Zenius Announces Pre Series B Funding; Revenue Boost Supported by “Live Class”

Zenius edtech startup today (05/1) announced the pre-series B funding round with an undisclosed amount. Alpha JWC Ventures and Openspace Ventures joined the list of new investors, participated also in this round the previous investors, Northstar, Kinesys, and BeeNext.

The fund is to be focused on platform development, amidst increasing market demand. Previously, Zenius has announced series A funding worth $20 million in February 2020.

In addition, the online learning platform claimed strong growth throughout 2020. In fact, per second semester last year, income has increased by 70% compared to the same period in 2019. Zenius provided loads of free learning content during the first half of 2020, to support the learning from home initiative in the midst of the Covid-19 pandemic.

In June 2020, along with rebranding and app updates, Zenius started adopting a freemium business model. Nearly 50% of Zenius’ revenue comes from the Live Class feature. Since its launch in March 2020, user growth is said to increase by 10 times with a retention rate of 90%.

Currently, Zenius receive an average rating of 4.9 (out of 5) for its classes, with attendance reaching 400 students, and breaking records with 10,000 users in one 60-minute math session.

Based on SimilarWeb data, the Zenius.net site gets an average of 3-4 million visits every month. On the Android platform, the application has been downloaded by more than one million users.

“Recently, we launched the Automated Doubt-Solving feature through our application and WhatsApp. This feature will provide a solution to students using only the camera on their cell phone. The system will then recommend a video and practice questions to explain the process behind the solution and allow students to actively apply it in a given set of practice questions. This will create a more immersive learning experience that contributes to students’ critical thinking and the ability to solve difficult problems and future concepts,” Zenius’ CEO Rohan Monga said.

“For more than a decade, they have made a track record of demonstrating successful learning outcomes and reinventing their core business as new mediums emerge. We believe this track record will be a key differentiating factor in the rapidly evolving education landscape, and we expect that the new funding round will drive Zenius’ growth even further,” Openspace Ventures’ Director Ian Sikora said.

Edtech in Indonesia

According to data summarized in the Edtech Report 2020 by DSResearch, there are currently some fast-growing education startup business models in Southeast Asia. Zenius alone is in the “Learner Support, Tutoring, & Test Preparation” category with several other players – including those from/already operating in Indonesia such as Ruangguru, Pahamify, and CoLearn.

Edtech in SEA

Since 2012, various types of edtech services have slowly but surely continued to emerge in Indonesia. Referring to the report above, there are dozens of local edtech startups that still running – in fact, each held a different value proposition. The market share is quite substantial, as for players like Zenius or Ruangguru that focused on K-12 students (elementary-high school level), there are more than 50 million students each year throughout Indonesia.

This opportunity has made several foreign players lining up to enter the Indonesian market. As of 2020, at least 6 foreign players have succeeded in planting a business in Indonesia – including having representative offices and local teams.

 

Foreign Edtech Players in Indonesia

The local edtech market continues to grow, not only serving students, various edtech startups are starting to target professionals and business customers. Recently, there as been some new models, one of which is related to fintech which focuses on education loans.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Zenius Umumkan Pendanaan Pra-Seri B; Pendapatan Naik Ditopang Layanan “Live Class”

Startup edtech Zenius hari ini (05/1) mengumumkan telah mendapatkan putaran pendanaan pra-seri B dengan nilai yang tidak diungkapkan. Alpha JWC Ventures dan Openspace Ventures masuk ke jajaran investor baru, investor sebelumnya yakni Northstar, Kinesys, dan BeeNext juga turut andil di putaran ini.

Dana akan difokuskan untuk pengembangan platform, di tengah permintaan pasar yang terus berkembang. Sebelumnya Zenius secara resmi mengumumkan pendanaan seri A pada Februari 2020 lalu senilai $20 juta.

Turut disampaikan, sepanjang 2020 platform pembelajaran online tersebut mengklaim pertumbuhan kuat. Bahkan, pendapatan per semester kedua tahun lalu naik 70% dibandingkan periode yang sama di 2019. Zenius sempat menggratiskan sebagian besar konten pembelajaran sepanjang paruh pertama 2020, guna mendukung inisiatif belajar dari rumah di tengah pandemi Covid-19.

Pada Juni 2020, bersamaan dengan rebranding dan pembaruan aplikasi, Zenius mulai mengadopsi model bisnis freemium. Hampir 50% sumber pendapatan Zenius berasal dari fitur Live Class. Sejak diluncurkan pada Maret 2020, jumlah pengguna diklaim telah naik 10 kali lipat dengan tingkat retensi mencapai 90%.

Saat ini, kelas-kelas di Zenius rata-rata menerima rating 4,9 (dari 5), dengan jumlah kehadiran mencapai 400 siswa, dan sempat memecahkan rekor dengan 10 ribu pengguna dalam satu sesi matematika selama 60 menit.

