Finfini Tawarkan Solusi Integrasi Data Finansial Berbasis API

Terus menggali apa yang menjadi kebutuhan pengguna, harus selalu menjadi fondasi dasar bagi perusahaan agar terus berinovasi. Kisah ini juga terjadi di dalam tim Finfini. Sejatinya, Finfini lahir hasil dari keputusan pivot dari dua produk sebelumnya yang sudah dirilis ke pasar, yakni DompetSehat dan Veryfund.

Head of Product Rangga WP mengatakan, Finfini menggabungkan engine dari dua produk sebelumnya menjadi tiga sektor, yakni engine data/account aggregation, data analytics, dan data processing. Engine tersebut ternyata paling dibutuhkan pengguna daripada produk yang sudah jadi.

DompetSehat itu sendiri menyediakan jasa layanan pengatur keuangan untuk individu dengan menghubungkan akun banknya. Sementara Veryfund menawarkan kemudahan untuk mengecek saldo dan melacak transaksi keuangan dari berbagai akun bank milik pengguna.

“Ternyata banyak korporasi di luar sana yang lebih membutuhkan engine kami daripada DompetSehat dan Veryfund. Jadi kami putuskan untuk membuat brand sendiri. Pada tahun 2017 kami putuskan untuk pivot [..], kami belajar dari kegagalan sebelumnya dan mengasah diri melihat potensi pasar,” terangnya kepada DailySocial.

Model bisnis

Rangga menerangkan Finfini membagi layanannya ke dalam tiga sektor, yakni data/account aggregation, data analytics, dan data processing. Data aggregation merupakan layanan yang berfungsi untuk mengumpulkan data-data yang tersebar secara publik di internet, atau data privat yang bisa diakses atas seizin pemilik akun. Misalnya, data keuangan di bank atau data investasi.

Data privat ini dapat diperoleh Finfini karena biasanya pemilik akun memiliki kebutuhan untuk mengajukan pinjaman di suatu institusi keuangan tertentu. “Atau ketika pemilik akun ingin mencatat pemasukan atau pengeluaran tiap bulan yang tercatat di masing-masing rekening bank, dan menampilkannya dalam bentuk grafik, sehingga pemilik akun dapat mengatur keuangannya lebih baik.”

“Sehingga kami menempatkan diri di antara dua demand, yakni pemilik rekening, dan/atau perbankan/fintech lain. Perbankan/fintech/pengembang aplikasi adalah klien yang menggunakan jasa kami untuk mempermudah user mereka,” sambungnya.

Dari ketiga sektor tersebut, menghasilkan empat produk yang ditawarkan ke pengguna korporasi Finfini. Yakni, account aggregation yang mengumpulkan data-data keuangan, menghubungkan dengan internet banking untuk mengambil laporan keuangan tiga bulan terakhir, atau lima transaksi terakhir.

Kemudian, document parsers seperti OCR parser untuk KTP, rekening koran, dan dokumen lain, juga PDF parser untuk rekening koran dalam bentuk PDF; Cashflow analytics adalah engine untuk menganalisis hasil parsing rekening koran tersebut apakah ada indikasi fraud, sehingg tim risk/fraud di institusi keuangan dapat menganalisis dan mengambil keputusan layak kredit lebih cepat.

“Terakhir modul e-KYC, untuk validasi KTP, face comparison, phone verification, dan lain sebagainya.”

Solusi end-to-end ini sebenarnya ditujukan untuk melayani institusi keuangan sebagai fokus awal perusahaan. Namun, tidak menutup kemungkinan solusi tersebut bisa digunakan secara modular, misalnya hanya mau pakai modul e-KYC suite saja, tidak masalah.

Hanya saja, dampak dari pandemi Covid-19 yang berdampak pada institusi keuangan, kini Finfini membuat layanannya menjadi modular agar lebih fleksibel untuk menjangkau perusahaan dari sektor lain. “Saat ini kami sedang terlibat dengan Kementerian Keuangan untuk proyek OCR ini.”

Beberapa pengguna Finfini di antaranya adalah Julo, Welbi, dan Ngorder.

Rangga juga mengonfirmasi bahwa saat ini perusahaan masih menggunakan dana sendiri alias bootstrapping untuk operasionalnya. Belum ada rencana untuk melakukan penggalangan dana eksternal.

Agritech Startup Kedai Sayur Officialy Pivot, Currently Serves Supply Chain Delivery

The agritech startup Kedai Sayur announced a business pivot to an online supply chain delivery service since the pandemic began in March 2020. Previously, the company served B2B customers such as hotels, restaurants and cafes, and vegetable vendors in need of a supply chain.

Kedai Sayur‘s CEO, Adrian Hernanto said the food product market has begun to change since the Covid-19 outbreak in early March. Supply demands from hotels, restaurants and cafes dropped by 50%. Whereas the growth of this business was previously more than 20% per month.

Meanwhile, at the same time, demands from vegetable vendors and household customers have significantly increased. It is the reason the company is confident in making business pivot decisions.

On the other hand, operational restrictions on wholesale and local markets disrupt the distribution chain of fresh food products in Indonesia. The situation has affected not only consumers who cannot shop to the market, but farmers also lose the medium to distribute their crops.

“The unexpected pandemic really forced Kedai Sayur as a startup to be able to innovate and take initiatives quickly to continue to carry out its vision and mission to be a solution for the community,” he told DailySocial, Wednesday (5/13).

As further explanation, the business model uses a variety of fleets to reach consumers. One of them, using the services of a vegetable handyman who registered as Kedai Sayur users.

Consumers who want to order vegetables can go through Kedai Sayur app and put on the Partner code. The order will be delivered to the Partner and will be distributed by him. Partners will also receive additional income in the form of commissions and payment of shipping charges from consumers.

“This business model will become permanent, of course, with more upcoming upgrades. For example working with last-mile delivery service, therefore, we can continue to improve our service level. ”

Online Vegetables Kedai Sayur
Kedai Sayur driver partners with Si Komo vehicle for product distribution / East Ventures

Apart from the application, reservations can also be made through Tokopedia and Blibli.

The company also made an initiative to help farmers distribute their crops to customers, in collaboration with the Ministry of Agriculture. Farmers can sell their crops assisted by the government using digital platforms such as Kedai Sayur.

