Introducing Rukita Proptech with Co-Living Alternatives

The co-living concept or communal residential is not a new thing in Indonesia. Lately, some startups began working on this concept as the rise of proptech sector. Rukita is one of the players that considered a pioneer of this communal residential concept.

“Co-living at Rukita provides residents with a comfortable living space that supports social interaction with the availability of communal spaces without compromising the privacy of residents who remain guaranteed with private bedrooms,” CEO & Co-Founder, Sabrina Soewatdy said in her written statement.

In general, Rukita offers subscription rooms. It means, Rukita provides all kinds of room requirements for residents, as a boarding room or apartment. Rukita also makes community programs to encourage the residents to interact with each other. These programs are referred to by Rukita as co-living residences.

Business Model

Rukita has currently managed rooms for a year in Jadetabek. In total there are 3000 rooms. They use the revenue sharing system of their cooperation with property owners.

Rukita manages stuff, such as property management services, renovation, maintenance, operations, to marketing. In other words, the owner of the house have no worry and just wait for results.

Sabrina revealed what distinguishes them from other online property rentals is a background check on potential residents. She gave an example of an unmarried couple and daily rental housing as two social problems that often arise from daily rentals.

“In line with our commitment to building a sustainable business in the proptech sector, we are targeting service expansion in the Greater Jakarta area by focusing on quality assurance as our top priority,” Sabrina added.

With such a residential rental model, there are already some startups offering similar services in Indonesia. One of them is Mamikos, they not only offer boarding and apartment listing services but also cooperate with property owners for management.

Market segment

Rukita was inspired by the housing demand of the millennials which continues to grow until 2035, of which around 34% of the population comes from that age group. Potential problems arise because 69.4% (Millennial Report 2019) of this kiwari group are yet to own a house. While property prices in Indonesia, especially Jakarta, are far from consumers’ purchasing power.

Sabrina said their residential concept is suitable for millennial groups living in urban areas, such as urban people, young executives, and foreign workers in Indonesia.

“We are here to improve a better lifestyle for millennials, where we believe that a person will have a better life when he lives in a residence that supports his needs,” said Sabrina.

In terms of funding, Rukita has received an initial funding injection led by Sequoia Surge in the middle of last year. Sabrina said this year’s priority is to maintain service quality. However, she did not deny that funding is one of the ongoing discussions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Startup Proptech Rukita, Sajikan Layanan Co-Living

Konsep hunian co-living atau komunal memang bukan hal baru di Indonesia. Namun belakangan sejumlah startup mulai menggarap konsep ini sebagai turunan dari sektor proptech yang kian subur. Rukita adalah salah satu pemain yang namanya mencuat sebagai pembesut konsep hunian komunal ini.

Co-living di Rukita memberi penghuni kenyamanan tempat tinggal yang mendukung interaksi sosial dengan ketersediaan ruang-ruang komunal tanpa mengabaikan privasi penghuni yang tetap terjamin dengan kamar tidur pribadi,” ujar CEO & Co-Founder Sabrina Soewatdy dalam pernyataan tertulisnya.

Pada dasarnya Rukita menawarkan kamar berlangganan. Ini artinya Rukita menyediakan semua kebutuhan kamar bagi penghuni, baik itu kamar indekos atau apartemen. Rukita juga membuat program-program komunitas untuk mendorong para penghuninya saling berinteraksi. Program-program ini yang dimaksud oleh Rukita sebagai hunian co-living.

Model bisnis

Kamar yang dikelola Rukita selama setahun beroperasi tersebar di Jadetabek. Total ada 3000 kamar yang mereka kelola. Adapun sistem kerja sama mereka dengan para pemilik properti adalah sistem bagi pendapatan (revenue sharing).

Rukita mengurus dari layanan manajemen properti, renovasi, pemeliharaan, operasional, hingga pemasaran. Dengan kata lain pemilik hunian cukup terima bagi hasilnya saja.

Sabrina mengatakan yang membedakan mereka dengan penyewaan properti daring lainnya adalah pengecekan latar belakang calon penghuni. Ia memberi contoh pasangan yang belum menikah dan penyewaan hunian harian sebagai dua masalah sosial yang kerap muncul dari penyewaan harian.

“Sejalan dengan komitmen untuk membangun bisnis yang berkelanjutan di sektor proptech, kami menargetkan ekspansi layanan di wilayah Jabodetabek dengan berfokus pada jaminan kualitas sebagai prioritas utama kami,” imbuh Sabrina.

Dengan model penyewaan tempat hunian seperti itu, sudah ada beberapa startup yang tawarkan layanan serupa di Indonesia. Salah satunya Mamikos, mereka tidak hanya menampilkan layanan listing indekos dan apartemen, tapi juga bekerja sama dengan pemilik properti untuk pengelolaan.