Berdasarkan data SimilarWeb, rata-rata situs Zenius.net mendapat 3-4 juta kunjungan setiap bulannya. Di platform Android, aplikasi sudah diunduh lebih dari satu juta pengguna.

“Baru-baru ini kami meluncurkan fitur Automated Doubt-Solving melalui aplikasi kami dan WhatsApp. Fitur ini akan memberikan solusi kepada siswa hanya dengan menggunakan kamera di ponsel mereka. Sistem kemudian akan merekomendasikan video dan pertanyaan latihan untuk menjelaskan proses di balik solusi tersebut dan memungkinkan siswa secara aktif menerapkannya dalam rangkaian pertanyaan latihan yang diberikan. Hal ini akan menciptakan pengalaman belajar lebih mendalam yang berkontribusi pada pemikiran kritis siswa dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang sulit dan konsep masa depan”, kata CEO Zenius Rohan Monga.

“Selama lebih dari satu dekade, mereka telah menunjukkan rekam jejak dengan memperlihatkan hasil pembelajaran yang terbukti berhasil dan menciptakan kembali core business-nya seiring dengan munculnya medium-medium baru. Kami percaya rekam jejak tersebut akan menjadi faktor pembeda utama dalam lanskap pendidikan yang berkembang pesat, dan kami berharap putaran baru pendanaan ini akan mendorong pertumbuhan Zenius lebih jauh,” sambut Direktur Openspace Ventures Ian Sikora.

Edtech di Indonesia

Menurut data yang dirangkum dalam Edtech Report 2020 oleh DSResearch, saat ini ada beberapa model bisnis startup pendidikan yang berkembang pesat di Asia Tenggara. Zenius sendiri berada di kategori “Learner Support, Tutoring, & Test Preparation” bersama beberapa pemain lainnya – termasuk yang dari/telah beroperasi di Indonesia seperti Ruangguru, Pahamify, dan CoLearn.

Edtech in SEA

Sejak tahun 2012, perlahan tapi pasti, berbagai jenis layanan edtech terus bermunculan di Indonesia. Merujuk pada laporan di atas, saat ini ada puluhan startup edtech lokal yang masih beroperasi – tentu masing-masing memiliki value proposition berbeda. Pangsa pasarnya memang sangat besar, katakanlah untuk pemain seperti Zenius atau Ruangguru yang menyasar pelajar K-12 (setingkat SD-SMA), setiap tahunnya ada lebih dari 50 juta siswa/i yang tersebar di seluruh Indonesia.

Potensi tersebut membuat beberapa pemain asing pun berbondong-bondong melakukan ekspansi ke Indonesia. Per tahun 2020, setidaknya sudah ada 6 pemain luar yang berhasil membangun basis bisnis di Indonesia – termasuk memiliki kantor perwakilan dan tim lokal.

Foreign Edtech Players in Indonesia

Pasar edtech lokal pun terus berkembang, tidak hanya melayani pelajar, berbagai startup edtech juga mulai menyasar kalangan profesional dan pelanggan bisnis. Beberapa model baru juga dilahirkan beberapa tahun terakhir, salah satunya terkait fintech yang fokus pada pinjaman pendidikan.

Application Information Will Show Up Here

Mendukung Pertumbuhan Startup Bioteknologi dan “Life Science” Indonesia

Salah satu sektor yang masih sangat niche di Indonesia adalah sektor biotech (bioteknologi) dan life science. Dengan aturan yang begitu kompleks, tidak banyak pemain baru yang ingin masuk ke sektor ini. Angin segar hadir ketika selama setahun terakhir mulai hadir startup-startup yang mendapat dukungan investor untuk mencoba memberikan warna baru. Sebut saja startup seperti Nusantics, Nalagenetics, dan Sensing Self.

DailySocial mencoba memahami seperti apa peluang, tantangan, dan masa depan startup bioteknologi dan life science saat ini. Lebih jauh, bagaimana dukungan investor menyikapi dan menangkap peluang yang ada.

Pasar yang “niche”

Tim Nalagenetics
Tim Nalagenetics

Bagi Nalagenetics, salah satu portofolio East Ventures, menjadi tantangan tersendiri untuk mulai mengembangkan bisnis di Indonesia. Startup yang didirikan oleh Jianjun Liu, Astrid Irwanto, Alexander Lezhava, dan Levana Sani ini hadir menyediakan layanan tes genetik berbiaya murah yang disesuaikan pasar Asia. Penetrasi bisnisnya dimulai di Singapura dan Indonesia.

