The Trade Desk Umumkan Kemitraan Strategis dengan RCTI+ dan IndiHome

The Trade Desk (TTD) mengumumkan kemitraan strategis dengan dua platform OTT lokal, yakni RCTI+ dan IndiHome. Melalui kemitraan ini, pihaknya berupaya untuk mendorong pengembangan ekosistem OTT lokal di Indonesia melalui layanan programmatic advertising.

Sekadar informasi, The Trade Desk merupakan perusahaan teknologi berbasis di Amerika Serika yang menawarkan layanan inventory iklan untuk berbagai situs web, aplikasi, podcast, dan platform streaming Over The Top (OTT). Selain menjangkau cakupan audiens lebih luas, layanan ini juga memungkinkan marketer untuk mendapatkan laporan dan insight dari campaign yang dilakukan.

Country Manager The Trade Desk Indonesia Florencia Eka mengatakan, saat ini belum banyak layanan yang menawarkan layanan serupa di Indonesia. Dapat dikatakan, The Trade Desk menjadi pionir dengan model ini. “Kami ingin mengedukasi pentingnya [pemasaran melalui] Connected TV (CTV) bagi marketer,” ujarnya dalam konferensi pers virtual.

Florence mengakui perkembangan teknologi telah mengubah cara masyarakat berperilaku digital. Perubahan ini juga berdampak pada cara masyarakat mengonsumsi konten dari offline ke online. Dengan terjadinya shifting ini, pihaknya melihat peluang bagi pengiklan untuk menjangkau audiens melalui perangkat dan terhubung dengan journey mereka di platform digital.

Menurutnya, pemasaran dengan model linear TV, dinilai memiliki kelemahan dalam menentukan target pasar yang presisi. Linear TV merupakan konsep tradisional beriklan di mana audiens menonton program TV terjadwal saat disiarkan dan disalurkan lewat channel aslinya.

Sementara, pemasaran melalui Connected TV (CTV) dapat menjangkau penonton berdasarkan preferensi konten, profil audiens, dan tidak hanya ketika acara disiarkan. Pemasaran via CTV dinilai lebih presisi karena ditunjang dengan kekuatan data.

Selain itu, ia juga menilai tren pemasaran global mulai mengarah ke OTT dan VTC di mana adopsinya tumbuh secara signifikan saat pandemi Covid-19. Mengadopsi model ini akan mempercepat akselerasi pemasaran dari TV tradisional ke TV internet.

“Kemitraan ini menawarkan akurasi dan presisi sehingga marketer bisa menghindari pemborosan budget. Layanan ini juga lebih efisien karena mereka tidak perlu menghubungi, melakukan negosiasi, atau mendapatkan invoice satu per satu. Marketer dapat melewatkan peluang baru jika hanya fokus pada model lama dan terpaku pada media sosial saja,” ujarnya.

Seperti diketahui, RCTI+ merupakan platform OTT milik MNC Group, yang memiliki jaringan televisi free-to-air MNC, RCTI, Global TV, dan iNews. Sementara, IndiHome merupakan penyedia IPTV milik operator telekomunikasi pelat merah, Telkom Group.

“Layanan kami dapat membantu pengiklan untuk menjangkau 3,6 juta pengguna IndiHome dan 14 juta pemirsa potensial di lebih dari 300 kota di Indonesia, serta lebih dari 30,5 juta pengguna aktif bulanan RCTI+.” Tambahnya.

Indonesia gemar streaming

Dalam kesempatan ini, The Trade Desk sekaligus memaparkan hasil riset yang dilakukan bersama Kantar. Laporan ini menyebutkan, masyarakat Indonesia streaming konten OTT hampir tiga miliar jam per bulan. Temuan ini menjadikan Indonesia sebagai negara terbanyak menonton OTT di kawasan Asia Tenggara.

Tak hanya itu, laporan ini mengungkap bahwa konsumen Indonesia paling toleran terhadap iklan. Sebanyak 95% responden pemirsa menonton iklan untuk dapat menikmati konten gratis, dan 66% mengaku mengingat merek, produk, dan iklan yang mereka lihat.

Hal ini juga turut diperkuat temuan Integral AD Science (IAS), pionir penyedia verifikasi iklan digital, yang mengungkap bahwa mayoritas konsumen Indonesia pengguna CTV menunjukkan perilaku baru, yaitu terbiasa menonton konten gratis diselingi iklan.

Ini menandakan adanya peluang besar pada OTT/CTV bagi marketer. Pasalnya, laporan ini mengungkap, peluang untuk menjangkau audiens secara lebih cepat justru terjadi di platform open internet (62%). Contoh platform open internet antara lain CTV/OTT (Viu, Vidio, Iflix), Video (dailymotion), Audio (Spotify, JOOX), Display (detiknetworl. KLY), Native (triplelift). Sedangkan, 38% dari platform sosial, seperti Facebook, YouTube, dan Instagram.

Aplikasi Lionsgate Play Resmi Meluncur di Indonesia, Tawarkan Konten Premium Hollywood dan Bollywood

Setelah sebelumnya mengumumkan kemitraan strategis, aplikasi video streaming Lionsgate Play hari ini (21/4) meresmikan kehadirannya di Indonesia. Mereka menawarkan beragam konten khas Hollywood yang dimiliki oleh Lionsgate Studio dan Starz, juga konten Bollywood ternama dan sajian orisinal mereka. Sebelum di Indonesia, akhir tahun 2020 lalu Lionsngate Play telah resmi meluncur di India.

Dalam acara temu media, President & Chief Executive Officer STARZ Jeffrey A. Hirsch menyebutkan, besarnya jumlah populasi di Indonesia, koneksi teknologi, dan penetrasi internet yang sudah cukup baik, menjadi alasan ideal bagi mereka sehingga memutuskan untuk menjajakan produknya di sini. Ia juga menegaskan, di Indonesia saat ini hanya ada sekitar 2-4 platform yang juga menawarkan layanan serupa [ditinjau dari konten salah satunya], sehingga masih banyak ruang untuk tumbuh di Indonesia.

Di fase awalnya, mereka masih fokus pada konten Hollywood dan Bollywood saja. Namun ke depannya Lionsgate Play juga berencana untuk menambah konten asal Indonesia. Menurut Managing Director SEA & Networks Rohit Jain, saat pandemi menjadi waktu yang tepat bagi Lionsgate Play untuk berinvestasi kepada konten dan fokus kepada pengalaman pengguna. Untuk itu ke depannya akan ditambah lagi konten menarik untuk pengguna premium Lionsgate Play.

“Sebelumnya kami telah meluncurkan layanan ini di India dan mendapatkan respons yang baik dari pasar. Kami juga telah menemukan blue print atau model bisnis yang tepat saat muncul pertama kali di India. Terutama untuk emerging market di Asia, dengan demikian model tersebut bisa direplikasi di pasar lainnya,” kata Rohit.

Untuk mendukung teknologi yang diterapkan di platform, Lionsgate saat ini telah memiliki Tech Developement Center di dua negara yaitu di Denver Amerika Serikat dan di Timur Tengah. Dengan demikian diharapkan mereka bisa memberikan pengalaman pengguna yang terbaik, didukung dengan tampilan UI/UX yang seasmless dan kemudahan mengakses aplikasi.

Menjalin kemitraan strategis

Dalam acara peluncuran Lionsgate Play Indonesia, turut dihadirkan juga tim lokal yang nantinya bertanggung jawab untuk mengelola Lionsgate Play di Indonesia. Mereka di antaranya adalah Guntur Siboro (Country Manager Indonesia), Karina Mahadi (Content Manager), dan Gene Tamesis Jr (SVP Bizdev & Partnerships).

