Perjalanan The Able Art, Bisnis dengan Misi Sosial yang Optimis Bangkit Pasca Pandemi

Seperti yang kita ketahui, pandemi memang berdampak kepada sebagian besar bisnis. Terutama mereka yang penjualannya tidak sepenuhnya mengandalkan platform penjualan online, seperti The Able Art.

The Able Art adalah sebuah bisnis berbasis social enterprise yang mereproduksi lukisan para seniman difabel menjadi produk fashion, seperti pouch, tote bag, dan scarf. Sebagai bisnis di bidang seni yang memiliki social value, The Able Art mengandalkan platform digital dan pameran offline sebagai sarana penjualan.

Lalu, bagaimana nasib The Able Art saat dan pasca pandemi? Apa yang membuatnya bertahan hingga saat ini? Simak perjalanan penuh pembelajaran The Able Art yang dibagikan oleh Tommy, Founder The Able Art, berikut ini.

Terinspirasi dari Tayangan “Melukis dengan Hati” Kick Andy

The Able Art merupakan sebuah ide bisnis yang datang setelah Tommy melihat program Kick Andy dengan tema “Melukis dengan Hati”.

Pada tayangan tersebut, Bapak Sadikin Pard dan Winda, seniman pelukis difabel, menjadi narasumbernya. Dari situ, muncul keprihatinan Tommy terhadap kondisi para seniman difabel di Indonesia yang juga menjadi awal perjalanan The Able Art.

Setelah itu, Tommy melakukan riset serta berdiskusi dengan Bapak Sadikin Pard di Malang. Setelah ia yakin dengan rencananya, Tommy pun melepaskan karirnya di bidang IT untuk fokus mendirikan The Able Art dan meningkatkan kesejahteraan para seniman difabel.

Kemudian, pada 3 Desember 2007, The Able Art resmi berdiri dan beroperasi hingga sekarang dengan total 7 seniman dan 1 sanggar lukis per tahun ini.

Memulai dengan Zero Knowledge di Bidang Fashion

Berangkat dari latar belakang IT, Tommy memulai The Able Art dengan nol pengetahuan pada bidang fashion, seni, dan retail. Fakta ini, diungkapkan oleh Tommy, membuat perjalanan The Able Art bak roller coaster karena perlu melakukan banyak trial and error.

 

the able art
Tote Bag The Cat by The Able Art

 

the able art
Hijab Lotus by The Able Art

“Perjalanan TAA bukan perjalanan yang mulus. Perjalanan kami seperti roller coaster. (Kami) memulai dengan zero knowledge tentang fashion, lukisan, dan bisnis retail karena background saya IT. (Hal ini) membuat awalan TAA seperti meraba-raba dan banyak melakukan trial and error baik di sisi produksi, penjualan, dan partnership dengan seniman,” ujar Tommy.

Meski begitu, pada tahun 2018, akhirnya The Able Art menemukan konsistensinya setelah mendapatkan kesempatan inkubasi di Instellar Incubator untuk social enterprise yang juga membawa The Able Art memenangkan beberapa kejuaraan e-commerce.

“Pada tahun 2018, kami mendapatkan kesempatan inkubasi di Instellar inkubator untuk social enterprise. Dari situ kami mulai menemukan konsistensi baik di produksi dan membawa kami menjadi Top 100 Blibli The Big Start 2018, dilanjutkan dengan menjadi juara 3 di Tokopedia MAKERFEST Nasional 2018,” lanjutnya.

Tidak berhenti sampai di situ, The Able Art kemudian mendapatkan kesempatan berharga untuk bisa diwawancarai oleh Andy F. Noya di program yang mengilhami bisnisnya, yakni Kick Andy. Sejak saat itu, penjualan The Able Art, baik online maupun offline, meningkat.

Menyisihkan Profit untuk Seniman Pemula

Tidak hanya fokus dalam menghasilkan profit melalui penjualan online dan offline, The Able Art juga memiliki misi untuk mendukung dan melatih seniman-seniman pemula.

Misi tersebut diwujudkan The Able Art dengan menyisihkan 5% dari profit untuk menyediakan alat lukis guna para seniman pemula berlatih.

Selain didukung dalam bentuk peralatan lukis, para seniman pemula juga diberikan bimbingan dan masukan dari para seniman-seniman senior The Able Art dan guru-guru sanggar lukis.

“Untuk seniman pemula, kami menyisihkan 5% dari profit kami untuk support alat lukis seperti cat dan kanvas untuk mereka berlatih, dan kami juga memberikan bimbingan dan masukan untuk mereka melalui seniman-seniman yang sudah senior dan guru sanggar lukis yang menjadi partner kami,” jelas Tommy.

Perjalanan Bangkit Pasca Pandemi

Penjualan Menurun Drastis saat Pandemi Covid-19

Badai pandemi Covid-19 diketahui menumbangkan banyak usaha. Meskipun penjualan sempat menurut drastis akibat tidak adanya event-event offline, tapi The Able Art berhasil survive selama 2 tahun terakhir ini.