Co-founder Nalagenetics Levana Sani mengungkapkan, salah satu kendala mengapa startup seperti Nalagenetics kesulitan memperkenalkan produknya ke target pasar adalah kurangnya pengetahuan terkait tes genetik. Proses yang bisa membantu orang banyak beradaptasi dengan obat-obatan yang mereka konsumsi sudah cukup familiar di pasar Amerika Serikat dan Singapura. Untuk Indonesia, kebanyakan belum memahami lebih jauh.

“Karena hal tersebut terkadang menyulitkan kami untuk melakukan pendekatan ke pihak rumah sakit dan pemerintah. Meskipun para dokter kebanyakan sudah mengetahui layanan yang kami sediakan, tapi sebagian besar pihak terkait belum mengenal lebih jauh,” kata Levana.

Saat ini Nalagenetics telah mendapatkan hibah dan menjalin kerja sama dengan berbagai institusi terkait di Indonesia, termasuk FKUI, RSCM, dan Litbangkes. Sementara di Singapura, perusahaan juga telah berkolaborasi dengan NUHS, NNI, GIS. Dukungan yang diterima dari investor membantu perusahaan untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi.

“Menurut saya, sektor ini masih sangat baru, tetapi lebih banyak dikembangkan di beberapa bidang seperti pertanian. Tingkat implementasi juga bervariasi tergantung pada kompleksitas teknologi yang terlibat. Kebanyakan permintaan yang ada datang dari industri swasta, bukan dari kalangan umum atau arahan pemerintah,” kata Levana.

Tim Nusantics
Tim Nusantics

Menurut CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri, meskipun dukungan yang diberikan tidak terlalu besar jumlahnya, namun perhatian investor dan pemerintah telah membantu Nusantics mengembangkan bisnis. Sebagai startup berbasis teknologi, Nusantics fokus pada pengembangan dan penerapan berbagai riset genomika dan mikrobioma untuk memenuhi gaya hidup sehat dan berkelanjutan. Nusantics juga merupakan portofolio East Ventures.

“Menurut saya, pertumbuhan startup biotech dan life science seperti Nusantics dan lainnya masih dalam tahap awal. Potensi yang ditawarkan cukup besar, namun kebanyakan masih kurang dipahami karena istilahnya yang masih sangat asing, sehingga seseorang harus memulai dari suatu tempat dan terus berkontribusi dalam membangun momentum.”

Pandemi mendorong akselerasi

Pandemi telah mengubah semua kebiasaan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi momentum baik bagi startup seperti Nusantics dan Nalagenetics. Bagi mereka, kondisi pandemi menjadi ideal untuk melakukan uji coba dan mempercepat akselerasi, sekaligus ajang pembuktian bahwa teknologi yang mereka tawarkan sangat relevan.

“Pandemi telah meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat yang cukup besar akan pengujian genetik di rumah,” kata Levana.

Hal senada diungkapkan Sharlini. Meskipun pandemi mempengaruhi bisnis mereka secara negatif, terutama layanan pemeriksaan mikrobioma kulit, di sisi lain perusahaan melihat pandemi juga telah memberikan dampak yang positif ke pipeline bisnis baru, yaitu produk lokal komersial pertama untuk COVID-19 PCR Test Kit.

Bulan April lalu produk serupa juga diluncurkan Sensing Self. Sebagai alat tes mandiri untuk Covid-19, alat tes ini diklaim memberikan hasil deteksi yang cepat dan akurat karena menggunakan analisis enzim. Memungkinkan setiap orang melakukan pengetesan di rumah masing-masing, dalam waktu 10 menit, dan harga terjangkau (Rp160 ribu per unit).

“Kehadiran alat tes mandiri ini dapat membantu pemerintah untuk menyediakan akses tes yang lebih aman, praktis, dan terjangkau. Ketika terdapat pasien positif, mereka dapat langsung melakukan isolasi mandiri ataupun mendapatkan perawatan di rumah sakit,” kata Co-Founder Sensing Self Santo Purnama.

Startup yang berbasis di Singapura ini, didirikan Santo dan Shripal Gandhi. Mereka berdua menempatkan Sensing Self sebagai perusahaan yang fokus menciptakan alat tes kesehatan mandiri, agar setiap orang dapat mendeteksi kesehatannya sendiri dan mendapatkan pengobatan di tahap sedini mungkin.

Dukungan investor

Menurut Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures, sektor ini masih dalam tahap pertumbuhan di Indonesia, karena proses penemuan obat membutuhkan banyak sumber daya dan kemampuan penelitian. Namun, dengan jumlah penduduk yang secara alami menjadi pasar potensial yang besar, startup bioteknologi Indonesia dapat mengambil peran lebih banyak dalam mengembangkan uji klinis bersama perusahaan-perusahaan farmasi (asing). Jalur kemitraan dengan perusahaan farmasi asing ini secara bertahap akan membangun kapabilitas bioteknologi Indonesia.

