Meluncur Bulan Februari, Smartwatch Android Wear Ini Cuma Dihargai $100

Siap-siap penggemar smartwatch Android Wear. Anda bakal kedatangan perangkat baru yang sepertinya bakal ‘merusak’ harga pasaran. Produk tersebut datang dari Tiongkok – tidak mengejutkan – dan namanya adalah Bluboo Xwatch.

Bluboo sendiri sebenarnya sudah beberapa kali meluncurkan smartphone Android. Akan tetapi ini merupakan debut mereka di ranah smartwatch. Melihat fisik beserta namanya, bisa dikatakan Xwatch berpotensi menjadi pesaing Moto 360, terlebih mengingat keduanya sama-sama menjalankan sistem operasi Android Wear.

Desainnya cukup mentereng, mengandalkan bodi logam dengan ketebalan cuma 9,8 mm, lebih tipis ketimbang Moto 360 maupun Apple Watch. Layar membulatnya punya ukuran 1,3 inci, dengan resolusi 360 x 360 pixel – lagi-lagi sedikit lebih oke dibanding Moto 360 yang cuma 360 x 330 pixel dikarenakan bagian bawah layarnya serasa ‘terpotong’.

Bluboo Xwatch

Xwatch ditenagai oleh chipset besutan MediaTek dengan prosesor 1,2 GHz, RAM 512 MB dan media penyimpanan seluas 4 GB. Baterainya pun cukup besar di angka 480 mAh. Sederet sensor telah disematkan ke dalamnya, mulai dari sensor laju jantung sampai GPS, tapi juga ada sensor lain seperti altimeter dan barometer untuk mendukung aktivitas olahraga.

Rencananya, Bluboo Xwatch akan dipasarkan mulai bulan Februari mendatang. Harganya menurut laporan GizChina cuma $100, jauh di bawah penawaran pabrikan smartwatch Android Wear lainnya.

Sumber: Wareable.

Avegant Glyph Bermisi Jadi Bioskop Pribadi Tanpa Mengandalkan Layar Sama Sekali

Tren virtual reality akan semakin menjamur dengan dimulainya masa pre-order Oculus Rift serta HTC Vive yang akan menyusul bulan depan. Namun pada event CES 2016 kemarin, hadir sebuah produk yang cukup menarik perhatian. Namanya Avegant Glyph, dan ia sebenarnya bukan sebuah VR headset.

Lalu mengapa membandingkannya dengan Oculus Rift dan HTC Vive? Karena fungsinya sebenarnya mirip, tapi dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Kalau VR headset bertujuan menyelimuti pengguna dengan dunia virtual, Glyph hanya dimaksudkan untuk menjadi bioskop pribadi bagi pengguna.

Konsep perangkat semacam ini sebenarnya juga bukan sebuah hal baru. Sebagian dari kita mungkin mengenalnya dengan istilah head-mounted display atau HMD. Akan tetapi yang unik dari Glyph adalah bagaimana ia bisa menyajikan konten visual tanpa melibatkan layar sama sekali.

Avegant Glyph

Avegant merancang teknologi yang mereka sebut dengan istilah Retinal Imaging. Pada dasarnya, Glyph dilengkapi dua juta cermin berukuran mikroskopis yang akan memproyeksikan gambar langsung menuju retina. Karena langsung menuju retina, Glyph pun bisa dinikmati pengguna berkacamata tanpa harus mengenakan kacamatanya.

Glyph dapat menampilkan berbagai konten visual dari smartphone, tablet, laptop sampai game console sekaligus. Melengkapi teknologi visual yang canggih tersebut adalah penyajian audio. Kalau melihat bentuknya, Glyph memang terlihat seperti sebuah headphone standar, dan ia pun juga bisa digunakan untuk mendengarkan musik saja kalau memang mau.

Tapi ketika bagian headband-nya Anda turunkan menuju ke depan mata, Anda akan langsung disambut oleh konten visual yang begitu dramatis, dengan resolusi 720p per mata. Glyph juga dilengkapi fungsi head tracking, yang berarti ke mana pun Anda menoleh, tampilan akan tetap lurus dengan arah pandangan Anda.

Glyph mengemas baterai berdaya 2.060 mAh. Ia bisa digunakan untuk menonton video hingga empat jam nonstop. Kalau dipakai sebagai headphone biasa melalui jack 3,5 mm, tentunya ia tidak memerlukan daya sama sekali.