Segmen pasar

Latar belakang Rukita sendiri berasal dari kebutuhan tempat tinggal bagi kelompok usia milenial yang terus membesar hingga 2035, yang mana sekitar 34% jumlah penduduk berasal dari kelompok usia itu. Potensi masalah muncul karena 69,4% (Millennial Report 2019) dari kelompok kiwari ini belum memiliki rumah. Sementara harga properti di Indonesia, khususnya Jakarta, jauh dari daya beli konsumen.

Sabrina mengatakan konsep hunian mereka cocok untuk kelompok milenial yang tinggal di wilayah urban mulai dari urban, eksekutif muda, dan pekerja asing di Indonesia.

“Kami hadir untuk meningkatkan gaya hidup yang lebih baik bagi kaum milenial, di mana kami percaya bahwa seseorang akan memiliki hidup yang lebih baik saat ia tinggal di hunian yang mendukung kebutuhannya,” ucap Sabrina.

Dari aspek pendanaan, Rukita terakhir mendapat suntikan pendanaan awal yang dipimpin oleh Sequoia Surge pada pertengahan tahun lalu. Sabrina menyebut tahun ini prioritasnya adalah mempertahankan kualitas layanan. Namun ia tak menyangkal bahwa pembicaraan tentang pendanaan masih terus berjalan.

Application Information Will Show Up Here

YukStay Tergabung di Y Combinator, Ramaikan Persaingan Startup Proptech di Indonesia

YukStay adalah startup proptech yang kembangkan layanan online marketplace untuk penyewaan apartemen dan indekos. Saat ini baru beroperasi di seputar Jabodetabek dan Surabaya.

Awal tahun 2020, mereka turut tergabung dalam program akselerator bisnis Y Combinator bersama beberapa pemain lokal lain yakni Pahamify dan Newman’s. Seperti diketahui, keikutsertaan ke program tersebut turut memberikan keuntungan kepada startup mendapatkan seed round berkisar 2 miliar Rupiah.

Didirikan tahun 2018, YukStay digawangi dua founder yakni Jacky Steven dan Christopher Kung. Sebelum melibatkan diri di YC, mereka juga sudah mengumpulkan pendanaan $4 juta atau setara 65 miliar Rupiah dari sejumlah investor dalam putaran seri A, termasuk Insignia Ventures dan K3 Ventures.

Persaingan di lanskap terkait

Menerapkan model bisnis B2B2C, YukStay tidak hanya mengakomodasi kebutuhan hunian temporer untuk konsumen, mereka juga membantu pemilik properti. Kepada pemilik properti, ada tiga layanan yang diberikan selain listing, meliputi kepengurusan syarat legal terkait sewa-menyewa, membantu calon konsumen untuk melihat unit properti, dan pengelolaan/pemeriksaan inventaris saat peralihan pengguna properti.

Selain penyewaan unit apartemen secara penuh, mereka juga mendaftar unit properti co-living, yakni konsep hunian dan fasilitas bersama dengan kamar privat. Minimal keanggotaan yang diterapkan ialah 6 bulan. Setiap properti juga sudah dilengkapi dengan fasilitas dasar, seperti furnitur, tempat tidur, almari, konektivitas wifi hingga jasa perawatan. Menariknya lagi, pengguna juga bisa mencicil pembayaran biaya sewa.

Tim YukStay / YukStay
Tim YukStay / YukStay

Proptech di Indonesia

Dengan cakupan wilayah yang lebih luas, di segmen serupa sebelumnya juga sudah ada platform Travelio dan Mamikos. Keduanya turut membantu pemilik properti mengelola unitnya. Terakhir untuk akselerasi bisnis, Travelio menerima putaran pendanaan seri B hingga 253,6 miliar Rupiah dari sejumlah investor, termasuk Pavilion Capital, Gobi Partners, Samsung Venture dan lainnya. Sementara Mamikos, lebih fokus mengelola dan memasarkan unit di kategori indekos.

Model bisnis proptech pun juga makin beragam. Misalnya yang sudah tenar sebelumnya ada C2C marketplace, bentuknya portal yang memungkinkan pemilik properti mengiklankan secara mandiri unitnya dan konsumen bisa melihat daftar lengkap properti di wilayah tertentu. Beberapa pemain yang sudah ada di Indonesia seperti 99.co, Rumah12, Rumah.com, Lamudi dan lain sebagainya.

Startup proptech di Indonesia
Startup proptech di Indonesia

Fintech untuk properti juga sudah mulai hadir, memberikan opsi mekanisme pembiayaan pembelian atau penyewaan properti. Beberapa pemain yang ada seperti Gradana, CicilSewa dan CrowdDana.

