek dalam rekening koran.

“Karena harus melampirkan berbagai surat bukti, membuat banyak perusahaan jadi tersendat dalam mengajukan proses pendaftaran. Padahal kami merasa persyaratan seperti itu sangat teknis dan tidak substansial. Kami meminta regulator untuk tidak persulit,” pungkas Aji.

Mengawal Geliat Industri Fintech dengan Payung Hukum

Geliat industri fintech yang terus membara, kian menunjukkan posisinya sebagai salah satu industri yang patut diperhitungkan eksistensinya di Indonesia. Negara dengan populasi 250 juta jiwa dengan penetrasi pengguna internet yang terus bertambah ini, menjadikan Indonesia semakin dilirik oleh berbagai pemain asing untuk turut serta bermain di sektor tersebut.

Saat ini, OJK mendata ada sekitar 130 perusahaan fintech yang beroperasi di Indonesia dengan total transaksi senilai US$3,6 miliar. Diperkirakan pada tahun ini jumlahnya tumbuh dua kali lipat jadi 250 perusahaan.

Dengan semakin bertambahnya jumlah pemain fintech, otomatis regulator harus selalu siaga menjaga ekosistem dengan menerbitkan sejumlah regulasi dan bekerja sama dengan asosiasi. Tujuannya agar industri fintech tetap berjalan sesuai koridor.

Pendekatan yang dilakukan regulator sebelum menerbitkan regulasi kini agak berbeda. Regulator tak lagi “galak” dalam menertibkan pelaku bisnis, tetapi lebih mengayomi dengan membiarkan perusahaan baru untuk tumbuh terlebih dahulu seiring memantau inovasi seperti apa saja yang perlu diatur.

Setelah OJK mengeluarkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 untuk mengatur bisnis p2p lending “off balance sheet”, langkah berikutnya OJK mewacanakan penerbitan regulasi berikutnya untuk p2p lending “on balance sheet”. Kabarnya terakhir menyebut regulasi ini akan terbit pada akhir tahun ini.

OJK akan atur pemasaran asuransi digital

Perhatian OJK tidak hanya fintech yang bergerak di p2p lending. Saat ini OJK tengah mewacanakan regulasi lainnya terkait pemasaran asuransi digital. Hanya saja, pengaturan akan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap awalnya, OJK akan mengatur soal pemasaran asuransi lewat situs masing-masing perusahaan asuransi, dalam bentuk surat edaran (SE), yang saat ini masih disusun regulator.

Deputi Komisioner Pengawas IKNB OJK Dumoly Pardede mengatakan penerbitan aturan lewat SE sifatnya tidak bakal seketat POJK. Dia bilang aturan tersebut nantinya akan lebih berisi pedoman untuk para pelaku usaha asuransi.

Beberapa poin yang bakal dimuat dalam SE tersebut mulai dari identitas perusahaan asuransi, nama produk, jenis proteksi, serta nilai pertanggungan harus jelas.

“Asuransi yang punya fintech itu kan sama saja dengan perusahaan asuransi biasa, tidak ada bedanya dari sisi permodalan, syaratnya sama. Tapi kalau distribusi digital itu tidak perlu dibuat regulasi, nanti ada semacam guideline saja lewat SE yang akan memuat identitas perusahaan, nama produk, nama pemasaran,” katanya saat ditemui DailySocial, Rabu (3/4).

Regulator juga akan mulai memikirkan aturan main untuk pemasaran produk asuransi lewat lembaga lain seperti fintech yang bertindak sebagai agregator. Dumoly mengatakan saat ini ada beberapa perusahaan yang menyebut dirinya sebagai agregator pemasaran asuransi digital, seperti PasarPolis, CekAja, CekPremi, dan RajaPremi.

Rencana OJK ini diamini oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor. Asosiasi akan membuat pemetaan hal apa saja yang perlu dipertimbangkan regulator sebelum membuat regulasi, apa saja yang perlu diatur, dan kapan sebaiknya aturan diterbitkan. Pasalnya, asosiasi ingin melindungi dua unsur, yakni konsumen dan pelaku usaha itu sendiri.

“Bisnis asuransi itu berbicara tentang trust, sementara kalau digital itu mengenai jalur pemasaran. Dua unsur tersebut yang harus dijaga. Kami akan bantu regulator dalam merumuskan aturannya dengan membuat pemetaan dan sebaiknya regulator untuk melakukan assessment sendiri,” ucap Julian.

Menanggapi hal tersebut, pihak Pasar Polis menuturkan bahwa pihaknya akan selalu senantiasa mengikuti arahan dari regulator bila sudah ada titik terang mengenai kejelasan aturan. “Kami terus berupaya untuk comply dengan apa yang diinginkan regulator,” kata CMO PasarPolis Elia Wijaya.

Pengamanan dari sisi asosiasi

Menyambut perusahaan fintech yang diprediksi akan terus bertambah, perlindungan tak hanya dari sisi regulator, tetapi juga dari asosiasi terkait sebagai lapis pertama sebelum mendapat izin usaha dari regulator.

Terlebih, perusahaan fintech, yang kebanyakan berasal dari perusahaan rintisan (startup), sangat identik dengan jatuh bangunnya bisnis. Sehingga, diperlukan kepastian komitmennya saat berbisnis di Indonesia.