Avegant Glyph

Avegant sebenarnya sudah mengembangkan Glyph cukup lama. Di awal tahun 2014, mereka memperkenalkannya untuk pertama kali lewat situs crowdfunding Kickstarter. Di tahun berikutnya, mereka sempat mendemonstrasikan Glyph di hadapan pengunjung CES 2015. Barulah di event CES 2016 minggu kemarin mereka mengumumkan bahwa pemasaran Glyph akan segera dimulai.

Selama masa pre-order – tanggal 15 Januari ini terakhir – Avegant Glyph dibanderol $599. Selanjutnya, harga retail-nya dipatok $699. Saya pribadi menilai harga ini terlampau tinggi, terlebih mengingat Oculus Rift saja cuma dihargai $600. Kendati demikian, toh masih ada skenario dimana menggunakan Glyph lebih ideal daripada VR headset, seperti misalnya ketika berada di dalam kabin pesawat.

Via: TechCrunch.

Ford Dirikan Lab Khusus untuk Bereksperimen dengan Wearable Device dalam Konteks Otomotif

Semakin ke sini, batas antara perangkat teknologi kelas konsumen maupun yang dipakai oleh industri otomotif semakin kabur. Kemarin kita sudah membahas soal Audi Fit Driver, yang pada dasarnya merupakan visi Audi dalam memadukan kecanggihan wearable device dengan teknologi kemudi otomatis guna menciptakan pengalaman berkendara yang lebih baik.

Sekarang, giliran Ford yang unjuk gigi di ajang Detroit Auto Show 2016. Mereka rupanya juga punya visi serupa dengan membuka sebuah lab khusus untuk mengembangkan dan mengintegrasikan teknologi wearable device ke dalam mobil. Menurut Ford, hubungan antara apa yang Anda kenakan dan apa yang Anda kendarai bakal lebih harmonis lagi berkat inovasi-inovasi yang keluar dari lab ini nantinya.

Ide yang ditawarkan sebenarnya tidak jauh berbeda dari yang dicetuskan Audi lewat Fit Driver. Salah satu contoh integrasi wearable device yang dijelaskan adalah bagaimana mobil dapat mengaktifkan sejumlah fitur driver assistance berdasarkan kondisi kebugaran tubuh pengemudi – yang diperoleh dari smartwatch maupun fitness tracker.

Pada prakteknya, mobil nanti bisa menyesuaikan sistem cruise control yang dimiliki. Kalau sebelumnya mobil akan mengerem secara otomatis saat berada 5 meter di belakang mobil lain, jarak tersebut akan ditambah menjadi 10 meter atau lebih ketika pengemudi terdeteksi kurang istirahat.

Ford Wearable Lab

Tak hanya dengan smartwatch dan fitness tracker saja, riset lab wearable dari Ford ini juga membuka potensi pemanfaatan perangkat smart glasses dan semacamnya. Berbekal teknologi augmented reality, Ford nantinya bisa menawarkan pengalaman mengenal mobil yang berbeda buat para calon konsumen yang berkunjung ke showroom.

Hal ini pun juga tidak menutup kemungkinan digunakannya teknologi virtual reality untuk kepentingan test drive. Kalau sesi test drive di dunia nyata biasanya harus dibatasi kecepatannya, dalam uji virtual ini tentu saja calon konsumen akan dibebaskan mengebut sesuka hatinya guna mendapatkan gambaran yang lebih jelas terkait potensi performa dari mobil incarannya.

Menurut salah satu pimpinan tim riset Ford, Gary Strumolo, inovasi yang bisa dihasilkan pada dasarnya tidak terbatas. Mereka akan terus bereksperimen dengan wearable device dan potensi penggunaannya di ranah otomotif. Semuanya demi menciptakan pengalaman berkendara yang lebih menyenangkan sekaligus aman bagi para konsumen.

Sumber: Ford.

Audi Fit Driver Padukan Wearable Device dan Sensor Mobil untuk Jaga Kebugaran Pengemudi

Audi ingin mobil-mobilnya di masa yang akan datang dapat memahami kebugaran tubuh pengemudinya. Ide ini mungkin terdengar aneh sekaligus ambisius, tapi itulah yang mereka perkenalkan kepada para pengunjung CES 2016 lewat sistem bernama Audi Fit Driver.