Gradana terapkan konsep p2p lending untuk memfasilitasi konsumen akhir produk cicilan untuk DP dan pembelian properti. Sementara CicilSewa memberikan pinjaman penyewaan properti. Dan CrowdDana hadirkan skema equity crowdfunding untuk membantu pengembangan unit properti.

Peta persaingan

Dinamika bisnis penyewaan properti di Indonesia terus menggeliat seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat urban akan hunian sementara. Aksi perusahaan pun terus digencarkan, tahun lalu 99.co memutuskan untuk membentuk joint venture bersama REA Group, menyepakati sinergi dengan platform Rumah123 di Indonesia. Sebelumnya 99.co juga mengakuisisi UrbanIndo dan telah menyatukan listing properti ke layanannya.

Di Indonesia juga beroperasi unit bisnis milik PropertyGuru. Mereka menjalankan dua situs, yakni Rumah.com dan Rumahdijual.com yang diakuisisi pada akhir 2015 lalu. Di Indonesia, operasionalnya turut didukung konglomerasi EMTEK Group sebagai investor di putaran pendanaan seri D.

Lamudi juga turut andil dalam persaingan. Mereka hadir sejak tahun 2014. Satu tahun beroperasi, pada tahun 2015 perusahaan melakukan akuisisi platform PropertyKita. Selain di Indonesia, saat ini mereka juga beroperasi di Filipina. Sementara operasional Lamudi di Timur Tengah telah diakuisisi Emerging Markets Property Group pertengahan tahun lalu.

Application Information Will Show Up Here

Lewat Skema “Equity Crowdfunding”, CrowdDana Mudahkan Masyarakat Berinvestasi di Proyek Properti

Sejak regulasinya diresmikan OJK pada 2019 lalu, platform berbasis  equity crowdfunding bermunculan dan makin diminati masyarakat. Secara konsep model bisnisnya mirip dengan p2p lending, hanya saja sebagai pemberi pinjaman (layaknya lender) mendapatkan imbalan berupa saham yang dijual pemilik usaha (layaknya borrower).

Per Desember 2019, sehubungan dengan POJK Nomor 37/POJK.04/2018 saat ini ada tiga perusahaan digital yang mendapatkan izin OJK, yakni Santara, Bizhare dan CrowdDana.

CrowdDana sendiri fokus awalnya membiayai proyek properti. Sejak debut, sudah ada dua proyek pembangunan indekos yang berhasil didanai, mencapai Rp14,6 miliar. Dan saat ini masih berjalan satu proyek pembangunan lainnya targetkan dana Rp6,8 miliar.

“Dari semua aset properti yang kami analisis, indekos jadi yang paling menguntungkan. Dikarenakan permintaan yang besar dari penyewa, efisiensi pengelolaan dan persentase okupansi yang stabil,” terang Co-Founder & Chief Product & Marketing Officer CrowdDana, In.

Model bisnis CrowdDana

CrowdDana (PT Crowddana Teknologi Indonusa) adalah sebuah platform yang menghubungkan investor dan asset manager properti. Di platform ini, investor dapat menggelontorkan dananya ke proyek properti yang ditawarkan dengan modal rendah, mulai dari Rp1 juta.

Platform ini didirikan sejak April 2019 dan berhasil menggaet izin dari OJK dengan nomor KEP93/D.04/2019 tertanggal 31 Desember 2019.

Terkait model bisnis yang diterapkan Stevanus mengatakan, “CrowdDana mengambil biaya sebesar 3% dari dana yang dihimpun. Selain itu, ketika properti indekos sudah operasional, CrowdDana mengambil biaya sebesar 5% dari pendapatan.”

Dari daftar penggalangan yang tengah dan selesai berjalan, return of investment yang ditawarkan mencapai 16%. Setiap proyek selesai rata-rata didanai 40-50an investor. Aturan OJK menyatakan jumlah pemegang saham tidak boleh lebih dari 300 pihak, mengikuti UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Beleid tersebut juga dijadikan variabel utama dalam kalkulasi penentuan nilai minimal investasi untuk setiap proyek.

Dalam skema equity crowdfunding, besar keuntungan investor akan berbeda di setiap proyek, proporsional berdasarkan banyaknya jumlah saham. Tugas penyedia platform melakukan seleksi ketat terhadap proyek-proyek yang akan melakukan penggalangan dana. Termasuk melakukan analisis mengenai potensi bisnis. Di CrowdDanna, deviden dibagikan secara berkala, sesuai kebijakan proyek antara setiap 3 atau 6 bulan.

