LinkAja Officially Acquires iGrow

LinkAja today (29/4) announced its acquisition of iGrow, a p2p lending startup that focuses on productive financing in agriculture. In the statement, this corporate action aims to expand LinkAja’s business line to online financing, especially for the MSMEs productive sector. This is in line with LinkAja’s goal of encouraging financial inclusion and improving the Indonesian people welfare through economic independence.

This move was made after LinkAja previously managed to book series B funding of more than $ 100 million – including from Grab and Gojek. Meanwhile, iGrow was backed by some investors in its seed funding, including 500 Startups, East Ventures, Rekanext, and through its participation in the Google Launchpad Accelerator program.

In her remarks, LinkAja’s CEO, Haryati Lawidjaja said, “The business line expansion to the financing sector is a real step for LinkAja in providing easy access to finance and economy, especially for the lower-middle class and MSMEs […] Supported by LinkAja’s strong ecosystem network in various areas outside Java and tier-2 and 3 cities, LinkAja aims to provide equal access to financing for MSME players focused on Java and tier-1 cities.”

Also, iGrow’s Chief Business Development, Jim Oklahoma said, “We are very pleased to be collaborating with LinkAja as a national electronic money service provider with the same goals [..] LinkAja is a company with strong business fundamentals also collaboration of shareholders between SOEs and large technology companies. This will accelerate iGrow’s vision and mission to have an impact on MSMEs also put iGrow as one of the leading players in the financing for the productive sector. ”

Apart from Jim, iGrow was also founded by Andreas Senjaya (CEO) in 2014. Their platform was designed to simplify investment in a productive agricultural land, it was more like crowdfunding – even though the company did not claim to be a crowdfunding platform. However, along with its development, iGrow has transformed into a p2p lending, therefore, it can raise funds (from retail and institutional lenders) with more flexible distribution.

This will be LinkAja’s first acquisition. It will be interesting to watch the company’s next steps, considering that the electronic money platform already has a large enough capital, supported by various strategic digital players. In fact, the focus will be on the ecosystem expansion.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

LinkAja Umumkan Akuisisinya Terhadap iGrow

LinkAja hari ini (29/4) mengumumkan akuisisinya terhadap iGrow, startup p2p lending yang fokus pada pembiayaan produktif di bidang pertanian. Dalam keterangannya disebutkan, aksi korporasi ini bertujuan untuk memperluas lini bisnis LinkAja ke pembiayaan online, terutama untuk sektor produktif UMKM. Hal ini sejalan dengan tujuan LinkAja untuk mendorong inklusi keuangan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia melalui kemandirian ekonomi.

Upaya ini dilakukan setelah sebelumnya LinkAja berhasil membukukan pendanaan seri B lebih dari $100 juta — termasuk dari Grab dan Gojek. Sementara iGrow sebelumnya mendapat dukungan dari sejumlah investor dalam putaran pendanaan awalnya, termasuk dari 500 Startups, East Ventures, Rekanext, dan atas partisipasinya di program Google Launchpad Accelerator.

Dalam sambutannya, CEO LinkAja Haryati Lawidjaja mengatakan, “Perluasan lini usaha di bidang pembiayaan merupakan langkah nyata LinkAja dalam memberikan kemudahan akses keuangan dan ekonomi, terutama kepada masyarakat kelas menengah ke bawah serta UMKM […] Didukung jaringan ekosistem LinkAja yang kuat di berbagai daerah di luar pulau Jawa serta kota tier-2 dan 3, LinkAja berharap dapat memberikan pemerataan akses pembiayaan terhadap pelaku UMKM yang selama ini masih terfokus di pulau Jawa dan kota tier-1.”

Sementara itu dalam sambutannya Chief Business Development iGrow Jim Oklahoma menuturkan, “Kami sangat senang dapat berkolaborasi dengan LinkAja sebagai penyedia jasa uang elektronik nasional yang memiliki kesamaan tujuan dengan iGrow [..] LinkAja merupakan perusahaan yang memiliki fundamental bisnis kuat dengan kolaborasi pemegang saham antara BUMN dan perusahaan teknologi besar. Hal ini akan mempercepat visi dan misi iGrow untuk memberikan dampak ke UMKM dan dapat menjadikan iGrow sebagai salah satu pemain utama di bidang pembiayaan sektor produktif.”