Sistem ini memang baru berupa konsep dan jauh dari kata realisasi. Pun demikian, ide-ide yang ditawarkan sangatlah menarik. Sederhananya, sistem ini akan memadukan data yang dikumpulkan oleh wearable device macam smartwatch maupun fitness tracker dengan yang direkam oleh sensor-sensor mobil, guna menciptakan gambaran menyeluruh terkait kebugaran tubuh pengemudinya.

Jadi di saat smartwatch merekam data laju jantung monitor dan suhu kulit, sensor mobil akan melengkapinya dengan data-data seputar gaya mengemudi, pola pernafasan maupun yang merupakan faktor eksternal seperti cuaca dan kondisi lalu lintas. Dari gabungan data-data ini, Audi Fit Driver akan mengestimasikan kondisi kebugaran tubuh pengemudi.

Audi Fit Driver

Saat pengemudi dinilai terlalu stres atau lelah, sistem akan berupaya membuatnya lebih rileks atau bahkan mengambil alih kemudi demi keselamatannya sendiri. Tentu saja hal ini membutuhkan teknologi kemudi otomatis yang benar-benar sudah matang. Itulah kenapa Audi masih butuh banyak waktu dalam mengembangkan Fit Driver.

Kalau itu tadi merupakan contoh skenario yang cukup ekstrem, bagaimana dengan kondisi yang lebih simpel, seperti ketika pengemudi sakit leher misalnya? Dalam kasus tersebut, nantinya sistem akan mengaktifkan sejumlah fitur, menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Bisa berupa alat pemijat yang tertanam dalam jok, pengaturan suhu sampai cahaya dalam kabin yang bisa membuat pengemudi lebih tenang dan santai.

Karena masih konsep, Audi pun belum bisa mengungkapkan kapan sistem ini bakal tersedia di mobil produksinya. Terlepas dari itu, paling tidak kita bisa mendapat gambaran bahwa pabrikan mobil ternyata tidak hanya sibuk mengembangkan mobil elektrik dan sistem kemudi otomatis saja, tetapi juga hal-hal kecil yang bermanfaat yang sebelumnya tidak pernah terpikiran seperti Fit Driver ini.

Sumber: Autoblog dan Audi. Gambar header: Audi.

Tanpa Koneksi Internet, Ili Siap Terjemahkan Percakapan Lisan dengan Sangat Akurat

Aplikasi Google Translate maupun sejenisnya memang sudah bisa menerjemahkan percakapan secara lisan. Akan tetapi fitur ini seringkali memerlukan koneksi internet, atau paling tidak pengguna perlu mengunduh semacam language pack terlebih dulu sebelum akhirnya melancong ke negeri orang. Terlepas dari itu, hasil terjemahannya pun terkadang masih terasa kurang sempurna.

Menguasai banyak bahasa sekaligus itu memang susah. Beda ceritanya dengan dua atau tiga bahasa saja. Dalam kasus tersebut, mungkin Anda bisa benar-benar fasih secara lisan maupun tulisan. Tapi tidak lucu kan kalau alat bantu penerjemah hanya menguasai tiga bahasa saja?

Hmm, tidak juga. Karena kalau memang hasil terjemahannya sempurna dan bisa diandalkan kapan saja, alat tersebut akan sangat bermanfaat buat para turis di suatu negara tertentu. Itulah Ili. Tim pengembangnya yang berbasis di Jepang menganggapnya sebagai sebuah wearable translator, berkat wujudnya yang menyerupai remote kecil dan bisa dikalungkan.

Ili Wearable Translator

Kelebihan Ili terletak pada pemahamannya terhadap tiga bahasa, yakni Inggris, Mandarin dan Jepang. Memang cuma tiga, tapi hasil terjemahannya dijamin sangat akurat dan terdengar alami dalam percakapan sehari-hari. Dan lagi, Ili sama sekali tidak membutuhkan koneksi internet, kecuali ketika ada update kosa kata atau frasa baru yang siap diunduh.

Untuk memakai Ili, pengguna hanya perlu menekan dan menahan tombol selagi berbicara, kemudian tanpa berlama-lama Ili akan langsung mengucapkan hasil terjemahannya dengan suara yang cukup lantang. Cara yang sama juga berlaku ketika lawan bicara memberikan balasan, dimana Ili kemudian akan mengucapkan balasan tersebut dalam bahasa yang pengguna tetapkan sebagai default.