“Untuk memfasilitasi uji klinis, ketersediaan Rekam Medis Elektronik (EMR) yang terstruktur menjadi sangat penting. Ini adalah enabler yang akan memungkinkan perusahaan bioteknologi / life science memiliki kumpulan data yang lebih besar dan lebih komprehensif untuk dikerjakan. Ini bisa menjadi peluang langsung untuk bekerja di bidang teknologi kesehatan,” kata Tania.

Sebagai investor, Tania melihat peluang yang besar untuk menyasar bidang ini. Saat ini menjadi waktu yang tepat bagi startup Indonesia untuk membangun rekam medis digital health yang akan menjadi infrastruktur pengembangan bidang bioteknologi dan life science di Indonesia.

“Seperti yang kita saksikan dalam lima tahun terakhir, dua negara di Asia, yaitu Tiongkok dan Korea, telah muncul sebagai pemain global di bidang bioteknologi dan life science. Ini adalah sektor yang secara tradisional didominasi perusahaan AS, Eropa, dan Jepang dengan perusahaan global seperti Amgen, GSK, dan Takeda. Startup di sektor ini juga baru-baru ini menemukan jalannya untuk menjadi perusahaan yang terdaftar, seperti Vir Biotechnology, yang didukung oleh Softbank dan Gates Foundation,” kata Tania.

Sementara itu menurut Sr. Executive Director Vertex Ventures Gary Khoeng, ada beberapa alasan mengapa belum banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modal kepada startup yang menyasar biotech dan life science, selain kompleks dan luasnya bidang ini.

Dibutuhkan investasi dalam jangka cukup lama untuk melakukan riset dan membuat produk yang diterima masyarakat.

“Pada akhirnya solusi dan penelitian bioteknologi biasanya memiliki waktu gestation yang sangat lama karena penelitian dan uji coba. Misalnya dengan pengobatan baru untuk penyakit yang menyebar luas atau mengembangkan vaksin baru. Berdasarkan pembayaran dan pendanaan yang ada, harus dipastikan perusahaan dapat bertahan dan juga memiliki rencana akhir yang jelas.”

Sebagai venture capital, Vertex Ventures melihat potensi yang besar untuk berinvestasi ke startup di kategori ini. Salah satu dukungan perusahaan adalah melalui Vertex Healthcare Fund yang fokus ke startup yang menawarkan solusi bioteknologi.

“Dana ini berasal dari Singapura tetapi telah dipindahkan ke Amerika Serikat karena fakta bahwa sebagian besar peluang bioteknologi ada di AS dibandingkan negara lainnya. Meskipun sektor ini cukup tertinggal dan berjalan lambat dibandingkan sektor lainnya, namun memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan oleh startup yang benar-benar memiliki semangat dan kemampuan untuk beroperasi di bidang ini,” kata Gary.

Rencana Ekspansi iSeller Usai Rampungkan Pendanaan “Strategic Round” Seri A

Startup pengembang layanan point of sales berbasis omni-channel iSeller telah merampungkan penggalangan dana perpanjangan putaran seri A+ atau strategic round. Pendanaan tersebut dipimpin oleh Mandiri Capital Indonesia (MCI), Openspace Ventures turut bergabung dalam putaran pendaan kali ini.

Kepada DailySocial Founder & CEO iSeller Jimmy Petrus mengungkapkan, untuk jangka pendek perusahaan akan melakukan key hiring terutama untuk tim acquisition dan business development, yang bertujuan untuk semakin memperluas jangkauan iSeller terhadap bisnis UKM di Indonesia. Selain itu perusahaan juga akan terus mengembangkan inovasi baru yang akan mempermudah UKM untuk mengakses layanan finansial.

“Saat ini selain Jabodetabek kami baru menjangkau 5 kota terbesar di Indonesia. Awal tahun depan, ekspansi ke top 25 kota sudah ada dalam roadmap kami,” kata Jimmy.

Disinggung seperti apa integrasi dan kolaborasi iSeller dengan Bank Mandiri, Jimmy menyebutkan akan ada banyak integrasi finansial dan layanan perbankan dalam platform iSeller, yang diharapkan dapat membantu UKM Indonesia untuk terus berkembang dalam kondisi pandemi ini.

Pandemi yang mengganggu pertumbuhan bisnis sebagian besar startup di Indonesia, ternyata tidak memberikan pengaruh yang cukup besar kepada iSeller. Saat pandemi justru bisnis iSeller bisa terus berkembang.

