Jaring Pangan Dapat Pendanaan Pra-Seri A dari Gayo Capital, Akan Realisasikan Token Komoditas di 2024

Startup rantai pasok komoditas Jaring Pangan (JaPang) mendapat pendanaan pra-seri A sebesar $11,5 juta atau 175 miliar Rupiah dari Gayo Capital. JaPang akan memperkuat pasokan komoditas di sektor hulu (upstream) sebagai strategi kunci menuju pengembangan token komoditas (commodity token) di 2024.

DailySocial.id berkesempatan berbincang eksklusif dengan JaPang; Co-founder Tjong Benny dan Edison Tobing, Executive Chairman Ivan Arie Sustiawan, serta Gayo Capital; Co-founder dan Managing Partner Ishara Yusdian dan Investment Principal Eldo Wana Kusuma.

Disampaikan Ishara, Gayo Capital memiliki komitmen investasi sebesar $11,5 juta dengan menggabungkan antara debt financing dan equity. Investasi akan dikucurkan secara bertahap di mana fokus utama tahun pertama adalah memperkuat cakupan pasokan komoditas di Pulau Jawa.

Hal ini untuk memperkuat posisi JaPang dan mitra di sektor hulu dalam membangun dan mengendalikan sekitar 10% dari volume transaksi komoditas di wilayah terkait melalui kolaborasi dan/atau akuisisi mitra di sektor hulu. Strategi ini akan memperkuat underlying dari token komoditasnya nanti.

Sebelumnya pada akhir 2021, JaPang telah mendapat suntikan investasi awal (seed) senilai $500 ribu yang merupakan gabungan dari para pendiri dan sejumlah angel investor.

“Kami memiliki tiga lapis assessment risk untuk menentukan apakah startup dapat tumbuh, mencapai profitabilitas, dan punya exit path. Kami mulai dari debt financing, misalnya, tiga bulan pertama harus capai zero NPL. Ini penting untuk memastikan investasi dapat diputar menjadi GMV, opex, dan lainnya. Kemudian diputar lagi pada bulan berikutnya sampai 12-18 bulan ke depan,” tutur Ishara.

Selain memperkuat 10% kontrol supply chain pada wilayah yang ditargetkan, pihaknya berharap pertumbuhan bisnis dari mitra downstream (JaPang Warung Rakyat/JAWARA dan Juragan) juga tercapai. “Kami meyakini Japang dapat memiliki confidence level lebih dalam debut penawaran token komoditas dengan mitra strategis yang direncanakan apabila strategi KPI tersebut terpenuhi,” tambahnya.

Pada pendanaan kali ini, Ishara Yusdian juga masuk sebagai Strategic Advisor di JaPang. Dengan pengalamannya sebagai serial investor dan corporate venture builder di Amerika Utara, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru, ia akan membantu memperkuat model bisnis dan operasional JaPang hingga siap menuju Sustainable Web3.

Sementara, Tjong Benny mengatakan pihaknya fokus mendigitalisasi sektor pertanian dan peternakan agar sejalan dengan visinya menjaga pasokan pangan di Indonesia. Ada dua segmen pasar yang dibidik, yakni B2B dan B2B2C untuk memberdayakan pelaku UMKM dengan produk utama beras, daging, dan ayam.

Produk ini dipilih mengingat potensi pasarnya besar, yakni potensi konsumsi beras nasional mencapai $22 miliar di 2020, sedangkan daging dan ayam nasional mencapai $6,3 miliar. Japang juga menyediakan bahan pokok makanan lainnya, yakni telur, gula, dan garam.

“Awalnya, kami mulai dengan B2B melalui strategi private label untuk masuk ke pasar. Memang traction B2B besar, tetapi belum bisa merata atau sustainable. Namun, kami melihat kebutuhan masyarakat sangat besar. Kami bergerak ke B2B2C agar dapat menjangkau lebih banyak user. Untuk skala pasar Indonesia, segmen ini kurang tersentuh,” jelasnya.

Kuasai 10% pangsa

Saat ini, JaPang baru mencakup sekitar 2%-3% permintaan pasokan di Jabodetabek dan Surabaya, itu pun dipenuhi oleh lini B2B2C JaPang Warung Rakyat (JAWARA). Menurut Ishara, dengan jumlah mitra RMU yang dimiliki saat ini, Japang dapat berpotensi memenuhi 10% dari permintaan commodity trading di kawasan tersebut.

“Jika dikalkulasi dalam 1-3 tahun ke depan, Japang bisa menjadi referensi index pricing berdasarkan transaksi yang terjadi. Maka itu, kami ingin JaPang engage dengan strategic partner yang dapat menjangkau pemain upstream. Sulit untuk menguasai 10% [pangsa] commodity trading kalau tidak bermitra dengan pelaku upstream,” lanjutnya.

Ivan Arie Sustiawan menambahkan, JaPang akan menambah jumlah sourcing pasokan mereka untuk memastikan ketersediaan supply dan demand dapat terpenuhi sesuai roadmap. JaPang kini telah bekerja sama dengan 10 rice milling unit (RMU), 3 rumah patok ayam, dan 2 kandang telur.

Selain itu, JaPang juga akan bekerja sama dengan penjamin komoditas (off-taker) untuk jangka panjang, baik dari BUMN maupun sektor swasta. Pada komoditas beras misalnya, produksi penggilingan padi oleh mitra RMU hanya untuk JaPang. Penambahan jumlah RMU juga akan bergantung dari milestone JaPang ke depan.

“JaPang tak hanya membidik sebagai pemimpin di pasar commodity trading, tetapi juga menjadi market maker. Kenapa memperkuat sisi upstream? Siapa pun yang bisa lock suplai di upstream, bisa menjadi market maker. Itu yang kami lakukan, baik itu beras, ayam, atau telur. Semoga bisa tercipta kestabilan harga dan jaminan ketersediaan,” ujarnya.

Token komoditas JaPang

Upaya JaPang untuk memperkuat pasokan dari sektor hulu dalam dua tahun ke depan menjadi langkah strategis untuk merealisasikan pengembangan token komoditas (commodity token) di 2024. Pengajuan lisensi ke Bappebti dan peluncuran token ini juga dilakukan secara bertahap sambil mengikuti perkembangan regulasi terkait.