Sayang sekali sampai detik ini masih belum ada keterangan pasti terkait jadwal rilis maupun banderol harga Ili. Sepertinya pihak pengembang Ili ingin semuanya berjalan sempurna, terutama untuk urusan terjemahan yang akurat. Perlahan-lahan nantinya Ili juga bakal mendukung bahasa lain seperti Perancis, Thailand, Korea, Spanyol, Itali dan Arab.

Untuk sementara, Anda bisa menonton video demonstrasinya yang sangat menghibur di bawah ini, dimana sang pengguna mengandalkan Ili untuk merayu sekaligus melontarkan gombalan-gombalan maut ke para gadis Jepang.

Sumber: Reviewed.

Gelang Pintar Ini Diklaim Bisa Memahami Perasaan Anda

Kedengarannya sulit dipercaya? Well, itulah yang dibawa oleh startup asal New York, Sentio Solutions, ke panggung CES 2016. Dijuluki Feel Wristband, perangkat ini diyakini mampu memonitor kadar stres maupun seberapa emosional penggunanya, sekaligus tentu saja berusaha memperbaiki mood penggunanya.

Feel tampak seperti gelang pintar pada umumnya. Ia mengemas empat sensor khusus untuk merekam berbagai data biometrik sepanjang hari, mulai dari denyut nadi, suhu kulit sampai respon kulit galvanik (respon listrik yang muncul pada kulit akibat kegelisahan atau stres). Berbekal data-data ini, Feel akan mencoba untuk memahami perasaan Anda sebaik mungkin.

Namun bukan berarti dengan mengenakan Feel Anda bisa langsung ceria begitu saja. Semuanya tetap kembali pada pengguna. Feel hanya akan memberikan penjelasan terkait apa yang menyebabkan suasana hati Anda jadi kurang kondusif seperti itu. Bisa jadi dikarenakan Anda habis menjalani rapat berturut-turut, atau mungkin karena sudah terlalu lama terjebak macet.

Evaluasi semacam ini akan ditampilkan pada aplikasi pendamping Feel di smartphone. Selanjutnya, Feel juga akan memberikan kiat-kiat mengatasi stres berdasarkan situasinya, yang disampaikan dalam wujud notifikasi singkat seperti “ayo lebih banyak senyum”, “waktunya tarik nafas dalam-dalam”, dan sebagainya.

Dalam situasi dimana Anda sudah stres berat, Feel akan bergetar dan aplikasinya akan menampilkan panduan latihan pernafasan maupun meditasi secara bertahap sehingga Anda bisa merasa sedikit lebih baik, dan Anda pun terhindar dari resiko dipecat karena telah memaki atasan secara frontal.

Feel Wristband rencananya bakal mulai dipasarkan pada bulan Desember tahun ini juga, dengan pilihan warna antara putih, turquoise, merah dan hitam. Banderol harganya belum bisa dipastikan. Kalau ternyata cukup terjangkau, mungkin ia bisa jadi alternatif yang cukup menarik dari smart band kelas mainstream.

Sumber: Wareable.

Withings Luncurkan Fitness Tracker Baru dan Termometer Pintar

Perusahaan asal Perancis, Withings, tak mau ketinggalan dari para pesaingnya dalam meramaikan panggung CES 2016 dengan sederet fitness tracker baru. Di sana, mereka langsung memperkenalkan dua produk baru sekaligus; satu merupakan fitness tracker berharga terjangkau, sedangkan satunya adalah sebuah termometer pintar.

Fitness tracker anyar itu mereka beri nama Withings Go. Wujudnya begitu minimalis. Ia tak memiliki tombol sama sekali, sedangkan layarnya sendiri memanfaatkan teknologi e-ink yang amat irit daya. Pada layar ini, progress pengguna akan ditampilkan berupa garis-garis yang akan memenuhi layar ketika target harian telah tercapai.

Go dapat dipakai untuk memonitor berbagai aktivitas: jalan kaki, berlari, berenang sampai mendengkur di atas kasur. Karena tak ada tombol apa-apa untuk ditekan, yang perlu pengguna lakukan hanyalah memakainya, dan Go akan mulai memonitor secara otomatis saat aktivitas dimulai. Data-datanya kemudian akan diteruskan menuju aplikasi Withings Health Mate di smartphone.