Investor dapat memperjualbelikan saham di pasar sekunder (marketplace). Umumnya pasar tersebut dibuka satu tahun setelah proyek berhasil didanai. Dan pasar sekunder dibuka maksimal 2x per tahunnya.

Pengguna dapat melakukan pendaftaran dan verifikasi akun untuk memulai berinvestasi di CrowdDana. Sementara bagi penerbit atau pemilik proyek dapat menghubungi tim secara terpisah untuk memulai penggalangan dana di platform. Adapun batas atas di tiap proyek Rp10 miliar per tahun untuk setiap penerbit dalam bentuk perseroan terbatas.

Segera rambah vertikal bisnis baru

Selain Stevanus, ada dua pendiri lainnya yakni James Wiryadi (CEO) dan Handison Jaya (CTO). Stevanus sebelumnya bekerja sebagai product manager di Ematic Solution, pengembang SaaS asal Singapura untuk pemasaran digital. Ia mengeyam pendidikan di University of California jurusan ilmu komputer dengan spesialisasi di bidang kecerdasan buatan.

Sementara James sebelumnya merupakan analis CapitalLand Indonesia, salah satu perusahaan real estate terbesar di Asia. Kuliahnya di New York University juga fokus di bidang real estate & finance. Sementara Handison sebelumnya ada software engineer senior di Ematic Solution, lulusan UI di jurusan ilmu komputer.

CrowdDana
Tim pengembang CrowdDana yang bermarkas di DBS Tower, Kuningan, Jakarta / CrowdDana

“Kami memilih properti sebagai sektor utama karena sudah mempunyai banyak pengalaman di sektor terkait. Kami juga bekerja sama dengan partner property developer dengan track record yang baik, AbdiHome, yang sebelumnya sudah berpengalaman membangun indekos. Dengan keahlian tersebut, kami optimis bisa menjalankan setiap proyek dengan baik dan akurat,” lanjut Stevanus.

Ia turut menyampaikan, sekitar dua bulan lagi mereka akan merambah vertikal baru untuk proyek penggalangan dana di platformnya. Rencananya akan dimulai bisnis makanan dan jasa.

“Dari respons masyarakat dan pemilik bisnis franchise, permintaannya sangat besar. Dari sisi pemodal (masyarakat), berinvestasi di bisnis restoran atau jasa juga lebih mudah dimengerti, dibanding properti. Dari sisi penerbit (pemilik franchise), mereka ingin melakukan ekspansi bisnis tapi tidak memiliki akses ke pendanaan finansial,” ujar Stevanus.

Pada Juli 2019 lalu, CrowdDana mendapatkan suntikan dana dari tiga angel investor yang tidak disebutkan detailnya. Untuk mengakselerasi bisnis dan pengembangan produk teknologi, tahun 2020 ini mereka juga targetkan penggalan dana dalam seed round dari pemodal ventura.

Dinilai mudah diterima masyarakat

Di tengah perkembangan ekonomi nasional, dibarengi dengan pendapatan per kapita masyarakat yang meningkat, kanal-kanal investasi mulai banyak diminati. Kendati termasuk baru, model equity crowdfunding nyatanya disambut cukup baik oleh masyarakat.

“Konsep equity crowdfunding sebenarnya bukan hal baru, karena telah diterapkan dengan cara tradisional oleh masyarakat Indonesia ketika berinvestasi patungan dengan teman-teman atau kerabat di bisnis kondotel, bisnis restoran dan bisnis-bisnis lain. CrowdDana mengunakan skema tersebut dan memanfaatkan teknologi untuk keterbukaan informasi,” ujar Stevanus.

Demi memberi kenyamanan pengguna, tahun ini akan ada sejumlah peningkatan kapabilitas aplikasi. Misalnya fitur Live CCTV Feed untuk memudahkan pemberi dana memantau perkembangan proyek, ada juga Okupansi Tracker, POS Order Tracker dan sebagainya.

“Selain ekspansi ke sektor bisnis lain, tahun ini kami targetkan bisa mendanai 10 properti indekos. Untuk itu perusahaan juga akan memperluas kerja sama dengan bank, pengembang properti dan startup lain untuk membantu pengembangan bisnis,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Travelio Announces Samsung Venture as Part of Its Series B Funding

Travelio prop-tech startup today (12/12) has announced new participant for its series B round. The one joining the board of investors is Samsung Venture Investment Corporation. It marks the second investor in this investment – the previous one is Pavilion Capital.

On the first announcement of series B round on mid-November 2019, Travelio has secured capital funds of 253.6 billion Rupiah. This round was led by Pavilion Capital and Gobi Partners. In addition, investors from the previous round also participated, namely Vynn Capital, Insignia Ventures Partners, IndoGen Capital, and PT Surya Semesta Internusa Tbk.