“Salah satu faktor kontribusi terbesar adalah dengan semakin meningkatnya kesadaran para pelaku usaha untuk ‘go online’ dan beralih ke sistem digital, di mana keunggulan iSeller memang terletak pada kapabilitas omni-channel dan O2O yang memungkinkan UKM berjualan di toko fisik, online, dan marketplace dengan mudah di dalam satu platform,” kata Jimmy.

Kerja sama strategis dengan GrabFood

Bertujuan untuk memudahkan pelaku bisnis F&B di Indonesia untuk menerapkan sistem pemesanan online yang sudah terintegrasi dengan aplikasi kasir, iSeller menjalin kerja sama strategis dengan GrabFood. Untuk mengakali jumlah penurunan trafik saat PSBB, melalui inisiatif ini diharapkan dapat memitigasi dampak pandemi terhadap industri F&B.

Bentuk kerja sama iSeller dengan GrabFood adalah integrasi sistem pemesanan GrabFood dengan aplikasi kasir iSeller, pesanan dari GrabFood akan otomatis masuk ke aplikasi secara real time, sehingga mempermudah kasir untuk dapat memproses pesanan dengan lebih cepat dan efisien. Selain itu, pemilik usaha F&B juga dapat mengakses seluruh transaksi penjualan dan laporan keuangan dengan mudah melalui dasbor iSeller, baik penjualan dari outlet maupun GrabFood.

Go online dengan GrabFood menjadi simpel, mulai dari pembaruan menu dan harga GrabFood, pembaruan stok otomatis, hingga laporan keuangan dari berbagai channel penjualan, semuanya bisa dikelola dari satu platform iSeller. Kami percaya solusi integrasi ini akan memberikan dampak positif bagi seluruh pelaku usaha F&B di Indonesia,” kata Jimmy.

Hingga kini iSeller telah digunakan oleh ribuan merchant mulai dari bisnis UKM hingga berskala korporasi seperti Geprek Bensu, Mama Roz, Sour Sally, HopHop, Okirobox, Yogurtland, dan masih banyak lagi. Mengedepankan fitur terlengkap seperti manajemen penjualan, produk dan inventaris, serta fleksibilitas channel penjualan yang didasarkan pada konsep omni-channel, iSeller mengklaim sebagai super merchant platform terunggul di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Openspace, MDI, dan AC Ventures Inisiasi Program Dukungan untuk Startup Lokal

Dalam rangka memberikan dorongan kepada startup di Indonesia, gerakan #StartupBergerakBersama diinisiasi oleh Openspace Ventures, MDI Ventures, dan AC Ventures. Gerakan ini mengajak masyarakat dan para wirausahawan untuk saling mendukung keberlangsungan startup dan merek lokal.

Sebagai langkah awal, ketiga pemodal ventura tersebut mengembangkan situs id.supportstartups.com yang berisi berbagai aktivitas promosi yang ditawarkan startup. Gerakan ini sebenarnya terinspirasi dari program serupa #SupportStartup yang dilakukan di Singapura; dan masih terafiliasi dengan program tersebut.

Saat ini sekitar 30 startup telah terdaftar di situs tersebut, dari berbagai vertikal meliputi logistik, e-commerce, SaaS, hingga coworking space. Mulai dari Akseleran, CoHive, Justika, Tanihub, dan lain-lain.

“Usaha kami dalam menghadapi krisis ini melampaui perusahaan portofolio kami dan telah mempengaruhi ekosistem startup secara menyeluruh. Kami sadar bahwa semua startup berisiko dan kita bersama-sama melindungi mereka. Ekosistem ini adalah komunitas kita bersama dan gerakan ini adalah upaya kami untuk menyampaikan bahwa kami 100% mendukung semua usaha,” ujar Partner Openspace Ventures Hian Goh.

CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, sejak wabah Covid-19, MDI Ventures telah memulai beberapa gerakan seperti webinar mingguan dan situs indonesiabergerak.com dengan tujuan untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan tentang bagaimana bisnis.

“#StartupBergerakBersama akan menjadi aksi pertama yang membantu perusahaan startup untuk meningkatkan traction dalam masa sulit ini bersama dengan teman-teman kami dari komunitas modal ventura,” ujar Donald.

Bagi startup digital – termasuk di luar portofolio ketiga modal ventura tersebut, dapat turut berpartisipasi meramaikan inisiatif ini dengan mendaftarkan diri dan mempublikasikan promonya melalui situs tersebut.

Di sisi lain, Amazon Web Services (AWS) tengah menawarkan US$5 ribu kredit promosi bagi startup yang mendaftarkan diri dalam program AWS. Kredit tersebut akan ditawarkan dalam program AWS Activate, yaitu program yang menyalurkan startup dengan infrastruktur komputasi awan yang terjangkau dan mudah digunakan.

TaniHub Secures 285 Billion Rupiah Worth of Series A+ Funding

TaniHub Group announced to secure series A+ funding worth of US$17 million or around 285 billion Rupiah. This is the follow on round of the series A last May 2019.