Selain Jim, iGrow turut didirikan oleh Andreas Senjaya (CEO) sejak tahun 2014. Pada awalnya platform mereka didesain untuk memudahkan masyarakat berinvestasi pada sebuah lahan produktif pertanian, kala itu skemanya lebih mirip crowdfunding – kendati perusahaan tidak mengklaim sebagai platform urun dana. Namun seiring perkembangannya, iGrow menjelma menjadi p2p lending sehingga dapat menghimpun dana (dari pendana ritel maupun institusi) dan penyaluran yang lebih fleksibel.

Ini menjadi aksi akuisisi pertama bagi LinkAja. Menjadi menarik untuk menyimak langkah perusahaan selanjutnya, mengingat saat ini platform uang elektronik tersebut sudah memiliki modal kapital yang cukup besar, didukung berbagai pemain digital strategis. Tentu perluasan ekosistem akan menjadi fokus.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Modalku: Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi dan Dampak Sosial UMKM dengan Fintech Peer-to-Peer Lending

Peer-to-peer (P2P) Lending merupakan terobosan baru di bidang inovasi finansial untuk melakukan berbagai macam transaksi atau pinjaman dengan mudah dan praktis. Fintech (P2P) Lending menghubungkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan pendana (individu dan institusi). Adanya layanan fintech P2P Lending yang dimiliki oleh Modalku ini tentunya dapat menguntungkan bagi segmen bisnis UMKM. 

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Modalku dan DSInnovate, pengaruh besar dari P2P Lending di Indonesia sendiri juga dapat dibuktikan dengan banyaknya UMKM yang cenderung memilih untuk mendapatkan modal bisnis dari lembaga keuangan non-bank. Sebanyak 70% UMKM menyatakan alasan bahwa mereka tidak mengajukan pinjaman dari lembaga keuangan konvensional dikarenakan keberatan untuk memberikan jaminan atau jenis pinjaman yang kurang sesuai dengan kebutuhan.

Banyak UMKM yang masih dalam tahap perkembangan dan mengalami kendala saat melakukan perizinan badan usaha. Dari hasil survei yang dilakukan DSInnovate ditemukan bentuk hukum usaha responden tanpa PT/CV sebanyak 82%, sedangkan PT/CV hanya sebesar 5,43%. Di samping itu, kebanyakan UMKM tidak memiliki struktur organisasi formal dalam menjalankan usahanya. Secara umum, pelaku UMKM lebih memilih rumah tinggal sebagai tempat usahanya, namun bisa juga dalam bentuk rumah toko (ruko), pasar tradisional, mal, dan pasar swalayan.  

Sebagai pionir platform P2P Lending, Grup Modalku telah menjadi platform penyedia layanan pembiayaan digital UMKM dan telah menyalurkan lebih dari Rp 20 triliun dengan total 3 juta transaksi pinjaman, terhitung sejak peluncurannya di tahun 2015 s/d akhir tahun 2020 di Indonesia, Singapura dan Malaysia. Modalku berdedikasi untuk mendanai UMKM yang kurang terlayani sehingga dapat membuahkan hasil positif di masyarakat yang ingin membuka usaha agar dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

DSInnovate bersama Modalku telah melakukan survei online yang diikuti oleh 350 UMKM dengan rentang usia 30 hingga 39 tahun mengenai pengalaman mereka terhadap penggunaan dana yang dipinjamkan dari Modalku. Berdasarkan data yang didapat, sebanyak hampir 83% pelaku UMKM telah mengembangkan usahanya sendiri untuk tujuan jangka panjang dan dipimpin oleh perdagangan ritel sebagai sektor tertinggi. Hal tersebut tentunya merupakan suatu bukti bahwa fitur P2P Lending yang disediakan oleh Modalku dapat dipercaya untuk membantu UMKM dalam pengembangan bisnisnya. 

Tidak hanya itu, dalam survei yang diambil dari data di tahun 2018-2019 tersebut juga membuktikan bahwa lebih dari 50% pemilik UMKM menggunakan dana yang diambil dari Modalku untuk membeli bahan baku kantor dengan skala kecil. Mereka yakin bahwa pembelian bahan baku perkantoran skala kecil dalam jumlah besar dapat menunjang produksi mereka. Selebihnya, mereka yang meminjam dana di Modalku juga digunakan untuk menyewa tempat baru untuk lokasi kerja yang lebih baik. Sebanyak lebih dari empat ratus juta rupiah telah dialokasikan dan 67,9% diantaranya dibelanjakan di tahun 2019. 