In Indonesia, Travelio is Samsung Venture’s second portfolio. They’re previously involved in Gojek’s series E round in 2018.

Through this announcement, Samsung Venture also mentioned the plan to make more aggressive maneuvers investing in Southeast Asia for more years to come.

“We’re very lucky to have Samsung as one of the shareholders. The history and its capacity will help us manage to be globally recognized and have a good reputation,” Travelio’s Co-Founder & CEO, Hendry Rusli said.

It’s also said that the additional capital from Samsung Venture will be focused to accelerate the company’s growth in 2020. It includes expanding integration and partnership with networks of conglomerates, technology, and electronics ecosystem in Samsung.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Travelio Umumkan Partisipasi Samsung Venture dalam Putaran Pendanaan Seri B

Startup proptech Travelio hari ini (12/12) mengumumkan partisipan baru dalam putaran pendanaan seri B mereka. Kali ini yang bergabung adalah Samsung Venture Investment Corporation. Artinya sudah ada dua investor baru terlibat dalam investasi – sebelumnya ada juga Pavilion Capital.

Pada pengumuman pertama pendanaan seri B pertengahan November 2019, Travelio mendapatkan suntikan modal senilai 253,6 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Pavilion Capital dan Gobi Partners. Selain Gobi, investor di babak sebelumnya yang turut terlibat adalah Vynn Capital, Insignia Ventures Partners, IndoGen Capital, dan PT Surya Semesta Internusa Tbk.

Di Indonesia, Travelio adalah portofolio kedua Samsung Venture. Sebelumnya mereka terlibat dalam pendanaan seri E Gojek di tahun 2018 lalu.

Bersamaan dengan ini, pihak Samsung Venture juga mengatakan akan bermanuver lebih agresif untuk berinvestasi ke startup Asia Tenggara di tahun mendatang.

“Kami sangat beruntung mendapati Samsung sebagai salah satu pemegang saham. Rekam jejak dan keahlian mereka akan membantu mengarahkan kami menjadi perusahaan yang diakui secara global dan memiliki reputasi baik,” sambut Co-Founder & CEO Travelio Hendry Rusli.

Turut disampaikan, tambahan investasi dari Samsung Venture akan difokuskan untuk mempercepat target pertumbuhan perusahaan di tahun 2020. Termasuk dengan memperluas integrasi dan kemitraan dengan jaringan konglomerat, teknologi, dan ekosistem elektronik yang dimiliki Samsung.

Application Information Will Show Up Here

Startup Proptech di Indonesia, dari Model Bisnis hingga Peta Persaingan

Startup teknologi di bidang properti, atau biasa disebut proptech (property technology), tampaknya tengah mendulang untung di tengah pertumbuhan jumlah masyarakat urban di Indonesia. Mereka coba mengakomodasi kebutuhan akan hunian atau tempat tinggal – paling banyak rumah atau apartemen. Sejauh ini, melihat yang sudah beroperasi di Indonesia, ada beberapa bentuk layanan yang ditawarkan.

Secara umum proptech  sendiri didefinisikan sebagai penggunaan teknologi informasi untuk membantu pengguna melakukan pencarian, pembelian, penjualan, dan pengelolaan real estat. Saat ini bentuknya beragam, mulai dari situs listing properti, platform virtual reality untuk meningkatkan pengalaman pengguna, sistem penyewaan, hingga pendanaan properti.

Model bisnis dan layanan

Ditinjau dari visinya, layanan proptech terbagi menjadi tiga kategori. Pertama ialah penggunaan teknologi untuk memberikan sentuhan digital di unit propertinya itu sendiri. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari penerapan sensor internet of things (IoT) hingga sistem pemantauan otomatis memanfaatkan kamera yang dilengkapi kecerdasan buatan.

Di tingkat global, berbagai perangka pendukung untuk smart home sudah banyak diproduksi, contohnya Switchmate yakni saklar pintar yang dapat dikendalikan melalui ponsel. Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Google pun juga mulai memberikan fokus tersendiri untuk kebutuhan ini. Sementara di tingkat pengembang lokal memang belum banyak, namun sudah mulai bermunculan. Salah satunya produk kunci pintar yang diproduksi Sugar Tech.

Kedua ada platform penyewaan, ini jadi yang paling banyak dijumpai di Indonesia. Mereka mencoba menyederhanakan proses bisnis dari hulu ke hilir. Mulai menyediakan wadah bagi pemilik properti untuk mempromosikan unitnya, memudahkan pengguna untuk menemukan properti sesuai kriterianya – beberapa platform menyediakan jasa konsultasi, hingga menjadi perantara dalam proses penyewaan.