Menurut Japang, commodity token justru memiliki underlying operation yang nyata dibandingkan dengan aset kripto, seperti Bitcoin atau Ethereum. Dalam kasus ini, JaPang fokus pada rantai pasok komoditas bahan pokok sebagai underlying. Token ini dapat menjadi salah satu cara bagi masyarakat yang tidak punya akses layanan keuangan untuk mencari modal usaha.

“Kami harap dapat menjadi yang pertama [meluncurkan token komoditas di Indonesia] karena kami sudah ada konsep dan kriteria. Staple food akan menjadi salah satu faktor utama kami menciptakan tokenomic. Apabila terwujud, ini bisa menjadi game changer di staple food. Kita tidak lagi bicara social commerce atau grocery karena harganya akan bergantung pada commodity token itu,” tambah Ivan.

Token komoditas bukanlah hal baru. Di 2017, ada sebuah proyek penggalangan dana bernama Bananacoin (BCO) yang diinisiasi pengembang asal Rusia untuk perkebunan pisang di provinsi Vientiane, Laos. Mengacu sejumlah sumber, harga BCO dipatok senilai $0,50 pada Initial Coin Offering (ICO). Untuk memastikan BCO bernilai, setiap token mengacu pada harga satu kilogram pisang di pasar.

“Sebelum masuk ke tokenomic, kami harus mencapai beberapa hal, termasuk target 10%. The closer we get there, ini akan menjadi kekuatan dalam proposal bahwa underlying kami sudah bisa represent komoditas supply chain, sehingga kami–bukan menentukan harga–berpartisipasi pada index pricing itu sendiri. Ini akan membuat stablecoin bisa di-exchange,” tutur Edison Tobing.

Sustainable Web3

Lebih lanjut, Ishara menuturkan sejak setahun terakhir Gayo Capital tengah mengeksplorasi potensi bisnis, terutama agritech, yang dapat dibawa ke jenjang Web3. Pihaknya mulai mengubah tesis investasinya di mana fokus utama tetap pada sektor impact. Namun, pihaknya membatasi investasi startup di sektor hulu yang modelnya masih tradisional.

“Di Gayo Capital, we will still focus on our part which is impact. Namun, kami ingin melihat portfolio mana yang sekiranya punya benang merah untuk kami embark ke Web3. That’s why our new investment thesis kita namai Sustainable Web3,” ungkapnya.

Menurutnya, JaPang siap melangkah menuju sustainable Web3 karena memiliki model bisnis yang baik dan bermain pada rantai pasok komoditas yang banyak dikonsumsi orang Indonesia. Baik beras, ayam, dan telur, punya trading cycle yang sangat tinggi atau bisa mencapai empat kali perputaran di pasar per minggu, per bulan, hingga per tahun.

Sementara itu, Eldo Wana Kusuma menambahkan inisiatif ini menjadi langkah besar untuk mendorong transparansi agrikultur di Indonesia. Apalagi pihaknya telah melihat sejumlah tantangan yang dialami pelaku agri di lapangan, salah satunya adalah kecurangan harga pada hasil panen petani oleh pihak ketiga.

“Kami melihat [commodity token] ini sebagai sustainable token, bukan yang bisa ‘digoreng’ sesuka hati. Commodity token tidak akan menggantikan fungsi P2P atau layanan inklusi keuangan. Idenya adalah [mendorong] transparansi harga komoditas. Token beras, misalnya, akan selalu diperbarui sesuai harga pasar di dunia. Real time.” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Startup “Biotech” Mycotech Lab Peroleh Dana Pra-Seri A 18 Miliar Rupiah

Startup biotech asal Indonesia Mycotech Lab (MYCL) mengumumkan telah menyelesaikan putaran pendanaan pra-Seri A senilai $1,2 juta (lebih dari 18 miliar Rupiah). Investor yang berpartisipasi di antaranya AgFunder, Temasek Lifesciences Accelerator, Fashion for Good, Third Derivative, Lifely VC, dan Rumah Group.

Modal segar ini rencananya akan digunakan Mycotech membangun dan meningkatkan produksi bahan Mylea Mycotech dari operasinya di Bandung demi memenuhi permintaan dari mitra merek fesyen. Juga, untuk mengembangkan fasilitas penelitiannya dengan membuka laboratorium penelitian di Jepang dan Singapura pada tahun ini. Harapannya, perusahaan dapat meningkatkan kualitas Mylea dan bernilai kompetitif di ranah global.

Sebagai catatan, AgFunder merupakan mitra ventura dari Grow Impact Accelerator yang diikuti Mycotech saat terpilih sebagai salah satu peserta  program tersebut. Selama program berjalan di April kemarin, peserta juga memperoleh dana segar sebesar $100 ribu dan berkesempatan ikut rangkaian pelatihan dan akses pendanaan lanjutan.

Dalam keterangan resmi, Direktur Eksekutif AgFunder Asia John Friedman berkomentar, serupa dengan tren yang telah disaksikan di industri makanan, pihaknya percaya ada peluang signifikan bagi perusahaan untuk memikirkan kembali metode produksi konvensional untuk mengubah ruang material. Perusahaan terkesan dengan semangat dan komitmen tim MYCL untuk mengembangkan produk yang memberikan semua bentuk dan fungsi yang setara dengan hewani tetapi tanpa dampak negatif terhadap etika dan lingkungan

“Dan terlebih lagi mereka berhasil mencapai ini melalui model yang hemat biaya dan sangat skalabel. Kami bangga menghitung MYCL sebagai salah satu investasi pertama kami dari AgFunder SIJ Impact Fund, dan bersemangat untuk bergabung dengan Adi dan tim dalam upaya mereka untuk menginspirasi masyarakat konsumen yang lebih berkelanjutan di persimpangan makanan dan mode,” kata Friedman.