Withings Go

Cara memakai Go pun bervariasi. Pengguna bisa menjepitkannya ke saku celana atau ikat pinggang. Go juga bisa dikenakan seperti sebuah jam tangan dengan memanfaatkan casing pelindung yang berbeda. Konsep ini sangat mirip seperti yang ditawarkan perangkat sekelas dari brand lain, yakni Jawbone UP Move dan Misfit Flash.

Secara keseluruhan, Withings Go terdengar amat menarik buat yang tengah mengincar sebuah fitness tracker serba bisa tapi berharga terjangkau. Go dihargai $70 saja, dan akan dipasarkan mulai kuartal pertama tahun ini juga. Oh ya, ia juga tahan air hingga kedalaman 50 meter, dan baterai kancingnya bisa bertahan sampai 8 bulan sebelum perlu diganti baru.

Withings Thermo

Withings Thermo

Saya yakin Anda sudah penasaran dengan yang dimaksud termometer pintar. Namanya Withings Thermo, dan sepertinya ia merupakan termometer paling canggih yang tersedia untuk umum saat ini. Cara menggunakannya pun jauh lebih mudah daripada termometer tradisional.

Untuk memakainya, pengguna hanya perlu menempelkan Thermo ke pelipis, tekan tombolnya, lalu tunggu selama dua detik. Thermo dibekali 16 sensor inframerah yang akan melakukan sebanyak 4.000 pengukuran pada pembuluh arteri, mencari titik terpanas, lalu menampilkan berapa suhunya secara akurat. Sekali lagi, semuanya berlangsung dalam waktu dua detik saja.

Keunikan Thermo tak berhenti sampai di situ saja. Ia juga mengemas koneksi Wi-Fi dan Bluetooth, memungkinkannya untuk meneruskan data menuju aplikasi di smartphone. Di situ Anda dapat memantau analisis sederhana terkait fluktuasi suhu tubuh setiap harinya, yang bisa saja dikaitkan dengan gejala penyakit tertentu yang tiba-tiba muncul.

Lebih lanjut, data ini juga bisa dikombinasikan dengan data yang dikumpulkan perangkat kesehatan lain besutan Withings, yang pada akhirnya dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang kesehatan penggunanya.

Withings Thermo dibanderol seharga $100, dan juga akan dipasarkan mulai kuartal pertama tahun 2016. Ia ditenagai oleh sepasang baterai AAA sehingga Anda tak perlu repot-repot mengisi ulang baterainya setiap malam.

Sumber: Wareable dan TechCrunch.

Fitbit Perkenalkan Smartwatch Perdananya, Fitbit Blaze

Sebagai salah satu brand yang amat dominan di dunia wearable, Fitbit sejauh ini punya lini produk yang cukup bervariasi. Produk-produknya yang populer mencakup Fitbit Flex, Charge, Charge HR maupun Surge. Tapi keempat perangkat itu hanyalah sebuah gelang, sehingga otomatis konsumen yang menginginkan smartwatch kemungkinan tak akan melirik Fitbit sama sekali.

Untuk itulah Fitbit datang meramaikan event CES 2016 di kota Las Vegas. Di situ mereka memperkenalkan smartwatch perdananya, Fitbit Blaze. Dilihat dari sudut manapun, Blaze memang tampak seperti jam tangan, tapi tentu saja dengan sejumlah fitur pintar ala smartwatch sekaligus fungsi fitness tracking yang lengkap yang membuat nama Fitbit melambung hingga seperti sekarang.

Desain Blaze agak sedikit kaku kalau dibandingkan smartwatch lain. Rangka stainless steel membungkus layar sentuhnya, dan ia secara total memiliki tiga tombol di bagian sisinya. Blaze tahan air, tapi sekedar cipratan air hujan saja, bukan untuk dipakai selagi mandi atau malah saat berenang.

Fitbit Blaze

Sebagai sebuah smartwatch, fiturnya masih kalah lengkap jika dibandingkan dengan smartwatch Android Wear. Utamanya adalah tidak adanya app store untuk mengunduh aplikasi pihak ketiga, serta absennya dukungan perintah suara. Kendati demikian, Blaze masih bisa meneruskan notifikasi panggilan telepon, pesan teks maupun entry kalender, dan ia juga bisa dipakai untuk mengontrol musik pada smartphone.