“Sejak badai Covid-19 di Maret 2020 melanda, kami mengalami penurunan penjualan yang drastis karena event-event offline tidak bisa dilaksanakan dan ekonomi tidak menentu. Setelah survive dua tahun, kami siap dan sangat yakin bisa bangkit dan lompat lebih tinggi lagi daripada tahun-tahun sebelumnya,” kata Tommy.

Menata Ulang Strategi Penjualan

Sejak tahun 2017 hingga awal tahun 2020, The Able Art aktif dalam menggunakan platformplatform online, seperti WhatsApp, media sosial Instagram, dan e-commerce Tokopedia, sebagai sarana berjualan.

Diakui oleh Tommy, penggunaan platformplatform tersebut cukup efektif dan menghasilkan bertambahnya penjualan.

Platform yang kami gunakan antara lain melalui WA, IG dan tokopedia untuk promosi dan penjualan. So far, penjualan bertambah dari tahun 2017 sampai 2020 awal.”

Tapi, sayangnya, sejak pandemi, penjualan menurun secara drastis, sehingga Tommy dan tim perlu menata strategi baru agar penjualan produk The Able Art kembali konsisten.

Tekad Menjadi Salah Satu Kunci untuk Bertahan

Memulai bisnis di bidang fashion, seni, dan retail dari nol memang bukanlah sesuatu yang mudah. Meski terlihat mulus dan indah, tapi nyatanya banyak kesulitan yang dihadapi oleh The Able Art sebagai bisnis berbasis social enterprise.

Tommy menjelaskan bahwa kesulitan yang dihadapi seringkali datang ketika melakukan penjualan online. Ketika berjualan online, sulit bagi The Able Art menonjolkan social value yang dimilikinya.

 

the able art

 

“Kesulitannya lebih ke arah saat menjual online. Kami tidak bisa menonjolkan social value yang kami miliki dan buyer cenderung cari product yang lebih murah.”

Meskipun begitu, kesulitan-kesulitan tersebut tidak menjadi alasan The Able Art untuk menghentikan niat baiknya. Tekad, visi, dan misinya sejak awal, yang ingin berperan untuk bisa mendukung para seniman difabel, menjadi alasan utama The Able Art bisa bertahan sampai sekarang.

Merambah Pasar B2B hingga NFT

Ketika berbicara soal inovasi, Tommy menjelaskan bahwa The Able Art melakukan inovasi pada beberapa hal, salah satunya produk. The Able Art kini telah memiliki lebih banyak jenis produk jika dibandingkan saat pertama kali berdiri.

Kemudian, The Able Art juga mulai menjalin hubungan dan berdiskusi dengan perusahaan enterprise sebagai langkah nyata masuknya ke ranah B2B dari yang sebelumnya hanya fokus kepada B2C.

“Kami mulai masuk ke ranah B2B dari yang sebelumnya hanya B2C, dimana kami banyak berdiskusi dengan perusahaan enterprise untuk bisa berperan dalam ‘giving back to society’,” katanya.

Tidak hanya itu, The Able Art kini juga mulai merambah NFT sebagai platform untuk menjual lukisan digital.

Berpesan untuk Para Pegiat Usaha Lain di Luar Sana

Sejak pandemi, keputusan untuk go digital sudah bukan merupakan pilihan lagi, melainkan suatu keharusan. Meskipun untuk The Able Art peran offline belum bisa ditinggalkan karena dinilai lebih efektif untuk menonjolkan social value, namun Tommy tetap mengakui tanpa platform digital bisnis akan sulit untuk berkembang.

“Tanpa digitalisasi, bisnis kita akan sulit untuk berkembang karena market sekarang lebih besar digital walaupun peran offline juga belum bisa sepenuhnya ditinggal, terutama untuk bisnis yang memiliki social value yang membutuhkan tatap muka diskusi untuk menjelaskan value-nya.

Maka dari itu, Tommy berpesan kepada pelaku bisnis di luar sana untuk mulai go digital. Entah dengan cara belajar sendiri atau merekrut talenta muda yang lebih paham dunia digital untuk membantu mengembangkan bisnis.

Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, terutama dalam menyampaikan social value-nya, The Able Art tetap semangat untuk terus mewujudkan misinya dalam memperjuangkan kesejahteraan seniman difabel dan memperkenalkan karya mereka ke dunia yang lebih luas. Tentunya dengan bantuan digitalisasi.

Cara Cek dan Cairkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) UMKM 2022

Bagi pelaku usaha terutama UMKM atau usaha mikro, kecil dan menengah, bersiaplah menerima bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah. Sebelumnya, BLT serupa telah diberikan sejak 2020, dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.