Beberapa platform terkait di antaranya Lamudi, Travelio, Rumah123, 99.co, dan Rumah.com – kendati beberapa sajikan layanan dan fitur berbeda. Misalnya Travelio, berangkat dari layanan penyewaan kamar hotel, kini mereka akomodasi penyewaan rumah, vila, dan apartemen. Tidak hanya mengiklankan unit properti saja, mereka juga membantu pemilik melakukan pengelolaan dan operasional.

Baru-baru ini situs listing indekos Mamikos juga kenalkan layanan baru mereka berjuluk Mamirooms. Konsepnya sama, selain mempromosikan unit kamar yang tersedia, kini mereka membantu pemilik properti untuk melakukan pengelolaan. Termasuk di dalamnya meningkatkan standardisasi properti, operasional, hingga pemasaran.

Model Bisnis Startup Proptech

Model bisnis ketiga mengakomodasi aspek finansial. Mekanisme kredit sejauh ini masih jadi yang paling populer untuk transaksi jual-beli unit real estat. Untuk memudahkan prosesnya, beberapa startup mulai bermain di sana. Mulai dari membantu menyajikan komparasi dan kalkulasi, menjembatani akses kredit dengan perbankan, hingga menyajikan layanan p2p lending untuk membantu pembiayaan.

CicilSewa dan Gradana adalah dua contoh startup di bidang properti yang fokus pada pembiayaan. Layanan yang dihadirkan CicilSewa memberikan talangan untuk pembiayaan properti kepada pengguna. Sementara Gradana manfaatkan skema p2p lending untuk pinjaman kredit properti – termasuk memberikan pinjaman untuk melakukan pembayaran uang muka.

Peta persaingan startup proptech

Awal tahun 2018, pengembang situs properti asal Singapura 99.co resmi mengumumkan akuisisinya terhadap platform lokal Urbanindo. Berbentuk akuisisi penuh, kini tim dan produk Urbanindo dilebur ke dalam layanan 99.co Indonesia. Sejak resmikan kehadirannya di Indonesia, layanan 99.co terus tancap gas jadi platform untuk perantara transaksi jual-beli real estat.

Tak hanya berhenti di sana, pasca dapatkan pendanaan 216 miliar Rupiah, perusahaan jalin kerja sama strategi bersama REA Group, yang sebelumnya terlebih dulu akuisisi iProperty — termasuk di dalamnya platform Rumah 123. Melalui kemitraan tersebut kedua perusahaan bentuk joint venture untuk bersama-sama memenangkan bisnis proptech di Asia Tenggara.

REA turut memberikan investasi 113 miliar Rupiah untuk pengembangan bisnis. Pasalnya operasional bisnis iProperty di Singapura dan Rumah123 di Indonesia akan dikelola bersama. Co-Founder & CEO 99.co Darius Cheung akan memimpin.

Selain dua grup perusahaan tersebut, di Indonesia juga beroperasi unit bisnis milik PropertyGuru. Mereka menjalankan dua situs, yakni Rumah.com dan Rumahdijual.com yang diakuisisi pada akhir 2015 lalu. Di Indonesia, operasionalnya turut didukung konglomerasi EMTEK Group sebagai investor di putaran pendanaan seri D.

Lamudi juga turut jadi pengembang situs listing properti yang mengudara di Indonesia. Mereka hadir sejak tahun 2014. Satu tahun beroperasi, pada tahun 2015 perusahaan melakukan akuisisi platform PropertyKita. Selain di Indonesia, saat ini mereka juga beroperasi di Filipina. Sementara operasional Lamudi di Timur Tengah telah diakuisisi Emerging Markets Property Group pertengahan tahun ini.

Startup proptech di Indonesia

Jika ditarik benang merahnya, dari semua pemain yang memimpin pasar – salah satunya dinilai dari statistik kunjungan dan valuasi perusahaan – merupakan pemain regional. Model bisnisnya serupa, mengedepankan poin “sharing” dibumbui dengan menjual layanan promosi dan pemasaran bekerja sama dengan agen properti.

Pembiayaan properti

Bank BTN menjadi BUMN yang difokuskan untuk pembiayaan properti. Untuk menjangkau pangsa pasar yang lebih luas, mereka mengembangkan konsep proptech melalui BTNProperti.co.id yang menyajikan listing lengkap dengan akses pembiayaan. Pada dasarnya situs-situs listing atau marketplace yang dibahas sebelumnya juga memberikan rekomendasi pembiayaan kredit melalui bank-bank yang menjadi mitra. Di Indonesia, hampir semua bank memiliki produk Kredit Perumahan Rakyat (KPR).