Untuk mendukung pertumbuhan pengguna Lionsgate Play di Indonesia, telah dijalin kemitraan strategis. Mulai dari dengan operator telekomunikasi seperti Telkomsel hingga Indihome. Untuk memudahkan pilihan pembayaran, Lionsgate Play Indonesia juga telah bermitra dengan Gopay, ShopeePay, hingga Doku.

“Tentunya kami juga menawarkan pilihan pembayaran umum lainnya seperti kartu kredit, kartu debit hingga pembayaran melalui billing carrier (potong pulsa). Sesuai dengan esensi perusahaan, kami akan terus menambah kemitraan dengan pihak yang relevan,” kata Guntur.

Meskipun saat ini paket bundling hingga promosi masih tersedia untuk pengguna Telkomsel, namun ke depannya Lionsgate Play juga akan menambah kemitraan dengan operator telekomunikasi lainnya di Indonesia.

Layanan Lionsgate Play menyediakan dua model berlangganan untuk mengakses aplikasi yaitu Rp35.000 per bulan dan Rp179.000 selama setahun. Pilihan harga ini diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada konsumen Indonesia untuk menikmati hiburan global terbaik dengan harga terjangkau dan kenyamanan mereka.

“Tujuan dari kemitraan ini tentunya adalah berguna bagi kedua belah pihak. Bagi mitra mereka bisa mendapatkan konten beragam dari kami dan tentunya pilihan yang ideal bagi pelanggan mereka,” imbuh Guntur.

Peluang Lionsgate Play di Indonesia

Berbeda dengan pemain lainnya yang lebih dulu telah hadir di Indonesia seperti Disney+Hotstar, pendekatan yang dilakukan oleh mereka adalah secara langsung menawarkan konten orisinal yang beragam asal sineas Indonesia. Netflix sendiri makin agresif menjalin kemitraan strategis dengan sineas lokal, yang tujuannya untuk menambah konten orisinal asal Indonesia.

Namun bagi Lionsgate Play yang selama ini sudah dikenal memiliki konten film asal Hollywood berkualitas yang telah berhasil mendapatkan berbagai penghargaan piala Oscar hingga Golden Globes, diyakini bisa menjadi pemancing bagi pengguna di Indonesia untuk menjadi pelanggan Lionsgate Play.

Selain konten dari perpustakaan milik Lionsgate Studio dan Starz, Lionsgate Play juga telah mengakuisisi konten dari beberapa perusahaan entertainment di mancanegara, seperti dari BBC, Studio Canal dan Summit. Lionsgate Play di Indonesia menargetkan bisa menjangkau jutaan pengguna baru yang mendaftarkan diri menjadi pengguna Lionsgate Play.

“Saat ini Lionsgate telah memiliki sekitar 28 juta pengguna di lebih dari 56 negara. Dengan konten terkurasi tersebut kami berharap bisa memberikan pilihan baru kepada pengguna yang ingin menikmati konten premium,” kata Jeffrey.

Application Information Will Show Up Here

Banyak Peminat, GoPlay Perkuat Fitur “Live Stream”

GoPlay menambah rangkaian fitur baru untuk perkuat platform live streaming “GoPlay Live” demi menjaring lebih banyak konten kreator lokal bergabung. Sejak diresmikan pada pertengahan tahun lalu, GoPlay Live diklaim mendapat antusiasme tinggi karena memiliki fitur interaktif yang tidak ditawarkan oleh platform sejenis.

CEO GoPlay Edy Sulistyo menjelaskan, dalam perjalanannya GoPlay hadir sebagai rumah bagi para konten kreator tanah air untuk berkreasi dan memasarkan karyanya secara lebih luas. Dukungan tersebut awalnya dihadirkan untuk para sineas perfilman melalui konten GoPlay Original dan kini diperluas ke ranah live show.

“Sejak pandemi kami menemukan banyak orang yang bisa menjadi konten kreator. Sebab, kami belajar bahwa komitmen untuk jadi wadah konten kreator itu tidak selesai di sineas saja, tidak boleh pandang bulu. GoPlay harus bisa ayomi lebih banyak para konten kreator lebih banyak lagi,” kata Edy dalam konferensi pers virtual, Jumat (9/4).

Sejumlah fitur interaktif yang diperkenalkan GoPlay Live, di antaranya Chat, Shout Out, Virtual gift, Polling, dan Live shopping. Fitur-fitur tersebut dapat mendorong para kreator untuk berinovasi menghadirkan topik-topik baru yang lebih seru dan menghibur.

Edy juga menekankan, teknologi di dalam GoPlay Live sudah dikostumisasi sedemikian rupa untuk menekan delay dan dapat menyajikan live stream secara real time. Pasalnya, live stream itu erat kaitannya dengan interaksi langsung antara penonton dengan host sehingga apabila ada delay tentu pengalaman tersebut tidak akan maksimal. Pengalaman tersebut masih menjadi hambatan bagi platform live stream yang hadir saat ini.

“Fitur-fitur interaktif ini dibutuhkan penonton live stream karena zaman sekarang orang tidak ingin hanya sekadar nonton saja. Mereka ingin interaksi langsung dengan host-nya dengan format tontonan yang belum pernah ada sebelumnya.”

Salah satu fitur yang banyak digunakan adalah virtual gift selama live streaming. Fitur ini dapat menjadi salah satu kanal kreator dalam monetisasi, karena penonton dapat memberikan apresiasinya kepada kreator dengan memberikan hadiah berupa saldo yang dipotong langsung dari akun GoPay.

“Kami juga melihat tren pendapatan para kreator konten terus meningkat seiring antusiasme pengguna yang semakin familiar dengan fitur virtual gift ini. Temuan ini sangat membesarkan hati kami karena dukungan para pengguna akan sangat membantu pertumbuhan industri live streaming di Indonesia.”

GoPlay mencatat tayangan live show interaktif berhasil menarik antusiasme pengguna. Jumlah live show meningkat secara signifikan hingga 10 kali lipat sepanjang kuartal I 2021. Pertumbuhan tersebut seiring dengan jumlah kreator konten yang meningkat hingga 100% dibandingkan tahun lalu. Salah satunya, konten GoPlay Live Original bersama JKT48, bernama JKT48 Live Show berhasil menarik penonton hingga lebih dari 4 ribu orang.

Pencapaian dari GoPlay ini tercermin dengan laporan dari App Annie. Jumlah jam yang dihabiskan pada aplikasi mobile video streaming di Indonesia pada kuartal IV 2020 mencapai 8,33 miliar jam. Angka tersebut naik hampir dua kali lipat dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 4,94 miliar jam. Konsumen juga dipercaya akan mengunduh lebih dari satu hingga rata-rata 9,5 aplikasi streaming, seiring dengan minat mereka untuk terus mencari hiburan baru di aplikasi selama berkegiatan di rumah.

Sepanjang tahun ini, GoPlay akan fokus membuat lebih banyak kerja sama dengan kreator lokal untuk membuat konten eksklusifnya di GoPlay Live yang bakal tayang secara rutin. Seperti, live streaming nonton bareng film indie, live music akustik, kelas memasak, review makanan GoFood, talkshow, dan lain-lain.

“Kami juga melakukan pendampingan secara bertahap untuk para kreator. Ada tim kreator yang ditugaskan khusus untuk bantu mereka, lalu ada studio yang bisa dipakai untuk live streaming,” pungkas Edy.

Selain platform live streaming interaktif, GoPlay juga menawarkan layanan video-on-demand berlangganan yang mencakup konten GoPlay Original, GoPlay Exclusive, galeri film independen GoPlay Indie dan galeri konten premium lainnya, serta GoPlay Rental (pay-per-view service).