Meningkatnya kesempatan UMKM untuk memperoleh pendanaan dari P2P lending, termasuk pendanaan dari Modalku memberikan dampak positif bagi berjalannya bisnis pelaku UMKM. Pertama, dari sisi pengelolaan arus kas, pendanaan dapat mendukung UMKM dalam mengelola aliran kasnya, serta pembelian bahan baku untuk tambahan stok barang. Kedua, dari sisi pengembangan usaha, pendanaan dapat meningkatkan alur produksi UMKM, serta memberikan opsi strategi dalam mengembangkan usaha. Ketiga, dari sisi performa UMKM, pendanaan dapat mendukung kelancaran operasional harian dan kendala keuangan yang berkaitan dengan hal tersebut. Selain itu, sebanyak 41,7% pelaku UMKM setuju bahwa tidak mendapatkan pinjaman dari Modalku cukup berdampak pada kesuksesan usaha mereka, di mana pendapatan menjadi lebih rendah.

Mengingat peran UMKM yang signifikan dalam perekonomian Indonesia dan mempertimbangkan kesulitan pembiayaan mereka melalui lembaga keuangan konvensional, tujuan dari riset yang dilakukan oleh DSInnovate adalah untuk mengetahui sejauh mana dampak ekonomi dan sosial pembiayaan UMKM dalam menggunakan platform fintech peer-to-peer (P2P) Lending 2021. Faktanya, menurut survei yang didapat, sebanyak 20,3% menyetujui bahwa pendanaan P2P Lending Modalku turut meminimalisir masalah keuangan serta melancarkan basis operasional dari masing-masing pebisnis. Melalui berbagai inovasi produk, Modalku gencar membuka akses pembiayaan modal kerja bagi UMKM Indonesia.

Simak report DSInnovate bersama Modalku bertajuk “Dampak Ekonomi dan Sosial Pembiayaan UMKM Menggunakan Platform Fintech peer-to-peer 2021” di sini.

Laporan DSInnovate: Dampak Ekonomi dan Sosial Pembiayaan UMKM Menggunakan “Fintech P2P Lending”

Kehadiran teknologi finansial (fintech) di Indonesia memberikan berbagai manfaat, terlebih saat kalangan undeserved dan unbankable masih banyak tersebar di berbagai wilayah. Tak terkecuali bagi pelaku UMKM, layanan fintech seperti peer-to-peer lending (p2p lending) memberikan opsi yang lebih mudah bagi mereka untuk mendapatkan akses pendanaan bantuan modal. Terlebih saat berbicara usaha berskala mikro, masih banyak yang belum tersentuh akses lembaga keuangan konvensional.

Fokus fintech untuk pemberdayaan UMKM menjadi penting, lantaran besarnya kontribusi terhadap perekonomian nasional. Data teranyar menyatakan sumbangsih UMKM mencapai 60% untuk PBD dan 97% untuk pembukaan lapangan kerja. Banyak gap yang coba dijembatani oleh fintech p2p lending, mulai dari akses yang lebih terjangkau lewat teknologi, sampai proses penilaian kelayakan kredit yang lebih bisa disesuaikan dengan kondisi pelaku UMKM.

Pandemi yang mulai terjadi di tahun 2020 juga memberikan turbulensi untuk pelaku bisnis di Indonesia secara umum, dan yang cukup terdampak signifikan adalah UMKM. Di situasi yang serba sulit tersebut, fintech p2p lending tetap memberikan banyak peran, salah satunya, menurut data AFPI per tahun 2020 ada total dana 74 triliun Rupiah yang disalurkan kepada pelaku UMKM, naik 27% dari tahun sebelumnya.