“Now with supply chain expertise and digital platform technology, Kedai Sayur contributes to both sides of the distribution patterns affected by the Corona virus,” he concluded.

However, Adrian was reluctant to mention any achievements after the pivot.

Kedai Sayur is one of East Ventures portfolios. Since it was founded two years ago, the company has received two funding rounds with total of $5.3 million. From the latest data, the company has partnered with more than 5 thousand partners in Jadetabek.

Supply Chain business dynamic

As Kedai Sayur chooses to pivot, it is quite successful to extend the company’s runaway because of the pandemic. Thanks to the change in B2C business focus, the Kedai Sayur application has additional functions. Previously, the application used only by Vegetable Partners and B2B consumers who wanted to stock up on food ingredients to sell.

Another startup with aligning business models, such as Stoqo, was forced to close down due to failure to adapt to the conditions. It is a platform that focuses on providing basic food needs, from meat, vegetables, flour, coffee, and others, but only for B2B consumers.

Before the pandemic, this business model was certainly very sophisticated considering a large pie in the culinary field. What Kedai Sayur did is actually applicable by Stoqo.

Wahyoo’s Founder and CEO Peter Shearer revealed some strategies to maintain a high demand. Wahyoo, on the other hand, tries to help stalls to sell on digital platforms such as GoFood. At the same time, the implementation of large-scale social restrictions (PSBB) in many regions has shifted shopping patterns in the platform.

“The positive effect is that the PSBB situation and Covid-19 has forced food stall owners to adapt faster into digital,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Agritech Kedai Sayur Pivot, Kini Layani Pesan Antar Bahan Makanan

Startup agritech Kedai Sayur mengumumkan perubahan fokus bisnis menjadi layanan pesan antar makanan online sejak pandemi berlangsung pada Maret 2020. Sebelumnya perusahaan melayani konsumen B2B seperti hotel, restoran, dan kafe, dan tukang sayur yang ingin memasok kebutuhan bahan makanan untuk berjualan.

CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto menerangkan pasar produk pangan mulai berubah sejak persebaran Covid-19 merebak pada awal Maret. Permintaan dari hotel, restoran, dan kafe merosot hingga 50%. Padahal sebelumnya pertumbuhan dari bisnis ini lebih dari 20% per bulan.

Sementara, di saat yang bersamaan, permintaan dari tukang sayur dan pelanggan rumah tangga meningkat signifikan. Atas dasar inilah perusahaan percaya diri untuk mengambil keputusan pivot bisnis.

Di sisi lain, pembatasan operasional pasar induk dan pasar lokal mengganggu pola distribusi produk pangan segar di Indonesia. Kondisi tersebut berdampak tidak hanya pada konsumen yang tidak bisa belanja ke pasar, petani pun kehilangan medium untuk menyalurkan hasil panennya.

“Masa pandemi yang tidak terduga seperti ini benar-benar menguji Kedai Sayur sebagai startup untuk dapat berinovasi dan berinisiatif dengan cepat untuk tetap menjalankan visi dan misinya untuk menjadi solusi bagi masyarakat,” ujarnya kepada DailySocial, Rabu (13/5).

Dijelaskan lebih jauh, model bisnis layanan ini menggunakan berbagai armada untuk dapat sampai ke tangan konsumen. Salah satunya, menggunakan jasa tukang sayur yang telah menjadi pengguna Kedai Sayur.

Konsumen yang ingin memesan bahan makanan, bisa melalui aplikasi Kedai Sayur, dapat memasukkan kode Mitra Sayur tersebut. Pesanan tersebut akan diantarkan ke tempat Mitra Sayur dan akan didistribusikan olehnya. Mitra pun akan mendapat tambahan penghasilan berupa komisi dan pembayaran ongkos kirim dari konsumen.

“Model bisnis ini akan menjadi permanen, tentunya dengan berbagai upgrade lagi ke depannya. Misalnya bekerja sama dengan last-mile delivery service, agar bisa terus meningkatkan service level kami.”

Pesan Sayur Online Kedai Sayur
Mitra Kedai Sayur bersama kendaraan Si Komo untuk distribusi produk / East Ventures

Selain melalui aplikasi, pemesanan juga bisa dilakukan lewat Tokopedia dan Blibli.

Perusahaan juga membuat inisiatif yang membantu petani untuk mendistribusikan hasil panen mereka ke pelanggan, melalui kerja sama bersama Kementerian Pertanian. Petani dapat menjual hasil panen mereka dibantu oleh pemerintah dengan menggunakan platform digital seperti Kedai Sayur.

“Kini dengan keahlian supply chain dan teknologi digital platform, Kedai Sayur berkontribusi ke dua sisi pola distribusi yang kena dampak virus Corona,” pungkasnya.

Akan tetapi, Adrian enggan memaparkan pencapaian yang berhasil didapat pasca pivotnya tersebut.

Kedai Sayur merupakan salah satu portofolio di bawah East Ventures. Sejak berdiri dua tahun lalu, perusahaan sudah dua kali mendapat pendanaan, dengan total $5,3 juta. Dari data terakhir, perusahaan sudah bermitra dengan lebih dari 5 ribu mitra di Jadetabek.

Dinamika bisnis supply-chain

Pilihan pivot yang diambil Kedai Sayur bisa dikatakan cukup sukses untuk menyelamatkan perusahaan karena terdampak pandemi. Berkat perubahan fokus bisnis B2C, aplikasi Kedai Sayur punya tambahan fungsi. Sebelumnya, aplikasi tersebut hanya digunakan oleh Mitra Sayur dan konsumen B2B yang ingin menyetok bahan makanan untuk berjualan.

Startup lainnya yang bisnisnya beririsan dengan Kedai Sayur, yakni Stoqo terpaksa harus gulung tikar karena gagal beradaptasi dengan kondisi. Mereka adalah platform yang fokus menyediakan kebutuhan makanan pokok, mulai dari daging, sayur mayur, tepung, kopi, dan lainnya, tapi khusus konsumen B2B saja.

Sebelum pandemi muncul, model bisnis ini tentunya sangat moncer karena kuenya yang besar di bidang kuliner. Apa yang dilakukan Kedai Sayur sejatinya juga bisa dilakukan oleh Stoqo.