The latest round was led by Openspace Ventures and Intudo Ventures. Also involved in this round, UOB Venture Management, Vertec Ventures, BRI Ventures, Tenaya Capital and Golden Gate Ventures. In total, TaniHub has obtained Rp462 billion funding since 2016.

The additional funding will be allocated to tighten business position by expanding services, both for farmers and customers. They will also focus to improve operational, such as the implementation of automation in processing and packaging centers.

TaniHub Group’s Co-Founder & President, Pamitra Wineka said, regeneration is very important for Indonesian agriculture, considering they are one of the country’s biggest economic contributors. Farmers need to increase productivity and income to make sure the easy generation that agriculture is a sector that has bright prospects.

“Our TaniHub Group Ecosystem is designed to help farmers achieve their dreams and consumers can enjoy agricultural products at reasonable prices. This will enable ‘agriculture for everyone’, which is our main goal,” he added.

TaniHub claimed that they had managed to get a threefold increase compared to the previous year. In total there are more than 30,000 small farmers who join their ecosystem. Within their platform there are also 5,000 business customers consisting of SMEs, hotels, restaurants, catering and 115,000 retail customers.

Based on Startup Report data from DSResearch, the TaniHub application is the most downloaded for the agrotech category with a total download of more than 100,000 in 2019. Defeating Winged Beans and iGrow. Meanwhile, in terms of business, the delivery of agricultural products from TaniHub is in the same segment as Sayurbox, Kecipir, etanee, Kedai Sayur, and others.

Aim to be of service throughout Indonesia

Currently, TaniHub has five branch offices in Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, and Denpasar. The latest news, TanhiHub is currently finalizing PPC (Processing and Packing Center) in Malang with 3,000 sqm area.

For automation solutions, they will install machines that can process and pack automatically. The goal is to reduce the touch of human hands so that the quality and safety of products is guaranteed. After Malang, it is planned that there will also be PPC and DC in other cities.

“TaniHub focuses on building infrastructure and supply chains which are currently the biggest challenges in the Indonesian agriculture sector. We are committed to strengthening our partnerships with partners in the B2B area, including SMEs. We expect better growth for this year and we hope to reach all cities throughout the country by 2020,” TaniHub Group’s CEO & Co-Founder, Ivan Arie Sustiawan said.

In addition to providing agricultural products, TaniHub Group also has a P2P lending service, TaniFund. This service has succeeded in disbursing 100 billion Rupiah in loans since start operating in 2017 ago.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

TaniHub Amankan Pendanaan Seri A+ Senilai 285 Miliar Rupiah

TaniHub Group mengumumkan telah berhasil mengamankan pendanaan seri A+ senilai US$17 juta atau setara 285 miliar Rupiah. Ini merupakan kelanjutan dari putaran seri A yang sebelumnya diumumkan pada Mei 2019 lalu.

Pendanaan kali ini dipimpin oleh Openspace Ventures dan Intudo Ventures. Turut berpartisipasi di dalamnya UOB Venture Management, Vertex Ventures, BRI Ventures, Tenaya Capital dan Golden Gate Ventures. Dengan ini total pendanaan yang diraih TaniHub Group sejak tahun 2016 mencapai Rp462 miliar.

Modal tambahan yang diterima akan dimanfaatkan untuk memperkuat posisi bisnis dengan memperluas cakupan wilayah, baik untuk petani maupun pelanggan. Peningkatan operasional juga jadi fokus, seperti penerapan solusi automasi otomadi pusat pemrosesan dan pengemasan.

Co-founder & Presiden TaniHub Group Pamitra Wineka mengatakan, regenerasi sangat penting bagi pertanian Indonesia, mengingat mereka menjadi salah satu kontributor terbesar ekonomi negara. Petani perlu meningkatkan produktivtas dan pendapatan untuk membuat yakin generasi mudah bahwa pertanian merupakan sektor yang memiliki prospek cerah.

“Ekosistem TaniHub Group kami dirancang untuk membantu para petani mencapai mimpinya dan konsumen dapat menikmati produk pertanian dengan harga yang wajar. Ini akan memungkinkan ‘agriculture untuk semua orang’, yang merupakan tujuan utama kami,” jelas Pramitra.

Pihak TaniHub mengaku bahwa mereka telah berhasil mendapatkan peningkatan tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Secara keseluruhan ada lebih dari 30.000 petani kecil yang bergabung dengan ekosistem mereka. Di dalam platform mereka juga terdapat 5.000 pelanggan bisnis yang terdiri dari UKM, hotel, restoran, katering, dan 115.000 pelanggan ritel.