BLT UMKM sendiri merupakan bantuan khusus yang diberikan pemerintah kepada pelaku UMKM, khususnya bagi yang terdampak pandemi Covid-19. Besaran BLT yang akan diterima ini senilai Rp 600 ribu.

Untuk mendapatkan BLT UMKM 2022, terdapat syarat-syarat khusus yang perlu dipenuhi. Misalnya, pelaku UMKM bukan merupakan ASN, anggota TNI/Polri, dan pegawai BUMN atau BUMD. Lalu, tidak sedang menerima kredit usaha mikro (KUR) dari perbankan manapun.

Lantas, bagaimana cara mengetahui apakah Anda termasuk ke dalam pelaku UMKM penerima BLT UMKM 2022? Serta bagaimana cara mencairkan dana bantuan tersebut? Berikut langkahnya.

Langkah Cek Penerima Bantuan UMKM 2022

BLT UMKM

  • Isi Nomor KTP dan Kode Verifikasi.
  • Lalu, klik Proses Inquiry.

UMKM

  • Jika sudah berhasil masuk, Anda akan mendapatkan informasi apakah sudah mendapatkan bantuan atau tidak.

BLT

  • Jika sudah terdaftar sebagai penerima BLT UMKM 2022, pelaku UMKM bisa langsung mendatangi kantor BRI, untuk mencairkan dana bantuan UMKM atau langsung ditransfer ke rekening penerima.

Syarat Mencairkan BLT UMKM 2022

Setelah dinyatakan terdaftar sebagai penerima BLT UMKM 2022, pelaku UMKM dapat mencairkan dana bantuan tersebut, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

  • Penerima BLT UMKM wajib melampirkan buku tabungan dan Kartu ATM.
  • Penerima wajib membawa Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP).
  • Penerima harus membawa surat Pernyataan yang ditandatangani oleh petugas Desa daerah setempat.
  • Penerima wajib menunjukkan notifikasi pesan SMS pemberitahuan penerima BLT UMKM atau BPUM.

Demikian informasi mengenai cara cek penerima dan mencairkan dana BLT UMKM 2022, melalui eform BRI. Pastikan setiap persyaratan dan prosesnya terpenuhi, sehingga dana bantuan UMKM dapat segera diterima.

Durasi Bermain Game Mobile Ternyata Meningkat 75% Selama Pandemi

Ketika pandemi COVID-19 pertama kali menyerang pada 2020, banyak orang yang harus mengubah kebiasaan untuk menghabiskan lebih banyak waktunya di rumah.

Salah satu hal yang masih bisa dilakukan adalah bermain video game. Dan game mobile kelihatannya menjadi salah satu yang paling populer karena kemudahan dan kepraktisannya untuk dimainkan di manapun dan kapanpun.

Dari laporan terbaru, dalam setahun ini jam bermain rata-rata para pemain game mobile meningkat sebanyak 75%. Hasil tersebut didapat dari riset yang dilakukan oleh firma intelijen pasar IDC dan juga platform periklanan LoopMe (via Gameindustry.biz). Dalam riset yang dilakukan terhadap 3.800 konsumen di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Jerman, dan Brazil.

Hasil survey tersebut memperlihatkan bahwa aktivitas bermain game mobile cenderung naik lebih tinggi pada negara-negara dengan tingkat kematian COVID-19 yang lebih tinggi.

“Selama pandemi, terjadi lonjakan yang sangat besar (pada aktivitas bermain game). Kami melihat hal tersebut pada game mobile, maupun konsol dan PC. Kami ingin mencari tahu bagaimana ‘new normal’ akan terlihat setelah pandemi ini berakhir.” Ungkap Direktur Gaming dan VR/AR IDC, Lewis Ward.

Pada saat pandemi dimulai, sebanyak 63% responden mengatakan bahwa mereka mulai meningkatkan durasi bermain game mobile. 6% responden bahkan mengatakan bahwa mereka tidak pernah bermain game sebelum pandemi ini terjadi.

Image credit: istockphoto

Terkait genre, ternyata game mobile live-multiplayer menjadi yang paling digemari oleh para pemain hingga mengalahkan genre-genre game lain selama 2020.

Lebih lanjut, 3 dari 4 gamer dilaporkan bahwa mereka bermain hanya untuk hiburan atau menghabiskan waktu. Sedangkan 4% mengatakan mereka bermain untuk dapat melakukan interaksi sosial secara virtual.

Terakhir, tingginya waktu untuk bermain game mobile ini diprediksi akan terus terjadi meskipun pandemi sudah berakhir. 75% akan tetap bermain game mobile, sedangkan 25% sisanya diprediksi akan mulai berhenti bermain pada akhir 2022.

Selama Pandemi, Transaksi Sejumlah Pedagang di Tokopedia Justru Naik

Pandemi menyebabkan beberapa sektor bisnis jatuh, namun kondisi sebaliknya ditunjukkan di sektor retail di mana Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menemukan bahwa 7 dari 10 pelaku usaha di Tokopedia justru mencatatkan peningkatan volume penjualan dengan median sebesar 133%.