Application Information Will Show Up Here

Tandai Era Baru, Bisnis OTT MNC Group Segera “Go Public” di Bursa Amerika Serikat Melalui SPAC

MNC Vision Networks, (IDX: IPTV) melalui anak usahanya Asia Vision Network (AVN) atau dikenal dengan produk aplikasinya Vision+, mengumumkan telah resmi menandatangani perjanjian penggabungan usaha dengan Malacca Straits Acquisition Company (NASDAQ: MLAC), sebuah SPAC (Special Purpose Acquisition Company).

Rumor ini sudah beredar sejak Februari 2021 lalu. Melalui surat tanggapan yang dipublikasikan melalui IDX, pihak IPTV mengonfirmasi soal rencana tersebut. Hanya saja disampaikan bahwa proses filling belum dilakukan, sehingga belum bisa menginformasikan lebih lanjut ke otoritas.

Berdasarkan informasi terbaru yang disebarkan ke media, proses merger ditargetkan tuntas pada akhir Q2 2021. Proses penandatanganan Business Combination Agreement sudah dilakukan per 22 Maret 2021 oleh kedua pihak. Proyeksi valuasi perusahaan adalah senilai $573 juta atau setara 8 triliun Rupiah — mencerminkan rasio EV/EBITDA di 5,8 kali dari nilai tersebut. Kombinasi bisnis juga diperkirakan akan menambah modal segar sekitar $135 juta — jika tidak ada penebusan pemegang saham publik MLAC.

Selain mengoperasikan OTT (over the top) lewat aplikasi streaming video, AVN juga membawahi MNC Play sebagai operator TV berbayar dan layanan broadband.

Merger ini bakal menandai perjanjian perdana antara startup teknologi Indonesia dan SPAC untuk melantai di bursa saham Amerika Serikat. Sebelumnya sejumlah startup unicorn telah ramai dirumorkan mengambil langkah serupa, tetapi sejauh ini belum ada konfirmasi realisasi.

Gambaran kompetisi pasar

Berdasarkan data yang dihimpun di Statista Digital Market Outlook 2020revenue layanan video-on-demand (VOD) di Indonesia diprediksikan mencapai $411 juta atau setara 5,9 triliun Rupiah pada 2021 dengan penetrasi pengguna mencapai 16,5% dengan rata-rata revenue per pengguna (ARPU) $9.02. Sub-segmen yang menyumbangkan nilai terbesar adalah video streaming (SVoD), dengan kisaran $237 miliar.

Vision+ menjadi bagian dari ekosistem ini, berkompetisi sengit dengan para pemain lainnya. Dari pemetaan pemain SVOD yang dirangum dalam Startup Report 2020, setidaknya saat ini ada 21 varian layanan dengan berbagai spesialisasi konten. Ditinjau dari statistik penggunaan layanan lokal, aplikasi Vidio, RCTI+, dan Maxstream masih memimpin tiga besar yang paling banyak dipakai.

Kuat di siaran TV (baik gratis maupun berbayar) tidak menghentikan Vision+ untuk meningkatkan value propsition-nya. Karena ini mereka juga mulai banyak merilis seri orisinal film, dan beberapa tayangan eksklusif lainnya. Saat ini aplikasi sudah diunduh lebih dari 5 juta pengguna di Google Play dengan rating  4.4/5.0.

Sementara jika membandingkan dengan pemain global, ada beberapa pesaing berat yang saat ini terus menggencarkan penetrasinya di Indonesia. Dari Tencent, mereka punya dua amunisi, yakni WeTV dan iflix, dengan diversifikasi konten seri orisinal produksi Tiongkok. Kemudian ada Netflix sebagai pemimpin pasar SVOD global, juga Disney+ Hotstar yang mulai debut tahun 2020 lalu dengan konten khasnya.

Peta persaingan VOD di Indonesia

Pembatasan sosial akibat pandemi juga banyak mendatangkan pengguna baru, sebagai alternatif hiburan selama di rumah saja. Salah satunya divalidasi oleh survei McKinsey pada Maret s/d April 2020, sebanyak 45% responden mengaku mengeluarkan lebih banyak uang untuk hiburan di rumah dan berdampak pada pertumbuhan konsumsi konten video sebesar 53% dari sebelumnya.

Menurut data Media Partners Asia, hingga awal tahun ini Disney+ Hotstar sudah memiliki 2,5 juta pelanggan di Indonesia, Viu memiliki 1,5 juta pelanggan, dan Vidio 1,1 juta pelanggan (premium). Sementara Netflix memiliki 800 ribu. Disney+ Hotstar gencar memberikan paket akses premium gratis, di-bundling dengan paket internet dari Telkomsel (mitra peluncurannya di Indonesia). Menurut keterangan MNC, Vision+ saat ini memiliki 5,6 juta pelanggan, dan 1,6 juta di antaranya adalah pelanggan berbayar.

DNA bisnis MNC Group sebagai korporasi media tentu menjadi nilai plus jika mengharapkan Vision+ dapat menjadi pemimpin pasar di Indonesia. Setidaknya mereka telah membuktikan lewat kanal siaran televisi dengan menguasai 48% market share nasional. Namun pelanggan SVOD (dalam konteks pengguna premium) dengan pemirsa televisi bisa saja memiliki irisan demografi dan karakteristik yang berbeda, sehingga memang harus divalidasi lebih lanjut.

Fixed broadband dan TV kabel

Terkait fixed-broadband atau jaringan internet rumahan, menurut data yang dihimpun Techinasia per Juni 2020, setidaknya ada 11 pemain yang saat ini menyuguhkan layanannya termasuk MNC Play. Kebanyakan layanan TV kabel juga disuguhkan bersanding dengan paket internet yang diberikan.

Fixed Broadband Layanan Hiburan Penawaran Kecepatan Biaya Langganan Dasar Cakupan
MNC Play TV Kabel, VOD 10Mbps s/d 70Mbps Rp290ribu s/d Rp1juta Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Malang
Indosat Ooredoo GIG TV Kabel, VOD 20Mbps s/d 100Mbps Rp280ribu s/d Rp1juta DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Banten
Biznet Networks TV Kabel, VOD 75Mbps s/d 150Mbps Rp325ribu s/d Rp725ribu Wilayah Pulau Jawa, Batam, dan Bali
First Media TV Kabel, VOD 15Mbps s/d 300Mbps Rp361ribu s/d Rp3,1juta Jabodetabek, Bandung, Cirebon, Purwakarta, Semarang, Solo, Surabaya, Kediri, Malang, Gresik, Sidoarjo, Surabaya, Bali, Medan, Batam
CBN Fiber TV Kabel, VOD 30Mbps s/d 200Mbps Rp299ribu s/d Rp1,3juta Jabodetabek, Bandung, Cirebon, Denpasar, Medan, Palembang, Surabaya, Jember Kediri, Madiun, Malang, Sidoarjo, Semarang
Indihome TV Kabel, VOD 10Mbps s/d 50Mbps Rp169ribu s/d Rp625ribu Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua
Groovy TV Kabel 10Mbps s/d 80Mbps Rp269ribu s/d Rp568ribu Jabodetabek, Bandung
MyRepublic TV Kabel, VOD 30Mbps s/d 300Mbps Rp329ribu s/d Rp1,2juta Jabodetabek, Bandung, Malang, Medan, Palembang, Semarang, Surabaya
Oxygen.ID TV Kabel, VOD 25Mbps s/d 100Mbps Rp273ribu s/d Rp493ribu Jabodetabek, Bandung, Pekalongan
XL Home TV Kabel, VOD 100Mbps s/d 1Gbps Rp349ribu s/d Rp999ribu Jabodetabek, Bandung, Banjar Baru, Banjarmasin, Bekasi, Balikpapan, Bantul, Denpasar, Makassar, Sleman
Transvision TV Kabel, VOD 30Mbps s/d 1Gbps Rp269ribu s/d – Jabodetabek

Bersumber dari Key Market Indicators Statista, data statistik berikut menunjukkan perkiraan jumlah rumah tangga dan penetrasi penggunaan TV internet berlangganan (iptv) di Indonesia hingga tahun 2025 mendatang. Konsep iptv menggunakan internet sebagai transmisi layanan.