Berdasarkan data Startup Report dari DSResearch, aplikasi TaniHub paling banyak diunduh untuk kategori agrotech dengan total unduhan lebih dari 100.000 pada tahun 2019. Mengalahkan Kecipir dan iGrow.  Sementara dari segi bisnis pengantaran produk hasil pertanian TaniHub berada di segmen yang sama dengan Sayurbox, Kecipir, etanee, Kedai Sayur, dan lainnya.

Mempunyai mimpi untuk hadir di seluruh Indonesia

Saat ini TaniHub sudah memiliki lima kantor cabang atau regional, yakni ada di Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar.  Yang paling baru TaniHub Group sedang melakukan finalisasi PPC (Prosessing and Packing Center) di Malang dengan luas bangunan 3.000 meter persegi.

Untuk solusi automasi, mereka akan memasang mesin yang bias memproses dan melakukan packing secara otomatis. Tujuannya untuk mengurangi sentuhan tangan manusia sehingga kualitas dan keamanan produk terjamin. Setelah Malang, rencananya juga akan ada PPC dan DC di kota-kota lainnya.

“TaniHub berfokus pada membangun infrastruktur dan rantai pasokan yang saat ini merupakan tantangan terbesar di sektor pertanian Indonesia. Kami berkomitmen untuk memperkuat kemitraan kami dengan mitra di area B2B, termasuk dengan UKM. Kami mengharapkan pertumbuhan lebih baik untuk tahun ini dan kami berharap bisa menjangkau semua kota di seluruh negeri pada tahun 2020.” jelas Co-founder & CEO TaniHub Group Ivan Arie Sustiawan.

Selain melayani penjualan hasil pertanian TaniHub Group juga memiliki layanan P2P lending, TaniFund. Layanan ini telah berhasil menyalurkan 100 miliar Rupiah pinjaman sejak beroperasi pada tahun 2017 silam.

Application Information Will Show Up Here

SweetEscape Raises 84.8 Billion Rupiah Series A Funding

A digital platform connecting consumers with professional photographers, SweetEscape, today (7/02) announced a new Series A round. It’s worth up to $6 million or equivalent with 84.8 billion Rupiah. The funding led by Openspace Ventures and Jungle Ventures, also involved in this round Burda Principal Investments and the previous investors.

In the mid-2018, the startup founded by David Soong and Emile Etienne has secured $1 million seed funding led by East Ventures, participated also Beenext, SkyStar Capital, and GDP Venture.

The following funding is to be allocated for AI technology development in order to improve the platform’s capability. In addition, for operational expansion throughout Asia, SweetEscape plans to double up talents by 2019. Currently, the company has more than 100 employees distributed in Jakarta, Singapore, and Manila.

SweetEscape founder and team in Jakarta headquarter / SweetEscape
SweetEscape founder and team in Jakarta headquarter / SweetEscape

SweetEscape’s Co-Founder and CEO, David Soong said, AI technology optimation is highly required to improve post-production process. The hype of technology capability supposed to help photographic image processing.

Based in Jakarta, SweetEscape was founded in 2017. The previous founder, Emile, was also the Co-Founder & COO of Bridestory. Currently, they’ve reached more than 500 cities in over 100 countries.

In Indonesia, SweetEscape has a direct competitor named Frame a Trip, with a similar business model and target market. Founded by some experts in the business and entertainment industry, including Dian Sastro Wardoyo, Frame a Trip is targeting to cover more than 500 cities this year.

Emile as the Co-Founder & COO added, in order to scale up the business, SweetEscape will expand the photography services for all cases. Not only a trip or tour but also for a birthday party, baby shower, graduation, and many more.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

SweetEscape Dapatkan Pendanaan Seri A Senilai 84,8 Miliar Rupiah

Platform digital yang mempertemukan konsumen dengan fotografer profesional, SweetEscape, hari ini (02/7) mengumumkan telah mendapatkan putaran pendanaan baru dalam seri A. Nilainya mencapai $6 juta atau setara 84,8 miliar Rupiah. Pendanaan dipimpin oleh Openspace Ventures dan Jungle Ventures dengan keterlibatan Burda Principal Investments dan investor sebelumnya.

Pertengahan tahun 2018 lalu, startup yang didirikan oleh David Soong dan Emile Etienne tersebut telah membukukan pendanaan awal senilai $1 juta yang dipimpin East Ventures dengan partisipasi Beenext, SkyStar Capital, dan GDP Venture.

Modal tambahan ini akan dialokasikan untuk pengembangan teknologi AI guna meningkatkan kapabilitas platform. Selain itu untuk kebutuhan ekspansi operasional ke seluruh wilayah Asia, SweetEscape berniat merekrut lebih banyak pegawai hingga dua kali lipat di tahun 2019. Saat ini perusahaan telah memiliki lebih dari 100 karyawan yang tersebar di Jakarta, Singapura dan Manila.