Continue reading Selama Pandemi, Transaksi Sejumlah Pedagang di Tokopedia Justru Naik

Gredu to Close Series A Funding, Mapping for Expansion This Year

Edtech becomes one of the few sectors that has been gaining positive impact during the pandemic. The new online habit of teaching and learning activities through digital channels has made Gredu’s distance learning system the best option for schools. Entering the new year, Gredu aims for expansion as the next focus.

Gredu’s Sales Lead, Theresia Andina said that the team is targeting to collaborate with at least 200 schools or convertible to 70 thousand new users for the first quarter of this year. The expansion will be focused on areas such as Pangandaran, Yogyakarta, Tangerang, Cirebon, and Southeast Sulawesi.

“From 2021 onwards, there is still a great potential in Indonesia to be explored, although each school has different facilities and infrastructure,” Andina said.

Market expansion certainly requires additional capital. Andina mentioned that Gredu has prepared to raise another funding round this year. “Series A funding in the middle of the year,” she added.

When Gredu introduced the school digitization app in January 2020, they announced the pre-series A funding led by Vertex Ventures. Meanwhile, in the seed funding round, they received fund from angel investors and Global Wakaf Corporation.

2021’s current plans

In addition to school collaboration for distance learning, Andini explained, Gredu had done several other things. Some of these include running mobile assistance campaigns for students in need of online training.

Starting from here, Gredu claims to have 350 thousand users across Jabodetabek, West Java, East Kalimantan, Aceh, West Sumatra, Bengkulu, Bangka Belitung and Ambon.

The number of school partners increased significantly, from under a hundred to 300 schools. Andini said this condition would not last forever because the pandemic would end and teaching and learning activities would return to normal.

However, Andini optimistic their learning management system (LMS) platform will not be left out by the school after the pandemic. The reason is, she thought, what has changed after the pandemic will be limited to teaching and learning activities, but not for other school management activities.

“Therefore, we will continue exploring ways to digitize all the processes. Therefore, all the necessary processes at school will be provided by Gredu,” Andini said.

Gredu alone has been around since 2016 with the founding team Mohammad Fachri (CTO), Rizky Anies (CEO), and Ricky Putra (COO). In January 2020, they introduce a school digitization platform which turned out to be aligned with the school’s needs affected by the pandemic.

With a B2B business model, Gredu offers SaaS services to digitize school processes from attendance, scheduling, teaching, and learning activities, to monitoring channels for parents of students.

According to data summarized by the Edtech Report 2020 released by DSResearch, the education management platform has indeed become one of the fastest-growing innovations in Indonesia and the regional market. Apart from Gredu, in Indonesia, there are also several startups that offer similar services, including Quintal, InfraDigital, and Codemi.

Edtech in SEA

In June 2020, InfraDigital has secured the series A Funding led by AppWorks after receiving seed funding in February 2019.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Gredu Segera Rampungkan Pendanaan Seri A, Tahun Ini Gencarkan Ekspansi

Edtech adalah satu dari segelintir sektor yang mendapat dampak positif selama pandemi berlangsung. Kegiatan belajar mengajar yang berganti rupa melalui kanal digital menjadikan sistem pembelajaran jarak jauh milik Gredu terus dilirik sekolah-sekolah. Memasuki tahun baru, Gredu menatap ekspansi sebagai fokus berikutnya.

Sales Lead Gredu Theresia Andina mengatakan, pihaknya menargetkan menggandeng minimal 200 sekolah atau setara 70 ribu pengguna baru untuk kuartal pertama tahun ini. Ekspansi akan dipusatkan ke daerah-daerah seperti Pangandaran, Yogyakarta, Tangerang, Cirebon, dan Sulawesi Tenggara.

“Dari 2021 hingga seterusnya masih besar potensi yang bisa digarap di Indonesia walaupun sarana dan prasarana di tiap sekolah masih berbeda-beda,” ujar Andina.

Ekspansi pasar tentu membutuhkan modal tambahan. Andina menambahkan Gredu memang telah menyiapkan rencana untuk kembali menggelar babak pendanaan pada tahun ini. “Rencana seri A di pertengahan tahun,” imbuhnya.

Saat Gredu memperkenalkan aplikasi digitalisasi sekolah pada Januari 2020, mereka sekaligus mengumumkan pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Vertex Ventures. Sementara pada babak pendanaan awal, mereka mendapat suntikan dari angel investor dan Global Wakaf Corporation.

Rencana lain untuk 2021

Selain menggandeng sekolah-sekolah untuk menggelar pembelajaran jarak jauh, Andini menjelaskan, Gredu sudah melakukan beberapa hal lainnya. Beberapa di antaranya adalah mengadakan kampanye bantuan gawai untuk siswa yang membutuhkan hingga menggelar pelatihan daring.