Founder dan CEO Wahyoo Peter Shearer menjelaskan siasat yang perlu dilakukan untuk tetap bertahan adalah menjaga tingkat permintaan. Wahyoo sendiri berupaya membantu warung-warung agar dapat berjualan di platform digital seperti GoFood. Di saat yang bersamaan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di banyak daerah sudah menggeser pola belanja di Wahyoo.

“Positifnya secara tidak langsung dengan adanya PSBB dan Covid-19 ini memaksa adaptasi pemilik warung makan terhadap digital jadi lebih cepat,” imbuhnya.

Five Pivot Strategies from Akseleran, Moselo, and Kata.ai

Building a startup is not just a matter of creating traction and gaining as many users as possible. A true startup is well-known with a culture that survives through the concept of “fail fast, learn fast”.

Therefore, what happens if the startup business that you develop does not get the expected traction? One of the answers is a pivot.

Changing business models, transitioning to different services, or being called pivots is no longer a new way in the startup industry. Some startups in Indonesia have done this, starting from 100 percent pivot by changing company brands and platforms to changing the type of service.

When you decide to pivot, many questions will arise. Starting from what kind of things to prepare, things to be avoided, and how to begin.

In order to answer the question above, DailySocial summarizes various tips and strategies for pivots based on the results of our interviews with Kata.ai (pivot 2016), Akseleran (pivot 2017), and Moselo (pivot 2018).

For the record, these tips are not sorted by the sequence of steps.

Communication with stakeholders

All agreed that startups must communicate with stakeholders if they want to do a pivot. Indeed, the most important ones are the investors and the company team.

Kata.ai’s Co-founder and CEO, Irzan Raditya said communication is important to provide understanding and awareness for investors and teams. There should even be a break between making plans and starting pivoting employees.

“Do the right communication, especially investors to make sure you get the support from the shareholders to support and give a clear understanding of why you pivot,” Irzan said.

As for Moselo’s CEO Richard Fang, startups should avoid one-way communication about the reasons and goals of the pivot. That is, every employee has the right to express their perspectives and concerns about this pivot.

A clear and sustainable business model

Making a business transition is a major step that requires full commitment from both the organization and other stakeholders.

Also, for Irzan, before meeting investors, startups should ideally have a clear and sustainable business plan to ensure this new business model can survive in the future.

“First, we have to research before meeting investors. [After that], we were assisted by one of our investors to work on the direction. We must emphasized that when meeting investors, the plan should be clear and have the option of going where to pivot,”  he added.

As an example, Kata.ai, which was previously named Yesboss in 2015, offers a personal virtual assistant service with the concept of conversational commerce. In its journey, this business model is considered less scalable and has a wide impact.

Thus, the company pivot and the following year by becoming an Artificial Intelligence (AI) enabler focused on Natural Language Processing (NLP) technology.

Product-market fit is fundamental

The most common reason we’ll ancounter while interviewing pivoted startups is: products and services are not developing, or the traction grow slowly.

Above are some valuable lessons for Akseleran that product-market-fit is a very fundamental point for the survival of startup businesses.

Akseleran started its business as a solution to channeling loans to SMEs in the form of equity participation. After six months of release, Akseleran decided to pivot into P2P lending because of the slow distribution. After the pivot, Akseleran focus on the same target market, SMEs.

Akseleran’s co-founder and CEO Ivan Nikolas Tambunan revealed that the Indonesian market is quite receptive to equity-based funding. With the slow distribution, it makes Akseleran products less scalable and considered not market-fit.

Ivan also added, when the developed product has not been validated in the market when running the pivot process, startups should refrain from adding new human resources.

“At first, we have to give full information about the product roadmap and the business model. Therefore, they understand the changes. Well, to facilitate motivation and stay in one direction, it’s good for [the team] to start small,” he said.

Focus on the target market, not feature

Another point that should be noted for anyone who is building a startup is how important it is to focus on what the market needs, not what the company wants.

No matter how cool or sophisticated a product or service is, it will be useless if consumers are reluctant to use it.

This was experienced by Moselo who was originally a startup commerce chat provider for creative products. Richard Fang believes that this is often the case with startups who are just starting out.

He admitted that initially, his team was too focused on developing features, then forget the target market. When making a pivot into a marketplace that offers creative products, the company finally begins to focus on recognizing the right target market.

In addition, he said, the pivot that took time from August-December 2018 will actually make the company more relevant to consumers and businesses can be profitable.

“So what we did [during the pivot] was to sharpen Moselo’s target audience. We look for solutions that are appropriate from our data collection. Also, recognize the pain-points of the target because this can be a source of income for the business,” Richard added.

Measuring the limit of pivot success

Don’t ask how many startups failed to pivot. Lots.

Now, as startups, it is very important to know the extent of our limits to ensure that the pivots are run successfully or vice versa.

As we interviewed the three startups, each has its own parameter to measure the pivot success. Generally, it is the number of users or Gross Merchandise Value / Volume (GMV).

In terms of Kata.ai, Irzan mentioned after the pivot in 2016, the company has experienced business growth of three to five times, even already obtained profits in 2019. In addition, Kata.ai also has corporate customers from large-scale companies.

“Speaking of startups, talk of surviving. We have data and see which parameters can be improved. As an AI conversational startup, we look up to user engagement. Previously, we only have tens of thousands, now millions of users. Revenues also increased,” he said.

While Moselo pivots to get significant traction. Therefore, the number of transactions, the number of customers, and GMV will be the main parameters.

“Since the pivot, we have raised 320 percent GMV growth with users reaching up to 50 thousand. We continue to track the parameters in order to know whether this initiative succeeded or failed,” Richard said.

Similar to Moselo, Akseleran validates the action of this pivot with traction. Based on the company data, Akseleran can only distribute Rp2 billion funding while it was still an equity-based loan platform.

“In order to have a product-market fit, we validate it with traction. After turning into P2P lending, we have distributed more than Rp1 billion in the first month. Then it increased to Rp30 billion in six months. This validates whether the pivot is working or not.” Ivan added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian 

5 Strategi Memulai Pivot Startup Ala Akseleran, Moselo, dan Kata.ai

Membangun startup bukan sekadar perkara menciptakan traction dan mendulang pengguna sebanyak-banyaknya. Startup sejatinya kental dengan kultur bertahan lewat konsep “fail fast, learn fast”.

Lalu, apa jadinya kalau bisnis startup yang Anda kembangkan tidak kunjung mendapatkan traction yang diharapkan? Salah satu jawabannya adalah pivot.