Untuk melihat lebih dalam tentang sejauh mana layanan fintech p2p lending memberikan dampak ekonomi dan sosial terhadap sektor UMKM, Modalku dan DSInnovate berkolaborasi melakukan riset bertajuk “Dampak Ekonomi dan Sosial Pembiayaan UMKM Menggunakan Fintech Peer-to-Peer Lending”. Terdapat lima bahasan utama yang dirangkum, meliputi:

  1. Gambaran umum pembiayaan UMKM
  2. Eksistensi Modalku dalam pembiayaan UMKM
  3. Profil demografi UMKM di Indonesia
  4. Pengalaman pembiayaan dari layanan konvensional atau sumber lainnya
  5. Rencana pembiayaan UMKM di masa depan

Ada banyak temuan menarik yang diungkap dalam laporan, salah satunya dari total responden yang mengikuti survei sebagian besar 50,29% menggunakan dana pinjaman untuk pembelian bahan baku usaha, selanjutnya untuk biaya operasional (19,14%). Selanjutnya kebanyakan pelaku usaha tersebut mendapatkan manfaat kelancaran arus kas, baik untuk pendanaan modal (25,1%) maupun tambahan stok barang (24,9%).

Unduh laporannya melalui tautan berikut: klik di sini.


Disclosure: DSInnovate bekerja sama dengan Modalku dalam pembuatan dan peluncuran laporan ini. Modalku merupakan salah satu platform fintech p2p lending yang fokus memberikan pembiayaan produktif untuk UMKM di Indonesia

The Gravity of Multifinance Services Acquired by Tech Startups

Atome acquired PT Mega Finadana Finance (currently PT Atome Finance Indonesia), adding up to the fintech lending companies seeking to expand, especially in the consumer goods financing sector.

Prior to Atome, Kredivo has acquired PT Swarna Niaga Finance (currently PT FinAccel Finance Indonesia). Apart from fintech companies, Traveloka has acquired PT Malacca Trust Finance (currently PT Caturnusa Sejahtera Finance) to operate Traveloka Paylater.

In an official statement, Atome Financial Indonesia’s CEO, Wawan Salum said, “This acquisition is a proof of our commitment to grow our business in Indonesia, aiming to serve our partners and consumers better in providing customized financing and loan options.”

Since 2017, Atome Financial has established partnerships with some of the world’s leading financial institutions providing more than $200 million in funding and credit facilities to promote financial inclusion.

Wawan claimed, the company has cumulatively served more than 5 million users and has provided loans of more than $1 billion to empower merchants and consumers. “This acquisition will not only accelerate our rapid business expansion, but also contribute to a stronger and healthier lending and financing ecosystem in Indonesia,” he added.

DailySocial asks some follow-up questions to Wawan, but he has not written back to the date this article published.

In a general note, Atome Financial has two main business units, Atome and Kredit Pintar. Both are engaged in loan services, the difference lies in the function. Atome provides BNPL services with 0% interest payment options for three or six months. Atome partners with several retail groups and e-commerce platforms, such as MAP (including Sephora, Zara, Mango, Pull & Bear, Marks & Spencer, Food Hall), JD.id, and iStyle.

Meanwhile, Kredit Pintar runs cash loans with a maximum of IDR20 million in cash ranging from three to one year. Funds are not only for productive needs, but also for daily needs.

The trend of acquiring multi-finance companies, for the Chairman of the Indonesian Finance Companies Association (APPI), Suwandi Wiratno, allows these players to reach more comprehensive loan and financing products.

He said Traveloka for instance, basically sell products and incapable to act as a financial company to provide credit to their consumers. In terms of platform, they only need to register with the Ministry of Communication and Information, unlike financial companies that should be strictly regulated by the OJK.

“Through Caturnusa, people who want to buy tickets, which used to be in cash, can now paid using installments up to 10 times. That’s because financing requires prospective debtors, they [Traveloka] come here because they see the potential, where not everyone has the ability to buy in cash,” he said to DailySocial.

The ability to mix products and the ability of companies to offer financing will provide a new approach. They can freely distribute multipurpose financing to many industrial sectors such as multi-finance companies in general and enter into financial services for vehicle, property, electronics, KTA, and others.

In terms of sources, they can rely on bank loans, by channeling or joint financing, issuing debt securities from MTN, bonds, on/offshore syndication, and IPOs.

“By bundling their current products with loans that are in accordance with regulations, they can offer a new approach,” Suwandi added.

Previously in contact with DailySocial, Kredivo Indonesia’s CEO, Alie Tan said, since the beginning, Kredivo’s financing scheme was dominated by product purchases at merchants, not cash loans, therefore, a multi-finance license is considered more suitable for Kredivo. “Thus, we hope to grow rapidly and serve 10 million users in the next few years,” she said.

Alie’s statement backed Kredivo’s Co-Founder, Akshay Gargthe previous statement that through multi-finance licenses, Kredivo’s loan distribution will be bigger and more developed. This license is considered more stable as the regulations was established long time ago. It states that it is also possible for financing companies to channel 30% of their financing to fintech lending.