SweetEscape
Founder dan tim SweetEscape di kantor pusat di Jakarta / SweetEscape

Co-Founder & CEO SweetEscape David Soong mengatakan, optimasi teknologi AI sangat diperlukan untuk meningkatkan proses pasca produksi. Kapabilitas teknologi yang tengah menjadi tren di industri tersebut diyakini bisa membantu dalam pengolahan gambar hasil fotografi.

Berbasis pusat di Jakarta, SweetEscape didirikan pada tahun 2017. Sebelumnya salah satu pendirinya, Emile, adalah Co-Founder & COO Bridestory. Saat ini mereka telah menjangkau lebih dari 500 kota di lebih dari 100 negara.

Dari Indonesia, SweetEscape bersaing langsung dengan Frame a Trip, juga memiliki model bisnis dan cakupan pasar yang hampir serupa. Didirikan oleh beberapa pesohor dalam dunia bisnis dan hiburan, termasuk selebriti Dian Sastro Wardoyo, Frame A Trip juga targetkan bisa mencakup lebih dari 500 kota tahun ini.

Emile selaku Co-Founder & COO turut menambahkan, untuk meningkatkan bisnis SweetEscape akan terus memperluas menghadirkan layanan fotografi untuk berbagai kebutuhan. Tidak hanya perjalanan atau wisata, namun akan memfasilitasi acara ulang tahun, baby shower, wisuda dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

TaniGroup Amankan Pendanaan Seri A Senilai 143 Miliar Rupiah

TaniGroup mengumumkan telah berhasil mengamankan pendanaan aeri A sebesar $10 juta atau setara dengan 143 miliar Rupiah. Dana tersebut akan dimanfaatkan untuk melakukan ekspansi bisnis dan mengajak startup pertanian lain berkolaborasi demi memajukan sektor pertanian di Indonesia.

Putaran pendanaan ini dipimpin oleh Openspace Ventures. Turut terlibat di dalamnya Intudo Ventures, Golden Gate Ventures dan The DFS Lab, sebuah akselerator fintech yang didanai oleh Bill dan Melinda Gates Foundations.

Dengan pendanaan yang didapat, TaniGroup berharap bisa memicu pertumbuhan bisnis yang pesat di tahun 2019, sehingga lebih banyak petani dan pembeli dapat diuntungan. TaniGroup percaya bahwa kolaborasi dengan banyak pemangku kepentingan adalah kunci untuk memecahkan masalah di sektor pertanian Indonesia.

TaniGroup akan bekerja sama dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi lokal dan internasional, termasuk startup pertanian lainnya untuk membangun platform yang lebih besar.

“Dalam waktu dekat, kami ingin mengundang startup-startup pertanian untuk berkolaborasi karena kue pertanian Indonesia masih besar dan sangat tradisional. Ada banyak masalah besar yang harus diselesaikan, banyak petani masih membutuhkan bantuan, dan juga kesempatan untuk membangun rantai pasok lebih kuat dalam rangka menyediakan hasil tani yang bagus kepada masyarakat Indonesia dengan harga terbaik,” terang CEO TaniGroup Ivan Arie Sustiawan.

Sejak didirikan pertengahan tahun 2016, TaniHub telah bermitra dengan lebih dari 25.000 petani lokal di seluruh Indonesia dan mengoperasikan lima kantor cabang dan pusat distribusi regional di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.

TaniGroup sendiri saat ini memiliki dua jenis layanan. Pertama TaniHub, sebuah platform yang memungkinkan pengguna mendapatkan hasil pertanian segar yang didapat langsung dari petani. Layanan ini memiliki pendekatan B2B dan B2C. Saat ini Tanihub berhasil menghubungkan petani dengan 400 UKM dan lebih dari 10.000 pengguna individu.

Layanan selanjutnya adalah TaniFund, membantu para petani untuk mendapatkan dana pinjaman untuk proyek budidaya pertanian. Dengan adanya hubungan ke platform TaniHub, baik peminjam maupun pemberi pinjaman akan mendapat kejelasan status dan perjanjian. TaniFund ini sudah resmi terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan juga menjadi anggota dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

“Misi utama kami adalah agiculture for everyone. Meskipun pertanian adalah penyumbang terbesar kedua terhadap produk domestik bruto Indonesia, banyak orang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan sektor tersebut sejak lama karena adanya persepsi negatif. Bekerja sebagai petani tidak diminati jika dibandingkan dengan pekerjaan lainnya, dan mayoritas konsumen tidak berhubungan langsung dengan sumber pasokan makanan mereka,” ujar Co-Founder & President TaniGroup Pamitra Wineka.

Application Information Will Show Up Here