Mengubah model bisnis, bertransisi ke layanan berbeda, atau disebut pivot bukan lagi cara baru dalam industri startup. Beberapa startup di Indonesia sudah melakukan ini, mulai dari pivot 100 persen dengan mengganti brand perusahaan dan platform sampai mengubah jenis layanannya.

Saat Anda memutuskan untuk pivot, banyak pertanyaan yang akan muncul. Dimulai dari apa saja yang perlu dipersiapkan, hal-hal yang perlu dihindari, hingga bagaimana mengawalinya.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, DailySocial merangkum berbagai tips dan strategi untuk pivot berdasarkan hasil wawancara kami dengan Kata.ai (pivot 2016), Akseleran (pivot 2017), dan Moselo (pivot 2018).

Sebagai catatan, tips ini tidak disusun berdasarkan urutan langkah yang harus dilakukan pertama kali.

Berkomunikasi dengan stakeholder

Semua sepakat bahwa startup wajib berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan apabila ingin melakukan pivot. Tentu yang utama adalah para investor dan tim di perusahaan.

Menurut Co-founder dan CEO Kata.ai Irzan Raditya, komunikasi menjadi penting untuk memberikan pemahaman dan kesiapan terhadap investor dan tim. Bahkan sebaiknya ada waktu jeda antara membuat rencana dan memulai pivot kepada karyawan.

“Do the right communication, terutama investor to make sure you get the support from the shareholder to support and give clear understanding why you pivot,” papar Irzan.

Sementara bagi CEO Moselo Richard Fang, sebaiknya startup menghindari komunikasi satu arah tentang alasan dan tujuan pivot. Artinya, setiap karyawan berhak untuk menyampaikan perspektif dan concern mereka terhadap pivot ini.

Rencana bisnis yang jelas dan berkelanjutan

Melakukan transisi bisnis merupakan langkah besar yang sangat membutuhkan komitmen penuh, baik dari organisasi maupun pemangku kepentingan lainnya.

Kembali lagi, bagi Irzan, sebelum bertemu investor, startup idealnya merencanakan bisnis secara jelas dan berkelanjutan untuk memastikan model bisnis baru ini dapat bertahan di masa depan.

“Kami riset dulu sebelum bertemu investor. [Setelah itu], kami justru dibantu oleh salah satu investor kami untuk menggarap arah strateginya. Perlu ditekankan bahwa ketika bertemu investor, rencana yang kami miliki harus clear dan punya opsi mau pivot ke mana,” ungkap Irzan.

Sebagai gambaran, Kata.ai yang sebelumnya bernama Yesboss di 2015, menawarkan layanan asisten virtual pribadi dengan konsep conversational commerce. Dalam perjalanannya, model bisnis ini dinilai kurang scalable dan memberikan impact luas.

Maka itu, perusahaan kemudian memanuver bisnisnya di tahun berikutnya dengan menjadi enabler Artificial Intelligence (AI) yang fokus pada teknologi Natural Language Processing (NLP).

Product-market fit menjadi fundamental

Alasan yang paling sering kami temui kala mewawancarai startup yang pivot: produk dan layanan tidak berkembang, atau pertumbuhan traction-nya lambat.

Hal di atas menjadi pelajaran berharga bagi Akseleran bahwa product-market-fit merupakan poin yang sangat fundamental terhadap kelangsungan bisnis startup.

Akseleran memulai bisnisnya sebagai solusi penyalur pinjaman ke UKM dalam bentuk penyertaan ekuitas. Setelah enam bulan dirilis, Akseleran memutuskan pivot menjadi P2P lending karena lambatnya pertumbuhan penyaluran pinjaman. Setelah pivot, Akseleran tetap bertahan pada target pasar yang sama, yaitu UKM.

Co-founder dan CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengungkap bahwa ternyata pasar Indonesia reseptif terhadap pendanaan berbasis ekuitas. Dengan lambatnya penyaluran pinjaman di awal, ini membuat produk Akseleran menjadi kurang scalable dan tidak market-fit.

Ivan juga menambahkan, apabila produk yang dikembangkan belum tervalidasi di pasar saat menjalankan proses pivot, sebaiknya startup menahan diri untuk tidak menambah SDM baru.

“Sejak awal, kita harus kasih informasi penuh tentang roadmap produk dan model bisnisnya. Jadi mereka paham akan perubahan yang dilakukan. Nah, untuk memudahkan motivasi dan supaya tetap satu arah, baiknya [timnya] start small saja,” tuturnya.

Fokus pada target pasar, bukan fitur

Poin lain yang patut menjadi catatan bagi siapapun yang sedang membangun startup adalah betapa pentingnya fokus terhadap apa yang dibutuhkan pasar, bukan apa yang diinginkan perusahaan.

Tak peduli seberapa keren atau canggihnya sebuah produk atau layanan, hal tersebut akan percuma jika konsumen enggan menggunakannya.

Pengalaman ini dialami oleh Moselo yang awalnya merupakan startup penyedia chat commerce untuk produk kreatif. Richard Fang menilai hal ini umumnya acapkali terjadi pada startup-startup yang baru merintis.

Ia mengaku bahwa awalnya pihaknya terlalu fokus pada pengembangan fitur sehingga melupakan target yang ingin dituju. Ketika ingin pivot menjadi marketplace yang menawarkan produk kreatif, perusahaan akhirnya mulai fokus untuk mengenali target pasar lebih dalam.

Di samping itu, ujarnya, pivot yang dilakukan sejak Agustus-Desember 2018 ini justru akan membuat perusahaan menjadi lebih relevan terhadap konsumen dan bisnis dapat profitable.

“Maka yang kami lakukan [saat pivot] adalah mempertajam target audience Moselo. Dari data yang kami himpun, kami mencari solusi yang sesuai buat mereka. Kenali juga pain-point dari target karena ini dapat menjadi sumber pendapatan bagi bisnis,” ungkap Richard.

Mengukur batasan keberhasilan pivot

Jangan tanya berapa banyak startup yang gagal melakukan pivot. Banyak.

Nah, sebagai pelaku startup, penting sekali mengetahui sampai mana batasan kita untuk memastikan bahwa pivot yang dijalankan berhasil atau sebaliknya.