Urgensi untuk memiliki layanan internet rumahan dapat menjadi pendorong utama peningkatan penetrasi layanan ini – terlebih pandemi memang banyak mendorong konsumsi internet di tengah masyarakat Indonesia, baik untuk menunjang kebutuhan work from home (WFH), learning/school from home (LFH), atau untuk hiburan.

Penetrasi IPTV di Indonesia

Sementara itu, menurut data International Telecommunication Union pelanggan layanan internet rumahan (fixed broadband) di Indonesia hingga tahun 2019 sudah melebihi angka 10 juta. Jika menghubungkan pada tabel sebaran penyedia layanan di atas, masih banyak daerah yang belum diakomodasi oleh layanan tersebut. Artinya angka ini juga masih terus berpotensi bertumbuh seiring peningkatan adopsi dan ekspansi dari penyedia bisnis itu sendiri.

Fixed Broadband Subscription in Indonesia

Dari hasil survei yang dilakukan oleh Nusaresearch periode April 2020 melibatkan 2.792 responden, diungkapkan beberapa penyedia layanan broadband (mencakup mobile dan fixed) di Indonesia. Dengan cakupan yang masih cukup terbatas, MNC Play masih menempati posisi 10 besar dan menjadi 1 dari 4 layanan fixed yang paling banyak digunakan. Dari rilis yang diedarkan, MNC Play saat ini juga telah memiliki sekitar 300 ribu pelanggan.

Internet provider Indonesia 2020

Penguatan lini bisnis

Dalam keterbukaannya juga disampaikan, bahwa saat ini AVN sedang menyelesaikan akuisisi 100% saham K-Vision. Transaksi ditargetkan rampung pada akhir bulan ini. K-Vision sendiri adalah perusahaan penyedia layanan TV kabel yang berinduk pada perusahaan yang sama. Diharapkan pasca akuisisi bisa menambahkan pilihan konten di layanan SVOD Vision+, termasuk sinaran populer dari RCTI, GTV, MNCTV, iNews, dan 13 saluran lokal ainnya. Saat ini K-Vision telah memiliki sekitar 6 juta pelanggan.

Secara struktur bisnis, AVN akan membawahi tiga unit perusahaan, termasuk Playbox sebagai pengembang OTT BOX Android untuk penyiaran televisi berbayar.

Struktur MNC Media Group

Di luar grup bisnis media, MNC juga terus memperkuat ekosistem digitalnya. Beberapa waktu lalu kami sempat mewawancara Direktur MNC Kapital Jessica Tanoesoedibjo, dalam pemaparannya saat ini perusahaan tengah memperkuat penetrasi aplikasi pembayaran SPIN, termasuk dengan mengintegrasikan ke berbagai lini bisnis lainnya, termasuk Vision+, MNC Play, dan lain-lain.

Application Information Will Show Up Here

Diversifikasi Konten dan Model Bisnis Jadi Strategi Tencent Matangkan Bisnis “Video Streaming”

Di tengah aktivitas pembatasan sosial akibat pandemi, konten digital menjadi alternatif hiburan yang banyak dipilih masyarakat. Survei yang dilakukan McKinsey pada Maret s/d April 2020 mengatakan bahwa 45% responden mengaku mengeluarkan lebih banyak uang untuk hiburan di rumah dan berdampak pada pertumbuhan konsumsi konten video sebesar 53% dari sebelumnya.

Kondisi ini jelas menjadi kesempatan tersendiri bagi pemain industri di bidang tersebut. Untuk melihat sejauh mana penyedia layanan streaming memupuk pertumbuhan di tengah pandemi, DailySocial berkesempatan untuk mewawancara Country Manager WeTV dan iflix Indonesia Lesley Simpson. Kedua aplikasi tersebut kini dikelola Tencent, perusahaan teknologi raksasa asal Tiongkok yang memfokuskan pada segmen hiburan.

Country Manager WeTV dan iflix Indonesia Lesley Simpson / Tencent
Country Manager WeTV dan iflix Indonesia Lesley Simpson / Tencent

Tencent sendiri juga sudah memiliki basis perusahaan di Indonesia melalui PT Tencent Indonesia untuk memaksimalkan penetrasi penggunaan produk dan potensi bisnis. Sejak tahun 2018 lalu, Tencent mantapkan diri menjalankan operasional di Indonesia secara mandiri.

WeTV dan iflix

Mengawali perbincangan, Lesley mencoba menjelaskan tentang nilai unik yang dibawa oleh WeTV dan iflix. “Sejak beberapa aset perusahaan diakuisisi, saat ini WeTV dan iflix sama-sama dioperasikan Tencent secara terpisah. Dari segi brand, iflix sudah tidak asing dengan pengguna di Indonesia, sedangkan WeTV masih baru. Di WeTV ini salah satu varian konten yang cukup kuat adalah film dan seri Mandarin, Thailand, dan juga Korea,” ujarnya.

Ia menyampaikan, WeTV kini juga fokus untuk memproduksi seri orisinal. Dalam eksekusinya, mereka turut menggandeng studio produksi lokal dan juga menggarap judul seri dari intelektual properti lokal yang sebelumnya sudah sukses dalam film, misalnya dari Indonesia ada Yowis Ben The Series dan Imperfect Series.

“Kami juga produksi konten sendiri untuk tetap menjaga kualitas tontonan [..] Saat ini bioskop juga belum kondusif, harapannya seri-seri dari IP dan judul yang dikenal tersebut bisa menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat,” imbuh Lesley.

Imperfect Series sebagai salah satu film yang diadopsi menjadi serial drama / Tencent
Imperfect Series sebagai salah satu film yang diadopsi menjadi serial drama / Tencent

Diversifikasi konten

Ketika ditanya soal jumlah pengguna saat ini, Lesley tidak menyebutkan angka secara eksplisit. Namun demikian ia menekankan, salah satu strategi yang ingin dihadirkan adalah diversifikasi konten. Tidak dimungkiri bahwa konten Korea Selatan saat ini menjadi yang paling favorit di Indonesia, padahal menurutnya banyak opsi hiburan lain yang juga bisa dijadikan pilihan, salah satunya film atau seri Tiongkok.

“Selama ini karena adanya ‘Korean wave’ kesannya pilihan tontonnya itu terbatas. Padahal masih ada banyak seri atau film dari berbagai negara di Asia. Misalnya dari Tiongkok, hiburan di sana selalu disuguhkan dengan kualitas yang bagus. Mereka sangat serius dalam pembuatan kostum dan proses produksi. Dan ternyata benar, ketika kami suguhkan di WeTV peminatnya sangat banyak,” ungkap Lesley.

Agar mudah diadaptasi, WeTV dan iflix juga mengupayakan setiap konten impor yang dihadirkan juga di-dubbing dengan pengisi suara berbahasa Indonesia. Menurut Lesley, banyak pengguna di sini yang lebih nyaman mendengar ketimbang membaca (subtitle) — kendati masih ada opsi untuk menggunakan subtitle di setiap konten.

“Di sisi lain, ini juga jadi industri yang ingin kita gandeng. Kami bekerja sama dengan dubber profesional dan berbakat untuk membuat kualitas konten terbaik,” jelasnya.