Tidak mengejutkan dari Fitbit, yang membuat Blaze istimewa justru adalah fungsi fitness tracking-nya. Mulai dari yang super simpel seperti memonitor jumlah langkah kaki atau pola tidur, sampai yang lebih kompleks seperti aktivitas berlari dan bersepeda. Blaze juga punya sensor laju jantung dan GPS, memungkinkan pengguna untuk memantau rute, kecepatan maupun durasi selagi beraktivitas.

Terlepas dari itu, cukup menarik untuk melihat Fitbit yang akhirnya ikut menembus pasar smartwatch. Blaze dijajakan seharga $200 saja, menjadikannya alternatif yang lebih terjangkau dari smartwatch Android Wear atau malah Apple Watch.

Sumber: Gizmag.

Bisa Memindai Secara 3D, Razer Stargazer Diklaim Sebagai Webcam Tercanggih

Razer sepertinya cukup sibuk memanjakan para pengunjung event CES 2016. Selain mengungkap kehadiran ultrabook mutakhir untuk gaming, Blade Stealth, Razer rupanya juga memperkenalkan perangkat yang kesannya agak kurang ‘gaming‘, yakni sebuah webcam.

Namanya Razer Stargazer. Bukan cuma namanya saja yang keren, karena tentu saja ini bukan sembarang webcam. Razer telah menanamkan teknologi Intel RealSense ke dalamnya, memungkinkan Stargazer untuk memindai wajah Anda secara tiga dimensi.

Sebanyak 78 titik pada wajah bisa ia kenali, yang berarti pengguna PC pada akhirnya dapat menikmati fitur Windows Hello milik Windows 10, membuka komputer hanya dengan mengarahkan wajahnya ke kamera. Tak cuma itu, Stargazer juga bisa mengenali 22 titik di tangan. Apa gunanya? Menurut Razer, pengguna nantinya bisa menjalankan suatu aplikasi dengan menerapkan gesture tertentu.

Razer Stargazer - Dynamic Background Removal

Keberadaan teknologi Intel RealSense ini rupanya sangat dimaksimalkan oleh Razer. Salah satu fitur menarik lain dari Stargazer adalah Dynamic Background Removal. Fitur ini pada dasarnya akan menghapus background secara otomatis, sehingga para gamer yang biasa mangkal di Twitch nantinya tak perlu lagi menempatkan green screen di belakang masing-masing. Hasil akhirnya akan terlihat seperti gambar di atas ini.

Tak cuma buat gamer yang suka menyiarkan kekonyolannya dalam bermain, Stargazer juga bisa dimanfaatkan oleh pihak developer game. Selain wajah, objek sehari-hari juga bisa dipindai secara 3D. Hasil scan-nya kemudian dapat diproses lebih lanjut secara cepat menggunakan game engine macam Unity. Dengan kata lain, proses pembuatan objek 3D dalam tahap pengembangan game bisa sedikit dipermudah.

Menurut CEO Razer, Min-Liang Tan, tidak ada inovasi yang berarti di kategori webcam selama bertahun-tahun selain peningkatan kualitas dan resolusi. Stargazer membuktikan bahwa sebuah webcam saja bisa memegang peran besar dalam keseharian pengguna.

Razer Stargazer

Soal kualitasnya sendiri, jangan khawatir, Stargazer menyediakan opsi perekaman 1080p 30 fps atau 720p 60 fps. Lebih lanjut, Razer turut melengkapinya dengan sepasang mikrofon yang dibekali teknologi noise-cancelling otomatis. Singkat cerita, pengguna tak perlu cemas soal kualitas video maupun audio yang dihasilkan oleh Stargazer.

Kapan Razer Stargazer bisa dibeli? Kuartal kedua tahun ini juga, dengan harga $200. Razer rencananya juga bakal membagikan Stargazer secara cuma-cuma dalam jumlah terbatas kepada para pemilik channel video gaming yang tergabung dalam program Sponsored Streamer.

Razer Nabu Watch

Razer Nabu Watch

Bersamaan dengan itu, Razer ternyata masih belum lupa akan lini perangkat wearable-nya, Nabu. Mereka pun memamerkan iterasi baru yang bernama Nabu Watch. Sesuai namanya, kali ini bukan lagi sebuah smart bracelet, melainkan sebuah smartwatch – meski Razer lebih memilih menyebutnya sebagai “a watch that’s smart“.