Dari wawancara kami dengan ketiga startup di atas, masing-masing mengandalkan parameter untuk mengukur keberhasilan pivot ini. Umumnya yang menjadi parameter adalah jumlah pengguna atau Gross Merchandise Value/Volume (GMV).

Untuk Kata.ai, Irzan mengungkap bahwa pasca pivot di 2016 lalu, perusahaan telah mengalami pertumbuhan bisnis tiga hingga lima kali lipat, bahkan sudah mengantongi untung di 2019. Selain itu, Kata.ai juga telah memiliki pelanggan korporasi dari perusahaan berskala besar.

”Bicara startup, bicara surviving. Kami punya data dan lihat parameter apa yang bisa ditingkatkan. Sebagai startup conversational AI, kami lihat engagement user-nya. Dulu cuma puluhan ribu pengguna, sekarang jutaan. Pendapatan juga naik,” ungkapnya.

Sementara Moselo sejak awal melakukan pivot untuk mendapatkan traction yang signifikan. Maka itu, jumlah transaksi, jumlah pelanggan, dan GMV akan menjadi paratemer utama.

“Sejak pivot, kami telah mengantongi pertumbuhan GMV sebesar 320 persen dengan jumlah pengguna mencapai 50 ribu. Kami terus track parameternya agar tahu apakah inisiatif ini berhasil atau gagal,” ujar Richard.

Senada dengan Moselo, Akseleran memvalidasi aksi pivot ini dengan traction. Berdasarkan data perusahaan, Akseleran hanya mampu menyalurkan Rp2 miliar pendanaan saat masih menjadi platform pinjaman berbasis ekuitas.

“Agar punya product-market fit, kami memvalidasinya dengan traction. Setelah berubah menjadi P2P lending, kami menyalurkan lebih dari Rp1 miliar di bulan pertama. Kemudian meningkat menjadi Rp30 miliar dalam enam bulan. Ini memvalidasi apakah pivot berjalan baik atau tidak.” Kata Ivan.

Etobee Pivot Jadi Finfleet, Sediakan “Platform Logistik” Khusus Layanan Finansial

Di Indonesia, tingkat ketimpangan antara masyarakat underbanked dan underserved dengan mereka yang sudah terfasilitasi dengan layanan finansial masih tinggi. Isu ini belum tentu bisa diselesaikan dengan kehadiran internet. Bagi masyarakat tingkat bawah, yang masih awam dengan produk keuangan, butuh agen untuk menjelaskan semua.

Di sisi lain, perusahaan jasa keuangan punya tantangan saat ekspansi di berbagai pelosok. Bagaimana proses onboarding konsumen yang efisien, namun tetap sesuai ketentuan. Peluang ini akhirnya menginspirasi Finfleet untuk hadir.

“Finfleet adalah gabungan dari startup logistik dengan layanan branchless banking. Selama ini masing-masing jual produk keuangan mereka, padahal menjualnya ini tidak mudah. Misi kami adalah edukasi konsumen, sekaligus meningkatkan taraf hidup agen,” terang Co-Founder & CEO Finfleet Brata Rafly dalam Fintech Media Clinic by Aftech, pekan lalu.

Sebenarnya, Finfleet adalah pivot dari Etobee, startup marketplace logistik untuk pengiriman last mile. Startup ini sudah berdiri sejak 2015, pivot dan rebrand dilakukan Februari 2018. Struktur manajemen sepenuhnya berubah. Selain Brata, Donny Swandono turut bergabung sebagai Co-Founder & Presiden Direktur. Keduanya pernah berkarier bersama di Dimo.

“Untuk bersaing di logistik ini harus berani bakar duit, sementara kita ingin buat profit. Akhirnya tes market dengan buat model bisnis last mile untuk financial services, resmi mulainya di Februari 2018.”

Brata menyebut, Finfleet telah mengantongi pendanaan seri A pada awal tahun ini dari Kejora Ventures, XL Axiata, Gobi Ventures, Skystar Ventures, dan Asian Trust Capital. Investasi yang didapat mencapai $3,5 juta (hampir Rp50 miliar).

Model bisnis Finfleet

Bahasa termudah untuk memahami Finfleet adalah agen mobile untuk Laku Pandai. Program dari OJK yang diarahkan untuk penyediaan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya melalui kerja sama dengan pihak lain (agen bank), dan didukung dengan penggunaan teknologi.

Finfleet menempatkan diri startup hybrid yang bergerak di logistik dengan layanan khusus jasa keuangan, dengan model bisnis B2B2C. Jenis layanannya, mulai dari verifikasi konsumen, pengiriman produk keuangan seperti kartu debit dan kredit, pembayaran dan pick up (dokumen, COD, mobile ATM) dan akuisisi konsumen (jual produk keuangan).

Agar terhubung dengan perusahaan jasa keuangan, Finfleet membangun infrastruktur layanannya yang terdiri atas platform aplikasi, API, agen, dan perangkat keras. Perusahaan memiliki agen sendiri yang sudah dilatih sebelum terjun ke lapangan.

Brata menjelaskan keagenan di Finfleet sifatnya bukan pekerja lepas, melainkan tetap. Ada gaji bulanan yang pasti mereka dapat dan tambahan komisi dari setiap pekerjaan yang berhasil diselesaikan.

“Sistem kami adalah hub, jadinya setiap agen harus datang ke kantor tiap pagi untuk melihat apa saja tugas mereka pada hari itu. Ini sifatnya mengikat, beda dengan mitra pengemudi di Gojek atau Grab.”

Agen memiliki jam kerja pagi sampai sore dan menyelesaikan sejumlah tugas pada satu hari itu dari satu bank. Misalnya, bank A meminta verifikasi konsumen, maka pada mereka memasukkan tugas tersebut ke dalam sistem yang terhubung dengan aplikasi agen.

Saat sore, agen bisa mendapatkan komisi tambahan dengan menjual produk keuangan kepada calon nasabah. Namun ini baru bisa diberikan buat agen yang paham dengan produk keuangan itu sendiri.

Dia mengklaim dengan model bisnis ini, perusahaan memperoleh keuntungan bersih antara 15%-20%. Agen bisa mengantongi pendapatan naik antara dua sampai tiga kali lipat per bulannya. Revenue Finfleet dibandingkan tahun pertama beroperasi, naik 100%.