Model bisnis

Untuk menonton sajikan di WeTV, pengguna cukup mengunjungi situs atau membuka aplikasi. Tidak diwajibkan registrasi atau login untuk melihat film atau seri yang ada. Bahkan Lesley mengatakan, lebih dari setengah dari total tontonan yang mereka miliki bisa diakses secara gratis. Tak mengherankan dalam beberapa bulan di tahun 2020, aplikasi WeTV selalu bertanggar di urutan atas dalam peringkat Google Play kategori hiburan di Indonesia.

Meskipun demikian, model bisnis tetap harus dimiliki untuk memastikan perusahaan menuai profit. Saat ini, versi premium juga bisa dipilih pengguna untuk mendapatkan hak akses eksklusif, seperti menonton episode lebih awal, bebas iklan, dan mendapatkan konten premium eksklusif.

Kerja sama dengan mitra strategis juga dilakukan di Indonesia. Misalnya dengan penyedia jasa telekomunikasi. Saat ini mereka juga bekerja sama dengan Indihome untuk menyuguhkan kontennya ke pengguna USeeTV. Tak hanya itu, mereka juga bekerja sama dengan platform e-commerce lokal untuk berjualan voucher akses ke layanan premium. Lesley mengatakan, mereka masih terus mengeksplorasi kerja sama dengan banyak pihak, termasuk rumah produksi lokal.

“Yang menjadi unique selling point, Tencent telah menjadi raja konten di Tiongkok. Seperti diketahui, bahwa tidak mudah untuk menguasai pasar tersebut. Kompetensi tersebut yang akan dibawa di Indonesia. Yang jelas, pendekatan lokal harus diutamakan, termasuk dukungan tim lokal dan melokalkan konten,” kata Lesley.

Di tengah pandemi, beberapa modul baru turut diluncurkan. “Orang Indonesia biasanya senang nobar, karena bioskop tutup dan social distancing maka hal itu susah dilakukan. Dari situ kami merilis function sosial, memungkinkan orang bisa menonton ramai-ramai sambil memberikan komentar secara live dan berinteraksi dengan penonton lain. Pengguna dari Indonesia cukup antusias berpartisipasi di sini.”

Persaingan di Indonesia

Peta persaingan layanan video streaming di Indonesia / DSResearch
Peta persaingan layanan video streaming di Indonesia / DSResearch

Sebelumnya kami sudah membuat ulasan tentang ekosistem layanan video streaming di Indonesia, di dalamnya juga memetakan beberapa pemain yang sudah beroperasi: Lanskap Platform Video On-Demand di Indonesia. Posisi WeTV dan iflix bersaing langsung dengan beberapa pemain seperti Viu, GoPlay, Vidio, Netflix, dan lain-lain. Tahun ini juga bakal ada pendatang baru, salah satunya Lionsgate Play.

Menurut data terbaru Media Partners Asia, hingga awal tahun ini Disney+ Hotstar sudah memiliki 2,5 juta pelanggan di Indonesia, Viu memiliki 1,5 juta pelanggan, dan Vidio 1,1 juta pelanggan. Sementara Netflix memiliki 800 ribu. Disney+ Hotstar gencar memberikan paket akses premium gratis, di-bundling dengan paket internet dari Telkomsel (mitra peluncurannya di Indonesia).

Terkait persaingan ini, Lesley cukup percaya diri. Tencent dianggap telah membentuk ekosistem di Indonesia dan juga memiliki basis utama sebagai perusahaan teknologi. Seperti diketahui, perusahaan juga mengoperasikan layanan Joox (musik), permainan (PUBG, AOV), WeChat (pesan instan), dan sebagainya. “Tahun 2021 bakal ada sinergi antarplatform Tencent. Tapi pandemi memang membuat limitasi, karena saat ini kami masih butuh banyak sekali dukungan talenta lokal, namun di sisi lain masih harus mengutamakan kesehatan dan protokol yang menyertainya,” ujarnya.


Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Laporan Akamai: Pandemi Memunculkan Tantangan Monetisasi Bagi Platform Konten

Pandemi Covid-19 berdampak terhadap industri konten Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Laporan ini berdasarkan hasil wawancara dengan para pemimpin media senior di Indonesia sepanjang Maret-Mei 2020, seperti MediaCorp, MNC Media, Vidio.com, Foxtel, Telin, dan Kayo Sports.

Menurut laporan terbaru Akamai bertajuk “Indonesia: The Challenge of Monetizing in a Fast-Growing Market“, industri konten tanah air mengalami pertumbuhan signifikan, baik dari sisi trafik maupun pendapatan.

Pertumbuhan ini tercermin dari kenaikan trafik internet di 2020. Secara tahunan (YoY), pertumbuhan trafik di kuartal pertama 2020 mencapai 73 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang berkisar 139 persen. Sementara, secara kuartalan (QoQ), trafik dari Q1 ke Q2 2020 naik 46 persen dibandingkan periode sama 2019 yang hanya sekitar 5 persen.

Sumber: Akamai / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Akamai / Diolah kembali oleh DailySocial

Regional Sales Director South Asia Akamai Matthew Lynn mengungkapkan bahwa peningkatan signifikan pada platform konten dan layanan berbasis internet lainnya memang tidak disangka oleh pelaku bisnis di bidang ini. Apalagi, penetrasi internet dan layanan konten belum sepenuhnya merata.

Sebagaimana diketahui, Indonesia mencapai milestone luar biasa selama dua dekade ini dari sisi jumlah pengguna internet. APJII sebagaimana dikutip Akamai dalam laporannya mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat dari 2 juta di tahun 2000 menjadi 152 juta pengguna di 2019.

“Responden melihat pandemi menjadi faktor pendorong bagi kuntuk berlangganan konten dari sumber yang berkualitas dan kredibel. Karena situasi ini, persaingan untuk membuat konten eksklusif atau konten agregator serta upaya untuk memonetisasinya menjadi semakin ketat,” ungkap laporan ini.

Alasan konsumen tertarik untuk berlangganan antara lain dikarenakan oleh variasi konten banyak (51%), ketersediaan konten original (45%), ketersediaan konten existing yang sulit dicari di platform lain (27%), opsi free trial (24%), menonton tanpa iklan (17%), konten layak ditonton untuk anak-anak (16%), dan bundle dengan layanan lain (15%).

Ditambah lagi, secara umum industri media/konten di Indonesia dinilai terbilang masih berada di fase awal. Tak heran, kondisi ini memicu ruang pertumbuhan terhadap pemain baru jika melihat besarnya potensi pasar Indonesia.

Tekanan untuk monetisasi konten, model langganan atau iklan?

Pandemi mendatangkan trafik luar biasa terhadap bisnis konten. Akamai juga mencatat peningkatan pendapatan, terutama pada layanan video on-demand dengan CAGR 9,7% atau sebesar $306 miliar.

Akan tetapi, situasi ini justru memunculkan tantangan baru untuk tahapan selanjutnya: bagaimana melakukan scale up dan monetisasi layanan? Belum lagi, pandemi justru membuat konsumen lebih berhati-hati mengeluarkan budget untuk membeli konten.

Sumber: Statista / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Statista / Diolah kembali oleh DailySocial

Masih dikutip di laporan Akamai, APJII melaporkan penurunan pendapatan pada 500 anggotanya, di mana hampir 45 persen dari bisnis mereka turun hingga 30 persen. Adapun, sebanyak 6 persen terpaksa menutup bisnisnya karena tidak sanggup untuk mengeluarkan biaya lebih banyak lagi.

Sejak awal, responden memang memprediksi terjadinya market correction, tetapi mereka tidak menduga situasi tersebut bakal terjadi secepat ini. Pasalnya, pelaku bisnis saat ini masih berupaya mencari cara lain untuk memonetisasi kontennya.

“Ini menjadi pressure buat para pelaku bisnis konten, terutama demi memenuhi permintaan konsumen yang mulai shifting pada kebiasaan baru selama masa pandemi, yakni menonton konten secara online,” papar Lynn.