After FinAccel, Kredivo’s holding company, announced the acquisition of PT Swarna Niaga Finance, the company took off with Samsung to provide Samsung Financing services. The offer is not much different. Consumers can use Kredivo’s installment for purchasing Samsung devices online or offline.

FinAccel did not immediately leave the lending business as they introduced Kredifazz (PT FinAccel Digital Indonesia) which focused on productive and consumptive loans. One of the loan products released by Kredifazz is Klop!, a consumptive loan for Telkomsel users.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pesona Dibalik Akuisisi Layanan “Multifinance” oleh Startup Teknologi

Atome mengakuisisi PT Mega Finadana Finance (kini bernama PT Atome Finance Indonesia) untuk menambah jajaran perusahaan fintech lending yang tertarik melebarkan sayap, khususnya di bidang pembiayaan barang konsumen.

Sebelum Atome, ada Kredivo yang mengakuisisi PT Swarna Niaga Finance (kini bernama PT FinAccel Finance Indonesia). Di luar perusahaan fintech, ada Traveloka yang mengakuisisi PT Malacca Trust Finance (kini bernama PT Caturnusa Sejahtera Finance) untuk mengoperasikan Traveloka Paylater.

Dalam keterangan resmi, CEO Atome Financial Indonesia Wawan Salum menyampaikan, “Akuisisi ini merupakan bukti dari komitmen untuk mengembangkan bisnis kami di Indonesia, dengan tujuan melayani mitra serta konsumen kami dengan lebih baik dalam memberikan pilihan pembiayaan dan pinjaman yang disesuaikan.”

Sejak tahun 2017, Atome Financial telah menjalin kemitraan dengan beberapa lembaga keuangan terkemuka di dunia yang menyediakan lebih dari $200 juta dalam pendanaan dan fasilitas kredit guna mendorong inklusi keuangan.

Wawan mengklaim, secara kumulatif perusahaan telah melayani lebih dari 5 juta pengguna dan telah memberikan pinjaman lebih dari $1 miliar untuk memberdayakan pedagang dan konsumen. “Akuisisi ini tidak hanya akan mempercepat ekspansi bisnis kami yang pesat, namun juga berkontribusi pada ekosistem pinjaman dan pembiayaan yang lebih kuat dan sehat di Indonesia,” tambahnya.

DailySocial mengirimkan sejumlah pertanyaan tambahan kepada Wawan, namun hingga tulisan ini diturunkan belum mendapat respons.

Seperti diketahui, Atome Financial memiliki dua unit bisnis utama, yakni Atome dan Kredit Pintar. Keduanya sama-sama bergerak di pinjaman, pembedanya terletak di sisi penggunaannya. Atome menyediakan layanan BNPL dengan opsi pembayaran bunga 0% selama tiga atau enam bulan. Atome bermitra dengan beberapa grup ritel dan platform e-commerce, seperti MAP (mencakup Sephora, Zara, Mango, Pull & Bear, Marks & Spencer, Food Hall), JD.id, dan iStyle.

Sementara, Kredit Pintar bermain di pinjaman cepat (cash loan) dengan maksimal plafon Rp20 juta dengan tunai mulai dari tiga sampai satu tahun. Dana tersebut tidak hanya digunakan untuk kebutuhan produktif, juga kebutuhan sehari-hari.

Maraknya ketertarikan mengakuisisi perusahaan multifinance, menurut pandangan Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno, memungkinkan para pemain tersebut untuk menyentuh produk pinjaman dan pembiayaan yang lebih komprehensif.

Ia mencontohkan, untuk Traveloka, pada dasarnya mereka menjual produk, tidak bisa bertindak seperti perusahaan pembiayaan yang bisa memberikan kredit untuk konsumennya. Secara platform, mereka hanya cukup mendaftarkan diri ke Kemenkominfo saja, tidak seperti perusahaan pembiayaan yang harus diregulasi ketat oleh OJK.

“Sekarang lewat Caturnusa, orang yang mau beli tiket yang harusnya dulu harus beli tunai, sekarang bisa dicicil sampai 10 kali. Itu karena di pembiayaan butuh calon debitur, mereka [Traveloka] masuk ke sini karena melihat potensi, di mana tidak semua orang punya kemampuan beli tunai,” katanya saat dihubungi DailySocial.