Sementara itu, CEO Temasek Life Sciences Accelerator (TLA) dan Temasek Life Sciences Laboratory (TLL) Peter Chia mengatakan, saat ia pertama kali bertemu Adi dan timnya, begitu terasa dorongan dari mereka untuk membawa perubahan. MYCL berada pada titik belok di mana penelitian bioteknologi transdisipliner siap untuk kontribusi yang signifikan terhadap keberlanjutan.

“Kami senang bergabung dengan mereka dalam perjalanan ilmiah mereka, memberikan keunggulan kompetitif bioteknologi dan modal strategis untuk membantu MYCL berinovasi aplikasi biomaterial di jantung Asia. Kami berharap dapat menjadikan Mylea sebagai produk berkelanjutan berbasis bio yang lengkap untuk dunia yang lebih baik.”

CEO Mycotech Adi Reza Nugroho bersyukur memiliki mitra yang mau tumbuh bersama untuk mengembangkan produk agar siap pasar dan mengurangi kerusakan lingkungan dengan menghadirkan kulit miselium berdampak rendah.

“Kami juga senang bahwa selama COVID-19, MYCL berhasil mengirimkan semua produk ke kampanye Kickstarter, meningkatkan kapasitas produksi hingga 5 kali lipat, dan mendapatkan perjanjian percontohan dengan 6 merek global.” kata Adi.

Produk Mycotech / Mycotech

Perkembangan Mycotech Lab

CEO Adi Reza Nugroho mendirikan Mycotech dengan misi untuk menciptakan bahan berkualitas tinggi yang terbuat dari miselium yang memenuhi standar tertinggi industri biotek. Dia juga ingin membuat dampak nyata dengan mengurangi penggunaan hewan di industri mode dan menghadirkan bahan berkelanjutan yang memenuhi standar industri mode tanpa kompromi.

Sebagai catatan, Mycotech mengembangkan proses ilmiah baru untuk menumbuhkan produk berbasis miselium jamur, bagian vegetatif jamur sebagai perekat alami. Miselium merupakan bahan pengikat untuk membuat komposit biomaterial (Biobo) dan mengolahnya untuk membuat bahan seperti kulit (Mylea) yang kuat. Juga, material lainnya berbasis limbah pertanian yakni jagung hingga kelapa sawit. Seluruh material tersebut digunakan untuk desain produk fesyen bermitra dengan klien.

Sejauh ini, Mycotech telah mengirimkan sampel material Mylea ke 16 negara setelah kampanye Kickstarter aslinya. Portofolionya tersebar, mulai dari kerja sama dengan desainer pemenang hadiah LVMH Masayuki Ino dari Jepang, produknya dipamerkan di Paris Fashion Week S/S 2021 dan F/W 2022. Kemudian, pada Maret dan April lalu, berkolaborasi dengan merek Hijack Sandals ke pasar luar negeri dalam peluncuran sandal kulit miselium yang disebut “Mimic Mylea” secara ekslusif di Jepang.

Ke depannya, Mycotech akan membawa enam merek global, dengan salah satu merek berasal dari Fashion for Good, untuk uji coba membuat prototipe, membawa produk ke pasar, dan membuat koleksi kapsul.

Selain fokus pada Mylea, perusahaan juga akan mengembangkan riset dan penetrasi untuk dua produk lain berbahan miselium untuk jangka panjang. Biobo untuk menciptakan pola struktural termutakhir yang meremajakan ruang perumahan, industri, dan publik, serta penelitian gabungan yang memungkinkan penjelajahan lebih lanjut tentang banyak kemungkinan jamur sebagai kunci masa depan.

Saat ini, Mycotech mengoperasikan pabrik untuk fasilitas produksi berkapasitas 10.000 kaki persegi di Indonesia.

Mycotech didirikan lewat ide para alumni ITB dari usaha Growbox pada 2012, yakni solusi media tanam dari jamur hingga kemudian berkembang jadi inovasi material komposit dari kulit ramah lingkungan. Pendirinya, selain Adi Reza Nugroho, ada Ronaldiaz Hartyanto (Chief Innovation Officer), Robby Zidna Ilman (COO), Arkha Bentangan (CTO), dan Annisa Wibi Ismarlanti (CFO).

Dalam perjalanannya, solusi inovatif ini turut didukung pemerintah dengan melakukan konsolidasi kelembagaan riset dengan kampus untuk meningkatkan kualitas hasil riset dan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat. Difasilitasi oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bersama UNS Solo dan Universitas Padjadjaran, riset ini didukung dengan pendanaan multi-tahun sebesar Rp1 miliar per tahunnya.

KLAR Konfirmasi Perolehan Pendanaan Pra-Seri A, Dipimpin AC Ventures dan East Ventures

KLAR Smile baru-baru ini resmi mengumumkan pendanaan pra-seri A. Ini sekaligus mengonfirmasi kabar yang kami beritakan sebelumnya, kendati dari sisi nilai lebih kecil, yakni $4,5 juta atau setara 67 miliar Rupiah. Investasi ini dipimpin AC Ventures dan East Ventures, dengan berpartisipasi Venturra Discovery dan beberapa angel investor.

Dana segar ini akan digunakan untuk mengembangkan bisnis mereka ke pelosok Indonesia, termasuk untuk mengedukasi konsumen perihal pentingnya kesehatan mulut (oral wellness) dan meluncurkan produk-produk komplementer perawatan kesehatan gigi lainnya.

KLAR  berharap untuk dapat menawarkan perawatan gigi yang menyeluruh dan bermanfaat dari segi estetika dan kesehatan untuk para penggunanya.

Dalam satu tahun beroperasi, KLAR telah bekerja sama dengan lebih dari 1.000 dokter gigi dan dokter gigi spesialis ortodonti dari berbagai wilayah di Indonesia. Saat ini mereka turut hadir melalui lebih dari 800 klinik gigi yang telah bergabung menjadi mitra di ekosistemnya.

Melalui aplikasi “Klar Smile”, para dokter gigi dan pasien dapat dengan mudah berinteraksi langsung dan bersama-sama memonitor perkembangan hasil perawatan gigi. Pengalaman pengguna yang unik ini meningkatkan kenyamanan pasien dengan mengurangi jumlah kunjungan serta waktu pemeriksaan rutin ke klinik yang dibutuhkan selama masa perawatan.