Berangkat dari upaya tersebut, Gredu mengklaim sudah memiliki 350 ribu pengguna yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka Belitung, dan Ambon.

Pertumbuhan jumlah sekolah yang digandeng Gredu pun meningkat pesat dari awalnya hanya puluhan, kini menjadi 300 sekolah. Andini mengatakan kondisi ini tidak akan berlangsung selamanya karena pandemi pun pasti bakal berakhir dan kegiatan belajar mengajar kembali seperti semula.

Namun Andini ragu setelah pandemi platform learning management system (LMS) mereka akan ditinggal sekolah. Pasalnya menurut dia yang berubah setelah pandemi akan sebatas kegiatan belajar mengajarnya saja, tapi tidak untuk kegiatan manajemen sekolah yang lain.

“Maka dari itu kita akan terus survei untuk mencari cara mendigitalisasi semua proses yang dibutuhkan. Jadi semua proses yang dibutuhkan satu sekolah akan di-provide oleh Gredu,” jelas Andini.

Gredu sendiri sudah ada sejak 2016 dengan pendiri Mohammad Fachri (CTO), Rizky Anies (CEO), dan Ricky Putra (COO). Baru pada Januari 2020 mereka memperkenalkan platform digitalisasi sekolah yang ternyata bertepatan dengan kebutuhan sekolah yang terkena dampak pandemi.

Dengan model bisnis B2B, Gredu menawarkan layanan SaaS untuk mendigitalisasi kebutuhan sekolah mulai dari presensi, penjadwalan, kegiatan belajar mengajarnya, hingga kanal pengawasan bagi orang tua siswa.

Menurut data yang dirangkum Edtech Report 2020 yang dirilis oleh DSResearch, platform manajemen pendidikan memang menjadi salah satu inovasi yang berkembang pesat di Indonesia dan pasar regional. Selain Gredu, di Indonesia juga ada beberapa startup yang tawarkan layanan serupa, di antaranya Quintal, InfraDigital, dan Codemi.

Edtech in SEA

InfraDigital sendiri pada Juni 2020 lalu baru saja membukukan pendanaan seri A yang dipimpin AppWorks setelah sebelumnya dapatkan pendanaan awal pada Februari 2019.

Application Information Will Show Up Here

Gambar Header: Depositphotos.com

Mendiskusi Strategi Keberlangsungan Bisnis Bersama Pelaku Startup dan Pemodal Ventura

Banyak tantangan yang dihadapi startup saat pandemi, mulai dari menurunnya jumlah klien hingga pemasukan bisnis yang tersendat. Meskipun tantangan terberat dirasakan benar oleh startup di masa awal pandemi, namun dalam beberapa bulan terakhir, situasi diklaim sudah jauh lebih baik dan berangsur-angsur pulih kembali.

Dalam webinar yang diinisiasi oleh Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (AMVESINDO), tiga penggiat startup yang diwakilkan oleh Co-Founder & CEO Cashlez Tee Teddy Setiawan, Founder ProSehat & Chairman Healthtech.id Gregorius Bimantoro, dan CMO SiCepat Wiwin Dewi Herawati, berbagi pengalaman mereka tentang bagaimana cara tepat menyiasati tantangan bisnis saat pandemi.

Menyiasati langkah yang tepat

Ada beberapa catatan menarik yang kemudian disampaikan oleh perwakilan komunitas startup saat sesi webinar. Meskipun tidak dapat dimungkiri penurunan pendapatan sempat terjadi, namun melihat perubahan pola konsumen saat pandemi yang memanfaatkan sepenuhnya layanan digital, kemudian menjadi fokus utama dari startup seperti SiCepat dan Cashlez.

Sebagai layanan finansial berbasis teknologi, Cashlez memiliki jumlah merchant yang cukup beragam, dari layanan entertainment hingga p2p lending. Meskipun mengakui untuk beberapa layanan sempat mengalami penurunan secara drastis, namun di sisi lain layanan yang kemudian dimanfaatkan oleh platform e-commerce justru mengalami peningkatan.

“Di kuartal ketiga dan memasuki keempat kami melihat adanya peningkatan dari bisnis Cashlez. Momentum ini kemudian menjadi baik bagi kami untuk bisa fokus meng-capture target pasar yang ada,” kata Teddy.

Sementara itu, bagi layanan logistik yang dihadrikan oleh SiCepat, pandemi justru memberikan kesempatan yang lebih baik bagi perusahaan untuk merangkul lebih banyak pelanggan. Tidak hanya fokus kepada pemgiriman barang dalam volume dan kapasitas yang besar, namun SiCepat juga menawarkan pilihan pengiriman barang berharga dengan volume dan ukuran yang lebih kecil.