Ingin hadirkan akses menyeluruh, platform asal Singapura CloseBuy Asia Pasific beberapa bulan lalu resmikan kehadiran di Indonesia. Melalui aplikasi mobile, mereka dampingi pengguna memilih unit properti dan akses pembiayaan kredit melalui perbankan mitra. Inovasi yang cukup baru juga dihadirkan pemain lokal Gradana. Seperti disinggung sebelumnya, mereka integrasikan sistem p2p lending untuk pembiayaan, dengan sasaran pengguna dari kalangan masyarakat yang belum terlayani bank (unbankable).

99.co Startup for Property Announces 216 Billion Rupiah Funding, Still Focused on Jabodetabek area in Indonesia

99.co website for property has recently announced Series B funding worth of $15.2 million (around 216.6 billion Rupiah). MindWorks Ventures and Allianz X led this round, followed by the previous investors, East Ventures, Sequoia India and Eduardo Saverin.
The fresh money is to be focused on the development and expansion of coverage in the core market, Singapore and Indonesia. Darius Cheung, 99.co‘s Co-Founder & CEO told DailySocial, they have acquired more than 2 million monthly users in Indonesia with over 150 thousand lists of property.
To date, 99.co still focused on Jabodetabek area in Indonesia although they’ve been operating in some other cities, such as Bandung, Surabaya, and Pekanbaru. This expansion becomes the company’s current strategic plan.
“In fact, we’re still focused on Jabodetabek for now. While we operating the business in other cities like Bandung, Surabaya, Pekanbaru and to be continuously expanding with Jabodetabek as the main focus,” he said.
In terms of transactions, 99.co still lean on the agent system. Cheung said they have 3 thousand agents registered and proceed more than 2,000 transactions.
“During 2019, we’ve established some software improvement for Indonesian agents, including a CRM system to increase productivity. In the second half this year, we’re to launch some product innovations for consumers,” he added.
Previously, in early 2018, 99.co made a movement by acquiring property portal, Urbanindo. The existing product and feature were transferred to 99.co per August 2018.
“We believe, the design-centric approach we used to solve the complicated process, also thorough technology for geo-location development and market data has brought us on lead and distinct,” Cheung said.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Application Information Will Show Up Here

Startup Properti 99.co Umumkan Pendanaan 216 Miliar Rupiah, di Indonesia Masih Fokus di Jabodetabek

Situs properti 99.co baru-baru ini mengumumkan telah mendapatkan putaran pendanaan putaran seri B senilai $15,2 juta (setara dengan 216,6 miliar Rupiah). Pendanaan dipimpin oleh MindWorks Ventures dan Allianz X dengan keterlibatan dari investor sebelumnya, yakni East Ventures, Sequoia India, dan Eduardo Saverin.

Hasil pendanaan akan difokuskan untuk pengembangan dan perluasan jangkauan di pasar inti mereka, yakni di kawasan Singapura dan Indonesia. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO 99.co Darius Cheung mengatakan bahwa sampai saat ini sudah ada lebih dari 2 juta pengguna bulanan di Indonesia, dengan lebih dari 150 ribu daftar properti.

Sejauh ini 99.co di Indonesia masih difokuskan untuk kawasan Jabodetabek. Kendati demikian, mereka sudah beroperasi di lokasi lain seperti Bandung, Surabaya dan Pekanbaru. Perluasan ke kota-kota lain dikatakan tengah menjadi agenda strategis perusahaan.

“Tentu saja, kami masih sangat fokus pada Jabodetabek untuk saat ini. Sementara kami beroperasi di sejumlah kota lain seperti Bandung, Surabaya, Pekanbaru, dan kami berusaha untuk memperluasnya, sambil tetap fokus pada Jabodetakbek,” ujar Darius.

Untuk transaksi sendiri, 99.co masih mengandalkan sistem keagenan. Darius juga mengatakan, sejauh ini ada sekitar 3 ribu agen terdaftar dan selama setahun ke belakang telah menciptakan lebih dari 2000 transaksi.

“Selama tahun 2019 ini kami telah meluncurkan banyak peningkatan perangkat lunak untuk agen di Indonesia, termasuk sistem CRM untuk meningkatkan produktivitas mereka. Di paruh kedua tahun ini, kami akan merilis sejumlah inovasi produk di sisi konsumen,” terang Darius.

Sebelumnya pada awal tahun 2018 lalu, 99.co melakukan aksi perusahaan dengan melakukan akuisisi terhadap portal properti Urbanindo. Produk dan fitur Urbanindo diboyong ke 99.co per Agustus 2018 lalu.