“Kami senang menyambut KLAR Smile ke keluarga East Ventures. Oral wellness mempengaruhi kesehatan seseorang, dan kami percaya bahwa solusi yang ditawarkan oleh KLAR Smile akan membawa dampak positif dalam merevolusi kesehatan masyarakat Indonesia secara keseluruhan,” kata Partner East Ventures Melisa Irene.

Sementara itu menurut Founder dan Managing Partner AC Ventures Michael Soerijadji, “Sebagai pendukung startup ini sejak awal, kami percaya bahwa KLAR Smile menawarkan solusi yang praktis dan inovatif yang dibutuhkan dan dicari oleh jutaan penduduk Indonesia.”

Secara khusus Klar Smile memproduksi clear aligner, yaitu suatu alat pengganti kawat gigi berbahan dasar plastik yang dapat menggerakkan gigi. Setiap set clear aligner dibuat secara khusus sesuai kebutuhan masing-masing pasien.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa platform yang menawarkan layanan serupa dengan Klar Smile. Di antaranya adalah RATA juga bermain di segmen yang sama. RATA sendiri juga telah didukung sejumlah investor, salah satunya Alpha JWC Ventures.

Application Information Will Show Up Here

Omni HR Memperoleh Pendanaan Pra-Awal 36 Miliar Rupiah, Fokus di Pasar Indonesia dan Singapura

Omni HR memperoleh putaran pendanaan pra-awal (pre-seed) $2,4 juta (sekitar 35,9 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dan Picus Capital. Dana segar ini akan digunakan untuk mendukung pengembangan produk all-in-one lebih lanjut, seperti modul rekrutmen dan manajemen kinerja yang ditarget meluncur di semester II 2022.

Sejumlah investor lain yang ikut berpartisipasi antara lain FEBE Ventures, Basis Set Ventures, Ratio Ventures, dan Frances Kang (Horizons Ventures). Putaran pendanaan ini juga didukung sejumlah angel investor, yakni Ultimate Software.

Co-founder Omni HR Brian Ip mengatakan, sebagian besar perusahaan di Asia Tenggara menggunakan software untuk mengelola kebutuhan SDM. Hanya saja produk tersebut hanya mendukung fungsi administrasi dasar, sedangkan banyak proses lain yang masih dilakukan secara manual.

Software di sektor HR termasuk software yang paling membutuhkan lokalisasi dikarenakan aturan ketenagakerjaan setiap negara berbeda. Situasi ini justru dianggap dapat menciptakan peluang bagi pemain lokal yang ingin membangun platform manajemen karyawan secara modern dan scalable,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Sementara, Co-founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe menambahkan, “Omni tengah membangun platform secara end-to-end yang mencakup siklus karyawan dan otomatisasi alur kerja demi membantu perusahaan mengelola operasional SDM mereka. Kami meyakini Omni HR punya potensi unik untuk bertumbuh dengan cepat dan menjadi platform SaaS pilihan untuk SDM.”

Sebagai informasi, Omni HR didirikan oleh mantan eksekutif Goldman Sachs Brian Ip dan insinyur data YC Chan pada 2021. Saat ini Omni HR beroperasi di Singapura dan Indonesia.

Omni HR mengembangkan sistem manajemen karyawan yang mendigitalisasi dan mengotomatisasi operasional SDM secara end-to-end dalam satu platform. Saat ini, Omi HR menawarkan berbagai proses automasi SDM, seperti orientasi karyawan dan pengelolaan dokumen.

Lokalisasi pasar

Lebih lanjut, pihaknya menilai saat ini Indonesia tengah mengalami tren pergeseran pada kegiatan HR dari model konvensional ke digital. Sejak soft-launching pada Maret 2022, Co-founder Omni HR YC Chan menyebutkan produknya telah adopsi oleh sejumlah perusahaan untuk berbagai kebutuhan. Pihaknya menyatakan komitmennya untuk berkembang yang dimulai dari pasar Singapura dan Indonesia.

“Kami memiliki traction yang menjanjikan dan kami memulai dengan awal yang baik. Tak hanya itu, posisi kami juga lebih unggul dibanding pemain lama, bukan hanya karena solusi teknologi saja, tetapi juga pemahaman kami terhadap pasar lokal yang memungkinkan kami merancang produk sesuai kebutuhan mereka,” tuturnya.

Selain itu, ujarnya, para investor yang terlibat dalam pendanaan ini membawa kombinasi unik, baik pemahaman operasional maupun dukungan strategis. Bagi perusahaan, Alpha JWC telah banyak memimpin investasi di Asia Tenggara, seperti Ajaib dan Carro. Adapun, Picus Capital memiliki pengalaman luas berinvestasi di perusahaan teknologi SDM, seperti Bennie dan Workmotion.

Omni HR meyakini proses transformasi digital yang tengah berlangsung dan adopsi solusi di Asia Tenggara juga dapat mendorong awareness terhadap pentingnya penggunaan platform manajemen karyawan.

“Kami percaya pasar Asia Tenggara belum banyak diisi oleh solusi komprehensif dan terlokalisasi untuk mengelola tenaga kerja secara efisien. Omni HR telah membangun solusi yang melampaui fungsionalitas administratif dasar untuk mengotomatisasi alur kerja berulang. Kebutuhan ini terakselerasi berkat meningkatnya adopsi solusi di perusahaan dan tren remote working yang kian sulit dikelola dengan infrastruktur IT tradisional.” Tutup Partner & Managing Director di Picus Capital Florian Reichert.

Perkembangan HR-Tech lokal

Pasar HR-Tech di Indonesia dapat dikatakan cukup berkembang. Jumlah pemain yang menawarkan solusi HR juga semakin banyak seiring dengan meningkatnya kebutuhan perusahaan/UMKM dan akselerasi teknologi. Solusi yang ditawarkan juga cukup menyeluruh, mulai dari rekrutmen, pengelolaan karyawan, employee benefit, hingga payroll.