Saat ini sebagian besar model bisnis konten mengandalkan langganan (subscription) dan iklan (ads). Kedua model ini cukup banyak diadopsi demi menaikkan viewership dan mudah dimonetisasi. Sebanyak 70 persen responden menilai subscription menjadi model yang sustainaible untuk monetisasi.

“Khususnya pada layanan streaming, bisnis konten ini terbilang kompetitif karena ditunjang oleh model free trial. Konsumen dimanjakan dengan berbagai opsi berlangganan. Pada akhirnya, platform ini fokus terhadap akuisisi dan retensi pelanggan,” jelasnya.

Beberapa responden memilih untuk menggunakan pendekatan hybrid sebagai model yang tepat. Caranya dimulai dengan menawarkan konten gratis dengan kualitas dan experience terbatas. Model ini dapat membuka peluang lebih lanjut bagi konsumen untuk menikmati experience lebih baik dengan berlangganan.

Bagi responden, strategi ini dinilai menarik karena konsumen dapat menikmati konten selagi mempertimbangkan untuk berlangganan, dan di saat yang sama penyedia platform dapat memonetisasinya melalui iklan dari opsi free trial.

“Ini berarti budget iklan harus bisa menghasilkan return yang lebih baik melalui penayangan iklan berkinerja tinggi yang dapat menunjukkan peningkatan addressability pada one-to-one advertising,” ungkap laporan ini.

 

Lionsgate Play Is to Launch in Indonesia in Q1 2021

Recently arrived in India, Lionsgate Play, an on-demand video platform owned by US based colossal studio, The Lionsgate Motion Picture Group, is scheduled to be launched in Indonesia in the first quarter of 2021.

Guntur S. Siboro, who currently serves as the representative of Lionsgate Play in Indonesia, delivered the news to DailySocial. Disney+ Hotstar also offered similar concept in mid-2020.

“Indonesia will be the first country in Southeast Asia to welcome the Lionsgate Play platform. The similar market of India and Indonesia becomes the reason for Lionsgate Play to launch in Indonesia after India,” Guntur said.

Outside the Asian countries, Lionsgate Play is known as STARZPLAY, as well as in its home country of the United States, Lionsgate Play was chosen for countries in Asia, because Star was the name previously owned by a well-known company in Asia which is also a leading media company.

“However, the difference in name does not change the content we present in Asia and other countries. Lionsgate is not a big studio like Disney for example, but we have various Hollywood films, tv series, to indie films that have the best quality,” said Guntur.

Lionsgate Play pricelist and content

128882385_765745777618350_7554219817079945132_n

About the payment options for Lionsgate Play in Indonesia, Guntur avoids to reveal any further. However, he is open to the possibility with affordable and relevant prices to be given to target its customers in Indonesia.

Whether Lionsgate Play will partner with a local telco operator, as Disney+ Hotstar previously done with Telkomsel, is not further stated. Precisely, Guntur emphasized that even though the competition is getting fierce, with the existing content choices, it can be an option for Indonesian customers.

“I see that when Lionsgate Play finally arrived in Indonesia, it will not immediately turn off Disney+ Hostar, HBO Go, Netflix, and Amazon, which was prior to offer its services. Each of those has unique content with loyal customers,” Guntur said.

The strategic move taken by major studios such as Disney and The Lionsgate Motion Picture Group, has become an activity that many other major studios in the United States have aimed to compete with services such as Netflix, Amazon and Hulu, which mostly buy film production licenses. belong to each of these major studios.

“When I was at Hooq, I saw the steps taken by the major studio to stop licensing and launch its own OTT service, a trend that has proven successful and will be seen more in the future,” Guntur said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lionsgate Play akan Meluncur di Indonesia pada Q1 2021

Setelah sudah lebih dulu hadir di India, Lionsgate Play yang merupakan platform video on-demand milik studio besar asal Amerika Serikat, The Lionsgate Motion Picture Group, rencananya akan segera hadir di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2021 mendatang.

Kepada DailySocial. Guntur S. Siboro yang saat ini menjabat sebagai perwakilan Lionsgate Play di Indonesia menyampaikan kabar tersebut. Konsep serupa sebelumnya juga dilakukan oleh Disney+ Hotstar pertengahan tahun 2020 lalu.

“Indonesia nantinya akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menjadi pilihan dari Lionsgate Play. Pasar India dan Indonesia terbilang serupa, hal tersebut yang kemudian menjadikan Lionsgate Play akan meluncur di Indonesia setelah India,” kata Guntur.

Di luar Asia, nama Lionsgate Play dikenal dengan nama STARZPLAY, demikian pula di negara asalnya Amerika Serikat, Nama Lionsgate Play dipilih untuk negara di Asia, karena nama Star sebelumnya telah dimiliki terlebih dahulu oleh perusahaan ternama di Asia yang juga merupakan perusahaan media terkemuka.

“Namun perbedaan nama tersebut tidak mengubah konten yang kami sajikan di Asia dan negara lainnya. Lionsgate memang bukan studio besar seperti Disney misalnya, namun kami memiliki film Hollywood yang beragam, tv seri, hingga film indie yang memiliki kualitas terbaik,” kata Guntur

Harga dan konten Lionsgate Play

128882385_765745777618350_7554219817079945132_n

Disinggung seperti pilihan pembayaran yang akan ditetapkan oleh Lionsgate Play di Indonesia, Guntur enggan mengungkapkan lebih jauh. Meskipun demikian Guntur tidak menutup kemungkinan harga terjangkau dan relevan akan diberikan kepada target pelanggan di Indonesia.

Apakah nantinya Lionsgate Play akan menggandeng perusahaan operator telekomunikasi lokal seperti yang dilakukan oleh Disney+ Hotstar bersama dengan Telkomsel, tidak disebutkan lebih lanjut. Yang pasti Guntur menegaskan meskipun persaingan makin sengit, namun dengan pilihan konten yang ada, bisa menjadi pilihan bagi pelanggan di Indonesia.

“Saya melihat jika nantinya Lionsgate Play hadir di Indonesia tidak akan langsung mematikan Disney+ Hostar, HBO Go, Netflix, dan Amazon yang sebelumnya sudah hadir di Indonesia. Masing-masing memiliki konten yang unik dengan pelanggan setia yang hanya dimiliki oleh setiap platform,” kata Guntur.

Langkah strategis yang dilakukan oleh studio besar seperti Disney dan The Lionsgate Motion Picture Group, telah menjadi kegiatan yang juga banyak dilakukan oleh studio besar lainnya di Amerika Serikat, yang bertujuan untuk menjadi pesaing layanan seperti Netflix hingga Amazon dan Hulu, yang kebanyakan membeli lisensi film produksi milik masing-masing studio besar tersebut.

“Saat saya di Hooq sudah terlihat langkah yang kemudian diambil oleh studio besar tersebut untuk menghentikan lisensi dan meluncurkan layanan OTT sendiri, menjadi tren yang terbukti sukses dan akan makin banyak terlihat ke depannya,” kata Guntur.

TIX ID Rilis “Nonton Online”, Layanan Agregator Sewa Film di Google Play Movie dan Apple TV

Startup penyedia tiket bioskop TIX ID mengembangkan fitur terbaru “Nonton Online”, layanan sewa film yang terdapat di Google Play Movie dan Apple TV. Fitur ini baru dirilis pada bulan lalu dan diklaim mendapat respons yang baik dari pengguna.

Kepada DailySocial, CEO TIX ID Sean Kim menerangkan, fitur ini adalah bagian dari rencana ekspansi perusahaan dalam memberikan lebih banyak pengalaman menikmati film secara menyeluruh untuk para pengguna. “Ini baru langkah kecil, kita bisa menunjukkan gambaran yang lebih besar pada akhir tahun,” terangnya.