“Saat ini kami tengah berada pada masa-masa survive” saat awal pandemi kami sempat mengalami penurunan hingga 30% lebih untuk logistik darat dan udara hampir 80%,” kata Wiwin.

Dengan menerapkan diversifikasi, SiCepat mengklaim mampu untuk menjalankan bisnis dan tentunya bisa tetap bertahan saat pandemi hingga memasuki kondisi new normal.

Salah satu layanan yang kemudian menjadi primadona saat pandemi adalah layanan healthtech. Bukan hanya mampu mengakselerasi layanan konsultasi dokter secara online, dengan berbagai produk yang makin bervarias seperti menyematkan teknologi artificial intelligence hingga genetics, kini platform healthtech semakin banyak jumlah pemainnya.

“Selama pandemi layanan yang menyasar kepada segmen B2B memang mengalami penurunan. Namun di sisi lain untuk layanan yang menyasar B2C justru mengalami peningkatan. Meskipun belum maksimal namun dari pemain healthtech sendiri memang masih memiliki keterbatasan untuk menghadirkan layanan yang lebih menyeluruh karena adanya peraturan dan regulasi yang ditetapkan,” kata Gregorius.

Kinerja PMV selama pandemi

Meskipun ada beberapa perusahaan modal ventura (PMV) yang melakukan penundaan investasi ke startup selama pandemi, namun tidak menjadikan beberapa kegiatan penggalangan dana menurun jumlahnya. Amvesiondo mencatat ada 52 transaksi pendanaan yang dilakukan oleh PMV untuk startup, dengan jumlah pendanaan mencapai $1,9 miliar.

Hal tersebut bukan hanya memperlihatkan kepercayaan dari pihak investor kepada startup, namun juga kolaborasi yang senantiasa berjalan antara PMV dan startup di masa-masa krisis ini menandakan optimisme dan kepercayaan PMV terhadap potensi pertumbuhan pelaku startup nasional.

AMVESINDO memandang, para perusahaan tersebut mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengubah lanskap industri (new normal), memberikan nilai tambah, dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pelanggan dan konsumen.

“Pandemi bukan berarti startup harus berdiam diri, kondisi seperti ini justru menjadi momentum bagi startup untuk memaksimalkan upaya mereka untuk menjalankan bisnis agar bisa bertahan,” kata Anggota Dewan Kehormatan AMVESINDO Nicko Widjaja.

Nicko juga menambahkan, mewakili BRI Ventures hingga saat ini telah berinvestasi kepada 8 startup. BRI Ventures juga telah meluncurkan kelolaan baru bernama “Dana Ventura Sembrani Nusantara”. Fund tersebut menjadi kendaraan baru bagi BRI Ventures untuk mendanai startup early stage yang bermain di segmen non-fintech, seperti pendidikan, agro-maritim, ritel, transportasi, dan kesehatan.

Sementara itu menurut Sekjen AMVESINDO Eddi Danusaputro, tidak hanya fokus berinvestasi kepada startup baru, PMV juga harus tetap memperhatikan existing portofolio mereka. Meskipun tidak semuanya berniat untuk melakukan penggalangan dana saat ini, namun perlu juga diberikan dukungan yang relevan, memanfaatkan ekosistem yang ada.

“Saya juga melihat saat pandemi ada beberapa sektor yang menarik untuk dijajaki dan tentunya bermanfaat bukan hanya untuk PMV tapi juga masyarakat umum. Yaitu sektor agritech, mereka yang menyasar pertanian dan hal terkait lainnya menjadi perhatian bagi kami di MCI.” kata Eddi.

Startup turut berperan dalam pemulihan ekonomi nasional lewat kolaborasi dengan program pemerintah, seperti layanan startup agritech yang membantu menyalurkan pembiayaan dari pemerintah untuk petani, dan kolaborasi antar startup penyedia digital signature dan digital identity dengan lembaga perbankan untuk kemudahan proses restrukturisasi kredit.

“Untuk itu ke depannya perlu adanya peraturan dan regulasi yang mendukung bisnis startup terutama dari regulator,” kata Bendahara AMVESINDO Edward Ismawan Chamdani.

Adaptasi Startup Lewati Pandemi: Tidak Hanya Bertahan, Tetapi Juga Berkembang

Masa pandemi ini merupakan masa-masa yang sulit bagi para startup, tanpa terkecuali. Hal-hal  yang terjadi sepanjang tahun ini mungkin sangat berbeda dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Mau tidak mau, startup harus menyusun ulang rencana bisnisnya dan segera beradaptasi dengan cepat. Agility kini menjadi kunci utama bagi startup untuk mempertahankan bisnisnya.

Adaptasi yang lebih cepat ini di satu sisi sebenarnya memang dibutuhkan oleh berbagai jenis perusahaan, terutama sektor-sektor bisnis yang secara langsung terdampak oleh pandemi seperti pariwisata, retail, entertainment, serta food and beverages. Para pelaku bisnis di sektor ini kini adu cepat untuk mengadopsi transformasi digital, agar dapat tetap terhubung dengan pelanggan karena bisnis mereka belum pulih seutuhnya. Selain itu, sektor pendidikan dan kesehatan juga kini telah menggunakan berbagai solusi digital yang belum pernah digunakan sebelumnya.