Dalam catatan kami, beberapa startup HR-Tech juga mendapat pendanaan, seperti Mekari yang telah di tahap lanjut, GajiGesa, Fast-8 Group, dan Kini. Lainnya juga tengah agresif memperluas fitur mereka, seperti Payuung dan Vinmo yang meluncurkan platform earned wage access (EWA).

Sebagai salah satu solusi yang banyak diadopsi, EWA cukup banyak dikembangkan startup di Indonesia untuk mengurangi ketergantungan karyawan terhadap pinjaman online berbunga dengan produk dana darurat.

Berdasarkan laporan Verified Market Research, pasar HR Tech global mencapai $23,32 miliar di 2021 dan angkanya diperkirakan menembus $38,86 miliar di 2030. Proyeksi ini utamanya didorong oleh meningkatnya kebutuhan solusi HR oleh perusahaan. 

Adapun, riset PwC di awal tahun ini menyebutkan sejumlah tantangan utama perusahaan di bidang HR yang terdiri dari persoalan rekrutmen (39%), modernisasi sistem (36%), employee upskilling (28%), remote atau hybrid working (24%), dan employee benefit (22%).

Fairbanc Raih Tambahan Pendanaan Pra-Seri A 72 Miliar Rupiah dipimpin Vertex Ventures

Startup fintech Fairbanc mengumumkan perolehan tambahan dana segar dalam putaran pra-seri A senilai $4,8 juta (senilai 72 miliar Rupiah) dipimpin oleh Vertex Ventures, dengan partisipasi dari Asian Development Bank, Accion Venture Lab, dan konglomerat Indonesia Lippo Group.

Pendanaan baru ini ditujukan untuk ekspansi di Indonesia dan akan membantu perusahaan mengeksplorasi pasar baru seperti Vietnam dan Filipina dalam kemitraannya dengan Unilever.

Platform Fairbanc memungkinkan UMKM mengambil kredit jangka pendek untuk membeli barang-barang FMCG dari brand principal besar. Perusahaan ini memiliki kemitraan dengan 13 merek, termasuk Unilever, Nestle, Coca-Cola, dan Danone.

Pada 2020, Fairbanc yang berbasis di AS ini mengumpulkan dana yang tidak diungkapkan dari 500 miliarder Global dan Indonesia, termasuk dari CEO Sampoerna Strategic, Michael Sampoerna. Menyusul investasi itu, startup tersebut merambah ke Indonesia. Satu tahun kemudian, Sampoerna Strategic Group kembali berpartisipasi dalam putaran pra-seri A, bersama ADB Ventures, Accion Venture Lab, dan East Ventures.

Perusahaan telah menerima lebih dari 350.000 merchant dalam satu tahun terakhir. Sekitar 75.000 merchant ini menggunakan layanan BNPL di Fairbanc, yang memungkinkan mereka membeli produk dengan margin tinggi. Fairbanc ingin meningkatkan skala dengan cepat dengan memanfaatkan jaringan pedagang besar dari merek konsumen mitra.

Menurut survei Unilever, 80% penerima manfaat Fairbanc tidak memiliki rekening bank dan sekitar 70% adalah pedagang wanita yang mampu meningkatkan penjualan mereka rata-rata sebesar 35%.

Berkat kemitraannya dengan brand FMCG besar, Fairbanc memungkinkan memberikan pinjaman BNPL ke peritel tanpa perlu mengajukan melalui smartphone. Perusahaan menggunakan credit scoring berbasis AI yang dapat membantu memproses pinjaman microcredit secara instan.

Dengan sistem yang terintegrasi ke berbagai brand consumer, Fairbanc dapat mengakses pesanan merchant dan rekam jejak pembayarannya. Perusahaan dapat mengutilisasi data ini lebih lanjut untuk melakukan underwriting pinjaman serta mendongkrak penjualan merchant dengan menjaga biaya operasional tetap rendah.

Konsep bisnis ini sedikit berbeda dengan lainnya. Fairbanc menghasilkan uang dengan mengoptimalkan pembayaran tunai langsung ke distributor dan penggunaan diskon dari volume penjualan. Dengan begitu, pedagang mikro tidak dibebankan bunga dan tambahan biaya dari merchant FMCG dan para distributornya.

Konsep serupa sebenarnya juga sudah diakomodasi oleh beberapa fintech di Indonesia melalui layanan invoice financing untuk kalangan bisnis. Salah satu startup yang sudah meluncurkan solusi tersebut adalah Investree, Modalku, dan AwanTunai.

VC Hendra Kwik Berpartisipasi ke Pendanaan Startup SaaS No-Code “Fieldproxy”

Startup SaaS pengembang platform no-code Fieldproxy mengumumkan penerimaan dana pra-seri A senilai $750 ribu (sekitar 11,2 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh Y Combinator (W22 Batch), diikuti jajaran investor lainnya, yakni Number Capital, Mars Shot Ventures, Kevin Moore, dan Abheek Basu. Investor sebelumnya, seperti LetsVenture, 2am VC, magic.fund, serta angel investor dari sejumlah perusahaan di India turut serta dalam penyertaan modal.

Number Capital dan MAGIC merupakan unit ventura yang turut dinakhodai oleh Hendra Kwik, atau dikenal sebagai founder Payfazz. Di Number Capital ia berperan sebagai Founding Partner, sementara di MAGIC sebagai LP dan Partner.

Sejauh ini perusahaan berhasil mengumpulkan dana sebesar $1,05 juta. Adapun dana segar akan dimanfaatkan untuk meningkatkan upaya go-to-market (GTM).

Didirikan pada 2020 oleh Swaroop Vijayakumar, alumnus IIM Kozhikode, dan Balakrishna B, alumnus BITS Pilani di India, Fieldproxy menyediakan platform tanpa kode berbasis web yang memungkinkan bisnis merampingkan dan menyederhanakan interaksi internal mereka dengan tim lapangan di industri seperti bidang jasa, barang konsumsi, farmasi, energi, atau telekomunikasi.