Nonton Online adalah bagian dari perusahaan untuk bertahan di tengah masih ditutupnya bioskop semenjak pandemi, yang selama ini menjadi bisnis terbesar TIX ID. Perusahaan bermitra dengan The Movie Database (TMDb) sebagai penyedia API yang mengagregasikan TIX ID dengan katalog film yang terdapat di Google Play Movie dan Apple TV.

TMDb sendiri adalah database film dan TV yang dibangun oleh komunitas. Mereka memiliki API gratis untuk mengakses informasi tentang film secara terprogram. TIX ID memberikan kurasi untuk pilihan film terbaik yang dapat dibeli atau sewa dan ditonton secara online melalui perangkat pengguna.

Sean menyebut fitur ini adalah salah satu cara perusahaan untuk monetisasi. Secara singkatnya, TIX ID akan mendapat komisi dari setiap traffic yang berhasil mereka bawa ke Google dan Apple. “Kami dibangun ini untuk menciptakan sinergi dengan bioskop saat dibuka kembali.”

Ia juga menegaskan bahwa fitur ini bukan menjadi pivot bagi perusahaan. Pasalnya, selain Nonton Film, sumber bisnis TIX ID juga ditopang dari penjualan tiket bioskop di Drive-In Senja, yang menganut konsep nonton film dari dalam mobil sekaligus cara adaptasi dengan kebiasaan baru.

Untuk menikmati Nonton Online, pengguna cukup memilih film yang ingin ditonton melalui katalog yang sudah tersedia. Buat pengguna Android, tap pilihan Get It On Google Play – Tonton Sekarang dan akan diarahkan ke halaman Google Play Movies.

Sementara untuk pengguna iOS, tap Get It On Apple TV – Tonton Sekarang dan akan diarahkan ke halaman Apple TV. Saat berada di halaman Google atau Apple, pengguna akan diminta mengikuti aturan dari masing-masing pihak.

Transaksi yang terjadi sepenuhnya kewenangan dari Google maupun Apple. Pengguna hanya bisa menggunakan metode pembayaran yang ada di masing-masing platform.

Application Information Will Show Up Here

Percaya Diri, Rumah Produksi Rilis Layanan OTT Sendiri

Kepercayaan konsep “winner takes all” tidak selalu berlaku untuk semua bisnis digital. Pengaruh Netflix yang sudah terlanjur menguat di berbagai belahan dunia, tidak menyurutkan optimisme pemain lokal untuk terjun ke ranah yang sama.

Setelah DailySocial membahas kepungan pemain OTT dari luar, global dan regional, ke Indonesia, kini ada tren menarik yang terjadi, yakni produsen konten yang terjun ke bisnis OTT. Sebagai produsen, tentu ada “bargaining power” dalam mendistribusikan kontennya, entah ke televisi, bioskop, atau platform OTT.

Namun belum “sreg” ternyata kalau belum punya platform sendiri karena platform petahana belum menjawab apa yang produsen konten inginkan. Dari pantauan DailySocial, sejauh ini ada tiga rumah produksi lokal yang merilis platform OTT sendiri.

Mereka adalah Visinema dengan Bioskop Online, MVP Group dengan Nonton, dan Falcon Pictures dengan KlikFilm. Seluruhnya masih seumur jagung dan terus berupaya menarik konsumen dengan konten-konten produksinya.

Celah kosong

President Digital Business Visinema Group Ajeng Parameswari menjelaskan, dari posisinya sebagai penikmat film ia merasa sudah lama mendambakan satu platform berisi film-film lokal berkualitas dengan mudah. Keluhan tersebut, juga terasa buat dirinya sebagai produsen film, bahwa akses mendapatkan konten seperti itu memang lebih susah dengan alasan komersial.

“Karena itu, lahirlah Bioskop Online yang merupakan perwujudan idealisme kami untuk menciptakan sebuah wadah yang mempertemukan penikmat film dengan film-film berkualitas,” tutur Ajeng kepada DailySocial.

Celah tersebut dari kacamata bisnis menjadi potensi yang besar, terutama jika dibandingkan antara jumlah populasi dengan jumlah layar bioskop saat ini. Berkat dukungan pertumbuhan film Indonesia, yang mana jumlah produksi film lokal dan jumlah penontonnya kian meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Bioskop Online punya optimisme tinggi bahwa mereka punya kesempatan untuk tumbuh dan memenuhi kebutuhan akses film Indonesia berkualitas bagi para penonton. Bioskop Online sendiri baru resmi dirilis pada 11 Juli 2020 di bawah badan hukum PT Bioskop Digital Indonesia. Situsnya baru bisa diakses situsnya melalui desktop dan mobile.

Bioskop Online secara spesifik baru menyajikan konten film, dari keluaran sendiri, seperti Keluarga Cemara dan Filosofi Kopi. Lalu, bekerja sama dengan rumah produksi independen yang mendapat banyak penghargaan dari berbagai festival ternama, diantaranya Siti, Mereka Bilang Saya Monyet, Ziarah, Istirahatlah Kata-Kata, Turah, dan masih banyak lagi.

Seluruh film tersebut dapat ditonton dengan konsep pay-per-view dengan biaya Rp5 ribu sampai Rp10ribu dan dapat disimpan hingga 2 hari. Metode pembayarannya juga sudah kekinian dengan memanfaatkan QRIS yang dapat menjangkau seluruh konsumen.

Keyakinan yang sama juga dicoba MVP (PT Tripar Multivision Plus), salah satu rumah produksi terbesar di Indonesia, saat merilis aplikasi Nonton pada awal tahun lalu. Nonton dijalankan oleh anak usahanya, PT Web Stream Indonesia.

Kekayaan konten MVP yang sudah diproduksi sejak dua dekade silam menjadi proposisi yang menarik untuk melawan OTT global dan regional. CEO MVP Group Amit Jethani menuturkan kekuatan inilah yang membuat Nonton berbeda.

“Kami berinvestasi di Nonton pada beberapa waktu yang lalu sebagai sarana untuk lebih memahami dunia OTT dan mendapatkan masukan langsung dari konsumen tentang tontonan yang mereka sukai. MVP memiliki salah satu perpustakaan konten terbesar di Indonesia dan sekarang kami menghadirkannya secara online,” ujar Amit.

Nonton memanfaatkan nuansa nostalgia untuk menarik penonton yang mencari alternatif tontonan lawas, dengan tayangan serial TV (sinetron) keluaran tahun 1990-an hingga 2000-an. Rata-rata tayangan ini tenar pada zamannya dan banyak disenangi penonton lokal.

Sinetron keluaran MVP yang cukup terkenal seperti Doa dan Anugerah (Krisdayanti dan Anjasmara), Dewi Fortuna (Roy Marten, Ayu Diah Pasha, dan Bella Saphira), Asmara (Dicky Wahyudi dan Tamara Blezynski), Melati (Desy Ratnasari), Janjiku (Paramitha Rusady dan Reynold Surbakti), dan masih banyak lagi dapat disaksikan kembali di layar ponsel.

“Kami memiliki banyak katalog serial TV yang hingga saat ini dicintai dan ditonton oleh banyak orang. Banyak pengguna kami lebih menyukai cerita dan akting dari serial lama kami.”

Ada lagi KlikFilm dari Falcon Pictures yang baru dirilis pada awal tahun ini. Mereka juga menayangkan film-film garapannya, termasuk dari Max Pictures dan Maxima Pictures. Sebagai pembeda lainnya, mereka juga menyediakan film-film hasil kurasi dari luar negeri yang tidak tayang di bioskop Indonesia dari Amerika Serikat, Eropa, dan Asia.