Dari sisi Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH Indonesia), sebelum terdaftar menjadi anggota, pelaku usaha diharuskan menempuh tahap self assessment berdasarkan kuesioner yang sudah disusun sendiri oleh asosiasi bersama salah satu multinasional konsultan manajemen.

“Pada dasarnya ini untuk melihat apakah perusahaan tersebut merupakan fintech atau bukan. Dalam assessment, kami juga dibantu oleh perusahaan konsultan tersebut sebagai pihak ketiga independen,” terang Direktur AFTECH Indonesia M Ajisatria Suleiman kepada DailySocial.

Aji melanjutkan secara kepatuhan, pihaknya juga meminta perusahaan pendaftar sudah operasional dan berbadan hukum, memiliki atau sedang dalam proses perizinan resmi regulator. Menurutnya, apabila kegiatan usahanya tidak membutuhkan izin, maka perlu diberikan penjabaran disertai alasan.

“Kami juga bekerja sama dengan BI dan OJK apabila ada perusahaan yang terindikasi berbahaya, misalnya melakukan investasi bodong sehingga tidak akan diterima sebagai anggota.”

“Fokus kami adalah hubungan dengan pemerintah dan regulator. Jika ada yang belum bergabung, mungkin belum siap untuk berkomunikasi dengan regulator,” lanjut Aji.

Saat ini total anggota AFTECH Indonesia sebanyak 74 perusahaan startup dan 18 lembaga keuangan.

OJK Akan Undang Kominfo Terkait Sertifikat Elektronik Sebelum Keluarkan “Surat Bukti Telah Mendaftar” untuk P2P Lending

Dua hari setelah Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH Indonesia) mengadakan konferensi pers terkait lambannya pergerakan OJK pasca menerbitkan aturan p2p lending, OJK pun akhirnya memberikan respons. Rupanya akar permasalahan yang menjadi perhatian regulator adalah pemberian sertifikat sistem elektronik (teknologi informasi/IT) yang seharusnya diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), mereka dinilai memiliki keahlian untuk menilainya.

Dalam Pasal 8 ayat e di POJK Nomor 77/2016 disebutkan bahwa penyelenggara perlu menyertakan bukti kesiapan operasional kegiatan usaha berupa dokumen terkait sistem elektronik yang digunakan dan data kegiatan operasional. Hanya saja, dalam pasal tersebut tidak disebutkan siapa pihak yang memiliki kapabilitas untuk mengukur sistem elektronik.

“Kami ingin berhati-hati sebelum terjadi masalah di depannya, untuk pihak yang mengeluarkan sertifikat sistem elektronik kami menilai bahwa Kominfo punya kapabilitas untuk mengukur itu. Untuk itu kami akan segera undang Kominfo,” ucap Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) I Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Edy Setiadi, Jumat (24/3).

Edi menilai, sikap OJK yang sangat hati-hati memperlihatkan keinginan regulator untuk mengurangi seluruh potensi kejahatan yang bakal terjadi di kemudian harinya. Pasalnya, Kominfo dinilai lebih paham dari OJK mengenai batas sistem IT yang dibutuhkan untuk platform p2p lending, teknologi yang digunakan, bagaimana pengamanannya dan lainnya.

Setelah koordinasi dengan Kominfo selesai, Edi memastikan bahwa pemberian surat bukti telah mendaftar akan sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan sebelumnya yakni enam bulan setelah POJK diberlakukan.

“Karena sekarang kami sudah tahu permasalahannya, pemberian surat bukti tidak akan melewati batas yang telah ditentukan. Kami ingin memastikan koordinasi dengan Kominfo membuat hubungan antar kelembagaan tetap diutamakan, jangan sampai terlangkahi sebab ini yang bisa membuat suatu usaha jadi tidak sustain seperti halnya terjadi antara Go-Jek dengan Blue Bird.”

OJK pun meminta kepada AFTECH Indonesia untuk bekerja sama dalam hal menyaring perusahaan p2p lending yang berminat untuk mendaftarkan diri. Diharapkan asosiasi dapat mengidentifikasi setiap intensi yang ditujukan setiap perusahaan sebelum mengajukan pendaftaran, apakah benar-benar ingin membantu inklusi keuangan atau lainnya.

Edi menerangkan, saat ini sudah ada 23 perusahaan p2p lending yang sedang melakukan proses pendaftaran. Semuanya bergerak di bisnis p2p lending off balance sheet. Di luar itu, ada satu perusahaan yang sudah resmi terdaftar. Hanya saja perusahaan tersebut belum mengantongi sertifikat IT dari Kominfo. Edi pun enggan menyebut identitas perusahaan tersebut.

Pendaftaran melalui sistem satu pintu

Di sisi lain, Wakil Ketua AFTECH Indonesia Adrian A Gunadi meminta regulator untuk menyediakan sistem satu pintu agar pelaku usaha tidak kebingungan saat mendaftar. Menurutnya dengan adanya sistem satu pintu, akan memudahkan pelaku usaha, OJK, maupun Kominfo.

“Dengan adanya satu pintu akan memudahkan kami sebagai pelaku usaha, prosesnya jadi lebih efisien jika sertifikat IT nantinya diberikan dari Kominfo melalui OJK. Pelaku hanya berkoordinasi saja dengan OJK, tanpa harus menghubungi sendiri Kominfo,” katanya.