Di balik desain khas Razer-nya, Nabu Watch dilengkapi fitur-fitur standar ala smartwatch seperti fitness tracking maupun yang sudah menjadi ciri khas lini Nabu, yakni kemampuan untuk bertukar informasi jejaring sosial hanya dengan berjabat tangan antara dua pengguna Nabu Watch.

Fitur unik lain dari Nabu Watch adalah kehadiran layar kedua yang terletak pada bagian bawah wajahnya. Jadi layar besar di atasnya akan terus menyala seperti sebuah chronograph digital biasa, tapi layar keduanya bertindak sebagai penyaji info dari fitur-fitur pintarnya, termasuk menampilkan notifikasi smartphone.

Razer saat ini sudah memasarkan Nabu Watch seharga $150. Tersedia pula versi lain yakni Nabu Watch Forged Edition yang mengusung tombol berbahan stainless steel seharga $200.

Sumber: Razer 1, 2.

Misfit Umumkan Dua Produk Baru, Misfit Specter dan Misfit Ray

Menghadapi persaingan di ranah perangkat activity tracker yang terus memanas, Misfit memanfaatkan panggung CES 2016 untuk memperkenalkan dua produk baru yang bernama Misfit Specter dan Misfit Ray. Keduanya sama-sama merupakan activity tracker, tapi wujudnya benar-benar berbeda satu sama lain.

Misfit Specter pada dasarnya merupakan sebuah earphone nirkabel berbasis Bluetooth. Ini merupakan pertama kalinya Misfit menggarap perangkat audio. Maka dari itu, mereka pun meminta bantuan 1More, sebuah produsen headphone kategori high-end asal Tiongkok. Agar semakin lengkap, teknologi noise-cancelling pun tak lupa disematkan.

Di saat yang sama, Specter juga merupakan sebuah activity tracker. Sensor-sensor macam accelerometer ditanamkan ke dalam unit dasarnya yang berwujud persegi. Unit ini bisa pengguna jepitkan di kerah baju misalnya, kemudian ia akan memonitor jumlah langkah kaki, kalori yang terbakar maupun jarak tempuh.

Misfit Specter

Misfit turut melengkapi Specter dengan fungsi sleep tracking. Ia dibekali baterai dengan daya tahan sekitar 8 – 10 jam. Memang terdengar boros untuk ukuran activity tracker, tapi harus kita ingat bahwa ia juga merupakan sebuah earphone nirkabel, dan angka tersebut sudah tergolong lumayan.

Namun yang tak kalah menarik adalah kompatibilitas Specter dengan aplikasi Misfit Link. Tombol yang ada pada unit dasarnya bisa diprogram sesuai kebutuhan, termasuk untuk mengontrol perangkat smart home macam bohlam Philips Hue berkat integrasi IFTTT – sama seperti yang ditawarkan oleh Misfit Shine 2.

Misfit Ray

Di sisi lain, Misfit Ray merupakan activity tracker sekaligus sleep tracker dengan bentuk yang lebih tradisional. Tak seperti Shine yang menyerupai arloji, Ray kelihatan seperti gelang. Bagian atasnya merupakan rangka aluminium berwujud silinder yang mengemas seluruh komponen elektronik yang dibutuhkan, seperti misalnya accelerometer 3-axis.

Keunggulan utama Ray sebenarnya terletak pada desainnya yang amat minimalis tersebut. Berwujud tabung dengan diameter 12 mm dan panjang 38 mm, ia sebenarnya bisa Anda pakai bersama strap model apa saja, atau malah dijadikan liontin kalau memang berkenan. Sentuh permukaan atasnya, maka lampu LED akan menyala sesuai dengan pencapaian target harian pengguna.

Ray juga tak perlu di-charge. Ia memakai baterai kancing standar yang hanya perlu diganti sekitar 6 bulan sekali. Ia pun juga tahan air, siap Anda ajak menyelam hingga kedalaman 50 meter seandainya berkenan.

Soal harga dan ketersediaan, Specter baru akan dipasarkan pada musim semi tahun ini dengan banderol di bawah $200. Untuk Ray, Misfit bakal menjajakannya dalam dua model: model pertama dengan strap karet seharga $100 dan model kedua dengan strap kulit seharga $120.

Sumber: SlashGear dan Misfit Blog.