Kemampuan meracik produk dan kemampuan perusahaan menawarkan pembiayaannya akan memberikan pendekatan baru. Mereka dapat lebih leluasa menyalurkan pembiayaan multiguna untuk banyak sektor industri seperti perusahaan multifinance pada umumnya dan masuk ke pembiayaan kendaraan, properti, elektronik, KTA, dan lainnya.

Untuk sumber dana, mereka bisa mengandalkan pinjaman dari bank, dengan cara channeling atau joint financing, mengeluarkan surat utang dari MTN, obligasi, sindikasi on/offshore, hingga IPO.

“Dengan menggabungkan produk yang sudah mereka miliki dengan pinjaman yang sesuai dengan regulasi, mereka bisa menawarkan suatu pendekatan baru,” tambah Suwandi.

Sebelumnya, saat dihubungi DailySocial, CEO Kredivo Indonesia Alie Tan menuturkan, sejak awal skema pembiayaan Kredivo memang didominasi pembiayaan pembelanjaan produk di merchant, bukan pinjaman tunai, maka dari itu lisensi multifinance dirasa lebih cocok untuk Kredivo. “Dengan demikian, kami berharap bisa bertumbuh dengan pesat dan melayani 10 juta pengguna dalam beberapa tahun ke depan,” ucapnya.

Pernyataan Alie memperkuat ujaran Co-Founder Kredivo Akshay Garg sebelumnya yang menyebutkan melalui lisensi multifinance maka penyaluran pinjaman Kredivo akan semakin besar dan berkembang. Lisensi ini dinilai lebih stabil karena peraturannya sudah dibentuk sejak lama. Dalam regulasi disebutkan perusahaan pembiayaan juga dimungkinkan untuk menyalurkan 30% pembiayaannya kepada fintech lending.

Pasca FinAccel, induk Kredivo, mengumumkan rampungnya akuisisi terhadap PT Swarna Niaga Finance, perusahaan tancap gas bersama Samsung untuk menyediakan layanan Samsung Financing. Penawarannya tidak jauh berbeda. Konsumen dapat mengajukan cicilan dari Kredivo saat berbelanja gawai Samsung secara online atau offline.

FinAccel tidak serta merta meninggalkan bisnis lending karena mereka memperkenalkan Kredifazz (PT FinAccel Digital Indonesia) yang fokus pada pinjaman produktif dan konsumtif. Salah satu produk pinjaman yang dirilis Kredifazz adalah Klop!, pinjaman konsumtif yang ditujukan untuk pengguna Telkomsel.

Pintek Gains Support from US Government through Loan Portfolio Guarantee Scheme

In early March 2020, the U.S International Development Finance Corporation (DFC) and the U.S Agency for International Development (USAID) announced their agreement to release a new investment fund in response to the recovery from the pandemic. There are specific focuses in various countries, one of which is related to education. In Indonesia,  Pintek’s education financing startup has earned the trust.

DFC and USAID provided a “loan portfolio guarantee” worth up to $16 million to help Pintek optimize its potential. The fund is also used to cover defaults and return investments to customers. It is known, the pandemic has ruined the economy of societies. However, certainly, there is a rigorous analysis and scoring scheme to state defaults that can be covered by these funds.

The fund is expected to increase Pintek’s capacity, therefore, it can reach more students at the vocational school and higher education levels throughout Indonesia.

“Pintek, through its Pintek Institutions loan product, helps educational institutions both higher education and vocational education to provide equipment, improve facilities, and also their operational. This partnership with the US Government is expected to help Indonesia’s education sector, provide better educational outcomes and improve work skills,” Tommy Yuwono, the Co-Founder & Managing Director of Pintek said.

James Polan, DFC’s Vice President of the Office of Development Credit said, “Our partnership with Pintek is to provide opportunities for access to education for children, especially for those whose parents are directly affected by the pandemic. We are very pleased to see lending companies like Pintek in creating financing solutions that can address today’s major challenges.”

In order to support lending, Pintek has secured debt funding from Accial Capital worth 298 billion Rupiah earlier this year. Previously, in December 2020, they also managed to obtain follow-on funding led by Finch Capital, the total equity funding obtained has reached 70 billion Rupiah.