Co-Founder Razorpay & Partner Mars Shot Ventures Shashank Kumar menuturkan, pihaknya senang dapat mendukung FieldProxy untuk mewujudkan visi mereka yang memungkinkan manajemen kekuatan lapangan yang mudah. “Manajemen kekuatan lapangan yang efisien adalah peluang besar di seluruh industri dan kami percaya bahwa FieldProxy berada di posisi yang kuat untuk mendisrupsi industri melalui platform tanpa kode mereka dan menggunakan template berbasis kasus,” katanya melalui keterangan resmi, Rabu (13/7).

Penjelasan Hendra Kwik tentang investasi ini

Founding Partner Number Capital Hendra Kwik menyampaikan, Fieldproxy adalah investasi perdana Number Capital di India. Pihaknya merasa terhormat dapat bermitra dengan Swaroop, Balakrishna, dan tim untuk membangun “Salesforce for Field Teams” di India. Timnya percaya pada tesis bahwa India akan menciptakan banyak startup SaaS besar dengan potensi kuat untuk ekspansi pasar global, mengingat negara tersebut kini dikenal sebagai produsen SAAS.

“Berikutnya, pangsa pasar yang besar karena terjadi inefisiensi, dan potensi ekspansi pasar global setelah dominasi India, adalah tiga alasan utama mengapa kami memutuskan untuk berinvestasi di Fieldproxy,” kata Hendra.

Menurut Hendra, Fieldproxy yang berbasis di Chennai, satu lokasi dengan basis operasional Freshworks yang terdaftar di NASDAQ, membawa optimisme yang tinggi bahwa Fieldproxy akan mengikuti kesuksesan Freshworks di tahun-tahun mendatang. “Manajemen tim lapangan adalah pasar yang sangat besar namun masih sangat tidak efisien, tidak terorganisir, manual, dan sangat bergantung pada pulpen dan kertas. Pendekatan perangkat lunak tanpa kode dari Fieldproxy akan meningkatkan efisiensi tim lapangan dan membantu perusahaan menghemat miliaran dolar,” tambah dia.

Mengomentari soal penggalangan dana, Co-founder & CEO Fieldproxy Swaroop Vijayakumar mengatakan, pihaknya senang karena bergabungnya sejumlah investor kelas dunia dan mengumpulkan dana yang dibutuhkan untuk mempercepat mimpi Fieldproxy untuk untuk mengubah industri lapangan pertama dengan menyediakan kualitas terbaik, solusi kekuatan tanpa kode untuk jutaan bisnis.

“Setelah kami meningkatkan upaya GTM kami, Fieldproxy tidak hanya bertujuan untuk melayani lebih banyak pelanggan perusahaan, tetapi juga bekerja untuk meningkatkan pustaka template siap pakai untuk membantu bisnis bergabung dan membangun solusi mutakhir dalam hitungan menit,” kata Vijayakumar.

Solusi no-code dari Fieldproxy

Menurut data yang dikutip Fieldproxy, permintaan global akan solusi berbasis teknologi meningkat di antara 5 juta pemilik bisnis di lapangan yang kehilangan sekitar 20% pendapatan mereka. Alasannya karena proses yang tidak efisien dan kurangnya visibilitas ke pelanggan, kontrak, pembayaran, atau teknisi lapangan mereka. Platform tanpa kode Fieldproxy membantu organisasi ini melindungi pendapatan mereka dan mengembangkan bisnis mereka.

Co-founder & CTO Fieldproxy Balakrishna B menyatakan, “Pendekatan tanpa kode untuk mengelola tim lapangan adalah yang pertama di industri dan membantu bisnis tradisional di industri seperti FMCG, farmasi, dan layanan lapangan, menyebarkan aplikasi dengan cepat untuk merampingkan tenaga kerja mereka di lapangan tanpa biaya tambahan untuk menjalankan dan mengelola tim pengembangan yang terpisah. Ini membantu mereka fokus pada bisnis inti mereka.”

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial.id, Vijayakumar menyampaikan, meski kantor pusatnya di India, pihaknya sudah menjalin kerja sama bisnis dengan beberapa UKM di Indonesia. Ke depannya, pada 12-18 bulan mendatang, fokus perusahaan akan ekspansi ke kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

“Hal ini kami pilih mengingat pasar ini sangat mirip dengan India. Hal ini berlaku terutama di industri tempat kami beroperasi – barang konsumsi, farmasi, dan ruang servis rumah di mana sebagian besar operasi masih dijalankan melalui WhatsApp atau pulpen atau kertas dan tidak dalam bentuk digital,” pungkas dia.

Potensi no-code

Di Indonesia, startup pengembang platform no-code, sudah ada beberapa yang hadir. Mereka adalah Typedream dan Feedloop. Kemudahan yang ditawarkan membuat platform no-code, atau sering juga disebut low-code, berkembang pesat. Di kancah global, saat ini banyak sekali platform berbasis SaaS yang menawarkan kapabilitas serupa untuk berbagai kebutuhan spesifik.

Menurut temuan hasil survei Appinventiv, layanan no-code banyak diminati oleh pebisnis lantaran memudahkan langkah mereka melakukan inovasi dan transformasi. Seperti diketahui, bisnis dituntut untuk secara tangkas melakukan transformasi digital dengan go-online. Proses pengembangan manual dapat memakan waktu panjang untuk perusahaan yang baru memulai langkah tersebut, karena harus melakukan banyak tahapan, mulai perencanaan hingga perekrutan staf ahli di bidang pemrograman.

Potensi ini membawa nilai pasar layanan tersebut mencapai $45,5 miliar pada tahun 2025 mendatang. Varian platform yang ada tidak hanya memfasilitasi kebutuhan spesifik perusahaan besar, melainkan juga kepada UMKM yang ingin meningkatkan kehadirannya secara online atau meminimalkan friksi dalam kegiatan operasionalnya.

MyRobin Rampungkan Putaran Pendanaan Pra-Seri A

Platform pekerja kerah biru MyRobin mengatakan telah membukukan pendanaan pra-seri A. Tidak disebutkan nominal investasi yang diterima, namun dikatakan bahwa penggalangan dana ini sejatinya sudah dirampungkan sejak akhir 2021.

Adapun investor yang terlibat pada putaran ini di antaranya Accion Venture Lab, Vulpes Ventures, dan sejumlah lainnya. Sementara investor mereka sebelumnya seperti Antler dan SOSV juga turut terlibat.