Disebutkan, Finfleet telah bermitra dengan 12 perusahaan jasa keuangan, di antaranya DBS, HSBC, BNI, KEB Hana Bank, OCBC NISP, Bank Sinarmas, UOB, Bank Danamon, BTPN, CIMB Niaga, Ovo, dan Bank Permata. Kebanyakan adalah perusahaan asing terbatas dalam persebaran kantor cabang, namun tetap ingin bersaing dengan bank lokal.

“Risiko masuk ke daerah baru itu besar, makanya mereka lebih baik tes pasar sebelum terjun besar-besaran karena kita ini tinggal plug and play saja.”

Salah satu pencapaian terbesarnya adalah bantu DBS dalam verifikasi nasabah baru untuk produk Digibank. Sebanyak 500 ribu rekening baru berhasil dibuat dalam delapan bulan, tanpa DBS harus buka cabang sama sekali. Disebutkan untuk buka satu kantor cabang, bank harus berinvestasi sampai Rp1 miliar.

Mitra lainnya datang dari perusahaan multifinance dan sejenisnya (Adira Finance, Shopintar, Alodokter, dan Clipan Finance), p2p lending (CekAja, Modalku, Investree), telekomunikasi (XL Axiata), dan e-commerce (Blibli, Sephora, Mapemall, iLotte, Laku6, dan Tamasia).

Rencana perusahaan

Brata menyebut Finfleet memiliki 600 agen yang tersebar di sekitar Jawa dan Medan. Menariknya, 60% bisnis terbesarnya ada di Jabodetabek. Ini cukup ironis, melihat kondisi masih banyak masyarakat yang malas datang ke bank, meski penetrasi kehadiran bank sudah cukup kuat.

Tahun depan, dia menargetkan Finfleet bisa hadir di kota-kota besar di seluruh Indonesia. “Awalnya kita mau make sure dulu saat ekspansi harus sudah ada potensi bisnis di sana. Tapi ke depannya kita mau langsung buka, model bisnis kita ini hub bukan platform jadi harus ada investasi yang keluar.”

Untuk dukung rencana tersebut, Finfleet akan menggalang pendanaan seri B pada tahun depan. Di luar ekspansi, perusahaan akan mengembangkan pusat data dengan teknologi AI agar dapat lebih baik memberikan rekomendasi produk keuangan kepada calon nasabah.

Bicara tentang regulasi, Finfleet sedang memroses surat tanda terdaftar dari OJK sebagai supporting fintech, mengikuti aturan sebagai IKD. Di satu sisi, perusahaan sudah mengantongi lisensi pos untuk layanan kurir dan pengiriman barang dan sertifikat ISO 27001 untuk jamin keamanan sistem IT.

Dapat Pendanaan Pra-Seri A, Qontak Mantapkan Diri sebagai Platform “Social CRM”

Qontak yang dulu sempat dikenal sebagai penyedia informasi kontak bisnis, kini makin perkuat lini bisnis ke ranah B2B dengan menghadirkan solusi berupa platform “Social CRM”. Kepada DailySocial, CEO Qontak Brendan Rakphongphairoj menyebut mereka sebagai “The First Social CRM in Indonesia and Southeast Asia”. Mereka juga baru saja mengamankan pendanaan pra-seri A yang akan digunakan untuk memperkuat posisinya di pasar.

Putaran tersebut dipimpin oleh Azure Ventures, dengan keterlibatan Amand Ventures dan SeaCap Venture. Investornya di tahap awal juga turut terlibat, yakni Indonusa Dwitama. Mengenai detail nominal, pihak Qontak enggan untuk menginformasikan.

“Social CRM menghubungkan bisnis lebih dekat dengan klien, prospek, dan tim melalui solusi pelacakan dan automasi. Basis klien kami telah berkembang dan jumlah industri yang kami layani sangat luas. Solusi kami mendukung UKM, Fortune 500 dan BUMN,” terang Brendan.

Qontak mengklaim saat ini mereka sudah membantu lebih dari 100 bisnis di bidang distribusi, teknologi, asuransi, dan masih banyak lagi. Pihaknya cukup optimis bisa terus berkembang dan menjadi perusahaan penyedia Social CRM yang mampu membantu klien tumbuh dan berkembang.

“Qontak bertujuan untuk menyediakan solusi teknologi penjualan yang terjangkau untuk semua bisnis di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara,” ujar Brendan ketika ditanya rencananya setelah mendapatkan pendanaan.

Sebagai penyedia solusi B2B, mereka memiliki beberapa solusi utama seperti CRM, HR Tracking, KPI Tracking, sistem pemesanan dan pembelian, integrasi percakapan aplikasi pesan, solusi call center, dan omni-channel untuk saluran e-commerce.

Application Information Will Show Up Here

Cerita dan Pelajaran dari Proses “Pivot” Model Bisnis Akseleran

pivot menjadi salah satu strategi bisnis yang bisa dilakukan founder saat menemui keadaan “buntu”. Khususnya ketika produk yang dijalankan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan pasar. Atau model bisnis yang dikembangkan tidak berhasil mendatangkan keuntungan.

Setelah memutuskan untuk pivot pun, ada banyak hal yang harus disiapkan sampai akhirnya produk benar-benar siap untuk dipasarkan. Diskusi menarik ini diangkat oleh #SelasaStartup edisi pekan kedua Juli 2019, mengundang Co-Founder & CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan.

Akseleran adalah platform p2p lending yang menghubungkan pemberi dana dengan peminjam dengan basis pinjaman.

Ivan banyak memberikan cerita di balik keputusannya memilih pivot bersama startupnya. Sekaligus memberikan tips apa saja yang harus diperhatikan founder sebelum dan sesudah “berpindah haluan” bisnis.

Awal mula pivot Akseleran

Ivan menjelaskan, awal pengembangan Akseleran didasari adanya funding gap penyaluran kredit dan susahnya pemilik modal mengakses pasar modal. Dari situ berangkatlah solusi pemberian pinjaman ke UKM dalam bentuk penyertaan ekuitas.

Sebelum akhirnya Akseleran diluncurkan, tentunya tim melakukan riset untuk validasi bisnis. Apakah konsep seperti ini bisa berjalan di Indonesia dengan mengacu di luar negeri? Waktu itu hipotesis mereka jawabannya “iya”, ada banyak startup di luar sana yang terbukti bisa berjalan dengan model bisnis serupa, bahkan sudah beroperasi sejak 2012, seperti Crowdcube dan Seedrs.

“Potensi dengan skema bisnis ini besar. Andaikan kita bisa hubungkan 15 juta orang dan mau kasi pendanaan rutin Rp100 ribu tiap bulan. Setahun ada Rp18 triliun. Gede potensinya, kita pikir ini bisa jalan,” kata Ivan.

Tim pun memikirkan cara termudah untuk bantu UKM mendapatkan pendanaan. Akhirnya memutuskan untuk bantu mereka dengan membuatkan deck, financial model bulanan selama tiga tahun, dan sebagainya. Dari sisi pemberi modal juga dipermudah, mereka bisa mulai berinvestasi mulai dari Rp100 ribu saja.

Ternyata dalam kurun waktu enam bulan pasca peluncuran di Maret 2017, Akseleran hanya mampu mengumpulkan penyaluran dana kurang dari Rp2 miliar. Ini memperlihatkan bahwa Akseleran tidak punya product market fit dan saatnya untuk pivot

“Bahkan dari dua bulan berjalan kami sudah berpikir untuk pivot karena ternyata produk kita ini tidak memberikan solusi atas masalah yang ada.”

Pelajari kesalahan

Menjelang keputusan untuk memilih pivot, sebenarnya Ivan menyadari bahwa saat resmi meluncur pertumbuhan Akseleran lambat. Pertama, pasar Indonesia cenderung tidak reseptif dengan model pendanaan berbasis ekuitas. Mereka lebih menyukai investasi jangka pendek dengan pendapatan tetap.

Sementara kalau ekuitas itu berdasarkan pembagian dengan hasil yang tidak tentu, bisa untung atau rugi. Tenornya pun panjang. Intinya, orang Indonesia itu tidak suka dengan sesuatu yang tidak pasti.

Kedua, masalah skalabilitas. Tim Akseleran membuatkan deck dan financial model untuk UKM. Yang mana, keputusan ini tidak scalable karena waktu yang dibutuhkan untuk membuat seluruhnya bisa sampai 1-2 minggu. Ini hanya buat satu UKM saja, tentu terlalu banyak waktu yang harus terbuang.

Terakhir, mengenai regulasi. Perlu diketahui, equity crowdfunding waktu itu belum memiliki regulasi di OJK. Padahal, menurut Ivan, dalam membuat bisnis startup itu harus dipikirkan tentang regulasinya, apakah sudah diatur dan banyak aturannya.

“Jadi awal kita masuk itu penuh dengan ketidakpastian karena belum ada aturannya. Tiga alasan ini akhirnya kita putuskan untuk berhenti.”

Dari tiga kesalahan ini, membuat Akseleran untuk kembali berkaca. Masalah yang terjadi di Indonesia itu nyata dan butuh solusi yang nyata pula, juga harus efektif.

Pivot tidak selalu berjalan cepat

Setelah memutuskan untuk pivot pun, tidak selalu mulus. Ivan dan tim harus mulai dari nol. Pivot resmi dilakukan akhir Mei 2017, produk baru dirilis pada awal Oktober 2017. Belajar dari kesalahan, akhirnya Akseleran terjun ke p2p lending.

Produk yang disediakan mulai dari invoice financing, inventory financing, capex loan, dan online merchant. Keempat produk ini bisa menjangkau seluruh UKM dari berbagai lini baik, online, offline, B2B atau B2C.

Dari sisi pemberi pinjaman, tenornya dibuat pendek mulai dari 3 bulan sampai 1 tahun saja. Kupon dibuat dengan kisaran 18%-21%.

“Hasilnya pasca pivot dalam enam bulan kita sudah menyalurkan Rp36 miliar, dari [produk sebelumnya] Rp2 miliar dalam enam bulan. Padahal, timnya sama, problem-nya sama, tapi solusi dan hasilnya beda.”

Pencapaian ini tentunya tidak didapat dengan cara instan. Timnya melakukan validasi pasar berkali kali untuk memastikan dapat feedback dari pasar, terutama saat enam bulan baru beroperasi. Iterasi berkali-kali sampai dapat product market fit.

“Ketika semua ini sudah dilakukan, maka scale up bisnis bisa lebih mudah. Kita bisa lebih mudah untuk reach out ke investor karena mereka itu selalu melihat traksi,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Kredit Pintar Mulai Beralih ke Segmen Produktif, Sasar Pinjaman untuk Petani

Startup fintech p2p lending Kredit Pintar mulai garap pembiayaan untuk petani, seiring upaya untuk mulai geser fokus ke segmen produktif dari konsumtif yang mana sudah mulai dilakukan sejak perusahaan berdiri.

CEO Kredit Pintar Wisely Reinharda Wijaya menjelaskan, keputusan ini diambil karena perusahaan ingin memperbaiki konotasi dari kata multiguna yang kurang baik image-nya di industri. Perusahaan ingin menyediakan platform yang memecahkan masalah, bukan membuat masalah.

“Segmen multiguna ini sebenarnya tidak jenuh sama sekali. Kami ingin masuk justru karena ingin balance,” terangnya, Rabu (22/5).

Atas keputusan tersebut, perusahaan mulai persiapan mengubah internal dan mengubah model bisnis. Sejak awal tahun ini memutuskan untuk menutup pemberi pinjaman dari ritel. Bahkan, aplikasi untuk lender telah ditutup.

Dia beralasan, penutupan ini didasari oleh sisi manajerial lebih besar pasak daripada tiang. Artinya, tidak memberi cuan. Sekarang perusahaan hanya membuka pemberi pinjaman dari institusi, kebanyakan dari perbankan.

Sebelumnya, perusahaan membuka opsi pendanaan ritel mulai dari Rp10 ribu. Diklaim perusahaan telah menyelesaikan seluruh pembayaran bunga kepada para pemberi pinjaman. Tidak ada renewal untuk penyaluran pinjaman lagi dari ritel.

“Alasannya macam-macam, dari sisi maintenance butuh cost, bayar CS dan operasional. Tapi hasil yang didapat tidak sebanding.”

Dari sisi talenta pun juga dipersiapkan perusahaan, lantaran segmen produktif ini butuh pengetahuan yang berbeda dibandingkan saat bermain di konsumtif saja.

Kesiapan mental perusahaan untuk legowo menekan laju profitabilitas dan penyaluran pembiayaan juga diutamakan. Pasalnya, di segmen ini perusahaan harus mengutamakan dampak ekonomi ke negara, tanpa melupakan unsur bisnis.

Disebutkan Kredit Pintar telah menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp4 triliun sejak pertama kali berdiri dan melayani lebih dari 3 juta nasabah.

Produk Petani Pintar

Keputusan Kredit Pintar masuk ke segmen produktif ini dimulai dari pembiayaan untuk petani, dinamai “Petani Pintar.” Wisely menjelaskan produk ini hadir karena permasalahan yang dihadapi petani yakni kesulitan memperoleh modal untuk kegiatan usahanya.

Mengutip dari data BPS, Indonesia memiliki 39,7 juta petani dengan luas garapan 7,1 juta hektar, menyimpan potensi pembiayaan hingga Rp120 triliun pada tahun lalu. Namun, mirisnya rasio pendapatan petani terhadap biaya produksi pada tahun lalu sangat tipis.

Ambil contoh, petani sawah rasionya hanya 0,3%, petani padi ladang 0,27%, petani jagung 0,41%, dan kedelai 0,14%.

“Tipisnya rasio ini memperlihatkan bahwa mereka sering mengalami keterbatasan modal yang mengakibatkan kualitas dan kuantitas produksinya tidak maksimal sehingga menyebabkan banyak petani hidup di bawah garis kemiskinan.”

Produk ini sudah mulai dipasarkan sejak pekan lalu dengan memilih desa Wonodadi, Jawa Timur. Petani dapat memperoleh pembiayaan bibit dan pupuk mulai dari Rp1 juta sampai Rp2 juta

Pengajuannya hanya cukup menggunakan KTP dan Kartu Keluarga. Selain itu, mereka harus berbentuk kelompok dengan minimal anggota 5 sampai 10 orang. Setiap pinjaman ini bertenor pendek, hanya sampai 8 minggu dan bunga 6,6%. Pembayaran dilakukan seminggu sekali.

“Kami mau fokuskan ke ibu rumah tangga di desa tersebut yang memiliki suami berprofesi sebagai petani. Di desa Wonosari kami pilih karena dari 3 ribu populasi sekitar 80% berprofesi sebagai petani.”

Mitigasi risikonya, sejauh ini masih bersifat manual. Ada tim Kredit Pintar yang memverifikasi langsung ke lokasi sebagai KYC. Lalu karena menggunakan konsep tanggung renteng, maka apabila ada salah satu anggotanya yang terlambat membayar maka perlu ditalangi secara bersama. Konsep seperti ini juga dipakai oleh Amartha.

Tak berhenti di sini, perusahaan akan terus mengembangkan pembiayaan di sektor lainnya sebagai fokus ke produktif. Beberapa di antaranya yang sedang dipelajari adalah UKM, purchasing, dan transporter.

Wisely enggan menyebut target spesifik terkait Petani Pintar. Namun dia ingin perluas cakupan produk ini ke lokasi lainnya di sekitar Wonodadi. Secara keseluruhan diharapkan segmen produktif dapat berkontribusi secara bertahap dari total portofolio pembiayaan perusahaan sebesar 10%.

Application Information Will Show Up Here

SelenaGo Lakukan Perombakan Menyeluruh, Didukung Pendanaan Awal dari UMG Idealab

Tahun 2019 menjadi tahapan yang penting bagi SelenaGo. Layanan yang menawarkan ragam aktivitas dan teman beperginan ini mengalami sejumlah perombakan, mulai dari nama domain, aplikasi hingga tim manajemen. Transformasi SelenaGo yang baru ini didukung dengan seed funding dari UMG Idealab.

Didirikan sejak 2017, SelenaGo resmi dihadirkan kembali pada April 2019. Kali ini startup yang bermarkas di Yogyakarta itu dinahkodai oleh Artin Wuriyani dan sudah menyiapkan beberapa strategi untuk bisa mendapatkan traksi pengguna.

Kepada DailySocial Artin menjelaskan, akan ada dua tahap penting dalam perjalanan SelenaGo yang baru. Tahap pertama sistem akan mampu menampilkan aktivitas yang ditawarkan dan bisa dipesan oleh pengguna, lengkap dengan transaksinya. Setiap aktivitas akan memiliki rating dari pengguna.

Artin juga menjelaskan bahwa secara teknis akan ada perubahan menyeluruh. Jika di awal kemunculannya  hanya berperan sebagai platform mencari teman untuk berpergian, kini SelenaGo menawarkan aktivitas yang lebih lengkap, mulai dari traveling, workshop, hingga pementasan budaya.

Pada tahap selanjutnya, Artin ingin membawa SelenaGo tidak hanya fokus pada bisnis, tetapi juga fokus pada isu-isu sosial, lingkungan, dan wisata lokal. Mencoba menawarkan pengalaman terbaik bagi setiap penggunanya.

“Seperti rekan-rekan startup yang lain saya diberikan challenge untuk membuat konsep yang berbeda dan membuat bisnis plan yang jelas dari SelenaGo. Sedangkan pada saat ini UMG Idealab memberikan seed funding pada kami,” jelas Artin.

Pendanaan dari UMG Idealab akan dimanfaatkan SelenaGo untuk berbenah. Salah satu yang tengah diupayakan adalah pengembangan fitur yang lebih lengkap, seperti untuk membantu merchant partner menawarkan keuntungan bagi setiap “teman Selena”, sebutan untuk para pengguna Selena.

Menawarkan aktivitas menarik

Untuk menambah daftar aktivitas yang ada di dalam sistem, mereka membuka kesempatan bagi siapa pun menjadi rekanan. SelenaGo akan menarik biaya hanya untuk aktivitas berbayar, biaya yang dikenakan sebesar 8% untuk desa wisata dan 10% untuk kegiatan umum dari total transaksi setiap aktivitas.

Untuk saat ini sudah ada beberapa paket kegiatan yang terdaftar, seperti Paket Belajar Kesenian, Paket Desa Wisata Krebet, Workshop Membatik, dan kegiatan lainnya yang akan terus ditambah sejalan dengan fokus SelenaGo tahun ini.

“[Untuk tahun ini] target meningkatkan kualtias aktivitas sehingga Selena lebih dikenal dan diminati sebagai platform untuk solusi aktivitas,” tutup Artin.