Lewat adaptasi ini, masa pandemi juga bisa dimanfaatkan oleh para startup di sektor manapun untuk mencari peluang dari mitra maupun konsumen baru. Produk ataupun fitur baru yang hadir dari proses adaptasi startup tersebut dapat menjadi senjata utama bagi startup untuk mempertahankan bisnisnya, terutama bila inovasi yang dihadirkan dapat menjawab tantangan baru yang hadir setelah pandemi. Fitur baru ini, dapat hadir dalam bentuk penambahan dan peningkatan layanan ataupun sebagai bentuk pivot untuk mencari peluang di area bisnis yang belum dijangkau sebelumnya. Kesempatan ini juga didukung oleh meningkatnya penggunaan layanan digital oleh para konsumen secara umum. Kebiasaan baru dalam berinteraksi dengan layanan digital ini juga dapat dimanfaatkan oleh para startup untuk menghadirkan pengalaman penggunaan produk dan layanannya secara digital.

Akan tetapi, bertindak agile dan bergerak cepat sebenarnya hanyalah langkah awal. Di tengah situasi sulit, startup juga harus bisa mencari cara untuk melakukan efisiensi anggaran, mencari peluang bisnis baru, dan memastikan sumber daya manusianya tetap terus mengembangkan keterampilan baru. Bila hal-hal tersebut dilakukan dengan baik, startup tersebut mungkin tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga berkembang dalam kondisi new normal ini.

Cloud Sebagai Solusi Efektif dan Efisien Ciptakan Peluang Baru

Hal tersebut juga dilihat oleh Amazon Web Services (AWS) sebagai challenge yang dapat dijawab oleh para startup melalui produk-produknya. AWS memungkinkan penggunanya  untuk memiliki sumber daya teknologi yang dibutuhkan. Salah satunya membuat startup dapat menggunakan ratusan hingga ribuan server hanya dalam hitungan menit. Kemudahan cloud ini dapat membantu startup yang ingin bereksperimen dengan ide-ide baru selama pandemi ini. Selain hanya perlu membayar fitur cloud yang digunakan (pay-as-you-go), serta jika percobaan ide bisnis baru tersebut gagal, dapat dibatalkan dengan mudah, tanpa perlu khawatir risiko pengeluaran yang membengkak.

Salah satu startup Indonesia yang merespon perubahan kondisi bisnisnya menggunakan solusi cloud dari AWS adalah Halodoc. Contohnya Halodoc, startup healthtech yang merespon perubahan kondisi bisnisnya bersama AWS. Selama COVID-19, Halodoc bekerja sama dengan lebih dari 20 rumah sakit di Jabodetabek dan Karawang, Jawa Barat. Kolaborasi ini memungkinkan penggunanya untuk pemesanan tes COVID-19 lewat aplikasi.

Halodoc sendiri telah menggunakan beberapa layanan AWS, seperti Amazon EC2 Reserved Instances, Amazon RDS, Amazon S3, Amazon CloudFront, Amazon Route 53, dan AWS Lambda. Hasilnya, sejauh ini Halodoc berhasil melakukan penghematan anggaran IT sebesar 20-30%. Penghematan ini didapat dari sistem pembayaran pay-as-you-go yang dimiliki AWS sehingga mereka dapat mengatur anggaran dalam menggunakan produk cloud dengan lebih efektif. Selain itu, Halodoc juga berhasil meluncurkan fitur aplikasi baru yang 30% lebih cepat dari versi sebelumnya, sehingga dapat meningkatkan waktu respons pasien-dokter di dalam aplikasinya.

Ikut Bantu Startup Berkembang lewat Berbagai Kegiatan

Selain melalui produk dan layanannya, AWS juga turut aktif untuk membantu para startup dalam mengembangkan bisnisnya selama pandemi ini. Contohnya kursus online AWS Training and Certification, AWS Innovate conferences, AWS Builders Online Series, serta program akselerasi baru yang bekerja sama dengan DailySocial.id, yaitu DSLaunchpad 2.0. Program DSLaunchpad 2.0 ini juga menjadi salah satu upaya AWS dan DailySocial.id untuk membantu startup dalam mengakselerasi idenya melalui mentoring bersama para expert secara intensif selama empat minggu penuh.

dslaunchpad
Para expert yang akan menjadi mentor pada DSLaunchpad 2.0

Dengan memiliki mindset agile, startup dapat beradaptasi dengan lebih cepat bila terjadi perubahan yang memberikan dampak pada bisnisnya. Namun, selain dengan menggunakan produk yang mendukung agility-nya, para founders juga harus dapat memanfaatkan peluang dalam meningkatkan kapabilitas tim dan startupnya. Sehingga startup tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga terus berkembang meski harus melewati banyak tantangan di masa pandemi ini.