Co-Founder & CEO MyRobin Siddharth Kumar mengatakan, platform seperti MyRobin saat ini menjadi relevan dan dibutuhkan oleh pekerja kerah biru untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang tepat. Selain memberikan peluang kerja, platform tersebut juga memberikan edukasi dan pelatihan yang tepat kepada pengguna yang tergabung.

Saat ini MyRobin telah memiliki komunitas pekerja yang berjumlah lebih dari 2 juta orang yang tersebar di 100 kota di Indonesia. Mereka mencatat, 95% di antaranya berada dalam grup usia 18-35 tahun dan lulusan SMA/SMK serta pekerja yang memiliki skill. Secara keseluruhan sudah lebih dari 100 perusahaan yang telah dilayani oleh MyRobin.

Saat ini mereka telah melayani bisnis di kota tier 1 dan 2 seperti Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Medan dan beberapa kota lainnya di Kalimantan, Sumatera dan Pulau Jawa. MyRobin juga ingin terus memperluas wilayah layanan mereka secara pesat hingga ke kota-kota yang lebih kecil.

“Model bisnis dan strategi monetisasi yang kami lancarkan adalah menagih perusahaan management fee. Dihitung di atas total biaya tenaga kerja. Tidak ada yang dipotong dari upah mitra kami,” kata Siddharth.

Platform yang menawarkan layanan serupa di antaranya adalah Byru.id, Lumina, Pintarnya, Sampingan, dan AdaKerja.

Desty Announces Additional Funding Led by Square Peg

Desty, a digital platform developer startup that supports social sellers, announced additional funding led by Square Peg. This investment follows the pre-series A round which was announced in mid-2021. It is then followed by additional rounds at the end of 2021 with the participation of East Ventures, Jungle Ventures, 5Y Capital, and several angel investors.

Desty plans to leverage its new funding for product optimization, team expansion, and user acquisition.

“We are welcoming the support from Square Peg with their extensive experience investing in comparable business models around the world. Indonesia has a very unique digital economy with striking fragmentation across merchant traffic, sales channels, payments and logistics. We firmly believe that our holistic approach to empowering merchants with our suite of enablement tools will solve their problems most effectively,” Desty’s Co-founder & CEO, Mulyono Xu said.

Square Peg is a global technology investment company that manages over $1 billion in funds and has actively deployed more than $200 million in Southeast Asia. Some of his portfolios include PropertyGuru, FinAccel, Pluang, and Doctor Anywhere.

“We are excited to partner with Desty, not only because it is attractive and we’ve seen the customer satisfaction, but also because of the technical talent and deep market knowledge brought together by Mulyono and Bill (Desty’s Founder). They have deep industry expertise and best practice experience that will help unlock economic opportunities for millions of small businesses in Indonesia and across Southeast Asia,” Square Peg’s Partner, Piruze Sabuncu said.

Desty’s business growth

Over the last few months, coupled with the launch of new features, Desty has increased its merchant capacity to handle transactions and has recorded an average monthly GMV growth of 250% over the last quarter. Desty solutions are used by various brands, such as fashion, electronic retail, and culinary.

Desty has reached nearly one million users with 33x annual growth. Over the past year, they have upgraded several merchant empowerment tools and technology infrastructures such as Link-in-Bio (desty.page), Online Store Maker (desty.store), Digital Order Menu System (desty.menu), and Omni Channel Dashboard (desty.omni).

It was previously said that around 50% of Desty’s users are online sellers, while 30% of users are creators or influencers.

Social commerce enabler service

Desty’s services target social commerce actors, either through social media or other channels. The size of the social commerce market in Indonesia itself is quite large. According to the Research and Markets report, in 2022, the market value is to reach $8.6 billion and will increase to $86.7 billion in 2028.

In general, enabler platforms provide services to facilitate the management of goods and transaction systems. Some also help on the marketing side up to payment. In addition to Desty, several platforms that are offering similar service to help social commerce players include AturToko, Avana, Minmin, Tokotalk, and several others.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Desty Umumkan Pendanaan Tambahan Dipimpin Square Peg

Desty selaku startup pengembang platform digital yang mendukung social seller, mengumumkan perolehan pendanaan tambahan yang dipimpin Square Peg. Investasi ini melanjutkan putaran pra-seri A yang diumumkan pertengahan tahun 2021 lalu. Kemudian dilanjutkan tambahan untuk putaran tersebut di akhir tahun 2021 dengan partisipasi East Ventures, Jungle Ventures, 5Y Capital, dan beberapa angel investor.

Desty berencana memanfaatkan pendanaan barunya untuk mengoptimalkan produk, ekspansi tim, dan akuisisi pengguna.

“Kami sangat senang Square Peg mendukung kami dengan pengalaman luas mereka berinvestasi dalam model bisnis yang sebanding di seluruh dunia. Indonesia memiliki ekonomi digital yang sangat unik dengan fragmentasi yang mencolok di seluruh lalu-lintas pedagang, kanal penjualan, pembayaran, dan logistik. Kami sangat yakin bahwa pendekatan menyeluruh kami untuk memberdayakan pedagang dengan serangkaian enablement tools kami akan menyelesaikan masalah mereka dengan paling efektif,” kata Co-founder & CEO Desty Mulyono Xu.

Square Peg adalah perusahaan investasi teknologi global yang mengelola dana lebih dari $1 miliar dan telah secara aktif menyebarkan lebih dari $200 juta di Asia Tenggara. Beberapa portofolionya termasuk PropertyGuru, FinAccel, Pluang, dan Doctor Anywhere.

“Kami ingin bermitra dengan Desty, bukan hanya karena daya tarik dan kepuasan pelanggan yang telah kami lihat sejauh ini, tetapi juga karena bakat teknis dan pengetahuan pasar mendalam yang disatukan oleh Mulyono dan Bill (founder Desty). Mereka memiliki keahlian industri mendalam dan pengalaman praktik terbaik yang akan membantu membuka peluang ekonomi bagi jutaan usaha kecil di Indonesia dan seluruh Asia Tenggara,” ujar Partner Square Peg Piruze Sabuncu.