The education financing business model becomes one of the attractive opportunities in Indonesia amidst various limitations to education services, both formal and non-formal. There are several mechanisms offered, for example using an Income Share Agreement – allowing students to get full education funding, then pay when they get a job. Other forms are offered in the form of loans with a certain tenor. Usually, funding (70% to 100%) is channeled directly to the targeted institutions.

Based on Edtech Report 2020, there are currently several startups that focus on playing in this area. Apart from Pintek, there are Dana Cita, DANAdidik, EiduPay, and KoinWorks.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pintek Dapat Dukungan Pemerintah Amerika Serikat Melalui Mekansime “Loan Portfolio Guarantee”

Awal Maret 2020 ini, dua lembaga di bawah pemerintahan Amerika Serikat yakni U.S International Development Finance Corporation (DFC) dan U.S Agency for International Development (USAID) mengumumkan persetujuannya untuk merilis dana investasi baru sebagai respons pemulihan akibat pandemi. Ada beberapa fokus yang disampaikan untuk diaplikasikan di berbagai negara, salah satunya terkait pendidikan. Dari Indonesia, startup pembiayaan pendidikan Pintek yang mendapatkan kepercayaan.

DFC dan USAID memberikan “loan portfolio guarantee” hingga $16 juta atau setara 230,4 miliar Rupiah untuk membantu Pintek memaksimalkan potensinya. Dana tersebut dapat digunakan untuk menutup gagal bayar dan mengembalikan investasi ke pemberi pinjaman — mengingat Pintek adalah p2p lending. Diketahui, kondisi pandemi membuat perekonomian sebagian banyak unsur masyarakat terganggu. Namun yang pasti, ada skema analisis dan skoring ketat untuk menyatakan gagal bayar yang dapat ditutup dengan dana tersebut.

Dana tersebut juga diharapkan menambah kapasitas Pintek, sehingga dapat menjangkau lebih banyak siswa/i di tingkat sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi di seluruh Indonesia.

“Pintek, melalui produk pinjaman Pintek Institutions, membantu institusi pendidikan baik pendidikan tinggi maupun pendidikan vokasi untuk menyediakan peralatan, meningkatkan fasilitas, dan juga kebutuhan operasionalnya. Kemitraan dengan Pemerintah AS ini diharapkan dapat membantu sektor pendidikan di Indonesia, memberikan hasil pendidikan yang lebih baik dan meningkatkan kemampuan kerja,” sambut Co-Founder & Dirut Pintek Tommy Yuwono.

James Polan selaku VP Office of Development Credit DFC mengatakan, “Kemitraan kami dengan Pintek adalah membuka kesempatan untuk akses pendidikan bagi anak, terutama bagi mereka yang orang tuanya secara langsung terkena dampak ekonomi langsung akibat pandemi. Kami sangat senang melihat perusahaan pemberi pinjaman seperti Pintek dalam menciptakan solusi pembiayaan yang dapat mengatasi tantangan utama saat ini.”

Untuk menunjang penyaluran kredit, awal tahun ini Pintek juga baru membukukan debt funding dari Accial Capital dengan nilai 298 miliar Rupiah. Sebelumnya pada Desember 2020, mereka juga berhasil mendapatkan investasi lanjutan yang dipimpin Finch Capital, sejauh ini total pendanaan ekuitas yang berhasil didapat telah mencapai 70 miliar Rupiah.

Model bisnis pembiayaan pendidikan memang menjadi salah satu kesempatan menarik di Indonesia di tengah berbagai keterbatasan ke layanan pendidikan, baik formal maupun nonformal. Ada beberapa mekanisme yang dijalankan, misalnya menggunakan Income Share Agreement – memungkinkan siswa mendapatkan pembiayaan pendidikan secara penuh, kemudian membayar ketika sudah mendapatkan pekerjaan. Bentuk lain yang ditawarkan dalam bentuk pinjaman dengan tenor tertentu. Biasanya dana (70% s/d 100%) disalurkan langsung ke institusi yang dituju.

Menurut data Edtech Report 2020, saat ini sudah ada beberapa startup yang fokus bermain di ranah tersebut. Selain Pintek, ada Dana Cita, DANAdidik, EiduPay, dan KoinWorks.