—-

Artikel asli ditulis oleh Gaurav Arora, Head of Startup Ecosystem, Asia Pacific-Japan, Amazon Web Services. Ditulis dalam bahasa Inggris, serta diterjemahkan dan diolah kembali oleh Ilham Sanjaya.

HygienePass, Inovasi Industri Perhotelan untuk Hadapi Pandemi

Masa pandemi memberikan dampak yang cukup besar terhadap industri akomodasi dan pariwisata, salah satunya perhotelan. Kejayaan operator hotel yang terus berkembang beberapa tahun terakhir, terpaksa perlahan runtuh digerus menurunnya permintaan terhadap unit penginapan yang dimiliki.

Akan tetapi, meski terus menghadapi berbagai tantangan, para pelaku bisnis perhotelan harus terus menghadirkan inovasi yang dapat mempertahankan operasional bisnisnya. Mulai dari menghadirkan produk baru, hingga menerapkan protokol kesehatan yang dapat memberi rasa aman dan nyaman pada konsumen. Hal ini juga dapat didukung oleh tetap adanya permintaan dari konsumen yang masih melakukan kegiatan traveling domestik baik untuk kepentingan pekerjaan ataupun pribadi di tengah pandemi ini.

Peluang inovasi ini juga dilihat oleh RedDoorz Indonesia. Melalui sertifikasi HygienePass yang dihadirkan, RedDoorz kini dapat memberikan rasa aman untuk para pengguna hotel saat menginap di masa pandemi ini.

Menjamin Higienitas dan Kenyamanan bagi Pengguna Hotel

Sertifikasi HygienePass ini dapat menjadi inovasi terbaru yang efektif untuk meningkatkan jaminan kebersihan dan kenyamanan bagi pengguna hotel. Di sisi konsumen, sertifikasi ini dapat membuat mereka dapat lebih tenang untuk bepergian selama pandemi. Dari sisi pelaku bisnis, sertifikasi ini dapat membuat operasional bisnis mereka dapat terus berjalan di tengah pandemi.

Salah satu upaya RedDoorz untuk menjamin standarisasi higienitas dan kebersihan mitra perhotelan melalui sertifikasi HygienePass ini adalah dengan menggandeng Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). Kolaborasi ini dilakukan untuk melakukan penilaian dan pemberian sertifikat untuk para mitra hotel.

Melalui sertifikasi HygienePass, ada beberapa poin yang akan disiapkan oleh pihak hotel untuk menjamin kenyamanan para penggunanya. Pertama, hotel akan melakukan pengukuran suhu di saat proses check-in. Pengecekan suhu tubuh ini tidak hanya berlaku untuk tamu, tetapi juga untuk staf hotel yang bertugas. Kedua, staf hotel dan juga tamu harus melaporkan kondisi kesehatan serta riwayat perjalanan mereka selama dua minggu terakhir.

Ketiga, hotel akan memastikan penggunaan masker oleh para staf serta menyediakan pembersih tangan berbahan dasar alkohol 80% selalu disediakan di beberapa area umum pada hotel tersebut. Terakhir, hotel harus terus melakukan pembersihan dan penyemprotan desinfektan secara menyeluruh, teratur, dan berkala.

Selain untuk melakukan pencegahan penularan virus, sertifikasi HygienePass ini dapat menjadi salah satu inovasi penting yang dapat digunakan oleh industri perhotelan untuk terus bertahan. Bagi RedDoorz sendiri, sertifikasi ini merupakan hal wajib yang dimiliki oleh seluruh mitra perhotelannya. Indonesia sendiri merupakan pasar utama dari RedDoorz di Asia hingga akhir tahun 2019 dengan total unit yang mencapai angka 1200 unit. Sehingga hal inovasi ini juga dapat menjadi upaya utama RedDoorz untuk mempertahankan pasarnya di tengah pandemi ini.

Dengan memiliki sertifikasi HygienePass ini, para pelaku bisnis perhotelan dapat memberikan jaminan kesehatan dan kenyamanan para tamunya tanpa mengurangi pelayanan apapun. Bagi para pengguna yang tetap membutuhkan penginapan selama pandemi ini, dapat tetap menggunakan hotel murah, tanpa perlu rasa khawatir akan protokol kesehatan yang diterapkan.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh RedDoorz

Facebook Gelontorkan Rp 12,5M untuk Bantu UKM di Indonesia

Pandemi memukul hampir seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia dan bahkan dunia. UKM yang menggantungkan keberlangsungan bisnisnya pada kondisi ekonomi jadi salah satu yang paling terdampak.

Continue reading Facebook Gelontorkan Rp 12,5M untuk Bantu UKM di Indonesia