Pertumbuhan bisnis Desty

Selama beberapa bulan terakhir, diiringi peluncuran fitur-fitur baru, Desty telah meningkatkan kapasitas pedagang untuk menangani transaksi dan telah melihat pertumbuhan bulanan GMV rata-rata 250% selama kuartal terakhir. Solusi Desty digunakan oleh berbagai brand, seperti fesyen, ritel elektronik, dan kuliner.

Desty juga telah menjangkau hampir satu juta pengguna dengan pertumbuhan tahunan 33x lipat. Selama satu tahun terakhir, mereka telah meningkatkan beberapa alat pemberdayaan pedagang dan infrastruktur teknologi seperti Link-in-Bio (desty.page), Pembuat Toko Online (desty.store), Sistem Menu Pemesanan Digital (desty.menu), dan Dasbor Omni Channel (desty.omni).

Sebelumnya juga dikatakan, sekitar 50% pengguna Desty adalah penjual online, sementara 30% pengguna adalah kreator atau influencer.

Layanan social commerce enabler

Layanan seperti yang disediakan Desty menargetkan pelaku social commerce, baik melalui media sosial atau kanal lainnya. Ukuran pasar social commerce di Indonesia sendiri cukup besar. Menurut laporan Research and Markets, di tahun 2022 ini nilai pasarnya mencapai $8,6 miliar dan akan meningkat sampai $86,7 miliar di tahun 2028 nanti.

Pada umumnya, platform enabler memberikan layanan untuk memudahkan pengelolaan barang dan sistem transaksi. Sebagian juga membantu di sisi pemasaran sampai dengan pembayaran. Selain Desty, beberapa platform yang berusaha membantu pelaku social commerce adalah AturToko, Avana, Minin, Tokotalk, dan beberapa lainnya.

Menilik Proposisi Nilai dan Strategi Bisnis USS Networks sebagai Brand Aggregator

Berawal dari sebuah pagelaran “Urban Sneaker Society”, USS Networks didirikan pada tahun 2019. Kini mereka berkembang menjadi sebuah group holding yang mengelola 15 IP (intellectual property) & brand menargetkan kalangan Gen Z. Beberapa merek yang dipegang di antaranya Urban Sneaker Society, USS Feed, Outbrake, Cretivox, Menjadi Manusia, dan Sonderlab.

Meskipun cara kerjanya serupa dengan brand aggregator lainnya, namun USS Networks mengklaim memiliki perbedaan cukup mencolok.

Co-founder & CEO USS Networks Sayed Muhammad mengungkapkan, pengalaman dan jaringan yang sudah mereka miliki sejak awal berdiri menjadi salah satu kunci sukses mereka untuk bisa mengembangkan brand yang telah mereka akuisisi.

“Kami memiliki tujuan untuk bisa memperluas jaringan. Dimulai dari sisi pemasaran memanfaatkan jaringan kami, karena secara ekosistem telah memiliki event yang besar, bukan hanya di Indonesia namun di Asia Tenggara yang bisa dimanfaatkan oleh brand sebagai distribution channel. Kami juga memiliki relasi dengan media sampai komunitas dari industri fesyen. Hal tersebut yang membedakan kami dengan platform lainnya,” kata Sayed.

Konsep brand aggregator berkembang cukup pesat dewasa ini. Sudah ada beberapa pemain serupa seperti Hypefast, Tjufoo, Open Labs, dan lainnya. Tidak sekadar fesyen, sektor lain pun juga memiliki brand aggregator-nya sendiri, misalnya Hangry yang masuk di area kuliner.

Tidak berhenti di brand fesyen

Dari sisi produk, USS Networks tidak akan berhenti di produk fesyen saja, ke depannya mereka juga ingin mengakuisisi IP media hingga NFT lebih banyak lagi

Di awal tahun 2022, mereka mengakuisisi pengembang proyek NFT Karafuru. Karafuru sendiri saat ini menduduki peringkat 40 all time transaction di Open Sea dengan total transaksi lebih dari 1,5 triliun Rupiah. Di luar ini, USS Networks masih punya target untuk bisa mengakuisisi 3 s/d 4 brand lain tahun ini.

Selain itu, sejak awal komunitas masih menjadi prioritas bagi USS Networks untuk bisa mengembangkan bisnis. Di sisi lain, proses kurasi memanfaatkan riset juga terus dilakukan  untuk mengakuisisi brand hingga IP yang tepat.

“Kami adalah perusahaan yang profitable dari hari pertama dan terus bertumbuh setiap tahunnya. Pada tahun 2021 kami tumbuh lebih dari 100% YoY dan pada tahun 2022 ini kami perkirakan bisa bertumbuh lebih dari 200% YoY, baik secara revenue maupun profit,” kata Sayed.

Rencana bisnis setelah pendanaan

Bertujuan untuk mengakselerasi bisnis, USS Networks telah mengantongi pendanaan pra-seri A dengan jumlah yang tidak disebutkan. Pendanaan tersebut dipimpin oleh SALT Ventures. Selain itu, Tokopedia dan OCBC NISP Ventura turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Bagi SALT Ventures, sektor digital media dan IP merupakan salah satu fokus investasi karena sektor ini sedang bertumbuh besar di Indonesia.

“Kedua founder sangat jeli dalam melihat upcoming trend dan bahkan bisa menciptakan sebuah tren. Itu adalah resep USS Networks dapat bertumbuh sangat cepat dalam 3 tahun terakhir,” kata Managing Partner SALT Ventures Danny Sutradewa.

Dana segar tersebut nantinya akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengakuisisi perusahaan IP & brand D2C yang cocok dengan ekosistem USS Networks. Bukan hanya brand asal Indonesia, cakupan mereka telah diperluas hingga pasar regional.

“Karena pengalaman dan jaringan yang kami miliki, proses akuisisi terhadap brand dan IP selama ini tidak menjadi kendala bagi pemilik brand. Mereka sudah memahami konsep yang kami tawarkan, yang pada akhirnya bisa membantu menambah pendapatan brand menjadi lebih besar lagi,” kata Sayed.