Seluruh tayangan tersebut dapat dinikmati dengan cara berlangganan secara mingguan seharga Rp10 ribu dipotong dari pulsa, redeem voucher, atau e-money. DailySocial mencoba menghubungi pihak KlikFilm untuk memberikan tanggapannya, namun hingga artikel diturunkan belum mendapatkan respons.

Ruh ada di konten original

Sebagai produsen konten, ketiga rumah produksi di atas kini punya jalur khusus untuk mendistribusikan hasil karyanya ke dalam platform-nya sendiri, sebelum disebar lisensinya ke platform OTT lainnya. Formula ini dibalik oleh pemain OTT dengan memperluas jaringan ke banyak rumah produksi agar mau kerja sama produksi konten original dan tayang secara eksklusif di platform-nya.

Strategi ini jadi lumrah dan banyak dipakai di industri mau di belahan negara manapun. Netflix termasuk yang paling giat memproduksi konten originalnya dengan menyediakan dana jumbo.

Bagi Ajeng, kondisi demikian adalah hal positif buat para penikmat Indonesia, sebab mereka akan punya semakin banyak pilihan film untuk dinikmati. Bagi produsen, hal ini mampu memicu untuk memproduksi lebih banyak konten berkualitas.

“Selain itu dengan banyaknya PH lokal atau OTT yang membuat konten original akan membawa kontribusi, baik bagi industri perfilman Indonesia dan diharapkan nantinya film Indonesia akan menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.”

Dia melanjutkan, dari kacamata bisnis ini bukan menjadi kompetisi antara satu sama lain, melainkan dorongan untuk sinergi. Ia justru menyambut baik karena perusahaan terbuka untuk berkolaborasi dengan rumah produksi lain membuat konten bersama atau juga berkolaborasi dengan pihak lain untuk memajukan industri film Indonesia.

Yang terpenting saat ini adalah menghadirkan konten yang berkualitas dan berkontribusi membangun ekosistemnya. Ia percaya bahwa konten yang baik pasti akan menemukan penontonnya. “Dengan begitu banyak pemain di mana semua memiliki competitive advantage masing-masing, saya juga percaya konsep sinergi akan sangat relevan.”

Hal demikian juga diungkapkan Amit. Menurutnya, layanan OTT adalah bentuk baru dari televisi. Jumlah pemain OTT ke depannya akan semakin banyak dan masing-masing punya ruang untuk berkembang. “Anda harus memiliki visi jangka panjang dan perlahan pasti akan menemukan ceruk pasar Anda.”

Tantangan berikutnya adalah strategi retensi dan perusahaan harus mencari tahu konten mana yang paling terhubung dengan audiens masing-masing. “Kami tidak menganggap diri kami sebagai pesaing pemain regional karena kami juga memproduksi konten original untuk mereka. Kami hanya membawa katalog kami secara online dan bersiap untuk masa depan.”

Amit tidak menerangkan lebih jauh terkait pencapaian Nonton sejauh ini. Dia hanya menyebut Nonton memiliki 35 judul konten original yang setiap episode barunya secara rutin tayang setiap minggu. Tidak hanya sinetron, Nonton juga menambah variasi konten film lokal dan internasional ke dalam katalognya.

Seluruh konten di Nonton hanya bisa dinikmati dengan berlangganan secara mingguan sebesar Rp10 ribu atau bulanan Rp30 ribu. Metode pembayaran yang tersedia melalui Google Pay (kartu debit/kredit, pulsa, GoPay, voucher).

Pernyataan Amit tercermin dengan aksi strategis yang dilakukan oleh rumah produksi lainnya, yakni MD Pictures, yang bekerja sama dengan induknya MD Entertainment untuk memproduksi konten original yang didistribusikan khusus ke OTT rekanan, yakni WeTV, iflix, dan Disney+ Hotstar.

Ada 10 sampai 15 judul konten yang sudah masuk dalam tanggal produksi sampai awal 2021 mendatang. Fokus bisnis baru ini diharapkan dapat mengubah komposisi pendapatan perusahaan yang tertekan akibat pandemi.

Awalnya mayoritas pendapatan datang dari dari bioskop (sebesar 80%). Kini layanan OTT ditargetkan dapat mendongkrak pendapatan dan bisa menyumbang di angka 60%-70%. Adapun model bisnis yang dipakai adalah sistem penjualan lisensi kepada OTT.

Metode kolaborasi GoPlay

CEO GoPlay Edy Sulistyo turut memberikan tanggapannya terhadap tren OTT yang dirintis oleh rumah produksi. Pihaknya menyambut kehadiran para pemain VoD, termasuk yang berasal dari rumah produksi karena Indonesia memiliki potensi yang masih terbuka lebar. Terlebih, konsep “winner takes all” tidak berlaku dalam industri ini, mengingat masih banyaknya penonton di Indonesia yang belum terjangkau.

Yang terpenting bagi GoPlay adalah bagaimana setiap pelaku dapat berkontribusi ke ekosistem dengan menawarkan unique value proposition masing-masing, sehingga semua dapat sama-sama membangun industri perfilman dan kreatif di Indonesia.

“Semua ini tidak dapat dilakukan satu pihak, sehingga merupakan upaya yang harus dilakukan bersama-sama. Kita semua memiliki peran dalam mendorong pertumbuhan film Indonesia dan meningkatkan para pembuat konten lokal.”

Dalam praktiknya, GoPlay selalu memosisikan diri sebagai platform bagi para sineas untuk berkembang, tidak hanya menggaet sineas senior saja. Juga membuka kesempatan bagi talenta dan sutradara pendatang dengan potensi mereka. Sebab bagi perusahaan, tidak serta merta mengejar kualitas konten saja tapi juga memberikan dukungan untuk talenta lokal agar dapat memproduksi karya berkualitas.

“Berbagai dukungan kami berikan sejak sebuah konten dibuat, antara lain program Script Doctor GoPlay agar para sineas dapat menghasilkan karya dengan kualitas storytelling dan scriptwriting yang unggul.”

Selain itu, memberikan dukungan melalui pencarian dana maupun sponsor bagi sineas. Serta, berkolaborasi dengan rumah produksi sebagai partner untuk memastikan eksekusi produksi yang mengedepankan standar kualitas tinggi.

Edy mengaku GoPlay melakukan pendampingan dan terlibat langsung dari tahap ideation, proses kreatif, pre-production hingga post production sebagai Co-Producer.

“Walaupun pada dasarnya GoPlay adalah perusahaan teknologi bagian dari super app Gojek, tim internal konten kami beranggotakan para mantan pelaku industri perfilman dan VOD terjun langsung dengan pengalaman mereka di berbagai project film dan serial, baik di tingkat nasional maupun global.”

Metode kolaborasi demikian diterapkan pada seluruh konten GoPlay Original, baik film maupun serial. Salah satu yang terbaru adalah Jadi Ngaji yang baru dirilis awal Oktober ini. GoPlay bekerja sama dengan sutradara pendatang baru Muthia Zahra Feriani yang memboyong rumah produksinya Arseri.

Dari segi bisnis, Edy mengklaim bahwa ada strategi khusus yang membedakan GoPlay dengan VoD lain. Ada model pembagian pendapatan (revenue-sharing) yang diterapkan bersama pembuat konten dan rumah produksi, baik untuk konten GoPlay Original, GoPlay Exclusive, GoPlay Live, GoPlay Rental, maupun berbagai konten lokal lainnya.

Metode ini sebenarnya juga diterapkan pada bioskop dan terbukti sukses dengan pencapaian jutaan penonton pada film box office. “Kami percaya model revenue sharing dapat menjadi stimulus bagi para sineas untuk terus giat meningkatkan kualitas karya mereka, sehingga dapat memberi manfaat yang berkelanjutan bagi semua bagian dalam ekosistem perfilman,” tutup Edy.