Didukung BRI, TaniFund Siap Salurkan Pendanaan Sebesar Rp 200 Miliar Kepada Petani dan UMKM

TaniFund mengumumkan seca resmi ker sama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) dalam upayanya untuk mendukung daya serap pembiayaan di sektor agrikultur dan pangan. Perjanjian Kerja Sama antra keduanya telah ditanda-tandangi pada Jumat, 26 Februari 2021 ini, yang sekaligus melahirkan satu poin penting, bahwa per bulan Maret 2021 mitra petani dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) binaan TaniFund bisa mengajukan pendanaan.

Continue reading Didukung BRI, TaniFund Siap Salurkan Pendanaan Sebesar Rp 200 Miliar Kepada Petani dan UMKM

Debt Funding Scheme Is Thriving, Amartha Scored 704 Billion Rupiah from Lendable

The p2p lending startup Amartha today (24/2) announced the debt funding of $50 million or the equivalent of 704.4 billion Rupiah (exchange rate USD to IDR per 14.00 WIB) from Lendable. It is to focus on providing capital and financial access to small entrepreneurs empowered by women in Indonesia, in conjunction with the “2X Challenge” initiative.

Through this collaboration, Amartha is also the first company in Indonesia to receive 2X Challenge funds. Particularly in the Asia Pacific, this funding initiative for women micro-merchants has disbursed up to $747 million.

Amartha does have further concern for women entrepreneurs. As Andi Taufan Garuda Putra said as Founder & CEO, women are the drivers of the micro economy which plays an important role in the recovery of the national economy.

The women micro-entrepreneurs segment with limited access to banking and financial institutions in Indonesia is estimated to reach more than 22 million people. By providing access to capital and entrepreneurship education for women, Amartha noticed that Mitra Amartha can increase income 2 to 7 times in one year.

“We are grateful for Lendable’s trust in realizing the 2X Challenge in Indonesia, therefore, women can increase their role in the Indonesian economy, especially in the context of post-pandemic recovery,” Taufan said.

The combination of retail and institutions

In a separate interview, Taufan said that they currently had channeled funds of up to 3.22 trillion to 616 thousand partners in Java, Sulawesi, and Sumatra. The combination of retail (community) funding and institutions also encourage the performance and penetration of Amartha’s services.

“On a year-on-year basis, the comparison is 55 percent for institutions and 45 percent for retail. For retail lenders, 68% is dominated by the millennial generation, followed by 19% by generation X, 10% by generation Z, and 3% by baby boomers. Based on the amount of funding value, 44% is dominated by generation X, then 40% by the millennial generation, 10% by baby boomers, and 3% by generation Z,” Taufan explained.

Regarding institutional partners, Amartha has also collaborated with banks and financial institutions to distribute funding with channeling schemes including Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Jatim, Bank Permata, Bank Ganesha, Indosurya, and so on.

Targeting female micro-entrepreneurs certainly provides a higher level of risk (return). It becomes interesting to know Amartha’s strategy in increasing the percentage of TKB90 on the platform.

“Amartha has tightened monitoring of portfolios, operations, risks, and audits. This aims to screen the best quality Partners while maintaining the quality of ongoing loans. In addition, Amartha has updated the credit scoring system and combines the ability and willingness assessments, and a history of payment returns before the Covid-19 pandemic,” Taufan added.

Amartha also provides direct business assistance by the field team, including providing training on business alternatives for partners whose businesses have been affected by the pandemic, therefore, they can start new businesses or expand their businesses. It is said that these efforts are able to make the business climate in Amartha’s partner ecosystem return to the way before.

Debt funding in Indonesia

Previously last year Lendable also joined as an institutional lender for KoinWorks, channeling $10 million in funds. Apart from Lendable, there are several other institutions that also provide similar funds for fintech lending in Indonesia, such as Accial Capital for Pintek, Cash Cloud, and Investree. In addition, there are GMO Payment Gateway (Investree), Partners for Growth (Kredivo), etc.

In fact, there are two schemes widely applied to channel funds from institutions, loan channeling and venture debt. The first scheme is intended for institutions such as banks to channel their credit funds to MSMEs through fintech lending. Many local banks have started announcing entrance into the fintech ecosystem through this partnership. The latest is BCA which distributes funds through iGrow.

Meanwhile, venture debt/debt funding is actually more strategic in nature, such as to finance operations and growth – generally entered along with equity funding from venture investors. However, some have also used the funds to be distributed.

Apart from those already mentioned, other fintechs that have received debt funding are Alami, Digiasia, Kredivo, Modalku, UangTeman, Akseleran, and People’s Capital.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here