“Kami percaya, pendekatan design-centric yang kami lahirkan untuk mengatasi masalah pencarian yang kompleks serta pengembangan teknologi yang mendalam pada pembuatan geo-location dan data pasar menjadikan kami unggul dan berbeda dari lainnya,” papar Darius.

Application Information Will Show Up Here

In Observation of Property Portal Potential as One of A Kind Market

Almost all vertical market is disrupted by technology, including property. The business is mainly controlled by the veteran, resulting in traditional methods in the process, including sales and rents.

Technology-based startups become the answer for a whole more efficient process. Therefore, various solutions are offered under basic circumstance as marketplace portal. The thing is how to simplify sales, rents, by connecting business to the target consumers.

In Indonesia, there are many overseas property portals surging up. The 99.co (Urbanindo acquisition), Rumah.com (part of PropertyGuru Group), Lamudi, Rumah123 (part of REA Group), and OLX. There are also locals, such as Rumahku.com and BTN Properti.

Their business models are kind of similar, connecting sellers with potential buyers. Mostly, it’s formed as classified ads with subscriptions. Unfortunately, most of the portals can be posted only by agents.

Take a look at Singapore, the developed country has various property startups with unique business models. One of those is Ohmyhome. They offer a D-I-Y platform approach to sell and buy houses. Everything is available independently, without agents.

Ohmyhome is yet to enter the Indonesian market. However, they’ve reached Malaysia and Thailand since early 2019 for business expansion.

In order to know further on how Ohmyhome provides a solution that disrupts property industry, Echelon Asia Summit 2019 has invited Ohmyhome’s Co-Founder, Race Wong to share insights on his three-year-old company.

Offering a localized solution

Ohmyhome offers a different business model from other property business players in Singapore / Ohmyhome
Ohmyhome offers a different business model from other property business players in Singapore / Ohmyhome

Wong said Ohmyhome intends to end the high commission issue for agents. Also, the long and tiring process of having a house, up to 10 stages. Start from price negotiation, credit agreement, to the 1-on-1 meeting.

In Singapore, 90% of the population are living in Housing and Development Board (HDB) residence. It’s Government-owned with high density due to the low cost and apartment look.

Ohmyhome also cut the agent channel for the faster process. Though, the company still owns special agents to handle customer’s complaints.

“We’re not a marketplace, not selling any opinion, or providing classified ads, but focusing on the end-to-end solution. It doesn’t matter how you buy a property, if someone’s contacting you through Ohmyhome, please take over the transaction yourself without adding more cost,” he explained.

In addition, if there’s some technical issue on the field which mostly handled by agents, customer can reach Ohmyhome team. The cost depends on the services. When it comes to trading, it starts from SGD2,888 for full service, SGD1,688 for meet-up and documentation. For rents, it usually costs SGD988 for full service, $98 for the lite one.

“This model is quite new in Singapore, so we have no direct competitor due to a different business model. We charge a flat rate because we want everyone to get the same opportunity with any services they needed.”

When we expand to Malaysia, the business model under HDB can’t be implemented in any way by Ohmyhome. They apply commission with percentage for its transaction in the Jiran country, it’s all about trust not price.

Therefore, the company partners with developers to reach potential buyers. Because developers can’t trust agents and buyers can’t trust agents. There are many frauds, the house they purchase through an agent is occupied by illegal immigrant or else. The property agents are freelance, it comes with high risk in fraud.

Yet to cut property agents

echelon, Echelon Asia Summit 2019, marketplace, ohmyhome, portal properti, property, proptech, race wong

Although Ohmyhome has been using technology-based back-end system, the company still in need of human touch by using property agents. They’re recruited for full-time, not freelance, to provide customers’ need.

Agents have important roles in helping people in making a  huge decision and also the inseparable element. In fact, buying a house is not a daily routine, that’s why agents still needed.

“But if you want to sell the house to friends or colleagues, does it still require agents? Of course, not. They might be useful for the documentation process.”

Wong said the company has facilitated 2,000 houses worth over SGD 1 billion. To be compared, there are more than 1000 property agents in Singapore. There are 10 leading companies, each has 300 to 600 agents.

However, seeing the transaction, Ohmyhome is in the fifth position, with only 20 agents. Though, it needs hundreds of agents to sell 2500 units in traditional ways.

“We do believe it can be more efficient by completing the automation process. While the industry still using a traditional and manual process, they will need a 1-on-1 meeting to build relation.”

It is said the average transaction through Ohmyhome took a month the longest, and a day the fastest. In the industry, it usually takes up to three months.

In the observation, Ohmyhome business looked very ensuring with the solution they offered that gets the current issue in the country. Hopefully, in Indonesia, the property startup players can be more innovative in presenting its solution to be not only a marketplace portal.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian